PENDAHULUAN
Pendidikan sebagai salah satu elemen yang sangat penting dalam mencetak generasi
penerus bangsa juga masih jauh dari yang diharapkan. Seharusnya pendidikan merupakan hak
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD R.I Tahun 1945
bahwa tujuan Negara yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Hal ini memiliki konsekuensi
bahwa Negara harus menyelenggarakan dan memfasilitasi seluruh rakyat Indonesia untuk
memperoleh pendidikan yang layak bagi kehidupannya.
Pembiayaan pendidikan merupakan komponen yang esensial dan tidak dapat terpisahkan
dalam penyelenggaraan proses belajar-mengajar. Dalam rangka pembentukan potensi sumber
daya manusia (SDM), penggunaan anggaran pendidikan yang efektif dan efisien diharapkan
dapat menghasilkan SDM yang tepat guna dan berhasil guna.
BAB II
PEMBAHASAN
A. BIAYA PENDIDIKAN
1. Pengertian Biaya Pendidikan
Biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik yang berupa uang maupun bukan uang
sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua pihak (masyarakat, orang tua, dan pemerintah)
terhadap pembangunan pendidikan agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan tercapai secara
efektif dan efisien, yang harus terus digali dari berbagai sumber, dipelihara, dikonsolidasikan,
dan ditata secara administratif sehingga dapat digunakan secara efektif dan efisien.
Adapun biaya pendidikan yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik
Indonesia No. 48 tahun 2008 dalam pasal 3 adalah sebagai berikut[1]:
a. Biaya investasi satuan
Biaya investasi satuan pendidikan meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana,
pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap.
b. Biaya operasional, yang terdiri atas:
a) Biaya personalia.
Biaya personalia satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal, yang terdiri atas:
1) Gaji pokok bagi pegawai negeri sipil pusat;
2) Tunjangan yang melekat pada gaji bagi pegawai negeri sipil pusat;
3) Tunjangan struktural bagi pejabat struktural pada satuan pendidikan bagi pegawai Negeri sipil
pusat;
4) Tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional pegawai negeri sipil pusat di luar guru dan dosen;
5) Tunjangan fungsional bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat;
6) Tunjangan profesi bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat;
7) Tunjangan profesi bagi guru pegawai negeri sipil daerah;
8) Tunjangan khusus bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat yang ditugaskan di daerah
khusus oleh Pemerintah;
9) Tunjangan khusus bagi guru pegawai negeri sipil daerah yang ditugaskan di daerah khusus oleh
Pemerintah;
10) Maslahat tambahan bagi guru dan dosen pegawai negeri sipil pusat; dan
11) Tunjangan kehormatan bagi dosen pegawai negeri sipil pusat yang memiliki jabatan profesor
atau guru besar.
Biaya personalia penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan, baik formal maupun
nonformal, oleh Pemerintah, yang terdiri atas:
1) Gaji pokok bagi pegawai negeri sipil pusat;
2) Tunjangan yang melekat pada gaji bagi pegawai negeri sipil pusat;
3) Tunjangan struktural bagi pejabat struktural bagi pegawai negeri sipil pusat di luar guru dan
dosen; dan
4) Tunjangan fungsional bagi pejabat fungsional bagi pegawai negeri sipil pusat di luar guru dan
dosen.
b) Biaya nonpersonalia.
c. Bantuan biaya pendidikan dan beasiswa.
Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan beasiswa bagi
yang berprestasi yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya dan mendapatkan
biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Setiap
peserta didik berkewajiban ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan, kecuali bagi
peserta didik yang dibebaskan dari kewajiban tersebut sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.[2] Menurut PP No. 48 pasal 44 ayat 3 mengenai pendanaan bantuan
biaya pendidikan dan beasiswa sebagaimana dimaksud bersumber dari:
a. Penyelenggara atau satuan pendidikan yang didirikan masyarakat;
b. Pemerintah;
c. Pemerintah daerah;
d. Orang tua/wali peserta didik;
e. Pemangku kepentingan di luar peserta didik dan orang tua/walinya;
f. Bantuan pihak asing yang tidak mengikat; dan/atau
g. Sumber lainnya yang sah.
Pembiayaan pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat. Hal ini sesuai amanat UUSPN Nomor 20 tahun 2003 Pasal
46 ayat (1). Pembiayaan pendidikan merupakan hubungan saling keterkaitan yang di dalamnya
terdapat komponen-komponen yang bersifat mikro dan makro pada satuan pendidikan. Setiap
komponen memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun memiliki tujuan akhir yang sama,
yaitu[3]:
a. Peningkatan potensi SDM yang berkualitas;
b. Penyediaan komponen-komponen sumber-sumber pembiayaan pendidikan;
c. Penetapan sistem dan mekanisme pengalokasian dana;
d. Pengefektifan dan pengefisiensian penggunaan dana;
e. Akuntabilitas (dapat dipertanggungjawabkan) dari aspek keberhasilan dan mudah terukur pada
setiap satuan pendidikan;
f. Meminimalis terjadinya permasalahan-permasalahan yang terkait dengan penggunaan
pembiayaan pendidikan.
2. Jenis-Jenis Biaya Pendidikan
Ada beberapa jenis dan golongan biaya pendidikan, yaitu:
1. Biaya langsung (direct cost)
Biaya langsung yaitu pengeluaran uang yang secara langsung membiayai penyelenggaraan
pendidikan, pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.
2. Biaya tidak langsung (indirect cost), biaya yang meliputi hilangnya pendapatan peserta didik
karena sedang mengikuti pendidikan (earning foregone by students), bebasnya sewa perangkat
sekolah yang tidak dipakai secara langsung dalam proses pendidikan serta penyusutan sebagai
cermin pemakaian perangkat sekolah yang sudah lama tidak digunakan. Adapun jenis yang
termasuk dalam biaya tidak langsung, yaitu:
a. Biaya pribadi; biaya yang dikeluarkan keluarga untuk membiayai sekolah anaknya .
b. Biaya masyarakat; biaya sekolah yang dibayar oleh masyarakat.
3. Monetary cost, monetary cost adalah semua bentuk pengeluaran dalam bentuk uang, baik
langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan untuk kegiatan pendidikan.[4]
Adapun menurut Nanang Fatah dalam bukunya Standar Pembiayaan Pendidikan, terdapat
jenis-jenis biaya pendidikan yang dibagi menjadi:
a. Biaya Uang vs Biaya Oportunitas
Input dari pendidikan dapat diukur dalam bentuk uang, dapat juga diukur dari seluruh
sumber daya riil yang digunakan dalam proses pendidikan (waktu guru/dosen, waktu murid,
waktu staf, buku, material, peralatan, gedung). Meskipun tidak dapat diukur secara langsung
dengan uang, tetapi sumber daya ini memiliki nilai karena dapat digunakan di bidang lainnya,
sehingga dinamakan opportunity costs.
Konsep opportunity costs lebih luas daripada konsep money cost/ expenditure karena tidak
hanya mencakup uang saja, tetapi pada sumber daya riil yang direpresentasikan dengan
pengeluaran uang walaupun tidak dibeli/dijual.
Opportunity costs dari pendidikan dapat diukur sebagai biaya kepada individu (private
cost), seperti biaya pendidikan, buku, dan peralatan dan biaya kepada masyarakat (social cost)
seperti biaya gaji guru dan staf, buku, peralatan, bahan mentah, dan gedung.
Kebanyakan analisa biaya pendidikan dikosentrasikan pada pengeluaran uang
daripada opportunity cost, padahal keduanya sama pentingnya.[5]
b. Biaya Modal vs Biaya Operasional/Rutin
Biaya operasional meliputi semua pengeluaran pada barang-barang konsumtif seperti
buku, stationary, bahan bakar, dan jasa lainnya yang dapat membawa keuntungan dalam jangka
menengah atau pendek.
Capital costs atau expenditure meliputi pembelian durable assets seperti gedung atau
perlengkapan yang diharapkan memberikan keuntungan untuk jangka panjang. Pembelian
barang-barang capital/ modal ini dapat dikatakan sebagai suatu investasi.
Baik current maupun capital expenditure dapat diukur secara actual atau current price atau
dalam tingkat harga yang konstan/ constant purchasing power.[6]
c. Biaya Rata-Rata (Average Cost) dan Biaya Marginal (Marginal Cost)
Analisis biaya ini merupakan analisis biaya yang berkaitan dengan total biaya pendidikan
atau dengan unit cost (biaya per murid). Untuk menunjukkan hubungan antara biaya-biaya
dengan output atau skala operasional suatu usaha dan melihat keterkaitannya dengan biaya total
(TC), biaya rata-rata (AC) dan biaya marginal (MC) adalah dengan memperhatikan fungsi biaya.
Perhitungan tiap-tiap fungsi biaya dilakukan sebagai berikut:
Biaya total (Total Cost) per tahun adalah biaya tetap ditambah biaya variabel (Verbal
Cost), dan (biaya variabel ini tergantung dengan jumlah murid), sedangkan biaya rata-rata (AC)
adalah biaya total dibagi dengan jumlah output. Maka, biaya rata-rata akan rendah bila jumlah
siswa tinggi. Biaya marginal (MC) adalah tambahan biaya yang terjadi karena ada
penambhan unit cost/ murid yang mendaftar.
Ada tiga macam bentuk AC dan MC, yaitu:
a. Constant return to scale (AC=MC, dimana AC sama, tidak tergantung jumlah unit);
b. Economies of scale (average cost menurun akibat jumlah unit bertambah, sehingga MC<AC)
c. Diseconomies of scale/decreasing returns to scale (MC>AC, sehingga AC meningkat bila
jumlah unit bertambah.
Walaupun penghitungan MC di sektor pendidikan sulit diukur secara tepat, juga
kompleksitas kaitan antara ukuran dan biaya, konsep-konsep AC dan MC serta FC dan VC
sangat penting dalam menganalisis biaya.[7]
d. Biaya Privat vs Biaya Sosial Pendidikan
Perbedaan antara biaya privat dan biaya sosial ditentukan oleh besarnya subsisdi
pemerintah terhadap pendidikan, seperti di beberapa negara di mana pendidikan dasar dan
menengah diberikan secara gratis, sehingga direct private cost atau yang juga disebut biaya
personal hanya terbatas untuk membeli buku, seragam, dan transportasi. Jika jenis pendidikan
tersebut bersifat wajib, tidak ada private opportunity cost dalam bentuk pendapatan yang hilang
karena melanjutkan pendidikan, paling hanya dari biaya pajak yang dikenakan pemerintah secara
implisit. Hal ini umumnya tidak berlaku untuk post compulsory
education dimana earnings dan output forgone menjadi faktor penting yang dipertimbangkan
pemerintah bila akan mengubah kebijakan minimum school-leaving age.[8]
e. Joint Cost Pendidikan
Konsep ini muncul untuk menilai impklikasi dari berbagai produk yang dihasilkan oleh
pendidikan (seperti cognitive dan noncognitive outputs) atau oleh pendidikan tinggi
(teaching dan research) karena sulit diukur single cost untuk single output/product. Contoh:
beberapa input menghasilkan dua atau lebih output, seperti misalnya bangunan-bangunan
sekolah, administrasi pusat, perpustakaan-perpustakaan, dan lain-lain.[9]
f. Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)
Pengukuran biaya pendidikan seringkali menitikberatkan kepada ketersediaan dana yang
ada, tetapi secara bersamaan seringkali mengabaikan adanya standar minimal untuk melakukan
pelayanan pendidikan. Konsep pendekatan kecukupan menjadi penting karena memasukkan
berbagai standar kualitas dalam perhitungan pembiayaan pendidikan, sehingga berdasarkan
berbagai tingkat kualitas pelayanan pendidikan tersebut dapat ditunjukkan adanya variasi biaya
pendidikan yang cukup ideal untuk mencapai standar kualitas tersebut.
Perhitungan biaya pendidikan berdasarkan pendekatan kecukupan ditentukan oleh
beberapa faktor, di antaranya:
a. Besar kecilnya sebuah institusi pendidikan;
b. Jumlah siswa;
c. Tingkat gaji guru;
d. Rasio siswa dibandingkan jumlah guru;
e. Kualifikasi guru;
f. Tingkat pertumbuhan populasi penduduk;
g. Perubahan dari pendapatan (revenue theory of cost).[10]
h. Konsep Produksi: Kaitan antara input dan output dalam pendidikan.
Konsep produksi di bidang pendidikan sebenarnya tidak berbeda dengan konsep produksi
di perusahaan manufaktur. Hanya perbedaan dari a set of inputs (seperti waktu siswa dan guru,
buku, jasa dari capital asset seperti bangunan sekolah) dan a set of outputs (seperti kemampuan
kognitif, sosialisasi, ilmu baru). Transformasi input menjadi output ini jelas bukan tanpa biaya,
baik dari sisi pengeluaran dalam bentuk uang (monetary expenditures) maupun kesempatan yang
dikorbankan agar transformasi ini terjadi padahal dapat dipakai untuk alternatif penggunaan yang
lain (opportunity cost: seperti pendapatan yang seharusnya diperoleh bila siswa tidak
melanjutkan pendidikan tinggi dan biaya modal dari durable assets.[11]
B. SUMBER-SUMBER BIAYA PENDIDIKAN DAN PENGELUARANNYA
Sumber pembiayaan untuk sekolah terutama sekolah negeri berasal dari pemerintah yang
umumnya terdiri terdiri dari dana rutin, yaitu gaji serta biaya operasional sekolah dan perawatan
fasilitas (OPF), serta dana yang berasal dari masyarakat, baik yang berasal dari orang tua siswa,
dan sumbangan dari masyarkat luas atau dunia usaha.
Sumber-sumber biaya pendidikan antara lain, yaitu[12]:
1. APBN dan APBD.
2. Sekolah (iuran siswa).
3. Masyarakat (sumbangan).
4. Dunia bisnis (perusahaan).
5. Hibah.
Nanang Fatah juga menambahkan beliau mengatakan sumber-sumber keuangan sekolah
dapat bersumber dari : orang tua, pemerintah pusat, pemerintah daerah, swasta, dunia usaha dan
alumni.[13]
Dalam memaksimalkan dana yang dialokasikan kepada pihak sekoalah, maka sekolah
harus menyusun rencana anggaran pendidikan se-efisien mungkin agar tidak ada penyalahgunaan
dana. Rencana pembiayaan pendidikan yakni berkaitan dengan penjabaran pembiayaan dari
program kerja tahunan sekolah atau madrasah. Pembiayaan yang direncanakan baik penerimaan
maupun pengeluarannya selama satu tahun itulah yang dituangkan dalam Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS), yang akan dibahas pada sub judul selanjutnya.[14]
Belanja sekolah sangatlah ditentukan oleh bessarnya anggaran pendapatan atau penerimaan
sekolah yang diterima dari berbagai sumber, langsung atau tidak langsung. Pengeluaran sekolah
tersebut dapat dikatagorikan kepada beberapa hal, yaitu[15]:
a. Pengeluaran untuk pelaksanaan pembelajaran.
b. Pengeluaran untuk tata usaha sekolah.
c. Untuk pemeliharaan sarana dan prasarana (fasilitas) sekolah.
d. Pengeluaran untuk kesejahteraan pegawai.
e. Pengeluaran untuk administrasi.
f. Untuk pembinaan teknis pendidikan.
g. Untuk pendataan.
Biaya pendidikan adalah seluruh pengeluaran baik yang berupa uang maupun bukan uang
sebagai ungkapan rasa tanggung jawab semua pihak (masyarakat, orang tua, dan pemerintah)
terhadap pembangunan pendidikan agar tujuan pendidikan yang dicita-citakan tercapai secara
efektif dan efisien, yang harus terus digali dari berbagai sumber, dipelihara, dikonsolidasikan,
dan ditata secara administratif.
Adapun jenis-jenis biaya pendidikan:
1. Biaya Uang vs Biaya Oportunitas
2. Biaya Modal vs Biaya Operasional/Rutin
3. Biaya Rata-Rata (Average Cost) dan Biaya Marginal (Marginal Cost)
4. Biaya Privat vc Biaya Sosial Pendidikan
5. Joint Cost Pendidikan
6. Pendekatan Kecukupan (Adequacy Approach)
7. Konsep Produksi: Kaitan antara input dan output dalam pendidikan
RAPBS (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah) adalah anggaran terpadu
antara penerimaan dan penggunaan dana serta pengelolaannya dalam memenuhi seluruh
kebutuhan sekolah selama satu tahun pelajaran berjalan. Sumber dananya berasal dari
pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan orangtua/wali peserta didik.
RAPBS setidaknya meliputi penganggaran untuk kegiatan pengajaran, materi kelas,
pengembangan profesi guru, renovasi bangunan sekolah, pemeliharaan, buku, meja dan kursi.
Penyusunan RAPBS harus melibatkan kepala sekolah, guru, komite sekolah, staf TU dan
komunitas sekolah.
Kegiatan RAPBS dilakukan agar rencana penerimaan dan pengeluaran dana
sekolah/madrasah dapat dikontrol dengan baik. Adapun secara rinci, RAPBS berfungsi untuk:
pedoman pengumpulan dana dan pengeluarannya, menggali dana secara kreatif dan maksimal,
menggunakan dana secara jujur dan terbuka, mengembangkan dana secara produktif,
mempertanggung-jawabkan dana secara objektif
Mekanisme pencairan BOS pada awalnya berasal dari pusat, tapi sejak pertengahan 2010
dana BOS ditransfer ke pemerintah daerah yang akan menjadi sumber APBD. Shingga saat ni
sekolah-sekolah tidak menerima langsung dari rekening pusat, tapi bersumber pada APBD.
Penggunaan dana BOS diperuntukan bagi seluruh biaya operasional ruti sekolah, sedangkan
untuk biaya pembangunan tidak berasal dari BOS.
Penyalahgunaan pengelolaan dana BOS banyak ditemukan di beberapa daerah, kasus yang
paling sering adalah penggelembungan jumlah siswa, penyalahgunan dana, dan bahkan data dan
pelaporan fiktif sering menghiasi surat kabar tentang penyelewengan dana BOS. Hal ini bisa juga
dipicu oleh system yang berjalan, lemahnya pengaawasan dan partisipasi public yang kurang,
sehingga menyebabkan tujuan dari adanya subsidi BOS sendiri menjadi kurang dan cenderung
berkurang kebermanfaataannya. Untuk itu diperlukan tindakan preventif dari setiap lembaga dan
elemen dari bangsa ini untuk kemajuan dan pengefektifan pengelolaan dana BOS. Diantaranya
solusi yang kami tawarkan adalah kembali mengkaji kebijakan yang sudah ditetapkan, karena
satu kebijakan tidak mungkin langsung cocok pada tataran implemntasi. Selain itu, kebijakan
dana berkeadilan juga bisa menjadi salah satu solusi dari permasalahan, karena kondisi orang tua
dan siswa serta sekolah tidak semua sama, sehingga yang mendapatan subsidi adalah orang-
orang yang benar-benar layak mendapatkan subsidi.
Pengawasan yang lebih efektif dan efisien juga mendukung pencapaian tujuan dana BOS.
Solusi lain yang bisa dicoba adalah pendampingan oleh ahli yang kompeten bisa mempermudah
pengelolaan dan efektifitas penggunaan dana BOS, mahasiswa Administrasi Pendidikan, serta
ahli dalam bidang manajerial pendidikan bisa menjadi pendamping utama dan ikut membantu
dalam mengarahkan, hal ini dikarenakan kurangnya tenaga profesioanal terkait administrasi dan
manajemen sekolah yang ada di sekolah.
DAFTAR PUSTAKA