Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

KETOASIDOSIS DIABETIKUM (KAD)

SYAHRUL RAMADHAN
NIM : 433131490120043

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KHARISMA KARAWANG
Jl. Pangkal Perjuangan Km 1 By Pass Karawang 41316
2020
SDH (SUBDURAL HEMATOMA)

A. Konsep Dasar Penyakit


1. Definisi
Hematoma subdural adalah penimbunan darah di dalam rongga subdural.
Dalam bentuk akut yang hebat,baik darah maupun cairan serebrospinal
memasuki ruang tersebut sebagai akibat dari laserasi otak atau robeknya
arakhnoidea sehingga menambah penekanan subdural pada jejas langsung di
otak. Dalam bentuk kronik, hanya darah yang efusi ke ruang subdural akibat
pecahnya vena-vena penghubung, umumnya disebabkan oleh cedera kepala
tertutup. Efusi itu merupakan proses bertahap yang menyebabkan beberapa
minggu setelah cedera, sakit kepala dan tanda-tanda fokal progresif yang
menunjukkan lokasi gumpalan darah.1

2. Anatomi
a. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit,connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau
galeaaponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang
longgar danpericranium.5

b. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii. Tulang
tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal
danoksipital.Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di
sinidilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata
sehingga dapatmelukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses
akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa
yaitu: fosa anterior tempat lobusfrontalis, fosa media tempat temporalis
dan fosa posterior ruang bagi bagianbawah batang otak dan serebelum.6

c. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu:
1) Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu
lapisanendosteal dan lapisan meningeal.4 Duramater merupakan
selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat
pada permukaan dalam darikranium. Karena tidak melekat pada
selaput arachnoid di bawahnya, makaterdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater danarachnoid, dimana
sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak,pembuluh-
pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju
sinussagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural.
Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus
dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat
mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara
duramater dan permukaan dalam darikranium (ruang epidural).
Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada
arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang
palingsering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang
terletak pada fosatemporalis (fosa media).
2) Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus
pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam
dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan
dari dura mater oleh ruangpotensial, disebut spatium subdural dan dari
pia mater oleh spatiumsubarakhnoid yang terisi oleh liquor
serebrospinalis.4 Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan
akibat cedera kepala.

3) Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. 3 Pia mater
adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak,
meliputi gyri dan masukkedalam sulci yang paling dalam. Membran
ini membungkus saraf otak danmenyatu dengan epineuriumnya.
Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otakjuga diliputi oleh pia
mater.6

d. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat
padaorangdewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu;
proensefalon (otakdepan) terdiri dari serebrum dan diensefalon,
mesensefalon (otak tengah) danrhombensefalon (otak belakang) terdiri
dari pons, medula oblongata danserebellum retikular yang berfungsi
dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat
kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalamfungsi
koordinasi dan keseimbangan.

e. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari
ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari
akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam
sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi
dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS
per hari.

f. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial (terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan
ruang infratentorial (berisi fosa kranii posterior).
g. Vaskularisasi Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuksirkulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan
otot didalamdindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup.
Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus
cranialis.

3. Etiologi
Keadaan ini timbul setelah cedera/ trauma kepala hebat, seperti perdarahan
kontusional yang mengakibatkan ruptur vena yang terjadi dalam ruangan
subdural.
Hematoma subdural akut dapat terjadi pada:1
- Trauma kapitis
- Koagulopati atau penggunaa obat antikoagulan (warfarin, heparin,
hemophilia, kelainan hepar, trombositopeni)
- Perdarahan intracranial nontrauma yang disebabkan oleh aneurisma
serebral, malfromasi arterivena, atau tumor (meningioma atau metastase
dural.
- Pasca operasi (craniotomy, CSF hunting)
- Hipotensi intracranial (setelah lumbar fungsi, anesthesia epidural spinal,
lumboperitoneal shunt)
- Child abuse atau shaken baby sybdrome
- Spontan atau tidak diketahui

Hematoma subdural kronik dapat disebabkan oleh :


- Trauma kepala yang relatif ringan atau pada orang tua dengan serebral
atrofi
- Hematoma subdural akut dengan atau tanpa intervensi operasi
- Spontan atau idiopatik
- Faktor resiko terjadinya hematoma subdural kronik yaitu penggunaan
alkohol kronis, epilepsi, koagulopati, kista arachnoid, terapi antikoagulan
(termasuk aspirin), penyakit kardiovaskular (hipertensi, arteriosklerosis),
trombositopenia, dan diabetes mellitus.
- Pada pasien yang lebih muda, alcoholism, trombositopenia, kelainan
pembekuan, dan terapi antikoagulan oral lebih banyak ditemui. Kista
arachnoid lebih banyak ditemukan pada pasien hematoma subdural
kronik pada pasien usia dibawah 40 tahun. Pada pasien yang lebih tua,
penyakit kardiovaskular dan hipertensi arteri lebih banyak ditemukan,
16% pasien dengan hematoma subdural kronik dalam terapi aspirin.1

4. Patofisiologi
Perdarahan terjadi antara duramater dan arachnoid. Perdarahan dapat terjadi
akibat robeknya ‘bridging veins’ (menghubungkan vena di permukaan otak
dan sinus venosus di dalam duramater) atau karena robeknya arachnoid.
Karena otak yang diselimuti cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan
sinus venosus dalam keadaan terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi
pada trauma, dapat merobek beberapa vena halus pada tempat di mana vena
tersebut menembus duramater. Perdarahan yang besar akan menimbulkan
gejala-gejala akut menyerupai hematoma epidural.7,8,9

Kebanyakan perdarahan subdural terjadi pada konveksitas otak daerah


parietal. Sebagian kecil terdapat di fossa posterior dan pada fisura
interhemisferik serta tentorium atau diantara lobus temporal dan dasar
tengkorak. Perdarahan subdural akut pada fisura interhemisferik pernah
dilaporkan, disebabkan oleh ruptur vena - vena yang berjalan diantara
hemisfer bagian medial dan falks; juga pernah dilaporkan disebabkan oleh
lesi traumatik dari arteri pericalosal karena cedera kepala. Perdarahan
subdural interhemisferik akan memberikan gejala klasik monoparesis pada
tungkai bawah. Pada anak-anak kecil perdarahan subdural di fisura
interhemisferik posterior dan tentorium sering ditemukan karena goncangan
yang hebat pada tubuh anak (shaken baby syndrome).7,8,9
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya akan
terbentuk jaringan ikat yang menyerupai kapsula. Gumpalan darah lambat
laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung sehingga
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intrakranial yang
meningkat secara perlahan-lahan.

Hematoma subdural kronik umumnya berasosiasi dengan atrofi cerebral.


Bridging vein dianggap dalam tekanan yang lebih besar bila volume otak
mengecil, sehingga walaupun hanya mengalami trauma ringan dapat
menyebabkan terjadinya robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi
secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, keadaan ini
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis
muncul. Karena perdarahan yang timbul berlangsung perlahan, maka lucid
interval juga berlangsung lebih lama dibandingkan pada perdarahan
epidural, berkisar dari beberapa jam sampai beberapa hari. Pada hematoma
subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang spontan. Pada hematoma
yang besar biasanya menyebabkan terbentukknya membran atau kapsula
baik pada bagian dalam dan bagian luar dari hematoma tersebut. Perdarahan
berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang peranan
penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan
subdural kronik. 7,8,9

Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan intrakranial


dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intrakranial dikompensasi
oleh efluks dari cairan cerebrospinal ke axis spinal dan dikompresi oleh
sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi relatif
perlahan karena komplains tekanan intrakranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial
mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi
iskemik serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau
subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. Pada hematoma subdural kronik,
didapatkan juga bahwa aliran darah ke thalamus dan ganglia basalia lebih
terganggu dibandingkan dengan daerah otak yang lainnya.7,8,9

Terdapat 2 teori yang menjelaskan terjadinya perdarahan subdural kronik,


yaitu teori dari Gardner yang mengatakan bahwa sebagian dari bekuan darah
akan mencair sehingga akan meningkatkan kandungan protein yang terdapat
di dalam kapsul dari subdural hematoma dan akan menyebabkan
peningkatan tekanan onkotik didalam kapsul subdural hematoma. Karena
tekanan onkotik yang meningkat inilah yang mengakibatkan pembesaran
dari perdarahan tersebut. Tetapi ternyata ada kontroversial dari teori
Gardner ini, yaitu ternyata dari penelitian didapatkan bahwa tekanan
onkotik di dalam subdural kronik ternyata hasilnya normal yang mengikuti
hancurnya sel darah merah. Teori yang ke dua mengatakan bahwa terjadi
perdarahan berulang yang dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan
subdural kronik. Faktor angiogenesis juga ditemukan dapat meningkatkan
terjadinya perdarahan subdural kronik, karena turut memberi bantuan dalam
pembentukan peningkatan vaskularisasi di luar membran atau kapsula dari
subdural hematoma. Level dari koagulasi, level abnormalitas enzim
fibrinolitik dan peningkatan aktivitas dari fibrinolitik dapat menyebabkan
terjadinya perdarahan subdural kronik. 7,8,9

Penyembuhan pada perdarahan subdural dimulai dengan terjadinya


pembekuan pada perdarahan. Pembentukan skar dimulai dari sisi dura dan
secara bertahap meluas ke seluruh permukaan bekuan. Pada waktu yang
bersamaan, darah mengalami degradasi. Hasil akhir dari penyembuhan
tersebut adalah terbentuknya jaringan skar yang lunak dan tipis, yang
menempel pada dura. Sering kali, pembuluh darah besar menetap pada skar,
sehingga mengakibatkan skar tersebut rentan terhadap perlukaan berikutnya
yang dapat menimbulkan perdarahan kembali. Waktu yang diperlukan untuk
penyembuhan pada perdarahan subdural ini bervariasi antar individu,
tergantung pada kemampuan reparasi tubuh setiap individu sendiri. 7,8,9
5. Klasifikasi
a. Hematoma Subdural Akut
Hematoma subdural dengan gejala yang timbul segera kurang dari 48
jam setelah trauma. Terjadi pada cedera kepala yang cukup berat
sehingga dapat mengakibatkan perburukan lebih lanjut pada pasien, serta
baik kesadaran maupun tanda vital sudah terganggu. Perdarahan dapat
kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran CT scan
didapatkan lesi hiperdens.8,10,11

b. Hematoma Subdural Subakut


Hematoma subdural yang berkembang dalam beberapa hari, sekitar 2
sampai 14 hari sesudah trauma. Awalnya pasien mengalami periode tidak
sadar, kemudian mengalami perbaikan status neurologi yang bertahap.
Namun, setelah jangka waktu tertentu penderita akan memperlihatkan
tanda-tanda status neurologis yang memburuk. Sejalan dengan
meningkatnya tekanan intrakranial, pasien menjadi sulit dibangunkan dan
tidak berespon terhadap rangsang nyeri atau verbal. Pada tahap
selanjutnya dapat terjadi sindrom herniasi dan menekan batang otak.
Pada gambaran CT scan didapatkan lesi isodens atau hipodens. Lesi
isodens ini diakibatkan oleh terjadinya lisis dari sel darah merah dan
resorbsi dari hemoglobin. 8,10,11

c. Hematoma Subdural Kronik


Hematoma subdural yang terjadi pada 2 sampai 3 minggu setelah trauma
atau lebih. Gejala umumnya muncul dalam waktu berminggu-minggu
ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas.
Bahkan karena benturan ringanpun dapat mengakibatkan perdarahan
subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau
gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik,
hematoma atau perdarahan yang terjadi lama kelamaan dapat membesar
secara perlahan-lahan, yang pada akhirnya mengakibatkan penekanan
dan herniasi.

Pada hematoma subdural kronik, terdapat kapsula jaringan ikat yang


terbentuk mengelilingi hematoma. Pada hematoma yang lebih baru,
kapsula jaringan ikat masih belum terbentuk atau dalam ukuran yang
masih tipis di daerah permukaan arachnoid. Kapsula ini mengandung
pembuluh darah dengan dinding yang tipis, terutama pada sisi duramater.
Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembus
dinding ini dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah
ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan
meningkatnya volume hematoma. 8,10,11

Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat


menghisap cairan dari ruangan subarachnoid. Hematoma akan membesar
dan menimbulkan gejala seperti pada tumor serebri. Sebagaian besar
hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50
tahun. Pada gambaran CT scan didapatkan lesi hipodens. 8,10,11

6. Manifestasi Klinis
Gambaran klinis ditentukan oleh dua faktor: beratnya cedera otak yang
terjadi pada saat benturan trauma dan kecepatan pertambahan volume
hematoma. Penderita dengan trauma berat dapat menderita kerusakan
parenkim otak difus yang menybabkan pasien tidak sadar dengan tanda-
tanda gangguan batang otak. Penderita dengan hematoma subdural yang
lebih ringan akan sadar kembali pada derajat kesadaran tertentu sesuai
dengan beratnya benturan trauma pada saat terjadi kecelakaan (initial
impact). Keadaan berikutnya akan ditentukan oleh kecepatan pertambahan
hematoma dan penanggulangannya. Pada penderita dengan benturan trauma
yang ringan tidak akan kehilangan kesadaran pada waktu terjadinya trauma.
Terdapatnya hematoma subdural dan lesi massa intrakranial lainnya yang
dapat membesar harus dicurigai bila ditemukan penurunan kesadaran setelah
terjadinya trauma.9,11
Gejala-gejala klinis yang terjadi pada hematoma subdural, sebagai akibat
cedera otak primer dan tekanan oleh massa hematoma. Pupil anisokor dan
defisit motorik adalah gejala klinik yang paling sering ditemukan. Lesi
pasca trauma baik hematoma atau lesi parenkim otak umumnya terletak
ipsilateral terhadap pupil yang melebar dan kontralateral terhadap defisit
motorik. Akan tetapi, gambaran pupil dan gambaran defisit motorik tidak
merupakan indikator yang mutlak dalam menentukan letak hematoma.
Gejala defisit motorik dapat tidak sesuai bila kerusakan parenkim otak
terletak kontralateral terhadap hematoma subdural atau karena terjadi
kompresi pedunkulus serebri yang kontralateral pada tepi bebas tentorium.
Trauma langsung pada saraf okulomotor atau batang otak pada saat terjadi
trauma menyebabkan dilatasi pupil kontralateral terhadap trauma.
Perubahan diamater pupil ini lebih dipercaya sebagai indikator letak
hematoma subdural.

Secara umum, gejala yang terjadi pada hematoma subdural seperti pada
tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penurunan kesadaran. Penurunan
kesadaran pada hematoma subdural tidak begitu hebat seperti kasus cedera
neuronal primer, kecuali apabila terdapat efek massa atau lesi lainnya.
Gejala yang timbul tidak khas dan merupakan manisfestasi dari peningkatan
tekanan intrakranial seperti: sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil
edema, diplopia akibat kelumpuhan N. III, epilepsi, pupil anisokor, dan
defisit neurologis lainnya. 9,11

a. Hematoma Subdural Akut


Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologik dalam 24
sampai 48 jam pasca trauma. Keadaan ini berkaitan erat dengan trauma
otak berat. Gangguan neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada
jaringan otak dan herniasi batang otak dalam foramen magnum, yang
selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak. Keadan ini dengan
cepat menimbulkan berhentinya pernapasan dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah. 9,12,13
b. Hematoma Subdural Subakut
Hematoma ini menyebabkan defisit neurologik dalam waktu lebih dari 48
jam tetapi kurang dari 2 minggu setelah trauma. Seperti pada hematoma
subdural akut, hematoma ini juga disebabkan oleh perdarahan vena
dalam ruangan subdural. Anamnesis klinis dari penderita hematoma ini
adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang perlahan-lahan.
Namun dalam jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda-
tanda status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran mulai
menurun perlahan-lahan dalam beberapa jam. Dengan meningkatnya
tekanan intrakranial seiring pembesaran hematoma, penderita mengalami
kesulitan untuk tetap sadar dan tidak memberikan respon terhadap
rangsangan bicara maupun nyeri. Pergeseran isi intrakranial dan
peningkatan intrakranial yang disebabkan oleh akumulasi darah akan
menimbulkan herniasi sentral dan melengkapi tanda-tanda neurologik
dari kompresi batang otak. 9,12,13
c. Hematoma Subdural Kronik
Timbulnya gejala pada umumnya tertunda beberapa minggu, bulan dan
bahkan beberapa tahun setelah cedera pertama. Trauma pertama merobek
salah satu vena yang melewati ruangan subdural. Terjadi perdarahan
secara lambat dalam ruangan subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah
perdarahan terjadi, darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Dengan
adanya selisih tekanan osmotik yang mampu menarik cairan ke dalam
hematoma, terjadi kerusakan sel-sel darah dalam hematoma. Penambahan
ukuran hematoma ini yang menyebabkan perdarahan lebih lanjut dengan
merobek membran atau pembuluh darah di sekelilingnya, menambah
ukuran dan tekanan hematoma. 9,12,13

Hematoma subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering


terjadi pada usia lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada
kedua keadaan ini, trauma yang terjadi dianggap ringan, sehingga selama
beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hematoma subdural pada
bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena tulang
tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil
pada dewasa seringkali diserap secara spontan.
Hematoma subdural yang besar, yang menyebabkan gejala-gejala
neurologis seperti: 9,12,13
- Sakit kepala yang menetap
- Rasa mengantuk yang hilang-timbul
- Aphasia
- Perubahan ingatan
- Kelumpuhan atau keluhan sensorik ringan pada sisi tubuh yang
berlawanan.

7. Diagnosis
a. Anamnesis
Trauma akut subdural hematoma sering terjadi sebagai akibat dari jatuh,
kekerasan, atau kecelakaan kendaraan bermotor. Kecurigaan terhadap
terjadinya subdural hematom akut muncul kapapun ketika pasien
mengalami trauma tumpul derajat sedang hingga berat. Gambaran
klinisnya akan tergantung pada lokasi lesi dan perkembangan dari lesi
tersebut.

Sering ditemukan, pasien dalam keadaan menuju koma setelah kejadian.


Beberapa pasien dalam keadaan sadar, dan yang lainnya dalam masa
perburukan yang muncul perlahan seiring perluasan hematoma. Pasien
yang usia tua rentan mengalami subdura hematoma akut dibanding
pasien lain yang mengalami trauma. Pada sebuah studi menunjukkan
rerata umur pasien yang mengalami trauma tetapi tanpa kejadian subdura
hematoma akut adalah 26 tahun, sedangkan rerata umur yang mengalami
subdural hematom akut adalah 41 tahun. Oleh karena itu pasien usia tua
menjadi resiko tersendiri untuk kemunculan subdural hematom akut
setelah cedera kepala.14 Hal ini diperkirakan terjadi karena pada pasien
tua memiliki otak yang lebih atrofi, sehingga mengakibatkan robekan
yang lebih mudah terjadi pada bridging vein segera setelah cedera kepala
terjadi.14

Subdura hematoma subakut ditegakan sebagai SDH yang muncul antara


4 hingga 21 hari setelah cedera kepala terjadi. SDH kronik ditentukan
sebagai SDH yang muncul pada 21 hari atau lebih setelah cedera terjadi.
Angka – angka tersebut tidaklah absolute, klasifikasi SDH yang lebih
akurat jika menggunakan CT-scan.15

Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik dengan


jejas dikepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu diteliti ada tidaknya
kehilangan kesadaran atau pingsan. Jika ada pernah atau tidak penderita
kembali pada keadaan sadar seperti semula. Jika pernah apakah tetap
sadar seperti semula atau turun lagi kesadarannya, dan diperhatikan
lamanya periode sadar atau lucid interval. Untuk tambahan informasi
perlu ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya
trauma kepala.11,16

Kepentingan mengetahui muntah dan kejang adalah untuk mencari


penyebab utama penderita tidak sadar apakah karena inspirasi atau
sumbatan nafas atas, atau karena proses intra kranial yang masih
berlanjut. Pada penderita sadar perlu ditanyakan ada tidaknya sakit
kepala dan mual, adanya kelemahan anggota gerak salah satu sisi dan
muntah-muntah yang tidak bisa ditahan. Ditanyakan juga penyakit lain
yang sedang diderita, obat-obatan yang sedang dikonsumsi saat ini, dan
apakah dalam pengaruh alkohol.11,16

b. Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey) yang
mencakup jalan nafas (airway), pernafasan (breathing) dan tekanan darah
atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi. Jalan nafas
harus dibersihkan apabila terjadi sumbatan atau obstruksi, bila perlu
dipasang orofaring tube atau endotrakeal tube lalu diikuti dengan
pemberian oksigen. Hal ini bertujuan untuk mempertahankan perfusi dan
oksigenasi jaringan tubuh. Pemakaian pulse oksimetri sangat bermanfaat
untuk memonitor saturasi O2. Secara bersamaan juga diperiksa nadi dan
tekanan darah untuk memantau apakah terjadi hipotensi, syok atau
terjadinya peningkatan tekanan intrakranial. Jika terjadi hipotensi atau
syok harus segeradilakukan pemberian cairan untuk mengganti cairan
tubuh yang hilang. Terjadinya peningkatan tekanan intrakranial ditandai
dengan Cushing respon yaitu peningkatan tekanan darah, bradikardia dan
bradipnea.17,18 Pemeriksaan neurologis yang meliputkankesadaran
penderita dengan menggunakan. Skala GCS, pemeriksaan diameter
kedua pupil, dan tanda-tanda defisit neurologis fokal. Pemeriksaan
kesadaran dengan Skala GCS menilai kemampuan membuka mata,
respon verbal dan respon motorik pasien terhadap stimulasi verbal atau
nyeri (merupakan fungsi ARAS, batang otak dan kortes).18 Pemeriksaan
diameter kedua pupil dan adanyadefisit neurologi fokal menilai apakah
telah terjadi herniasi di dalam otak dan terganggunya sistem
kortikospinal di sepanjang kortex menuju medula spinalis.Pada
pemeriksaan sekunder, dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi
GCS, lateralisasi dan refleks pupil. Hal ini dilakukan sebagai deteksi dini
adanya gangguan neurologis. Tanda awal dari herniasi lobus temporal
(unkus) adalah dilatasi pupil dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
Apabila terjadi trauma langsung pada mata membuat pemeriksaan
menjadi lebih sulit.
Tanda dan Gejala pada Hematoma Subdural23
Gejala Umum (sering) Gejala Ringan (sering) Gejala Akut/Berat (jarang)
Sakit kepala Konfusi Hemiplegi
Tampak lelah Gangguan gaya jalan Afasia
Mual/Muntah Penurunan keadaan Kejang
mental
Vertigo Kesulitan berbicara Koma
Kelemahan anggota gerak
Inkontinensia

8. Diagnosis Banding17
a. Stroke
b. Encephalitis
c. Abses otak 
d. Adverse drugs reactions
e. Tumor otak 
f. Perdarahan subarachnoid
g. Hydrocephalus

9. Pemeriksaan Penunjang
Setelah memeriksa riwayat pasien, termasuk riwayat jatuh
sebelumnya,cedera kepala minor, onset dan perjalanan gejala klinis,
penyakit kardiovaskular, gangguan pendarahan, pengobatan,penggunaan
alkohol atau obat-obatan terlarang; pemeriksaan fisik; dan pemeriksaan
darah; imaging otak perlu dilakukan untuk mendapatkan diagnosis pasti.
CT-scan (Computed Tomography scan) adalah modalitas imaging yang
paling baik untuk evaluasi awal cSDH.19,20

Sesuai dengan teori, sebagai kelanjutan dari traumatic brain injury,


kontusio pada otak disertai dengan LCS dan darah yang mengalir keluar ke
dalam ruang subdural dari ruang subarachnoid pada korban cedera kepala
sedang, sedangkan robekan arachnoid disekitar bridging vein menyebabkan
akumulasi sedikit cairan LCS dan darah pada korban dengan cedera kepala
ringan pada subdural.Pada CT scan kepala, klot terlihat berwarna cerah atau
densitas yang bercampur, berbentuk blan sabut (lunate),memiliki batas yang
jelas, dan tidak melewati garis tengah karena terdapat falx cerebri. Sebagian
besar SDH terjadi pada permukaan hemisfer otak, tetapi terkadang dapat
juga muncul antara hemisphere atau lapisan diatas tentorium.Densitas
hematoma bervariasi tergantung dari stadium evolusi hematoma. Sebuah
SDH akut (< 3 hari; gambaran hiperden pada CT -scan polos), berlanjut
hingga sekitar 3 minggu menjadi SDH subakut (3- 3minggu; gambaran
isoden pada CT scan polos), dan akhirnya menjadi SDH kronis (>3 minggu;
gambaran hipoden pada CT scan polos)

Terkadang dapat juga ditemukan SDH campuran dimana terdapat gambaran


SDH akut, subakut, dan kronis. Perhatian khusus pada gambaran isoden dari
SDH subakut karenadapat terlewat saat awal pemindaian. Magnetic
resonance imaging (MRI) memiliki tingkat keakuratan lebih baik daripada
CT scan; ketebalan hematoma dapat diukur secara tepatsehingga gambaran
isoden dan SDH kronis yang kecil lebih mudah dikenali. Pada hampir
semua kasus, membran hematoma dapat dideteksi oada MRI, tetapi hanya
27% dapat ditemukanpada CT scan.20

Meskipun begitu CTscan tetap pilihan yang paling sering digunakan dalam
menegakkan diagnosis SDH karena harganya yang lebih murah, mudah di
akses, dan lebih cepat. Ketika menggunakan MRI, pemeriksaan ini
berfungsi untuk menggambarkan batas SDH kronis dan menentukkan
struktur yang terdapat didalam hematoma.20

10. Penatalaksanaan
a. Operasi
Indikasi :
Sebuah operasi disarankan hanya jika perubahan yang signifikan terjadi
terhadap status neurologis.Penatalaksanaan terhadap pasien SDH kronis
dengan kompressi pada otak dan midlineshift, tetapi tidak terdapat gejala
neurologis masih merupakan hal yang controversial.
- Sebuah SDH akut dengan ketebalan >10mm atau midline shift >5mm
pada CT scan dapat dilakukan pembedahan evakuasi klot, tanpa melihat
GCS pasien. (surgical guideline)
- Semua pasien dengan SDH akut pada keadaan koma (GCS kurangdari 9)
harus dilakukan monitor tekanan intracranial.
- Pasien koma (GCS kurang dari 9 ) dengan ketebalan SDH < 10 mm dan
midline shift < 5mm perlu mendapat pembedahan evakuasi klot jika skor
GCS berkurang dan/atau pasien menunjukkan pupil yang anisokor
dan/atau ICP yang lebih dari 20mmHg.22

Metode Operasi
Banyak metoda operasi yang telah dijalankan untuk melakukaan evakusai
terhadap SDH. Metoda yang paling sering dilakukan adalah:
- Twist drill Trephination/Craniostomy procedure
TDC (Twist Drill Craniostomy) dapat dilakukan pada ruangan rawat
dibawah anatesi local, kemudahan ini menjadikan teknik ini pilihan
untuk pasien yang terutama memiliki polimorbid dengan kemungkinan
hasil operasi yang buruk. Sebuah sistem drainase tertutupdiletakkan saat
operasi untuk menyediakan drainase yang kontinyu dan memberikan
brain expansion setelah operasi.23TDC dilakukan dengan membuat
lubang kecil berukuran 10mm pada tengkorak. TDC sangat efektif pada
kasus dimana hematoma sudah menjadi cair dan tidak ada membrane
yang menyelubungi.24

- Burr Hole Craniotomy


BHC (Burr Hole Craniotomy) adalah sebuah metoda yang paling sering
digunakan untuk SDH kronis.25 Burr holes dimaksudkan untuk
mengevakuasi SDH secaracepat dengan lokal anestesi. BHC dilakukan
dengan membuat lubang kecil berukuran 30mm pada tengkorak.25 Pada
saat akut tindakan ini sulit untuk dibenarkan karena dengan trepanasi
sukar untuk mengeluarkan keseluruhan hematoma yang biasanya solid
dan kenyal apalagi kalau volume hematoma cukup besar. Lebih dari
seperlima penderita SDH akut mempunyai volume hematoma lebih dari
200 ml.18

- Craniotomy with or without craniectomy


Craniotomy memaparkan sebagian besar bagain dari otak sehingga
memberikan dokter bedah kesempatan untuk bekerja pada area operasi
yang luas. Metoda ini juga merupakan metoda yang paling invasif,
karena lamanya durasi operasi, besarnya jumlah darah yang keluar, dan
banyaknya komplikasi yang dapat terjadi. Sebagian besar dokter bedah
sekarang,setuju untuk melakukan craniotomy hanya jika terdapat
rekumulasi pada subdural, hametoma yang padat atau terkalsifikasi,
kegagalan otak untuk mengembang dan menutup ruang subdural, atau
terdapat membran yang tebal.25,26 Pada craniostomy dibuat sebagian
tulang tengkorak akan diangkat (>30mm) lalu dilakukan evakuasi
hematom, tulang yang diangkat tadi diganti dan mejadikan suatu defek
pada tulang tengkorak. Atau dapat juga dilakukan craniectomy, dimana
bagian tengkorak yang dianagkat akan ditanam pada peritoneum, sambil
menunggu hilangnya edema pada otak, lalu setelh itu ditanam kembali ke
lokasi asalnya.26
- Subtemporal decompressive craniectomy
- Large decompressive hemicraniectomy, with or without dural grafting
Pemilihan teknik operasi dipengaruhi oleh keahlian, keterampilan, dan
elvauasi yang dimiliki dari masing-masing dokter bedah pada situasi
tertentu.21

b. Terapi Konservatif
Terapi konservatif merupakan terapi yang diberikan untuk pasien yang
asimtomatik, pasien yang menolak tindakan operasi,atau pasien yang
memiliki resiko tinggi untuk dilakukan operasi.25 Meskipun metoda drainase
operatif menjadi pilihan terapi yang efektif untuk SDH kronis tetapi
beberapa kasus dapat terjadi reabsorbsi spontan dari SDH kronis.25

Oleh karena itu gejala – gejala yang muncul pada pasien akan menentukan
terapi konservatif yang akan diberikan. Jika dilihat dari gejala klinis yang
muncul seperti hematoma tanpa efek massa yang signifikan, dan ada
tidaknya tanda – tanda yang menunjukkan herniasi transtentorial seperti
abnormalitas pada pupil, memberikan tanda kepada tenaga medis untuk
mempersiapkan terapi konservatif untuk pasien tersebut.. Selain itu
pertimbangan terakhir dilihat pada umur pasien, secara statistik umur
memberikan perbedaan hasil secara signifikan terhadap terapi. Sehingga
secara umum terapi konservatif dapat diberikan pada pasien dengan:27
- Ketebalan hematoma tidak melebihi ketebalan tulang (10mm)
- Terdapat sedikit midline shift atau efek massa yang kecil
- Pupil masih dalam keadaan normal atau kembali normal dengan cepat
- Umur pasien kurang dari 40 tahun.

Beberapa Tindakan yang biasa digunakan pada terapi konservatif seperti:


- Koreksi faal hemostasi
Beberapa pasien dengan cedera kepala berat munucl dengan koagulopati
dan memerlukan suatu penyesuaian kembali profil koagulasinya. 28
Perbaikan terhadap faal hemostasis sangatlah penting pada semua psien
dengan subdural hematoma. Semua pasien yang sedang dalam
pengobatan antikoagulasi harus menghentikan penggunaan antiplatelet
atau antikoagulan. Selain itu setiap pasien harus dilakukan pemeriksaan
serial PT (Prothrombin Time), PTT (partial thromboplastin time), INR,
dan level platelet dan fibrinogen.
- Kortikosteroid
Pada kasus SDH kronis, proses inflamasi dan angiogenesis menjadi
faktor penting dalam patofisologi SDH kronis, factor tersebut seperti :
Tissue plasminogen activator, Il-6,IL-8 dan VEGF. Faktor - faktor
inflamasi dan angiogenesis ini terbukti dihambat oleh kortikosteroid.25
- Penatalaksanaan tekanan intrakranial
Tengkorak merupakan sebuah ruang tertutup yang dibentuk oleh tulang
yang terfixiri dan kokoh. Volume dari ruang tengkorak ini dapat
dijelaskan menggunakan doktrin Monroe-Kellie yang menyatakan
hubungan antara volume otak, cairan likuor cerebrospinal, dan aliran
darah dikepala sebagai pembentuk volume intrakranial.29

Vol. Intrakaranial ( konstan) = Vol. Otak + Vol.LCS + Vol. Darah

Sesuai doktrin tersebut, maka jika ada saja salah satu dari volume
tersebut meningkat, maka volume lain akan terdesak dan akhirnya
tekanan intrakranial akan segera meningkat. Peningkatan tekanan
intrakranial ini akan meningkatkan CVR(Cerebro Vascular Resistant)
sehingga akan mengurangi Cerebral Blood Flow. Rendahnya aliran darah
ke otak akan mengakibatkan turunya cerebral perfusion pressure dan
tubuh akan mengkompensasi keadaan ini dengan Cushing response.29
CPP (Cerebral Perfusion Pressure) = MAP (Mean Arterial Pressure) -
ICP (Intracranial Pressure)

Sesuai dengan Cushing response, maka tubuh akan berusaha


mempertahankan tekanan perfusi dengan meningkatkan MAP, sehingga
tekanan darah akan meningkat disetai dengan bradikardia, dan bradipnea.
Oleh karena itu untuk mempertahankan aliran darah ke otak yang
adekuat diperlukan suatu keadaan dimana tekanan perfusi otak bernilai
sekita 60-70 mmHg dan tekanan intrakranial <20mmHg.30 Beberapa
upaya yang bisa di lakukan untuk mencegah dan mengurangi
peningkatan tekanan intrakranial dengan:30
- Posisi head up 30 derajat, atau dengan posisi reverse tredelenberg jika
terdapat intsabilitas spinal
- Hiperventilasi hingga Pco2 berkisar 30-35 mmHg (dapat dimonitor
dengan analisis gas darah serial)31
- Menggunakan osmotic terapi menggunakan manitol 1-2 g/kg BB,
untuk membalikkan gradient osmotic intravascular, sehingga beban
cairan akan ditarik masuk kedalam ruang intravaskular. Sebelum
memilih menggunakan manitol perlu untuk mengetahui fungsi ginjal
pasien.
- Pada pasien yang gelisah dan agitasi akan meningkatkan tekanan
intrakranial,oleh karena itu pemberian obat-obatan sedasi atau
analgesia akanmengurangi kecemasan , ketakutan dan respon terhadap
nyeri berupa postural spontan yang merupakan factor yang
mempengaruhi peningkatan tekanan intrakranial. Hal ini dapat
ditangani dengan menggunakan morphine 2-5 mg/kg/jam dan
vecuronium 10 mg/jam
- Hipothermia (32-330C) dengan selimut pendingin.32
- Pertimbangkan untuk memberikan profilaksis anti kejang dengan
phenytoin 18 mg/kg IV dengan kecepatan < 50mg /menit.33
- Drainase LCS merupakan tindakan paling efektif untuk menururnkan
TIK, dengan metoda operatif ventriculostomy (burr hole).
c. Prognostik
Tidak semua perdarahan subdural bersifat letal. Pada beberapa
kasus, perdarahan tidak berlanjut mencapai ukuran yang dapat
menyebabkan kompresi pada otak, sehingga hanya menimbulkan gejala-
gejala yang ringan. Pada beberapa kasusyang lain, memerlukan tindakan
operatif segera untuk dekompresi otak.Tindakan operasi pada hematoma
subdural kronik memberikan prognosisyang baik, karena sekitar 90 % kasus
pada umumnya akan sembuh total.23Hematoma subdural yang disertai lesi
parenkim otak menunjukkan angka mortalitas menjadi lebih tinggi dan berat
dapat mencapai sekitar 50 %.Pada penderita dengan perdarahan subdural
akut yang sedikit (diameter < 1cm), prognosanya baik. Sebuah penelitian
menemukan bahwa 78% dari penderita perdarahan subdural kronik yang
dioperasi (burr-hole evacuation) mempunyai prognosa baik dan
mendapatkan penyembuhan sempurna.16,23 Perdarahan subdural akut yang
sederhana (simple SDH) ini mempunyai angka mortalitas lebih kurang
20%.Perdarahan subdural akut yang kompleks (complicated SDH) biasanya
mengenai parenkim otak , misalnya kontusio atau laserasi dari serebral
hemisfer disertai dengan volume hematoma yang banyak. Pada penderita ini
mortalitas melebihi 50% dan biasanya berhubungan dengan volume
subdural hematoma dan jauhnya midline shift. Akan tetapi, hal yang paling
penting untuk meramalkan prognosa ialah ada atau tidaknya kontusio
parenkim otak.Angka mortalitas pada penderita dengan perdarahan subdural
yang luas dan menyebabkan penekanan (mass effect) terhadap jaringan otak,
menjadi lebih kecil apabila dilakukan operasi dalam waktu 4 jam setelah
kejadian. Walaupun demikian bila dilakukan operasi lebih dari 4 jam setelah
kejadian tidaklah selalu berakhir dengan kematian.Pada kebanyakan kasus
SDH akut, keterlibatan kerusakan parenkim otak merupakan faktor yang
lebih menentukan prognosa akhir (outcome) daripada tumpukan hematoma
ekstra axial di ruang subdural. Derajat kesadaran pada waktu akan dilakukan
operasi adalah satu-satunya faktor penentu terhadap prognosa akhir
(outcome) penderita SDH akut.14 Penderita yang sadar pada waktu dioperasi
mempunyai mortalitas 9% sedangkan penderita SDH akut yang tidak sadar
pada waktu operasi mempunyai mortalitas 40% - 65%. Abnormalitas pupil,
bilateral midriasis berhubungan dengan mortalitas yang sangat tinggi. Pada
penderita SDH akut dengan kombinasi refleks okulo-sefalik negatif, relfleks
pupil bilateral negatif dan postur deserebrasi, hanya mempunyai functional
survival sebesar 10%.23
DAFTAR PUSTAKA

1. Meagher RJ et al. Subdural Hematoma. Last Updated 8 January 2015.


Available from: http://emedicine.medscape.com/article/1137207-overview
[diakses tanggal: 6 November 2015]
2. Campellone JV. Subdural Hematoma. Last Updated 27 July 2014. Available
from: https://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000713.htm [diakses
tanggal: 6 November 2015]
3. BMJ Publishing Group. Subdural Hematoma. Last Updated 26 Augustus 2015.
Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/416/basics/epidemiology.html [diakses tanggal: 6
November 2015]
4. Adhiyaman A, Asghar M, Bowmick BK. Chronic Subdural Hematoma in The
Elderly. Department of Geriatric Medicine, Glan Clwyd District General
Hospital. UK. 2001:71-74
5. Japardi I. Anatmi Tulang Tengkorak. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran
Sumatera Utara. USU Digital Library. 2003:1-7.
6. Pearce EC. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta. PT
Gramedia.2008.
7. Charles, F. 2010. Schwartz’s Principles of Surgery, Edition Ninth. United State
of America: The McGraw-Hill.
8. Gerard, M., 2003, Current Surgical Diagnosis & Treatment, edition eleven,
halaman 837-843.
9. David CA, Arle JE. Trauma to the Brain dalam: Jones HR, Srinivasan J, Allam
GJ, Baker RA. Netter’s Neurology 2nd edition. 2012;13(59) halaman 552-561.
10. Price, Sylvia dan Wilson, Lorraine. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-
proses Penyakit hal 1174-1176. Jakarta: EGC.
11. Sastrodiningrat, A. G. 2006. Memahami Fakta-Fakta pada Perdarahan Subdural
Akut. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39, No.3 Halaman 297- 306. FK
USU: Medan.
12. Suman S, Meenakshisundaram S, Woodhouse P. Bilateral chronic subdural
haematoma: a reversible cause of parkinsonism. J R Soc Med. 2006. 99(2):91-
2.
13. Giray S, Sarica FB, Sen O, Kizilkilic O. Parkinsonian syndrome associated
with subacute subdural haematoma and its effective surgical treatment: a case
report. Neurol Neurochir Pol. 2009. 43(3):289-92.
14. Kotwica Z, Brzezinski J. Acute subdural haematoma in adults: an analysis of
outcome in comatose patients. Acta Neurochir (Wien). 1993. 121(3-4):95-9
15. Morinaga K, Matsumoto Y, Hayashi S, Omiya N, Mikami J, Sato H, et al.
[Subacute subdural hematoma: findings in CT, MRI and operations and review
of onset mechanism]. No Shinkei Geka. 1995 Mar. 23(3):213-6.
16. Heller, J. L., dkk, Subdural Hematoma , MedlinePlus Medical Encyclopedia,
2012.
17. Meagher, R. dkk. Subdural Hematoma , Medscape Reference, 2011.
18. Kaye, A. 2006. Textbook of Surgery Third edition hal 417-425. USA:
Blackwell Publishing.
19. Markwalder TM. Chronic subdural hematomas: a review. J Neurosurg. 1981
May; 54(5):637-45.
20. Senturk S, Guzel A, Bilici A, Takmaz I, Guzel E, Aluclu MU, et al. CT and
MR imaging of chronic subdural hematomas: a comparative study. Swiss Med
Wkly. 2010 Jun 12;140(23-24):335-40.
21. Bullock MR,Chesnut R, Ghajar J, Gordon D,et al. Surgical management of TBI
author group vol.58 number 3,Neurosurgery. 2006.pg :s2-1 - s2-66.
22. Osborn AG BS, Salzman KL, Katzman GL, Provenzale J, Castillo N, Heldlund
GL, Illner A, Harnsberger HR, Cooper JA, Jones BV, Hamilton BE editor.
Diagnostic Imaging Brain. 1st ed. Salt Lake City, Utha, USA: Amirsys; 2004.
23. Soleman J,Taussky P,Fandino J, Muroi C.2014. Evidence-based treatment of
chronic subdural hematoma. INTECH pg.250-271.USA.
24. Ducruet AF, Grobelny BT, Zacharia BE, Hickman ZL, DeRosa PL, Anderson
K, et al. The surgical management of chronic subdural hematoma. Neurosurg
Rev. 2012 Apr; 35(2):155-69; discussion 69.
25. Santarius T, Kirkpatrick PJ, Kolias AG, Hutchinson PJ. Working toward
rational and evidence-based treatment of chronic subdural hematoma. Clin
Neurosurg. 2010;57:112-22.
26. Weigel R, Schmiedek P, Krauss JK. Outcome of contemporary surgery for
chronic subdural haematoma: evidence based review. J Neurol Neurosurg
Psychiatry. 2003 Jul;74(7):937-43.
27. Lee KS,Bae HG,Yun Gyu. Small-sized Acute subdural hematoma: operate or
not.Journal of Korean Medical Science.1992.52-57.
28. Sambavian M. An overview of chronic subdural hematoma: Experience with
2300 urgical cases. Surg Neurol. 1997(47):418-22.
29. Ngoerah, I Gst Ng Gd. Dasar – dasar ilmu penyakit saraf.Airlangga University
Press:Surabaya.1991.
30. Rosner MJ, Rosner SD, Johnson AH. Cerebral perfusion pressure: management
protocol and clinical results. J Neurosurg. 1995;83:949-962.
31. Oertel M, Kelly DF, Lee JH, et al. Efficacy of hyperventilation, blood pressure
elevation, and metabolic suppression therapy in controlling intracranial
pressure after head injury. J Neurosurg. 2002;97:1045-1053
32. Tokutomi T, Morimoto K, Miyagi T, et al. Optimal temperature for the
management of severe traumatic brain injury: effect of hypothermia on
intracranial pressure, systemic and intracranial hemodynamics, and
metabolism. Neurosurgery. 2003;52:102-111.
33. Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al. High-dose barbiturate
control of elevated intracranial pressure in patients with severe head injury. J
Neurosurg. 1988;69:15-23.
34. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Strandar Diagnosa Keperawatan
Indonesia Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
35. Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta Selatan: Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai