Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN TUGAS

PEMANTAUAN TERAPI OBAT

STASE JANTUNG

Pembimbing
Apt. Isti Mutmainah., M.Farm

Disusun Oleh

Ditya Ayu Natalia

(Universitas Ahmad Dahlan)

KELOMPOK B

PRAKTEK PEMBELAJARAN KLINIS


RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING
YOGYAKARTA
2020
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.....................................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUA....................................................................................................1
1.1 Congestif Heart Failure.......................................................................................1
A. Definisi................................................................................................................1
B. Etiologi................................................................................................................1
C. Patofisiologi........................................................................................................2
D. Manifestasi klinis................................................................................................4
E. Tatalaksana Terapi..............................................................................................4
BAB II TUJUAN...............................................................................................................9
BAB III KEGIATAN DAN PENUGASAN...................................................................10
BAB IV ANALISIS LAPORAN.....................................................................................12
4.1 Analisis Riwayat Penggunaan Obat..............................................................12
4.2 Analisis SOAP..............................................................................................14
BAB V PEMBAHASAN................................................................................................16
BAB VI REKOMENDASI..............................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................21
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Jantung...........................................................................................1


Gambar 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung...............................................................................4
Gambar 3.Diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung...........................................8
Gambar 4. Dosis Diuretik Pada Gagal Jantung..........................................................................17
Gambar 5. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung............................................18
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Congestif Heart Failure

A. Definisi
Gagal jantung adalah suatu keadaan dimana jantung tidak dapat memompa
darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. Gagal jantung kongestif adalah
gagal jantung kanan dan kiri. Gagal jantung kanan terjadi kelainan yang
melemahkan pada ventrikel kanan seperti hipertensi pulmonal primer/sekunder,
tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang
menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis.
Sedangkan pada gagal jantung kiri terjadi akibat kelemahan pada ventrikel kiri,
meningkatkan tekanan vena pulmonal dan paru menyebabkan pasien sesak nafas
dan ortopnea [ CITATION Sar16 \l 1057 ] . Adapun gagal jantung dapat
diklasifikasikan, sebagai berikut [CITATION PER151 \t \l 1057 ] :

Gambar 1. Klasifikasi Gagal Jantung


B. Etiologi
Penyebab umum gagal jantung adalah rusaknya atau berkurangnya massa otot
jantung karena iskemi akut atau kronik, peningkatan resistensi vaskuler karena
hipertensi, atau karena takiaritmia yaitu ritme jantung abnormal (misalnya
fibrilasi atrial). Selain itu berdasarkan beberapa penelitian yang ada, penyebab
terjadinya gagal jantung pada usia lanjut adalah infeksi, diabetes, anemia,
penyakit tiroid, penyakit paru-paru, dan terlalu banyak cairan tubuh [ CITATION
Erv14 \l 1057 ].

C. Patofisiologi
Beberapa mekanisme yang mempengaruhi progresivitas gagal jantung, antara
lain mekanisme neurohomonal yang meliputi aktivasi sistem saraf simpatis,
aktivasi sistem renin-angiotensin dan perubahan vaskuler perifer serta remodeling
ventrikel kiri, yang semuanya berperan mempertahankan homeostasis [ CITATION
Erv14 \l 1057 ] [CITATION PER151 \t \l 1057 ].
1) Aktivasi sistem saraf simpatik
Aktivasi sistem saraf simpatik terjadi bersamaan dengan berkurangnya
tonus parasimpatik. Pada keadaan ini, terjadi penurunan inhibisi refleks
baroreseptor arterial atau kardiopulmoner. Reseptor ini berfungsi menurunkan
tekanan darah. Di sisi lain terjadi peningkatan eksitasi kemoreseptor perifer
nonbarorefleks dan metaboreseptor otot, akibatnya meningkatkan tonus
simpatis dan pengurangan tonus parasimpatis dengan hasil akhir penurunan
denyut jantung dan peningkatan resistensi vaskuler perifer. Peningkatan
aktivasi reseptor simpatis β-adrenergik meningkatkan denyut jantung dan
kekuatan kontraksi miokard yang berakibat peningkatan curah jantung.
Peningkatan aktivitas ini menyebabkan stimulasi reseptor α-adrenergik
miokard yang menyebabkan inotropik positif dan vasokonstriksi arteri perifer.
Meskipun norepinefrin meningkatkan kontraksi dan relaksasi serta
mempertahankan tekanan darah, hal ini justru menyebabkan kebutuhan energi
miokard akan bertambah sehingga memperburuk iskemi saat distribusi oksigen
terbatas. Penambahan arus adrenergik dari sistem saraf pusat akan
menyebabkan ventricular tachycardia atau sudden cardiac death.
2) Aktivasi sistem renin-angiotensin (reninangiotensin system, RAS)
Mekanisme aktivasi RAS pada gagal jantung meliputi hipoperfusi renal,
penurunan filtrasi Natrium ketika mencapai makula densa, dan peningkatan
stimulasi simpatik di ginjal yang berakibat pelepasan renin dari apparatus
jukstaglomerular. Renin ini kemudian berikatan dengan angiotensinogen yang
disintesis di hati untuk membentuk angiotensin I. Angiotensin converting
enzyme (ACE) berikatan dengan angiotensin I membentuk angiotensin II.
Angiotensin II akan meningkatkan efeknya setelah berikatan dengan
reseptor AT1 dan AT2 . AT1 banyak berlokasi pada saraf miokard sementara
AT2 pada fibroblas dan interstitial. Aktivasi reseptor AT 1 menyebabkan
vasokonstriksi, pertumbuhan sel, sekresi aldosteron, dan pelepasan
katekolamin; sementara aktivasi reseptor AT2 menyebabkan vasodilatasi,
inhibisi pertumbuhan sel, natriuresis dan pelepasan bradikinin.
3) Perubahan neurohormonal vaskuler perifer
Pada pasien gagal jantung, terjadi interaksi kompleks antara sistem saraf
otonom dengan mekanisme autoregulasi lokal yang bertujuan mempertahankan
suplai darah ke otak dan jantung, sementara mengurangi suplai ke kulit, otot
rangka, organ splanknik dan ginjal; semua itu akibat pelepasan norepinefrin
sebagai vasokonstriktor yang poten, natriuretic peptides, NO, bradikinin, PGI2
serta PGE2. Bagi jantung, peningkatan tonus simpatis ini bertujuan
mempertahankan tekanan arteri, sementara stimulasi simpatik pada vena
menyebabkan peningkatan tonus vena untuk mempertahankan venous return
dan pengisian ventrikel untuk mempertahankan hukum Starling. Seharusnya
pada keadaan normal, pelepasan NO terus-menerus akan menyebabkan
“counter-response” yakni vasodilatasi, namun hal ini tidak terjadi pada gagal
jantung stadium lanjut.
4) Remodelling ventrikel kiri
Gagal jantung yang disebabkan oleh penurunan fungsi ventrikel kiri
menyebabkan isi sekuncup (stroke volume) menurun dibandingkan jantung
normal. Penurunan isi sekuncup menyebabkan pengosongan ventrikel menjadi
tidak adekuat; akhirnya volume darah yang terakumulasi di ventrikel selama
fase diastolik menjadi lebih banyak dibandingkan keadaan normal. Mekanisme
Frank-Starling menyebabkan peningkatan peregangan miofiber sehingga dapat
menginduksi isi sekuncup pada kontraksi berikutnya, sehingga dapat
membantu pengosongan ventrikel kiri dan meningkatkan curah jantung
(cardiac output). Kompensasi ini memiliki keterbatasan. Pada kasus gagal
jantung berat dengan depresi kontraktilitas, curah jantung akan menurun, lalu
terjadi peningkatan enddiastolic volume dan end-diastolic pressure (yang akan
ditransmisikan secara retrograd ke atrium kiri, vena pulmoner dan kapiler)
sehingga dapat menyebabkan kongesti pulmoner dan edema.

D. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala yang terjadi pada gagal jantung, yaitu [ CITATION Erv14 \l 1057 ]:

Gambar 2. Manifestasi Klinis Gagal Jantung

E. Tatalaksana Terapi
Tujuan utama penatalaksanaan gagal jantung pada orang tua ialah untuk
mengembalikan kualitas hidup, mengurangi frekuensi eksaserbasi gagal jantung
dan memperpanjang hidup. Tujuan sekunder ialah memaksimalkan kemandirian
serta kapasitas kerja dan mengurangi biaya perawatan. Untuk mencapai tujuan
ini terapi yang dapat dilakukan ialah :
1) Terapi Non-Farmakologi
Terapi nonfarmakologi (nonmedikamentosa) gagal jantung antara lain dapat
berupa:
a. Edukasi gejala, tanda, dan pengobatan gagal jantung
b. Manajemen diet
Mengurangi jumlah garam, menurunkan berat badan bila dibutuhkan,
rendah kolesterol, rendah lemak, asupan kalori adekuat.
c. Latihan fisik
Penelitian menunjukkan bahwa pembatasan aktivitas fisik yang berlebihan
akan menurunkan fungsi kardiovaskular dan muskuloskeletal. Latihan fisik
yang sesuai akan memperbaiki kapasitas fungsional dan kualitas hidup
pasien gagal jantung.
d. Dukungan keluarga
Untuk selalu memperhatikan dan merawat pasien gagal jantung di usia tua
sangat penting dan berpengaruh terhadap kualitas hidup pasien
2) Terapi Farmakologi
Prinsip dasar terapi farmakologi medikamentosa gagal jantung adalah
mencegah remodelling progresif miokardium serta mengurangi gejala .
a. Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors (ACEI)
Obat ini menghambat konversi angiotensin I menjadi angiotensin II. Efek
terhadap gagal jantung mungkin multifaktorial, tetapi mekanisme penting
ialah inhibisi parsial jalur renin-angiotensin-aldosteron dan mengurangi
aktivitas simpatetik menghasilkan vasodilatasi, natriuresis dan penurunan
tekanan darah. ACE inhibitor berguna mengurangi sesak nafas dan
mengurangi frekuensi eksaserbasi akut gagal jantung. Obat golongan ini
menjadi lini pertama pengobatan gagal jantung dan menentukan prognosis
[ CITATION Erv14 \l 1057 ].
b. Penyekat β (β Blocker)
Pemberian penyekat beta pada gagal jantung sistolik akan mengurangi
kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel-sel jantung dan efek
antiaritmi lain, sehingga mengurangi risiko aritmia jantung dan dengan
demikian mengurangi risiko kematian mendadak. Obat ini juga
menghambat pelepasan renin sehingga menghambat aktivasi sistem RAA
(renin-angiotensin-aldosteron) akibatnya terjadi penurunan hipertrofi
miokard, apoptosis dan fi brosis miokard dan remodeling miokard,
sehingga progresi gagal jantung akan terhambat. Metoprolol, bisoprolol
dan carvedilol bermanfaat menurunkan progresi klinis, hospitalisasi dan
mortalitas pasien gagal jantung ringan dan sedang (NYHA kelas II-III)
stabil dengan fraksi ejeksi <35%-45%. Obat ini juga diindikasikan untuk
gagal jantung dengan etiologi iskemik maupun noniskemik. Pemberiannya
dapat dikombinasi dengan ACE inhibitor dan diuretik [ CITATION Erv14 \l
1057 ].
c. Antagonis Aldosteron
Penambahan obat antagonis aldosteron dosis kecil harus dipertimbangkan
pada semua pasien dengan fraksi ejeksi ≤ 35 % dan gagal jantung
simtomatik berat (kelas fungsional III - IV NYHA) tanpa hiperkalemia dan
gangguan fungsi ginjal berat. Antagonis aldosteron mengurangi perawatan
rumah sakit karena perburukan gagal jantung dan meningkatkan
kelangsungan hidup [ CITATION Erv14 \l 1057 ].
d. Angiotensin Receptor Blockers (ARB)
Terapi dengan ARB memperbaiki fungsi ventrikel dan kualitas hidup,
mengurangi angka perawatan rumah sakit karena perburukan gagal jantung
ARB direkomedasikan sebagai alternatif pada pasien intoleran ACEI.
ARB direkomendasikan pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi
ventrikel kiri ≤ 40 % yang tetap simtomatik walaupun sudah diberikan
ACEI dan penyekat β dosis optimal, kecuali juga mendapat antagonis
aldosteron. ARB dapat menyebabkan perburukan fungsi ginjal,
hiperkalemia, dan hipotensi simtomatik sama sepert ACEI, tetapi ARB
tidak menyebabkan batuk [CITATION PER151 \t \l 1057 ].
e. Digoksin
Digoksin memiliki efek inotropik positif dengan menahan Ca2+ intrasel
sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat. Selain itu obat ini juga
memiliki efek mengurangi aktivasi saraf simpatis sehingga dapat
mengurangi denyut jantung pada pasien fi brilasi atrium. Efek toksik
digoksin jarang, tetapi dapat terjadi pada pasien geriatri dengan penurunan
fungsi ginjal dan status gizi kurang. Digoksin tidak menurunkan mortalitas
sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi dapat
memperbaiki gejala dan mengurangi rawat inap akibat memburuknya
gagal jantung. Pada pasien geriatri, dosis digoksin harus diturunkan dan
harus dipantau kadarnya dalam darah. Digoksin tidak menurunkan
mortalitas sehingga tidak lagi dipakai sebagai obat lini pertama, tetapi
dapat memperbaiki gejala dan mengurangi rawat inap akibat
memburuknya gagal jantung. Indikasi pemberian digoksin pada gagal
jantung ialah fibrilasi atrial dengan irama ventrikular saat istrahat > 80
x/menit atau saat aktifitas> 110 - 120 x/menit [CITATION PER151 \t \l 1057 ].
f. Hydralazine Dan Isosorbide Dinitrate (H-ISDN)
Pada pasien gagal jantung dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤ 40 %,
kombinasi H-ISDN digunakan sebagai alternatif jika pasien intoleran
terhadap ACEI dan ARB. Selain itu sebagai terapi tambahan ACEI jika
ARB atau antagonis aldosteron tidak dapat ditoleransi atau jika gejala
pasien menetap walaupun sudah diterapi dengan ACEI, penyekat β dan
ARB atau antagonis aldosterone [CITATION PER151 \t \l 1057 ].
g. Diuretik
Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung akut yang selalu
disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema perifer.
Diuretik dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan
kemampuan melakukan aktivitas fisik. Diuretik mengurangi retensi air dan
garam sehingga mengurangi volume cairan ekstraseluler, arus balik vena
dan preload. Pada pasien geriatri, deplesi volume dan hipotensi harus
diperhatikan karena fungsi baroreseptor yang tidak baik lagi; oleh karena
itu diuretik tidak boleh diberikan pada gagal jantung asimptomatik
maupun tidak ada overload cairan. Adapun diuretik yang biasa digunakan
pada pasien gagal jantung, sebagai berikut [CITATION PER151 \t \l 1057 ]:
Gambar 3.Diuretik yang biasa digunakan pada pasien gagal jantung
BAB II
TUJUAN SPESIFIK PRAKTEK PEMBELAJARAN KLINIS

Tujuan dari kegiatan Praktek pembelajaran klinis stase Jantung/Bedah/Ortopedi/obsgyn


sebagai berikut:
1. Mahasiswa mampu melakukan kegiatan pemantauan terapi obat
2. Mampu mengkaji pemilihan obat, dosis obat, cara pemberian obat, respon terapi,
reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD)
3. Mampu mengisi lembar kerja pemantauan terapi obat
4. Mampu menganalisis Drug Related Problem (DRP)
5. Mampu memberikan rekomendasi terhadap timbulnya DRP yang terjadi
BAB III
KEGIATAN DAN PENUGASAN

Pengambilan data untuk pemantauan terapi obat pasien dilakukan di Rumah


Sakit PKU Muhammadiyah Gamping secara prospektif dan retrospektif. Data diambil
melalui dua cara pengambilan disebabkan karena kasus pasien yang melakukan
perawatan di Rumah Sakit PKU Gamping tidak begitu beragam pada periode waktu
yang telah ditentukan, sehingga pemantauan terapi secara retrospektif merupakan
pilihan yang dianggap tepat mengingat tujuan dari praktek klinis ini adalah sebagai
metode pembelajaran. Pemantauan terapi obat dilakukan pada tanggal 12 – 16 oktober
2020. Pemantauan terapi dilakukan di bangsal jantung yaitu Jabal Nur serta ICCU.
Adapun kriteria dari pengambilan data pada kasus pembelajaran ini, yaitu :
Kriteria inklusi pasien:
1. Pasien dengan kasus jantung (ACS (STEMI, NSTEMI, UAP), CHF, dan AF)
2. Pasien kelas 3 pada bangsal Jabal Nur dan ICCU
3. Pasien prospektif dengan pemantauan terapi mulai tanggal 12 – 17 oktober 2020
4. Pasien retrospektif dengan jangka waktu dua tahun terakhir (2018-2020)
5. Pasien yang memiliki kasus complicated sesuai dengan tema
6. Pasien dengan Length of Stay minimal 3 hari
Kriteria eksklusi pasien:
1. Pasien yang hanya memiliki Length of Stay kurang dari 3 hari
2. Pasien kelas 1, 2, VIP dan VVIP
Alur kegiatan yang dilakukan adalah sebagai berikut:
Melakukan penelurusuran di computer mengenai data pasien rawat inap
yang sesuai dengan kriteri inklusi dan eksklusi

Melihat rekam medik pasien yang sesuai kriteria ke bangsal perawatan

Menulis di lembar kerja Pemantauan Terapi Obat

Melakukan analisa terhadap permasalahan yang berkaitan dengan obat

Melakukan visite ke pasien baik dilakukan secara mandiri maupun


bersama dokter penanggungjawab untuk menggali informasi yang
diperlukan untuk analisis kasus
BAB IV

ANALISIS LAPORAN

4.1 Analisis Riwayat Penggunaan Obat

RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING RM

INSTALASI FARMASI
Nama : Ny. S Nomor RM : 0 0 1 6 7 3 2 6

Tgl lahir/Umur : 07 Nov BB : 45 kg; TB : 140 cm; Kamar : ICCU


1950
RPM : pasien datang ke IGD dengan keluhan mbesesek pada dada bagian tengah, BAB tidak lancar,
terdapat riwayat penyakit jantung, ketika akan dipulangkan tiba tiba pasien sesek, nyeri dada yang
menjalar ke pundak
RPD : N.STEMI, CHF
DPJP : dr. M.T.I Diagnosis : Dyspnea, edema paru, IHD, CHF, Aritmia (VES, Unifokal)
Merokok : ....... batang/hr; Kopi : ....... gelas/hr; Lainnya : ..................................................................
Alergi : Tidak ada alergi obat ataupun makanan

RIWAYAT PENGGUNAAN OBAT

Diisi oleh Apoteker yang merawat :


Tanda Vital

Parameter Penyakit / Tanggal Nilai Normal 13/10 14/10 15/10 16/10

Tekanan Darah (mm Hg) 140/80 126/80

Nadi (kali per menit) 100 75


x/menit

Suhu Badan (oC) 36 oC 36

Respirasi (kali per menit) 60 24


x/menit
KELUHAN

13/10

14/10 Pasien mengatakan sudah tidak sesak, perut sebah, kaki kanan
kiri terasa kram.
15/10 Pasien mengtakan sudah tidak sesek, sekarang perut terasa
kembung

16/10 Pasien mengatakan sesak berkurang


Laboratorium Rutin

Laboratorium Rutin / Tanggal Nilai Normal 13/10 14/10 15/10 16/10

Hemoglobin 12,0-16,0 12,5

Lekosit 4-10 13540

Basofil 0-1 0

Eosinofil 0-5 4

Netrofil Segmen 25-60 % 60

Limfosit 20-40 % 30

Monosit 2-8%

Eritrosit 3,8-5,2 juta/ul 4,45

Mchc 32-36 g/dl 34

Mch 22-34 pg 28

Mcv 80-100fl 83

Trombosit 150-450 rb/ul 187

Laju Endap Darah (Led) 0 - 20 Hasil


menyusul

Rdw Sd 13,5

Rdw Cv
Limfosit Absolut 20-40% 4,05

Netrofil Absolut 3-5% 8,20

Natrium 135-147 4,3

Kalium 3,5-5,0
mmol/L

Klorida 100-106 116


mmol/L

Kreatinin (Darah) <1,3 mg/dl 1,4

Ureum 21-43 mg/dl 1,4

SGOT <31 u/l

SGPT <34 u/l 41

Aturan Pakai 13/10 14/10


RUTE ORAL

V Bloc 3,125 mg 1x1 

Aptor 1x1 

Atorvastatin 40 mg 1x1 

Candesartan 8 mg 1x1 

Clopidogrel 75 mg 1x1 

Lactulac syr 2 x 1 (10 cc) 

Sucralfat 3 x 1 cth 
Parenteral

Furosemid 3 x 1 (2 amp) 

Nitrocein 15 mcg Terus Menerus 

Pantoprazole 1 vial 
I.V.F.D.

BB : Berat Badan; TB : Tinggi Badan; RPM : Riwayat Penyakit saat MRS; RPD : Riwayat Penyakit Dahulu
4.2 Analisis SOAP

RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING RM

INSTALASI FARMASI
Nama : Ny. S Nomor RM : 0 0 1 6 3 7 2 6

Tanggal lahir / Umur : 07 Nov Berat Badan : 45 kg Tinggi Badan :140 cm


1950

PEMANTAUAN TERAPI OBAT


Diisi oleh Apoteker yang merawat :

Nama &
Asuhan Kefarmasian Paraf
Tanggal & Apoteker
Jam

Subyektif Obyektif Assesment (DRP) Care Plan

Pasien - TTV 1. Potensi terjadi


- Terapi dilanjutkan
mengatakan interaksi antara
sesak nafas Atorvastatin
13/10/2020 Td 126/80 dengan
sudah banyak
berkurang mmHg, pantoprazole. - Monitoring efektivitas
terapi
Hr 75 x/mnt, 2. Potensi
interaksi antara
Atorvastatin - Monitoring efek
Rr 24 x/mnt dengan samping obat
clopidogrel.

- Terapi
- Furosemid 3. Potensi
- Monitoring data lab
(kadar kalium,
Inj 1 A memiliki
magnesium) dan
- Atorvastatin interaksi antara
tekanan darah.
40 mg Furosemid
- Candesartan dengan
8 mg pantoprazole,
- Clopidogrel dimana dapat
80 mg meningkatkan
- Lactulax resiko efk
- Sucralfat syr samping
- Azitromycin
500mg
- Symbicort
- Pantoprazole
14/10/2020 Pasien 1. Potensi terjadi
mengatakan
- TTV
interaksi antara
- Terapi dilanjutkan
sudah tidak Atorvastatin
sesak, perut TD : 97/68 dengan
sebah, kaki
mmHg, pantoprazole. - Monitoring efektivitas
kanan kiri terapi
terasa kram. HR: 65 x/m, 2. Potensi
interaksi antara
Atorvastatin - Monitoring efek
RR: 19 x/m dengan samping obat
clopidogrel.

- Terapi
- Furosemid 3. Potensi
- Monitoring data lab
(kadar kalium,
Inj 1 A memiliki
magnesium) dan
- Atorvastatin interaksi antara
tekanan darah.
40 mg Furosemid
- Candesartan dengan
8 mg pantoprazole,
- Aptor 75 mg dimana dapat
- Clopidogrel meningkatkan
80 mg resiko efk
- Lactulax samping
- Sucralfat syr
- Azitromycin
500mg
- Symbicort
- Pantoprazole

15/10/2020 Pasien 1. Potensi terjadi


mengtakan
- TTV interaksi antara
- Terapi dilanjutkan
sudah tidak Atorvastatin
sesek, sekarang dengan
TD
perut terasa
92/54mmHg
pantoprazole. - Monitoring efektivitas
kembung 2. Potensi terapi
interaksi antara
N 84x/menit Atorvastatin
dengan
- Monitoring efek
clopidogrel. samping obat
RR 20x/menit

- Monitoring data lab


- Terapi : (kadar kalium,
magnesium) dan
- Atorvastatin tekanan darah.
40 mg
- Candesartan
8 mg
- Aptor 75 mg
- Clopidogrel
80 mg
- Lactulax
- Sucralfat syr
- Azitromycin
500mg
- Symbicort
- Pantoprazole

16/10/2020 Pasien 1. Potensi terjadi


mengatakan
- TTV interaksi antara
- Terapi dilanjutkan
sesak Atorvastatin
berkurang dengan
TD 106/60, pantoprazole. - Monitoring efektivitas
2. Potensi terapi
interaksi antara
nadi 63, Atorvastatin
dengan
clopidogrel. - Monitoring efek
suhu36,7 3. Potensi samping obat
memiliki
interaksi antara
- Terapi : Furosemid - Monitoring data lab
dengan
- Atorvastatin pantoprazole,
(kadar
magnesium)
kalium,
dan
40 mg dimana dapat tekanan darah.
- Candesartan meningkatkan
8 mg efek samping

- Aptor 75 mg
- Clopidogrel
80 mg
- Lactulax
- Sucralfat syr
- Azitromycin
500mg
- Symbicort
- Pantoprazole
BAB V

ANALISIS LAPORAN

Pasien Ny. S usia 70 tahun masuk rumah sakit pada tanggal 13 Oktober 2020, keluhan
utama ketika pasien masuk rumah sakit adalah pasien datang ke IGD dengan keluhan
mbesesek pada dada bagian tengah, BAB tidak lancar, ketika akan dipulangkan tiba tiba
pasien sesek, nyeri dada yang menjalar ke pundak. Pasien memiliki riwayat penyakit
dahulu yaitu NSTEMI dan CHF.

Pengobatan yang diberikan telah sesuai dengan penatalaksanaan dari masing-masing


penyakit. Adapun drug related problem dalam kasus ini adalah adanya potensi interaksi
yang dapat terjadi dengan kategori interaksi moderate. Potensi interaksi antara Atorvastatin
dengan obat-obat golongan PPI dengan mekanisme interaksi karena obat ini semua substrat
P-glikoprotein dan CYP450 3A4. Karena peningkatan risiko toksisitas muskuloskeletal
yang terkait dengan aktivitas penghambatan reduktase HMG-CoA dalam plasma yang
tinggi, pasien yang diobati dengan atorvastatin, lovastatin, simvastatin, harus dipantau lebih
dekat selama penggunaan bersamaan penghambat pompa proton. Semua pasien yang
diobati dengan HMG-CoA reductase inhibitor harus disarankan untuk segera melaporkan
kepada dokter setiap nyeri otot yang tidak dapat dijelaskan, nyeri tekan, atau kelemahan,
terutama jika disertai rasa tidak enak badan atau demam. Terapi harus dihentikan jika
kreatin kinase meningkat tajam atau jika miopati dicurigai atau didiagnosis.

Selain itu potensi interaksi yang dapat terjadi juga adalah penggunaan kombinasi obat
clopidogrel dengan atorvastatin yaitu dimana Clopidogrel berikatan dengan CYP2C19,
enzim hati untuk diubah menjadi metabolit aktifnya untuk mencapai aktivitas farmakologis
yang diinginkan. Sitokrom P450 3A4 yang sebagian terlibat dalam metabolisme
clopidogrel juga memetabolisme statin, terutama atorvastatin secara lebih luas. Selain itu,
berdasarkan penelitian RCT yang dilakukan dari 2116 pasien yang terdaftar, 1001
menerima statin CYP3A4-MET dan 158 non-CYP3A4-MET. Untuk keseluruhan populasi
penelitian, titik akhir primer berkurang secara signifikan pada kelompok clopidogrel (8,5%
versus 11,5%, RRR 26,9%; P = 0,025). Manfaat clopidogrel ini serupa dengan penggunaan
statin, terlepas dari pengobatan dengan statin CYP3A4-MET (clopidogrel 7,6%, kontrol
11,8%, RRR 36,4%, 95% CI 3,9 hingga 57,9; P = 0,03) atau statin non-CYP3A4-MET (5,4
% clopidogrel, kontrol 13,6%, RRR 60,6%, 95% CI −23,9 hingga 87,4; P = 0,11). Pasien
yang diberi atorvastatin atau pravastatin memiliki tingkat kejadian 1 tahun yang sama.
Selain itu, terapi bersamaan dengan statin tidak berdampak pada tingkat perdarahan mayor
atau minor [ CITATION Saw03 \l 1057 ].

Potensi interaksi selanjutnya yang dapat terjadi adalha penggunaan kombinasi antara
Furosemid dengan Pantoprazole. Penggunaan kedua obat ini secara bersamaan dapat
meningkatkan resiko efek samping yaitu hipomagnesemia. Mekanisme hipomagnesemia
dapat terjadi selama penggunaan PPI jangka panjang tidak diketahui, meskipun perubahan
absorpsi magnesium pada usus. Hipomagnesemia jarang dilaporkan pada pasien yang
diobati dengan PPI setidaknya selama tiga bulan, tetapi dalam banyak kasus, setelah satu
tahun atau lebih. Efek samping yang serius termasuk tetani, kejang, tremor, spasme
karpopedal, fibrilasi atrium, takikardia supraventrikular, dan interval QT abnormal; Namun,
pasien tidak selalu menunjukkan gejala ini. Hipomagnesemia juga dapat menyebabkan
gangguan sekresi hormon paratiroid, yang dapat menyebabkan hipokalsemia. Pada sekitar
25% kasus hipomagnesemia terkait PPI yang ditinjau oleh FDA, kondisi tersebut tidak
sembuh dengan suplementasi magnesium saja tetapi juga memerlukan penghentian PPI
[ CITATION FDA17 \l 1057 ].

Pasien mendapatkan injeksi uresix (furosemid) 2 x 1 A, untuk mengatasi sesak nafas


yang dialami pasien. Diuretik merupakan obat utama mengatasi gagal jantung akut yang
selalu disertai kelebihan cairan yang bermanifestasi sebagai edema perifer. Diuretik dengan
cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan melakukan aktivitas fisik.
Diuretik mengurangi retensi air dan garam sehingga mengurangi volume cairan
ekstraseluler, arus balik vena dan preload. Diuretik lainnya yang diberikan kepada pasien
adalah spironolakton 25 mg 1 x 1.

Gambar 4. Dosis Diuretik Pada Gagal Jantung


Selain mendapatkan obat-obat di atas, untuk menangani gagal jantung kongestif (CHF)
pasien diberiberikan terapi obat golongan penyekat beta yaitu Carvedilol 6,25 mg. Tujuan
dari penggunaan β blocker adalah untuk menurunkan risiko hosipitalisasi akibat gagal
jantung dan kematian prematur. Obat golongan ini seperti metoprolol, bisoprolol dan
carvedilol dapat mengurangi kejadian iskemi miokard, mengurangi stimulasi sel-sel
jantung dan efek antiaritmi lain, sehingga mengurangi risiko aritmia jantung dan dengan
demikian mengurangi risiko kematian mendadak. Bisoprolol merupakan β blocker
kardioselektif dengan mekanisme menurunkan frekuensi denyut jantung dan kontraktilitas
sehingga dapat menurunkan curah jantung, selain itu hambatan sekresi renin di sel-sel
jukstaglomerular ginjal dengan akibat penurunan produksi angiotensin II, serta efek sentral
yang dapat mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas
baroreseptor, perubahan aktivitas neuron adrenergik perifer dan peningkatan biosintetik
prostasiklin. β blocker selektif bekerja lebih dominan pada adrenoreseptor β 1 di jantung
sehingga lebih kurang memberikan efek samping [ CITATION Gun11 \l 1057 ].

Gambar 5. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung

Pada tanggal 15 Oktober 2020 Ny. S di diagnosis mengidap penyakit paru obstruksi
kronis (PPOK) eksaserbasi akut. Ny. S mendapatkan terapi antibiotik untuk PPOK yang
dialami pasien, yaitu Azitromicyn 500 mg. Pengobatan dengan menggunakan antibiotik
telah terbukti efektif terhadap PPOK eksaserbasi akut yang disebabkan oleh bakteri. Pasien
diberikan antibiotik spektrum luas. Antibiotik yang digunakan untuk lini pertama adalah
amoksisilin dan makrolid. Terapi empiris perlu segera diberikan sementara menunggu hasil
pemeriksaan dari laboratorium mikrobiologi. Selanjutnya barulah dilakukan penyesuaian
pemberian antibiotika untuk mendapatkan hasil yang maksimal.3,11 World Health
Organization telah menetapkan antibiotik sebagai terapi empiris PPOK eksaserbasi akut
yaitu amoksisilin atau eritromisin atau kloramfenikol.24 Antibiotik golongan makrolida
(termasuk erythromisin, clarithroisin, dan azithromisin) mengambat RNA pengikat protein
dengan berikatan dengan subunit 50S ribosom bakteri. Efek antimikroba lain yaitu anti
inflamasi dan sebagai immunomodulator. Namun dalam sebuah penelitian menyebutkan
bahwa Ampicillin memiliki tingkat resistensi paling tinggi terhadap lima besar bakteri
penyebab PPOK di Laboratorium Mikrobiologi RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 2010
– 2012 yaitu sebanyak 76%. Sehingga makrolida lebih banyak dipilih untuk penanganan
terapi empiris pada PPOK [ CITATION Nan15 \l 1057 ].

Berdasarkan analisis kefarmasian yang telah dilakukan, terapi yang diberikan telah
sesusai dengan literatur. Namun, direkomendasikan untuk melakukan monitoring terhadap
efektivitas terapi dan efek samping obat yang diberikan. Mengingat ada obat pasien yang
berinteraksi. Diharapakan dengan dilakukannya pemantauan terhadap terapi pasien,
sehingga dapat mengurangi risiko efek samping akibat interaksi obat dan meningkatkan
kualitas hidup pasien
BAB VI

REKOMENDASI

1. Pasien Ny. S masuk rumah sakit dengan keluhan mbesesek pada dada bagian tengah,
BAB tidak lancar, terdapat riwayat penyakit jantung, ketika akan dipulangkan tiba tiba
pasien sesek, nyeri dada yang menjalar ke pundak. Dokter mendiagnosa pasien
mengalami Dyspepsia, Edema Paru, IHD, CHF dan Aritmia. Pengobatan yang dapatkan
pasien sudah sesuai dengantatalaksana terapi masing-masing penyakit yang di alami
pasien.
2. Berdasarkan hasil pemantauan terapi obat tidak terdapat problem medik terkait
pengobatan (DRP). Hanya saja ada beberapa obat yang memiliki potensi besar saling
berinteraksi yaitu atorvastatin dengan pantoprazole dan clopidogrel, Furosemid dengan
pantoprazole, serta interaksi antara obat aspirin dengan clopidogrel.
3. Edukasi kepada pasien:
 Edukasi mengenai efek samping obat yang mungkin terjadi. Tanda-tanda pasien
mengalami hipomagnesium adalah mual, muntah, lemas, lesu, kesemutan pada
ekstremitas, kelumpuhan, kebingungan, nadi lemah , dan detak jantung yang
lambat atau tidak teratur. Selain itu meberikan edukasi terkait potensi terjadi
perdarahan dapat dilihat dari gusi berdarah, mimisan, atau feses berwarna hitam.
 Edukasi jika terjadi efek samping dari penggunaan obat yang tidak di inginkan,
maka pasien harus segera menguhubungi dokter atau apoteker
DAFTAR PUSTAKA

Arfian, F., Suryono, & Riyanti, R. (2018). Hubungan Kadar SGOT dengan Kadar Leukosit
pada Pasien NSTEMI di ICCU RSD dr. Soebandi Jember. e-Jurnal Pustaka
Kesehatan, vol. 6 (no. 1).

Basit, H., Malik, A., & Huecker, M. (2020, July 8). https://www.statpearls.com/. Retrieved
Oktober 17, 2020, from https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513228/

Baxter, K. (2008). Stockley's Drug Interaction, Eight edition. United Kingdom:


Pharmaceutical Press (PhP).

FDA. (2017, April 08). U. S. Food And Drug Administration. Retrieved Oktober 18, 2020,
from https://www.fda.gov/drugs/drug-safety-and-availability/fda-drug-safety-
communication-low-magnesium-levels-can-be-associated-long-term-use-proton-
pump

Fuster, V., Badimon, L., & Badimoon, J. (1992). The pathophysiology of coronary artery
disease and the acute coronary syndromes. . N Eng J Med.

Gunawan, S., & Setiabudy, R. (2011). Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI.

Hidayatulloh, N. (2015). ACUTE EXACERBATIONS ON CHRONIC OSTRUCTIVE


PULMONARY DISEASE (COPD) WITH SECONDARY INFECTION . J
Agromed Unila, Volume 2 Nomor 1 .

Imaligy, E. U. (2014). Gagal Jantung pada Geriatri. CDK-212/ vol. 41 no. 1.

Nesheiwat, Z., Goya, A., & Jagtap, M. (2020). Atrial Fibrillation (A Fib). StatPearl
Publishing.

PERKI. (2015). Pedoman Tata Laksana Gagal Jantung Edisi Pertama. Jakarta: Centra
Communications.

PERKI. (2015). PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT Edisi Ketiga.


Jakarta: Centra Communications.
PERKI. (2016). PANDUAN PRAKTIK KLINIS (PPK) DAN CLINICAL PATHWAY
(CP)PENYAKIT JANTUNG DANPEMBULUH DARAH, Edisi Pertama. Jakarta:
Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia .

Sari, P. D., Yonata, A., Haryadi, & Swadharma, B. (2016). Penatalaksanaan Gagal Jantung
NYHA II disertai Pleurapneumonia pada Laki-laki Usia 38 Tahun . J Medula Unila,
Volume 6, Nomor 1.

Saw, J., Steinhubl, S., Berger, P., Kereiakes, D., & Serebruany, V. (2003). Lack of Adverse
Clopidogrel–Atorvastatin Clinical Interaction From Secondary Analysis of a
Randomized,Placebo-Controlled Clopidogrel Trial. Circulation,Volume 108, Issue
8.

Shresta, J. (2010). Evaluation of access toprimary healthcare a case study of Yogyakarta,


Indonesia. International Institute For Geo-Information Science And Earth
Observation.

Stalker, T. J., Newman, D., Peisong Ma, & Wannemach, K. (2012). Platelet Signaling.
Handb Exp Pharmacol.

Syamsudin. (2011). Buku Ajar Farmakoterapi Kardiovaskular dan Renal. Jakarta: Salemba
Medika.

Veldhuisen, D. J., Gelder, I., Ahmed, A., & Gheorghiade, M. (2013). Digoxin for patients
with atrial fibrillationand heart failure: paradise lost or not? European Heart
Journal, Vol.34.

Yuniadi, Y., Tondas, A., Hanafy, D., Hermanto, D., Maharani, E., Munawar, M., et al.
(2014). Pedoman Tata Laksana Fibrilasi Atrium Edisi Pertama. Jakarta: Centra
Communications.

Zhang, X., Qi, L., & Liu, Y. (2019). Aspirin in combination with clopidogrel in the
treatment of acute myocardial infarction patients undergoing percutaneous coronary
intervention. Pakistan Journal of Medical Sciences.

Anda mungkin juga menyukai