Analisis Uu Pemilu Terhadap Uu Mahar Pencalonan
Analisis Uu Pemilu Terhadap Uu Mahar Pencalonan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Meskipun pengaturan tentang pemilihan umum telah ditetapkan oleh UU yang
berlaku, sengketa atau persoalan akan kerap muncul, seperti menyangkut daftar
pemilih, permasalahan kotak suara, permasalahan pencalonan dan termasuk sengketa
mengenai hasil pemilihan umum selalu saja terjadi dari setiap fase penyelenggaran
pemilihan umum1. Berdasarkan catatan kementrian dalam negri hinggga tahun 2016
menunjukkan bahwa terdapat 343 bupati atau walikota dan 18 gubernur yang
tersandung kasus korupsi. tentu data ini melihatkan ketidak berhasilan
penyenlenggaran pemilu tahun 2014 semua foktor akibat ini tidak terlepas dari
pengatur yaitu undang-undang serta penyelenggara pengawasan terhadap
penyelenggaran pemilihan umum yaitu lembaa badan pengawas pemilihan umum
( selanjutnya disingkat dengan bawaslu) yang mana lembaga ini bergerak berdasar
UU No.7 tahun 2017 yang memiliki fungsi menyusun standar tata laksana ,fungsi
pencegahan dan penidakan serta fungsi pengawasan jalan pemilihan umum.
Namun dalam kondisi pemilihan umum Indonesia saat ini UU sudah terlaksana
dengan baik namun belum maksimal dan masih terlihat terlihat masih ada pasifnya
UU yang mengatur sehingga dapat dimanfatkan oleh segelintir orang saja atau
kelompok, terkhusus karena hal itu permasalan ini sangat erat kaitannya dengan
partai politik (selanjutnya disingkat menjadi Parpol) karena parpol merupakan wadah
pencalonan yang ingin mengusung sebagai calon eksekutif ataupun legislatif, dimana
hal inilah menjadi titik rawan dimasukkannya penyelewengan serta pelangaran-
pelanggaran dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Salah satu yang salalu menjadi persoalan yaitu adanya praktek mahar
pencalonan yang terdapat dalam partai politik indonesia dimana problematika
tersebut selalu menjadi persoalan yang tidak pernah tuntas dalam pemilihan umum
1
Refli Harun, Pemilu Konstitusional, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 1
2
walaupun sudah ada UU yang mengaturya seperti pembatasan dalam sumbangan
terhadap parpol dan juga tranparansi .
Namun apabila semua problematika ini terus berlanjut maka akan menjadi sebuah
bumerang untuk bangsa itu sendiri.Karenaya semua hal ini merupakan tanggung
jawab aparat negara dan warga negara dalam mengembalikan harkat dan martabat
bangsa yang semestinya agar bangsa Indonesia mampu menjalankan demokrasi yang
sebenar-benarnya,Perbaikan kualitas moral bangsa salah satunya lewat memperkuat
basis integritas penyelenggara pemilu sesuai yang tertera dalam ideologi pancasila.
B. Rumusan Masalah
Dari uraian yang telah dijabarkan ,Penulis Mencoba unuk membahas dan
menjawab persoalan-persoalan berikut:
3
2. Bagaimana Peran Undang-Undang pemilu terhadap mahar politik dalam
pencalonan Peserta Pemilu
4
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Money Politik
Money politic dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap
dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok.Politik uang adalah
pertukaran uang dengan posisi/ kebijakan/ keputusan politik yang mengatasnamakan
kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/ kelompok/ partai.2
Maka politik uang adalah semua tindakan yang disengaja oleh seseorang
atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu atau tidak
menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau dengan sengaja
menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak tertentu.
2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
edisi kedua, 1994.hlm.965.
3
Thahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak,( Bandung : PT Mizan Publika 2015).hlm.155.
5
Demikian money politic adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun
supaya ia menjalankan haknya denga cara tertentu pada saat pemilihan umum.
6
BAB III
PEMBAHASAN
Dinamika pemilihan umum pada tahun ini masih diwarnai oleh isu yang
relatif sama, salah satunya di permukaan adalah terkait pemberian “mahar politik”
kepada partai politik pengusung calon. Isu tersebut bukanlah hal yang baru dalam
pemilu Indonesia pasca reformasi, terlebih saat ini parpol cukup pragmatis dan
berorientasi pada kemenangan calon. Konsekuensinya biaya dalam perpolitikan untuk
memenangkan calon menjadi hal yang prioritas terutama untuk menyikapi besarnya
ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh para calon.
Keempat, politik uang yang masih marak dilakukan oleh calon kepala
daerah meliputi “serangan fajar”, sumbangan ke kantong pemilih, dan lainnya. Selain
itu, dana yang cukup besar adalah perihal keberadaan saksi pada hari perhitungan
suara. Namun secara yuridis secara jelas dicantumkan dalam UU no 7 tahun 2017
4
PUSKAPOL ,”Mahar Politik dan Korupsi Sistemik”, diakses dari
https://www.puskapol.ui.ac.id/opini/mahar-politik-dan-korupsi-sistemik. Pada tanggal 6 april 2019.
7
yang membagin, dana Kampanye pemilu yaitu dana dari caon,APBN,sumbangan sah
dari pihak lain.5
Belakangan ini isu “mahar politik” ramai diperbincangkan karena salah satu
bakal calon Gubernur Jatim dari Gerindra, La Nyalla Matalliti, mengaku dimintai
uang 40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra untuk membayar saksi dan sebagai syarat
agar bisa direkomendasikan menjadi calon Gubernur. Kemudian muncul isu mahar
politik lain seperti Dedi Mulyadi, Brigjen Siswandi, dan John Kristi.
8
miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi
yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6
juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. Inilah hal-hal yang dapat
memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-
pundi kesejahteraan rakyat.6
Dengan modal awal yang cukup besar, orientasi dari kekuasaan yang
dimiliki nantinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan
sebelumnya. Catatan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 2016 menunjukan
bahwa terdapat 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi.
Tentu ini adalah catatan buruk proses demokrasi yang sedang kita jalani, karena
sesungguhnya kita berharap proses demokrasi bukan hanya bersifat prosedural
melainkan mencakup demokrasi yang substansial. Dan itu salah satunya dapat dilihat
dari berjalannya keadilan dari proses pencalonan hingga keterpilihan calon dengan
proses yang tidak mencederai nilai-nilai demokrasi.
6
Seknas Fitra , “Anggaran Pengeluaran Pilkada Kabupaten dan Kota”, diakses dari seknasfitra.org ,
pada tanggal 6 april 2019
7
PUSKAPOL.loc.cit.,
9
Isu mahar politik seringkali tidak berakhir tuntas, tampak ada tapi seperti
tidak ada, untuk mengakhiri praktik “mahar politik”, diperlukan upaya serius dari
pelbagai stakeholder baik itu Partai Politik, Bawaslu, PPATK, KPK, ataupun Satgas
Anti Politik Uang, juga masyarakat dan pengawal pilkada. Terdapat tiga poin yang
perlu menjadi perhatian, khususnya bagi partai politik dan pemerintah.
Politik uang (money politics) dalam praktik politik memang tak dapat dipungkiri
keberadaanya. Hal ini seakan-akan sudah menjadi budaya turun-temurun di
Indonesia. Dalam ajang pemilihan umum tak jarang kita temui para calon-calon
pemimpin bangsa mengadakan apa yang disebut tawar-menawar politik yang tidak
diimbangi dengan pertimbangan kompetensi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh
dibutuhkannya kendaran politik saat hendak mencalonkan diri. Sebagai contoh pada
draft awal naskah RUU revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999, baik yang dimiliki
oleh pemerintah (Depdagri) maupun yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR
10
sebenarnya mengakomodasi jalur kandidat perseorangan di luar jalur partai politik 8.
Sebelum diakomodasi dalam draft usulan pemerintah dan usulan DPR, usulan
tetntang perlunya calon independen juga diajukan draft naskah RUU revisi atas UU
Nomor 22 Tahun 1999 versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun
pada akhirnya, jalur kandidat perseorangan di luar “pintu” partai itu kandas dalam
pembahasan RUU oleh Panitia Khusus 9 DPR.Politik uang (money politics) dalam
paradigma sosiologi merupakan perwujudan dari isitilah venality. Istilah tersebut
merujuk pada keadaan dimana uang dipakai untuk membayar sesuatu yang menurut
hakikatnya tidak dapat dibeli dengan uang. Dilihat dari bobroknya kualitas birokrasi
Indonesia yang terkesan tidak jujur dan mengesampingkan kepentingan rakyat,
money politics menjadi salah satu faktor penyebab menjamurnya pemimpin tanpa
kepemimpinan (leaders without leadership). Pemimpin tanpa kepemimpinan artinya
seorang seseorang tersebut tidaklah berkompeten dalam hal memimpin dan
memerintah. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan resiko adanya konflik baik
secara horizontal maupun vertical berkepanjangan dalam birokrasi. Keadaan tersebut
pada akhirnya akan mengganggu stabilitas nasional secara fundamental.
Dalam konsepsi mencegah budaya politik uang, kata mencegah merujuk pada
upaya atau langkah antisipasi agar sesuatu tidak terjadi. Jadi tekanannya adalah pada
langkah-langkah preventif, bukan langkah-langkah kuratif atau represif. Itu berarti,
dalam membahas konsepsi tentang mencegah budaya politik uang guna menciptakan
pemilihan kepala daerah yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional, maka
yang harus ditonjolkan adalah langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya politik uang itu sendiri. Sebagai sebuah konsepsi, maka
kebijaksanaan yang perlu diambil dalam rangka mencegah budaya politik uang guna
menciptakan Pemilu yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional adalah:
mewujudkan pencegahan budaya politik uang melalui langkah hukum dan langkah
non-hukum demi menciptakan pemilu yang berkualitas dalam rangka stabilitas
nasional, dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas, maka dapat
dikembangkan strategi yang melibatkan infrastruktur, suprastruktur, dan substruktur
sebagai subyek, dengan pemerintah negara dan perangkat nasional yang menangani
8
Draft awal naskah RUU revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999 usulan pemerintah anatar lain
berbunyi:’selain pengajuan pasangan bakal calon yang disusulkan partai politik atau gabungan partai
politik, dapat diajukan pasangan bakal calon lain dengan persyaratan dukungan 1% dari jumlah
pemilih.” Sementara itu draft awal naskah RUU versi DPR antara lain mengatur bahwa “Pasangan
calon diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan”. Khusus untuk calon
perseorangan, draft RUU revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999 versi DPR mengusulkan persyaratan
dukungan pemilih sekurang-kurangnya sama dengan jumlah bilangan pembagian pemilihan.
9
Suharizal, Pemilukada, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 109.
11
pemilu dan politik uang, serta masyarakat sebagai sasaran sosialisasi, edukasi,
regulasi, revitalisasi, dan pemberdayaan masyarakat sebagai metode.10
Indah Sri Utari, “Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang Berkualitas: Sebuah
10
Revitalisasi Ideologi”. Seminar Nasional Hukum. Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016, 451-474
12
peningkatan pengawasan oleh pengadilan. Strategi ini merupakan
upaya untuk memastikan bahwa putusan hukum oleh pengadilan
mengenai politik uang benarbenar dieksekusi dan dilaksanakan secara
benar dan tepat. Tanpa penghukuman yang riil dan pembinaan yang
tepat di penjara, maka pencegahan yang bersifat umum maupun
khusus tidak mungkin tercapai, dan dengan demikian praktik politik
uang tidak mungkin terberantas.11
Politik uang merupakan salah satu masalah serius dalam setiap pemilihan
umum di Indonesia. Mulai dari pemilihan kepala desa, anggota legislatif, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), kepala daerah, hingga presiden selalu diwarnai praktek
jual beli suara. Tidak mengherankan apabila temuan mengenai politik uang
mendominasi dalam setiap laporan pelanggaran, khususnya berkaitan dengan
pelanggaran pidana.
Politik uang memiliki banyak macam dan bentuknya salah satunya yakni
pemberian mahar atau biasa disebut sewa perahu. Sewa perahu adalah istilah
yang biasa digunakan untuk menyatakan harga yang dibayar agar dapat
dicalonkan oleh suatu parpol. Untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa
11
Indah Sri Utari, “Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang Berkualitas: Sebuah
Revitalisasi Ideologi”. Seminar Nasional Hukum. Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016, 451-474
12
Ade Irawan, “Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu”, (antikorupsi.org. diakses 4 April 2019)
13
perahu”, baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau
seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh
melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-
undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar.
Disisi lain hukuman yang dijerat dalam kasus politik uang adalah hukuman
pidana. Maka Bawaslu tidak bisa memberi sanksi administratif kepada peserta
pemilu yang bersangkutan kasus politik uang. Kasus money politics dalam
Undang-Undang Nomor 7 Pasal 228 ini harus diproses dulu di pidana. Bawaslu
tidak dapat menindak secara administratif jika putusan pidananya tidak ada.
Karena administratif itu bisa dikenakan ketika setelah putusan pidana yang
punya kewenangan hukum tetap. Jika dilihat secara kasat mata, Undang-Undang
Nomor 7 Pasal 228 tersebut memang mengatur tentang larangan dilakukannya
money politics.
Namun pada kenyataanya jika dilihat kembali sanksi dalam pasal tersebut
tidak diatur didalamnya. Dalam Pasal 228 dari UU Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu melarang segala bentuk pemberian imbalan terkait pencalonan
presiden/wakil presiden. Jika terbukti, partai politik itu tak boleh mengusung
capres/cawapres di periode berikutnya. Berikut bunyinya:
14
4. Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada
Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.13
Hal tersebut menampakkan bahwa adanya problem regulasi dalam menindak
kasus-kasus money politics seperti mahar politik. Dengan status ketidakjelasan
perihal regulasi tindak pidana mahar politik membuat mahar politik masih
menjadi salah satu budaya turun-temurun dalam ajang pelaksanaan pesta
demokrasi.
BAB III
PENUTUP
13
Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 228.
14
Saldi Isra, Pemilihan Umum dalam Transisi Demokrasi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2016), hlm.
94.
15
A. SIMPULAN
Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses
pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang
mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya
menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar “mahar” yang dikeluarkan
dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir. Hal ini
menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius
dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang
ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.
Undang-Undang Pemilu memiliki pengaruh yang sangat minim terhadap
kasus mahar politik, tak bisa dikatakan tidak ada pengaruh sebab dalam hal
preventif sebenarnya Undang-Undang Pemilu telah memberikan regulasi
mengenai kasus tersebut, namun hanya sebatas tindakan preventif saja. Tak
hanya peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, praktik
permintaan dan pemberian uang mahar memang sulit dibuktikan secara
hukum.
Secanggih apa pun langkah yang ditempuh Bawaslu/Panwaslu
mengawasi praktik ini, tetap saja ia sulit dibuktikan. Setidaknya, dengan
dengan ketentuan pengawasan dan kewenangan pengawas pemilu yang ada
saat ini, hampir mustahil lembaga ini dapat mengungkap secara jelas tentang
adanya pemberian.
B. SARAN
16
DAFTAR KEPUSTAKAAN
17
Assiddiqie, Jimly, 2012, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarata: PT Rajagrafindo
Persada.
18