Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara demokrasi, sebagaimana prinsip Negara demokrasi


dengan adanya pemilihan umum karena pemilihan umum merupakan konsekuensi
nyata yang dianut prinsip kedaulatan rakyat dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara sebagai proses memperjuangkan kepentingan politik dalam rangka
perwujutan bangsa yang ideal, dimana proses tersebut meletakkan sepenuhnya
kedaulatan rakyat ketangan rakyat melalui sistem pergantian kekuasaan yang
dituangkan dalam pasal 1 Ayat (2) undang-undang dasar negara republik Indonesia
tahun 1945 yang menyatakan kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanan
menurt undang-undang.

Pemilihan umum merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung


kepentingan rakyat, yang kemudian dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan.
Pemilihan umum sebagai sarana demokrasi untuk membentuk sistem kekuasaan
negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan yang digariskan
oleh UUD 1945 dan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Oleh karena itu pemilihan
umum harus dilaksanakan secara damai yang dilakukan secara berkala sesuai konsep
atau prinsip yang tertuang kedalam konstitusi yaitu pasal 22 E ayat 1 undang-undang
dasar negara republik Indonesia tahun 1945 yang menyatakan pemilihan umum
dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun
sekali, sehingga kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah kekuasaan
yang lahir dari bawah menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan
keinginan rakyat pelaksanaan kedaulatan rakyat tidak dapat dilepaskan dari
pemilihan umum.

1
Meskipun pengaturan tentang pemilihan umum telah ditetapkan oleh UU yang
berlaku, sengketa atau persoalan akan kerap muncul, seperti menyangkut daftar
pemilih, permasalahan kotak suara, permasalahan pencalonan dan termasuk sengketa
mengenai hasil pemilihan umum selalu saja terjadi dari setiap fase penyelenggaran
pemilihan umum1. Berdasarkan catatan kementrian dalam negri hinggga tahun 2016
menunjukkan bahwa terdapat 343 bupati atau walikota dan 18 gubernur yang
tersandung kasus korupsi. tentu data ini melihatkan ketidak berhasilan
penyenlenggaran pemilu tahun 2014 semua foktor akibat ini tidak terlepas dari
pengatur yaitu undang-undang serta penyelenggara pengawasan terhadap
penyelenggaran pemilihan umum yaitu lembaa badan pengawas pemilihan umum
( selanjutnya disingkat dengan bawaslu) yang mana lembaga ini bergerak berdasar
UU No.7 tahun 2017 yang memiliki fungsi menyusun standar tata laksana ,fungsi
pencegahan dan penidakan serta fungsi pengawasan jalan pemilihan umum.

Namun dalam kondisi pemilihan umum Indonesia saat ini UU sudah terlaksana
dengan baik namun belum maksimal dan masih terlihat terlihat masih ada pasifnya
UU yang mengatur sehingga dapat dimanfatkan oleh segelintir orang saja atau
kelompok, terkhusus karena hal itu permasalan ini sangat erat kaitannya dengan
partai politik (selanjutnya disingkat menjadi Parpol) karena parpol merupakan wadah
pencalonan yang ingin mengusung sebagai calon eksekutif ataupun legislatif, dimana
hal inilah menjadi titik rawan dimasukkannya penyelewengan serta pelangaran-
pelanggaran dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Salah satu yang salalu menjadi persoalan yaitu adanya praktek mahar
pencalonan yang terdapat dalam partai politik indonesia dimana problematika
tersebut selalu menjadi persoalan yang tidak pernah tuntas dalam pemilihan umum

1
Refli Harun, Pemilu Konstitusional, Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, hlm. 1

2
walaupun sudah ada UU yang mengaturya seperti pembatasan dalam sumbangan
terhadap parpol dan juga tranparansi .

Namun persoalan tersebut masih saja terdapat ketidaksesuaian sebagaimana


mestinya, seperti transparansi ke publik contohnya pelaporan yang lengkap mengenai
dana kampanye untuk DPRD provinsi dan DPRD kabupaten atau kota,dari data KPU
dari 16 parpol hanya 5 parpol yang menyerahkan Laporan Awal Dana Kampanye
(Selanjutnya disingkat menjadi LADK) dan 11 parpol yang tidak menyerahkan
LADK. Karena LADK sendiri merupakan bagian penting dalam Administrasi
Pemilu, untuk menjaga integritas pemilu. Hal ini terlihat sekali kurangnya tingkat
keseriusan dan kesadaran partai politik terhadap LADK, atau pun pelaporan
lainnya .Sehingga dalam hal inilah terlihat dan menimbulkan indikasi korupsi dalam
pelembagan parpol

Namun apabila semua problematika ini terus berlanjut maka akan menjadi sebuah
bumerang untuk bangsa itu sendiri.Karenaya semua hal ini merupakan tanggung
jawab aparat negara dan warga negara dalam mengembalikan harkat dan martabat
bangsa yang semestinya agar bangsa Indonesia mampu menjalankan demokrasi yang
sebenar-benarnya,Perbaikan kualitas moral bangsa salah satunya lewat memperkuat
basis integritas penyelenggara pemilu sesuai yang tertera dalam ideologi pancasila.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian yang telah dijabarkan ,Penulis Mencoba unuk membahas dan
menjawab persoalan-persoalan berikut:

1. Bagaimana pngaruh mahar pencalonan peserta Pemilu terhadap jalannya


regulasi pemerintahan Indonesia

3
2. Bagaimana Peran Undang-Undang pemilu terhadap mahar politik dalam
pencalonan Peserta Pemilu

4
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Money Politik

Money politic dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suap, arti suap
dalam buku kamus besar Bahasa Indonesia adalah uang sogok.Politik uang adalah
pertukaran uang dengan posisi/ kebijakan/ keputusan politik yang mengatasnamakan
kepentingan rakyat tetapi sesungguhnya demi kepentingan pribadi/ kelompok/ partai.2

Politik uang adalah suatu upaya memengaruhi orang lain (masyarakat)


dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual-beli suarapada
proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik
pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih.3

Politik Uang dapat diartikan sebagai upaya mempengaruhi perilaku orang


lain dengan menggunakan imbalan tertentu. Ada yang mengartikan politik uang
sebagai tindakan jual beli suara pada proses politik dan kekuasaan. Tindakan itu bisa
terjadi dalam jangkauan yang lebar, dari pemilihan kepala desa sampai pemilihan
umum suatu negara.

Maka politik uang adalah semua tindakan yang disengaja oleh seseorang
atau kelompok dengan memberi atau menjanjikan uang atau materi lainnya kepada
seseorang supaya menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu atau tidak
menggunakan hak pilihnya untuk memilih calon tertentu atau dengan sengaja
menerima atau memberi dana kampanye dari atau kepada pihak-pihak tertentu.

2
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
edisi kedua, 1994.hlm.965.
3
Thahjo Kumolo, Politik Hukum Pilkada Serentak,( Bandung : PT Mizan Publika 2015).hlm.155.

5
Demikian money politic adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap
seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun
supaya ia menjalankan haknya denga cara tertentu pada saat pemilihan umum.

Pemberian bisa dilakukan menggunakan uang atau barang.Politik uang


umumnya dilakukan untuk menarik simpati para pemilih dalam menentukan hak
suaranya tiap pemilihan umum. Berdasarkan pemikiran tersebut dapat dikatakan
bahwa money politic yang digunakan bisa berupa uang ataupun barang dengan tujuan
untuk menarik simpati para pemilih. Dengan adanya beberapa klasifikasi pemilih
sehingga diperlukan untuk menentukan sasaran khalayak yang kiranya sangat mudah
untuk dipengaruhi agar calon kandidat bisa memenangkan kampanyenya untuk
mengambil kekuasaan tersebut. Sasaran khalayak disini yaitu pemilih pemula
dikarenakan pemilih pemula merupakan kalangan muda yang baru pertama kali akan
menggunakan hak pilihnya dalam pemilihan umum (pemilu). Selain itu, pemilih
pemula belum memiliki pengalaman memilih dalam pemilihan umum (pemilu).

Sehingga, pemikiran politik pemilih pemula dianggap cenderung labil.


Padahal keberadaan mereka sangat potensial untuk menentukan pemimpin yang akan
terpilih. Oleh karena itu, menurut para tim kampanye dianggap lebih mudah untuk
mempengaruhi sasaran khalayak demi kesuksesan kampanyenya dalam pemilihan
umum (pemilu).

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengaruh Mahar Pencalonan Peserta Pemilu Terhadap Jalannya Regulasi


Pemerintahan Indonesia

Dinamika pemilihan umum pada tahun ini masih diwarnai oleh isu yang
relatif sama, salah satunya di permukaan adalah terkait pemberian “mahar politik”
kepada partai politik pengusung calon. Isu tersebut bukanlah hal yang baru dalam
pemilu Indonesia pasca reformasi, terlebih saat ini parpol cukup pragmatis dan
berorientasi pada kemenangan calon. Konsekuensinya biaya dalam perpolitikan untuk
memenangkan calon menjadi hal yang prioritas terutama untuk menyikapi besarnya
ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh para calon.

Berangkat dari hal tersebut, minimal terdapat empat sumber pengeluaran


yang menyebabkan tingginya ongkos politik pilkada. Pertama biaya pencalonan
(ongkos perahu politik) yang lazim disebut sebagai “mahar politik”. Kedua, dana
kampanye yang meliputi atribut kampanye, tim pemenangan, serta penggunaan media
elektronik dan cetak. Ketiga, ongkos konsultasi dan survey melalui pelbagai lembaga
konsultan dan lembaga survey.4

Keempat, politik uang yang masih marak dilakukan oleh calon kepala
daerah meliputi “serangan fajar”, sumbangan ke kantong pemilih, dan lainnya. Selain
itu, dana yang cukup besar adalah perihal keberadaan saksi pada hari perhitungan
suara. Namun secara yuridis secara jelas dicantumkan dalam UU no 7 tahun 2017

4
PUSKAPOL ,”Mahar Politik dan Korupsi Sistemik”, diakses dari
https://www.puskapol.ui.ac.id/opini/mahar-politik-dan-korupsi-sistemik. Pada tanggal 6 april 2019.

7
yang membagin, dana Kampanye pemilu yaitu dana dari caon,APBN,sumbangan sah
dari pihak lain.5

Dalam mengikuti kontestasi politik, adalah sebuah keniscayaan bagi calon


untuk mengikuti seluruh mekanisme pemilihan secara “demokratis” baik mekanisme
internal partai maupun mekanisme eksternal sesuai dengan aturan yang berlaku dalam
UU. Mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai ini yang seringkali
sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekedar
formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi “jual-
beli” antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai
tersebut.

Belakangan ini isu “mahar politik” ramai diperbincangkan karena salah satu
bakal calon Gubernur Jatim dari Gerindra, La Nyalla Matalliti, mengaku dimintai
uang 40 miliar oleh Ketua Umum Gerindra untuk membayar saksi dan sebagai syarat
agar bisa direkomendasikan menjadi calon Gubernur. Kemudian muncul isu mahar
politik lain seperti Dedi Mulyadi, Brigjen Siswandi, dan John Kristi.

Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses


pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang mengambil
injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya menyiratkan adanya tarik
menarik seberapa besar “mahar” yang dikeluarkan dan bahkan ada calon yang batal
dicalonkan di detik-detik terakhir. Hal ini menjadi momentum yang penting untuk
melihat bahwa ada persoalan serius dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik
menarik politik menguat yang ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.

Sebagai implikasi dari sistem Pilkada langsung berdasarkan suara mayoritas,


hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos politik dalam sistem demokrasi saat ini
begitu mahal. Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam
pilkada kabupaten berkisar 5-28 miliar, sedangkan pilkada provinsi kisaran 60-78
5
Undang- Undang Nomor.7 tahun 2017

8
miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi
yang akan diterima oleh gubernur misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6
juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. Inilah hal-hal yang dapat
memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-
pundi kesejahteraan rakyat.6

Dengan modal awal yang cukup besar, orientasi dari kekuasaan yang
dimiliki nantinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan
sebelumnya. Catatan Kementerian Dalam Negeri hingga tahun 2016 menunjukan
bahwa terdapat 343 bupati/walikota dan 18 gubernur yang tersandung kasus korupsi.
Tentu ini adalah catatan buruk proses demokrasi yang sedang kita jalani, karena
sesungguhnya kita berharap proses demokrasi bukan hanya bersifat prosedural
melainkan mencakup demokrasi yang substansial. Dan itu salah satunya dapat dilihat
dari berjalannya keadilan dari proses pencalonan hingga keterpilihan calon dengan
proses yang tidak mencederai nilai-nilai demokrasi.

Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2016, Indonesia


berada pada kategori sedang dengan angka IDI 70,09 menurun dari tahun 2015
dengan angka IDI 72,82. Dimana peran partai politik masih sangat minim dan masuk
ke dalam kategori “buruk” dengan angka 52,29. Sebagai sumber rekrutmen calon
kepala daerah, Partai Politik masih banyak memiliki pekerjaan rumah untuk
memperbaiki sistem rekomendasi calon, dan menghindari transaksi “jual beli” calon.7

Komitmen Partai Politik dan Pemerintah

6
Seknas Fitra , “Anggaran Pengeluaran Pilkada Kabupaten dan Kota”, diakses dari seknasfitra.org ,
pada tanggal 6 april 2019
7
PUSKAPOL.loc.cit.,

9
Isu mahar politik seringkali tidak berakhir tuntas, tampak ada tapi seperti
tidak ada, untuk mengakhiri praktik “mahar politik”, diperlukan upaya serius dari
pelbagai stakeholder baik itu Partai Politik, Bawaslu, PPATK, KPK, ataupun Satgas
Anti Politik Uang, juga masyarakat dan pengawal pilkada. Terdapat tiga poin yang
perlu menjadi perhatian, khususnya bagi partai politik dan pemerintah.

Pertama, kenaikan jumlah biaya parpol melalui revisi PP No 83/2012


menjadi PP No 1/2018, terkait kenaikan dana bantuan parpol dari 108 rupiah menjadi
1.078 rupiah per suara seharusnya membantu partai politik untuk menghindari praktik
“jual-beli” rekomendasi calon. Partai diharapkan dapat secara transparan melaporkan
penggunaan dana. Begitupula dengan mekanisme pemilihan calon kepala daerah agar
lebih banyak melibatkan kader, sehingga dimungkinkan untuk mengurangi praktik
dagang calon oleh elit partai.

Kedua, diperlukan keseriusan Bawaslu untuk menindaklanjuti perkara mahar


politik agar tidak menghambat proses demokrasi. Juga perlunya penguatan koordinasi
antara Bawaslu dengan PPATK, KPK, dan satgas anti politik uang yang baru dibuat
oleh POLRI untuk mengusut tuntas perihal mahar politik yang ditetapkan oleh partai.
Selain itu, pembatasan dana kampanye melalui regulasi Pilkada dapat membantu
mengurangi praktik ketimpangan dan menurunkan biaya politik para calon kepala
daerah.

B. Pengaruh Undang-Undang Pemilu Terhadap Mahar Pencalonan

Politik uang (money politics) dalam praktik politik memang tak dapat dipungkiri
keberadaanya. Hal ini seakan-akan sudah menjadi budaya turun-temurun di
Indonesia. Dalam ajang pemilihan umum tak jarang kita temui para calon-calon
pemimpin bangsa mengadakan apa yang disebut tawar-menawar politik yang tidak
diimbangi dengan pertimbangan kompetensi. Hal ini salah satunya disebabkan oleh
dibutuhkannya kendaran politik saat hendak mencalonkan diri. Sebagai contoh pada
draft awal naskah RUU revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999, baik yang dimiliki
oleh pemerintah (Depdagri) maupun yang disiapkan oleh Badan Legislasi DPR

10
sebenarnya mengakomodasi jalur kandidat perseorangan di luar jalur partai politik 8.
Sebelum diakomodasi dalam draft usulan pemerintah dan usulan DPR, usulan
tetntang perlunya calon independen juga diajukan draft naskah RUU revisi atas UU
Nomor 22 Tahun 1999 versi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun
pada akhirnya, jalur kandidat perseorangan di luar “pintu” partai itu kandas dalam
pembahasan RUU oleh Panitia Khusus 9 DPR.Politik uang (money politics) dalam
paradigma sosiologi merupakan perwujudan dari isitilah venality. Istilah tersebut
merujuk pada keadaan dimana uang dipakai untuk membayar sesuatu yang menurut
hakikatnya tidak dapat dibeli dengan uang. Dilihat dari bobroknya kualitas birokrasi
Indonesia yang terkesan tidak jujur dan mengesampingkan kepentingan rakyat,
money politics menjadi salah satu faktor penyebab menjamurnya pemimpin tanpa
kepemimpinan (leaders without leadership). Pemimpin tanpa kepemimpinan artinya
seorang seseorang tersebut tidaklah berkompeten dalam hal memimpin dan
memerintah. Kedua hal tersebut dapat meningkatkan resiko adanya konflik baik
secara horizontal maupun vertical berkepanjangan dalam birokrasi. Keadaan tersebut
pada akhirnya akan mengganggu stabilitas nasional secara fundamental.

Dalam konsepsi mencegah budaya politik uang, kata mencegah merujuk pada
upaya atau langkah antisipasi agar sesuatu tidak terjadi. Jadi tekanannya adalah pada
langkah-langkah preventif, bukan langkah-langkah kuratif atau represif. Itu berarti,
dalam membahas konsepsi tentang mencegah budaya politik uang guna menciptakan
pemilihan kepala daerah yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional, maka
yang harus ditonjolkan adalah langkah-langkah preventif yang diperlukan untuk
mencegah terjadinya politik uang itu sendiri. Sebagai sebuah konsepsi, maka
kebijaksanaan yang perlu diambil dalam rangka mencegah budaya politik uang guna
menciptakan Pemilu yang berkualitas dalam rangka stabilitas nasional adalah:
mewujudkan pencegahan budaya politik uang melalui langkah hukum dan langkah
non-hukum demi menciptakan pemilu yang berkualitas dalam rangka stabilitas
nasional, dengan berpedoman pada kebijaksanaan tersebut di atas, maka dapat
dikembangkan strategi yang melibatkan infrastruktur, suprastruktur, dan substruktur
sebagai subyek, dengan pemerintah negara dan perangkat nasional yang menangani
8
Draft awal naskah RUU revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999 usulan pemerintah anatar lain
berbunyi:’selain pengajuan pasangan bakal calon yang disusulkan partai politik atau gabungan partai
politik, dapat diajukan pasangan bakal calon lain dengan persyaratan dukungan 1% dari jumlah
pemilih.” Sementara itu draft awal naskah RUU versi DPR antara lain mengatur bahwa “Pasangan
calon diajukan oleh partai politik, gabungan partai politik, atau perseorangan”. Khusus untuk calon
perseorangan, draft RUU revisi atas UU Nomor 22 Tahun 1999 versi DPR mengusulkan persyaratan
dukungan pemilih sekurang-kurangnya sama dengan jumlah bilangan pembagian pemilihan.
9
Suharizal, Pemilukada, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 109.

11
pemilu dan politik uang, serta masyarakat sebagai sasaran sosialisasi, edukasi,
regulasi, revitalisasi, dan pemberdayaan masyarakat sebagai metode.10

Adapun strategi yang perlu ditempuh adalah sebagai berikut:

1) Strategi Pencegahan dengan Sarana Hukum, strategi pencegahan melalui


sarana hukum, mencukup tiga hal yakni pencegahan pada tingkat legislasi,
yudikasi, dan eksekusi. Dengan adanya aturan dalam UU (kebijakan legislasi),
penerapan hukum dalam kasus nyata (kebijakan yudikasi), dan pelaksanaan
hukuman sesuai putusan pengadilan (kebijakan eksekusi), maka akan terjadi
efek pencegahan, baik pencegahan yang bersifat umum dan bersifat khusus.
Adapun law enforcement yang dilakukan dalam proses peradilan (polisi,
jaksa, pengadilan), merupakan penegakan hukum dalam arti sempit.
a. Strategi Pencegahan Melalui Kebijakan Legislasi:
Mengkriminalisasikan politik uang sebagai tindak kejahatan dengan
ancaman hukuman yang berat. Stategi kriminalisasi politik uang, perlu
ditempuh karena selama ini terjadi kekosongan hukum (utamanya
hukum pidana) mengenai hal tersebut. Mengikuti teori von Feurbach,
kriminalisasi yang disertai ancaman hukuman berat terhadap politik
uang akan memberi efek psikologis yang mencegah seseorang
melakukan perbuatan serupa.
b. Strategi Pencegahan Melalui Kebijakan Yudikasi: Memantapkan
efektivitas penerapan hukum (menyangkut kasus politik uang) melalui
peningkatan keterpaduan kerja antar aparat penegak hukum,
peningkatan kemampuan penguasaan hukum, peningkatan
keterampilan teknis yuridis, peningkatan integritas moral, peningkatan
profesionalisme, serta peningkatan sarana dan prasarana yang
diperlukan. Strategi ini mutlak diperlukan karena sekalian hal di atas
merupakan syarat penting bagi penerapan hukum secara efektif. Tanpa
penerapan hukum yang efektif, maka praktik politik uang dalam
Pilkada akan sulit dicegah. Selama ini, kendala utama yang
menyebabkan tidak maksimalnya penegakan hukum serta kurang
efektifnya penerapan hukum, justru karena kurangnya keterpaduan
kerja antar aparat penegak hukum, minimnya penguasaan hukum,
rendahnya integritas moral dan profesionalisme, serta kurangnya
sarana/prasarana yang tersedia (termasuk rendahnya gaji aparat).
c. Strategi Pencegahan Melalui Kebijakan Eksekusi: Mengefektifkan
pelaksanaan eksekusi hukuman (terhadap pelaku politik uang) melalui

Indah Sri Utari, “Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang Berkualitas: Sebuah
10

Revitalisasi Ideologi”. Seminar Nasional Hukum. Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016, 451-474

12
peningkatan pengawasan oleh pengadilan. Strategi ini merupakan
upaya untuk memastikan bahwa putusan hukum oleh pengadilan
mengenai politik uang benarbenar dieksekusi dan dilaksanakan secara
benar dan tepat. Tanpa penghukuman yang riil dan pembinaan yang
tepat di penjara, maka pencegahan yang bersifat umum maupun
khusus tidak mungkin tercapai, dan dengan demikian praktik politik
uang tidak mungkin terberantas.11
Politik uang merupakan salah satu masalah serius dalam setiap pemilihan
umum di Indonesia. Mulai dari pemilihan kepala desa, anggota legislatif, Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), kepala daerah, hingga presiden selalu diwarnai praktek
jual beli suara. Tidak mengherankan apabila temuan mengenai politik uang
mendominasi dalam setiap laporan pelanggaran, khususnya berkaitan dengan
pelanggaran pidana.

Dalam tiga kali pemilu di era reformasi, Indonesia Corruption Watch


mencatat terjadi peningkatan temuan politik uang. Pada pemilu 1999, setidaknya
terjadi 62 kasus politik uang. Pelakunya didominasi oleh partai besar seperti golkar
dan PDI Perjuangan. Pemilu 2004 ditemukan 113 kasus, sedangkan pemilu 2009
jumlah temuan bertambah menjadi 150 kasus.12 Pelakunya masih tetap didominasi
oleh pengurus partai politik. Tidak hanya dalam pemilu legislatif, hal yang sama juga
terjadi dalam pemilihan kepada daerah (pemilukada) langsung.

Hasil riset dan monitoring yang dilakukan ICW di delapan daerah


memperlihatkan sebagian besar pelanggaran berkaiitan dengan politik uang.
Pelakunya tidak hanya kandidat/tim sukses/partai dengan pemilih, tapi juga
kandidat/tim sukses/partai dengan penyelenggaran seperti panitia pengawas, PPK. Itu
sebabnya, sangat penting upaya untuk melakukan pengawasan pemilu, khususnya
berkaitan dengan isu politik uang. Dalam semua aturan mengenai pemilihan umum di
Indonesia, seperti pemilu anggota legislatif, kepala daerah, dan presiden tidak ada
satu pun yang secara tegas menyebut politik uang.

Politik uang memiliki banyak macam dan bentuknya salah satunya yakni
pemberian mahar atau biasa disebut sewa perahu. Sewa perahu adalah istilah
yang biasa digunakan untuk menyatakan harga yang dibayar agar dapat
dicalonkan oleh suatu parpol. Untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa

11
Indah Sri Utari, “Pencegahan Politik Uang dan Penyelenggaraan Pilkada yang Berkualitas: Sebuah
Revitalisasi Ideologi”. Seminar Nasional Hukum. Volume 2 Nomor 1 Tahun 2016, 451-474
12
Ade Irawan, “Panduan Pemantauan Korupsi Pemilu”, (antikorupsi.org. diakses 4 April 2019)

13
perahu”, baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau
seluruhnya. Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh
melampaui batas sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-
undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung di balik layar.

Dalam masalah pengaturannya dalam undang-undang, aktifitas money politics


yang satu ini terkesan buram dan tidak jelas, mengakibatkan ketidakefektifannya
penegakan hukum bagi para pelaku. Undang-Undang Pilkada dalam
menjatuhkan sanksi bagi pelaku money politics lebih progresif jika dibandingkan
dengan Undang-Undang Pemilu. Hal tersebut tercermin dalam Undang-Undang
No. 7 Tahun 2017 tentang pemilu pada pasal 228 yang mana dalam
mengklasifikasikan subjek yang dapat dijerat terlihat buram dan tidak progresif,
dimana yang dapat dijerat hanya ‘penerima’ yakni partai politik, sedangkan
pemberi tidak dapat dijerat pidana.

Disisi lain hukuman yang dijerat dalam kasus politik uang adalah hukuman
pidana. Maka Bawaslu tidak bisa memberi sanksi administratif kepada peserta
pemilu yang bersangkutan kasus politik uang. Kasus money politics dalam
Undang-Undang Nomor 7 Pasal 228 ini harus diproses dulu di pidana. Bawaslu
tidak dapat menindak secara administratif jika putusan pidananya tidak ada.
Karena administratif itu bisa dikenakan ketika setelah putusan pidana yang
punya kewenangan hukum tetap. Jika dilihat secara kasat mata, Undang-Undang
Nomor 7 Pasal 228 tersebut memang mengatur tentang larangan dilakukannya
money politics.

Namun pada kenyataanya jika dilihat kembali sanksi dalam pasal tersebut
tidak diatur didalamnya. Dalam Pasal 228 dari UU Nomor 7 tahun 2017 tentang
Pemilu melarang segala bentuk pemberian imbalan terkait pencalonan
presiden/wakil presiden. Jika terbukti, partai politik itu tak boleh mengusung
capres/cawapres di periode berikutnya. Berikut bunyinya:

1. Partai Politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apa pun


pada proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
2. Dalam hal Partai Politik terbukti menerima imbalan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Partai Politik yang bersangkutan dilarang
mengajukan calon pada periode berikutnya.
3. Partai Politik yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) harls dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.

14
4. Setiap orang atau lembaga dilarang memberikan imbalan kepada
Partai Politik dalam bentuk apa pun dalam proses pencalonan
Presiden dan Wakil Presiden.13
Hal tersebut menampakkan bahwa adanya problem regulasi dalam menindak
kasus-kasus money politics seperti mahar politik. Dengan status ketidakjelasan
perihal regulasi tindak pidana mahar politik membuat mahar politik masih
menjadi salah satu budaya turun-temurun dalam ajang pelaksanaan pesta
demokrasi.

Undang-Undang Pemilu memiliki pengaruh yang sangat minim terhadap


kasus mahar politik, tak bisa dikatakan tidak ada pengaruh sebab dalam hal
preventif sebenarnya Undang-Undang Pemilu telah memberikan regulasi
mengenai kasus tersebut, namun hanya sebatas tindakan preventif saja. Tak
hanya peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, praktik
permintaan dan pemberian uang mahar memang sulit dibuktikan secara hukum.

Secanggih apa pun langkah yang ditempuh Bawaslu/Panwaslu mengawasi


praktik ini, tetap saja ia sulit dibuktikan. Setidaknya, dengan dengan ketentuan
pengawasan dan kewenangan pengawas pemilu yang ada saat ini, hampir
mustahil lembaga ini dapat mengungkap secara jelas tentang adanya
pemberian.14

BAB III

PENUTUP

13
Undang-Undang No.7 Tahun 2017 tentang Pemilu Pasal 228.
14
Saldi Isra, Pemilihan Umum dalam Transisi Demokrasi, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2016), hlm.
94.

15
A. SIMPULAN
Persoalan mahar politik merupakan salah satu yang membuat proses
pencalonan membutuhkan waktu yang cukup lama, banyak partai yang
mengambil injury time untuk mendaftar ke KPU yang sebenarnya
menyiratkan adanya tarik menarik seberapa besar “mahar” yang dikeluarkan
dan bahkan ada calon yang batal dicalonkan di detik-detik terakhir. Hal ini
menjadi momentum yang penting untuk melihat bahwa ada persoalan serius
dalam mekanisme pemilu yang membuat tarik menarik politik menguat yang
ujungnya bisa menghadirkan praktik yang koruptif.
Undang-Undang Pemilu memiliki pengaruh yang sangat minim terhadap
kasus mahar politik, tak bisa dikatakan tidak ada pengaruh sebab dalam hal
preventif sebenarnya Undang-Undang Pemilu telah memberikan regulasi
mengenai kasus tersebut, namun hanya sebatas tindakan preventif saja. Tak
hanya peraturan perundang-undangan yang kurang memadai, praktik
permintaan dan pemberian uang mahar memang sulit dibuktikan secara
hukum.
Secanggih apa pun langkah yang ditempuh Bawaslu/Panwaslu
mengawasi praktik ini, tetap saja ia sulit dibuktikan. Setidaknya, dengan
dengan ketentuan pengawasan dan kewenangan pengawas pemilu yang ada
saat ini, hampir mustahil lembaga ini dapat mengungkap secara jelas tentang
adanya pemberian.

B. SARAN

Dalam peraturan perundang – undangan seharusnya regulasi mengenai mahar


pencalonan lebih diperjeleas dan di spesifikasikan sehingga
terimplementasikannya demokrasi yang transparan dan praktik politik yang
sehat. Lebih daripada itu regulasi yang jelas akan menciptakan sususnan
birokrasi yang kompeten dalam menjalankan tata pemerintahan.

16
DAFTAR KEPUSTAKAAN

17
Assiddiqie, Jimly, 2012, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarata: PT Rajagrafindo
Persada.

Harun ,Refly, 2016, Pemilu Konstitusional , Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Suharizal, 2011 , Pemilukada, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Isda, Saldi, 2016, Pemilihan Umum Dalam Transisi Demokrasi, Jakarta: PT


Rajagrafindo Persada.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,1994 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi


kedua, Jakarta: Balai Pustaka.

18

Anda mungkin juga menyukai