Anda di halaman 1dari 15

Cerpen Sepotong Cinta dalam Diam

Karya Asma Nadia

Jakarta, tahun pertama

Perempuan,
Kau pasti tahu sakitnya cinta yang tak terkatakan. Cinta yang hanya mampu didekap
dalam bungkam. Kata orang bahkan diam berbicara. Tapi menurutku, hal itu tidak
berlaku dalam cinta. Sebab cinta harus diekspresikan dan pantang dibawa diam.
Sebab cinta harusnya dinyatakan, lalu dibuktikan dengan sikap. Begitu seharusnya
cinta.

Tapi aku memang tidak punya pilihan.


Maafkan!

Sebuah bingkisan dan sepucuk surat tergeletak di bibir ranjang. Dee memandangnya
dengan keingintahuan yang besar. Matanya yang memiliki kelopak indah terbuka
lebar. Sementara mulutnya sejak tadi menimbulkan suara gumaman tak jelas. Kedua
bola mata gadis itu tak beranjak juga dari bingkisan dan sepucuk surat yang ditempel
menyatu dengannya.

Paket kesasar, kalau boleh disebut Dee demikian, diterimanya pagi ini dari tukang
pos, lelaki tua yang mengayuh sepeda dengan susah payah. Dee tidak mengerti
mengapa lelaki itu masih bersikeras mengantar surat hanya dengan sepeda, sementara
tukang pos yang lain telah lama meninggalkan kendaraan antik itu, beralih ke sepeda
motor.

“Buat siapa, Pak?”

Tukang pos itu tak menjawab. Hanya memintaku menerima paket kesasar itu.

“Kok nggak ada namanya, Pak? Yakin buat di sini?”

Kali ini Pak Pos menggerakkan telunjuknya pada alamat lengkap yang tertulis di
bagian atas amplop yang menempel pada sebuah paket.

Jl. Kebon Kosong Gg. I no 10 A.


Kemayoran, Jakarta Pusat

Dee tersenyum. Kagum dengan konsistensi Pak Pos tua di depannya. Sejak dulu lelaki
itu tak pernah banyak bicara. Pekerjaannya sendiri memang hanya mengantarkan
surat. Jadi sama sekali bukan kesalahan jika Pak Tua itu melakukannya dengan sedikit
bicara atau sekedar menyodorkan amplop. Lagipula tidak akan ada yang memberinya
bonus lebih seandainya ia bersikap ramah dan sedikit berbasa-basi.
Dee tidak menyalahkan si tukang pos yang tanpa ragu menyodorkan sebuah bingkisan
dengan sepucuk surat menempel di atasnya ke rumah Dee. Sebab alamatnya memang
tertera jelas.

Masih dengan segudang rasa penasaran Dee membawa langkahnya masuk ke dalam
rumah sambil menenteng paket dari Pak Pos barusan. Lalu gadis berusia duapuluh
tiga tahun itu menjatuhkan paket di tangannya ke sofa, tempat tiga gadis lainnya
sedang asyik menonton tivi.

Paket meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah sofa. Tiga gadis kaget, melupakan
tontonan seru Oprah Winfrey’s Show dan berebut lebih dulu mengambil paket yang
jatuh. Andra yang pertama berhasil merebut paket yang jatuh dekat pangkuan Ita.
Hiruk-pikuk segera terjadi.

Ita berusaha merebut paket yang jatuh di pangkuannya sebab mengira itu memang
ditujukan Dee untuknya. Sementara Anik tidak mau tinggal diam, ikut bertarung.
Adegan a la anak kecil itu berlangsung cukup seru, setidaknya di mata Dee. Sayang
semua menjadi antiklimaks ketika Andra, Ita, dan Anik tak menemukan nama yang
dituju sang pengirim. Amplop yang menempel pada bingkisan itu kosong. Hanya ada
sebuah alamat yang ditulis tangan.

Ketiganya lalu mengalihkan pandangan pada Dee yang barusan menjatuhkan badan
ke sofa.

“Dee, paket siapa, nih?”

“Kok nggak ada nama pengirimnya?”

“Boro-boro pengirim. Nama yang dituju aja nggak ada!”

Dee tersenyum, menegakkan duduknya. Kepala gadis itu dicondongkan ke depan,


hingga berhadapan cukup dekat dengan wajah ketiga temannya.

“Aneh kan?”
Andra, Ita, dan Anik mengangguk.

“Memang aneh!”
Dee menjatuhkan badannya lagi, tertawa geli sendiri.

“Tidak lucu!” Andra serta-merta menukas.


Anik yang tampak berpikir keras menambahi, “Pengirimnya pasti memang ingin
membuat bingung kita!”
Ita lain lagi pendapatnya, gadis berkulit hitam manis itu merebut bingkisan di tangan
Anik, lalu mendekatkannya ke telinga, sebelum mengembuskan nafas lega. Ia tak
mendengar suara detak jam dari dalam bingkisan.

“Aman!”
Kesunyian berlangsung. Tidak terlalu lama sebab Dee yang cerewet dan punya
banyak ide langsung mengajukan usul.

“Kita buka saja!”


Tiga gadis sebaya di depannya berpandangan, lalu menggelengkan kepala.

“Kita nggak bisa membuka paket yang bukan untuk kita, Dee. Itu namanya lancang
dan tidak amanah!”
Dee diam lagi. Tapi tidak berapa lama mata bulatnya bersinar lagi.

“Kalau begitu kita buka, terus kita bungkus lagi, gimana? Siapa tahu penjelasannya
ada di dalam bingkisan ini?”
Andra cepat membantah, “Itu juga nggak boleh Dee. Kita nggak boleh membuka
bingkisan ini, kecuali memang yakin milik kita. Siap tahu paket ini nyasar ke alamat
sebelah. Mungkin saja kan pengirimnya salah menulis alamat.

Ya, memang mungkin.

Dee mengerutkan kening, bibirnya bergumam tak jelas, khas gadis itu jika sedang
berpikir keras.

“Jadi gimana dong?”


Kali ini Ita yang paling tua di antara mereka angkat bicara,

“Kita biarkan dulu tiga hari. Lihat-lihat, siapa tahu Pak Pos kembali dan mengatakan
paket ini salah alamat. Simpan saja sementara ini. Ok?”

Dee yang rasa penasarannya sudah melewati ubun-ubun sebetulnya ingin menolak,
tapi tak berdaya. Sebab tiga rekannya yang lain sepakat dengan ide Ita. Maka
beramai-ramai mereka menaruh paket misterius itu ke atas lemari. Lalu
memandanginya lama.

***

Jakarta, tahun ketiga

Perempuan,
Hari-hariku adalah penantian. Perasaan gelisah yang kupikir tidak mungkin ada kini
menjadi rutinitas yang harus kuhadapi.

Dulu, aku memang menghindar dari perasaan itu. Jatuh cinta, untuk apa? Aku orang
miskin yang harus menyelesaikan sekolah dan seabreg tanggung jawab, sebab Emak,
salah satu perempuan yang kuhormati, telah lama ditinggal mati ayah.

Aku tumbuh menjadi lelaki. Sendiri.

Hidupku bagiku merupakan perjuangan keras tanpa batas. Tak jarang aku merasa
seperti kapal kecil yang berjalan tanpa rasi bintang. Terapung-apung, sesekali
membentur karang, dan harus berbalik arah.

Namun, melihatmu pertama kali di masjid sore itu.


Hatiku begitu saja bicara:
Kau adalah perempuanku. Takdirku!
Untuk pertama kali hidup tak sekadar mengalir.
Sebab kini aku punya cita-cita.

Hari ketiga, Dee mengangkat paket itu dari atas lemari, lalu menimang-nimangnya.
Hatinya menebak-nebak isi bungkusan di tangannya.

Tidak terlalu berat. Tidak sampai satu kilo. Dee tahu pasti sebab barusan ia menaruh
bingkisan itu di timbangan. Rasa ingin tahu mendera dara bertubuh jangkung itu.
Seharusnya teman-temannya menyetujui usul Dee untuk mencoba menemukan
jawaban di dalamnya. Siapa tahu ada label nama pada isi bingkisan itu. Siapa tahu?

Dee menimang-nimangnya lagi, lalu hati-hati meletakkan bingkisan itu di pinggir


ranjang. Matanya menyusuri huruf demi huruf tulisan tangan di amplop. Tulisan itu
tegas, tegak lurus, dan jelas. Mengingatkan Dee akan tulisan guru-guru bahasa
Indonesianya waktu SMA dulu. Tulisan orang zaman dulu, begitu teman-temannya
sekelas biasa bercanda.

Pasti penulisnya seorang yang serius, pikir Dee lagi. Tulisan di atas amplop memang
jauh dari modern. Begitupun pilihan amplop. Terkesan oldies. Meski begitu entah
mengapa itu menyiratkan sesuatu yang dalam.

Dee melihat lebih dekat amplop berwarna biru itu. Tampak guratan-guratan bekas
lipitan, juga warna biru yang agak pudar. Seolah surat itu telah menempuh jarak
bertahun-tahun sebelum tiba di rumah ini.

Dee tahu, ia tak bisa lagi menunggu.

Tangan gadis itu menyobek pinggiran kertas coklat dan meraih sebuah amplop yang
meluncur dari dalamnya. Namun baru sedikit ia membaca, terdengar langkah
mendekati kamar. Ketika Dee mengangkat wajah, Andra, Ita, dan Anik menatapnya
dengan tangan terlipat di dada, berdiri gagah di pintu. Terlambat, Dee tak sempat
menyembunyikan surat yang sedang dibacanya. Tak ada kesempatan lagi. Ita
langsung merebut dan mengembalikan surat yang juga tampak lusuh dan penuh
lipitan dan menaruhnya di atas bingkisan.

“Curang!”
Anik mengecam Dee. Tidak hanya itu, Andra dan Ita menekuk muka mereka.
Kegusaran tergambar jelas, bahkan di dekik pipi Andra yang biasa terlihat ramah.

“Kamu tidak amanah, Dee!”


Duh, kata ajaib itu lagi.

Dee memandang ketiga teman satu kosnya dengan paras merah, seperti maling
jemuran yang kepergok. Malu dan tak enak hati.

“Maafkan aku.”
Suasana kaku muncul. Dee tak sanggup berkata apa-apa lagi. Percuma berpanjang-
panjang membela diri, toh ia memang bersalah.

Empat orang gadis di dalam kamar termangu.

Bingkisan coklat dan amplop berisi surat tergeletak telentang. Beberapa amplop lagi
barusan meluncur dari dalam bingkisan yang sobek. Dee memandangnya dengan
perasaan ingin tahu yang lebih besar. Lelaki dan perempuan tanpa nama, kini
memetakan sederet tanda tanya di kepalanya.

“Maafkan aku,” Dee memecah keheningan, “tapi tidak mungkin berharap kemajuan
hanya dengan menunggu. Sudah tiga hari lebih.”
Dee mulai mendapatkan dukungan. Anik tampak bereaksi. Gadis bertubuh mungil itu
manggut-manggut beberapa kali. Sementara Ita dan Andra tampak gelisah. Dee
tertawa dalam hati, ia kenal kedua sahabatnya itu. Mereka pasti diam-diam sama
penasarannya dengan dirinya. Surat-surat di dalam amplop yang ditulis dengan tinta
berbeda itu mustahil dilewatkan begitu saja.

“Surat itu indah, kalian harus membacanya.” Dee kembali memancing.


Andra bangkit, berjalan mondar-mandir. Ita melirik surat yang bagian pinggirnya
sudah disobek. Dee sungguh menyebalkan!

Andra menarik nafas panjang. Lucu memang. Bingkisan itu bukan milik mereka.
Aneh, bagaimana rasa penasaran mereka terus berkembang seperti balon gas yang
diisi udara.
“Masalahnya, kita nggak berhak, Dee. Aku bukannya nggak penasaran. Surat ini,
kalau benar indah seperti katamu, hanya milik satu orang. Membacanya lebih dulu
akan mengurangi rasa hormat kita terhadap pemilik dan pembuatnya.”

Gagal lagi.

Dee memejamkan matanya. Terbayang sosok lelaki tanpa nama yang menanti di dekat
jendela, berharap balasan atas surat yang dikirim. Terlukis seorang perempuan tanpa
nama, bertopang dagu, mendekap rindu.

Dee tak sabar!


Tapi ia tak bisa bergerak. Andra, Ita, dan Anik menatapnya dengan mata menukik.

Sebuah bingkisan berwarna coklat dan beberapa pucuk surat. Dee menatapnya tak
berkedip.

***

Jakarta, tahun kedelapan

Siapa yang bisa memilih cinta, siapa yang bisa memutuskan kapan cinta harus hadir
dan kepada siapa cinta harus tumbuh? Tak ada!

Sebab cinta adalah anugrah. Rahasia-Nya yang unik dan barangkali tak selalu bisa
dijelaskan.
Aku mencintaimu, perempuan. Tanpa keraguan. Dan, dengan keyakinan penuh, aku
menjatuhkan pilihan.
Dan aku bukan lelaki yang gampang menentukan pilihan atau mengubah pilihan yang
telah dibuat. Aku adalah lelaki yang memilih dan sekaligus menerima risiko atas
pilihan yang kubuat. Tak ada kata mundur.

Mereka bilang mustahil. Barangkali ada benarnya.

Tapi bukankah Tuhan adalah tempat bagi semua kemustahilan? Itulah kenapa, dalam
iman yang tak seberapa selama delapan tahun ini, telah kusandarkan jawaban doa
pada-Nya. Cita-cita untuk bisa menjadi tua bersamamu.

Adapun penantian panjang yang kulalui biarlah menjadi bagian sejarah betapapun
sakit dan membuatku tersiksa. Memandangmu dalam realita memang perih. Luka di
atas luka tersiram cuka.

Untunglah,
Pada malam-malam, engkau milikku.
Meski dalam mimpi yang kata orang semu.
Dee termangu. Andra dan Ita menahan nafas, sementara Anik mengusap airmata.

Tidak penting lagi diceritakan bagaimana akhirnya mereka berempat bisa


mendapatkan kata sepakat untuk sama-sama membaca surat itu. Jeleknya lagi dalam
alunan ‘Knife’, lagu 80-an yang memerihkan hati.

“Aku penasaran,” Dee tiba-tiba angkat bicara, “sebetulnya apa sih yang terjadi?
Kenapa mereka tidak bisa bersatu?” ujar Dee lagi dengan pertanyaan yang sedikit
norak dan rada-rada sinetron, tapi sepertinya yang lain tak melihat itu. Mungkin
disergap haru.

“Mungkin perempuan itu tidak mencintai dia, Dee,” Ita menjawab.

“Terus?”

“Tapi lelaki itu sudah memilih dan dia terus menunggu sampai si perempuan, suatu
hari, mencintainya.”

Anik menggelengkan kepala,

“Mungkin lelaki itu mencintai perempuan yang sudah menikah, makanya jadi
mustahil.”

Bodoh! Desis Dee dalam hati. Mengapa membiarkan cinta yang begitu menguras
kesedihan tumbuh begitu dalam? Dipertahankan lagi! Tapi cinta memang tak bisa
memilih. Dan ternyata itu bukan sekadar judul sinetron atau kalimat-kalimat klise
yang bisa ditemukan di buku-buku picisan.

“Aku nggak ngerti, kenapa surat-surat itu tidak pernah diposkan sebelumnya? Begitu
banyak berlembar-lembar.”

“Lihat nih,” Andra yang sejak tadi tak banyak bersuara, akhirnya buka mulut, “di
surat ini ditulis bahwa sebagian surat yang lain telah rusak dan tak bisa lagi dibaca
karena tertelan banjir.”

Lucu juga. Tapi Dee merasa keterlaluan kalau sampai tertawa. Biar bagaimanapun
banjir kan tragedi.

Mereka berempat seperti lupa waktu. Sejak tadi masing-masing memilah-milah surat
dan membaca sendiri-sendiri. Ada seuatu pada kalimat-kalimat si lelaki yang
membuat keempat mahasiswi itu terhipnotis untuk terus mengikuti kisah si lelaki dan
perempuan yang sampai sekarang masih tanpa nama.
***

Jakarta, tahun kesebelas

Aku melihatmu hari ini. Indah seperti biasa. Kau mengenakan baju rok n blus
bermotif pink dan biru. Dua warna yang menjadi favoritmu.

Sebelas tahun berlalu, perempuan. Kau tetap satu-satunya perempuan yang


membuatku sabar dan rajin berdoa.

Waktu memang telah berlalu sangat cepat tanpa bisa dicegah. Harus kuakui itu sama
sekali tidak mengurangi keindahan perempuanku. Satu wajah daun sirih yang hitam
manis, tawa cerahmu, dan sorot mata keibuan.

Ketika di tempat-tempat lain ketulusan telah menguap dan sulit ditemukan, aku pun
datang kepadamu. Sebab pada wajah sederhana namun indah milikmu, kunikmati
ketulusan melimpah.

Maka dalam diam harapan kujahit. Suatu hari aku akan di sisimu, saat matahari terbit.

Anik kembali menghapus airmatanya. Andra tampak masih serius dengan sebuah
surat di tangannya. Mata sipit memanjang gadis itu menyusuri kalimat demi kalimat.
Di sampingnya Ita mengikuti.

***

Jakarta, tahun kelimabelas

Perempuan,

Semoga kau bisa melihat perubahan yang telah kubuat dalam hidup.

Beberapa cerpen telah kutulis, sebagian ada yang telah dibukukan. Terima kasih telah
menjadi sumber abadi inspirasiku. Semoga kau tidak keberatan. Selalu kutulis inisial
namamu di setiap tulisan. Dengan cara itu aku berusaha terus bersamamu, menjaga
cita-cita. Juga kesetiaan.

Aku tidak menyalahkan jika tak ada yang percaya bagaimana aku sebagai lelaki yang
memiliki kebutuhan bisa tetap sendiri dan tidak tergoda macam-macam.

Kesalahan mereka adalah mengira aku sendiri. Mereka tidak memahami wajahmu
yang menyapaku setiap pagi di komputerku. Mereka tidak melihat fotomu yang
terselip di dompetku, meski lusuh dan berukuran sangat kecil (Maafkan aku
mengambilnya tanpa meminta. Tapi foto itu telah memberiku banyak energi). Mereka
juga tidak tahu sosokmu yang terlukis di dalam hati dan tak pernah pudar, meski
belasan tahun berlalu.

Dari jauh kulihat engkau bahagia dengan kehitupanmu. Itu membuatku senang, meski
di satu sisi menorehkan luka.
Bukankah cinta harus bahagia atas kebahagiaan yang dicintai, dan tidak membiarkan
dirusak ego semata?
Perempuanku,
Kau tidak tahu betapa sulitnya untuk tetap dalam ketulusan. Untuk tidak mengirimkan
surat-surat ini padamu sampai waktunya tiba. Untuk menyimpan cinta dalam diam.
Dan melewati hari dengan hati teriris-iris oleh rindu, cinta, cemburu.
Pernah aku menangis dan ingin menyerah atas cinta yang Dia pilihkan untukku. Tapi
perempuanku juga keajaiban yang dikirimkan Tuhan. Untuk anugrah sebesaritu aku
hanya perlu bersabar

Dee meletakkan surat yang membuat dadanya sesak. Berfikir, perempuan itu sungguh
beruntung karena mendapatkan cinta begitu besar.

“Bingkisan itu isinya kira-kira apa ya? Gimana kalau kita buka juga?”
Kalimat sekonyong-konyong Dee membuat mata Andra, Ita, dan Anik melotot. Di
dalam kertas coklat itu memang terdapat sebuah bungkusan lain yang terbalut kertas
koran.

“Baca surat aja udah salah, Dee! Masa kita mau buka bingkisan itu juga.”

“Aku penasaran.”

“Lalu penasaran itu memberimu hak untuk melanggar privacy orang?”


Dee kena batunya. Andra tersenyum puas. Ita dan Anik kembali asyik membaca surat-
surat. Belum ada kemajuan. Mereka tak menemukan nama atau petunjuk lain yang
lebih spesifik. Padahal setelah membaca surat-surat itu keinginan keempat gadis itu
menjadi lebih besar untuk menyampaikan bingkisan dan surat-surat tersebut kepada
yang berhak.

Dee memilih sebuah surat, lalu memutuskan membacanya keras-keras.

“Ini surat terbaru dan terpanjang…”

Dee mulai membaca dengan perlahan.

***

Jakarta, tahun kedelapanbelas


Cinta,

Aku harap surat ini sampai padamu. Sekaligus kukirimkan surat-surat sebelumnya
yang tak pernah kukirim.

Hanya dua alasan yang membuatku mengirimkan surat ini, beserta sebuah bingkisan
yang telah kusiapkan sejak delapan tahun lalu dan selalu kusimpan dengan baik.

Sejak pertama aku mengenalmu, telah kutekadkan untuk menyerahkan semua


ungkapan perasaan dan bukti kesungguhanku padamu, jika masanya tiba. Jika Allah
memberi pertanda dan membuang satu kemustahilan sehingga aku bisa bersamamu.
Kedua, jika aku merasa waktuku akan tiba tak lama lagi.

Tiga tahun ini kesehatanku memang kurang baik. Satu-satunya yang kusesali adalah
itu membuatku tak bisa lagi mengejar wajahmu, dan menikmati keindahan dan
ketulusan. Hal yang dulu selalu kulakukan, memandangmu dari jauh. Dari depan
rumah di mana daun-daun nusaindah terserak. Melihatmu berbicara dan tertawa
membuatku merasa hidup.

Barangkali memang harus begini ketentuan Allah. Bahwa selamanya aku hanya bisa
memilikimu dalam angan, harapan, dan impian. Tidak lebih.

Tapi, perempuan,

Tak pernah kusesali pilihan yang kubuat. Sebab, bisa memiliki harapan untuk
bersamamu lebih dari cukup bagiku. Sebab, seperti yang pernah kukatakan,
sebelumnya aku tak pernah punya cita-cita. Dan perempuanku memberiku cita-cita
itu.

Aku mencintaimu. Teramat sangat, pada batas terdalam cinta yang mungkin dirasakan
seseorang. Dan telah pula kubuktikan semampuku.

Delapanbelas tahun meneropong kebahagiaanmu. Melihat anak-anakmu tumbuh


besar, memberiku rasa aman. Sebab, kini aku tahu, sekalipun aku tak ada, mereka
akan menjadi perisai dan pelindung yang baik bagimu.

Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang
kubangun.

entah tangan siapa yang memulai menyobek bingkisan dengan sampul kertas koran
itu. Di dalamnya tampak sebuah kertas kado dengan bunga-bunga kecil warna pink
dan biru.

Semua terpana. Dee menunggu persetujuan Andra, Ita, dan Anik sebelum menyobek
kertas kado dan terperangah melihat isinya. Di dalamnya terdapat kotak berisi mukena
dan sarung merah jambu berenda, satu Al Quran dan sejumlah uang dalam jumlah
yang ganjil. Juga sebuah cincin bermata satu dalam wadah hati berwarna biru.

Dee merasa matanya berair. Anik menghapus airmata yang mengalir deras.
Sementara, Ita dan Andra tak urung menitikkan butiran kristal serupa.

Di dekat mereka, surat-surat berbeda tahun tergeletak berantakan di lantai. Sebagian


hurufnya ada yang pudar dan tak bisa dibaca, sebagian lagi tertimpa airmata baru
yang menetes dari keempat gadis yang meratapi kisah cinta yang lara dari lelaki tanpa
nama untuk perempuan tanpa nama.

Bingkisan ini harus kusampaikan kepadamu sebagai bagian dari harapan indah yang
kubangun. Dulu aku selalu membayangkan memberikannya langsung kepadamu,
sekaligus bersimpuh di lutut dan mengucapkan kata-kata lamaran yang layak
dikenang dalam sisa hidup. Melamarmu dalam suasana suci, ketika mencintaiku tidak
lagi menjadi halangan bagimu.

Delapanbelas tahun mencintaimu dalam diam. Sebentar lagi mungkin habis waktuku.
Tapi tak pernah kusesali hari ketika aku melihatmu di teras masjid.

Terimakasih Tuhan atas cinta sekali yang Kau beri.

Sumber: http://googleweblight.com/?lite_url=http://sastrabanget.com/2015/11/02/cerpen-
sepotong-cinta-dalam-diam-karya-asma-nadia/&ei=_3OTqtah&lc=id-
ID&s=1&m=687&host=www.google.co.id&ts=1470131886&sig=AKOVD66Vigpts9aFsb5cKB8
9863BLWfR_w&lite_refresh=1470148515434
Jaket
Donatus A Nugroho

“Jadi akhirnya kamu rela memberikan jaket ini buatku?” tanya Bun dengan amat
bernapsu.

“Kita bertukar kado.”


Kesepakatan telah diambil. Di hari Valentine nanti mereka akan saling memberikan
kado. Tentu saja kado yang spesial.
“Aku nggak mau terima puisi cinta dari kamu. Udah kuno!” canda Vanda.
Desta menyeringai. Tentu saja ia tidak akan memberikan puisi atau surat cinta buat
Vanda. Bukan soal sudah kuno atau norak, tapi rasanya kata-kata cinta memang sudah
tak perlu diobral lagi. Usia pacaran sudah setahun lebih, masing-masing tak perlu lagi
meragukan perasaan sang kekasih.
Kini Valentine’s Day makin dekat. Desta mulai pusing. Kado itulah yang bikin Desta
mumet. Desta yakin, Vanda akan memberinya sesuatu yang amat berharga, setidaknya
menurut Vanda. Ia sendiri sudah mengincar sesuatu untuk dihadiahkan buat Valda.
Sesuatu yang menurutnya amat pas dihadiahkan pada Hari Kasih Sayang. Yang jadi
masalah adalah: darimana ia mendapatkan uang untuk membeli barang tersebut?
Sebuah kotak musik berfungsi sebagai tempat perhiasan. Desta sudah menelitinya di
Funny Toys lebih dari sekali. Kotak berwarna merah jambu yang ketika dibuka akan
memperdengarkan lagu Love Story yang klasik. Dengan kotak itu Valda bisa
menyimpan blink-blink dan semua perhiasan yang dimilikinya.
Sebuah hadiah Valentine’s Day yang amat pas.
Tapi darimana Desta memperoleh dua ratus ribu rupiah untuk membeli kotak
tersebut? Dua ratus ribu bukanlah jumlah yang sedikit bagi Desta. Papa dan mamanya
mungkin tidak terlalu berat untuk memberikan sejumlah itu buat Desta. Jika uang itu
hendak digunakan untuk membeli buku atau peralatan sekolah. Tapi untuk membeli
kado Valentine? Desta tak yakin. Desta lebih yakin bahwa ia akan menerima teguran
dan berondongan kalimat kurang sedap. Di masa sulit begini amatlah mengada-ada
jika mengeluarkan sejumlah uang cukup besar hanya untuk sesuatu yang tidak
penting. Desta yakin, bagi kedua orang tuanya, membeli hadiah Valentine bukanlah
sesuatu yang penting apalagi sebuah keharusan.
Tak ada jalan lain kecuali harus mendapatkan sendiri sejumlah dua ratus ribu rupiah
itu.
Tapi darimana?
Bekerja? Siapa yang mau mempekerjakan seorang anak pelajar kelas 2 SMA yang
tidak punya ketrampilan apa-apa?
Mengumpulkan seluruh uang saku memang mungkin. Tapi waktunya kurang dari
sepekan lagi. Dan perkalian antara jumlah uang saku dengan jumlah hari yang tersisa
masih sangat jauh dari angka dua ratus ribu!
Meminjam uang teman memang bisa. Tapi Desta menghadapi resiko yang tidak kecil
jika nantinya papa atau mama mengetahuinya.
Orang tuanya mengharamkan berhutang.
Desta benar-benar pusing.
Ketika semua jalan sudah buntu, harapan Desta tinggal tertumpu pada Bun.
“Kamu masih suka pada jaketku?” Desta melepas jaketnya dan melemparkannya pada
Bun.
Bun menerima jaket itu dengan sigap dan melonjak senang.
“Jadi akhirnya kamu rela memberikan jaket ini buatku?” tanya Bun dengan amat
bernafsu langsung mengenakan jaket itu.
“Aku terpaksa melepasnya jika kamu mau membelinya.”
Wajah yang semula cerah itu meredup. Bun melepas jaket itu dan melemparkannya ke
sandaran kursi.
“Cuma dua ratus ribu, Bun.”
“Cuma dua ratus ribu? Untuk jaket bluwek ini?!” Bun melotot.
“Ah, kamu nggak perlu mengejek! Kamu tahu sendiri, nggak seorang anak pun disini
punya jaket seperti ini. Kamu tahu sejarahnya, kan?”
Bun tentu saja amat tahu. Jaket itu kiriman dari Ferdi, abang Desta yang hingga saat
ini masih tinggal dan sekolah di Boston. Jaket Amerika! Sebuah jaket jins dengan
kerah dan manset kulit. Paduan jins dan kulit yang amat kasual.
“Tapi jaket ini udah belel. Kamu memakainya hampir setiap hari selama setahun,
kan?”
“Justru belel-nya itu yang bikin makin unik,” kilah Desta.
“Tapi dua ratus ribu untuk jaket rombeng sungguh nggak masuk akal!”
“Ketika kuterima, labelnya masih utuh, Bun. Bang Ferdi membelinya seratus dolar.
Belum lagi ongkos kirimnya yang pasti juga mahal.” Desta meraih jaketnya dan
bermaksud mengenakannya kembali, tapi Bun lebih cepat merebut jaket itu.
“Seratus lima puluh?”
“Dua ratus atau nggak sama sekali. Cepatlah, sebelum aku berubah pikiran. Kamu
tahu? Selain kamu masih banyak yang berniat memiliki jaket ini.”
“Kamu perlu uang untuk apa? Kamu mengincar sesuatu?” Bun menatap curiga.
“Kamu nggak perlu tahu! Kamu bayar dan jangan berpikir macam-macam. Mau aku
apakan uang itu, itu hak aku.”
Bun mengeluarkan dompetnya dan menghitung sejumlah dua ratus ribu rupiah dan
menyerahkannya ke Desta.
“Makasih, Bun. Dua ratusmu ini menyelamatkan hidupku.”
Bun memandang Desta dengan tatapan amat ingin tahu, tapi Desta segera berlalu.

14 Februari.
Desta tiba di rumah Vanda menjelang pukul tujuh. Tak ada acara khusus untuk
melewati Valentine’s Day. Desta dan Vanda tak ingin datang ke pesta, meski beberapa
teman menawarkan undangan. Tak pula ada rencana untuk pergi jalan-jalan lalu
kemudian pergi ke restoran dan memilih sudut yang romantis.
Desta dan Vanda sudah sepakat untuk berdua di rumah saja. Duduk di teras rumah
yang tidak hiruk-pikuk. Bertukar hadiah adalah rencana sederhana yang telah
disepakati.
“Hai!” Vanda menyapa riang. Ia tidak berdandan, tidak pula mengenakan gaun ajaib
yang mewakili dunia cinta.
Tapi nampaknya pita merah jambu yang lucu di rambutnya sengaja dikenakan untuk
menampilkan nuansa Valentine.
“Hai, sayang!” Desta langsung suka pada pita merah jambu itu. Membuat Vanda
nampak makin imut dan menggemaskan.
Keduanya duduk di teras, saling berhadapan. Lalu sama-sama tersenyum kaku.
“Valentine’s Day, ya?”
“Iya,” jawab Desta.
“Lalu kenapa?”
Desta tertawa. “Nggak tahu!”
Vanda juga tertawa kecil. Ia lalu menyorongkan pipinya. Desta mencium pipi Vanda.
“Aku sayang kamu, Van. Tetaplah jadi Valentine-ku.”
“Aku juga sayang kamu ...” bisik Vanda yang pipinya kian bersemu merah jambu,
warna Valentine.
Semenit keduanya saling berdiam diri. Saling menatap dengan mesra. Tangan
keduanya masih saling berpegangan.
“Itu kadomu?” Vanda memecah kebisuan. Diliriknya bungkusan berbentuk kotak
berpita merah jambu yang ada di samping Desta.
Desta meraih kadonya dan menyerahkannya pada Vanda.
“Boleh kubuka sekarang?”
Tanpa menunggu anggukan kepala Desta, Vanda segera membuka bungkus kado itu
dengan amat hati-hati. Ia tak ingin merobekkan kertas pembungkusnya.
Vanda menjerit senang demi mengetahui hadiah dari Desta. Kotak musik itu
dibukanya dan seketika mengalunlah lagu Love Story yang lembut. “Kamu manis
sekali, Des.
Oooh, aku akan mendengarkannya setiap kali menjelang tidur, membayangkan kamu
membisikkannya di telingaku.”
Desta tersenyum lega. Semua seperti yang ia harapkan. Vanda amat puas dengan
hadiahnya.
“Tunggu sebentar!” Vanda beranjak dari duduknya dan berlari ke dalam rumah.
Vanda muncul lagi dengan bungkusan kertas merah jambu yang cukup besar
ukurannya.
“Kado kasih sayangku buatmu...” Vanda menyerahkannya pada Desta.
“Boleh aku membukanya sekarang?”
Vanda mengangguk.
Desta membuka kado itu dengan cepat. Membuka kardus di balik bungkusan itu
dengan cepat pula. Desta menjerit tertahan ketika benda itu sudah ada di tangannya.
“Kuharap itu benda yang paling pas buatmu. Aku tahu kamu amat memerlukannya
sekarang. Udah lama aku ingin kamu membuang punyamu yang itu. Kubilang juga
apa? Jaket itu udah bluwek banget, tapi kamu mengaku amat menyukainya. Kamu
bilang itu jaket jaket unik dan langka karena kiriman bang Ferdi dari Amrik.
Syukurlah, akhirnya kamu memberikan jaket itu pada Bun, karena kulihat siang tadi,
kemarin dan kemarinnya lagi, Bun memakai jaket itu pas pulang sekolah. Kamu
memberikannya pada Bun, kan?”
Desta masih terpaku pada benda di tangannya itu. Sebuah jaket berwarna gelap. Jaket
J-rock yang saat ini tengah nge-tren.
Desta masih terpaku. Ia masih bingung harus berkata apa.

Tamat

Sumber: http://baca-novelnya.blogspot.co.id/2011/06/kumpulan-cerpen-cinta.html?m=1

Kelas XI-6
Kelompok 5 "A.A. Navis" :
- Alif Lutvyani (04)
- Fausia Rahma S. (13)
- Helmiya Laronika P. (16)
- M. Fajar Dliyaul F. (21)
- Satria Kresnomukti (34)

Anda mungkin juga menyukai