Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH FARMAKOTERAPI

RHINITIS ALERGI DAN GLAUKOMA

Kelompok 2 :

Putri Mirna 1704015066

Shinta Intania Rizki R 1704015061

Winda Rahmadini 2004019006

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi
alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan
alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang
diperantarai oleh IgE.
Rinitis alergi mewakili permasalahan kesehatan dunia mengenai
sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan peningkatan prevalensi selama
dekade terakhir. Rinitis alergi merupakan kondisi kronik tersering pada anak
dan diperkirakan mempengaruhi 40% terhadap anak-anak. Sebagai
konsekuensinya, rinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup, bersama-
sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-
ekonomi, rinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernafasan utama. Tingkat
keparahan rinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit
terhadap kualitas hidup seseorang. Diagnosis rinitis alergi melibatkan
anamnesa dan pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya
saluran nafas bawah.
Gejala rhinitis alergi terjadi akibat reaksi hidung terhadap partikel
kecil alergen yang terbang terbawa oleh udara. Reaksi alergi ditandai oleh
adanya pengaktifan dua jenis sel penyebab peradangan yang disebut mast
cells dan basophils. Sel tersebut menghasilkan substansi penyebab
peradangan seperti senyawa histamin yang mana bisa menyebabkan hidung
terasa mampet, meler ingus terus, gatal, serta bersin-bersin. Rinitis alergi
juga bisa terjadi secara musiman (seasonal) dan juga bisa terjadi secara
menetap atau tahunan. Gejala rinitis alergi musiman biasanya disebabkan
oleh alergi terhadap serbuk sari dari bunga, rerumputan/rumput liar,
pohon/tanaman, dan jamur. Sedangkan gejalanya rinitis alergi yang menetap
biasanya dipicu oleh alergi pada debu, bulu hewan, kecoa, jamur atau spora
jamur. Oleh karena itu, praktikum kali ini bertujuan untuk menjelaskan atau
memaparkan semua hal yang berkaitan dengan rhinitis alergi, serta
membahas contoh kasus rhinitis alergi dalam penanganan dan
pengobatannya.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi rhinitis alergi?
2. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi?
3. Bagaimana gejala rhinitis alergi?
4. Bagaimana diagnosis rhinitis alergi?
5. Bagaimana algoritma dan tata laksana pengobatan rhinitis alergi?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi rhinitis alergi
2. Untuk mengetahui klasifikasi rhinitis alergi
3. Untuk mengetahui gejala rhinitis alergi
4. Untuk mengetahui diagnosis rhinitis alergi
5. Untuk mengetahui algoritma dan tata laksana pengobatan rhinitis alergi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Rhinitis Alergi

Rinitis alergi adalah peradangan pada selaput lendir hidung yang disebabkan
oleh paparan bahan alergen yang dihirup yang memperoleh imunologi
tertentu
respon dimediasi oleh imunoglobulin E (IgE). Ada dua jenis:
✓ Musiman (hay fever): terjadi sebagai respons terhadap alergen spesifik
(serbuk sari dari pohon, rumput, dan gulma) hadir pada waktu yang dapat
diprediksi dalam setahun (musim semi atau musim gugur) dan biasanya
menyebabkan gejala yang lebih akut.
✓ Abadi (intermiten atau persisten): terjadi sepanjang tahun sebagai respons
terhadap alergen non-musiman (mis., tungau debu, bulu binatang, jamur) dan
biasanya menyebabkan gejala kronis yang lebih halus.
Banyak pasien mengalami kombinasi kedua jenis, dengan gejala sepanjang
tahun dan eksaserbasi musiman.

B. Etiologi dan Faktor Resiko

Rinitis alergi secara umum disebabkan oleh interaksidari pasien yang


secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Alergen yang
terdapat di lingkungan merangsang respon imun pada penderita yang secara
genetik telah memiliki kecenderungan alergi. Alergen adalah protein asing
yang bisa merangsangrespon imun yang diperantarai oleh IgE.
Berdasarkan cara masuknya, alergen dibagi atas alergen inhalan,
ingestan, injektan dan kontaktan.Alergen inhalan adalah alergen yang masuk
bersama dengan udara pernafasan misalnya tungau debu rumah seperti
D.pteronnysinus, D.farinae, B.tropicalis; kecoa; serpihan epitel kulit binatang
seperti kucing dan anjing; rerumputan serta jamur seperti Aspergilus dan
Alternaria. Alergen ingestan adalah alergen yang masuk ke saluran cerna
berupa makanan seperti susu sapi, telur, kacang-kacangan. Alergen injektan
adalah yang masuk melalui suntikan atau tusukan misalnya penisilin dan
sengatan lebah. Alergen kontaktan adalah yang masuk melalui kontak kulit
atau jaringan mukosa misalnya bahan kosmetik.
C. Menifestasi Klinis (gejala)

● Rinitis alergi musiman (hay fever) terjadi sebagai respons terhadap


alergen spesifik (serbuk sari dari pohon, rumput, dan gulma) yang ada
pada waktu yang dapat diprediksi dalam setahun (musim semi dan / atau
jatuh) dan biasanya menyebabkan gejala yang lebih akut.
● Rinitis alergi persisten terjadi sepanjang tahun sebagai respons terhadap
alergen non-musiman (misalnya, tungau debu, bulu binatang, dan jamur)
dan biasanya penyebabnya lebih halus, gejala kronis.
● Banyak pasien memiliki kombinasi dari kedua jenis, dengan gejala
sepanjang tahun dan eksaserbasi musiman.
● Gejala berupa rinore jernih, bersin, hidung tersumbat, postnasal drip,
alergi konjungtivitis, dan mata, telinga, atau hidung gatal.
● Pada anak-anak, pemeriksaan fisik dapat menunjukkan adanya lingkaran
hitam di bawah mata (alergi shiners), lipatan hidung melintang yang
disebabkan oleh gesekan berulang pada hidung, adenoid bernapas,
turbinat hidung edematosa dilapisi dengan sekresi bening, robek, dan
pembengkakan periorbital.
● Pasien mungkin mengeluhkan hilangnya bau atau rasa, dengan sinusitis
atau polip sebagai penyebabnya penyebab dalam banyak kasus. Tetesan
postnasal dengan batuk atau suara serak bisa mengganggu.
● Gejala rinitis yang tidak diobati dapat menyebabkan insomnia, malaise,
kelelahan, dan pekerjaan yang buruk atau kinerja sekolah.
● Rinitis alergi berhubungan dengan asma; 10% sampai 40% pasien rinitis
alergi menderita asma.
● Komplikasi termasuk sinusitis dan epistaksis berulang dan kronis.

D. Patofisiologi
● Reaksi awal terjadi ketika alergen yang terbawa udara masuk ke hidung
selama dihirup dan diproses oleh limfosit, yang menghasilkan antigen
spesifik IgE, dengan demikian mensensitisasi inang yang memiliki
kecenderungan genetik terhadap mereka agen. Pada paparan ulang hidung,
IgE yang terikat pada sel mast berinteraksi dengan udara alergen, memicu
pelepasan mediator inflamasi.
● Reaksi langsung terjadi dalam hitungan detik sampai menit,
mengakibatkan rilis cepat dari mediator yang telah dibentuk sebelumnya
dan mediator yang baru dibuat dari kaskade asam arakidonat. Mediator
hipersensitivitas langsung termasuk histamin, leukotrien, prostaglandin,
triptase, dan kinin. Mediator ini menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
vaskular permeabilitas, dan produksi sekresi hidung. Histamin
menghasilkan rinore, gatal, bersin, dan hidung tersumbat.
● Reaksi fase akhir dapat terjadi 4 hingga 8 jam setelah paparan awal
terhadap alergen, fase akhir reaksi dapat terjadi, yang diperkirakan
disebabkan oleh pelepasan sitokin terutama oleh sel mast dan limfosit
pembantu yang diturunkan dari timus. Respon inflamasi ini menyebabkan
gejala kronis yang persisten, termasuk hidung kemacetan.

E. Diagnosis
Riwayat medis mencakup deskripsi gejala yang cermat, faktor
lingkungan dan eksposur, hasil terapi sebelumnya, penggunaan obat-obatan,
cedera hidung sebelumnya atau operasi, dan riwayat keluarga.
Pemeriksaan mikroskopis pada kerokan hidung biasanya
menunjukkan banyak eosinofil. Jumlah eosinofil darah perifer mungkin
meningkat, tetapi tidak spesifik dan meningkat kegunaan terbatas.
Tes alergi dapat membantu menentukan apakah rinitis disebabkan
oleh respons imun untuk alergen. Tes kulit hipersensitivitas tipe langsung
biasanya digunakan. Pengujian perkutan lebih aman dan lebih diterima
secara umum daripada pengujian intradermal, yang biasanya disediakan
untuk pasien yang membutuhkan konfirmasi. Radioalergosorben test (RAST)
dapat mendeteksi antibodi IgE dalam darah yang spesifik untuk diberika
antigen, tetapi kurang sensitif dibandingkan tes perkutan.
F. Algoritma Terapi / Tata Laksana Pengobatan

a. Terapi Non Farmakologi


Terapi non-farmakologi yang dilakukan harus memiliki efek langsung terhadap
penyakit pasien. Terapi non-farmakologi yang dapat dianjurkan kepada pasien
penderita alergi yang paling utama yaitu dengan menghindari alergen, dalam
kasus ini alergen berupa spora jamur.
• Menghindari alergen yang mengganggu adalah penting tetapi sulit dilakukan,
terutama untuk alergen abadi. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan
mengurangi kelembaban rumah tangga dari 50% dan menghilangkan
pertumbuhan dengan pemutih atau desinfektan.
• Pasien yang sensitif terhadap hewan sebaiknya jangn memelihara hewan yang
berbulu dan jika memelihara sebaiknya mengeluarkan hewan peliharaan dari
rumah,
• Pasien dengan rinitis alergi musiman harus menutup jendela dan
meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar ruangan selam.

b. Terapi farmakologi
⮚ Antihistamin
- Antagonis reseptor histamin H1 mengikat reseptor H1 tanpa
mengaktifkannya, mencegahnya ikatan dan aksi histamin. Mereka lebih
efektif dalam mencegah respons histamin dari pada membalikkannya.
- Antihistamin oral dibagi menjadi dua kategori: nonselektif (generasi
pertama atau antihistamin penenang) dan selektif perifer (generasi kedua
atau nonsedasi antihistamin). Namun, agen individu harus dinilai
berdasarkan spesifikasinya efek penenang karena variasi ada di antara
agen dalam kategori ini. Efek sedasi mungkin tergantung pada
kemampuan untuk melewati sawar darah-otak. Kebanyakan antihistamin
yang lebih tua larut dalam lemak dan mudah melewati penghalang ini.
Secara periferal agen selektif memiliki sedikit atau tidak ada efek sistem
saraf pusat atau otonom.
- Meredakan gejala sebagian disebabkan oleh efek pengeringan
antikolinergik yang berkurang hipersekresi kelenjar hidung, saliva, dan
lakrimal. Antihistamin bersifat antagonis peningkatan permeabilitas
kapiler, pembentukan wheal-and-flare, dan gatal-gatal.
- Mengantuk adalah efek samping yang paling sering terjadi, dan dapat
mengganggu kemampuan mengemudi atau fungsi yang memadai. Efek
sedatif dapat bermanfaat pada pasien yang mengalami kesulitan tidur
karena gejala rinitis.
- Antikolinergik yang merugikan seperti mulut kering, kesulitan buang air
kecil, konstipasi, dan efek kardiovaskular dapat terjadi. Antihistamin
seharusnya digunakan dengan hati-hati pada pasien yang cenderung
mengalami retensi urin dan pada pasien dengan peningkatan tekanan
intraokular, hipertiroidisme, dan penyakit kardiovaskular.
- Efek samping lain termasuk kehilangan nafsu makan, mual, muntah, dan
gangguan epigastrium Minum obat dengan makan atau segelas penuh air
dapat mencegah gastrointestinal Efek samping (GI).
- Antihistamin lebih efektif bila diminum kira-kira 1 sampai 2 jam
sebelum mengantisipasi paparan alergen yang mengganggu .

- Azelastine (Astelin) adalah antihistamin intranasal yang dengan cepat


meredakan gejala rinitis alergi musiman. Namun, berhati-hatilah pada
pasien tentang potensi kantuk karena ketersediaan sistemik sekitar 40%.
Pasien mungkin juga mengalaminya efek pengeringan, sakit kepala, dan
efektivitas berkurang seiring waktu. Olopatadine (Patanase) adalah
antihistamin intranasal lain yang dapat menyebabkan kantuk berkurang
karena itu adalah antagonis reseptor H1 selektif.
- Levocabastine (Livostin), olopatadine (Patanol), dan bepotastine
(Bepreve) antihistamin oftalmik yang dapat digunakan untuk
konjungtivitis yang berhubungan dengan alergi rinitis. Antihistamin
sistemik biasanya juga efektif untuk konjungtivitis alergi. Agen oftalmik
adalah tambahan yang berguna untuk kortikosteroid hidung untuk gejala
mata. Mereka juga berguna untuk pasien yang gejalanya hanya
melibatkan mata atau untuk pasien yang gejala mata menetap pada
antihistamin oral.
⮚ Dekongestan
- Dekongestan topikal dan sistemik adalah agen simpatomimetik yang
bekerja pada adrenergik reseptor di mukosa hidung untuk menghasilkan
vasokonstriksi, mengecilkan mukosa bengkak, dan meningkatkan
ventilasi. Dekongestan bekerja dengan baik jika dikombinasikan dengan
antihistamin bila hidung tersumbat merupakan bagian dari gambaran
klinis.
- Dekongestan topikal dioleskan langsung ke mukosa hidung yang
bengkak melalui tetes atau semprotan (Tabel 76–3). Mereka
menghasilkan sedikit atau tidak ada penyerapan sistemik.
- Rhinitis medicamentosa (vasodilatasi rebound disertai kongesti) dapat
terjadi dengan penggunaan agen topikal jangka panjang (> 3–5 hari).
Pasien dengan kondisi ini menggunakan lebih banyak semprotkan lebih
sering dengan respons yang lebih sedikit. Penghentian tiba-tiba adalah
pengobatan yang efektif, tapi kemacetan rebound bisa berlangsung
selama beberapa hari atau minggu. Steroid hidung telah berhasil
digunakan tetapi membutuhkan beberapa hari untuk bekerja. Menyapih
dekongestan topikal dapat dicapai dengan mengurangi frekuensi atau
konsentrasi dosis selama beberapa kali minggu. Menggabungkan proses
penyapihan dengan steroid hidung dapat membantu.
- Efek merugikan lainnya dari dekongestan topikal adalah rasa terbakar,
menyengat, bersin, dan kekeringan pada mukosa hidung.
- Produk ini harus digunakan hanya jika benar-benar diperlukan (mis.,
Pada waktu tidur) dan dalam dosis yang sekecil dan sesering mungkin.
Durasi terapi harus dibatasi 3 sampai 5 hari.

⮚ Pseudoefedrin
- Pseudoefedrin (lihat Tabel 76-2) adalah dekongestan oral yang onsetnya
lebih lambat. tindakan daripada agen topikal tetapi dapat bertahan lebih
lama dan menyebabkan lebih sedikit iritasi lokal. Rinitis Medicamentosa
tidak terjadi dengan dekongestan oral. Dosis produksi hingga 180 mg
tidak ada perubahan terukur dalam tekanan darah atau detak jantung.
Namun, dosis yang lebih tinggi (210–240 mg) dapat meningkatkan
tekanan darah dan detak jantung. Dekongestan sistemik harus dihindari
pada pasien hipertensi kecuali benar-benar diperlukan. Hipertensi berat
reaksi dapat terjadi ketika pseudoefedrin diberikan dengan penghambat
oksidase monoamine. Pseudoefedrin dapat menyebabkan stimulasi SSP
ringan, bahkan pada dosis terapeutik. Karena penyalahgunaan sebagai
komponen dalam pembuatan metamfetamin ilegal, pseudo efedrin
dibatasin dalan penjualan nya.
- Fenilefrin telah menggantikan pseudoefedrin dalam banyak resep tanpa
resep produk kombinasi antihistamin-dekongestan karena pembatasan
hukum penjualan pseudoefedrin.
- Produk kombinasi oral yang mengandung dekongestan dan antihistamin
bersifat rasional karena mekanisme aksi yang berbeda. Konsumen harus
membaca label produk hati-hati untuk menghindari duplikasi terapeutik
dan gunakan produk kombinasi hanya untuk kursus singkat.
⮚ Nasal Corticosteroids
- Kortikosteroid intranasal meredakan bersin, rinorea, pruritus, dan hidung
tersumbat dengan efek samping minimal (Tabel 76–4). Mereka
mengurangi peradangan dengan memblokir pelepasan mediator,
menekan kemotaksis neutrofil, menyebabkan vasokonstriksi ringan, dan
menghambat reaksi fase akhir yang dimediasi sel mast.
- Agen ini adalah pilihan yang sangat baik untuk rinitis persisten dan
dapat berguna untuk pengobatan rinitis musiman, terutama jika dimulai
sebelum gejala. Beberapa otoritas merekomendasikan steroid hidung
sebagai terapi awal di atas antihistamin karena tingginya tingkat
kemanjuran bila digunakan dengan benar bersama dengan penghindaran
alergen.
- Efek samping termasuk bersin, menyengat, sakit kepala, epistaksis, dan
infeksi yang jarang terjadi Candida albicans.
- Beberapa pasien membaik dalam beberapa hari, tetapi respons puncak
mungkin memerlukan 2 hingga 3 minggu. Dosis dapat dikurangi setelah
respons tercapai.
- Saluran hidung yang tersumbat harus dibersihkan dengan irigasi
dekongestan atau saline sebelum pemberian untuk memastikan penetrasi
semprotan yang memadai.
⮚ Natrium Cromolyn
- Cromolyn sodium (Nasalcrom), penstabil sel mast, tersedia sebagai obat
tanpa resep semprotan hidung untuk pencegahan gejala dan pengobatan
rinitis alergi. Itu mencegah degranulasi sel mast yang dipicu antigen dan
pelepasan mediator, termasuk histamin. Efek samping yang paling
umum adalah iritasi lokal (bersin dan hidung pedas).
- Dosis untuk orang yang berusia minimal 2 tahun adalah satu semprotan
di setiap lubang hidung tiga atau empat kali sehari secara berkala.
Bagian hidung harus dibersihkan sebelum pemberian, dan menghirup
melalui hidung selama pemberian meningkatkan distribusi ke seluruh
lapisan hidung.
- Untuk rinitis musiman, pengobatan harus dimulai tepat sebelum
dimulainya penyakit musim alergen dan berlanjut sepanjang musim.
- Pada rinitis persisten, efek mungkin tidak terlihat selama 2 sampai 4
minggu; antihistamin atau dekongestan mungkin diperlukan selama fase
awal terapi ini.
⮚ Ipratropium Bromida
- Semprotan hidung Ipratropium bromide (Atrovent) adalah agen
antikolinergik yang berguna dalam rinitis alergi persisten. Ini
menunjukkan sifat antisecretory bila diterapkan secara lokal dan
meredakan gejala rinorea.
- Larutan 0,03% diberikan sebagai dua semprotan (42 mcg) dua atau tiga
kali sehari. Merugikan efeknya ringan dan termasuk sakit kepala,
epistaksis, dan hidung kering.
⮚ Montelukast
- Montelukast (Singulair) adalah antagonis reseptor leukotrien yang
disetujui untuk pengobatan dari rinitis alergi persisten pada anak-anak
semuda 6 bulan dan untuk alergi musiman rinitis pada anak-anak
semuda 2 tahun. Ini efektif sendiri atau dalam kombinasi dengan
antihistamin.
- Dosis untuk orang dewasa dan remaja yang lebih tua dari 14 tahun
adalah satu tablet 10 mg sehari. Anak-anak usia 6 hingga 14 tahun dapat
menerima satu tablet kunyah 5 mg setiap hari. Anak-anak usia 6 bulan
sampai 5 tahun dapat diberikan satu tablet kunyah 4 mg atau granul oral
paket setiap hari.
- Montelukast tidak lebih efektif dibandingkan antihistamin dan kurang
efektif dibandingkan intranasal kortikosteroid; oleh karena itu, ini
dianggap terapi lini ketiga setelah agen tersebut.
BAB III
KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. G
Umur : 17 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Pelajar SMU

ANAMNESIS

Seorang pasien wanita berumur 17 tahun datang ke Poliklinik THT RS DR.M


Djamil Padang tanggal 25 Oktober 2008 jam 09:30 dengan
Keluhan Utama : Bersin-bersin 5 jam yang lalu
Keluhan Tambahan : Hidung sering gatal sejak 4 tahun yang lalu

Riwayat penyakit Sekarang

Bersin-bersin 5 jam yang lalu, keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak 4 tahun
yang lalu. Bersin terus-menerus, selama lebih kurang 3 jam, setiap serangan lebih
dari 5 kali dan lebih dari 4 hari dalam seminggu. Bersin-bersin didahului oleh
hidung gatal-gatal dan kemudian keluar ingus encer dari hidung yang berwarna
jernih, tidak berbau, tidak disertai darah dan membasahi beberapa helai tissue,
kadang-kadang disertai dengan keluarnya air mata. Keluhan ini muncul saat pagi
hari, cuaca dingin dan terkena debu sewaktu membersihkan rumah.
Mata terasa gatal dan berair, sekitar bibir juga terasa gatal setiap bersin.
Sakit kepala dirasakan setiap bersin.

Demam :tidak ada

Wajah terasa penuh : tidak ada

Telinga terasa penuh dan berair : tidak ada

Riwayat : sakit tenggorokan tidak ada

Rasa menelan cairan di tenggorokan : tidak ada

Alergi makanan : tidak ada


Riwayat gatal-gatal dan bentol pada kulit atau kaligata tidak ada sesak napas atau
napas berbunyi menciut tidak ada pasien pernah berobat ke dokter praktek lebih
kurang 3 tahun yang lalu, diberi obat makan namun pasien tidak tahu nama obatnya,
setelah minum obat ada perbaikan. Setelah itu pasien tidak pernah lagi berobat ke
dokter karena keadaan ini tidak mengganggu aktivitas sehari-hari dan sekolahnya
serta keluhan dapat hilang dengan sendirinya.
Riwayat penyakit dahulu
Pasien menderita asma pada waktu masih anak-anak, namun sekarang tidak
pernah kambuh lagi.
Riwayat Penyakit keluarga
Adik dari ayah (tante) pasien menderita penyakit dengan keluhan yang sama

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, dan Kebiasaan


Pasien seorang pelajar SMA
Ventilasi rumah cukup baik
Tidak ada memelihara binatang peliharaan dirumah
Tidak menggunakan karpet dan kasur kapuk.

PEMERIKSAAN FISIK

Status Generalisata
Keadaan Umum : Baik

Kesadaran : CMC

Tekanan Darah : 110/80 mmHg Frekuensi


Nafas : 78 x/ menit Frekuensi
Nadi : 18 x/menit
Suh : afebris

Pemeriksaan Sistemik

Kepala : tidak ada kelainan

Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

Thorak : Jantung dan paru dalam batas normal

Abdomen : Hepar dan lien tidak teraba,bising usus (+) normal,distensi


tidak
Ekstremitas : Edema tidak ada, perfusi jaringan baik
STATUS LOKALIS THT
Telinga
Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra
Daun telinga Kel. Congenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Kel. Metabolik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tarik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan tragus Tidak ada Tidak ada
Dinding Liang Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Telinga Sempit - -
Hiperemis Tidak ada Tidak ada
Edema Tidak ada Tidak ada

Massa Tidak ada Tidak ada


Sekret/serumen Bau Tidak berbau Tidak berbau
Warna kecoklatan Kecoklatan
Jumlah Banyak Banyak
Jenis lunak Keras
Membrana Timpani : sukar dinilai
Mastoid Tanda radang Tidak ada Tidak ada
Fistel Tidak ada Tidak ada
Sikatrik Tidak ada Tidak ada
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Tes Garpu Tala Rinne Positif Positif
Schwabach Sama dengan Memanjang
pemeriksa
Weber Lateralisasi ke kiri
Kesimpulan Tuli konduktif auris sinistra
Hidung

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Hidung luar Deformitas Tidak ada Tidak ada
Kel. kongenital Tidak ada Tidak ada
Trauma Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Allergic shiner + +
Allergic salute : tidak ada
Sinus Paranasal
Nyeri tekan Tidak ada Tidak ada
Nyeri ketok Tidak ada Tidak ada
Rhioskopi Anterior
Vestibulum Vibrise Tidak ada Tidak ada
Radang Tidak ada Tidak ada
Cavum Nasi Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Lapang - -
Sekret Lokasi Meatus media Meatus media
Jenis Serous Serous
Jumlah Sedang Sedikit
Bau Tidak berbau Tidak berbau
Konkha inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Livide Livide
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Konkha media Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Livide Livide
Permukaan Licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Septum Cukup Cukup lurus Cukup lurus
lurus/deviasi
Permukaan Licin Licin
Warna Merah muda Merah muda
Spina Tidak ada Tidak ada
Krista Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Perforasi Tidak ada Tidak ada
Massa : tidak ada
Rhinoskopi Posterior (Nasofaring)

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Koana Cukup lapang (N) Cukup lapang Cukup lapang
Sempit - -
Lapang - -
Mukosa Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Jaringan granulasi Tidak ada Tidak ada
Konkha inferior Ukuran Eutrofi Eutrofi
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan licin Licin
Edema Tidak ada Tidak ada
Adenoid Ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Muara tuba Tertutup sekret tidak Tidak
Eustachius Edema mukosa Tidak ada Tidak ada
Massa : tidak ada
Post Nasal Drip Ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Jenis - -

Orofaring dan Mulut

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Palatum Mole Simetris/tidak simetris Simetris
Warna Merah muda Merah muda
+ Arcus Faring
Edema Tidak ada Tidak ada
Bercak/eksudat Tidak ada Tidak ada
Dinding Faring Warna Merah muda Merah muda
Permukaan bergranul Bergranul

Tonsil Ukuran T1 T1
Warna Merah muda Merah muda
Permukaan Rata Rata
Muara kripti Tidak melebar Tidak melebar
Detritus Tidak ada Tidak ada
Eksudat Tidak ada Tidak ada
Perlengketan Tidak ada Tidak ada
dengan pilar
Peritonsil Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Abses Tidak ada Tidak ada
Tumor : tidak ada
Gigi : karies tidak ada
Lidah Warna Merah muda Merah muda
Bentuk normal Normal
Deviasi Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Laringoskopi Indirek

Pemeriksaan Kelainan Dekstra Sinistra


Epilotis Bentuk Normal Normal
Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada
Pinggir rata/tidak Rata Rata
Massa Tidak ada Tidak ada
Aritenoid Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Gerakan Normal Normal
Ventrikular band Warna Merah muda Merah muda
Edema Tidak ada Tidak ada
Massa Tidak ada Tidak ada
Plica vokalis Warna Putih Putih
Gerakan Normal Normal
Pinggir medial Normal Normal
Massa Tidak ada Tidak ada
Subglotis/trakeaa Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret ada/tidak Tidak ada Tidak ada
Sinus piriformis Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada
Valekule Massa Tidak ada Tidak ada
Sekret Tidak ada Tidak ada

Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening Leher

Inspeksi : Tidak terlihat pembesaran kelenjar


getah bening Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar
getah bening
Diagnosis Kerja : 1. Rinitis Alergi persisten derajat ringan
2. Tuli konduktif auri sinistra
Diagnosis Banding : Rhinitis vasomotor, Rhinitis infeksi
Pemeriksaan Anjuran : Tes Alergi
Terapi : - Antihistamin : Methydrolin napadisylat 3 x 50 mg
- Metil prednisolon 3 x 4 mg
- Tetes telinga karbogliserin 10%
Terapi Anjuran
Prognosis : Quo ad vitam bonam
Quo ad sanam bonam

Saran : Hindari faktor-faktor pencetus alergi, Saat membersihkan


rumah, gunakan masker, Menjaga daya tahan tubuh seperti
makan teratur dan cukup gizi, istirahat yang cukup
Pembahasan
Telah dilaporkan seorang wanita usia 17 tahun dengan diagnosis kerja
Rhinitis Alergi Persisten derajat ringan. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala
klinis yaitu seragan bersin berulang dengan keluarnya ingus yang encer dan
banyak, hidung dan mata gatal, kadang-kadang keluar air mata. Keluhan ini
timbul pada pagi hari, cuaca dingin dan saat terkena debu. Keadaan ini timbul
karena histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga
menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.Histamin juga akan
menyebabakan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi rinore (keluar ingus).
Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan
eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti Eosinophilic Catonic
Protein (ECP), Eosinophilic Derivate Protein (EDP), Mayor Basic Protein
(MBP), Eosinophilic Peroxidase (EP).
Faktor risiko pada pasien ini adalah pasien mempunyai riwayat asma
pada saat anak-anak namun sekarang tidak pernah kambuh lagi. Dari riwayat
penyakit keluarga juga diketahui bahwa adik ayah pasien juga menderita penyakit
dengan gejala yang sama.
Berdasarkan klasifikasi rhinitis alergi menurut WHO tahun 2000, pasien
digolongkan pada rinitis alergi persisten karena gejala yang timbul lebih dari 4
hari/minggu, sedangkan untuk tingkat berat ringan penyakitnya digolongkan pada
derajat ringan karena keadaan ini tidak mengganggu aktivitas harian, berolahraga,
sekolah, belajar dan hal-hal lain.
Pada pemeriksaan hidung luar, ditemukan allergic shiner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasisvena sekunder akibat
obstruksi hidung. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan konkha
inferior dan media dekstra dan sinistra berwarna livide akan tetapi masih dalam
ukuran normal. Ditemukan sekret pada meatus media dekstra dan sinistra
berwarna bening, encer.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memberikan antihistamin
H1, yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target.
Antihistamin berguna untuk mengatasi gejala pada respon cepat seperti rinore,
bersin dan gatal. Selain itu juga diberikan kortikosteroid untuk mengatasi
inflamasi. Selain itu pasien disarankan untuk menghindari faktor-faktor pencetus
dan menjaga daya tahan tubuh. Pasien dianjurkan untuk melakukan tes alergi
untuk mengetahui faktor penyebab rhinitis alerginya sehingga penanganan pasien
dapat lebih terarah.
Pada pasien juga ditemukan serumen yang banyak dan keras di telinga
kiri. Dari tes dengan penala ditemukan Rinne positif, Schwabach memanjang dan
Weber lateralisasi ke kiri. Berdasarkan pemeriksaan tersebut pasien didiagnosis
tuli konduktif auris sinistra. Rinne masih positif jika tuli konduktif< 30 dB.
Penatalaksanaan pada pasien ini adalah dengan memberikan tetes karbogliserin
3%.
DAFTAR PUSTAKA

Adams G, Boies L., Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit TJT Edisi ke-6. EGC.
Jakarta

Dipiro, Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T Dipiro, and Terry L.


Schwinghammer. (2015). Pharmacotherapy Handbook 9th Ed.United States:
McGraw-Hill Education.

Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee,G.C, Matzke G.R, Wells, Posey L.M. 2009.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7t hEdition.USA: The
McGraw-Hill Education

Ikawati. Penyakit Sistem Pernafasan dan Penatalaksanaan Terapinya. Bursa Ilmu.


Yogyakarta;2011.
MAKALAH FARMAKOTERAPI

GLAUKOMA

Kelompok 2

Putri Mirna 1704015066

Shinta Intania Rizki R 1704015061

Winda Rahmadini 2004019006

PROGRAM STUDI FARMASI

FAKULTAS FARMASI DAN SAINS

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mata merupakan satu diantara organ terpenting tubuh manusia di mana
mata memiliki fungsi sebagai indera penglihatan. Jika terjadi kerusakan atau
gangguan pada fungsi dan peran dari mata, maka pengaruhnya sangatlah
besar pada penglihatan. Gangguan penglihatan adalah suatu kondisi yang
ditandai dengan penurunan tajam penglihatan atau menurunnya luas
lapangan pandang yang dapat mengakibatkan kebutaan. Satu diantara banyak
kerusakan atau gangguan pada mata adalah glaukoma.
Glaukoma berasal dari kata Yunani “glaukos” yang berarti hijau
kebirauan, yang memberikan kesan warna tersebut pada pupil penderita
glaukoma. Kelainan mata glaukoma ditandai dengan meningkatnya
tekanan bola mata, atrofi saraf optikus, dan menciutnya lapang pandang.
Glaukoma merupakan penyebab kebutaan ketiga di Indonesia. Terdapat
sejumalah 0,40% penderita glaukoma di Indonesia yang mengakibatkan
kebutaan pada 0,60% penduduk prevalensi penyakit mata di Indonesia adalah
kelainan refraksi 24,72%, pterigium 8,79%, katarak 7,40%, konjungtivitis
1,74%, parut kornea 0,34%, glaukoma 0,40%, retinopati 0,17%, strabismus
0,12%. Prevalensi dan penyebab buta kedua mata adalah lensa 1,02%,
glaukom dan saraf kedua 0,16%, kelainan refaksi 0,11%, retina 0,09%,
kornea0,06%, dan lain-lain0,03%, prevalensi total 1,47%.
Diperkirakan di Amerika Serikat ada 2 juta orang yang menderita
glaukoma. Diantaranya mereka hampir setengahnya mengalami gangguan
penglihatan, dan hampir 70.000 benar-benar buta, bertambah sebanyak 5.500
orang buta tiap tahun. Sedangkan untuk daerah Amerika Serikat,
diperkirakan sekitar 3 juta penduduknya mengalami glaukoma dan diantara
kasus-kasus tersebut, sekitar 50% tidak terdiagnosis.
Berdasarkan hal tersebut penting kiranya bagi kita sebagai satu diantara
banyak tenaga kesehatan untuk lebih mengetahui dan memahami konsep
serta tindakan apa yang harus dilakukan terhadap masalah di atas.
Bagaimana penyakit tersebut dapat terjadi, apa penyebabnya dan bagaimana
penanganannya.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi glaukoma?
2. Bagaimana klasifikasi glaukoma?
3. Bagaimana gejala glaukoma?
4. Bagaimana diagnosis glaukoma?
5. Bagaimana algoritma dan tata laksana pengobatan glaukoma?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi glaukoma
2. Untuk mengetahui klasifikasi glaukoma
3. Untuk mengetahui gejala glaukoma
4. Untuk mengetahui diagnosis glaukoma
5. Untuk mengetahui algoritma dan tata laksana pengobatan glaukoma
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Glaukoma
Glaukoma adalah kelainan mata yang ditandai dengan perubahan pada
kepala saraf optik (cakram optik) dan hilangnya sensitivitas visual dan
bidang. Kondisi ini utamanya disebabkan tekanan bola mata yang meninggi
yang biasanya disebabkan adanya hambatan pengeluaran cairan bola mata
(humour aquous).

B. Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab glaukoma adalah meningkatnya tekanan di dalam mata (tekanan
intraokular), baik akibat produksi cairan mata yang berlebihan, maupun
akibat terhalangnya saluran pembuangan cairan tersebut. Tekanan ini dapat
merusak serabut saraf retina, yaitu jaringan saraf yang melapisi bagian
belakang mata, dan saraf optik yang menghubungkan mata ke otak. Hingga
kini, belum jelas kenapa produksi cairan mata bisa berlebihan atau kenapa
saluran pembuangannya bisa tersumbat.
Faktor resiko terjadinya glaukoma antara lain,
1) Riwayat Glaukoma di dalam keluarga, saudara sekandung lebih berisiko
dibandingkan orang tua dan anaknya.
2) Penyakit Degeneratif (Diabetes/Hipertensi)
3) Tekanan bola mata tinggi merupakan faktor risiko utama pada Glaukoma,
walaupun terdapat penderita yang terkena glaukoma pada tekanan bola
mata yang normal.
4) Migrain atau penyempitan pembuluh darah otak (sirkulasi buruk)
5) Kecelakaan/operasi pada mata sebelumnya

C. Menifestasi Klinis (gejala)


Ada dua tipe utama glaukoma yaitu, glaukoma sudut terbuka, yang terjadi
pada sebagian besar kasus, dan glaukoma sudut tertutup.
Glaukoma sudut terbuka berkembang secara perlahan dan biasanya
asimtomatik sampai timbulnya kehilangan lapang pandang yang substansial.
Ketajaman visual sentral dipertahankan, bahkan pada tahap akhir.
Pada glaukoma sudut tertutup, pasien biasanya mengalami gejala prodromal
intermiten (misal penglihatan kabur atau kabur dengan lingkaran cahaya di
sekitar lampu dan kadang-kadang, sakit kepala). Episode akut menghasilkan
gejala yang berhubungan dengan kornea yang keruh dan edematosa; nyeri
mata; mual, muntah, dan sakit perut; dan diaphoresis.

D. Patofisiologi
● Pada glaukoma sudut terbuka, penyebab spesifik neuropati optik tidak
diketahui. Peningkatan tekanan intraokular (TIO) secara historis dianggap
sebagai penyebab tunggal. Faktor-faktor pendukung tambahan termasuk
peningkatan kerentanan saraf optik terhadap iskemia, aliran darah yang
berkurang atau tidak teratur, eksitotoksisitas, reaksi autoimun, dan proses
fisiologis abnormal lainnya.
● Meskipun TIO adalah prediktor yang buruk di mana pasien akan
mengalami kehilangan lapang pandang, risiko kehilangan lapang pandang
meningkat dengan meningkatnya TIO. TIO tidak konstan; itu berubah
dengan denyut nadi, tekanan darah, ekspirasi paksa atau batuk, kompresi
leher, dan postur tubuh.
● Keseimbangan antara aliran masuk dan keluar dari aqueous humor
menentukan. TIO. Arus masuk ditingkatkan oleh agen β-adrenergik dan
diturunkan oleh α2-, α-, dan β-adrenergic blocker; penghambat dopamin;
penghambat karbonat anhidrase (CAI); dan stimulator siklase adenilat.
Aliran keluar ditingkatkan oleh agen kolinergik, yang berkontraksi pada
otot siliaris dan membuka trabecular meshwork, dan oleh analog
prostaglandin dan agonis β- dan α2-adrenergik, yang mempengaruhi aliran
keluar uveoskleral.
● Glaukoma sudut terbuka sekunder memiliki banyak penyebab, termasuk
eksfoliasi sindroma, glaukoma pigmen, penyakit sistemik, trauma,
pembedahan, perubahan lensa, penyakit radang mata, dan obat-obatan.
Glaukoma sekunder dapat diklasifikasikan sebagai pretrabekuler
(sambungan normal tertutup dan mencegah aliran keluar aqueous humor),
trabekuler (sambungan diubah atau material terakumulasi di ruang
intertrabekuler), atau posttrabekuler (tekanan darah vena episkleral
meningkat).
● Banyak obat yang dapat meningkatkan TIO (Tabel 2.1). Potensi untuk
menginduksi atau memperburuk glaukoma tergantung pada jenis
glaukoma dan apakah glaukoma terkontrol secara memadai.
● Glaukoma sudut tertutup terjadi ketika ada penyumbatan fisik dari
trabecular meshwork, yang mengakibatkan peningkatan TIO.
Tabel 2.1

E. Diagnosis
Diagnosis glaukoma sudut terbuka dipastikan dengan adanya perubahan
diskus optik yang khas dan hilangnya bidang penglihatan, dengan atau tanpa
peningkatan TIO. Glaukoma tegangan normal mengacu pada perubahan
diskus, kehilangan bidang visual, dan TIO kurang dari 21 mm Hg. Hipertensi
okuler mengacu pada TIO lebih dari 21 mm Hg tanpa perubahan diskus atau
kehilangan bidang visual.
Untuk glaukoma sudut tertutup, keberadaan sudut sempit biasanya
divisualisasikan dengan gonioskopi. TIO umumnya meningkat tajam
(misalnya, 40 hingga 90 mm Hg) saat gejala muncul. Tanda-tanda tambahan
termasuk konjungtiva hiperemik, kornea keruh, bilik anterior dangkal, dan
kadang-kadang cakram optik edema dan hiperemik.
F. Algoritma Terapi / Tata Laksana Pengobatan
Tujuan terapi obat pada pasien glaukoma adalah untuk mempertahankan
fungsi visual dengan mengurangi TIO ke tingkat di mana tidak terjadi
kerusakan saraf optik lebih lanjut.
a. Pengobatan Hipertensi Okular dan Glaukoma Sudut Terbuka
✔ Perawatan diindikasikan untuk hipertensi okular jika pasien memiliki
faktor risiko yang signifikan seperti TIO lebih besar dari 25 mm Hg,
rasio cup-disk vertikal lebih besar dari 0,5, atau ketebalan kornea
sentral kurang dari 555 mikrometer. Faktor risiko tambahan yang
harus dipertimbangkan termasuk riwayat keluarga glaukoma, ras kulit
hitam, miopia parah, dan keberadaan hanya satu mata.
✔ Pengobatan diindikasikan untuk semua pasien dengan peningkatan
TIO dan perubahan karakteristik disk optik atau defek lapang
pandang.
✔ Terapi obat adalah pengobatan awal yang paling umum dan dimulai
secara bertahap, dimulai dengan satu agen topikal yang dapat
ditoleransi dengan baik (Tabel 2.2). Secara historis, β-blocker
(misalnya, timolol) adalah pengobatan pilihan dan terus digunakan
jika tidak ada kontraindikasi terhadap blokade block potensial yang
disebabkan oleh absorpsi sistemik. β-Blocker memiliki keuntungan
dari biaya rendah karena formulasi generik.
✔ Obat yang lebih baru juga cocok untuk terapi lini pertama. Analog
prostaglandin (misalnya, latanoprost, bimatoprost dan travoprost)
memiliki keuntungan dari potensi yang kuat, mekanisme unik yang
cocok untuk terapi kombinasi, profil keamanan yang baik, dan dosis
sekali sehari. Brimonidine memiliki keuntungan teoritis dari
pelindung saraf, yang belum dibuktikan pada manusia. CAI topikal
juga cocok untuk terapi lini pertama.
✔ Pilocarpine dan dipivefrin, suatu prodrug dari epinefrin, digunakan
sebagai terapi lini ketiga karena efek samping atau penurunan
kemanjuran dibandingkan dengan obat yang lebih baru.
✔ Karbachol, penghambat kolinesterase topikal, dan CAI oral (mis.,
Asetazolamid) digunakan sebagai pilihan terakhir setelah kegagalan
pilihan yang kurang beracun.
✔ Waktu optimal untuk laser atau trabekulektomi bedah masih
kontroversial, mulai dari terapi awal hingga setelah kegagalan terapi
obat lini ketiga atau keempat. Agen antiproliferatif seperti fluorourasil
dan mitomisin C digunakan untuk mengubah proses penyembuhan
dan mempertahankan patensi.
b. Pengobatan Glaukoma Sudut Tertutup
✔ Glaukoma sudut tertutup akut dengan TIO tinggi membutuhkan
penurunan TIO yang cepat. Iridektomi adalah perawatan definitif,
yang menghasilkan lubang di iris yang memungkinkan aliran air
bergerak langsung dari ruang posterior ke ruang anterior.
✔ Terapi obat untuk serangan akut biasanya terdiri dari agen osmotik
dan inhibitor sekretori (misalnya, β-blocker, α-2 agonist, latanoprost,
atau CAI), dengan atau tanpa pilocarpine.
✔ Agen osmotik digunakan karena mereka dengan cepat menurunkan
TIO. Contohnya termasuk gliserin, 1 sampai 2 g / kg secara oral, dan
manitol, 1 sampai 2 g / kg IV.
✔ Meskipun secara tradisional merupakan obat pilihan, penggunaan
pilocarpine masih kontroversial sebagai terapi awal. Setelah TIO
terkontrol, pilocarpine harus diberikan setiap 6 jam sampai iridektomi
dilakukan.
✔ Kortikosteroid topikal dapat digunakan untuk mengurangi peradangan
mata dan sinekia.
✔ Epinefrin harus digunakan dengan hati-hati karena dapat memicu
glaukoma sudut tertutup akut, terutama bila digunakan dengan β-
Tabel 2.2
blocker.
Algoritma Glaukoma
BAB III
KASUS
Pasien laki-laki, 66 tahun datang dengan keluhan penurunan penglihatan
secara tibatiba pada mata kiri sejak 1 minggu Sebelum Masuk Rumah Sakit
(SMRS). Pasien megeluhkan bahwa pada saat melihat jauh hanya dapat melihat
seperti bayangan. Selain itu pasien mengeluh mata kiri merah dan nyeri. Nyeri
dirasakan terus menerus dan menghilang setelah tidur sebentar. Pasien juga
mengeluh sakit kepala terus-menerus dan disertai mual muntah. Riwayat trauma dan
penggunaan obat-obatan tetes mata yang lama sebelumnya disangkal. Riwayat
menggunakan kaca mata, hipertensi, diabetes mellitus, trauma pada kedua bola tidak
ada.

Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,


kesadaran komposmentis, tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 16
x/menit, T 36,5o C. Pada status generalis didapatkan sistem kardiovaskular, sistem
respirasi, kulit dan ekstremitas dalam batas normal. Pada pemeriksaan oftalmologi
oculi sinistra VOS 3/60, terdapat Injeksi konjungtiva pada konjungtiva bulbi, kornea
udem, camera oculi anterior kedalaman dangkal, gambaran iris baik, pupil
midilatasi, tensio oculi Tono dig N+2. Pada oculi dextra VOD 6/60, palpebra dan
konjungtiva tenang, kornea jernih, camera oculi anterior dalam, gambaran iris baik,
pupil miosis dengan reflek, lensa jernih, tensio oculi Tono dig N.

Gambar 1. Status Oftalmologi


Pasien dididagnosis glaukoma akut primer sudut tertutup OS. Pasien
diberikan terapi Timolol maleate 0,5 % ED 2x1 tetes ODS/hari, Cxytrol 3x1 tetes
OS/hari, Carpin 1% 2x1 tetes OS/hari, Asetazolamide 3x250 mg, KSR 2x1 tablet.
Pembahasan
Pada kasus ini, pasien didiagnosis glaukoma akut primer sudut tertutup OS.
Penegakkan diagnosis didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis ditemukan mata kiri mendadak buram
sejak 1 minggu lalu, mata kiri merah, nyeri kiri yang timbul mendadak, nyeri kepala,
mual muntah. Pada pemeriksaan oftalmologi oculi sinistra VOS 3/60, terdapat
Injeksi konjungtiva pada konjungtiva bulbi, kornea udem, camera oculi anterior
kedalaman dangkal, gambaran iris baik, pupil midilatasi, tensio oculi Tono dig N+2.
Dari riwayat anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat didiagnosis banding
glaukoma akut sudut tertutup, iritis, konjungtivitis, dan keratitis. Diagnosis banding
ini berdasarkan keluhan yang sama yaitu mata merah, tapi pada iritis, konjungtivitis
dan keratitis tidak didapatkan penurunan ketajaman penglihatan dan peningkatan
tekanan intraokuler. Sehingga dengan disingkirkan diagnosis banding yang lain,
maka pada pasien ini didiagnosis dengan glaukoma akut sudut tertutup.
Pada glaukoma akut sudut tertutup glaukoma sudut tertutup akut primer
merupakan penyakit mata dengan gangguan integritas struktur dan fungsi yang
mendadak sebagai akibat peningkatan tekanan intraokuler (TIO) yang sangat tinggi
karena sudut bilik mata depan mendadak tertutup akibat blok pupil.3 Mata dengan
segmen anterior yang kecil dengan meningkatnya usia akan mengalami perubahan-
perubahan (lensa lebih tebal, lebih ke depan, pupil miosis) dan bila pada suatu saat
mengalami cetusan berupa dilatasi ringan dari pupil (karena emosi, sinar yang
remang-remang, obatobatan) maka mendadak terjadi blok pupil.9 Humor akuous
terbendung di bilik mata belakang yang akan mendorong iris perifer ke depan
sampai menempel pada jaringan trabekula sehingga sudut bilik mata depan tertutup
akibat TIO meningkat secara mendadak pula.
Glaukoma sudut tertutup primer terjadi karena ruang anterior secara
anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan
trabekular dan menghambat humor akueus mengalir ke saluran schlemm.Pergerakan
iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang
posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Peningkatan tekanan intraokuler
akan mendorong perbatasan antara saraf optikus dan retina di bagian belakang mata.
Akibatnya pasokan darah ke saraf optikus berkurang sehingga sel-sel sarafnya mati.
Karena saraf optikus mengalami kemunduran, maka akan terbentuk bintik buta pada
lapang pandang mata. Yang pertama terkena adalah lapang pandang tepi, lalu diikuti
oleh lapang pandang sentral. Jika tidak diobati, glaukoma pada akhirnya bisa
menyebabkan kebutaan.
Mekanisme utama penurunan penglihatan pada glaukoma adalah atrofi sel
ganglion difus, yang menyebabkan penipisan lapisan serat saraf dan inti bagian
dalam retina dan berkurangnya akson di saraf optikus. Iris dan korpus siliar juga
menjadi atrofi, dan prosesus siliaris memperlihatkan degenerasi hialin. Diskus
optikus menjadi atrofi disertai pembesaran cekungan optikus diduga disebabkan oleh
gangguan pendarahan pada papil yang menyebabkan degenerasi berkas serabut saraf
pada papil saraf optik (gangguan terjadi pada cabang-cabang sirkulus ZinnHaller),
diduga gangguan ini disebabkan oleh peninggian tekanan intraokuler. Tekanan
intraokuler yang tinggi secara mekanik menekan papil saraf optik yang merupakan
tempat dengan daya tahan paling lemah pada bola mata. Bagian tepi papil saraf optik
relatif lebih kuat daripada bagian tengah sehingga terjadi cekungan pada papil saraf
optik.

Gambar 2. Mekanisme Kerusakan Mata Akibat Glaukoma

Pasien diberikan terapi Timolol maleate 0,5 % ED 2x1 tetes ODS/hari,


Cxytrol 3x1 tetes OS/hari, Carpin 1% 2x1 tetes OS/hari, Asetazolamide 3x250 mg,
KSR 2x1 tablet. Adapun Prinsip tatalaksana pada glaukoma akut sudut tertutup
adalah sebagai berikut:
1. Menurunkan TIO segera
2. Membuka sudut yang tertutup
3. Memberi suportif
4. Mencegah sudut tertutup berulang
5. Mencegah sudut tertutup pada mata jiran (fellow eye).
Pada pasien ini diberikan terapi sebagai berikut:
1. Menurunkan TIO segera. Pada pasien diberikan asetazolamide yang
merupakan golongan carbonic anhidrase inhibitor yang berfungsi menekan
produksi akuos. Yaitu Asetazolamide 3x250 mg.
2. Pemberian KSR digunakan untuk mencegah hipokalemia yang merupakan
efek samping pemeberian asetazolamide.
3. Pada pasien juga diberikan Timolol maleate 0,5 % yang merupakan
golongan beta bloker yang berfungsi untuk menurunkan produksi akuos
humor.
4. Pemberian carpin 1% 2x1 tetes OS/hari merupakan obat golongan miotika
yang berkerja untuk mengkontriksikan pupil. Penggunaan obat ini akan
menyebabkan iris tertarik dan menjauh dari trabekula sehingga sudut
terbuka.
5. Pemberian cytrol yang berisikan kortikosteroid topikal dengan antibiotik
digunakan untuk mengurangi inflamasi dan kerusakan saraf optic.
Pada pasien ini dilakukan pengamatan keberhasilan terapi selama 2-3 hari.
Apabila tidak terjadi penurunan TIO direncanakan dilakukan tindakan operatif.
Adapun tindakan operatif yang dilakukan adalah Iridektomi dan iridotomi perifer.
Iridektomi dan iridotomi perifer adalah teknik bedah dimana membentuk
komunikasi langsung antara kamera anterior dan posterior sehingga beda tekanan
diantara keduanya menghilang.
Apabila iridektomi dan iridotomi perifer tidak berhasil dapat dilanjutkan dengan
bedah drainase glaukoma melalui teknik trabekulektomi. Trabekulektomi merupakan
tindakan bedah untuk membuat jalan pintas dari mekanisme drainase normal,
sehingga terbentuk akses langsung humor aquous dari kamera anterior ke jaringan
subkonjungtiva atau orbita dapat dibuat dengan trabekulotomi atau insersi selang
drainase. Trabekulotomi telah menggantikan tindakan-tindakan drainase full-
thickness (misalnya sklerotomi bibir posterior, sklerostomi termal, trefin). Penyulit
utama trabekulotomi adalah kegagalan bleb akibat fibrosis jaringan epikslera. Hal ini
lebih mudah terjadi pada pasien berusia muda, berkulit hitam dan pasien yang
pernah menjalani bedah drainase glaukoma atau tindakan bedah lain yang
melibatkan jaringan episklera. Terapi ajuvan dengan antimetabolit misalnya
fluorourasil dan mitomisin berguna untuk memperkecil risiko kegagalan bleb.
Gambar 3. Bleb yang Terbentuk Setelah Trabekulotomi
Pada pasien ini prognosis quo ad vitam adalah bonam, quo ad fungtionam dan
sanationam adalah dubia ad bonam. Hal ini dikarenakan glaukoma akut merupakan
kegawat daruratan mata, yang harus segera ditangani dalam 24–48 jam. Jika tekanan
intraokular tetap terkontrol setelah terapi akut glaukoma sudut tertutup, maka kecil
kemungkinannya terjadi kerusakan penglihatan progresif. Tetapi bila terlambat
ditangani dapat mengakibatkan buta permanen.
Pada kasus ini penegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang sudah sesuai. Penatalaksaan pada pasien ini juga sudah
cukup sesuai dengan kepustakan. Kasus glaukoma akut adalah kegawatdarurtan di
bidang mata yang harus ditangani dalam 24- 48 jam dengan pengobatan
medikamentosa. Apabila medikamentosa tidak berhasil menurunakan TIO maka
dilakukan tindakan operatif. Hal ini dikarenakan apabila tidak ditangani dengan baik
akan menyebabkan kebutaan.
DAFTAR PUSTAKA

Adams G, Boies L., Higler P. 1997. Buku Ajar Penyakit TJT Edisi ke-6. EGC.
Jakarta.

Dietlein TS, Hermann MM, Jordan JF. The medical and surgical treatment of
glaucoma. Dtsch Arztebl Int. 2009;106:597–605.

Dipiro, Cecily V., Barbara G. Wells, Joseph T Dipiro, and Terry L.


Schwinghammer. (2015). Pharmacotherapy Handbook 9th Ed.United States:
McGraw-Hill Education.

Dipiro, J.T, Talbert, R.L, Yee,G.C, Matzke G.R, Wells, Posey L.M. 2009.
Pharmacotherapy : A Pathophysiologic Approach 7th hEdition.USA: The
McGraw-Hill Education.

Gerhard KL, Oscar, Gabriele, Doris, Peter. Ophtalmology a short textbook. Edisi ke-
2. Stuttgart: Thieme; 2007.

Gondowihardjo T, Simanjuntak G, editor. Glaukoma akut dalam panduan


manajemen klinis perdami. Jakarta: PP Perdami; 2006.

Ikawati. Penyakit Sistem Pernafasan dan Penatalaksanaan Terapinya. Bursa Ilmu.


Yogyakarta; 2011.

Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-6. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2004.

Kulkarni KM, Mayer JR, Lorenzana LL, Myers JS, Spaeth GL. Visual field staging
systems in glaucoma and the activities of daily living. Am J Ophthalmol.
2012; 154:445–51.

Lang, GK. Glaucoma In Ophthalmology A Pocket Textbook Atlas. Edisi ke-2.


Germany: Stuttgart-New York; 2006.

Muhammad. Seorang Pria 66 Tahun dengan Glaukoma Akut Primer Sudut Tertutu.
Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung; 2016.

Pan Y, Varma R. Natural history of glaucoma. Indian J Ophthalmol. 2011;59:19-23.

Quigley HA, Broman AT. The number of people with glaucoma worldwide in 2010
and 2020. Br J Ophthalmol. 2006;90:262– 7.
Richman J, Lorenzana LL, Lankaranian D. Importance of visual acuity and contrast
sensitivity in patients with glaucoma. Arch Ophthalmol. 2010;128:1576–82.

Robert EM, Jess TW. Management of glaucoma: Focus on pharmacological therapy.


Drugs Aging. 2005;22:1–21.

Sambhara D, Aref AA. Glaucoma management: relative value and place in therapy
of available drug treatments.Ther Adv Chronic Dis. 2014;5:30–43

Anda mungkin juga menyukai