Refrat Sepsis Dan Syok Sepsis
Refrat Sepsis Dan Syok Sepsis
A. Definisi
Definisi sepsis telah mengalami perkembangan seiring waktu. Definisi
sepsis pertama kali diusulkan pada konferensi internasional tahun 1991
(Sepsis-1), selanjutnya pada tahun 2001 (Sepsis-2) dan terakhir pada tahun
2016 (Sepsis-3).
1. Sepsis 1
Tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan
Society of Critical Care Medicine (SCCM) menggelar konferensi dan
menekankan bahwa sepsis merupakan sebuah proses yang berkelanjutan.
Konferensi tersebut menghasilkan beberapa istilah yaitu Systemic
inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, severe sepsis dan syok
sepsis.
SIRS adalah sebuah respons inflamasi sistemik terhadap berbagai
gangguan klinis yang berat, dengan kriteria:
- Suhu >38℃ atau <36℃
- Denyut jantung >90 kali per menit
- Frekuensi pernapasan >20 kali per metit atau PaCO2 <32
mmHg
- Hitung sel darah putih >12.000/cu mm, <4.000/cu mm atau
>10% bentuk imatur.
Sepsis adalah sebuah respon sistem terhadap infeksi, yang
merupakan manifestasi dari dua atau lebih kriteria SIRS sebagai hasil
dari infeksi.
Severe sepsis adalah sepsis klinis yang disertai dengan disfungsi
organ, hipoperfusi jaringan atau hipotensi.
Syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi dan disfungsi organ
yang persisten meskipun telah dilakukan resusitasi cairan, memerlukan
pengobatan vasoaktif.
3
2. Sepsis 2
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP, European Society of Intensive
Care Medicine (ESICM) dan American Thoracic Society and the Surgica
dan lebih detai dibandingkan dengan l Infection Society menggelar
konsensus kedua untuk memperbarui kriteria sepsis. Tanda dan gejala
sepsis menjadi lebih banyak dibandingkan dengan kriteria sepsis
sebelumnya. Definisi sepsis diperbarui dengan temuan klinis dan
laboratoris.
3. Sepsis 3
Setelah mengalami beberapa kali revisi, definisi sepsis kembali
diperbarui pada tahun 2016 melalui sebuah konferensi internasional oleh
komite Sepsis-3. Definisi baru menekankan mengenai disfungsi organ
dan mempertimbangkan fakta bahwa kriteria SIRS dapat berubah
tergantung pada banyak faktor pada pasien perawatan intensif dan bahwa
SIRS memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
membedakan sepsis dan infeksi non-komplikasi.
Definisi tentang sepsis dan syok septik diperbarui, sistem penilaian
qSOFA (Quick Sequential Organ Failure Assessment) dikembangkan
untuk identifikasi awal disfungsi organ pada sepsis. Panduan sepsis
terbaru menekankan persyaratan untuk diagnosis dini dan penerapan
cepat prosedur pengobatan selama proses sepsis yang sedang
berlangsung.
Komite Sepsis-3 mengeluarkan definisi baru sebagai berikut:
- Sepsis adalah kondisi mengancam jiwa yang disebabkan oleh
respons tubuh yang tidak teratur terhadap infeksi, yang
mengakibatkan disfungsi organ.
- Syok sepsis adalah sepsis dengan kelainan vaskuler, seluler dan
metabolik yang mendasari cukup mendalam untuk secara
substansial meningkatkan kematian. Tingkat laktat yang
meningkat >2 mmol L-1 tanpa hipovolemia dan memulai
4
B. Epidemiologi
Insidensi sepsis berdasarkan International Classification of Disease
bervariasi antara 132 sampai 300 per 100.000 penduduk di dunia per tahun. Di
Amerika Serikat diperkirakan kasus sepsis terjadi sebanyak 750.000 dengan
kematian sebanyak 200.000 setiap tahunnya. Di Inggris didapatkan adanya
insidensi sepsis berkisar antara 88-102 per 100.000 penduduk setiap tahunnya
Hari et al, 2017 dan Gauer, 2013).
Epidemiologi global dari sepsis, sulit untuk dipastikan. Diperkirakan lebih
dari 30 juta orang terkena sepsis setiap tahun di seluruh dunia, yang berpotensi
menyebabkan 6 juta kematian setiap tahun. Tingkat kematian akibat sepsis,
sesuai data dari Surviving Sepsis Campaign 2012, adalah sekitar 41% di Eropa
dibandingkan sekitar 28,3% di Amerika Serikat. Namun perbedaan ini
menghilang ketika disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit. Ini berarti
bahwa mortalitas pada sepsis bervariasi sesuai dengan karakteristik pasien
juga. Sebuah penelitian multisenter di Australia dan Selandia Baru yang
melibatkan 101.064 pasien kritis menunjukkan bahwa angka kematian akibat
sepsis telah menurun selama bertahun-tahun dari sekitar 35% pada tahun 2000
menjadi sekitar 20% pada tahun 2012 (Gyawali, et al., 2019).
Data mengenai prevalensi sepsis di Indonesia masih sangat terbatas. Pada
suatu studi yang dilakukan oleh Wardhana A, et al. didapatkan 38,9% pasien
yang datang ke unit luka bakar RSCM terdiagnosis sepsis dengan tingkat
mortalitas sebesar 76,9%. Sebaran penyakit sepsis di Rumah Sakit Dr. Sutomo
didapatkan sebesar 58,33% (Wardhana et al, 2017 dan Tambajong et al,
5
2016).
C. Etiologi
Sepsis disebabkan oleh mikroorganisme berupa bakteri, fungi, parasit
dan virus. Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri Gram negatif 70%
(Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Enterobacter, E. Colli, Proteus,
Neisseria), infeksi bakteri Gram positif 20-40% (Staphylococcus aureus,
Streptococcus, Pneumococcus), virus 23% (Dengue haemorrhagic fever,
Herpes virus), protozoa (Malaria falciparum), dan jamur (Tambajong et al.,
2016).Tempat infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah saluran
pernapasan (39% -50%), saluran kemih (5% -37%), dan ruang intra-abdomen
(8% -16%) (Dipiro et al., 2015).
D. Faktor Risiko
Siapapun dapat terkena infeksi, dan hampir semua infeksi dapat
menyebabkan sepsis. Beberapa orang yang memiliki risiko tinggi, yaitu:
1. Dewasa usia 65 tahun atau lebih
2. Orang dengan kondisi medis kronis, seperti diabetes, penyakit
paru-paru, kanker, dan penyakit ginjal
3. Orang dengan sistem kekebalan yang lemah
4. Sepsis survivor
5. Anak-anak di bawah satu tahun (Centers for Disease Control and
Prevention, 2020)
E. Patofisiologi
1. Sistem Imun Bawaan dan Mediator Inflamasi
Respon host pertama kali terhadap pathogen adalah aktivasi sel
imun bawaan, terutama oleh makrofag, monosit, neutrofil, dan natural
killer cells. Aktivasi tersebut terjadi karena adanya interaksi antara pattern
recognition receptors (PRR) yang spesifik dengan pathogen-associated
molecular patterns (PAMPs) atau dengan damage-associated molecular
6
2. Immunosupresi
Banyak limfosit dan sel epitelial intestinal yang mati akibat adanya
apoptosis selama sepsis. Sepsis dihubungkan dengan peningkatan
apoptosis sel immunokompeten yang mengakibatkan immunosupresi.
Pada sepsis menunjukkan penurunan jumlah limfosit B dan sel CD4+
secara drastis (Prucha, et al., 2016). Pada tahap awal sepsis (hari keempat)
menunjukkan jumlah limfosit yang rendah.Limfopenia dini dapat
berfungsi sebagai biomarker adanya imunosupresi pada sepsis (Gyawali,
et al., 2019).
7
3. Disregulasi Koagulasi
Pada sepsis dan syok septik, terjadi gangguan koagulasi dalam
pembuluh darah. Sepsis mengakibatkan hiperkoagulasi yang ditandai oleh
pembentukan trombus mikrovaskular, deposisi fibrin, pembentukan
neutrophil extracellular trap (NET), dan kerusakan endotel.
Hiperkoagulasi terjadi melalui berbagai mekanisme yang saling terkait
seperti pelepasan sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-6, IL-12, dan TNF-α),
penurunan kadar antitrombin, penghambatan faktor anti-koagulan, dan
gangguan fibrinolisis.Sitokin pro-inflamasi merangsang ekspresi
berlebihan tissue factor (TF) pada permukaan sel endotel dan monosit
yang mengakibatkan interaksi TF dengan faktor VIIa, sehingga
mengaktivasi koagulasi jalur ekstrinsik, pembetukan trombin, dan fibrin.
Fibrin bersama dengan trombosit akan membentuk trombus mikrovaskular
(Purwanto & Astrawinata, 2018).
Pada kondisi normal, faktor anti-koagulan seperti protein C,
protein S, antitrombin III (AT III), dan tissue factor-pathway inhibitor
(TFPI) akan mengurangi koagulasi, meningkatkan fibrinolisis, dan
membersihkan mikrotrombus sebagai respon terhadap koagulasi.
Trombindengan kofaktor trombomodulin yang dikeluarkan oleh sel
endotel akan mengkonversi protein C menjadi protein C aktif.Protein C
yang teraktifasiakanbekerjasamadengan protein S untuk menginaktivasi
Faktor Va dan Faktor VIIIa serta menurunkan sintesis plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) sehinggamemberiefekantikoagulan
(Purwanto & Astrawinata, 2018).Protein C juga menurunkan apoptosis,
adhesi neutrofil dan monosit pada endothelium, serta memilikiefek anti-
inflamasi dengan menghambat TNFα, IL-1β, dan IL-6 (Purwanto &
Astrawinata, 2018; Gyawali, et al., 2019).
Antitrombin III menghambat aktivitas trombin, F.XIIa, F.XIa,
F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin, dan kalikrein. Tissue factor-pathway
inhibitor (TFPI) dapat menghambat koagulasi yang diinduksi oleh tissue
factor melalui pembentukan kompleks TFPI dengan F.Xa dan selanjutnya
8
F. Diagnosis
Kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui menggunakan skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (Singer, et al., 2016). SOFA
mengevaluasi fungsi fisiologis, respirasi, koagulasi, hepatik, sistem saraf
pusat, dan ginjal (Arifin, et al ., 2017). Jika pasien yang mengalami infeksi
diperoleh skor sofa ≥ 2 maka diagnosis sepsis sudah dapat ditegakkan
(Singer, et al., 2016). Semakin tinggi skor SOFA, semakin tinggi morbiditas
dan mortalitas sepsis (Arifin, et al., 2017).
Pada pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan terjadinya
sepsis. Skrining dapat diakukan kapan saja dan dimana saja. Metode skrining
menggunakan qSOFA (quick SOFA). Skoring tersebut cepat, sederhana dan
tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Skor qSOFA dapat digunakan
untuk mengetahui adanya disfungsi organ secara cepat untuk menginisiasi
terapi yang tepat dan sebagai bahan pertimbangan merujuk ke tempat
perawatan kritis atau meningkatkan pengawasan. Jika terdapat 2 dari 3
kriteria, skor qSOFA dinyatakan positif. Apabila qSOFA positif selanjutnya
akan dilakukan skoring menggunakan metode SOFA (Singer, et al., 2016).
Pasien dengan syok septik diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis
dengan hipotensi menetap yang memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dan kadar laktat serum > 2 mmol/L (18
mg/dL) walaupun volume resusitasi memadai (Singer, et al., 2016).
Tabel 3. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (Arifin, et al., 2017)
12
Gambar 1. Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Septik (Arifin, et
al., 2017)
G. Tatalaksana
Kasus sepsis dan syok septik merupakan suatu kedaruratan medis
yang memerlukan tatalaksana yang cepat dan adekuat (PERDICI, 2017).
Resusitasi pasien dengan hipoperfusi akibat sepsis dan syok sepsis harus
dilakukan dengan target yang jelas dan dikerjakan sedini mungkin mengacu
kepada early goal-directed theraphy (EGDT) (Gyawali et al., 2019). Prinsip
pada penatalaksaan EGDT meliputi idenitifikasi pasien dengan risiko tinggi,
13
H. Komplikasi
Komplikasi pada kasus sepsis dan syok sepsis adalah (Mahapatra dan
Heffner, 2020):
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
2. Kerusakan ginjal akut (AKI)
3. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
4. Gagal hati akut
5. Disfungsi miokard
6. Kegagalan organ multipel
I. Prognosis
Sepsis dan syok septik merupakan penyakit yang serius, yang memiliki
mortalitas hingga melebih 40%. Angka mortalitas ini bergantung pada tipe
organisme (infeksi), sensitivitas antibiotik, organ yang terdampak, dan usia
pasien. Semakin banyak faktor yang cocok dengan kriteria sepsis, semakin
tinggi mortalitasnya. Berbagai data menunjukan bahwa takipneu dan
perubahan status mental merupakan prediktor yang baik untuk luaran yang
buruk (Mahapatra dan Heffner, 2020).
J. Pencegahan
Pencegahan sepsis dan syok sepsis menurunkan insiden infeksi, terutama
pada pasien dengan risiko tinggi. Pada komunitas, dapat dilakukan vaksinasi
pada pasien dengan risiko tinggi, seperti pneumonia pneumokokal pada orang
yg tua atau meningokokal pada anak maupun dewasa muda. Kelompok risiko
tinggi lainnya antara lain, pasien kanker stadium akhir, diabetes, penyakit
renal stadium akhir, gagal jantung kongestif, dan PPOK. Pencegahan juga
dapat dilakukan dengan memperbaiki higienitas, menjaga mobilitas, menjaga
nutrisi, dan merawat luka lokal secara adekuat.
Pencegahan pada pasien di rumah sakit mempunyai kesulitan tersendiri,
karena behubungan dengan patogen yang lebih kuat. Pada kasus ini sebaiknya
dilakukan terapi yang baik untuk mengurangi lamanya perawatan di rumah
24
DAFTAR PUSTAKA
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris
Du, W et al. (2016). Efficacy and Safety of Esmolol in Treatment of Patients with
Septic Shock. Chin Med J (Eng), 129: 1658-65.
Ill Medical and Surgical Patients with Sepsis. J Crit Care, 37: 206-210.
Hari MS, Harrison DA, Rubenfeld GD, Rowan K. 2017. Epidemiology of sepsis
and septic shock in critical care unit: comparison between sepsis-2 and
sepsis-3 populations using a national critical care database. British
Journal of Anaesthesia; 119(4):626-636.
Hotchkiss, RS., Moldawer, LL., Opal, SM., Reinhard, K., Turnbull, IR., Vincent,
JL. (2016). Sepsis and Septic Shock. Nat Rev Dis Primers, 2(1): 15
Lamontagne, F et al. (2016). Higher versus Lower Blood Pressure Targets for
Vasopressor theraphy in Shock: a Multicentre Pilot Randomized
Controlled Trial. Intensive Care Med, 42(4): 542-550
Lee, RY dan Bainum,TB. (2019). Sepsis Management. Infection Critical Care, pp.
14-27
Mahapatra, S dan Heffner, AC. (2020). Septic Shock (Sepsis). StatPearls
Publishing LLC, pp. 7-8
Marik, PE et al. (2017). Hydrocortison, Vitamin C, and Thiamine for The
Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock: a Retrospective before-
after study. Chest, 15:1229-1238.
McClave, SA et al. (2016). Guidelines of The Provision and Assesment of
Nutrition Support Theraphy in The Adults Critically Ill Patient: Society
of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral
and Enteral Nutrition (ASPEN). JPEN J Parenter Enteral Nutr, 40:159-
211
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI). (2017).
Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Sepsis: Optimalisasi FASTHUGSBID.
Jakarta: PERDICI, pp. 4-12, 24-27
Prucha M., Malaska J., Zazula, R., Moravec, M. 2016. Pathogenesis of Sepsis.
Prague: SMgroup.
Purwanto, D. S., & Astrawinata, D.A.W. 2018. Mekanisme kompleks sepsis dan
syok septik. Jurnal Biomedik (JBM), 10(3): 143-151.
Putra, I., A., S. 2019. Update tatalaksana sepsis. CDK Jurnal-280, 46(11): 681-
685.
27