Anda di halaman 1dari 27

MANAJEMEN SEPSIS DAN SYOK SEPSIS

A. Definisi
Definisi sepsis telah mengalami perkembangan seiring waktu. Definisi
sepsis pertama kali diusulkan pada konferensi internasional tahun 1991
(Sepsis-1), selanjutnya pada tahun 2001 (Sepsis-2) dan terakhir pada tahun
2016 (Sepsis-3).

1. Sepsis 1
Tahun 1991, American College of Chest Physicians (ACCP) dan
Society of Critical Care Medicine (SCCM) menggelar konferensi dan
menekankan bahwa sepsis merupakan sebuah proses yang berkelanjutan.
Konferensi tersebut menghasilkan beberapa istilah yaitu Systemic
inflammatory response syndrome (SIRS), sepsis, severe sepsis dan syok
sepsis.
SIRS adalah sebuah respons inflamasi sistemik terhadap berbagai
gangguan klinis yang berat, dengan kriteria:
- Suhu >38℃ atau <36℃
- Denyut jantung >90 kali per menit
- Frekuensi pernapasan >20 kali per metit atau PaCO2 <32
mmHg
- Hitung sel darah putih >12.000/cu mm, <4.000/cu mm atau
>10% bentuk imatur.
Sepsis adalah sebuah respon sistem terhadap infeksi, yang
merupakan manifestasi dari dua atau lebih kriteria SIRS sebagai hasil
dari infeksi.
Severe sepsis adalah sepsis klinis yang disertai dengan disfungsi
organ, hipoperfusi jaringan atau hipotensi.
Syok sepsis adalah sepsis dengan hipotensi dan disfungsi organ
yang persisten meskipun telah dilakukan resusitasi cairan, memerlukan
pengobatan vasoaktif.
3

2. Sepsis 2
Pada tahun 2001, SCCM, ACCP, European Society of Intensive
Care Medicine (ESICM) dan American Thoracic Society and the Surgica
dan lebih detai dibandingkan dengan l Infection Society menggelar
konsensus kedua untuk memperbarui kriteria sepsis. Tanda dan gejala
sepsis menjadi lebih banyak dibandingkan dengan kriteria sepsis
sebelumnya. Definisi sepsis diperbarui dengan temuan klinis dan
laboratoris.

3. Sepsis 3
Setelah mengalami beberapa kali revisi, definisi sepsis kembali
diperbarui pada tahun 2016 melalui sebuah konferensi internasional oleh
komite Sepsis-3. Definisi baru menekankan mengenai disfungsi organ
dan mempertimbangkan fakta bahwa kriteria SIRS dapat berubah
tergantung pada banyak faktor pada pasien perawatan intensif dan bahwa
SIRS memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dalam
membedakan sepsis dan infeksi non-komplikasi.
Definisi tentang sepsis dan syok septik diperbarui, sistem penilaian
qSOFA (Quick Sequential Organ Failure Assessment) dikembangkan
untuk identifikasi awal disfungsi organ pada sepsis. Panduan sepsis
terbaru menekankan persyaratan untuk diagnosis dini dan penerapan
cepat prosedur pengobatan selama proses sepsis yang sedang
berlangsung.
Komite Sepsis-3 mengeluarkan definisi baru sebagai berikut:
- Sepsis adalah kondisi mengancam jiwa yang disebabkan oleh
respons tubuh yang tidak teratur terhadap infeksi, yang
mengakibatkan disfungsi organ.
- Syok sepsis adalah sepsis dengan kelainan vaskuler, seluler dan
metabolik yang mendasari cukup mendalam untuk secara
substansial meningkatkan kematian. Tingkat laktat yang
meningkat >2 mmol L-1 tanpa hipovolemia dan memulai
4

pengobatan vasopressor untuk menjaga MAP > 65 mmHg.


- Disfungsi organ adalah peningkatan dua atau lebih dalam
sistem penilaian Sequential Organ Failure Assessment
(SOFA), dan ditentukan bahwa hal tersebut menyebabkan
peningkatan lebih dari 10% kematian di rumah sakit.
Pada definisi Sepsis-3 ini, istilah SIRS dan severe sepsis
dihilangkan (Gul et al, 2017 dan Dugar et al, 2020).

B. Epidemiologi
Insidensi sepsis berdasarkan International Classification of Disease
bervariasi antara 132 sampai 300 per 100.000 penduduk di dunia per tahun. Di
Amerika Serikat diperkirakan kasus sepsis terjadi sebanyak 750.000 dengan
kematian sebanyak 200.000 setiap tahunnya. Di Inggris didapatkan adanya
insidensi sepsis berkisar antara 88-102 per 100.000 penduduk setiap tahunnya
Hari et al, 2017 dan Gauer, 2013).
Epidemiologi global dari sepsis, sulit untuk dipastikan. Diperkirakan lebih
dari 30 juta orang terkena sepsis setiap tahun di seluruh dunia, yang berpotensi
menyebabkan 6 juta kematian setiap tahun. Tingkat kematian akibat sepsis,
sesuai data dari Surviving Sepsis Campaign 2012, adalah sekitar 41% di Eropa
dibandingkan sekitar 28,3% di Amerika Serikat. Namun perbedaan ini
menghilang ketika disesuaikan dengan tingkat keparahan penyakit. Ini berarti
bahwa mortalitas pada sepsis bervariasi sesuai dengan karakteristik pasien
juga. Sebuah penelitian multisenter di Australia dan Selandia Baru yang
melibatkan 101.064 pasien kritis menunjukkan bahwa angka kematian akibat
sepsis telah menurun selama bertahun-tahun dari sekitar 35% pada tahun 2000
menjadi sekitar 20% pada tahun 2012 (Gyawali, et al., 2019).
Data mengenai prevalensi sepsis di Indonesia masih sangat terbatas. Pada
suatu studi yang dilakukan oleh Wardhana A, et al. didapatkan 38,9% pasien
yang datang ke unit luka bakar RSCM terdiagnosis sepsis dengan tingkat
mortalitas sebesar 76,9%. Sebaran penyakit sepsis di Rumah Sakit Dr. Sutomo
didapatkan sebesar 58,33% (Wardhana et al, 2017 dan Tambajong et al,
5

2016).

C. Etiologi
Sepsis disebabkan oleh mikroorganisme berupa bakteri, fungi, parasit
dan virus. Sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri Gram negatif 70%
(Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella, Enterobacter, E. Colli, Proteus,
Neisseria), infeksi bakteri Gram positif 20-40% (Staphylococcus aureus,
Streptococcus, Pneumococcus), virus 23% (Dengue haemorrhagic fever,
Herpes virus), protozoa (Malaria falciparum), dan jamur (Tambajong et al.,
2016).Tempat infeksi yang paling sering menyebabkan sepsis adalah saluran
pernapasan (39% -50%), saluran kemih (5% -37%), dan ruang intra-abdomen
(8% -16%) (Dipiro et al., 2015).

D. Faktor Risiko
Siapapun dapat terkena infeksi, dan hampir semua infeksi dapat
menyebabkan sepsis. Beberapa orang yang memiliki risiko tinggi, yaitu:
1. Dewasa usia 65 tahun atau lebih
2. Orang dengan kondisi medis kronis, seperti diabetes, penyakit
paru-paru, kanker, dan penyakit ginjal
3. Orang dengan sistem kekebalan yang lemah
4. Sepsis survivor
5. Anak-anak di bawah satu tahun (Centers for Disease Control and
Prevention, 2020)

E. Patofisiologi
1. Sistem Imun Bawaan dan Mediator Inflamasi
Respon host pertama kali terhadap pathogen adalah aktivasi sel
imun bawaan, terutama oleh makrofag, monosit, neutrofil, dan natural
killer cells. Aktivasi tersebut terjadi karena adanya interaksi antara pattern
recognition receptors (PRR) yang spesifik dengan pathogen-associated
molecular patterns (PAMPs) atau dengan damage-associated molecular
6

patterns (DAMPs) (Gyawali, et al., 2019). Empat kelompok penting PRR


yang dapat mengenali agen infeksius adalah toll-like receptors (TLRs), C-
type leptin receptors(CLRs), nucleotide oligomerization domain(NOD)-
like receptors(NLRs),danretinoic acid inducible gene 1 (RIG-1)-like
receptors(RLRs) (Abbas, et al., 2012). Pathogen-associated molecular
patterns (PAMPs) yang dapat dikenali oleh PRR yaitu lipopolisakaraida
(LPS), peptidoglikan (PGN), bacterial lipoproteins, lipoteichic acid(LTA),
bacterial dan viral nucleic acid, sertafungal β–glucans.Damage-
associated molecular patterns (DAMPs) ialah suatu molekulendogen yang
dilepaskandarisel yang matiataurusak (Prucha, et al., 2016).Setelah terjadi
interaksi antara PRR dengan PAMPs atau DAMPs
padamonositdanmakrofag, nuclear factor kappa B (NF-kB) akan
teraktivasi danmenyebabkan produksi danpelepasansitokinproinflamasi
(TNFα, IL-1, IL-6, dan IL-8). Sitokin proinflamasi mengakibatkan aktivasi
dan proliferasi leukosit, aktivasi system komplemen, produksi nitric oxide,
peningkatan aktivitas prokoagulasi pada sel endotel, aktivasi neutrofil,
molekuladhesi endothelial, produksi tissue factor, dan induksi fase hepatic
akut reaktan. Pada sepsis terjadi respon imun yang berlebihan sehingga
menimbulkan kerusakan kolateral dan kematian jaringan serta sel host
(Prucha, et al., 2016; Gyawali, et al., 2019).

2. Immunosupresi
Banyak limfosit dan sel epitelial intestinal yang mati akibat adanya
apoptosis selama sepsis. Sepsis dihubungkan dengan peningkatan
apoptosis sel immunokompeten yang mengakibatkan immunosupresi.
Pada sepsis menunjukkan penurunan jumlah limfosit B dan sel CD4+
secara drastis (Prucha, et al., 2016). Pada tahap awal sepsis (hari keempat)
menunjukkan jumlah limfosit yang rendah.Limfopenia dini dapat
berfungsi sebagai biomarker adanya imunosupresi pada sepsis (Gyawali,
et al., 2019).
7

3. Disregulasi Koagulasi
Pada sepsis dan syok septik, terjadi gangguan koagulasi dalam
pembuluh darah. Sepsis mengakibatkan hiperkoagulasi yang ditandai oleh
pembentukan trombus mikrovaskular, deposisi fibrin, pembentukan
neutrophil extracellular trap (NET), dan kerusakan endotel.
Hiperkoagulasi terjadi melalui berbagai mekanisme yang saling terkait
seperti pelepasan sitokin pro-inflamasi (IL-1, IL-6, IL-12, dan TNF-α),
penurunan kadar antitrombin, penghambatan faktor anti-koagulan, dan
gangguan fibrinolisis.Sitokin pro-inflamasi merangsang ekspresi
berlebihan tissue factor (TF) pada permukaan sel endotel dan monosit
yang mengakibatkan interaksi TF dengan faktor VIIa, sehingga
mengaktivasi koagulasi jalur ekstrinsik, pembetukan trombin, dan fibrin.
Fibrin bersama dengan trombosit akan membentuk trombus mikrovaskular
(Purwanto & Astrawinata, 2018).
Pada kondisi normal, faktor anti-koagulan seperti protein C,
protein S, antitrombin III (AT III), dan tissue factor-pathway inhibitor
(TFPI) akan mengurangi koagulasi, meningkatkan fibrinolisis, dan
membersihkan mikrotrombus sebagai respon terhadap koagulasi.
Trombindengan kofaktor trombomodulin yang dikeluarkan oleh sel
endotel akan mengkonversi protein C menjadi protein C aktif.Protein C
yang teraktifasiakanbekerjasamadengan protein S untuk menginaktivasi
Faktor Va dan Faktor VIIIa serta menurunkan sintesis plasminogen
activator inhibitor-1 (PAI-1) sehinggamemberiefekantikoagulan
(Purwanto & Astrawinata, 2018).Protein C juga menurunkan apoptosis,
adhesi neutrofil dan monosit pada endothelium, serta memilikiefek anti-
inflamasi dengan menghambat TNFα, IL-1β, dan IL-6 (Purwanto &
Astrawinata, 2018; Gyawali, et al., 2019).
Antitrombin III menghambat aktivitas trombin, F.XIIa, F.XIa,
F.Xa, F.IXa, F.VIIa, plasmin, dan kalikrein. Tissue factor-pathway
inhibitor (TFPI) dapat menghambat koagulasi yang diinduksi oleh tissue
factor melalui pembentukan kompleks TFPI dengan F.Xa dan selanjutnya
8

mengikat kompleks F.VIIa-TF sehingga membentuk kompleks kuartener.


Sekali hal tersebut terjadi, maka F.Xa hanya akan terbentuk melalui
kompleks F.IXa-F.VIIIa (Purwanto & Astrawinata, 2018).
Pada pasien sepsis terjadi penurunan protein C, protein S, AT III,
dan TFPI serta peningkatan sintesis dan aktivasi PAI-1 sehingga aktivitas
plasmin menurun. Lipopolisakarida dan TNF-α menurunkan sintesis
trombomodulin dan endothelial protein C receptor (EPCR) sehingga
aktivasi protein C dan fibrinolisis menurun. Faktor-faktor yang
menurunkan kadar AT III ialah berkurangnya sintesis hepar terhadap
protein, pembentukan kompleks trombin-AT III, dan degradasi oleh
elastase dari neutrofil yang teraktivasi (Purwanto & Astrawinata,
2018).Ketika TNFα dan IL-1β meningkat, aktivator plasminogen jaringan
dilepaskan dari sel endotel pembuluh darah. Hal tersebut menyebabkan
aktivasi plasmin meningkat sehingga terjadi peningkatan inhibitor
aktivator plasminogen tipe 1 (PAI-1).PAI-1 adalah suatu penghambat kuat
aktivator plasminogen jaringan jalur endogen untuk melisiskan bekuan
fibrin (Putra, 2019). Peningkatan PAI-1 mengakibatkan berkurangnya
fibrinolisis dan peningkatan thrombosis mikrovaskular (Gyawali, et al.,
2019).

4. Disfungsi Sel, Jaringan, dan Organ


Mekanisme yang mendasari terjadinya disfungsi jaringan dan
organ pada sepsis adalah hipoperfusi sehingga mengakibatkan penurunan
pengiriman dan pemanfaatan oksigen oleh sel (Gyawali, et al., 2019).
Faktor yang berperan adalah vasodilatasi, hipotensi, berkurangnya
deformabilitas eritrosit, dan trombosis mikrovaskular. Hilangnya fungsi
molekul adhesi vascular endhotelial (VE) chaderin pada sambungan antar
sel endotel, gangguan keseimbangan sphingosine-1 phosphate receptor 1
(S1P1), dan S1P3 (yang berperan pada struktur sel endotel), dan
peningkatan kadar angiopoietin 2 (faktor proangiogenik) menyebabkan
9

hilangnya integritas endotel yang memperberat penurunan oksigenasi


jaringan (Purwanto & Astrawinata, 2018).
Dilatasi arteri dan vena yang diinduksi oleh mediator inflamasi
mengakibatkan penurunan aliran balik vena, hipotensi, dan syok
distributive pada sepsis. Terdapat tiga komponen mikrovaskular yang
mengalami dilatasi yaitu arteriole, venula, dan kapiler. Kebocoran cairan
intravascular kedalam ruang interstitial memperburuk kondisi tersebut.
Kebocoran cairan intravascular disebabkan oleh hilangnya fungsi barrier
endothelial karena adanya perubahan pada endothelial chaderin dan tight
junction. Perubahan hemodinamik tubuh tersebut menyebabkan
hipoperfusi jaringan dan organ. Akibatnya, terjadi peningkatan glikolisis
anaerob pada sel yang menghasilkan asam laktat. Reactive oxygen species
(ROS) yang diproduksi oleh respon inflamasi menyebabkan disfungsi
mitokondria dan menurunnya ATP. Mekanisme tersebut mengakibatkan
kerusakan pada tingkat seluler (Gyawali, et al., 2019).
Perubahan signifikan pada endothelium berupa gangguan fungsi
barrier, vasodilatasi, peningkatan adhesi leukosit, dan pembentukan
prokoagulan. Perubahan tersebut mengakibatkan akumulasi cairan edema
padaruang interstitial, rongga tubuh, dan jaringan subkutan. Pada paru-
paru terdapat gangguan barrier alveolar-endhotelial dengan akumulasi
cairan kaya protein di ruang interstitial parudan alveoli sehingga terjadi
ketidaksesuaian ventilasi-perfusi, hipoksia, dan penurunan komplians paru
yang menyebabkan acute respiratory distress syndrome (ARDS) pada
kasus yang ekstrim(Gyawali, et al., 2019). Pada miokardium, disfungsi
disebabkan terutama oleh sintesis NO yang meningkat (Purwanto &
Astrawinata, 2018). Sedangkan pada hati, terjadi penekanan klirens
bilirubin yang menyebabkan kolestasis. Pada ginjal, kombinasi dari
penurunan perfusi ginjal, nekrosis tubular akut, defek pada mikrovaskular
dan tubulus mengakibatkan acute kidney injury. Pada saluran pencernaan,
peningkatan permeabilitas lapisan mukosa menyebabkan translokasi
bakteri di usus besar dan pencernaan otomatis oleh enzim luminal.
10

Perubahan status kesadaran biasanya ditemukan pada sepsis dan


merupakan indikasi disfungsi SSP. Perubahan endotel merusak sawar
darah otak sehingga toksin, sel inflamasi, dan sitokin dapat masuk. Edema
serebral, gangguan neurotransmitter, stresoksidatif, dan kerusakan white
matter mengakibatkan ensefalopati septis yang bervariasi mulai dari
confusion ringan hingga delirium dan koma (Gyawali, et al., 2019).

F. Diagnosis
Kriteria klinis pasien sepsis dapat diketahui menggunakan skor
Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (Singer, et al., 2016). SOFA
mengevaluasi fungsi fisiologis, respirasi, koagulasi, hepatik, sistem saraf
pusat, dan ginjal (Arifin, et al ., 2017). Jika pasien yang mengalami infeksi
diperoleh skor sofa ≥ 2 maka diagnosis sepsis sudah dapat ditegakkan
(Singer, et al., 2016). Semakin tinggi skor SOFA, semakin tinggi morbiditas
dan mortalitas sepsis (Arifin, et al., 2017).
Pada pasien infeksi perlu dilakukan skrining kemungkinan terjadinya
sepsis. Skrining dapat diakukan kapan saja dan dimana saja. Metode skrining
menggunakan qSOFA (quick SOFA). Skoring tersebut cepat, sederhana dan
tidak memerlukan pemeriksaan laboratorium. Skor qSOFA dapat digunakan
untuk mengetahui adanya disfungsi organ secara cepat untuk menginisiasi
terapi yang tepat dan sebagai bahan pertimbangan merujuk ke tempat
perawatan kritis atau meningkatkan pengawasan. Jika terdapat 2 dari 3
kriteria, skor qSOFA dinyatakan positif. Apabila qSOFA positif selanjutnya
akan dilakukan skoring menggunakan metode SOFA (Singer, et al., 2016).
Pasien dengan syok septik diidentifikasi dengan adanya klinis sepsis
dengan hipotensi menetap yang memerlukan vasopresor untuk
mempertahankan MAP ≥ 65 mmHg dan kadar laktat serum > 2 mmol/L (18
mg/dL) walaupun volume resusitasi memadai (Singer, et al., 2016).

Tabel 1. Kriteria Sepsis 2016 (Putra, 2019)

Kriteria Sepsis (2016)


11

Sepsis Skor SOFA ≥ 2


qSOFA ≥ 2
Sepsis Berat Definisi sepsis berat dihilangkan
Syok sepsis Sepsis dengan hipotensi
Kadar serum laktat ≥ 2 mmol/L yang menetap meskipun telah
diberikan terapi cairan sehingga dibutuhkan pemberian
vasopressor untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg

Tabel 2. Kriteria quick SOFA (qSOFA) (Arifin, et al., 2017)

Laju pernapasan ≥ 22x/menit


Perubahan kesadaran (Skor Glasgow Coma Scale ≤ 13)
Tekanan darah sistolik ≤ 100 mmHg

Tabel 3. Skor Sequential Organ Failure Assessment (SOFA) (Arifin, et al., 2017)
12

Gambar 1. Algoritma Skrining dengan Kecurigaan Sepsis dan Syok Septik (Arifin, et
al., 2017)

G. Tatalaksana
Kasus sepsis dan syok septik merupakan suatu kedaruratan medis
yang memerlukan tatalaksana yang cepat dan adekuat (PERDICI, 2017).
Resusitasi pasien dengan hipoperfusi akibat sepsis dan syok sepsis harus
dilakukan dengan target yang jelas dan dikerjakan sedini mungkin mengacu
kepada early goal-directed theraphy (EGDT) (Gyawali et al., 2019). Prinsip
pada penatalaksaan EGDT meliputi idenitifikasi pasien dengan risiko tinggi,
13

kultur yang memadai, mengontrol sumber infeksi, dan pemberian antibiotik


yang adekuat sedini mungkin. Prinsip ini sebaiknya dilakukan setelah
mengoptimalkan penghantaran oksigen jaringan dengan perbaikan
hemodinamik dan menurunkan komsumsi oksigen jaringan (Gyawali et
al.,2019).
1. Stabilisasi hemodinamik
a. Resusitasi cairan
Terapi resusistasi cairan pada pasien dengan sepsis maupun syok
septik harus dilakukan secepatnya. Rekomendasi dari guideline
Surviving Sepsis Campaign (SSC) (2016) merekomendasikan
resusitasi cairan pada pasien dengan hipotensi akibat sepsis dilakukan
minimal 30 ml/kgBB cairan kristaloid dalam tiga jam pertama. Cairan
koloid albumin juga dapat diberikan sebagai kombinasi dengan cairan
kristaloid atau terapi sendiri, dengan target albumin serum > 30 g/L.
Sementara itu, jenis larutan koloid lainnya tidak direkomendasikan
untuk resusitasi cairan pada sepsis dan syok septik (Rhodes et al.,
2017; Lee dan Bainum, 2019).
Beberapa pasien mungkin membutuhkan resusitasi cairan
kurang atau lebih dari 30 ml/kgBB sehingga perlu dilakukan penilaian
respon cairan. Penilaian respon cairan diharapkan dapat memberikan
informasi penting bagi klinisi sehingga tatalaksana cairan dapat lebih
optimal. Teknik-teknik yang biasa yang digunakan antara lain passive
leg raising (PLR), fluid challenge test, stroke volume variation (SVV).
Pemeriksaan PLR merupakan metode yang cukup mudah dilakukan
dan memiliki sensitivitas (85%) dan spesifitas (92%) yang tinggi
untuk menilai perubahan curah jantung (PERDICI, 2017; Rhodes et
al., 2017; Lee dan Bainum, 2019).
14

Gambar 2. Prosedur PLR untuk menilai respon cairan (PERDICI, 2017).

Target yang direkomendasikan untuk resusitasi cairan adalah mean


arterial pressure (MAP) dan serum laktat. Nilai target MAP pada
penatalaksaan cairan adalah 65 mmHg. Pemilihan target MAP sebesar
65 mmHg ini berkaitan dengan risiko fibrilasi atrium, dosis
vasopressor yang lebih rendah, dan angka mortalitas yang sama bila
dibandingkan dengan target MAP diatas 65 mmHg. Sementara,
menarget MAP sampai 85 mmHg dapat meningkatkan risiko aritmia.
Kadar serum laktat dapat digunakan untuk menilai hipoksia jaringan
akibat glikolisis anaerob. Pemeriksaan ini dapat menilai perfusi
jaringan lebih objektif dibandingkan dengan produksi urin dan
pemeriksaan fisik. Kadar serum laktat diatas 1 mmol/L berhubungan
dengan kegagalan organ dan bila diatas 4 mmol/L mengindikasikan
penyakit berat dengan risiko kematian tinggi. Resusitasi cairan dengan
pemantauan kadar laktat menurunkan risiko mortalitas secara
signifikan. Sementara itu, pemantaun central venous pressure (CVP)
dan central venous oxygen saturation (ScvO2) sudah tidak digunakan
lagi karena tidak menunjukan perbedaan angka mortalitas yang
signifikan (PERDICI, 2017; Rhodes et al., 2017; Gyawali et al., 2019;
15

Lee dan Bainum, 2019).


b. Pengobatan vasoaktif
Apabila inisiasi resusitasi gagal memperbaiki hipotensi, pengobatan
vasoaktif dapat digunakan. Pengobatan vasoaktif lini pertama yang
direkomendasikan adalah norepinefrin, yang dapat diberikan 35-90
µg/menit. Apabila dibutuhkan obat tambahan untuk meningkatkan
target MAP pada pasien maka dapat ditambahkan vasopressin (sampai
0.03 U/menit) atau epinefrin (sampai dengan 20-50 µg/menit).
Vasopresin juga dapat diberikan sebagai kombinasi dengan
norepinefrin untuk mengurangi dosis tunggal norepinefrin. Pemberian
dopamin dapat digunakan sebagai vasopressor alternatif pada pasien
khusus (dengan pasen risiko rendah takiaritmia dan bradikardia
absolut/relatif). Dopamin dosis rendah juga dapat diberikan sebagai
proteksi ginjal. Sementara itu, dobutamin dapat digunakan pada pasien
dengan hipoperfusi persisten setelah resusi cairan adekuat serta
penggunaan vasopressor (Rhodes et al., 2017; Putra, 2019). Selain itu,
angiotensin II dapat diberikan juga pada pasien dengan AKI yang
membutuhkan terapi pengganti ginjal pada kondisi syok septik atau
syok distributif. Pemberian angiotensin II ini dapat dipertimbangkan
pada pasien dengan syok refrakter yang tidak respon dengan terapi
vasoaktif lainnya.
Target inisial MAP untuk terapi pengobatan vasoaktif adalah 65
mmHg. Pemilihan target diatas 65 mmHg (80-85 mmHg) tidak
menurunkan angka mortalitas yang signifikan pada hari ke 28 dan 90
bila dibandingkan dengan target MAP yang lebih rendah (Gyawali et
al., 2019). Penelitian Lamontagne et al., (2016) menyatakan bahwa
target MAP yang lebih rendah (60-65 mmHg) berhubungan dengan
penurunan mortalitas pada pasien usia diatas 75 tahun. Pada
pemberian terapi vasoaktif sebaiknya memperhatikan hal dibawah ini:
1) Dosis terapi vasoaktif sebaiknya menggunakan acuan berat
badan, kecuali pada kelompok pasien dengan indeks massa
16

tubuh (IMT) diatas 30 kg/m2. Sebaiknya pada kelompok pasien


dengan IMT diatas 30 kg/m2, diberikan terapi dengan dosis
tetap, karena pemberian obat vasoaktif berdasarkan berat badan
pada kelompok tersebut memiliki efek negatif terhadap
perubahan MAP (Lee dan Bainum, 2019).
2) Pada pasien yang mendapatkan terapi kombinasi norepinefrin
dan vasopressin, sebaiknya dilakukan pemberhentian
norepinefrin terlebih dahulu. Hal tersebut disebabkan karena
pemberhentian vasopressin terlebih dahulu berhubungan dengan
insidensi hipotensi dan instabilitas hemodinamik yang lebih
tinggi (Lee dan Bainum, 2019).
3) Pemberian pengobatan vasoaktif sebaiknya diberikan melalui
kateter vena sentral untuk meminimalkan kejadian ekstravasasi
dan kerusakan jaringan. Pemberian obat vasoaktif (paling sering
norepinefrin dan fenillefrin) secara perifer (intravena melalui
fossa antecubital atau forearm) dapat menyebabkan nekrosis
pada proksimal daerah pemberian obat. Hal tersebut
menyebabkan pemberian obat vasoaktif melalui perifer
(intravena) sebaiknya dilakukan pada kondisi akses vena sentral
yang tidak memungkinkan (Lee dan Bainum, 2019).
c. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid tidak direkomendasikan pada pasien dengan
syok septik yang dapat ditangani dengan resusitasi cairan dan
pemberian obat vasoaktif, maupun untuk mencegah syok septik pada
pasien sepsis. Pemberian hidrokortison IV 200 mg/hari dianjurkan
pada pasien yang tidak respon terhadap terapi resusitasi cairan dan
pengobatan vasoaktif. Namun, perlu diperhatikan pemberian bolus
kortikosteroid berulang dapat menyebabkan hiperglikemia,
hipernatremia, hipertensi, ensefalopati, dan miopati (Rhodes et al.,
2017; Lee dan Bainum, 2019).
d. Terapi lainnya
17

1) Vitamin C, Hidrokortison, dan Thiamin


Vitamin C dapat memodulasi inflamasi yang disebabkan karena
sepsis pada model uji binatang. Hal tersebut memicu penelitian
pada pasien manusia dengan sepsis (Lee dan Bainum, 2019).
Penelitian Zabet et al (2016) membandingkan pemberian terapi
norepinefrin 7.44 mcg/kg/menit ditambah vitamin C dibandingkan
dengan 13/79 mcg/kg/menit dengan plasebo. Pada pasien kelompok
vitamin C memiliki durasi infus norepinefrine yang lebih rendah
dan memiliki insidensi mortalitas 28 hari yang lebih rendah. Selain
itu, penelitian Marik et al (2017) menemukan pemberian
hidrokortison, vitamin C, dan thiamin dapat menurunkan angka
mortalitas yang signifikan. Selain itu, kombinasi pengobatan ini
juga dapat memperbaiki durasi terapi vasopressor, kebutuhan renal
replacement theraphy (RRT) pada acute kidney injury (AKI),
skoring SOFA, dan klirens prokalsitonin, walaupun lama
perawatan di ICU tidak berbeda.
2) β-Blocker
Penggunaan β-Blocker memiliki dasar aktivasi sistem saraf
simpatis pada pasien sepsis dapat menyebabkan efek yang
berbahaya. Hubungan antara stress simpatis yang tinggi dan depresi
miokardial membuat modulasi dari β-Blocker untuk mengontrol
denyut jantung menjadi menguntungkan. Pemberian β-Blocker
pada pasien sepsis dapat meningkatkan volume sekuncup dan
perfusi jaringan (Du et al., 2016). Pemberian β-Blocker belum
direkomendasikan oleh guideline, namun dapat dipertimbangkan
apabila ditemukan adanya syok septik dengan takikardia dan curah
jantung yang tinggi (Lee dan Bainum, 2019).
2. Terapi antimikrobial dan kontrol sumber infeksi
a. Waktu pemberian antibiotik
Pemberian terapi antibiotik empiris spektrum luas sebaiknya diberikan
secepatnya setelah adanya diagnosis. Antibiotik tersebut idealnya
18

diberikan satu jam setelah pengambilan darah untuk kultur


darah/kultur lainnya dan dalam satu jam setelah terbukti sepsis dan
syok sepsis (Lee dan Bainum, 2019). Pemberian antibiotik dalam satu
jam pertama meningkatkan angka keselamatan hingga 80%.
Penundaan pemberian antibiotik dalam kasus ini berhubungan dengan
penurunan keselamatan pasien hingga 7% setiap jam penundaannya
(Gyawali et al., 2019). Pemberian antibiotik empiris spektrum luas
sebaiknya dibatasi hanya tiga sampai lima hari, kecuali pada pasien
neutropenia dan infeksi patogen multidrug-resistant, seperti
Acinetobacter dan Pseudomonas (Rhodes et al., 2019).
b. Pemilihan antibiotik
Pada pemilihan antibiotik sebaiknya dilakukan dengan cermat,
terutama golongan β-Lactam, yang memiliki keuntungan dapat
diberikan secara bolus atau infus cepat. Antibiotik yang diberikan
dengan bolus dan infus cepat, dapat mencapai tingkatan terapetik
dengan cepat dengan dosis inisialnya. Karena itu, pemberian
antiobiotik secara intravena ini seharusnya menjadi prioritas,
bersamaan dengan resusitasi cairan. Sebagai tambahan, antibiotik
intramuskular golongan β-Lactam lini pertama (imipenem/cilastatin,
cefepime, ceftriaxone, dan ertapenem), dapat diberikan pada situasi
emergensi. Namun, pemberian ini sebaiknya hanya dipertimbangkan
apabila akses vaskuler tidak dapat dilakukan (Rhodes et al., 2017)
Pada pasien dengan inflamasi berat tanpa sumber infeksi (cth.
severe necrotizing pancreatitis dan luka bakar berat), pemberian
antibiotik tidak direkomendasikan, karena tidak mendapat keuntungan
dari terapi profilaksis antibiotik. Pemberian antiobiotik sebaiknya juga
mengikuti prinsip farmakokinetik dan farmakodinamik pada masing-
masing regimen pengobatan. Beberapa kondisi pasien seperti
hemodinamik tidak stabil, peningkatan curah jantung, peningkatan
volume ekstraseluler, penuruan serum albumin, penurunan perfusi
ginjal dan hati dapat mengganggu farmakokinetik dan
19

farmakodinamik antibiotik. Contoh prinsip pengobatan antibiotik


dapat dilihat pada tabel dibawah ini (Rhodes et al.,2017; Lee dan
Bainum, 2019).
Tabel 1. Prinsip farmakokinetik dan farmakodinamik pemberian antibiotik (Rhodes et
al.,2017; Lee dan Bainum, 2019)
Golongan Strategi dosis pemberian
antibiotik/antibiotik
Aminoglikosida Pemberian dengan dosis 5-7 mg/kg (dosis equivalen
gentamisin)
Pemberian satu kali sehari pada pasien dengan fungsi ginjal
baik
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal dapat diberikan satu
kali sehari, namun dengan periode yang lebih panjang
(sampai 3 hari) , sebelum pemberian dosis selanjutnya
Florokuinolon Dapat diberikan dengan dosis optimal, dan non toksik
(ciprofloxacin 600 mg/12 jam; Levofloxacin 750mg/24 jam)
dengan fungsi ginjal baik
Vankomisin Efikasi pengobatan tergantung konsentrasi obat
(rekomendasi 15-20 mg/L)
Pemantauan konsentrasi pre-dose direkomendasikan. Pada
sepsis dan syok septik dosis IV 25-30 mg/kg.
Perlu diperhatikan pada kasus sepsis dan syok septik,
peningkatan volume cairan (akibat resusitasi cairan) dapat
menurunkan efektivitas vankomisin)
β-Lactam Efektivitas pengobatan bergantung pada durasi konsentrasi
obat dibandingkan dengan minimum inhibition concentration
(MIC) patogen (T> MIC)
Frekuensi pemberian obat dapat dilakukan untuk
meningkatkan T> MIC
Pemberian infus antibiotik yang lebih lama dari standar (30
menit) dapat meningkatkan T> MIC
  Dosis: Piperacillin/Tazobactam 4,5g/8 jam atau 3.375 g/6
jam
c. Kombinasi antibiotik
Pemberian terapi kombinasi antibiotik sebaiknya digunakan pada
pasien syok septik. Pemberian kombinasi terapi pada pasien syok
sepsis dapat meningkatkan keselamatan pasien, terutama pada pasien
20

dengan risiko kematian yang tinggi. Pemberian antibiotik kombinasi


ini sebaiknya dengan dua kelas antibiotik yang berbeda. Setelah
beberapa hari, apabila pasien sudah mengalami perbaikan, terapi
kombinasi ini dapat dide-eskalasi. Pertimbangan untuk melakukan de-
eskalasi terapi antibiotik berdasarkan: perbaikan klinis (resolusi syok,
penurunan kebutuhan vasopresor), resolusi infeksi (dengan biomarker,
prokalsitonin), dan durasi relatif terapi kombinasi. Perlu juga
diperhatikan terapi kombinasi antibiotik sebaiknya tidak diberikan
pada pasien dengan infeksi berat lainnya (termasuk bakteremia dan
sepsis) tanpa syok. Terapi kombinasi juga sebaiknya tidak diberikan
pada pasien sepsis dengan neutropenia/bakteremia (PERDICI,2017;
Rhodes et al., 2017).
d. Kontrol sumber infeksi
Salah satu tindakan penting dalam manajemen sepsis adalah kontrol
sumber infeksi. Kontrol sumber infeksi adalah tindakan fisik atau
pembedahan yang dapat digunakan untuk kontrol fokus infeksi atau
mengganggu faktor yang mempromosikan penyebaran infeksi /infeksi
yang persisten (Gyawali et al., 2019). Kontrol sumber infeksi dapat
dimulai dengan diagnosis anatomis yang spesifik secepat mungkin,
dilanjutkan dengan pertimbangan apakah sumber infeksi dapat
dikontrol. Beberapa contoh sumber infeksi yang dapat dikontrol antara
lain abses abdomen, perforasi gastrointestinal, iskemia usus atau
volvulus, cholangitis, cholesistitis, pyelonefritis akibat obstruksi atau
abses, infeksi pada jaringan yang infeksi, deep space injury (cth.
Empyema, septik artritis), dan infeksi alat implan. Tindakan yang
dapat dilakukan antara lain: drainase abses, debridemen pada jaringan
nekrosis, pelepasan alat yang dicurigai terinfeksi, dan kontrol dari
sumber kontaminasi. Tindakan mengontrol sumber infeksi ini
sebaiknya dilakukan tidak lebih dari 6 sampai 12 jam setelah
diagnosis ditegakan. Penundaan tindakan debridemen jaringan yang
terinfeksi pada pasien sepsis dapat meningkatkan angka mortalitas
21

hingga 27% setiap hari penundaannya (Rhodes et al., 2017; Gyawali


et al., 2019).
e. Peran prokalsitonin
Pengukuran kadar prokalsitonin dapat dilakukan untuk mengurangi
durasi pemberian antimikrobial pada pasien sepsis. Selain itu,
pemeriksaan kadar prokalsitonin juga dapat digunakan untuk
mendukung pemberhentian antibiotik empiris. Pada pasien dengan
terapi antibiotik yang dituntun dengan kadar prokalsitonin, memiliki
konsumsi antibiotik yang lebih rendah tanpa peningkatan mortalitas.
Hal tersebut, menghindarkan pasien dari risiko resistensi antibiotik.
Namun, penggunaan prokalsitonin ini memiliki keterbatasan yaitu
dapat meningkat pada kasus trauma berat atau pembedahan (Rhodes
et al., 2017; Gyawali et al., 2019; Lee dan Bainum, 2019).
3. Terapi Suportif
a. Manajemen nyeri dan sedasi
Dalam guideline pencegahan dan manajemen nyeri, agitasi, delirium,
immobilitas, dan gangguan tidur pada pasien ICU (PADIS guideline),
tahun 2018 tidak disebutkan secara spesifik mengenai pasien dengan
sepis. Namun, mereka merekomendasikan untuk melakukan
pemantauan nyeri secara reguler pada pasien dewasa kritis dan
menggunakan risiko luaran yang buruk berkaitan dengan nyeri atau
penggunaan opioid. Sementara untuk sedasi pasien, guideline PADIS
merekomendasikan golongan non-benzodiazepine untuk sedasi lini
pertama pada pasien dengan ventilasi mekanis (Devlin et al., 2018).
Pada guideline SSC tidak ada rekomendasi terkait agen sedatif,
namun, disebutkan bahwa golongan non-benzodiazepine memiliki
luaran lebih baik dari benzodiazepines (Rhodes et al., 2017)
b. Nutrisi
Pemberian nutrisi enteral pada pasien sepsis dan syok septik
sebaiknya dilakukan secepatnya jika memungkinkan. Pada pasien
yang dapat diberikan nutrisi enteral, sebaiknya tidak dikombinasikan
22

dengan nutrisi parenteral. Guidelines ASPEN saat ini


merekomendasikan nutrisi enteral dapat diberikan dalam 24-48 jam
setelah diagnosis sepsis berat atau syok sepsis, yang sudah
diresusistasi komplit dan stabil secara hemodinamik. Monitoring
volume residu gaster tidak direkomendasikan dilakukan secara rutin,
kecuali pada pasien dengan intoleransi atau memiliki risiko tinggi
aspirasi (McClave et al.,2016; Rhodes et al., 2017).
c. Profilaksis VTE
Pada pasien dengan kondisi kritis memiliki risiko tinggi mengalami
venous thromboembolism (VTE). Guideline SSC merekomendasikan
penggunaan kemoprofilaksis maupun profilaksis mekanik VTE
(Rhodes et al., 2017). Penelitian dari Hanify (2017) menunjukan
bahwa dapat terjadi kegagalan profilaksis VTE dengan
heparin/enoxaparin hingga 12.5%. Acute respiratory distress
syndrome (ARDS) dan peningkatan tekanan akhir ekspirasi (10 vs 8
cmH2O) berhubungan dengan kegagalan profilaksis VTE. Penelitian
ini juga menyimpulkan bahwa VTE dapat meningkatkan length of
stay (LOS) pada pasien. Sehingga, perlu diperhatikan untuk
identifikasi pasien yang memiliki risiko mengalami kegagalan terapi
profilaksis VTE (Lee dan Bainum, 2019).
d. Profilaksis stres ulser
Pengobatan profilaksis stres ulser dapat diberikan pada pasien sepsis
atau syok sepsis yang memiliki faktor risiko perdarahan
gastrointestinal. Golongan obat yang dapat digunakan adalah proton
pump inhibitor (PPI) dan histamine-2 receptor antagonists (H2RAs)
apabila profilaksis telah di-indikasikan). Prediktor terbaik untuk
mengetahui apakah pasien membutuhkan profilaksis adalah
koagulopati dan penggunaan ventilasi mekanik > 48 jam. Sementara
itu, pada pasien tanpa faktor risiko perdarahan gastrointestinal
sebaiknya tidak diberikan terapi profilaksis ini (Rhodes et al., 2017).
23

H. Komplikasi
Komplikasi pada kasus sepsis dan syok sepsis adalah (Mahapatra dan
Heffner, 2020):
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
2. Kerusakan ginjal akut (AKI)
3. Disseminated intravascular coagulation (DIC)
4. Gagal hati akut
5. Disfungsi miokard
6. Kegagalan organ multipel

I. Prognosis
Sepsis dan syok septik merupakan penyakit yang serius, yang memiliki
mortalitas hingga melebih 40%. Angka mortalitas ini bergantung pada tipe
organisme (infeksi), sensitivitas antibiotik, organ yang terdampak, dan usia
pasien. Semakin banyak faktor yang cocok dengan kriteria sepsis, semakin
tinggi mortalitasnya. Berbagai data menunjukan bahwa takipneu dan
perubahan status mental merupakan prediktor yang baik untuk luaran yang
buruk (Mahapatra dan Heffner, 2020).

J. Pencegahan
Pencegahan sepsis dan syok sepsis menurunkan insiden infeksi, terutama
pada pasien dengan risiko tinggi. Pada komunitas, dapat dilakukan vaksinasi
pada pasien dengan risiko tinggi, seperti pneumonia pneumokokal pada orang
yg tua atau meningokokal pada anak maupun dewasa muda. Kelompok risiko
tinggi lainnya antara lain, pasien kanker stadium akhir, diabetes, penyakit
renal stadium akhir, gagal jantung kongestif, dan PPOK. Pencegahan juga
dapat dilakukan dengan memperbaiki higienitas, menjaga mobilitas, menjaga
nutrisi, dan merawat luka lokal secara adekuat.
Pencegahan pada pasien di rumah sakit mempunyai kesulitan tersendiri,
karena behubungan dengan patogen yang lebih kuat. Pada kasus ini sebaiknya
dilakukan terapi yang baik untuk mengurangi lamanya perawatan di rumah
24

sakit dan menghindari prosedur invasif yang dapat merusak mekanisme


pertahanan alami tubuh. Selain itu, pada rumah sakit perlu juga dilakukan
pemantauan pada pasien dengan risiko tinggi agar tidak jatuh ke kondisi
sepsis, atau pada pasien sepsis tidak sampai ke syok septik atau kegagalan
fungsi organ (Hotchkiss et al., 2016).
25

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, A.K., Licthman, A.H., Pillai, S. 2012. Cellular and Molecular


Immunology (7th ed). Philadelphia: Elsevier, p. 51-86.
Arifin, Trilaksmi, A., Semedi, B.P., Wisudarti, C.F., Pangalila, F.J.V., Razi, F.,
Arifin, H. 2017. Penatalaksanaan sepsis dan syok septik optimalisasi
FASTHUGSBID. Jakarta: PERDICI, p 1-3.
Centers for Disease Control and Prevention. 2020. Sepsis Is A Medical
Emergency. Time Matters.. [online] Available at:
<https://www.cdc.gov/sepsis/what-is-sepsis.html> [Accessed 10
September 2020].
Devlin et al. (2018). Clinical Practice Guidelines for The Prevention and
Management of Pain, Agitation/sedation, Delirium, Immobility, and
Sleep Disruption in Adults Patients in The ICU. Crit Care Med, 46:
e825-873.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris
Du, W et al. (2016). Efficacy and Safety of Esmolol in Treatment of Patients with
Septic Shock. Chin Med J (Eng), 129: 1658-65.

Dugar S, Choudhary C, Duggal A. 2020. Sepsis and septic shock: Guideline-base


management. Cleveland Clinic Journal of Medicine. 87(1): 53-64.
Gauer R. 2013. Early recognition and management of sepsis in adults: the first six
hours. Am Fam Physician; 889(1):44-53.
Gul F, Arslantas MK, Cinel I, Kumar A. 2017. Changing definition of sepsis:
Turkish Journal of Anaesthesiology and Reanimation. 45(3): 129-138.
Gyawali, B., Ramakrishna, K. and Dhamoon, A., 2019. Sepsis: The evolution in
definition, pathophysiology, and management. SAGE Open Medicine, 7,
p.205031211983504.
Hanify, JM et al. (2017). Failure of Chemical Thromboprophylaxis in Critically
26

Ill Medical and Surgical Patients with Sepsis. J Crit Care, 37: 206-210.
Hari MS, Harrison DA, Rubenfeld GD, Rowan K. 2017. Epidemiology of sepsis
and septic shock in critical care unit: comparison between sepsis-2 and
sepsis-3 populations using a national critical care database. British
Journal of Anaesthesia; 119(4):626-636.
Hotchkiss, RS., Moldawer, LL., Opal, SM., Reinhard, K., Turnbull, IR., Vincent,
JL. (2016). Sepsis and Septic Shock. Nat Rev Dis Primers, 2(1): 15
Lamontagne, F et al. (2016). Higher versus Lower Blood Pressure Targets for
Vasopressor theraphy in Shock: a Multicentre Pilot Randomized
Controlled Trial. Intensive Care Med, 42(4): 542-550
Lee, RY dan Bainum,TB. (2019). Sepsis Management. Infection Critical Care, pp.
14-27
Mahapatra, S dan Heffner, AC. (2020). Septic Shock (Sepsis). StatPearls
Publishing LLC, pp. 7-8
Marik, PE et al. (2017). Hydrocortison, Vitamin C, and Thiamine for The
Treatment of Severe Sepsis and Septic Shock: a Retrospective before-
after study. Chest, 15:1229-1238.
McClave, SA et al. (2016). Guidelines of The Provision and Assesment of
Nutrition Support Theraphy in The Adults Critically Ill Patient: Society
of Critical Care Medicine (SCCM) and American Society for Parenteral
and Enteral Nutrition (ASPEN). JPEN J Parenter Enteral Nutr, 40:159-
211
Perhimpunan Dokter Intensive Care Indonesia (PERDICI). (2017).
Penatalaksanaan Sepsis dan Syok Sepsis: Optimalisasi FASTHUGSBID.
Jakarta: PERDICI, pp. 4-12, 24-27
Prucha M., Malaska J., Zazula, R., Moravec, M. 2016. Pathogenesis of Sepsis.
Prague: SMgroup.
Purwanto, D. S., & Astrawinata, D.A.W. 2018. Mekanisme kompleks sepsis dan
syok septik. Jurnal Biomedik (JBM), 10(3): 143-151.
Putra, I., A., S. 2019. Update tatalaksana sepsis. CDK Jurnal-280, 46(11): 681-
685.
27

Rhodes, A et al. (2017). Surviving Sepsis Campaign: International Guidelines for


Management of Sepsis and Septic Shock: 2016. The Society of Critica
Care Medicine and Wolters Kluwer Health, 45(3): 491-532.
Singer, Mervyn et al. 2016.The Third International Consensus Definitionsfor
Sepsis and Septic Shock (Sepsis-3). J Am Med Assoc 315(8):801-10.
Tambajong R, Lalenoh DC, Kumaat L. Profil Penderita Sepsis di ICU RSUP.
Prof. Dr. RD. Kandaou Menado periode Desember 2014- November
2015: Universitas Sam Ratulangi Manado;2015.
Wardhana A, Djan R, Halim Z. 2017. Bacterial and antimicrobial susceptibility
profile and the prevalence of sepsis among burn patients at the burn unit
of cipto mangunkusumo hospital. Ann Burns Fire Disaster; 30(2):107-
115.
Zabet, MH et al. (2016). Effect of High Dose Ascorbic Acid on Vasopressor’s
Requirement in Septic Shock. J Res Pharm Pract, 5: 94-100.

Anda mungkin juga menyukai