Anda di halaman 1dari 157

BAB I

PENGERTIAN KESELAMATAN DAN


KESEHATAN KERJA
PENDAHULUAN

K
eselamatan dan kesehatan kerja bagi pekerja di rumah
sakit dan fasilitas medis lainnya perlu di perhatikan.
Merujuk kepada peraturan pemerintah berkenaan
dengan keselamatan dan kesehatan kerja di tempat
kerja, pedoman ini juga mengambil dari beberapa sumber
“best practices” yang berlaku secara Internasional, seperti
National Institute for Occupational Safety and Health
(NIOSH), the Centers for Disease Control (CDC), the
Occupational Safety and Health Administration (OSHA), the
US Environmental Protection Agency (EPA), dan lainnya. Data
tahun 1988, 4% pekerja di USA adalah petugas medis. Dari
laporan yang dibuat oleh The National Safety Council (NSC),
41% petugas medis mengalami absenteism yang diakibatkan
oleh penyakit akibat kerja dan injury, dan angka ini jauh lebih
besar dibandingkan dengan sektor industri lainnya. Survei
yangdilakukan terhadap 165 laboratorium klinis di Minnesota
memperlihatkan bahwa injury yang terbanyak adalah needle
sticks injury (63%) diikuti oleh kejadian lain seperti luka dan
tergores (21%).
Selain itu pekerja di rumah sakit sering mengalami stres,
yang merupakan faktor predisposisi untuk mendapatkan
kecelakaan. Ketegangan otot dan keseleo merupakan
representasi dari low back injury yang banyak didapatkan
dikalangan petugas rumah sakit.

I.1 PENGERTIAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN


KERJA (K3)
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
adalah salah satu bentuk upaya untuk menciptakan tempat
kerja yang aman, sehat, bebas dari pencemaran lingkungan,
sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja.
Pokok bahasan hakikat keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) merupakan pengenalan dan dasar dari keselamatan dan
kesehatan kerja. Hal ini disebabkan keselamatan dan
kesehatan kerja harus diaplikasikan di semua bidang baik di
perkantoran, rumah sakit maupun pabrik sehingga dapat
dikatakan ilmu K3 merupakan ilmu yang universal.
Keselamatan dan kesehatan kerja merupakan suatu pemikiran
dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik
jasmani maupun rohani. Dengan keselamatan dan kesehatan
kerja maka para pihak diharapkan tenaga kerja dapat
melakukan pekerjaan dengan aman dan nyaman serta
mencapai ketahanan fisik, daya kerja, dan tingkat kesehatan
yang tinggi.
Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan
upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman,
nyaman dan mencapai tujuan yaitu produktivitas setinggi-

2
tingginya. Kesehatan dan Keselamatan Kerja sangat penting
untuk dilaksanakan pada semua bidang pekerjaan tanpa
terkecuali proyek pembangunan gedung seperti apartemen,
hotel, mall dan lain-lain, karena penerapan K3 dapat
mencegah dan mengurangi resiko terjadinya kecelakaan
maupun penyakit akibat melakukan kerja. Smith dan Sonesh
(2011) mengemukakan bahwa pelatihan kesehatan dan
kelelamatan kerja (K3) mampu menurunkan resiko terjadinya
kecelakaan kerja. Semakin besar pengetahuan karyawan akan
K3 maka semakin kecil terjadinya resiko kecelakaan kerja,
demikian sebaliknya semakin minimnya pengetahuan
karyawan akan K3 maka semakin besar resiko terjadinya
kecelakaan kerja.
Terjadinya kecelakaan kerja dimulai dari disfungsi
manajemen dalam upaya penerapan Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3). Ketimpangan tersebut menjadi
penyebab dasar terjadinya kecelakaan kerja. Dengan semakin
meningkatnya kasus kecelakaan kerja dan kerugian akibat
kecelakaan kerja, serta meningkatnya potensi bahaya dalam
proses produksi, dibutuhkan pengelolaan K3 secara efektif,
menyeluruh, dan terintegrasi dalam manajemen perusahaan.
Manajemen K3 dalam organisasi yang efektif dapat membantu
untuk meningkatkan semangat pekerja dan memungkinkan
mereka memiliki keyakinan dalam pengelolaan organisasi.
Keselamatan dan kesehatan kerja difilosofikan sebagai
suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan
kesempurnaan baik jasmani maupun rohani tenaga kerja pada
khususnya dan manusia pada umumnya, hasil karya dan
budayanya menuju masyarakat makmur dan sejahtera.
Sedangkan pengertian secara keilmuan adalah suatu ilmu

3
pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah
kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
Kesehatan dan keselamatan Kerja (K3) tidak dapat dipisahkan
dengan proses produksi baik jasa maupun industry:

1. Keselamatan Kerja
Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang bertalian
dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses
pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya
serta cara-cara melakukan pekerjaan. Keselamatan Kerja
memiliki sifat sebagai berikut:
a. Sasarannya adalah lingkungan kerja.
b. Bersifat teknik.
Pengistilahan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
bermacam-macam, ada yang menyebutnya Hygene
Perusahaan dan Kesehatan Kerja (Hyperkes) dan ada yang
hanya disingkat K3, dan dalam istilah asing dikenal
Occupational Safety and Health.

2. Kesehatan Kerja
Pengertian sehat senantiasa digambarkan sebagai suatu
kondisi fisik, mental dan sosial seseorang yang tidak saja
bebas dari penyakit atau gangguan kesehatan melainkan
juga menunjukkan kemampuan untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan pekerjaannya. Paradigma baru dalam aspek
kesehatan mengupayakan agar yang sehat tetap sehat dan
bukan sekadar mengobati, merawat, atau menyembuhkan
4
gangguan kesehatan atau penyakit. Oleh karenanya,
perhatian utama di bidang kesehatan lebih ditujukan ke
arah pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya
penyakit serta pemeliharaan kesehatan seoptimal mungkin.
Status kesehatan seseorang menurut Blum (1981)
ditentukan oleh empat faktor sebagai berikut.
a. Lingkungan, berupa lingkungan fisik (alami, buatan), kimia
(organik/anorganik, logam berat, debu), biologik (virus,
bakteri, mikroorganisme), dan sosial budaya (ekonomi,
pendidikan, pekerjaan).
b. Perilaku yang meliputi sikap, kebiasaan, tingkah laku.
c. Pelayanan kesehatan: promotif, perawatan, pengobatan,
pencegahan kecacatan, rehabilitasi.
d. Genetik, yang merupakan faktor bawaan setiap manusia.

I.3 Definisi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam


Kedokteran
Definisi kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu
kesehatan/kedokteran beserta praktiknya yang bertujuan
agar pekerja/masyarakat pekerja beserta memperoleh
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, baik fisik atau
mental, maupun sosial dengan usaha-usaha preventif dan
kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan
kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan
lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum.
Konsep kesehatan kerja dewasa ini semakin berubah, bukan
sekadar “kesehatan pada sektor industri” saja melainkan
juga mengarah kepada upaya kesehatan untuk semua orang
dalam melakukan pekerjaannya (total health of all at
work).

5
Keselamatan kerja sama dengan hygene perusahaan.
Kesehatan kerja memiliki sifat sebagai berikut:
a Sasarannya adalah manusia.
b Bersifat medis.
Situasi dan kondisi suatu pekerjaan, baik tata letak
tempat kerja atau material-material yang digunakan,
memiliki risiko masing-masing terhadap kesehatan pekerja.
Ridley (2008) menyatakan bahwa kita harus memahami
karakteristik material yang digunakan dan kemungkinan
reaksi tubuh terhadap material tersebut untuk meminimasi
risiko material terhadap kesehatan.
Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) difilosofikan
sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin
keutuhan dan kesempurnaan baik jasmani maupun rohani
tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya,
hasil karya dan budayanya menuju masyarakat makmur
dan sejahtera. Sedangkan pengertian secara keilmuan
adalah suatu ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam
usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan
penyakit akibat kerja.
Perkembangan pemba-ngunan setelah Indonesia
merdeka menimbulkan konsekwensi meningkatkan
intensitas kerja yang mengakibatkan pula meningkatnya
resiko kecelakaan di lingkungan kerja. (Ramli, 2010).
Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992 Bagian 6
Tentang Kesehatan Kerja, pada Pasal 23 berisi:
a Kesehatan kerja disenggelarakan untuk mewujudkan
produktivitas kerja yang optimal.

6
b Kesehatan kerja meliputi perlindungan kesehatan kerja,
pencegahan penyakit akibat kerja, dan syarat kesehatan
kerja.
c Setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan
kerja.

7
BAB II
PROGRAM KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA

Latar Belakang

B
iaya kemanusiaan, sosial dan ekonomi dari kecelakaan
kerja, luka-luka dan penyakit dan bencana industri
utama telah lama menjadi perhatian bagi semua
tingkat dari tempat kerja individu hingga nasional dan
internasional. Langkah-langkah dan strategi yang dirancang
untuk mencegah, mengendalikan, mengurangi atau
menghilangkan bahaya dan risiko akibat pekerjaan telah
dikembangkan dan diterapkan terus menerus selama
bertahun-tahun. Namun, meski terus berlanjut jika
perbaikannya lambat, kecelakaan dan penyakit akibat kerja
masih terlalu sering terjadi dan biaya untuk penderitaan
manusia dan beban ekonomi terus meningkat secara
signifikan. Proporsi kematian tertinggi ini disebabkan oleh
kanker, penyakit peredaran darah dan serebrovaskular, dan
beberapa penyakit menular. Tingkat kecelakaan kerja secara
keseluruhan tahunan, fatal dan tidak fatal, diperkirakan
mencapai 270 juta. Sekitar 160 juta pekerja menderita
penyakit terkait pekerjaan dan sekitar dua pertiga dari mereka
tidak bekerja selama empat hari kerja atau lebih lama
8
hasilnya. Setelah kanker yang berhubungan dengan pekerjaan,
penyakit peredaran darah dan penyakit menular tertentu,
kecelakaan kerja yang tidak disengaja adalah penyebab utama
keempat kematian terkait pekerjaan.
Keselamatan dan kesehatan kerja adalah area yang
berkaitan dengan pengembangan, promosi, dan pemeliharaan
lingkungan tempat kerja, kebijakan dan program yang
menjamin kesejahteraan karyawan mental, fisik, dan
emosional, serta menjaga lingkungan tempat kerja yang relatif
bebas dari aktual. atau potensi bahaya yang bisa melukai
karyawan. Kesehatan kerja memerlukan promosi dan
pemeliharaan tingkat kesehatan fisik dan mental tertinggi dan
kesejahteraan sosial pekerja di semua pekerjaan. Dalam
konteks ini, antisipasi, pengakuan, evaluasi dan pengendalian
bahaya yang timbul di atau dari tempat kerja yang dapat
mengganggu kesehatan dan kesejahteraan pekerja merupakan
prinsip dasar proses yang mengatur penilaian dan pengelolaan
risiko kerja. Pelatihan kesehatan dan keselamatan pekerja
merupakan bagian penting dari program kesehatan dan
keselamatan kerja.
Perlindungan tenaga kerja dari bahaya dan penyakit
akibat kerja atau akibat dari lingkungan kerja sangat
dibutuhkan oleh karyawan agar karyawan merasa aman dan
nyaman dalam menyelesaikan pekerjaannya. Tenaga kerja
yang sehat akan bekerja produktif, sehingga diharapkan
produktivitas kerja karyawan meningkat. Memperhatikan hal
tersebut, maka program K3 dan produktivitas kerja karyawan
menjadi penting untuk dikaji, dalam tujuannya mencapai visi
dan misi perusahaan.

9
Kecelakaan kerja yang disebabkan oleh faktor yang dapat
dicegah yang dapat dieliminasi dengan menerapkan metode
dan metode yang sudah dikenal. Hal ini ditunjukkan dengan
terus mengurangi tingkat kecelakaan di negara-negara
industri. Oleh karena itu penerapan strategi pencegahan
menawarkan manfaat ekonomi dan manusia yang signifikan.

II.1 Pengertian Program K3


Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang tertulis
menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI
No.1087/MENKES/SK/VIII/2010 sebagai berikut :
pengembangan kebijakan K3RS, pembudayaan perilaku K3RS,
pengembangan SDM K3RS, pengembangan pedoman,
petunjuk teknis dan standard operational procedure (SOP)
K3RS, pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat
kerja, pelayanan kesehatan kerja, pelayanan keselamatan
kerja, pengembangan program pemeliharaan pengelolaan
limbah padat, cair dan gas, pengelolaan jasa, bahan beracun
berbahaya dan barang berbahaya, pengembangan manajemen
tanggap darurat, pengumpulan, pengolahan, dokumentasi
data dan pelaporan kegiatan K3, dan review progam tahunan.
Keberhasilan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
di rumah sakit tidak lepas dari sikap kepatuhan personal baik
daripihak perawat maupun pihak manajemen atas dalam
melaksanaan peraturan dan kebijakan peraturan K3 untuk
mendukung pencapaian zero accident di rumah sakit.
Keselamatan dan kesehatan kerja berkaitan dengan
melestarikan dan melindungi sumber daya manusia dan
fasilitas di tempat kerja. Praktisi di lapangan berusaha

10
mencegah kematian dan luka yang tidak perlu bagi pekerja. Ini
melibatkan lebih dari aktivitas pertolongan pertama dan
sangat luas dalam lingkup dan praktik. Keselamatan dan
kesehatan kerja melibatkan membantu orang-orang dengan
mencegah mereka terluka atau menjadi sakit karena bahaya di
tempat kerja mereka. Keselamatan dan kesehatan kerja juga
merupakan bidang dimana profesional berusaha mencegah
bencana. Ketika mereka melakukan preinspeksi, profesional
keselamatan dapat mencegah ledakan atau kebakaran yang
dapat menghancurkan seluruh bangunan. Keselamatan dan
kesehatan kerja juga merupakan fungsi manajemen dalam
sebuah organisasi yang berkaitan dengan peningkatan kualitas
dan efisiensi. K3 mencoba untuk menghilangkan kerusakan,
pemborosan, dan biaya properti dan fasilitas yang mengurangi
kemampuan organisasi untuk beroperasi secara
menguntungkan. Dalam prakteknya, keselamatan dan
kesehatan kerja mencakup masalah moral dan ekonomi. Ada
juga dorongan hukum bagi perusahaan untuk
mempromosikan keselamatan dan kesehatan kerja.
Pada tahun 1950, ILO / WHO Committee on
Occupational Health menyatakan bahwa "Kesehatan kerja
harus ditujukan pada promosi dan pemeliharaan tingkat
kesehatan fisik, mental dan sosial tertinggi pekerja di semua
pekerjaan; pencegahan di antara pekerja keberangkatan dari
kesehatan yang disebabkan oleh kondisi kerja mereka;
perlindungan pekerja dalam pekerjaan mereka dari risiko yang
disebabkan oleh faktor-faktor yang merugikan kesehatan;
penempatan dan pemeliharaan pekerja di lingkungan kerja
yang disesuaikan dengan kemampuan fisiologis dan

11
psikologisnya ". Singkatnya: "adaptasi kerja terhadap manusia,
dan masing-masing orang terhadap pekerjaannya.

II.2 Tujuan Program K3


Program K3 bertujuan untuk melindungi keselamatan
dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas SDM Rumah
Sakit, melindungi pasien, pengunjung/ pengantar pasien dan
masyarakat serta lingkungan sekitar Rumah Sakit. Kinerja
setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan
resultante dari tiga komponen yaitu ka asitas kerja, beban
kerja, dan lingkungan kerja.
Pernyataan Kebijakan Kesehatan Kerja menetapkan
bahwa semua karyawan harus diberi lingkungan kerja yang
aman dan sehat. Penilaian kesehatan dan rekomendasi
kesehatan kerja diperlukan untuk tugas pekerjaan spesifik
berdasarkan jenis bahaya termasuk bahaya bio yang ada di
lingkungan kerja. Program Kesehatan Kerja bertujuan untuk
mencapai hal berikut:
a. Sesuai dengan standar kesehatan kerja yang ditetapkan
oleh badan pengatur dan badan pemberian dan akreditasi;
b. Meyakinkan bahwa karyawan secara fisik dapat melakukan
pekerjaan mereka;
c. Mencegah dan mendeteksi penyakit dan penyakit akibat
terpapar bahaya kesehatan yang mungkin terjadi di
lingkungan kerja;
d. Menetapkan panduan kesehatan kerja untuk vaksinasi,
pengawasan medis, dan respon paparan; dan
e. Menetapkan etapkan data kesehatan dasar untuk
perbandingan di masa mendatang.

12
Tujuan program keselamatan dan kesehatan kerja
termasuk membina lingkungan kerja yang aman dan sehat.
Tujuan mendasar dari program keselamatan yang efektif
adalah untuk menghilangkan atau mengurangi risiko
keselamatan sebelum pekerjaan dimulai. Untuk mencapai
tujuan ini, penting untuk mengidentifikasi sebanyak mungkin
bahaya sebelum memulai pekerjaan. Bahaya yang tidak
dikenali mungkin berpotensi menimbulkan kecelakaan
bencana yang tak terduga. Pekerja yang tidak dapat
memahami bahaya keamanan tidak dapat merespons atau
bersikap aman karena mereka tidak menyadari akibat yang
mungkin timbul akibat tindakan mereka.

II.4 Program K3
Program K3 yang harus diterapkan yaitu:
1) Pengembangan kebijakan K3RS
a. Pembentukan atau revitalisasi organisasi K3RS;
b. Merencanakan program K3RS selama 3 tah un ke depan,
(setiap 3 tahun dapat direvisi kembali, sesuai dengan
kebutuhan)
2) Pembudayaan perilaku K3RS
a. Advokasi sosialisasi K3 pada seluruh jajaran Rumah
Sakit, baik bagi SDM Rumah Sakit, pasien maupun
pengantar pasien/ pengunjung Rumah Sakit;
b. Penyebaran media komunikasi dan informasi baik
melalui film, leaflet, poster, pamflet dll;
c. Promosi K3 pad a setiap pekerja yang bekerja disetiap
unit RS dan pada para pasien serta para pengantar
pasien/ pengunjung Rumah Sakit.
3) Pengembangan SDM K3RS

13
a. Pelatihan umum K3RS
b. Pelatihan intern Rumah Sakit, khususnya SDM Rumah
Sakit per unit Rumah Sakit; c.
c. Pengiriman SDM Rumah Sakit untuk pendidikan formal,
pelatihan lanjutan, seminar dan workshop yang
berkaitan dengan K3.
4) Pengembangan Pedoman, Petunjuk Teknis dan Standard
Operational Procedure (SOP) K3RS
a. Penyusunan pedoman praktis ergonomi di Rumah Sakit;
b. Penyusunan pedoman pelaksanaan pelayanan kesehatan
kerja;
c. Penyusunan pedoman pelaksanaan pelayanan
keselamatan kerja ;
d. Penyusunan pedoman pelaksanaan tanggap darurat di
RS;
e. Penyusunan pedoman pelaksanaan pencegahan dan
penanggulangan kebakaran;
f. Penyusunan pedoman pengelolaan penyehatan
lingkungan Rumah Sakit;
g. Penyusunan pedoman pengelolaan faktor risiko dan
pengelolaan limbah Rumah Sakit;
h. petunjuk teknis pencegahan kecelakaan dan
penanggulangan bencana;
i. Penyusunan kontrol terhadap penyakit infeksi;
j. Penyusunan SOP angkat angkut pasien di Rumah Sakit;
k. Penyusunan SOP terhadap Bahan Beracun dan
Berbahaya (B3);
l. Penyusunan SOP kerja dan peralatan di masing-masing
unit kerja Rumah Sakit

14
5) Pemantauan dan evaluasi kesehatan lingkungan tempat
kerja
a. Mapping lingkungan tempat kerja (area atau tempat
kerja yang dianggap berisiko dan berbahaya,
area/tempat kerja yang belum melaksanakan program
K3RS, area/tempat kerja yang sudah melaksanakan
program K3RS, area/tempat kerja yang sudah
melaksanakan dan mendokumentasikan pelaksanaan
program K3RS); .
b. Evaluasi lingkungan tempat kerja (walk through dan
observasi, wawancara SDM Rumah Sakit, survei dan
kuesioner, checklist dan eva luasi lingkungan tempat
kerja secara rinci).
6) Pelayanan kesehatan kerja
a. Melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja,
pemeriksaan kesehatan berkala, dan pemeriksaan
kesehatan khusus bagi SDM Rumah Sakit;
b. Memberikan pengobatan dan perawatan serta
rehabilitasi bagi SDM Rumah Sakit yang menderita
sakit;
c. Meningkatkan kesehatan badan, kondisi mental (rohani)
dan kemampuan fisik SDM Rumah Sakit;
d. Perlindungan spesifik dengan pemberian imunisasi pada
SDM Rumah Sakit yang bekerja pada area/tempat kerja
yang berisiko dan berbahaya;
e. Melaksanakan kegiatan surveilans kesehatan kerja.
7) Pelayanan keselamatan kerja
a. Pembinaan dan pengawasan keselamatan/keamanan
sarana, prasarana dan peralatan kesehatan di Rumah
Sakit;

15
b. Pembinaan dan pengawasa n perlengkapan keselamatan
kerja di Rumah Sakit;
c. Pengelolaan, pemeliharaan dan sertifikasi sarana,
prasarana dan peralatan Rumah Sakit;
d. Pengadaan peralatan K3RS.
8) Pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah
padat. cair dan gas
a. Penyediaan fasilitas untuk penanganan dan pengelolaan
limbah padat, cair dan gas;
b. Pengelolaan limbah medis dan nonmedis.
9) Pengelolaan jasa, bahan beracun berbahaya dan barang
berbahaya
a. Inventarisasi jasa, bahan beracun berbahaya dan barang
berbahaya (Permenkes No.472 tahun 1996);
b. Membuat kebijakan dan prosedur pengadaan,
penyimpanan dan penanggulangan bila terjadi
kontaminasi dengan acuan Lembar Data Keselamatan
Bahan (MSDS-Material Safety Data Sheet) atau Lembar
Data Pengaman (LOP);. lembar informasi dari pabrik
tentang sifat khusus (fisik/ kimia) dari bahan, cara
penyimpanan, risiko pajanan dan cara penanggulangan
bila terjadi kontaminasi.
10) Pengembangan manajemen tanggap darurat
a. Menyusun rencana tanggap darurat (survey bahaya,
membentuk tim tanggap darurat, menetapkan
prosedur pengendalian, pelatihan dll);
b. Pembentukan organisasi/tim kewaspadaan bencana;
c. Pelatihan dan uji coba terhadap kesiapan petugas
tanggap darurat;

16
d. Inventarisasi tempat-tempat yang berisiko dan
berbahaya serta membuat denahnya (Iaboratorium,
rontgen, farmasi, CSSO, kamar operasi, genset, kamar
isolasi penyakit menular dll);
e. Menyiapkan sarana dan prasarana tanggap darurat!
bencana;
f. kebijakan dan prosedur kewaspadaan, upaya
pencegahan dan pengendalian bencana pada
tempattempat yang berisiko tersebut;
g. Membuat rambu-rambu/tanda khusus jalan keluar
untuk evakuasi apabila terjadi bencana;
h. Memberikan Alat Pelindung Oiri (APO) pada petugas
di tempat-tempat yang berisiko (masker, apron, kaca
mata, sarung tangan dll);
i. Sosialisasi dan penyuluhan ke seluruh SOM Rumah
Sakit;
j. Pembentukan sistem komunikasi internal dan
eksternal tanggap darurat Rumah Sakit;
k. sistem tanggap darurat.
11) Pengumpulan, pengolahan, dokumentasi data dan
pelaporan kegiatan K3
a. prosedur pencatatan dan pelaporan serta penanggulangan
kecelakaan kerja, PAK, kebakaran dan bencana (termasuk
format pencatatan dan pelaporan yang sesuai dengan
kebutuhan);
b. sistem pelapor. n kejadian dan tindak lanjutnya (alur
pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka serta SOP
pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris
celaka (near miss) dan celaka);
c. Pendokumentasian data;

17
 Data seluruh SDM Rumah Sakit;
 Data SDM Rumah Sakit yang sakit yang dilayani;
 Data pekerja luar Rumah Sakit yang sakit yang dilayani;
 Data pemeriksaan kesehatan SDM Rumah Sakit :
- Sebelum bekerja (awal) (orang)
- Berkala (orang)
- Khusus (orang)
 Cakupan MCU bagi SDM Rumah Sakit;
 Angka absensi SDM Rumah Sakit;
 Kasus penyakit umum pada SDM Rumah Sakit;
 Kasus penyakit umum pada pekerja luar Rumah Sakit;
 Jenis penyakit yang terbanyak di kalangan pekerja Rumah
Sakit;
 Jenis penyakit yang terbanyak di kalangan pekerja Luar
Rumah Sakit;
 Kasus penyakit akibat kerja (SDM Rumah Sakit);
 Kasus penyakit akibat kerja (pekerja Luar Rumah Sakit);
 Kasus diduga penyakit akibat kerja (SDM Rumah Sakit);
 Kasus diduga penyakit akibat kerja (pekerja luar Rumah
Sakit);
 Kasus kecelakaan akibat kerja (SDM Rumah Sakit);
 Kasus kecelakaan akibat kerja (pekerja luar Rumah Sakit);
 Kasus kebakaran/peledakan akibat bahan kimia;
 Data kejadian nyaris celaka (near miss) dan celaka;
 Data sarana, prasarana dan peralatan keselamatan kerja;
 Data perizinan;
 Data kegiatan pemantauan keselamatan kerja;
 Data pelatihan dan sertifikasi;

18
 Data pembinaan dan pengawasan terhadap kantin dan
pengelolaan makanan di Rumah Sakit (dapur);
 Data promosi kesehatan dan keselamatan kerja bagi SDM
Rumah Sa kit, pasien dan pengunjung/pengantar pasien;
 Data petugas kesehatan RS yang berpendidikan formal
kesehatan kerja, sudah dilatih Kesehatan dan
Keselamatan Kerja dan sudah dilatih tentang Diagnosis
PAK;
 Data kegiatan pemantauan APD Uenis, jumlah, kondisi
dan penggunaannya);
 Data kegiatan pemantauan kesehatan lingkungan kerja
dan pengendalian bahaya di tempat kerja (unit kerja
Rumah Sakit).
12) Review program tahunan
a. Melakukan internal audit K3 dengan menggunakan
instrumen self assessment akreditasi Rumah Sakit;
b. Umpan balik SDM Rumah Sakit melalui wawancara
langsung, observasi sing kat, survey tertulis dan
kuesioner, dan evaluasi ulang; c. Analisis biaya terhadap
SDM Rumah Sakit atas kejadian penyakit dan
kecelakaan akibat kerja;
c. Mengikuti akreditasi Rumah Sakit.
Komitmen manajemen memberikan kekuatan
pendorong dan sumber daya untuk mengatur dan
mengendalikan aktivitas dengan organisasi. Dalam sebuah
program yang efektif, manajemen menganggap keselamatan
dan kesehatan pekerja sebagai nilai fundamental organisasi
dan menerapkan komitmennya terhadap perlindungan
keselamatan dan kesehatan dengan semangat yang sama
seperti pada tujuan organisasi lainnya.
19
a. Bagian pertama dari program keselamatan dan kesehatan
menyeluruh harus menjadi kebijakan tertulis dari
manajemen puncak dan dukungan yang nyata untuk
menyelesaikan program keamanan dan kesehatan.
Kebijakan tertulis adalah landasan program. Tanggung
jawab ditugaskan dan dikomunikasikan untuk semua aspek
program dan manajer bertanggung jawab atas kinerja
keselamatan.
b. Keterlibatan karyawan menyediakan sarana untuk
mengembangkan dan / atau mengekspresikan komitmen
mereka terhadap perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja, untuk diri mereka sendiri dan rekan kerja mereka.
Mereka termasuk dalam tahap awal pengembangan dan
pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja dan
berbagi tanggung jawab untuk itu. Tanggung jawab mereka
diuraikan secara tertulis. Keterlibatan karyawan termasuk
masukan karyawan dalam penulisan program awal.
Karyawan memiliki gagasan dan saran tentang bagaimana
program dibentuk dan komponennya. Karena mereka lebih
dekat dengan pekerjaan dan bahaya pekerjaan daripada
manajemen, karena mereka dapat memberikan wawasan
yang mungkin tidak pernah terpenuhi pada seseorang yang
belum benar-benar melakukan pekerjaan itu. Dengan
memasukkan karyawan dalam prosesnya, manajemen
cenderung memiliki '' buy-in '' dan partisipasi aktif oleh
mereka.
c. Program juga harus mencakup bagian tentang analisis di
tempat kerja. Analisis tempat kerja melibatkan berbagai
pemeriksaan di tempat kerja, untuk mengidentifikasi tidak
hanya bahaya yang ada tetapi juga kondisi dan operasi di

20
mana perubahan mungkin terjadi untuk menciptakan
bahaya. Kurangnya kesadaran akan bahaya, yang berasal
dari kegagalan untuk memeriksa lokasi kerja, adalah
kebijakan keamanan dan kebijakan kesehatan dan / atau
tindakan pencegahan berkala. Manajemen yang efektif
secara aktif menganalisis pekerjaan dan tempat kerja,
untuk mengantisipasi dan mencegah terjadinya bahaya. Hal
ini memerlukan pemeriksaan berkala terhadap tempat
kerja melalui inspeksi, audit, dan penerapan alat
keselamatan lainnya seperti analisis keselamatan kerja.
d. Selanjutnya, pencegahan dan pengendalian bahaya dipicu
oleh penentuan bahaya atau potensi bahaya yang ada. Bila
memungkinkan, bahaya dicegah dengan desain tempat
kerja atau pekerjaan yang efektif. Bila tidak memungkinkan
untuk menghilangkannya, mereka dikendalikan untuk
mencegah pemaparan yang tidak aman dan tidak sehat.
Setelah bahaya atau bahaya potensial dikenali, eliminasi
atau kontrol dilakukan pada waktu yang tepat. Teknik
untuk mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya harus
didiskusikan dalam program.
e. Terakhir, pelatihan menangani tanggung jawab
keselamatan dan kesehatan semua personil yang terkait
dengan situs ini, baik yang digaji atau per jam. Sertakan
pelatihan ini ke dalam sesi mengenai persyaratan kinerja
dan praktik kerja. Kerumitan pelatihan tergantung pada
ukuran dan kompleksitas tempat kerja dan sifat bahaya dan
potensi bahaya di lokasi.
Adanya program kesehatan yang baik akan
menguntungkan para pekerja secara material, karena mereka
akan lebih jarang absen bekerja dengan lingkungan yang

21
menyenangkan, sehingga secara keseluruhan akan mampu
bekerja lebih lama berartilebih produktif. Kesehatan kerja
dapat dilakukan dengan penciptaan lingkungan kerjayang
sehat.

Elemen-elemen yang patut dipertimbangkan dalam


mengembangkan dan mengimplementasikan program K3
adalah sebagai berikut:

1) Komitmen perusahaan untuk mengembangkan program


yang mudah dilaksanakan.
2) Kebijakan pimpinan tentang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja (K3).
3) Ketentuan penciptaan lingkungan kerja yang menjamin
terciptanya K3 dalam bekerja.
4) Ketentuan pengawasan selama proyek berlangsung.
5) Pendelegasian wewenang yang cukup selama proyek
berlangsung.
6) Ketentuan penyelenggaraan pelatihan dan pendidikan.
7) Pemeriksaan pencegahan terjadinya kecelakaan kerja.
8) Melakukan penelusuran penyebab utama terjadinya
kecelakaan kerja.
9) Mengukur kinerja program keselamatan dan kesehatan
kerja.
10) Pendokumentasian yang memadai dan pencacatan
kecelakaan kerja secara kontinu.
Ada beberapa faktor penerapan program kesehatan dan
keselamatan, diantaranya adalah:

1) Keadaan Lingkungan Kerja


a. Persiapan dan penyimpanan barang-barang berbahaya
harus dipertimbangkan keamanannya.
22
b. Ruang kerja terlalu ramai dan padat dikondisikan.
2) Pengaturan Udara
a. Perubahan udara di ruang kerja pasti bagus.
b. Suhu udara harus dikondisikan
3) Pencahayaan
a. Pengaturan dan gunakan sumber cahaya yang tepat
b. Ruang kerja cukup terang
4) Penggunaan Peralatan Kerja
a. Peralatan keselamatan harus merupakan pekerjaan yang
baik dan layak.
b. Penggunaan mesin dan perangkat elektronik harus
dengan keamanan yang baik.
5) Kondisi Fisik dan Mental Karyawan
a. Alat indra dan stamina karyawan harus stabil.
b. Emosi karyawan harus stabil, motivasi kerja tinggi, sikap
dan kecerobohan karyawan tidak cukup pengetahuan
dalam penggunaan fasilitas kerja, terutama fasilitas kerja
yang membawa risiko bahaya.

II.5 Manfaat Program K3


Program keselamatan dan kesehatan kerja dapat
membantu membawa "budaya keselamatan" ke rumah sakit,
dengan potensi keuntungan bagi keselamatan pekerja dan
pasien. Dengan program keselamatan dan kesehatan kerja,
melindungi keselamatan dan kesehatan berawal dari aktivitas
terisolasi dan sporadis menjadi satu yang terintegrasi ke dalam
semua proses dan aktivitas bisnis dan operasional.
Keselamatan dan kesehatan tidak didelegasikan kepada hanya
sedikit orang - ini didistribusikan ke seluruh angkatan kerja
dan didukung oleh tanggung jawab, komitmen, dan perhatian

23
manajemen yang signifikan. Setiap orang mengambil alih
tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan
organisasi. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan
membantu memastikan bahwa bahaya telah diidentifikasi
sebelumnya, pengendalian yang efektif diterapkan, orang-
orang dilatih dan diberdayakan dengan memadai, dan proses
kerja dirancang dan dilaksanakan dengan cara yang
memberikan kinerja keselamatan dan kesehatan yang lebih
konsisten.
Program keselamatan dan kesehatan kerja dapat membantu
rumah sakit menyadari berbagai manfaat:
a. Lebih sedikit luka, penyakit, dan infeksi.
b. Mengurangi biaya klaim kompensasi pekerja dan
menurunkan premi asuransi kesehatan.
c. Kurangnya absensi dan tingkat pengembalian bekerja yang
lebih tinggi setelah cedera atau penyakit.
d. Perbaikan praktik kerja, yang menyebabkan peningkatan
efisiensi dan keamanan dan kepuasan pasien yang lebih
besar.
e. Kepuasan kerja, moral, dan retensi karyawan yang lebih
tinggi.
f. Peningkatan reputasi.
Rumah sakit menemukan bahwa praktik yang diadopsi
di bawah sistem manajemen untuk memperbaiki keselamatan
pekerja membantu mereka mengadopsi dan memperkuat
praktik yang memperbaiki keselamatan pasien juga. Mereka
melihat biaya dari cedera dan penyakit pada pasien dan
karyawan menurun. Banyak studi kasus dan praktik terbaik
yang disorot dalam publikasi ini menggambarkan efek sinergis
semacam ini.

24
II.6 PENUTUP
Kesimpulan
Program K3 bertujuan untuk melindungi keselamatan
dan kesehatan serta meningkatkan produktifitas SDM Rumah
Sakit, melindungi pasien, pengunjung/ pengantar pasien dan
masyarakat serta lingkungan sekitar Rumah Sakit. Kinerja
setiap petugas kesehatan dan non kesehatan merupakan
resultante dari tiga komponen yaitu ka asitas kerja, beban
kerja, dan lingkungan kerja. Adanya program kesehatan yang
baik akan menguntungkan para pekerja secara material,
karena mereka akan lebih jarang absen bekerja dengan
lingkungan yang menyenangkan, sehingga secara keseluruhan
akan mampu bekerja lebih lama berartilebih produktif.
Kesehatan kerja dapat dilakukan dengan penciptaan
lingkungan kerjayang sehat.
3.1. Saran
Penulis berharap dengan adanya makalah ini tenaga
kesehatan khususnya mahasiswa kedokteran gigi dapat
mengetahui program K3 sehingga dapat menerapkannya di
kehidupan sehari-hari.

BAB III

25
DASAR – DASAR ENVIROMENTAL
HEALTH

Latar Belakang

K
esehatan lingkungan atau environmental health
merupakan faktor penting dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan, bahkan merupakan salah satu unsur
penentu atau determinan dalam kesejahteraan penduduk. Di
mana lingkungan yang sehat sangat dibutuhkan bukan hanya
untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi juga
untuk kenyamanan hidup dan meningkatkan efisiensi kerja
dan belajar.
Pada masa yang datang pemerintah lebih fokus pada
pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan dan
pengembangan wilayah yang berkesadaran lingkungan,
sementara pihak pengguna infrastruktur dalam hal ini
masyarakat secara keseluruhan harus disiapkan dengan
kesadaran lingkungan yang lebih baik (tahu sesuatu atau tahu
bersikap yang semestinya). Masa datang kita dihadapkan
dengan penggunaan IPTEK yang lebih maju dan lebih
kompleks yang memerlukan profesionalisme yang lebih baik
dengan jenjang pendidikan yang memadai. Di samping itu
dalam proses pembangunan masa datang, diperlukan adanya
teknologi kesehatan lingkungan yang menitik beratkan
upayanya pada metodologi mengukur dampak kesehatan dari
pencemaran yang ditimbulkan oleh adanya pembangunan,
Indikator ini harus mudah, murah untuk diukur juga sensitif
menunjukkan adanya perubahan kualitas lingkungan.

26
III.1 Konsep dan batasan kesehatan lingkungan
(environmental health)
Pengertian kesehatan
Definisi kesehatan menurut World Health Organization
(WHO) saat ini, yang dirumuskan pada tahun 1948,
menggambarkan kesehatan sebagai " keadaan yang meliputi
kesehatan fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya berarti
suatu keadaan yang bebas dari penyakit dan kecacatan”.1

Pengertian lingkungan
Lingkungan adalah semua faktor fisik, kimia dan biologi
yang berada di luar host manusia, serta faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku terkait, namun tidak termasuk
lingkungan alami yang tidak dapat dimodifikasi secara wajar.2

Pengertian kesehatan lingkungan (environmental


health)
World Health Organization (WHO) memberikan definisi
kesehatan lingkungan atau environmental health sebagai
berikut :
Kesehatan Lingkungan terdiri dari aspek-aspek
kesehatan manusia, termasuk kualitas hidup, yang ditentukan
oleh faktor fisik, kimia, biologi, sosial, dan psikososial di
lingkungan. Ini juga mengacu pada teori dan praktik untuk
menilai, memperbaiki, mengendalikan, dan mencegah faktor-
faktor di lingkungan yang berpotensi mempengaruhi
kesehatan generasi sekarang dan masa depan.3

III.2 Ruang lingkup kesehatan lingkungan


(environmental health)

27
Menurut WHO ada 17 ruang lingkup kesehatan
lingkungan, yaitu :4
a. Penyediaan air minum, berkeaitan dengan penyediaan air
bersih yang aman yang mudah diakses oleh pengguna, dan
perencanaan, perancangan, pengelolaan, dan pengawasan
sanitasi supra air masyarakat, dengan mempertimbangkan
penggunaan sumber daya air lain secara esensial.
b. Pengelolaan air buangan dan pengendalian pencemaran,
meliputi pengumpulan, pengolahan dan pembuangan
kotoran rumah tangga dan limbah yang terbawa air lainnya,
dan kontrol kualitas air permukaan (termasuk laut) dan air
tanah.
c. Pembuangan sampah padat, termasuk penanganan dan
pembuangan sanitasi.
d. Pengendalian vektor, termasuk kontrol arthropoda,
moluska, tikus, dan penghambat penyakit alternatif lainnya.
e. Pencegahan/pengendalian pencemaran tanah oleh ekskreta
manusia dan oleh zat yang merugikan kehidupan manusia,
hewan, atau tumbuhan.
f. Higiene makanan, termasuk higiene susu.
g. Pengendalian pencemaran udara.
h. Pengendalian radiasi.
i. Kesehatan kerja, khususnya pengendalian bahaya fisik,
kimia, dan biologis.
j. Pengendalian kebisingan.
k. Perumahan dan lingkungan sekitar, terutama aspek
kesehatan masyarakat dari bangunan perumahan, umum,
dan kelembagaan.
l. Perencanaan kota dan daerah.
m. Perencanaan daerah dan perkotaan

28
n. Aspek kesehatan lingkungan transportasi udara, laut, atau
darat
o. Pencegahan kecelakaan.
p. Tindakan-tindakan sanitasi yang berhubungan dengan
keadaan epidemi/wabah, bencana alam dan perpindahan
penduduk.
q. Tindakan pencegahan yang diperlukan untuk menjamin
lingkungan bebas dari resiko terhadap kesehatan.

III.3 Sasaran kesehatan lingkungan (environmental


health)
Sasaran kesehatan lingkungan menurut UU 23/1992 pasal 22
ayat (2) tentang kesehatan, yaitu :5
a. Tempat umum : hotel, terminal, pasar, pertokoan, dan
usaha-usaha yang sejenis.
b. Lingkungan pemukiman : rumah tinggal, asrama/yang
sejenis.
c. Lingkungan kerja : perkantoran, kawasan industri/yang
sejenis.
d. Angkutan umum : kendaraan darat, laut dan udara yang
digunakan untuk umum.
e. Lingkungan lainnya : misalnya yang bersifat khusus seperti
lingkungan yang berada dlm keadaan darurat, bencana
perpindahan penduduk secara besar2an, reaktor/tempat
yang bersifat khusus.

III. IV Konsep hubungan interaksi antara host-agent


environmental
Terdapat tiga komponen (faktor) yang berperan dalam
menimbulkan penyakit (model ekologi) yaitu sebagai berikut.6

29
a. Agen (agent) atau penyebab adalah penyebab penyakit pada
manusia.
b. Penjamu (host) atau tuan rumah/induk semang adalah
manusia yang terkena penyakit.
c. Lingkungan (environment) adalah segala sesuatu yang
berada di luar kehidupan organisme, contohnya lingkungan
fisik, kimia, dan biologi.
Hubungan interaksi antara agen, host, dan lingkungan
dapat dilihat dalam konsep “The disease triad” berikut ini.7
Host

Agent
Environmental
Gambar 2.1 The Disease Triad7

Adapun karakteristik dari ketiga komponen (faktor)


yang berperan dalam menimbulkan penyakit adalah sebagai
berikut.6
a. Karakteristik lingkungan
1. Fisik : Air, Udara, Tanah, Iklim, Geografis, Perumahan,
Pangan, Panas, radiasi.
2. Sosial : Status sosial, agama, adat istiadat, organisasi
sosial politik, dll.
3. Biologis : Mikroorganisme, serangga, binatang, tumbuh-
tumbuhan.
b. Karakteristik agent/penyebab penyakit

30
Agent penyakit dapat berupa agent hidup atau agent tidak
hidup. Agent penyakit dapat dikualifikasikan menjadi 5
kelompok, yaitu :6
1. Agent biologis. Beberapa penyakit beserta penyebab
spesifiknya.
Jenis
Spesies agent Nama penyakit
agent
Ascaris
Metazoa Ascariasis
lumbricoides
Protozoa Plasmodium vivax Malaria Quartana
Fungi Candida albicans Candidiasis
Typhus
Bakteri Salmonella typhi
abdominalis
Rickettsia
Rickettsia Scrub typhus
tsutsugamushi
Virus Virus influenza Influenza

2. Agent nutrien : protein, lemak, karbohidrat, vitamin,


mineral, dan air.
3. Agent fisik : suhu, kelembaban, kebisingan, radiasi,
tekanan, panas.
4. Agent kimia (chemis) : eksogen (contohnya alergen, gas,
debu) dan endogen (contohnya metabolit dan hormon).
5. Agent mekanis : gesekan, pukulan, tumbukan, yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan.
c. Karakteristik host/pejamu
Faktor manusia sangat kompleks dalam proses
terjadinya penyakit dan tergantung dari karakteristik yang
dimiliki oleh masing – masing individu, yakni :6

31
1. Umur : penyakit arterosklerosis pada usia lanjut,
penyakit kanker pada usia pertengahan.
2. Seks : resiko kehamilan pada wanita, kanker prostat
pada laki-laki.
3. Ras : sickle cell anemia pada ras negro.
4. Genetik : buta warna, hemofilia, diabetes, thalassemia.
5. Pekerjaan : asbestosis, bysinosis.
6. Nutrisi : gizi kurang menyebabkan TBC, obesitas,
diabetes.
7. Status kekebalan : kekebalan terhadap penyakit virus
yang tahan lama dan seumur hidup.
8. Adat istiadat : kebiasaan makan ikan mentah
menyebabkan cacing hati.
9. Gaya hidup : merokok, minum alkohol.
10. Psikis : stress menyebabkan hypertensi, ulkus peptikum,
insomnia.

III.5 Masalah-masalah kesehatan lingkungan di


Indonesia
Air bersih
Air bersih adalah air yang digunakan untuk keperluan
sehari-hari yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan
dapat diminum apabila telah dimasak. Air minum adalah air
yang kualitasnya memenuhi syarat kesehatan dan dapat
langsung diminum.6,8
Ketidaktersediaan air bersih secara umum disebabkan
oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Faktor
alam disebabkan secara alamiah bentukan (kondisi)
wilayahnya yang memang sulit untuk mendapatkan air
sehingga tidak tersedianya air. Faktor manusia yaitu

32
dikarenakan tercemarnya air bersih akibat aktiftas manusia.9
Air dapat dikatakan memiliki kualitas yang bersih
apabila telah memenuhi syarat-syarat berikut :6,8
a. Syarat fisik : tidak berbau, tidak berasa, dan tidak berwarna.
b. Syarat kimia : kadar besi maksimum yang diperbolehkan
0,3 mg/l, Kesadahan (maks 500 mg/l).
c. Syarat mikrobiologis : koliform tinja/total koliform (maks 0
per 100 ml air).

Pembuangan kotoran/tinja
Metode pembuangan tinja yang baik yaitu dengan
jamban dengan syarat sebagai berikut :6
a. Tanah permukaan tidak boleh terjadi kontaminasi.
b. Tidak boleh terjadi kontaminasi pada air tanah yang
mungkin memasuki mata air atau sumur.
c. Tidak boleh terkontaminasi air permukaan.
d. Tinja tidak boleh terjangkau oleh lalat dan hewan lain.
e. Tidak boleh terjadi penanganan tinja segar ; atau, bila
memang benar-benar diperlukan, harus dibatasi seminimal
mungkin.
f. Jamban harus babas dari bau atau kondisi yang tidak sedap
dipandang.
g. Metode pembuatan dan pengoperasian harus sederhana
dan tidak mahal.

Kesehatan pemukiman
Secara umum rumah dapat dikatakan sehat apabila
memenuhi kriteria sebagai berikut :10,11,12
a. Memenuhi kebutuhan fisiologis, yaitu : pencahayaan,
ventilasi dan pemanas yang memadai, penghawaan dan

33
ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan yang
mengganggu.
b. b. Memenuhi kebutuhan psikologis, yaitu : privacy yang
cukup, komunikasi yang sehat antar anggota keluarga dan
penghuni rumah, penyediaan fasilitas yang memadai yang
memungkinkan kinerja tugas rumah tangga tanpa kelelahan
fisiologis dan mental yang tidak semestinya, penyediaan
fasilitas untuk kepuasan estetis di dalam rumah dan
sekitarnya.
c. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan
penyakit antarpenghuni rumah dengan penyediaan air
bersih, pengelolaan tinja dan limbah rumah tangga, bebas
vektor penyakit, kepadatan hunian yang tidak berlebihan,
terlindungnya makanan dan minuman dari pencemaran,
penyediaan ruang yang cukup di kamar tidur untuk
meminimalkan bahaya infeksi kontak.
d. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya
kecelakaan baik yang timbul karena keadaan luar maupun
dalam rumah antara lain kemanan yang memadai,
konstruksi yang tidak mudah roboh untuk meminimalkan
bahaya kecelakan akibat jatuhnya bagian struktur, tidak
mudah terbakar, terhindar dari bahaya keracunan gas, tidak
cenderung membuat penghuninya jatuh tergelincir,
terhindar dari bahaya lalu lintas.
Semua hal tersebut diatas harus tersedia dengan biaya
terjangkau dan harus mempertimbangkan faktor budaya,
sosial, lingkungan, ekonomi, dan jenis kelamin atau usia
tertentu.12

Pembuangan sampah

34
Di dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008
Tentang Pengelolaan Sampah, disebutkan bahwa pengelolaan
sampah adalah kegiatan sistematis, menyeluruh, dan
berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan
penanganan sampah.13
Pengelolaan persampahan mempunyai tujuan yang
sangat mendasar yang meliputi meningkatkan kesehatan
lingkungan dan masyarakat, melindungi sumber daya alam
(air), melindungi fasilitas sosial ekonomi dan menunjang
sektor strategis.14
Adapun teknik pengolahan sampah adalah sebagai
berikut :14
a. Pengomposan (composting)

Pengomposan (composting) adalah suatu cara pengolahan
sampah organik dengan memanfaatkan aktifitas bakteri untuk
mengubah sampah menjadi kompos (proses pematangan). 

b. Pembakaran sampah
Pembakaran sampah dapat dilakukan pada suatu tempat,
misalnya lapangan yang jauh dari segala kegiatan agar tidak
mengganggu. Namun demikian pembakaran ini sulit
dikendalikan bila terdapat angin kencang, sampah, arang
sampah, abu, debu, dan asap akan terbawa ketempat- tempat
sekitarnya yang akhirnya akan menimbulkan gangguan.
Pembakaran yang paling baik dilakukan disuatu instalasi
pembakaran, yaitu dengan menggunakan insinerator, namun
pembakaran menggunakan insinerator memerlukan biaya
yang mahal. 

c. Recycling

Recycling merupakan salah satu teknik pengolahan
sampah, dimana dilakukan pemisahan atas benda-benda

35
bernilai ekonomi seperti : kertas, plastik, karet, dan lain-lain
dari sampah yang kemudian diolah sedemikian rupa sehingga
dapat digunakan kembali baik dalam bentuk yang sama atau
berbeda dari bentuk semula. 

d. Reuse

Reuse merupakan teknik pengolahan sampah yang hampir
sama dengan recycling, bedanya reuse langsung digunakan
tanpa ada pengolahan terlebih dahulu. 

e. Reduce

Reduce adalah usaha untuk mengurangi potensi timbulan
sampah, misalnya tidak menggunakan bungkus kantong
plastik yang berlebihan. 

Dengan mengetahui unsur-unsur pengelolaan sampah,
kita dapat mengetahui hubungan dan urgensinya masing-
masing unsur tersebut agar kita dapat memecahkan masalah-
masalah ini secara efisien.

Serangga dan binatang pengganggu


Serangga sebagai reservoir (habitat dan suvival) bibit
penyakit yang kemudian disebut sebagai vektor misalnya :
pinjal tikus untuk penyakit pes/sampar, Nyamuk Anopheles sp
untuk penyakit Malaria, Nyamuk Aedes sp untuk Demam
Berdarah Dengue (DBD), Nyamuk Culex sp untuk Penyakit
Kaki Gajah/Filariasis. Penanggulangan/ pencegahan dari
penyakit tersebut diantaranya dengan merancang
rumah/tempat pengelolaan makanan dengan rat proff (rapat
tikus), Kelambu yang dicelupkan dengan pestisida untuk
mencegah gigitan Nyamuk Anopheles sp, Gerakan 3 M
(menguras mengubur dan menutup) tempat penampungan air
untuk mencegah penyakit DBD, Penggunaan kasa pada lubang
36
angin di rumah atau dengan pestisida untuk mencegah
penyakit kaki gajah dan usaha-usaha sanitasi.6
Binatang pengganggu yang dapat menularkan penyakit
misalnya anjing dapat menularkan penyakit rabies/anjing gila.
Kecoa dan lalat dapat menjadi perantara perpindahan bibit
penyakit ke makanan sehingga menimbulakan diare. Tikus
dapat menyebabkan Leptospirosis dari kencing yang
dikeluarkannya yang telah terinfeksi bakteri penyebab.6

Makanan dan Minuman


Sasaran higene sanitasi makanan dan minuman adalah
restoran, rumah makan, jasa boga dan makanan jajanan
(diolah oleh pengrajin makanan di tempat penjualan dan atau
disajikan sebagai makanan siap santap untuk dijual bagi
umum selain yang disajikan jasa boga, rumah
makan/restoran, dan hotel). 6

Persyaratan hygiene sanitasi makanan dan minuman


tempat pengelolaan makanan meliputi :6,15
a. Pemilihan bahan makanan yaitu bahan makanan yang
dipilih harus mempertimbangkan beberapa hal, seperti
batas kadaluarsa, terdaftar pada Kemenkes, dan bahan
tersebut diizinkan pemakaiannya untuk makanan.
b. Penyimpanan bahan makanan yaitu penyimpanan bahan
makanan untuk mencegah bahan makanan agar tidak cepat
rusak.
c. Pengolahan makanan yang makanan meliputi 3 hal, yaitu
peralatan, penjamah makanan,dan tempat pengolahan.
d. Penyimpanan makanan matang yang disimpan sebaiknya
pada suhu rendah, agar pertumbuhan mikroorganisme yang
dapat merusak makanan dapat ditahan

37
e. Pengangkutan makanan yaitu pengangkutan makanan yang
diinginkan adalah dengan wadah tertutup.
f. Penyajian makanan disajikan dengan segera, jika makanan
dihias maka bahan yang digunakan merupakan bahan yang
dapat dimakan.

Pencemaran lingkungan
Pencemaran lingkungan merupakan masalah yang luas
dan sangat mempengaruhi kesehatan manusia. Pencemaran
lingkungan diantaranya pencemaran air, pencemaran tanah,
pencemaran udara.
a. Pencemaran udara
Udara yang kita hirup merupakan unsur penting bagi
kesehatan dan hidup sehat kita. Sayangnya polusi udara
umum terjadi di seluruh dunia khususnya di negara maju.
Udara yang tercemar mengandung satu, atau lebih, zat
berbahaya, polutan, atau kontaminan yang menimbulkan
bahaya bagi kesehatan umum. Polutan utama yang ditemukan
di udara yang kita hirup meliputi, partikel, PAH, timbal, ozon
tingkat dasar, logam berat, sulfur dioksida, benzena, karbon
monoksida dan nitrogen dioksida. Polisi udara disebabkan
oleh peningkatan populasi dan lalu lintas, pengembangan
industry, pengembangan rekayasa mobil, pembangkitan
termal dan nuklir, dan pengembangan pertanian dll. Selain itu,
sumber alami termasuk insinerator dan pembuangan limbah,
kebakaran hutan dan pertanian dapat menyebabkan
pencemaran udara.16
Beberapa penyakit yang sering disebabkan oleh
pencemaran udara, yaitu penyakit pernafasan, iritasi mata dan

38
tenggorokan, kelumpuhan, dan keracunan lambat yang
menyebabkan kematian.17
b. Pencemaran air
Air yang kita minum merupakan bahan penting untuk
kesehatan dan hidup sehat kita. Sayangnya air dan udara yang
tercemar biasa terjadi di seluruh dunia. Air yang tercemar
terdiri dari limbah buangan industri, air limbah, polusi air
hujan dan tercemar oleh pertanian atau rumah tangga
menyebabkan kerusakan pada kesehatan manusia atau
lingkungan.15 Beberapa penyakit yang berhubungan dengan air
(waterborne deseases) telah dikenal sejak lama. Pencemaran
air minum oleh air limbah dan/atau oleh kotoran manusia
(tinja), yang mengandung organisme yang dapat menimbulkan
penyakit, virus, bakteria patogen dan sebagainya, bisa
menyebar dengan cepat ke seluruh sistem jaringan pelayanan
air minum tersebut, serta dapat menyebabkan wabah atau
peledakan jumlah penderita penyakit di suatu wilayah dalam
waktu singkat.18
Beberapa ciri khusus penyebaran penyakit-penyakit ini
antara lain-lain proses penularan umumnya melalui mulut,
terjadi di daerah pelayanan yang airnya tercemar, penyakit
umum terkonsentrasi pada suatu wilayah secara temporer,
penderitanya tidak terbatas pada suku, umur, atau jenis
kelamin tertentu, meskipun Sulit mendeteksi bakteri patogen
dalam air, bisa di perkirakan melalui
pemerikasaan/pendeteksian bakteri coli yang disebabkan oleh
pencemaran tinja dan waktu inkubasi biasanya sedikit lebih
panjang
dibandingkan apabila keracunan oleh makanan.
Beberapa penyakit yang paling sering berjangkit, yaitu

39
disentri, tipus dan paratifus, kholera, hepatitis A, poliomelistis
anterior akut. 18

c. Pencemaran tanah
Pencemaran tanah adalah salah satu bentuk utama
bencana lingkungan yang dihadapi dunia saat ini. Pencemaran
tanah dapat disebabkan oleh sebagian besar limbah industri
padat yang mengandung logam berat dibuang, tanpa
pretreatment, dalam pembuangan terbuka. Polusi terburuk
berasal dari tambang terbuka, pembangkit listrik berbasis
lignit, pabrik kimia, dan industri aluminium. Efek dari polusi
tanah kanker yaitu leukemia dan inibahaya bagi anak kecil
karena dapat menyebabkan kerusakan pada otak selanjutnya.
Merkuri di tanah meningkatkan risiko penyumbatan
neuromuskular, menyebabkan sakit kepala, gagal ginjal,
depresi sistem saraf pusat, iritasi mata dan ruam kulit, mual
dan kelelahan. Polusi tanah terkait erat dengan polusi udara
dan air, sehingga banyak efeknya keluar seperti yang serupa
dengan kontaminasi air dan udara. Pencemaran tanah dapat
mengubah metabolism-metabolisisme tanaman dan
mengurangi hasil panen dan proses yang sama dengan
mikroorganisme dan arthropoda dalam lingkungan tanah
tertentu; Ini mungkin melenyapkan beberapa lapisan rantai
makanan utama, dan karenanya memiliki efek negatif pada
hewan predator. Bentuk kehidupan kecil dapat mengkonsumsi
bahan kimia berbahaya yang kemudian dapat melewati rantai
makanan ke hewan yang lebih besar; Hal ini dapat
menyebabkan tingkat kematian meningkat dan bahkan
kepunahan hewan.16

40
III.6 Penyebab masalah kesehatan lingkungan di
Indonesia
Ada beberapa penyebab masalah kesehatan lingkungan
di Indonesia, antara lain sebagai berikut :19
a. Kelangkaan kebutuhan dasar seperti air da udara yang
bersih, tanah dan hutan yang sehat, tempat penampungan
yang aman dan nyaman, dan kondisi kerja yang aman.
b. Kelebihan barang berbahaya yang tidak kita butuhkan,
seperti sampah, bahan kimia beracun, polusi, dan junk
food.

III.5 Syarat-syarat Lingkungan Sehat


Persyaratan kesehatan lingkungan meliputi parameter
sebagai berikut :20
a. Lokasi
1. Tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti
bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang
tsunami, daerah gempa, dan sebagainya.
2. Tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan
akhir (TPA) sampah atau bekas tambang.
3. Tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan
daerah kebakaran seperti jalur pendaratan
penerbangan. 

b. Kualitas udara
 Kualitas udara ambien di lingkungan
perumahan harus bebas dari gangguan gas beracun dan
memenuhi syarat baku mutu lingkungan sebagai berikut :

1. Gas H2S dan NH3 secara biologis tidak terdeteksi.
2. Debu dengan diameter kurang dari 10 µg maksimum
150 µg/m3

3. Gas SO2 maksimum 0,10 ppm.
4. Debu maksimum 350 mm3/m2 per hari. 

c. Kebisingan dan getaran

1. Kebisingan dianjurkan 45 dB.A.
2. maksimum 55 dB.A.
41
3. Tingkat getaran maksimum 10 mm/detik . 

d. Kualitas tanah
1. Kandungan Timah hitam (Pb) maksimum 300 mg/kg.
2. Kandungan Arsenik (As) total maksimum 100 mg/kg.
3. Kandungan Cadmium (Cd) maksimum 20 mg/kg.
4. Kandungan Benzo(a)pyrene maksimum 1 mg/kg.
e. Vektor penyakit 

1. Indeks lalat harus memenuhi syarat.
2. Indeks jentik nyamuk dibawah 5%. 

f. Penghijauan
Pepohonan untuk penghijauan lingkungan
 merupakan
pelindung dan juga berfungsi untuk kesejukan, keindahan dan
kelestarian alam. 


42
BAB IV
INDIKATOR KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA

Latar Belakang

K
eselamatan dan kesehatan kerja merupakan salah satu
faktor yang penting agar berlangsungnya roda
pendapatan yang diterima oleh organisasi itu berjalan
engan baik. Tetapi, masih banyak organisasi maupun
perusahaan yang masih melalaikan tingkat keamanan dan
kesehatan kerja dan hanya fokus dengan pendapatan yang
diterima oleh perusahaan tersebut. Kecelakaan bukan hanya
sebuah masalah alam industri yang “tidak aman” seperti
pertambangan dan konstruksi.

43
Selain itu juga, keamanan dan pencegahan kecelakaan
telah menjadi perhatian para manajer karena beberapa alasan,
salah satunya adalah jumlah kecelakaan yang berhubungan
dengan pekerjaan ternyata mengejutkan. Sebagai contoh,
5.500 pekerja AS diawal tahun 2000 meninggal kecelakaan
ditempat kerja, dan ada lebih dari 4,7 juta luka tidak fatal dan
sakit karena kecelakaan saat bekerja. Secara kasar 5,1 kasus
per 100 pekerja penuh waktu di Amerika Serikat per tahun.
Banyak pakar-pakar yakin bahwa angka demikian sebenarnya
lebih rendah dari angka sesungguhnya.
Sehingga pentingnya indikator keselamatan dan
kesehatan kerja agar menjadi petunjuk dalam mengavaluasi
keadaan agar karyawan terhindar dari hal-hal yang tidak
diinginkan.

IV.1 Konsep Indikator keselamatan dan kesehatan


kerja
Pengertian Indikator
Terdapat banyak literatur yang menyebutkan tentang
definisi indikator. Beberapa diantaranya yang cukup baik
adalah sebagai berikut:1
a. Indikator adalah variable yang membantu kita dalam
mengukur perubahan-perubahan yang terjadi baik secara
langsung maupun tidak langsung (WHO, 1981)
b. Indikator adalah suatu ukuran tidak langsung dari suatu
kejadian atau kondisi (Wilson & Sapanuchart, 1993)
c. Indikator adalah statistik dari hal normative yang menjadi
perhatian kita yang dapat membantu kita dalam membuat
penilaian ringkasan, komperhensif, dan berimbag
terhadap kondisi-kondisi atau aspek-aspek penting dari

44
suatu masyarakat (Departemen Kesehatan, Pendidikan
dan Kesejahteraan Amerika, 1969)
d. Indikator adalah variabel-variabel yang mengindikasi atau
memberi petunjuk kepada kita tentang suatu keadaan
tertentu, sehingga dapat digunakan untuk mengukur
perubahan (Green, 1992).
e. Indikator adalah sesuatu yang dapat memberikan petunjuk
atau keterangan (Kamus Besar Bahasa Indonesia).2
Dari definisi di atas jelas bahwa indikator adalah
variabel yang dapat digunakan untuk mengevaluasi keadaan
atau status dan memungkinkan dilakukannya pengukuran
terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke
waktu. Suatu indikator tidak selalu menjelaskan keadaan
secara keseluruhan tetapi kerap kali hanya memberi petunjuk
(indikasi) tentang keadaan keseluruhan tersebut sebagai suatu
pendugaan (proxy).1

IV.2 Pengertian keselamatan dan kesehatan kerja


Keselamatan dan kesehatan kerja (K3) umumnya
didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan antisipasi, pengakuan,
evaluasi dan pengendalian bahaya yang timbul di atau dari
tempat kerja yang dapat mengganggu kesehatan dan
kesejahteraan pekerja, dengan mempertimbangkan dampak
yang mungkin terjadi pada masyarakat sekitar dan lingkungan
umum. Domain ini tentu luas, meliputi besar jumlah disiplin
dan banyak tempat kerja dan bahaya lingkungan. 6
Kesehatan dan keselamatan kerja merupakan
pendekatan holistik terhadap kesejahteraan karyawan di
tempat kerja. Menurut WHO (1995), kesehatan kerja
mencakup tindakan untuk kedokteran kerja, kebersihan kerja,

45
pekerjaan psikologi, keselamatan, fisioterapi, ergonomi,
rehabilitasi, dll. Keselamatan di sisi lain melibatkan
perlindungan orang-orang dari cedera fisik (Hughes et al,
2008). The International Occupational Hygiene Association
(IOHA) umumnya mendefinisikan kesehatan dan keselamatan
kerja (K3) sebagai ilmu antisipasi, pengakuan, evaluasi dan
mengendalikan bahaya yang timbul di atau dari tempat kerja
yang dapat mengganggu kesehatan dan kesejahteraan pekerja,
masuk ke dalam memperhitungkan dampak yang mungkin
terjadi pada masyarakat sekitar dan lingkungan umum (ILO,
2009).3
Keselamatan kerja menunjukkan pada kondisi yang
aman atau selamat dari penderitaan, kerusakan atau kerugian
di tempat kerja menurut Anwar Prabu Mangkunegara
(2000:161). Sedangkan menurut Suma’mur (1993:1)
keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan
mesin, alat kerja, proses pengolahannya, landasan tempat
kerja dan lingkungan serta cara-cara melakukan pekerjaan.
Menurut Leon C. Megginson, (dalam Mangkunegara, 1993:83)
istilah keselamatan mencakup istilah resiko keselamatan dan
resiko kesehatan.4
Adapun menurut Mangkunegara (2007 : 163),
keselamatan kerja adalah suatu pemikiran dan upaya untuk
menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah
maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya, dan manusia
pada umumnya, hasil karya dan budaya untuk menuju
masyarakat adil dan makmur.5
Dan yang terakhir, Suma’mur (2009 : 104) mengartikan
keselamatan kerjaadalah rangkaian usaha untuk menciptakan

46
suasana kerja yang aman dan tentrambagi para karyawan yang
bekerja di perusahaan yang bersangkutan.5
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai
keselamatan kerja, maka dapat disimpulkan bahwa
keselamatan kerja adalah upaya dari suatu perusahaan untuk
menciptakan suasana kerja yang aman dan tentram bagi para
karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut, serta upaya
untuk mencegah bahaya yang dapat mengancam keselamatan
karyawan saat bekerja.3,4,5
K3 mengarahkan multidisplin yang aktif:6
a. Proteksi dan promise dari kesehatan kerja dengan
mencegah dan mengontri bahaya kerja dan kecelakaan
b. promosi kesehatankerja dan keselamatan kerja,
lingkungan kerja, dan struktur kerja.
c. tingginya fisik, mental, dan sosial akan menyuport
perkembangan dan kapasitas pekerjaan, sebagai pekerjaan
yang professional.

Pengertian indikator pada keselamatan dan


kesehatan kerja
Indikator pada K3 ialah petunujk yang dapat digunakan
untuk mengevaluasi keadaan atau status dan memungkinkan
dilakukannya pengukuran terhadap keselamatan kerja serta
perubahan-perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu demi
menciptakan suasana kerja yang aman dan nyaman bagi para
pekerja serta upaya untuk mencegah bahaya yang dapat
ditimbulkan saat bekerja.1,3,4,5

IV.3 Indikator dalam keselamatan dan kesehatan


kerja

47
Pertama, mari kita definisikan apa yang dimaksud
dengan indikator awal dan indicator tertinggal. Indikator
tertinggal bisa dipikirkan sebagai metrik kerugian yang
didapat dan merekam hari ini merupakan sebuah Insiden,
tingkat kejadian yang dapat direkam, hilang-waktu
kecelakaan, dll. Dalam satu hal, indikator tertinggal mengukur
keamanan organisasi konsekuensi berupa kecelakaan yang lalu
statistik. Di sisi lain, indikator utama adalah prekursoryang
mungkin "memimpin" ke sebuah kecelakaan atau cedera.
Beberapa contoh tindikator termasuk frekuensi dari latihan,
penyelesaian perencanaan pra-tugas, dan nomor dari pada
kondisi dan perilaku berisiko.7

Indikator utama
Indikator utama berfokus pada kinerja dari kesehatan
dan keselamatan di masa depan dengan tujuan untuk terus
melakukan perbaikan. Ini adalah sinyal dan monitor tentang
apa yang sedang dilakukan secara terus menerus untuk
mencegah penyakit dan cedera pekerja. 7
Indikator utama diukur dengan menggunakan OPM-
MU, adalah versi revisi dari kinerja Organisasi Metrik yang
dikembangkan di Institute for Work & Health, Ontario Kanada
(IWH-OPM: IWH, 2011,2013). OPM-MU adalah skala 8-item
yang telah dilaporkan sebagai indikator indikator K3 yang
dapat diandalkan dan valid (Shea et al., 2016). Karyawan
diminta untuk melaporkan persepsi mereka tentang tempat
kerja tempat mereka bekerja paling sering, daripada
keseluruhan organisasi, menggunakan skala 5 poin (mulai dari
1 = sangat tidak9= setuju dengan 5= sangat setuju), sesuai
dengan sejauh mana mereka setuju atau tidak setuju dengan

48
delapan pernyataan (misalnya, audit OHS formal secara
berkala adalah bagian normal dari tempat kerja kita).
Pengukuran ini telah divalidasi dalam penelitian Shea et al.
(2016). Penelitian saat ini menggunakan kumpulan data yang
sama dan koefisien alfa Cronbach itu.9

Indikator akhir
Indikator akhir adalah mengukur hasil akhir dari
proses, kebijakan, dan kebijakan prosedur K3. Berupa catatan
tentang hal-hal yang telah terjadi. Mencatat beberapa hal
setelah kejadian tersebut, juga menginformasikan kesehatan
dan keselamatan yang reaktif.8
Indikator akhir dioperasionalkan sebagai keselamatan
dan kesehatan kerja yang dilaporkan karena insiden.
Responden diminta melaporkan jumlah insiden K3 yang telah
mereka hadapi secara pribadi selama 12 bulan terakhir.
Langkah-langkah pelaporan diri ini (bersumber dari Probst et
al., 2013) adalah: melaporkan kejadian K3, insiden K3 yang
tidak dilaporkan (insiden K3 yang tidak dilaporkan ke
manajemen) dan situasi yang dapat menyebabkan cedera /
penyakit, namun yang terjadi tidak. Dimasukkannya beberapa
tindakan insiden K3 konsisten dengan penelitian terbaru yang
berdasarkan penyelidikan mengenai suatu jangkauan.9

IV.4 Contoh indikator keselamatan dan kesehatan


kerja
Budiono et al (2003:221) mengemukakan indikator
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), meliputi: 10

a. Faktor manusia/ pribadi (personal factor) Faktor manusia


disini meliputi, antara lain kurangnya kemampuan fisik,
49
mental dan psikologi, kurangnya pengetahuan dan
keterampilan/ keahlian, dan stress serta motivasi yang
tidak cukup.
b. Faktor kerja/ lingkungan meliputi, tidak cukup
kepemimpinan dan pengawasan, rekayasa, pembelian/
pengadaan barang, perawatan, standar-standar kerja dan
penyalahgunaan.

Anoraga (2005:22) mengemukakan aspek-aspek


Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) meliputi: 10

a. Lingkungan kerja Lingkungan kerja merupakan tempat


dimana seseorang atau karyawan dalam beraktifitas
bekerja. Lingkungan kerja dalam hal ini menyangkut
kondisi kerja, seperti ventilasi, suhu, penerangan dan
situasinya. b. Alat kerja dan bahan Alat kerja dan bahan
merupakan suatu hal yang pokok dibutuhkan oleh
perusahaan untuk memproduksi barang. Dalam
memproduksi barang, alat-alat kerja sangatlah vital yang
digunakan oleh para pekerja dalam melakukan kegiatan
proses produksi dan disamping itu adalah bahan-bahan
utama yang akan dijadikan barang.
b. Cara melakukan pekerjaan Setiap bagian-bagian produksi
memiliki cara-cara melakukan pekerjaan yang berbeda-
beda yang dimiliki oleh karyawan. Cara-cara yang biasanya
dilakukan oleh karyawan dalam melakukan semua aktifitas
pekerjaan, misalnya menggunakan peralatan yang sudah
tersedia dan pelindung diri secara tepat dan mematuhi
peraturan penggunaan peralatan tersebut dan memahami
cara mengoperasionalkan mesin

50
IV.5 Pentingnya indikator keselamatan dan kesehatan
kerja
Tolak ukur berfokus pada perilaku dan aktivitas terkait
proses keselamatan lebih cenderung memiliki pengaruh positif
terhadap keamanan di tempat kerja. Indikator utama ini
memberi tanggapan langsung kepada karyawan dan manajer
mengenai tindakan yang dapat mengakibatkan kondisi di
tempat kerja yang tidak aman atau menyebabkan insiden atau
cedera. Sama pentingnya, indikator utama menawarkan
pemeriksaan penting terhadap integritas sistem dan proses
yang dirancang untuk mendorong kondisi kerja yang aman.
Semua indikator utama yang efektif memiliki karakteristik
sebagai berikut:11
a. Mengukur perilaku dan aktivitas yang dapat mengarah
langsung ke perbaikan keamanan di tempat kerja.
b. Dipahami dan diterima oleh karyawan dan manajer
terkait langsung dengan keselamatan di tempat kerja.
c. Berfokus dan sangat erat selaras dengan tujuan strategis
dan sasaran organisasi.
d. Biaya yang hemat biaya, dan mudah untuk mengukur
dan menggunakan.
Tidak seperti indikator akhir yang mengukur dampak
insiden keselamatan di tempat kerja setelah kejadian tersebut,
indikator utama secara proaktif menarik perhatian pada
perilaku dan aktivitas tertentu. Fokus ini memungkinkan
karyawan dan manajer untuk mengubah perilaku sebelum
insiden atau kecelakaan terjadi. Dengan demikian, indikator
utama berfungsi sebagai mekanisme peringatan yang efektif,
memungkinkan karyawan dan manajer untuk melakukan

51
tindakan sebelum mengalami kerusakan, cedera atau bahaya
lainnya. Selain itu, indikator akhir biasanya gagal memberikan
informasi yang memadai mengenai penyebab sebenarnya dari
keselamatan di tempat kerja. Kelemahan ini memaksa
organisasi untuk melakukan penyelidikan dan analisis lebih
lanjut untuk mengetahui alasan sebenarnya di balik insiden
keselamatan. Karena fokus mereka pada perilaku dan
aktivitas, indikator utama memungkinkan karyawan dan
manajer untuk memantau keefektifan sistem dan proses
keselamatan, dan untuk segera mengidentifikasi akar
penyebab kegagalan keamanan di tempat kerja.11

52
53
BAB V
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA DI KLINIK GIGI
Latar Belakang

K
eselamatan dan kesehatan kerja (K3) pada umumnya
didefinisikan sebagai ilmu antisipasi, pengakuan,
evaluasi dan pengendalian bahaya yang timbul di atau
dari tempat kerja yang dapat mengganggu kesehatan
dan kesejahteraan pekerja, dengan mempertimbangkan
kemungkinan dampaknya terhadap masyarakat sekitar dan
lingkungan umum. Domain ini sangat luas, mencakup
sejumlah besar disiplin ilmu dan banyak tempat kerja dan
bahaya lingkungan. Berbagai macam struktur, keterampilan,
pengetahuan dan kapasitas analitis diperlukan untuk
mengkoordinasikan dan melaksanakan semua "blok
bangunan" yang membentuk sistem K3 nasional sehingga
perlindungan diberikan kepada pekerja dan lingkungan.
Tujuan umum standar K3 adalah untuk menjaga kondisi
dan praktik yang melindungi dokter gigi dan personil gigi
tambahan dari bahaya di lingkungan perawatan pasien.
Standar K3 ditetapkan untuk mempromosikan keamanan di
54
tempat kerja dan diberlakukan melalui inspeksi, kutipan, dan
hukuman finansial. Manajemen keselamatan dan kesehatan
kerja yang efektif memegang kendali penting dalam
melindungi tenaga kerja dan mengurangi risiko kecelakaan
langsung dan tidak langsung.
Bahaya kerja mengacu pada risiko atau bahaya sebagai
konsekuensi dari sifat atau kondisi kerja dari pekerjaan
tertentu Ahli bedah gigi terkena a jumlah bahaya kerja di
profesional mereka kerja. Tutup kontak dengan penderita air
liur dan darah menghadapkan dokter gigi ke bahaya
pekerjaan, terutama sifat menular.
Dalam pelaksanaan K3 terdapat faktor yang
mempengaruhi K3 harus diterapkan di klinik gigi.
Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membahas tentang
faktor apa saja yang mendasari dan mempengaruhi K3 harus
diterapkan di klinik gigi.

V.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Klinik Gigi


Praktik kedokteran gigi yang sukses dimulai dengan
kesehatan dan keselamatan kerja. Pencegahan keselamatan
dan kecelakaan menyangkut manajemen karena beberapa
alasan, salah satunya adalah jumlah kecelakaan kerja yang
mengkhawatirkan. Pada tahun 2003, sekitar 5.500 pekerja
A.S. meninggal dalam kecelakaan di tempat kerja. Ada juga
lebih dari empat juta kecelakaan kerja dan penyakit akibat
kecelakaan kerja, sekitar lima kasus per seratus pekerja per
tahun.
Namun bahkan angka-angka ini pun tidak menceritakan
keseluruhan ceritanya. Mereka tidak mencerminkan
penderitaan manusia yang dialami oleh pekerja yang terluka

55
dan keluarga mereka atau biaya ekonomi riil yang dikeluarkan
oleh pengusaha.
Keselamatan di tempat kerja selalu berhubungan dengan
komitmen tulus manajemen terhadapnya. Dalam manajemen
kedokteran gigi bisa menjadi dokter gigi dalam praktik gigi
tunggal; manajer dalam kelompok latihan; kepala eksekutif
rumah sakit atau direktur di sebuah institusi. Komitmen
terhadap keselamatan bukan hanya untuk tujuan kepatuhan
hukum atau humanitarianisme. Program keselamatan juga
mengurangi waktu dan tenaga kerja terbuang setelah
mengalami kecelakaan dan mengurangi biaya kompensasi
pekerja.

V.2 Faktor yang Mempengaruhi K3 di Klinik Gigi


Faktor Individu
1. Penggunaan miras dan alkohol dalam bekerja
2. Trauma insident hidup
3. Karateristik individu
4. Merokok
5. Responsibility ( Tanggung Jawab)
Semakin tinggi jabatan seorang karyawan dalam suatu
perusahan, semakin besar pula tanggung jawab yang
diembannya. Seorang CEO, sebagai pimpinan tertinggi dalam
perusahaan, mengemban tanggung jawab paling besar
terhadap kelangsugan usaha perusahan. Semakin tinggi
tanggung jawab yang diemban oleh seorang, semakin tinggi
pula proteksi yang diberikan oleh perusahaan.
6. Skill (Keahlian)
Untuk kelangsungan usaha perusahaan, perusahaan
membutuhkan karyawan yang memiliki keahlian khusus.

56
Misalnya, untuk bidang informasi, perusahaan membutuhkan
tenaga ahli dibidang informasi teknologi yang menguasai
teknologi komputer.
Keahlian mereka sangat spesifik, sehingga untuk
mempertahankan agar mereka tetap bekerja di perusahaan
tersebut, perusahaan menerapkan program proteksi yang
layak dan bahkan kadang – kadang diatas rata – rata yang
mampu diberikan pesaing. Program proteksi yang diterapkan
kepada pekerja yang memiliki keahlian khusus akan lebih
tinggi dibandingkan dengan pekerja yang tidak memerlukan
keahlian khusus, misalnya pekerja administrasi
7. Mental Effort (kerja Otak / Mental)
Karyawan yang lebih mengandalkan kemapuan kerja
otak atau mental, misalnya analis, programmer, marketer,
atau akuntan. Kelas pekerja seperti ini sering disebut dengan
“White Collar” kelas pekerja ini biasanya memeperoleh tingkat
proteksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelas pekerja
yang lebih mengandalkan kekuatan fisik (Blue Collar).
8. Physical Effort (Kemampuan Fisik)
Karyawan yang lebih mengandalkan kekuatan fisik (Blue
Collar), misalnya satuan pengaman (Satpam), petugas
kebersihan atau pekerja bangunan. Biasanya proteksi yang
diberikan oleh perusahaan kepada mereka lebih difokuskan
dalam bentuk perlindungan atas keselamatan kerja.
9. Work Condition (Kondisi Kerja)
Kondisi kerja yang diharapkan oleh pekerja untuk satu
bidang industri sering kali berbeda. Sebagai contoh, kondisi
kerja bagi pekerja dibidang perminyakan, yang bekerja di lepas
pantai akan berbeda dengan kondisi kerja di darat. Semakin

57
berat kondisi kerja yang dihadapi oleh pekerja, semakin tinggi
program proteksi yang diterapkan.
Faktor Organisasi
1. Seleksi karyawan
2. Design peralatan
3. Absensi dan keselamatan
4. Komitmen managemen keselamatan
5. Pelatihan keselamatan
6. Government Rule (Peraturan Pemerintah)
Pemerintah sebagai regulator biasanya membuat
peraturan yang mengharuskan pengusaha atau perusahaan
untuk memberikan perlindungan yang memadai bagi pekerja.
Sebagai contoh, pemerintah mengaharuskan perusahaan
memberikan perlindungan bagi pekerja melalui jaminan
asuransi tenaga kerja atu yang dikenal dengan jamsostek.
Melalui jaminan asuransi tersebut, pekerja yang di PHK,
pekerja yang mengalami kecelakaan selama bekerja, atau yang
sakti akan memperoleh santunan yang layak dari pihak
asuransi. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan perusahaan
untuk memberikan hak cuti bagi penyegaran fisik dan mental
pekerja.

V.3 Faktor yang Mempengaruhi Kecelakaan Kerja di


Klinik Gigi
Banyak bahaya di tempat kerja ditemukan pada praktik
kedokteran gigi. Secara historis, minat terpusat pada bahan
kimia berbahaya; Namun, dalam dekade terakhir,
pengendalian infeksi dan ergonomi telah mendapat perhatian
yang meningkat. Banyak staf gigi merasakan risiko tinggi

58
tertular penyakit serius dengan cara ini, mengakibatkan stres
kerja yang signifikan.
Pada dasarnya ada tiga penyebab kecelakaan di tempat
kerja: kejadian kebetulan, kondisi kerja yang tidak aman dan
praktik tidak aman karyawan. Yang pertama, kejadian
kebetulan (seperti berjalan melewati jendela seperti seseorang
memukul bola melewatinya) berada di luar kendali
manajemen.
Karena itu, yang perlu diperhatikan adalah kondisi kerja
yang tidak aman dan praktik tidak aman karyawan. Kondisi
kerja yang tidak aman adalah kondisi mekanik dan fisik yang
menyebabkan kecelakaan. Contohnya adalah ventilasi yang
tidak benar seperti aliran udara yang tidak memadai, sumber
udara tidak murni yang memungkinkan akumulasi uap
organik yang mudah menguap, aerosol menular dan debu
berbahaya; pencahayaan yang tidak semestinya seperti silau,
cahaya yang tidak memadai atau prosedur perawatan ringan
yang terlindungi dengan tidak benar; lingkungan yang bising;
penyimpanan yang tidak aman seperti pengepakan dan
kelebihan muatan yang tidak tepat; prosedur berbahaya di,
pada atau di sekitar mesin pemotong atau pembakar menyala,
peralatan yang tidak dijaga dan peralatan rusak yang tidak
benar.
Solusinya di sini adalah untuk mengidentifikasi dan
menghilangkan atau memperbaiki kondisi kerja yang tidak
aman ini. Zona bahaya harus diidentifikasi. Iklim dan
psikologi tempat kerja - meski tidak jelas, ini bisa menjadi
penyebab kecelakaan kerja yang paling penting. Contohnya
adalah tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan dengan cepat;
karyawan yang stres; permusuhan antara karyawan dan

59
kewaspadaan keamanan yang buruk seperti dokter gigi yang
tidak pernah menyebutkan keamanan. Ini bisa menjadi
kondisi psikologis penting yang menyebabkan kecelakaan.
Praktik yang tidak aman, orang yang berperilaku ceroboh,
adalah penyebab dasar kedua kecelakaan. Mereka bahkan bisa
melemahkan upaya terbaik untuk mengurangi yang tidak
aman kondisi kerja. Studi lain menunjukkan bahwa hak,
ketidaksabaran, agresivitas dan distractability dapat menjadi
karakter berisiko.
Studi terhadap literatur yang berkembang yang
berpendapat bahwa peningkatan risiko cedera kerja timbul
dari lebih dari sekadar kondisi kerja yang tidak aman atau
tindakan tidak aman yang melekat pada populasi pekerja
tertentu. Studi ini mendukung argumen bahwa adanya bahaya
bersama dengan upaya pencegahan dan pengendalian yang
tidak memadai pada tingkat pekerja dan organisasi
menempatkan pekerja pada peningkatan risiko cedera. Faktor-
faktor lain yang berkontribusi terhadap penyebab kecelakaan
dapat dikelompokkan menjadi lima kategori:
1. Faktor manusia: Tindakan-tindakan yang diambil atau
tidak diambil, untuk mengontrol cara kerja yang
dilakukan
2. Faktor material: Risiko ledakan, kebakaran dan trauma
paparan tak terduga untuk zat yang sangat beracun,
seperti asam
3. Faktor Peralatan: Peralatan, jika tidak terjaga dengan
baik, rentan terhadap kegagalan yang dapat
menyebabkan kecelakaan
4. Faktor lingkungan: lingkungan mengacu pada keadaan
tempat kerja. Suhu, kelembaban, kebisingan, udara dan

60
kualitas pencahayaan merupakan contoh faktor
lingkungan.
5. Faktor proses: Ini termasuk risiko yang timbul dari
proses produksi dan produk samping seperti panas,
kebisingan, debu, uap dan asap.

61
BAB VI

62
MENGIDENTIFIKASI, MENGUKUR DAN
MENGEVALUASI FAKTOR - FAKTOR
BAHAYA DI LINGKUNGAN KERJA

Latar Belakang

D
i setiap lingkungan kerja pasti ada bahaya-bahaya
yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja atau
penyakit akibat kerja. Banyak bahaya-bahaya yang
ada di lingkungan kerja termasuk di kedokteran gigi, yang
memiliki potensi untuk terjadi bahaya di lingkungan kerja.
Bahaya dilingkungan kerja meliputi bahaya biologi biasa
terjadi di kedokteran gigi berupa infeksi nasokomial antara
tenaga kerja-pasien-dokter gigi sehingga harus mencegah
dengan menggunakan alat pelindung diri. Musculoskeletal
disorder juga sangat sering terjadi di kedokteran gigi berupa
ada sakit disekitar bahu, punggung ataupun kepala . tapi
bukan itu saja, bahaya kimia, bahaya fisik, bahaya psikologis,
juga sering dijumpai terutama di kedokteran gigi.

VI. 1 Lingkungan Kerja


Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang
Keselamatan Kerja, yang dimaksud tempat kerja adalah tiap
ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau
tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki
tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana

63
terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya (Depnakertrans
RI, 2007)

Konsep lingkungan kerja adalah satu hal yang


komprehensif termasuk aspek fisik, psikologis dan sosial yang
menandai kondisi kerja. Lingkungan kerja melakukan efek
positif dan negatif terhadap psikologis dan kesejahteraan
karyawan. Lingkungan kerja dapat digambarkan sebagai
lingkungan tempat orang bekerja.

Lingkungan kerja dapat dibagi menjadi tiga komponen


yang luas
1. Lingkungan Fisik:
a) Ventilasi & Suhu:
b) Kebisingan
c) Infrastruktur & Interior
d) Fasilitas
2. Lingkungan Mental
a) Kelelahan
b) Kebosanan
c) Monoton
d) Sikap & Perilaku Supervisor & rekan kerja
3. Lingkungan Sosial.

VI.2 Mengidentifikasi lingkungan kerja


Bahaya kerja mengacu pada risiko sebagai konsekuensi
dari
sifat atau kondisi kerja pekerjaan tertentu. Hal ini juga
bisa merujuk untuk pekerjaan, materi, substansi, proses, atau
64
situasi yang menjadi predisposisi,atau sendiri menyebabkan
kecelakaan atau penyakit, di tempat kerja.
adapun material yang berbahaya sering dijumpai di
kedokteran gigi yakni
a) partikulat yang ada pada gypsum, alginate, pumish,
microblasting material.
b) Kontaminasi biologi seperti mikroorganisme yang ada
pada darah , cairan tubuh, liur yang memiliki virus, bakteri
yang dapat menular.
c) Merkuri ada pada amalgam. risiko toksikologi penyakit
pada dokter gigi menunjukkan bahwa praktik kerja
dikaitkan dengan merkuri pada petugas gigi, yang
berhubungan dengan ginjal fungsi, proses reproduksi dan
alergi terkait dengan paparan merkuri kronis.
d) Efek toksik bahan kimia
Identifikasi bahaya adalah proses identifikasi semua
bahaya di tempat kerja. bahaya di lingkungan kerja terbagi
atas:
a) Bahaya kimia
Bahaya kimia merupakan bahan yang telah terbukti
dapat menyebabkan bahaya fisik atau kesehatan. Ada indikasi
bisa terbakar, bereaksi, atau bisa meledak saat dicampur
dengan zat lain atau bersifat beracun. Banyak bahan yang
digunakan di kedokteran gigi mengandung lebih dari satu
bahan kimia.bagaimana bahan kimia bisa masuk ke dalam
tubuh?
1. Inhalasi
Menghirup gas, uap,debu. Beberapa bahan kimia dapat
menyebabkan kerusakan langsung ke paru-paru dalam

65
bentuk pneumonia. Bisa juga diserap oleh paru-paru
kemudian dikirim melalui aliran darah ke organ lainnya.
2. Berkontak langsung dengan kulit atau mata
Kulit menjadi penghalang efektif untuk berbagai bahan
kimia walaupun sebagian bahan kimia bisa diabsobsi
melalui kulit. Pada umumnya, kulit akan langsung
berkontak dengan bahan kimia. Bahan kimia dapat
langsung terserap melalui kulit yang luka teriris atau
tergores, luka terbuka ataupun luka yang meradang
3. Diabsorbsi melalui kulit
4. Tertelan
Tertelan adalah salah satu cara bahan kimia bisa masuk di
dalam tubuh. Apabila makan di area yang menggunakan
bahan kimia atau tangan yang terkontaminasi bahan
kimia akan menyebabkan tertelannya bahan kimia
tersebut. Di laboratorium gigi, banyak bahan kimia yang
dipakai seperti gypsum, merkuri. Dokter gigi masih
menggunakan amalgam yang mengandung merkuri untuk
restorasi gigi. sehingga Sangat penting untuk mencuci
tangan ketika berkontak dengan bahan kimia
5. Invasi langsung ke kulit.
Untuk meminimalisir bahaya kimia maka sebaiknya
dilakukan prosedur seperti:
a. Membatasi waktu pemaparan pekerja
b. Kurangi kontak dengan zat kimia
c. Pastikan pembuangan zat dan peralatan sekali pakai
yang aman yang bersentuhan dengan zat berbahaya
d. Pastikan penanganan dan dekontaminasi peralatan
yang aman.
b) Bahaya biologi

66
Bahaya biologi dalam kedokteran gigi merupakan
bahaya yang akan menyebabkan penyakit akibat kerja,
penyakit yang bisa timbul akibat kontak darah, cairan tubuh,
air liur dsb. Seperti, HSV, VZV, HIV, Hepatitis B, C and D
viruses, Mycobacterium spp., Pseudomonas spp., Legionella
spp dll.
c) Bahaya fisik
Faktor fisik adalah faktor di dalam tempat kerja yang
bersifat fisika antara lain dikarenakan pada
1. peralatan gigi, seperti scaller, bur yang dpat berdampak
serius jika terjadi kecelakaan.
2. api, radiasi, perangkat ultrasonik, unit sterilisasi, dan
benda tajam,
3. penerangan dapat menyebabkan sakit mata, ketegangan
mata, sakit kepala, kelelahan mata dimana kecerahan
yang berlebihan menyebabkan ketidaknyamanan,
4. Getaran. Apalagi penggunaan turbin berkecepatan
tinggi, kompresor, suction dan ultrasonic dental scaler
menghasilkan gangguan pendengaran permanen,
kelelahan, dan penurunan efisiensi.
5. Radiasi . Dokter gigi dapat mengekspos radiasi pengion
dan nonionising. Paparan kronis terhadap radiasi bisa
terjadi, perubahan somatik (tubuh) atau genetik.
d) Bahaya psikologis
a. Stress. Dokter gigi menemukan banyak sumber stres
profesional, dimulai di klinik gigi. Stres dapat
didefinisikan sebagai reaksi biologis terhadap stimulus
internal atau eksternal yang merugikan fisik, mental
atau emosional yang cenderung mengganggu
homeostasis.

67
b. Kelelahan.
c. Gangguan Kecemasan dan Depresi.Gangguan
kecemasan bersifat kronis dan tanpa henti dan bisa
tumbuh semakin memburuk jika tidak diobati.
e) Musculoskeletal disorder
Musculoskeletal disorder merupankan hal yang sudah
biasa terjadi di kedokteran gigi seperti nyeri punggung,
nyeri bahu,tangan, sakit kepala.
f) Bahaya limbah
Bahaya limbah adalah limbah yang menimbulkan resiko
atau bahaya pada manusia atau lingkungannya.

VI.3 Mengukur Faktor-Faktor Bahaya Di Lingkungan


Kerja
Untuk menilai Lingkungan Kerja Untuk mengetahui
kualitatif dan kuantitatif tingkat bahaya di lingkungan kerja
melalui pengukuran, pengambilan sampel, dan analisis
laboratorium, kemudian dibandingan dengan standar baku
dan batas paparan atau nilai ambang batas.
NAB atau nilai ambang batas adalah standar faktor
bahaya di tempat kerja sebagai kadar rata-rata tertimbang
waktu yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan
gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari-hari dalam waktu
tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam perminggu.

VI.4 Upaya Pengendalian Bahaya Kerja


a. Pengendalian bahaya biologi
tindakan pengendalian infeksi adalah cara yang efektif
untuk mengurangi risiko kecelakaan kerja dan penularan

68
patogen, terutama melalui air liur, darah, udara atau air.
Langkah-langkah ini pada intinya mencakup
1) pembersihan, disinfeksi dan sterilisasi;
2) penggunaan proteksi peralatan pribadi;
3) imunisasi;
4) pencegahan dan penanganan yang benar dalam
kecelakaan kerja yang melibatkan paparan darah dan
cairan tubuh; dan
5) antisepsis

b. Pengendalian bahaya kimia


pengendalian bahaya kimia dapat dilakukan dengan
cara:
a) memakai alat pelindung diri seperti pelindung
tangan, pelindung mata, pelindung pernafasan, baju
pelindung.
b) Mengenal bahan kimia yang akan digunakan.
c) Memakai bahan yang seperlunya saja.
d) Tidak memakan, meminum, merokok memakai lip
balm atau memakai softlens di area yang terpapar
bahan kimia.
e) Mencuci tangan sebelum dan setelah beraktivitas.
f) Mengikuti pedoman keselamatan dapat
meminimalkan sebagian besar Cedera yang terjadi di
kedokteran gigi.
c. Pengendalian psikologis
a) Menghilangkan stress dengan refreshing
b) Latihan fisik
c) Bekerja dengan baik dan cepat.
d. Pengendalian musculoskeletal disorder

69
a) Pencegahan meliputi menjaga postur tubuh yang
benar saat merawat pasien,.
b) beristirahat dengan cukup,
c) melakukan beberapa streching.
d) Mengubah posisi.

70
BAB VII
JENIS LIMBAH PRAKTIK
DAN PENGELOLAANNYA

LATAR BELAKANG

D
alam upaya meningkatkan derajat kesehatan Gigi
dan Mulut masyarakat diperlukan adanya Rumah
Sakit Gigi dan Mulut.RSGM sebagaimana fungsinya
harus tetap menciptakan kondisi lingkungan yang
sehat.Aktivitas di RSGM akan menghasilkan berbagai macam
limbah yang pada umumnya mengandung zat beracun, dan
jika tidak dikelolah dengan baik maka akan menimbulkan
sejumlah penyakit penyakit berbahaya bagi pekerja rumah
sakit,pasien,dan mengurangi estetika dari rumah sakit
tersebut.
Saat ini permasalahan penanganan limbah dan dampak
buruk nya bagi tenaga medis juga terus meningkat.Maka dari

71
itu telah dilakukan berbagai upaya pengolahan limbah.Praktek
kedokteran gigi juga menghasilkan limbah dalam jumlah besar
seperti plastik,latex,kapas,amalgam,perak dan bahan
lainnya.Aktivitas rutin dalam dunia kedokteran gigi juga
sebagian besar melibatkan kontaminasi dengan saliva dan
darah ,jika tidak dilakukan dengan baik prosedur rutin ini
akan mengakibatkan penyebaran penyakit menular.
Limbah Rumah sakit mer upakan semua limbah yang
dihasilkan dari kegiatan dan aktivitas di rumah sakit dalam
bentuk padat,cair,dan gas.Limbah padat terbagi menjadi 2
yaitu limbah medis dan non medis.Menurut standard
international Brazil limbah medis diklasifikasikan sesuai
dengan risiko nya terhadap kesehatan masyarakat dan
lingkungannya,Hal ini menekankan bahwa penanganan
limbah rumah sakit memiliki tuntutan berbeda dalam
penanganannya.Penanganan limbah harus fokus pada
pengurangan risiko berbahaya yang ditimbulkan oleh limbah
tersebut seperti penyebaran penyakit menular dan polusi
lingkungan.

VII.1 Pengertian Limbah Rumah Sakit


Limbah Rumah sakit adalah semua jenis limbah yang
dihasilkan melalui aktivitas di rumah sakit baik dalam bentuk
padat,cair dan gas.Dalam aktivitas di bidang kedokteran gigi
melibatkan berbagai bahan dan alat yang berpotensi menular
karena penggunaanya dalam terapi pasien dan seringnya
terkontaminasi dengan cairan biologis pasien seperti darah
dan saliva.

72
VII.2 Klasifikasi Limbah RSGM
Limbah Rumah sakit ada yang memiliki sifat berbahaya
dan beracun maka harus dilakukan penanganan dengan
tepat.Berdasarkan sumbernya limbah dapat berasal dari
prosedur pengerjaan pasien,pembuatan obat,kantor rumah
sakit dan pasien itu sendiri.Untuk mempermudah pemilihan
limbah maka limbah dibagi menjadi 3 yaitu :
1. Limbah Padat
Limbah padat terbagi menjadi 2 yaitu limbah padat medis dan
limbah padat non medis.
a. Limbah padat medis adalah limbah yang berasal dari
kegiatan pelayanan medis.Yang termasuk limbah medis
adalah:
 Limbah Infectious : Limbah yang mengandung bahan
yang terkontaminasi dengan darah dan cairan menular
lainnya yang berasal dari rongga mulut dan membawa
patogen dengan (bakteri,jamur,parasit,virus) .limbah
infeksius meliputi kapas,tampon,sarung
tangan,masker.
 Limbah non infectious : limbah non infectious tidak
membawa patogen tapi masih berpotensi berbahaya
untuk kesehatan manusia .Seperti kain,kantong
plastik,gypsum,gelas
 Limbah Patologi : limbah yang berasal dari sisa
jaringan tubuh dan cairan tubuh seperti darah
,saliva,gigi,dan mukosa
 Limbah Farmasi : Produk farmasi seperti obat obatan
kadalwarsa dan bahan kimia yang sudah tidak dapat
digunakan
73
 Limbah Radioaktif : Limbah yang berasal dari bahan
yang terkontaminasi dengan radioisotop yang berasal
dari penggunaan medis atau riset untuk diagnosis dan
pengobatan / terapi.seperti residu film.
 Limbah Benda tajam: Limbah yang dapat menusuk
atau menimbulkan luka dan telah mengalami kontak
dengan agen penyebab infeksi.limbah benda tajam
meliputi pisau bedah,gunting,jarum suntik,jarum jahit.
 Limbah Kimiawi : Limbah yang dihasilkan dari
penggunaan bahan kimia dalam tindakan medis seperti
bahan cetak,bahan tambalan,amalgam.
b. Limbah non medis adalah limbah domestik yang
dihasilkan dari sarana pelayanan kesehatan di rumah sakit
seperti koran,kertas,pulpen sampah sisa makanan dan
bahan lainnya yang berasal dari kantor pelayanan rumah
sakit dan termasuk daftar limbah domestik.
2. Limbah Cair
Limbah Cair merupakan semua air buangan yang berasal dari
kegiatan rumah sakit yang kemungkinan mengandung
mikroorganisme dan bahan kimia beracun yang berbahaya
bagi kesehatan. Salah satu yang termasuk limbah cair adalah
tinja.
3.Limbah Gas
Limbah gas merupakan semua limbah yang berbentuk gas dan
berasal dari kegiatan pembakaran rumah sakit seperti
insinerator,dapur(kegiatan memasak di rumah
sakit),perlengkapan generator dan pembuatan obat sitotoksik.

Limbah Amalgam
74
Limbah penggunaaan amalgam masuk dalam kategori
limbah Kimia.Amalgam mengandung merkuri ,perak dan
timah dengan sejumlah tembaga.Limbah amalgam sangat
berbahaya.Merkuri didalam amalgam dapat menyebabkan
peningkatan kadar merkuri dalam urin,gejala
neurologis,gangguan pernapasan,dan gejala
keracunan.Limbah penggunaan amalgam sering dibuang
bersamaan dengan limbah kota sehingga dapat mencemari
lingkungan,tanah dan air.

VII.3 Prosedur Pengolahan Limbah


Sebelum melakukan prosedur pengolahan limbah,petugas
kebersihan harus setidaknya menggunakan alat pelindung diri
seperti sarung tangan,pelinndung mata,masker,dan celemek.
1. Prosedur Pengolahan Limbah Padat
a. Limbah Padat Medis :
1. Pemilihan ,Pewadahan,Pemanfaatan kembali
daur ulang
Pemilihan jenis limbah dimulai dari sumber yang
terdiri dari limbah infeksius, patologi, benda tajam,
farmasi, radioaktif, kimiawi,dll.Untuk benda tajam
harus di tampung di tempat khusus yang anti tusuk
dan tidak mudah dibuka agar tidak sembarang orang
dapat membukanya. Kantong sampah benda
tajam,limbah patologi ,limbah radioaktif dan limbah
infeksius tidak boleh berada di area akses umum.
2. Pengumpulan,Pengangkutan,dan Penyimpanan
Limbah di area Rumah Sakit

75
Petugas mengumpulkan limbah dari setiap ruangan
penghasil limbah dengan menggunakan troli yang
tertutup.Pengumpulan limbah harus dilakukan setiap
hari atau jika 2/3 bagian sudah terisi. Penyimpanan
limbah pada musim hujan paling lama 48 jam dan
kemarau 24 jam.
3. Pengumpulan ,Pengemasan dan Pengangkutan
ke Luar RS
Petugas mengumpulkan limbah pada tempat yang kuat
dan mengangkut keluar rumah sakit dengan
menggunakan kontainer/kendaraan khusus.
4. Pengelolahan dan Pemusnahan
Limbah medis padat tidak boleh di buang langsung ke
tempat pembungan akhir sebelum dianggap
aman.Teknologi pengolahan dan pemusnahan limbah
dilakukan dengan pembakaran menggunakan
insinerator atau pemanasan menggunakan otoklaf.
b.Limbah Padat non Medis:
1. Pemilihan
Pemilihan antara limbah yang dapat di daur ulang dan
tidak dapat di daur ulang.
2. Pewadahan
Wadah terbuat dari bahan yang kuat dan ringan,tahan
karat,kedap air.Limbah tidak boleh dibiarkan dalam
wadah melebihi 3 x 24 jam/jika 2/3 bagian kantong
sudah terisi maka sudah harus diangkut
3. Pengangkutan
Pengangkutan imbah padat domestik dari tiap ruangan
ke tempat penampungan menggunakan troli tertutup.
76
4. Tempat Penampungan Limbah Padat Non
Medis Sementara
Tempat penampungan sementara harus dipisahkan
dari limbah yang dapat di daur ulang dengan
tidak.Tempatnya harus kedap air ,tertutup dan tidak
menjadi sumber bau.
5. Pengolahan
Limbah yang masih dapat di daur ulang seperti
aluminium,plastik,koran,baterai hendaknya
dimanfaatkan kembali,dan limbah yang sudah tidak
dapat di daur ulang di bawa ke lokasi pembuangan air
6. Lokasi Pembuangan Akhir
Limbah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir
dikelolah oleh pemerintah sesuai peraturan perundang
undangan yang berlaku

Pengolahan Limbah Amalgam


Pengolahan limbah merkuri dari amalgam dapat
dilakukan dengan menyimpan unsur merkuri yang tidak
dipakai dalam wadah tertutup rapat,menghubungi pengolah
limbah yang berkompeten untuk mendaur
ulang/membuangnya,mereaksikan unsur merkuri yang tidak
terpakai dengan paduan perak untuk membentuk amalgam
bekas, Unsur merkuri dari amalgam tidak boleh diletakkan di
tempat sampah biasa dan tidak boleh di cuci di saluran
pembuangan umum karena kandungannya yang sangat
berbahaya yang dapat menyebabkan keracunan,gangguan
pernapasan,gangguan neurologik,dan pencemaran
lingkungan,tanah dan air.Untuk pembuangan amalgam harus
77
menggunakan wadah sampah khusus merkuri untuk
menyimpan amalgam yang sudah tua dan diteruskan ke
pengolah limbah yang lebih berkompeten.
1. Prosedur Pengolahan Limbah Cair
Limbah Cair harus dikumpulkan dalam kontainer yang sesuai
dengan karakteristik bahan kimia dan radiologi,volume,dan
prosedur penanganan penyimpanannya.
a. Saluran pembuangan limbah harus menggunakan
sistem saluran tertutup,kedap air,limbah mengalir
lancar,dan terpisah dengan saluran air hujan.
b. RSGM harus mempunyai instalasi pengolahan limbah
cair sendiri atau bersama sama dengan bangunan
sekitarnya dengan memenuhi persyaratan teknis
c. Perlu ada alat pengukur debit limbah
d. Air limbah dapur harus dilengkapi penangkap lemak
dan dilengkapi grill
e. Air limbah dari lab harus dikelolah dengan instalasi
pengolahan air limbah
f. Pemeriksaan kualitas limbah cair dilakukan tiap bulan
atau 3 bulan sekali
g. Jika ada limbah cair yang mengandung zat radioaktif
maka pengolahannya harus sesuai ketentuan BATAN

Prosedur Pengolahan Limbah Gas


Monitoring limbah gas minimal sekali setahun,menggunakan
suhu pembakaran minimal 10000C untuk pemusnahan
bakteri,virus,patogen,dan menggunakan alat untuk
mengurangi emisi gas dan debu.

78
VIII
PENANGGULANGAN LIMBAH PADA
KLINIK

Latar belakang

K
egiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam
limbah yang berupa benda cair, padat dan
gas.Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian
dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit
yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah
sakit.
Sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No. 9
tahun 1990 tentang Pokok-pokok Kesehatan, bahwa setiap
warga berhak memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-
tingginya.
Ketentuan tersebut menjadi dasar bagi pemerintah untuk
menyelenggarakan kegiatan yang berupa pencegahan dan
pemberantasan penyakit, pencegahan dan penanggulangan
pencemaran, pemulihan kesehatan, penerangan dan
pendidikan kesehatan kepada masyarakat
79
Upaya perbaikan kesehatan masyarakat dapat dilakukan
melalui berbagai macam cara, yaitu pencegahan dan
pemberantasan penyakit menular, penyehatan lingkungan,
perbaikan gizi, penyediaan air bersih, penyuluhan kesehatan
serta pelayanan kesehatan ibu dan anak. Selain itu,
perlindungan terhadap bahaya pencemaran lingkungan juga
perlu diberi perhatian khusus.
Rumah sakit merupakan sarana upaya perbaikan
kesehatan yang melaksanakan pelayanan kesehatan dan dapat
dimanfaatkan pula sebagai lembaga pendidikan tenaga
kesehatan dan penelitian. Pelayanan kesehatan yang dilakukan
rumah sakit berupa kegiatan penyembuhan penderita dan
pemulihan keadaan cacat badan serta jiwa.
Kegiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam
limbah yang berupa benda cair, padat dan gas. Pengelolaan
limbah rumah sakit adalah bagian dari kegiatan penyehatan
lingkungan di rumah sakit yang bertujuan untuk melindungi
masyarakat dari bahaya pencemaran lingkungan yang
bersumber dari limbah rumah sakit. Unsur-unsur yang terkait
dengan penyelenggaraan kegiatan pelayanan rumah sakit
(termasuk pengelolaan limbahnya), yaitu :
1. Pemrakarsa atau penanggung jawab rumah sakit.
2. Pengguna jasa pelayanan rumah sakit.
3. Para ahli, pakar dan lembaga yang dapat memberikan
saran-saran.
4. Para pengusaha dan swasta yang dapat menyediakan
sarana dan fasilitas yang diperlukan.
Upaya pengelolaan limbah rumah sakit telah
dilaksanakan dengan menyiapkan perangkat lunaknya yang
berupa peraturan-peraturan, pedoman-pedoman dan
kebijakan-kebijakan yang mengatur pengelolaan dan
peningkatan kesehatan di lingkungan rumah sakit. Di samping
itu secara bertahap dan berkesinambungan Departemen
Kesehatan mengupayakan instalasi pengelolaan limbah rumah
sakit. Sehingga sampai saat ini sebagian rumah sakit
80
pemerintah telah dilengkapi dengan fasilitas pengelolaan
limbah, meskipun perlu untuk disempurnakan. Namun harus
disadari bahwa pengelolaan limbah rumah sakit masih perlu
ditingkatkan lagi.

VIII.1 Peranan Rumah Sakit Dalam Pengelolaan


Limbah
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yang
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan yang meliputi
pelayanan rawat jalan, rawat nginap, pelayanan gawat darurat,
pelayanan medik dan non medik yang dalam melakukan
proses kegiatan hasilnya dapat mempengaruhi lingkungan
sosial, budaya dan dalam menyelenggarakan upaya dimaksud
dapat mempergunakan teknologi yang diperkirakan
mempunyai potensi besar terhadap lingkungan.
Limbah yang dihasilkan rumah sakit dapat
membahayakan kesehatan masyarakat, yaitu limbah berupa
virus dan kuman yang berasal dan Laboratorium Virologi dan
Mikrobiologi yang sampai saat ini belum ada alat
penangkalnya sehingga sulit untuk dideteksi. Limbah cair dan
Iimbah padat yang berasal dan rumah sakit dapat berfungsi
sebagai media penyebaran gangguan atau penyakit bagi para
petugas, penderita maupun masyarakat. Gangguan tersebut
dapat berupa pencemaran udara, pencemaran air, tanah,
pencemaran makanan dan minunian. Pencemaran tersebut
merupakan agen agen kesehatan lingkungan yang dapat
mempunyai dampak besar terhadap manusia.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pokok-
Pokok Kesehatan menyebutkan bahwa setiap warga negara
Indonesia berhak memperoleh derajat kesehatan yang
setinggi-
tingginya. Oleh karena itu Pemerintah menyelenggarakan
usaha-usaha dalam lapangan pencegahan dan pemberantasan
penyakit pencegahan dan penanggulangan pencemaran,
pemulihan kesehatan, penerangan dan pendidikan kesehatan
81
pada rakyat dan lain sebagainya (Karmana dkk, 2003). Usaha
peningkatan dan pemeliharaan kesehatan harus dilakukan
secara terus menerus, sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan di bidang kesehatan, maka usaha pencegahan
dan penanggulangan pencemaran diharapkan mengalami
kemajuan.
Adapun cara-cara pencegahan dan penanggulangan
pencemaran limbah rumah sakit antara lain adalah melalui :
1. Proses pengelolaan limbah padat rumah sakit.
2. Proses mencegah pencemaran makanan di rumah sakit.
Sarana pengolahan/pembuangan limbah cair rumah
sakit pada dasarnya berfungsi menerima limbah cair yang
berasal dari berbagai alat sanitair, menyalurkan melalui
instalasi saluran pembuangan dalam gedung selanjutnya
melalui instalasi saluran pembuangan di luar gedung menuju
instalasi pengolahan buangan cair. Dari instalasi limbah,
cairan yang sudah diolah mengalir saluran pembuangan ke
perembesan tanah atau ke saluran pembuangan kota. Limbah
padat yang berasal dari bangsal-bangsal, dapur, kamar operasi
dan lain sebagainya baik yang medis maupun non medis perlu
dikelola sebaik-baiknya sehingga kesehatan petugas, penderita
dan masyarakat di sekitar rumah sakit dapat terhindar dari
kemungkinan-kemungkinan dampak pencemaran limbah
rumah sakit tersebut.

VIII.2 Potensi Pencemaran Limbah Rumah Sakit


Dalam profil kesehatan Indonesia, Departemen
Kesehatan, 1997 diungkapkan seluruh RS di Indonesia
berjumlah 1090 dengan 121.996 tempat tidur. Hasil kajian
terhadap 100 RS di Jawa dan Bali menunjukkan bahwa rata-
rata produksi sampah sebesar 3,2 Kg per tempat tidur per hari.
Sedangkan produksi limbah cair sebesar 416,8 liter per tempat
tidur per hari.
Analisis lebih jauh menunjukkan, produksi sampah
(limbah padat) berupa limbah domestic sebesar 76,8 persen
82
dan berupa limbah infektius sebesar 23,2 persen. Diperkirakan
secara
nasional produksi sampah (limbah padat) RS sebesar 376.089
ton per hari dan produksi air limbah sebesar 48.985,70 ton per
hari. Dari gambaran tersebut dapat dibayangkan betapa besar
potensi RS untuk mencemari lingkungan dan
kemungkinannya menimbulkan kecelakaan serta penularan
penyakit. Rumah sakit menghasilkan limbah dalam jumlah
besar, beberapa diantaranya membahyakan kesehatan di
lingkungannya. Di negara maju, jumlah limbah diperkirakan
0,5 - 0,6 kilogram per tempat tidur rumah sakit per hari.
Sementara itu, Pemerintah Kota Jakarta Timur telah
melayangkan teguran kepada 23 rumah sakit (RS) yang tidak
mengindahkan surat peringatan mengenai keharusan memiliki
instalasi pengolahan air limbah (IPAL). Berdasarkan data dari
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) Jaktim
yang diterima Pembaruan, dari 26 rumah sakit yang ada di
Jaktim, hanya tiga rumah sakit saja yang memiliki IPAL dan
bekerja dengan baik. Selebihnya, ada yang belum memiliki
IPAL dan beberapa rumah sakit IPAL-nya dalam kondisi rusak
berat. Data tersebut juga menyebutkan, hanya sembilan
rumah sakit saja yang memiliki incinerator. Alat tersebut,
digunakan untuk membakar limbah padat berupa limbah sisa-
sisa organ tubuh manusia yang tidak boleh dibuang begitu
saja. Menurut Kepala BPLHD Jaktim, Surya Darma, pihaknya
sudah menyampaikan surat edaran yang mengharuskan pihak
rumah sakit melaporkan pengelolaan limbahnya setiap tiga
bulan sekali. Sayangnya, sejak dilayangkannya surat edaran
akhir September 2005 lalu, hanya tiga rumah sakit saja yang
memberikan laporan. Menurut Surya, limbah rumah sakit,
khususnya limbah medis yang infeksius, belum dikelola
dengan baik. Sebagian besar pengelolaan limbah
infeksius disamakan dengan limbah medis noninfeksius.
Selain itu, kerap bercampur limbah medis dan nonmedis.
Percampuran tersebut justru memperbesar permasalahan
83
limbah medis. Padahal, limbah medis memerlukan
pengelolaan khusus yang berbeda dengan limbah nonmedis.
Yang termasuk limbah medis adalah limbah infeksius, limbah
radiologi, limbah sitotoksis, dan limbah laboratorium.
Pasalnya, tangki pembuangan seperti itu di Indonesia sebagian
besar tidak memenuhi syarat sebagai tempat pembuangan
limbah. Ironisnya, malah sebagian besar limbah rumah sakit
dibuang ke tangki pembuangan seperti itu. Sementara itu,
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Sudin Kesmas Jaktim
menduga, buruknya pengelolaan limbah rumah sakit karena
pengelolaan limbah belum menjadi syarat akreditasi rumah
sakit. Sedangkan peraturan proses pembungkusan limbah
padat yang diterbitkan Departemen Kesehatan pada 1992 pun
sebagian besar tidak dijalankan dengan benar. Padahal setiap
rumah sakit, selain harus memiliki IPAL, juga harus memiliki
surat pernyataan pengelolaan lingkungan (SPPL) dan surat
izin pengolahan limbah cair. Sementara limbah organ-organ
manusia harus di bakar di incinerator. Persoalannya, harga
incinerator itu
cukup mahal sehingga tidak semua rumah sakit bisa
memilikinya.
Beberapa hal yang patut jadi pemikiran bagi pengelola
rumah sakit, dan jadi penyebab tingginya tingkat penurunan
kualitas lingkungan dari kegiatan rumah sakit antara lain
disebabkan, kurangnya kepedulian manajemen terhadap
pengelolaan lingkungan karena tidak memahami masalah
teknis yang dapat diperoleh dari kegiatan pencegahan
pencemaran, kurangnya komitmen pendanaan bagi upaya
pengendalian pencemaran karena menganggap bahwa
pengelolaan rumah sakit untuk menghasilkan uang bukan
membuang uang mengurusi pencemaran, kurang memahami
apa yang disebut produk usaha dan masih banyak lagi
kekurangan lainnya. Untuk itu, upaya-upaya yang harus
dilakukan rumah sakit adalah, mulai dan membiasakan untuk
mengidentifikasi dan memilah jenis limbah berdasarkan
84
teknik pengelolaan (Limbah B3, infeksius, dapat digunapakai
atau guna ulang). Meningkatkan pengelolaan dan pengawasan
serta pengendalian terhadap pembelian dan penggunaan,
pembuangan bahan kimia baik B3 maupun non B3. Memantau
aliran obat mencakup pembelian dan persediaan serta
meningkatkan pengetahuan karyawan terhadap pengelolaan
lingkungan melalui pelatihan dengan materi pengolahan
bahan, pencegahan pencemaran, pemeliharaan peralatan serta
tindak gawat darurat.

VIII.3 Jenis Limbah Rumah Sakit Dan Dampaknya


Terhadap Kesehatan Serta Lingkungan
Limbah rumah Sakit adalah semua limbah yang
dihasilkan oleh kegiatan rumah sakit dan kegiatan penunjang
lainnya. Mengingat dampak yang mungkin timbul, maka
diperlukan upaya pengelolaan yang baik meliputi pengelolaan
sumber daya manusia, alat dan sarana, keuangan dan
tatalaksana pengorganisasian yang ditetapkan dengan tujuan
memperoleh
kondisi rumah sakit yang memenuhi persyaratan kesehatan
lingkungan. Limbah rumah Sakit bisa mengandung
bermacam-macam mikroorganisme bergantung pada jenis
rumah sakit, tingkat pengolahan yang dilakukan sebelum
dibuang. Limbah cair rumah sakit dapat mengandung bahan
organik dan anorganik yang umumnya diukur dan parameter
BOD, COD, TSS, dan lain-lain. Sedangkan limbah padat rumah
sakit terdiri atas sampah mudah membusuk, sampah mudah
terbakar, dan lain-lain. Limbah- limbah tersebut kemungkinan
besar mengandung mikro organisme patogen atau bahan
kimia beracun berbahaya yang menyebabkan penyakit infeksi
dan dapat tersebar ke lingkungan rumah sakit yang
disebabkan oleh teknik pelayanan kesehatan yang kurang
memadal, kesalahan penanganan bahan-bahan terkontaminasi
dan peralatan, serta penyediaan dan pemeliharaan sarana
sanitasi yang masib buruk. Pembuangan limbah yang
85
berjumlah cukup besar ini paling baik jika dilakukan dengan
memilah-milah limbah ke dalam pelbagai kategori. Untuk
masing-masing jenis kategori diterapkan cara pembuangan
limbah yang berbeda. Prinsip umum pembuangan limbah
rumah
sakit adalah sejauh mungkin menghindari resiko kontaminsai
dan trauma (injury).
Jenis-jenis limbah rumah sakit meliputi bagian berikut ini :

a. Limbah Klinik
Limbah dihasilkan selama pelayanan pasien secara rutin,
pembedahan dan di unit-unit resiko tinggi. Limbah ini
mungkin berbahaya dan mengakibatkan resiko tinggi infeksi
kuman dan populasi umum dan staff rumah sakit. Oleh karena
itu perlu diberi label yang jelas sebagai resiko tinggi. contoh
limbah jenis tersebut ialah perban atau pembungkus yang
kotor, cairan badan, anggota badan yang diamputasi, jarum-
jarum dan semprit bekas, antung urin dan produk darah.

b. Limbah Patologi
Limbah ini juga dianggap beresiko tinggi dan sebaiknya
diotoklaf sebelum keluar dari unitpatologi. Limbah tersebut
harus diberi label biohazard.

c. Limbah Bukan Klinik


Limbah ini meliputi kertas-kertas pembungkus atau
kantong dan plastik yang tidak berkontak dengan cairan
badan. Meskipun tidak menimbulkan resiko sakit, limbah
tersebut cukup merepotkan karena memerlukan tempat yang
besar untuk mengangkut dan mambuangnya.

d. Limbah Dapur
Limbah ini mencakup sisa-sisa makanan dan air kotor.
Berbagai serangga seperti kecoa, kutu dan hewan mengerat
86
seperti tikus merupakan gangguan bagi staff maupun pasien di
rumah sakit.

e. Limbah Radioaktif
Walaupun limbah ini tidak menimbulkan persoalan
pengendalian infeksi di rumah sakit, pembuangannya secara
aman perlu diatur dengan baik.

VIII.4 Pencegahan Pengolahan Limbah Pada


Pelayanan Kesehatan
Pengolahan limbah pada dasarnya merupakan upaya
mengurangi volume, konsentrasi atau bahaya limbah, setelah
proses produksi atau kegiatan, melalui proses fisika, kimia
atau hayati. Dalam pelaksanaan pengelolaan limbah, upaya
pertama yang harus dilakukan adalah upaya preventif yaitu
mengurangi volume bahaya limbah yang dikeluarkan ke
lingkungan yang meliputi upaya mengunangi limbah pada
sumbernya, serta upaya pemanfaatan limbah. Program
minimisasi limbah di Indonesia baru mulai digalakkan, bagi
rumah sakit masih merupakan hal baru, yang tujuannya untuk
mengurangi jumlah limbah dan pengolahan limbah yang
masih mempunyainilai ekonomi.
Berbagai upaya telah dipergunakan untuk mengungkap-
kan pilihan teknologi mana yang terbaik untuk pengolahan
limbah, khususnya limbah berbahaya antara lain reduksi
limbah
(waste reduction), minimisasi limbah (waste minimization),
pemberantasan limbah (wasteabatement), pencegahan
pencemaran (waste prevention) dan reduksi pada sumbemya
(sourcereduction).
Reduksi limbah pada sumbernya merupakan upaya yang
harus dilaksanakan pertama kali karena upaya ini bersifat
preventif yaitu mencegah atau mengurangi terjadinya limbah
yang keluar dan proses produksi. Reduksi limbah pada
sumbernya adalah upaya mengurangi volume, konsentrasi,
87
toksisitas dan tingkat bahaya limbah yang akan keluar ke
lingkungan secara preventif langsung pada sumber pencemar,
hal ini banyak memberikan keuntungan yakni meningkatkan
efisiensi kegiatan serta mengurangi biaya pengolahan limbah
dan pelaksanaannya relatif murah.
Berbagai cara yang digunakan untuk reduksi limbah pada
sumbernya adalah :
1. House Keeping yang baik, usaha ini dilakukan oleh
rumah sakit dalam menjaga kebersihan lingkungan
dengan mencegah terjadinya ceceran, tumpahan atau
kebocoran bahan serta menangani limbah yang terjadi
dengan sebaik mungkin.
2. Segregasi aliran limbah, yakni memisahkan berbagai
jenis aliran limbah menurut jenis komponen,
konsentrasi atau keadaanya, sehingga dapat
mempermudah, mengurangi volume, atau mengurangi
biaya pengolahan limbah.
3. Pelaksanaan preventive maintenance, yakni
pemeliharaan/ penggantian alat atau bagian alat
menurut waktu yang telah dijadwalkan.
4. Pengelolaan bahan (material inventory), adalah suatu
upaya agar persediaan bahan selalu cukup untuk
menjamin kelancaran proses kegiatan, tetapi tidak
berlebihan sehiugga tidak menimbulkan gangguan
lingkungan, sedangkan penyimpanan agar tetap rapi dan
terkontrol.
5. Pengaturan kondisi proses dan operasi yang baik: sesuai
dengan petunjuk pengoperasian/penggunaan alat dapat
meningkatkan efisiensi.
6. Penggunaan teknologi bersih yakni pemilikan teknologi
proses kegiatan yang kurang potensi untuk
mengeluarkan limbah B3 dengan efisiensi yang cukup
tinggi, sebaiknya dilakukan pada saat pengembangan
rumah sakit baru atau penggantian sebagian unitnya.

88
Kebijakan kodifikasi penggunaan warna untuk memilah-
milah limbah di seluruh rumah sakit harus memiliki warna
yang sesuai, sehingga limbah dapat dipisah-pisahkan di
tempat sumbernya, perlu memperhatikan hal-hal berikut :
1. Bangsal harus memiliki dua macam tempat limbah
dengan dua warna, satu untuk limbah klinik dan yang
lain untuk bukan klinik.
2. Semua limbah dari kamar operasi dianggap sebagai
limbah klinik.
3. Limbah dari kantor, biasanya berupa alat-alat tulis,
dianggap sebagai limbah klinik.
4. Semua limbah yang keluar dari unit patologi harus
dianggap sebagai limbah klinik dan perlu dinyatakan
aman sebelum dibuang.

Beberapa hal perlu dipertimbangkan dalam


merumuskan kebijakan kodifikasi dengan warna yang
menyangkut hal-hal berikut :
1. Pemisahan limbah
• Limbah harus dipisahkan dari sumbernya

• Semua limbahberesiko tinggi hendaknya diberi label jelas

• Perlu digunakan kantung plastik dengan warna-warna


yang berbeda, yang menunjukkan ke mana plastik harus
diangkut untuk insinerasi atau dibuang. Di beberapa
negara, kantung plastik cukup mahal sehingga sebagai
ganti dapat digunakan kantung kertas yang tahan bocor
(dibuat secara lokal sehingga dapat diperoleh dengan
mudah). Kantung kertas ini dapat ditempeli dengan strip
berwarna, kemudian ditempatkan di tong dengan kode
warna dibangsal dan unit-unit lain
2. Penyimpanan limbah

89
• Kantung-kantung dengan warna harus dibuang jika telah
berisi 2/3 bagian. Kemudian diikat bagian atasnya dan
diberi label yang jelas
• Kantung harus diangkut dengan memegang lehernya,
sehingga kalau dibawa mengayun menjauhi badan, dan
diletakkan di tempat-tempat tertentu untuk
dikumpulkan.
• Petugas pengumpul limbah harus memastikan kantung-
kantung dengan warna yang samatelah dijadikan satu
dan dikirim ke tempat yang sesuai.

• Kantung harus disimpan di kotak-kotak yang kedap


terhadap kutu dan hewan perusak sebelum diangkut ke
tempat pembuangannya.

3. Penanganan limbah
• Kantung-kantung dengan kode warna hanya boleh
diangkut bila telah ditutup
• Kantung dipegang pada lehernya
• Petugas harus mengenakan pakaian pelindung, misalnya
dengan memakai sarung tangan yang kuat dan pakaian
terusan (overal), pada waktu mengangkut kantong
tersebut
• Jika terjadi kontaminasi diluar kantung diperlukan
kantung baru yang bersih untuk membungkus kantung
baru yang kotor tersebut seisinya (double bagging)
• Petugas diharuskan melapor jika menemukan benda-
benda tajam yang dapat mencederainya di dalma kantung
yang salah
• Tidak ada seorang pun yang boleh memasukkan
tangannya kedalam kantung limbah
4. Pengangkutan limbah
Kantung limbah dikumpulkan dan seklaigus dipisahkan
menurut kode warnanya. Limbah bagian bukan klinik
misalnya dibawa ke kompaktor, limbah bagian klinik dibawa
90
ke insinerator. Pengankutan dengan kendaran khusus
(mungkin ada kerjasama dengan Dinas Pekerjaan Umum)
kendaraan yang digunakan untuk mengankut limbah tersebut
sebaiknya dikosongkan dan dibersihkan tiap hari, kalau perlu
(misalnya bila ada kebocoran kantung limbah) dibersihkan
dengan menggunakan larutan klorin.

5. Pembuangan limbah
Setelah dimanfaatkan dengan kompaktor, limbah bukan
klinik dapat dibuang ditempat penimbunan sampah (land-fill
site), limbah klinik harus dibakar (insinerasi), jika tidak
mungkin harus ditimbun dengan kapur dan ditanam limbah
dapur sebaiknya dibuang pada hari yang sama sehingga tidak
sampai membusuk.

Kemudian mengenai limbah gas, upaya pengelolaannya


lebih sederhana dibanding dengan limbah cair, pengelolaan
limbah gas tidak dapat terlepas dari upaya penyehatan
ruangan dan bangunan khususnya dalam memelihara kualitas
udara ruangan (indoor) yang antara lain disyaratkan agar :

• Tidak berbau (terutania oleh gas H2S dan Anioniak);


• Kadar debu tidak melampaui 150 Ug/m3 dalam
pengukuran rata-rata selama 24 jam.
• Angka kuman. Ruang operasi : kurang dan 350 kalori/m3
udara dan bebas kuman padao gen (khususnya alpha
streptococus haemoliticus) dan spora gas gangrer. Ruang
perawatan dan isolasi : kurang dan 700 kalorilm3 udara
dan bebas kuman patogen. Kadar gas dan bahan
berbahaya dalam udara tidak melebihi konsentrasi
maksimum yang telah ditentukan.
Rumah sakit yang besar mungkin mampu membeli
insinerator sendiri. insinerator berukuran kecil atau menengah
dapat membakar pada suhu 1300 - 1500o C atau lebih tinggi
dan
91
mungkin dapat mendaur ulang sampai 60% panas yang
dihasilkan untuk kebutuhan energy rumah sakit. Suatu rumah
sakit dapat pula memperoleh penghasilan tambahan dengan
melayani insinerasi limbah rumah sakityang berasal dari
rumah sakitlain. Insinerator modern yang baik tentu saja
memiliki beberapa keuntungan antara lain kemampuannya
menampung limbah klinik maupun bukan klinik, termasuk
benda tajam dan produk farmasi yang tidak terpakai.
Jika fasilitas insinerasi tidak tersedia, limbah klinik
dapat ditimbun dengan kapur dan ditanam. Langkah-langkah
pengapuran (liming) tersebut meliputi yang berikut :
• Menggali lubang, dengan kedalaman sekitar 2,5 meter.
• Tebarkan limbah klinik didasar lubang sampai setinggi 75
cm.
• Tambahkan lapisan kapur.
• Lapisan limbah yang ditimbun lapisan kapur masih bisa
ditambahkan sampai ketinggian 0,5 meter dibawah
permukaan tanah.
• Akhirnya lubang tersebut harus dituutup dengan tanah.

VIII.7 Ozonisasi Pengolahan Limbah Medis


Limbah cair yang dihasilkan dari sebuah rumah sakit
umumnya banyak mengandung bakteri,virus, senyawa kimia,
dan obat-obatan yang dapat membahayakan bagi kesehatan
masyarakat sekitar rumah sakittersebut. Dari sekian banyak
sumber limbah di rumah sakit, limbah dari laboratorium
paling perlu diwaspadai. Bahan-bahan kimia yang digunakan
dalam proses uji laboratorium tidak bisa diurai hanya dengan
aerasi atau activated sludge. Bahan-bahan itu mengandung
logam berat dan inveksikus, sehingga harus disterilisasi atau
dinormalkan sebelum "dilempar" menjadi limbah
tak berbahaya. Untuk foto rontgen misalnya, ada cairan
tertentu yang mengandung radioaktif yang cukup berbahaya.
Setelah bahan ini digunakan.
limbahnya dibuang.
92
Teknologi Pengolahan Limbah
Teknologi pengolahan limbah medis yang sekarang
jamak dioperasikan hanya berkisar antara masalah tangki
septik dan insinerator. Keduanya sekarang terbukti memiliki
nilai negatif
besar. Tangki septik banyak dipersoalkan lantaran rembesan
air dari tangki yang dikhawatirkan dapat mencemari tanah.
Terkadang ada beberapa rumah sakit yang membuang hasil
akhir dari tangki septik tersebut langsung ke sungai-sungai,
sehingga dapat dipastikan sungai tersebut mulai mengandung
zat medis.
Sedangkan insinerator, yang menerapkan teknik
pembakaran pada sampah medis, juga bukan berarti tanpa
cacat. Badan Perlindungan Lingkungan AS menemukan teknik
insenerasi merupakan sumber utama zat dioksin yang sangat
beracun. Penelitian terakhir menunjukkan zat dioksin inilah
yang menjadi pemicu tumbuhnya kanker pada tubuh. Yang
sangat menarik dari permasalahan ini adalah ditemukannya
teknologi pengolahan limbah dengan metode ozonisasi. Salah
satu metode sterilisasi limbah cair rumah sakit yang
direkomendasikan United States Environmental Protection
Agency (USEPA) pada tahun 1999. Teknologi ini sebenarnya
dapat juga diterapkan untuk mengelola limbah pabrik tekstil,
cat, kulit, dan lain-lain.

Ozonisasi
Proses ozonisasi telah dikenal lebih dari seratus tahun
yang lalu. Proses ozonisasi atau proses dengan menggunakan
ozon pertama kali diperkenalkan Nies dari Prancis sebagai
metode sterilisasi pada air minum pada tahun 1906.
Penggunaan proses ozonisasi kemudian berkembang sangat
pesat. Dalam kurun waktu kurang dari 20 tahun terdapat
kurang lebih 300 lokasi pengolahan air minum menggunakan
ozonisasi untuk proses sterilisasinya di Amerika.
93
Dewasa ini, metode ozonisasi mulai banyak
dipergunakan untuk sterilisasi bahan makanan, pencucian
peralatan kedokteran, hingga sterilisasi udara pada ruangan
kerja di perkantoran. Luasnya penggunaan ozon ini tidak
terlepas dari sifat ozon yang dikenal memiliki sifat radikal
(mudah bereaksi dengan senyawa disekitarnya) serta memiliki
oksidasi potential 2.07 V. Selain itu, ozon telah dapat dengan
mudah dibuat dengan menggunakan plasma seperti corona
discharge. Melalui proses oksidasinya pula ozon mampu
membunuh berbagai macam mikroorganisma seperti bakteri
Escherichia coli, Salmonella enteriditis, Hepatitis A Virus serta
berbagai mikroorganisma patogen lainnya. Melalui
proses oksidasi langsung ozon akan merusak dinding bagian
luar sel mikroorganisma (cell lysis) sekaligus membunuhnya.
Juga melalui proses oksidasi oleh radikal bebas seperti
hydrogen peroxy (HO2) dan hydroxyl radical (OH) yang
terbentuk ketika ozon terurai dalam air. Seiring dengan
perkembangan teknologi, dewasa ini ozon mulai banyak
diaplikasikan dalam mengolah limbah cair domestik dan
industri.

Ozonisasi Limbah cair rumah sakit


Limbah cair yang berasal dari berbagai kegiatan
laboratorium, dapur, laundry, toilet, dan lain sebagainya
dikumpulkan pada sebuah kolam equalisasi lalu dipompakan
ke tangki reactor untuk dicampurkan dengan gas ozon. Gas
ozon yang masuk dalam tangki reaktor bereaksi mengoksidasi
senyawa organik dan membunuh bakteri patogen pada limbah
cair.
Limbah cair yang sudah teroksidasi kemudian dialirkan
ke tangki koagulasi untuk dicampurkan koagulan. Lantas
proses sedimentasi pada tangki berikutnya. Pada proses ini,
polutan mikro, logam berat dan lain-lain sisa hasil proses
oksidasi dalam tangki reaktor dapat diendapkan.

94
Selanjutnya dilakukan proses penyaringan pada tangki
filtrasi. Pada tangki ini terjadi proses adsorpsi, yaitu proses
penyerapan zat-zat pollutan yang terlewatkan pada proses
koagulasi. Zat-zat polutan akan dihilangkan permukaan
karbon aktif. Apabila seluruh permukaan karbon aktif ini
sudah jenuh, atau tidak mampu lagi menyerap maka proses
penyerapan akan
berhenti, dan pada saat ini karbon aktif harus diganti dengan
karbon aktif baru atau didaur ulang dengan cara dicuci. Air
yang keluar dari filter karbon aktif untuk selanjutnya dapat
dibuang dengan aman ke sungai.
Ozon akan larut dalam air untuk menghasilkan hidroksil
radikal (-OH), sebuah radikal bebas yang memiliki potential
oksidasi yang sangat tinggi (2.8 V), jauh melebihi ozon (1.7 V)
dan chlorine (1.36 V). Hidroksil radikal adalah bahan
oksidator yang dapat mengoksidasi berbagai senyawa organik
(fenol, pestisida, atrazine, TNT, dan sebagainya). Sebagai
contoh, fenol yang teroksidasi oleh hidroksil radikalakan
berubah menjadi hydroquinone, resorcinol, cathecol untuk
kemudian teroksidasi kembali menjadi asam oxalic dan asam
formic, senyawa organik asam yang lebih kecil yang mudah
teroksidasi dengan kandungan oksigen yang di sekitarnya.
Sebagai hasil akhir dari proses oksidasi hanya akan didapatkan
karbon dioksida dan air (Harper, 1986). Hidroksil radikal
berkekuatan untuk mengoksidasi senyawa organic juga dapat
dipergunakan dalam proses sterilisasi berbagai jenis
mikroorganisma, menghilangkan bau, dan menghilangkan
warna pada limbah cair. Dengan demikian akan dapat
mengoksidasi senyawa organik serta membunuh bakteri
patogen, yang banyak terkandung dalam limbah cair rumah
sakit (Wilson, 1986). Pada saringan karbon aktif akan terjadi
proses adsorpsi, yaitu proses penyerapan zat-zat yang akan
diserap oleh permukaan karbon aktif. Apabila seluruh
permukaan karbon aktif ini sudah jenuh, proses penyerapan

95
akan berhenti. Maka, karbon aktif harus diganti baru atau
didaur ulang dengan cara dicuci.
Dalam aplikasi sistem ozonisasi sering dikombinasikan
dengan lampu ultraviolet atau hidrogen peroksida.Dengan
melakukan kombinasi ini akan didapatkan dengan mudah
hidroksil radikal dalam air yang sangat dibutuhkan dalam
proses oksidasi senyawa organik. Teknologi oksidasi ini tidak
hanya dapat menguraikan senyawa kimia beracun yang berada
dalam air, tapi juga sekaligus menghilangkannya sehingga
limbah padat (sludge) dapat diminimalisasi hingga mendekati
100%. Dengan pemanfaatan sistem ozonisasi ini dapat pihak
rumah sakittidak hanya dapat mengolah limbahnya tapi juga
akan dapat menggunakan kembali air limbah yang telah
terproses (daur ulang). Teknologi ini, selain efisiensi waktu
juga cukup ekonomis, karena tidak memerlukan tempat
instalasi yang luas.
Kegiatan rumah sakit yang sangat kompleks tidak saja
memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tetapi
juga mungkin dampak negatif. Dampak negatif itu berupa
cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang
tanpa pengelolaan yang benar. Pengelolaan limbah rumah
sakityang tidak baik akan memicu resiko terjadinya kecelakaan
kerja dan penularan penyakit darin pasien ke pekerja, dari
pasien ke pasien dari pekerja ke pasien maupun dari dan
kepada masyarakat pengunjung rumah sakit. Oleh sebab itu
untuk menjamin keselamatan dan kesehatan tenaga kerja
maupun orang lain yang berada di lingkungan rumah sakit
dana sekitarnya, perlu penerapan kebijakan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja, dengan
melaksanakan kegiatan pengelolaan dan monitoring limbah
rumah sakitsebagai salah astu indikator penting yang perlu
diperhatikan. Rumah sakit sebagai institusi yang
sosioekonomis karena tugasnya memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat, tidak terlepas dari tanggung
jawab pengelolaan limbah yang dihasilkan.
96
97
BAB IX
ATURAN PEMERINTAH MENGENAI
PENGELOLAAN LIMBAH PADA KLINIK

Latar Belakang

98
K
egiatan rumah sakit menghasilkan berbagai macam
limbah yang berupa benda cair, padat dan gas.
Limbah-limbah rumah sakit berbeda dengan limbah-
limbah rumah tangga. Sebab limah dari rumah sakit
tidak dipungkiri mengandung zat-zat yang berbahaya seperti
kuman infeksi. Pengelolaan limbah rumah sakit adalah bagian
dari kegiatan penyehatan lingkungan di rumah sakit yang
bertujuan untuk melindungi masyarakat dari bahaya
pencemaran lingkungan yang bersumber dari limbah rumah
sakit. Namun hingga saat ini untuk menciptakan kebersihan di
rumah sakit merupakan upaya yang cukup sulit dan bersifat
kompleks berhubungan dengan berbagai aspek antara lain
budaya/kebiasaan, prilaku masyarakat, kondisi lingkungan,
sosial dan teknologi.
Sampah atau limbah rumah sakit dapat mengandung
bahaya karena dapat bersifat racun, infeksius dan juga
radioaktif. Karena kegiatan atau sifat pelayanan yang
diberikan, maka rumah sakit menjadi depot segala macam
penyakit yang ada di masyarakat, bahkan dapat pula sebagai
sumber distribusi penyakit karena selalu dihuni,
dipergunakan, dan dikunjungi oleh orang-orang yang rentan
dan lemah terhadap penyakit. Di tempat ini dapat terjadi
penularan baik secara langsung (cross infection), melalui
kontaminasi benda-benda ataupun melalui serangga (vector
borne infection) sehingga dapat mengancam kesehatan
masyarakat umum. Oleh karena itu, perlu adanya aturan yang
tegas mengenai pengeloaan limbah rumah sakit. Dalam
makalah ini akan dibahas beberapa aturan yang berlaku
mengenai cara pengelolaan limbah rumah sakit yang sesuai
dengan prosedur dan sesuai standar.

99
IX.1 UU RI No.44 Tahun 2009
Salah satu undang-undang di Indonesia yang mengatur
mengenai pengeloaan limbah rumah sakit, yaitu Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009 Pasal 11
ayat 1 yang berbunyi bahwa pengelolaan limbah di rumah sakit
dilaksanakan meliputi pengelolaan limbah padat, cair, bahan
gas yang bersifat infeksius, bahan kimia beracun dan sebagian
bersifat radioaktif, yang diolah secara terpisah.1

IX.2 Peraturan Menteri Kesehatan Republik


Indonesia Nomor 27 Tahun 2017
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 27 Tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
mengatur beberapa poin penting, yaitu:2
a. Risiko limbah
Rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain
sebagai sarana pelayanan kesehatan adalah tempat
berkumpulnya orang sakit maupun sehat, dapat menjadi
tempat sumber penularan penyakit serta memungkinkan
terjadinya pencemaran lingkungan dan gangguan
kesehatan, juga menghasilkan limbah yang dapat
menularkan penyakit. Untuk menghindari risiko
tersebut maka diperlukan pengelolaan limbah di fasilitas
pelayanan kesehatan.
b. Jenis Limbah
Fasilitas pelayanan kesehatan harus mampu melakukan
minimalisasi limbah yaitu upaya yang dilakukan untuk
mengurangi jumlah limbah yang dihasilkan dengan cara

100
mengurangi bahan (reduce), menggunakan kembali
limbah (reuse) dan daur ulang limbah (recycle).
c. Tujuan Pengelolaan Limbah
1) Melindungi pasien, petugas kesehatan,
pengunjung dan masyarakat sekitar fasilitas
pelayanan kesehatan dari penyebaran infeksi dan
cidera
2) Membuang bahan-bahan berbahaya (sitotoksik,
radioaktif, gas, limbah infeksius, limbah kimiawi
dan farmasi) dengan aman.
d. Proses Pengelolaan Limbah
Proses pengelolaan limbah dimulai dari identifikasi,
pemisahan, labeling, pengangkutan, penyimpanan
hingga pembuangan/pemusnahan.
1) Identifikasi jenis limbah:
Secara umum limbah medis dibagi menjadi padat, cair,
dan gas. Sedangkan kategori limbah medis padat
terdiridari benda tajam, limbah infeksius, limbah
patologi, limbah sitotoksik, limbah tabung bertekanan,
limbah genotoksik, limbah farmasi, limbah dengan
kandungan logam berat, limbah kimia, dan limbah
radioaktif.
2) Pemisahan Limbah2
Pemisahan limbah dimulai pada awal limbah dihasilkan
dengan memisahkan limbah sesuai dengan jenisnya.
Tempatkan limbah sesuai dengan jenisnya, antara lain:
 Limbah infeksius: Limbah yang terkontaminasi darah
dan cairan tubuh masukkan kedalam kantong plastik
berwarna kuning.

101
Contoh: sampel laboratorium, limbah patologis
(jaringan, organ, bagian dari tubuh, otopsi, cairan
tubuh, produk darah yang terdiri dari serum, plasma,
trombosit dan lain-lain), diapers dianggap limbah
infeksius bila bekas pakai pasien infeksi saluran cerna,
menstruasi dan pasien dengan infeksi yang di
transmisikan lewat darah atau cairan tubuh lainnya.
 Limbah non-infeksius: Limbah yang tidak
terkontaminasi darah dan cairan tubuh, masukkan ke
dalam kantong plastik berwarna hitam. Contoh:
sampah rumah tangga, sisa makanan, sampah kantor.
 Limbah benda tajam: Limbah yang memiliki
permukaan tajam, masukkan kedalam wadah tahan
tusuk dan air. Contoh: jarum, spuit, ujung infus, benda
yang berpermukaan tajam.
 Limbah cair segera dibuang ke tempat
pembuangan/pojok limbah cair (spoelhoek).
3) Wadah tempat penampungan sementara limbah
infeksius berlambang biohazard. Wadah limbah di
ruangan:2
 Harus tertutup
 Mudah dibuka dengan menggunakan pedal kaki
 Bersih dan dicuci setiap hari
 Terbuat dari bahan yang kuat, ringan dan tidak
berkarat
 Jarak antar wadah limbah 10-20 meter, diletakkan di
ruang tindakan dan tidak boleh di bawah tempat tidur
pasien
 Ikat kantong plastik limbah jika sudah terisi ¾ penuh
4) Pengangkutan2
102
 Pengangkutan limbah harus menggunakan troli khusus
yang kuat, tertutup dan mudah dibersihkan, tidak
boleh tercecer, petugas menggunakan APD ketika
mengangkut limbah.
 Lift pengangkut limbah berbeda dengan lift pasien, bila
tidak memungkinkan atur waktu pengangkutan limbah
5) Tempat Penampungan Limbah Sementara2
 Tempat Penampungan Sementara (TPS) limbah
sebelum dibawa ke tempat penampungan akhir
pembuangan.
 Tempatkan limbah dalam kantong plastik dan ikat
dengan kuat.
 Beri label pada kantong plastik limbah.
 Setiap hari limbah diangkat dari TPS minimal 2 kali
sehari
 Mengangkut limbah harus menggunakan kereta dorong
khusus.
 Kereta dorong harus kuat, mudah dibersihkan, tertutup
limbah tidak boleh ada yang tercecer
 Gunakan APD ketika menangani limbah
 TPS harus di area terbuka, terjangkau oleh kendaraan,
aman dan selalu dijaga kebersihannya dan kondisi
kering.
6) Pengolahan Limbah2
 Limbah infeksius dimusnahkan dengan insenerator
 Limbah non-infeksius dibawa ke tempat pembuangan
akhir (TPA)
 Limbah benda tajam dimusnahkan dengan insenerator.
Limbah cair dibuang ke spoelhoek

103
 Limbah feces, urin, darah dibuang ke tempat
pembuangan/pojok limbah (spoelhoek).
7) Penanganan Limbah Benda Tajam/ Pecahan Kaca2
 Jangan menekuk atau mematahkan benda tajam.
 Jangan meletakkan limbah benda tajam sembarang
tempat
 Segera buang limbah benda tajam ke wadah yang
tersedia tahan tusuk dan tahan air dan tidak bisa
dibuka lagi.
 Selalu buang sendiri oleh si pemakai
 Tidak menyarungkan kembali jarum suntik habis pakai
(recapping)
 Wadah benda tajam diletakkan dekat lokasi tindakan
 Bila menangani limbah pecahan kaca gunakan sarung
tangan rumah tangga
 Wadah Penampung Limbah Benda Tajam:
a) Tahan bocor dan tahan tusukan
b) Harus mempunyai pegangan yang dapat dijinjing
dengan satu tangan
c) Mempunyai penutup yang tidak dapat dibuka lagi
d) Bentuknya dirancang agar dapat digunakan
dengan satu tangan
e) Ditutup dan diganti setelah ¾ bagian terisi dengan
limbah
f) Ditangani bersama limbah medis
8) Pembuangan Benda Tajam2
 Wadah benda tajam merupakan limbah medis dan
harus dimasukkan ke dalam kantong medis sebelum
insinerasi.

104
 Idealnya semua benda tajam dapat diinsinersi, tetapi
bila tidak mungkin dapat dikubur dan dikapurisasi
bersama limbah lain
 Apapun metode yang digunakan haruslah tidak
memberikan kemungkinan perlukaan.
Debu sisa pembakaran dari hasil incinerator dapat
menimbulkan resiko, debu hasil pembakaran incinerator
dapat terdiri dari logam berat dan bahan toksik lain sehingga
menimbulkan situasi yang menyebabkan sintesa DIOXIN dan
FURAN akibat dari incinerator sering bersuhu area 200-
450ᵒC. Selain itu sisa pembakaran jarum dan gelas yang sudah
terdesinfeksi tidak bisa hancur menjadi debu dapat masih
menimbulkan resiko pajanan fisik. Metode penanganan
autoclave dan disinfeksi dengan uap panas juga dapat
menimbulkan produk hazard yang perlu penanganan yang
lebih baik. Pada prinsipnya, untuk menghindari pajanan fisik
maka perlu perawatan dan operasional incinerator yang baik.2

IX.3 Peraturan Menteri Kesehatan RI Tahun 2012


Manajemen limbah dan benda tajam:3
1. Peraturan pembuangan limbah sesuai peraturan lokal
yang berlaku
2. Pastikan bahwa tenaga pelayanan kesehatan gigi yang
menangani limbah medis di training tentang
penanganan limbah yang tepat, metode pembuangan
dan bahaya kesehatan
3. Gunakan kode warna dan label kontainer, warna kuning
untuk limbah infeksius dan warna hitam untuk limbah
non infeksius.

105
4. Tempatkan limbah tajam seperti jarum, blade scapel,
orthodontic bands, pecahan instrumen metal dan bur
pada kontainer yang tepat yaitu tahan tusuk dan tahan
bocor, kode warna kuning
5. Darah, cairan suction atau limbah cair lain dibuang ke
dalam drain yang terhubung dengan sistem sanitary
6. Buang gigi yang dicabut ke limbah infeksius, kecuali
diberikan kepada keluarga.

IX.4 Keputusan Menteri Kesehatan RI No:


1087/MENKES/SK/VIII/2010
Limbah medis Rumah Sakit termasuk kedalam kategori
limbah berbahaya dan beracun yang sangat penting untuk
dikelola secara benar. Sebagian limbah medis termasuk
kedalam kategori limbah berbahaya dan sebagian lagi
termasuk kategori infeksius.4
Limbah medis berbahaya yang berupa limbah kimiawi,
limbah farmasi, logam berat, limbah genotoxic dan wadah
bertekanan masih banyak yang belum dikelola dengan baik.
Sedangkan limbah infeksius merupakan limbah yang bisa
menjadi sumber penyebaran penyakit baik kepada SDM
Rumah Sakit, pasien, pengunjung/pengantar pasien ataupun
masyarakat di sekitar lingkungan Rumah Sakit. Limbah
infeksius biasanya berupa jaringan tubuh pasien, jarum suntik,
darah, perban, biakan kultur, bahan atau perlengkapan yang
bersentuhan dengan penyakit menular atau media lainnya
yang diperkirakan tercemari oleh penyakit pasien. Pengelolaan
lingkungan yang tidak tepat akan berisiko terhadap penularan
penyakit. Beberapa risiko kesehatan yang mungkin
ditimbulkan akibat keberadaan rumah sakit antara lain:

106
penyakit menular (hepatitis, diare, campak, AIDS, influenza),
bahaya radiasi (kanker, kelainan organ genetik) dan risiko
bahaya kimia. 4
Beberapa peraturan yang mengatur tentang pengelolaan
lingkungan Rumah Sakit antara lain diatur dalam : 4
1. Permenkes 1204/Menkes/PerXI/2004, mengatur
tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan
Rumah Sakit
2. Kepmen KLH 58/1995, mengatur tentang Baku
Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Rumah Sakit
3. PP18 tahun 1999 jo PP 85 tahun 1999, mengatur
tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
Beracun (B3)
4. Kepdal 01- 05 tahun 1995 tentang pengelolaan
limbah B3.
Limbah medis termasuk dalam kategori limbah berbahaya dan
beracun (LB3) sesuai dengan PP 18 thn 1999 jo PP 85 thn 1999
lampiran I daftar limbah spesifik dengan kode limbah D 227.
Dalam kode limbah D227 tersebut disebutkan bahwa limbah
rumah sakit dan limbah klinis yang termasuk limbah B3
adalah limbah klinis, produk farmasi kadaluarsa, peralatan
laboratorium terkontaminasi, kemasan produk farmasi,
limbah laboratorium, dan residu dari proses insinerasi. 4

IX.5 Pengolahan Limbah Medis Berdasarkan


Kementrian Lingkungan Hidup
Sebagaimana limbah B3 lainnya, pengelolaan limbah
medis juga dilakukan dengan cara: minimisasi dan pemilahan,
penyimpanan sementara, pengangkutan, pengolahan atau
pemanfaatan, dan penimbunan akhir. Khusus limbah medis

107
yang bersifat infeksius, karena karakter bahayanya, terdapat
beberapa metoda dan alat yang sudah dikenal dan biasa
digunakan sebagai sarana penanganan awal, sebelum
pengolahan (misal: insenerasi), yakni:5
1. Dekontaminasi secara kimia (misal: menggunakan
disinfektan)
2. Penggunaan steam autoclaving atau hydroclaving
3. Microwave
4. Pengemasan menggunakan kantong plastik khusus
dan/atau safety box
5. Penyimpanan sementara tanpa atau menggunakan
refrigerasi
6. Kombinasi sebagian atau kesemuanya
Dengan tetap memperhatikan perkembangan teknologi,
serta mempertimbangkan banyak hal berkaitan dengan
manfaat dan mudharatnya, ternyata penanganan limbah
medis menggunakan sistem insenerasi masih merupakan
pilihan terbaik. Insenerasi lebih dominan digunakan sebagai
pengolah limbah medis (khususnya infeksius) di berbagai
penjuru dunia, karena lebih praktis, efektif dan langsung
terlihat hasilnya, serta dari segi biaya relatif murah. Kelebihan
lain, proses insenerasi dapat mengurangi banyak jumlah
massa atau volume limbah B3 (reduksi hingga > 85%),
sehingga memudahkan penanganan berikutnya, a.l:
penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan dan
penimbunan akhir. Pengelolaan limbah medis menggunakan
insenerasi juga membutuhkan waktu relative lebih singkat
dibanding pengolahan secara biologi maupun sistem secured
landfill. Dari sisi kebutuhan lahan, area yang dibutuhkan
untuk penempatan proses insenerasi jauh lebih kecil, sangat

108
cocok untuk rumah rumah sakit di Indonesia yang umumnya
berada di kawasan perkotaan dengan lahan terbatas. 5
Sebagaimana pengelolaan limbah B3 lainnya, pengelolaan
limbah medis meliput banyak kegiatan, hal ini sesuai bunyi
UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, Pasal 1 poin 23, yakni: pengelolaan limbah
B3 adalah kegiatan yang meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan,
dan/atau penimbunan. Jadi, membahas kriteria teknologi
pengelolaan berarti tidak hanya membahas aspek
pengolahannya saja (misal: menggunakan insenerator),
namun sedikit banyak juga perlu membahas aspek
pengelolaan lainnya. 5
Pemilihan dan penetapan teknologi insenerasi sebagai
pengolah limbah medis sebagai pokok bahasan tulisan ini,
tentu dengan memperhatikan berbagai keunggulan sekaligus
kelemahannya. Kabar fakta dari berbagai penjuru dunia bahwa
teknologi insenerasi lebih banyak digunakan sebagai sarana
pengolah limbah medis rumah sakit, setidaknya
menggambarkan bahwa manfaat teknologi tersebut masih
dipandang lebih besar dibanding mudharatnya. 5

Limbah Infeksius dan Benda Tajam


Limbah yang infeksius, seperti kultur dan stok agens
infeksius dari laboratorium harus disterilisasi melalui
pengolahan termal basah (misalnya, proses autoclaving) pada
tahapan yang sedini mungkin. Untuk limbah layanan

109
kesehatan yang infeksius lainnya, metode desinfeksi sudah
memadai.6
Limbah benda tajam harus diinsinerasi jika
memungkinka, dan dapat diinsinerasi bersama limbah
infeksius lainnya. Encapsulation (pembungkusan) juga sesuai
untuk benda tajam. Insinerasi atau metode desinfeksi lain,
residu yang dihasilkan dapat dipendam. Pada kondisi
kedaruratan, misalnya saat kejadian luar biasa penyakit
menular, pembakaran limbah layanan kesehatan yang
infeksius dalam lubang terbuka juga dapat dilakukan jika
metode pengolahan lainnya tidak mungkin untuk dilakukan.6

Limbah Sediaan Farmasi


Manajemen yang tepat untuk produk sediaan farmasi
akan mempermudah minimisasi limbah yang dihasilkan dan
menjadi prioritas pokok untuk mewujudkan sistem
pengelolaan limbah yang lebih baik pada umumnya.
Pembuangan sejumlah kecil limbah bahan kimia atau sediaan
farmasi memang mudah dan relatif murah, jumlah yang besar
akan memerlukan suatu fasilitas pengolahan yang khusus.6
Pilihan metode pembuangan untuk limbah sediaan farmasi
dalam jumlah yang sedikit mencakup:6
1. Pembuangan landfill
Sejumlah kecil limbah sediaan farmasi yang
dihasilkan setiap hari dapat dipendam asalkan jumlah
yang kecil itu tercampur merata dengan limbah
umum yang jumlahnya banyak. Namun obat-obatan
sitotoksik dan narkotik tidak boleh dipendam biarpun
jumlahnya hanya sedikit
2. Encapsulation

110
Sejumlah kecil limbah sediaan farmasi dapat
dikapsulkan bersama dengan limbah tajam jika perlu
3. Pemendaman yang aman di wilayah bangunan rumah
sakit
4. Pembuangan ke saluran pembuangan atau selokan
5. Insinerasi

Health-Care Waste Management (HCWM)


Selama 15 tahun terakhir beberapa upaya telah
dilakukan memperbaiki struktur tata kelola dan kebijakan
untuk perawatan kesehatan pengelolaan limbah atau biasa
disebut Health-Care Waste Management (HCWM) untuk
mengidentifikasi dan menyebarluaskan praktik yang sesuai di
tingkat lokal, nasional dan internasional.7 Masalah kebijakan
dan peraturan seringkali merupakan kelemahan utama dalam
struktur pemerintahan, terutama di kalangan negara yang
berpenghasilan rendah dan menengah. Praktik HCWM sangat
bervariasi dari satu negara ke negara lain, berdasarkan
beberapa faktor seperti kondisi sosio-ekonomi, regulasi,
tingkat pendidikan, sumber daya yang tersedia, pengobatan,
teknologi, dan kapasitas untuk memantau dan mengelola
suatu praktek. Aspek utamanya adalah bahwa terminologi
HCWM di tingkat internasional sangat bervariasi.8
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa strategi
nasional, dengan peraturan dan kebijakan yang tepat,
merupakan faktor pertama untuk memperbaiki tata kelola
struktur pemerintahan struktur untuk HCWM di negara
manapun9. Pemilahan yang aman dari benda tajam adalah
sebuah prioritas utama karena benda tajam diklasifikasikan
sebagai jenis benda yang sangat berbahaya.10 Perlakuan dan

111
pembuangan yang efektif juga merupakan aspek penting
dalam semua aspek di berbagai negara. Sistem HCWM harus
didukung, dengan pemahaman yang jelas bagaimana semua
langkah saling terkait dan saling bergantung.7
Negara-negara dengan wilayah geografis yang sama
memiliki situasi yang sama, terlepas dari beberapa
pengecualian yang jelas, seperti Afrika Selatan di Afrika,
Jepang dan Korea Selatan di Asia, dan Arab Saudi di Timur
Tengah. Beberapa program dan kesepakatan regional
mendukung perbaikan wilayah tertentu, namun faktor lainnya
(misalnya pemisahan limbah dan peraturan,dan pengelolaan
benda tajam) sangat penting. Beberapa negara telah mencapai
standar internasional. Memang lebih banyak perhatian yang
didedikasikan untuk aspek-aspek tertentu, seperti teknologi
pengobatan atau mekanisme transmisi infeksi tertentu, atau
perbaikan lingkungan dan ekonomi keberlanjutan dalam
sistem perawatan kesehatan.7
Kebutuhan umum akan pelatihan diperlukan, terutama untuk
memperjelas definisi dan pemisahan limbah. Meski perhatian
biasanya difokuskan pada staf operasi, seperti pembersih dan
pengumpul sampah, dan terkadang dokter dan perawat,
ternyata semua HCF personil harus dilibatkan. Komitmen dan
langsung keterlibatan langsung harus menjadi prioritas, untuk
menyediakan sumber daya dan bimbingan yang memadai, dan
juga untuk memastikan bahwa HCWM adalah topik utama
untuk HCF.11

Sistem Pengelolaan Limbah Medis di Beberapa


Rumah Sakit

112
Proses pengelolaan sampah di RSUD Blambangan
Banyuwangi terdiri dari serangkaian tahapan. Tahap
pengelolaan sampah antara lain adalah tahap penimbunan,
penyimpanan sementara, pengangkutan ke TPS,
pengumpulan, pengangkutan akhir, dan tahap pemusnahan.
Penimbunan sampah medis sudah memiliki tempat yang
terpisah dengan sampah non medis. Namun kurang adanya
pengawasan dan kedisiplinan dari karyawan baik dari petugas
pengelola sampah maupun perawat atau karyawan dari
masing-masing ruangan karena terkadang masih ditemui
tercampurnya pembuangan sampah medis dan non medis.
Penyimpanan sementara sampah medis dan non medis di
RSUD Blambangan yaitu tempat sampah yang berukuran 20
Liter. Bak sampah non medis ditampung dalam bak sampah
berwarna hitam dan hijau dilengkapi tutup serta warna
abuabu yang dilengkapi dengan pijakan kaki, dan dilapisi
dengan kantong plastik berwarna hitam. Sedangkan untuk
sampah medis ditempatkan dalam bak sampah berwarna
merah dan biru muda dilengkapi tutup. Ditampung pada
kantong plastik berwarna merah.12
Proses pengangkutan tidak dilakukan dengan kereta
melainkan dengan cara dijinjing tanpa menggunakan alat
pelindung diri. Proses ini dilakukan oleh petugas cleaning
services. Dalam Buku Pedoman Sanitasi Rumah Sakit Di
Indonesia mengatakan bahwa pengangkutan sampah biasanya
dilakukan dengan kereta. Pengumpulan dilakukan dari ruang
penghasil sampah. Pengosongan bak sampah dilakukan setiap
hari, jika bak sampah atau kantong plastik sudah terisi penuh
± 2/3 bak sampah. Tahap pengumpulan ini dilakukan
bersama-sama dengan tahap pengangkutan. Lokasi TPS untuk

113
sampah non medis ini terletak pada lokasi yang mudah
dijangkau kendaraan pengangkut sampah, hal ini berarti
sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan RI dan Keputusan
Direktur Jenderal PPM & PLP tentang Persyaratan Kesehatan
Lingkungan Rumah Sakit.12
Adapun untuk RSU. Dr. Wahidin Sudirohusodo,
menghasilkan limbah yang terdiri dari limbah padat dan
limbah cair. Limbah cair yang dihasilkan RSU. Dr. Wahidin
Sudirohusodo berasal dari dua sumber, yaitu limbah proses
pelayanan dan limbah domestik. Limbah cair dari proses
pelaksanaan masuk ke saluran yang berada di dalam rumah
sakit untuk kemudian dialirkan ke instalasi pengolahan air
limbah. Sementara itu jumlah pengunjung dan pasien rumah
sakit yang bertambah seiring dengan perkembangan
membutuhkan IPAL yang lebih mampu dalam menangani
produksi air limbah dimasa yang akan datang.15
Rancangan IPAL diasumsikan dapat menampung sekitar
1300 m3 air limbah dalam sehari dan memiliki luas areal tanah
sebesar 272 m2 yang mana dalam perencanaannya IPAL
RSUP.Dr.Wahidin Sudirohusodo menggunakan proses aerobic
dan anaerobic. Instalasi pengolahan air limbah di
RSUP.Dr.Wahidin Sudirohusodo yang direncanakan akan
menghasilkan effluen yang sesuai dengan standar baku mutu
limbah cair bagi kegiatan rumah sakit menurut SK. Gub. Sulsel
No. 14 Tahun 2003.15

IX.6 Peraturan Pemerintah RI Nomor 101 Tahun 2014


Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101
Tahun 2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya

114
Dan Beracun terdiri dari beberapa bab dan beberapa pasal.
Dalam BAB I dijelaskan mengenai:13
1. Bahan Berbahaya dan Beracun yang selanjutnya
disingkat B3 adalah zat, energi, dan/atau
komponen lain yang karena sifat, konsentrasi,
dan/atau jumlahnya, baik secara langsung
maupun tidak langsung, dapat mencemarkan
dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau
membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk
hidup lain.
2. Limbah adalah sisa suatu usaha dan/atau
kegiatan.
3. Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun yang
selanjutnya disebut Limbah B3 adalah sisa suatu
usaha dan/atau kegiatan yang mengandung B3.
4. Prosedur Pelindian Karakteristik Beracun
(Toxicity Characteristic Leaching Procedure)
yang selanjutnya disingkat TCLP adalah prosedur
laboratorium untuk memprediksi potensi
pelindian B3 dari suatu Limbah
5. Uji Toksikologi Lethal Dose-50 yang selanjutnya
disebut Uji Toksikologi LD50 adalah uji hayati
untuk mengukur hubungan dosis-respon antara
Limbah B3 dengan kematian hewan uji yang
menghasilkan 50% (lima puluh persen) respon
kematian pada populasi hewan uji
6. Simbol Limbah B3 adalah gambar yang
menunjukkan karakteristik Limbah B3

115
7. Label Limbah B3 adalah keterangan mengenai
Limbah B3 yang berbentuk tulisan yang berisi
informasi mengenai Penghasil Limbah B3,
alamat Penghasil Limbah B3, waktu pengemasan,
jumlah, dan karakteristik Limbah B3
8. Pelabelan Limbah B3 adalah proses penandaan
atau pemberian label yang dilekatkan atau
dibubuhkan pada kemasan langsung Limbah B3
9. Ekspor Limbah B3 adalah kegiatan
mengeluarkan Limbah B3 dari daerah pabean
Negara Kesatuan Republik Indonesia
10. Notifikasi Ekspor Limbah B3 adalah
pemberitahuan terlebih dahulu dari otoritas
negara eksportir kepada otoritas negara
penerima sebelum dilaksanakan perpindahan
lintas batas Limbah B3
11. Pengelolaan Limbah B3 adalah kegiatan yang
meliputi pengurangan, penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan,
pengolahan, dan/atau penimbunan
12. Dumping (Pembuangan) adalah kegiatan
membuang, menempatkan, dan/atau
memasukkan Limbah dan/atau bahan dalam
jumlah, konsentrasi, waktu, dan lokasi tertentu
dengan persyaratan tertentu ke media
lingkungan hidup tertentu
13. Pengurangan Limbah B3 adalah kegiatan
Penghasil Limbah B3 untuk mengurangi jumlah
dan/atau mengurangi sifat bahaya dan/atau

116
racun dari Limbah B3 sebelum dihasilkan dari
suatu usaha dan/atau kegiatan
14. Penghasil Limbah B3 adalah Setiap Orang yang
karena usaha dan/atau kegiatannya
menghasilkan Limbah B3
15. Pengumpul Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Pengumpulan Limbah B3
sebelum dikirim ke tempat Pengolahan Limbah
B3, Pemanfaatan Limbah B3, dan/atau
Penimbunan Limbah B3
16. Pengangkut Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Pengangkutan Limbah B3
17. Pemanfaat Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Pemanfaatan Limbah B3
18. Pengolah Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Pengolahan Limbah B3
19. Penimbun Limbah B3 adalah badan usaha yang
melakukan kegiatan Penimbunan Limbah B3.
Dalam peraturan pemerintah ini, juga diatur mengenai
jenis-jenis limbah berbahaya dan tata cara pengelolaannya
serta berbagai perizinan mengenai pengolahan limbah
berbahaya.13

IX.7 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia


Nomor 27 Tahun 2002
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2002 Tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Dalam
Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:14
1. Limbah radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan
serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau

117
menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi
nuklir atau instalasi yang memanfaatkan radiasi
pengion yang tidak dapat digunakan lagi.
2. Limbah radioaktif tingkat rendah adalah limbah
radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat aman
(clearance level) tetapi di bawah tingkat sedang, yang
tidak memerlukan penahan radiasi selama penanganan
dalam keadaan normal dan pengangkutan
3. Limbah radioaktif tingkat sedang adalah limbah
radioaktif dengan aktivitas di atas tingkat rendah tetapi
di bawah tingkat tinggi yang tidak memerlukan
pendingin, dan memerlukan penahan radiasi selama
penanganan dalam keadaan normal dan pengangkutan.
4. Limbah radioaktif tingkat tinggi adalah limbah radioaktif
dengan tingkat aktivitas di atas tingkat sedang, yang
memerlukan pendingin dan penahan radiasi dalam
penanganan pada keadaan normal dan pengangkutan,
termasuk bahan bakar nuklir bekas.
5. Tingkat aman adalah nilai yang ditetapkan oleh Badan
Pengawas dan dinyatakan dalam konsentrasi aktivitas
atau tingkat kontaminasi, dan atau aktivitas total pada
atau di bawah nilai tersebut, sumber radiasi
dibebaskan dari pengawasan
6. Penghasil limbah radioaktif adalah Pemegang Izin yang
karena kegiatannya menghasilkan limbah radioaktif.
7. Pengelola limbah radioaktif adalah Badan Pelaksana
atau Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan atau
badan swasta yang bekerja sama dengan atau ditunjuk
oleh Badan Pelaksana, yang melaksanakan pengelolaan
limbah radioaktif.

118
8. Pengelolaan limbah radioaktif adalah pengumpulan,
pengelompokan, pengolahan, pengangkutan,
penyimpanan, dan atau pembuangan limbah
radioaktif.
9. Pengolah limbah radioaktif adalah Penghasil limbah
radioaktif atau Badan Pelaksana atau Badan Usaha
Milik Negara, koperasi, dan atau badan swasta yang
bekerja sama dengan atau ditunjuk oleh Badan
Pelaksana yang mengolah limbah radioaktif.
10. Pengolahan limbah radioaktif adalah proses untuk
mengubah karakteristik dan komposisi limbah
radioaktif sehingga apabila disimpan dan atau dibuang
tidak membahayakan masyarakat dan lingkungan
hidup.
11. Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu
untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang
meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemulihan,
pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.
12. Penyimpanan sementara adalah penempatan limbah
radioaktif sebelum penempatan tahap akhir.
13. Penyimpanan adalah penempatan tahap akhir limbah
radioaktif tingkat rendah dan sedang.
14. Penyimpanan lestari adalah penempatan tahap akhir
limbah radioaktif tingkat tinggi.
15. Dekomisioning instalasi adalah suatu kegiatan untuk
menghenti-kan secara tetap beroperasinya instalasi
nuklir atau instalasi yang memanfaatkan zat radioaktif
antara lain dilakukan dengan pemindahan zat

119
radioaktif, pembongkaran komponen instalasi,
dekontaminasi, dan pengamanan akhir.
16. Badan Pelaksana adalah badan yang bertugas
melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir.
17. Badan Pengawas adalah badan yang bertugas
melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan
pemanfaatan tenaga nuklir.
Peraturan Pemerintah ini mengatur tentang klasifikasi
limbah radioaktif, manajemen perizinan, pengolahan,
pengangkutan, dan penyimpanan limbah radioaktif, program
jaminan kualitas, pengelolaan dan pemantauan lingkungan,
pengolahan limbah radioaktif tambang bahan galian nuklir
dan tambang lainnya, program dekomisioning, serta
penanggulangan kecelakaan nuklir dan atau radiasi.
Pengelolaan limbah radioaktif harus berdasarkan Asas
Proteksi Radiasi yang meliputi asas justifikasi, limitasi, dan
optimisasi. Pengelolaan limbah radioaktif bertujuan untuk
melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja, anggota
masyarakat, dan lingkungan hidup dari bahaya radiasi dan
atau kontaminasi.14

120
BAB X
DAMPAK LIMBAH MEDIS

O
rganisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai: " limbah
yang dihasilkan dalam diagnosis, pengobatan, atau
imunisasi dari manusia atau hewan. Limbah medis
bila tidak ditangani dengan benar dan tidak dibuang
itulah mewakili risiko tinggi infeksi atau cedera personil
kesehatan, serta resiko yang lebih rendah untuk umum melalui
penyebaran mikro-organisme dari fasilitas kesehatan ke
lingkungan (Brichard, 2002; Mohee, 2005).
Produksi limbah medis di negara berkembang
meningkat dengan cepat karena peningkatan akses Layanan
Kesehatan, yang memungkinkan jumlah orang-orang untuk
menerima perawatan medis yang mengikuti jaman. Tren jauh
dari multi-Gunakan perangkat medis ke arah lebih aman,
penggunaan tunggal perangkat medis adalah meningkatnya
produksi limbah medis di negara berkembang. Tren gabungan
ini menyebabkan peningkatan yang cepat dalam jumlah
limbah medis yang memerlukan aman pembuangan di negara
berkembang (Mbongew et al., 2008).
Limbah medis ini berbeda dari Umum sampah, dan itu
adalah sangat berbahaya mengenai prevalensi beberapa
penyakit. Oleh karena itu, limbah medis harus dikumpulkan
dan dibuang tepat waktu dan benar.Limbah
mediklasifikasikan ke dalam lima kategori yaitu limbah
infeksius, limbah patologi, limbah cedera, limbah obat, dan
sampah kimia.

121
Sektor kesehatan adalah produsen utama dari limbah.
Menurut WHO, sekitar 15% dari total sampah dihasilkan oleh
kegiatan kesehatan di seluruh dunia yaitu bahan berbahaya
yang dapat menular, beracun atau radioaktif. kesehatan
limbah Menular mengandung mikro yang berpotensi
membahayakan organisme yang jika tidak dikelola dengan
benar dapat mencemari lingkungan, mempengaruhi kedua
tanah dan persediaan air. Di daerah-daerah miskin di dunia
dengan sanitasi, hal ini bisa mengakibatkan transmisi obat ‐
tahan mikroba untuk sekitar penduduk, seperti yang terjadi
dengan adenokarsinoma ‐ Tahan regangan baru Metaloid
Delhi ‐ Β ‐ laktamase (NDM) ‐ memproduksi
Enterobacteriaceae. Limbah kesehatan dalam bentuk
disinfektan, obat-obatan sitotoksik, antibiotik atau produk
sampingan lain dilepaskan selama pembakaran, seperti
merkuri, akan menghasilkan racun dan menjadi polusi.
Limbah antibiotik lingkungan gigih dan masalah tertentu
sebagai mereka memilih untuk gen resistensi di lingkungan air
dan tanah bakteri. Pada gilirannya, perlawanan gen bisa dibagi
dengan bakteri yang biasanya ditemukan dalam makanan
manusia konsumsi, juga seperti satwa liar, sehingga
menyelesaikan lingkaran dalam rantai transmisi dengan
menyediakan rute dimana gen resistensi antibiotik yang
ditularkan ke manusia patogen pada tangan atau dalam usus.
Metode tradisional untuk mengurangi volume dan massa
limbah klinis dan sehingga aman telah pembakaran. Tapi
tubuh burgeoning bukti telah mempertanyakan efektivitas dan
keamanan insinerasi. Perhatian khusus adalah polusi kimia
dan biologi dari exhaustemissions, terutama ketika insinerator
terletak di perumahan atau area environmentallysensitive.

122
Misalnya, insinerasi logam berat atau bahan dengan kadar
logam (dalam tertentu timbal, merkuri dan kadmium) dapat
menyebabkan penyebaran beracun logam di dalam
lingkungan, itulah sebabnya zat dipisahkan ke aliran limbah.
Gradien suhu membentuk dalam incinerator tumpukan
knalpot, memungkinkan bakteri patogen untuk bertahan
hidup di pendingin zona di dasar tumpukan. Layak bakteri
dapat dilepaskan dari knalpot flues dalam keadaan tertentu.
Dibakar bahan-bahan yang mengandung klorin dapat
menghasilkan dioxin dan Furan, yang karsinogen manusia dan
telah terkait dengan berbagai efek kesehatan yang buruk.
Namun, negara‐ dari‐ ‐ seni insinerator yang beroperasi di
850-1100 ° C yang dilengkapi dengan khusus gas‐
membersihkan peralatan mampu sesuai dengan standar emisi
internasional untuk dioxin dan Furan. Ini dan kekhawatiran
yang sama telah mendorong pengenalan lebih handal dan
lingkungan‐ metode yang ramah yang menghasilkan karbon
rendah. Ini teknologi yang mempekerjakan panas dalam
bentuk autoclaving, microwave.
Limbah medis telah meningkat secara global karena
peningkatannya terfokus pada pemeliharaan kesehatan.
Undang-undang di Korea Selatan, limbah medis bisa menular
secara kontaminan ke jaringan manusia dan hewan maupun
hewan yang sudah mati dari fasilitas medis, klinik hewan, dan
pengujian/lemabaga inspeksi (limbah manajemen Act,2016).
Limbah medis dapat menyebabkan masalah serius bagi
kesehatan manusia dan lingkungan. Oleh karena itu, berhati-
hati terhadap pengolahan limbah medis karena dapat
berakibat fatal seperti metode insinerasi, desinfeksi kimia, dan
uap sterilisasi (Lee et al, 1996;Jang et al, 2005). Terkhusus

123
pada metode pembakaran telah banyak digunakan karena
dengan mudah dapat mengurangi jumlah sampah yang
dihasilkan dan pemulihan panas/listrik.
Menurut Departemen Lingkungan Korea, insinerasi
adalah metode yang paling sering digunakan untuk
pembuangan limbah medis. Sekitar 81% dari semua limbah
medis yang dibuang di Korea Selatan (Kementerian
lingkungan hidup, 2011).1Di sisi lain, metode insinerasi dapat
menghasilkan polutan, seperti polycyclic aromatic
hydrocarbons (PAHs), polychlorinated dibenzo-p-dioxins
(PCDDs), dan polychlorinated dibenzofurans (PCDFs)
(Satnam and Vinit, 2007). PCDDs dan PCDFs merupakan
polutan karsinogenik dan dapat merusak sistem imun manusia
di kons dan merusak sistem kekebalan pada manusia di
konsentrasi yang sangat rendah (Thornton et al, 1996;
Schecter et al., 2006).1
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan
terpenting dari pembangunan nasional. Tujuan kesehatan
masyarakat yang optimal Menurut Hendrik L. Blum yang
dikutip oleh Kusnoputranto (2000), bahwa derajat kesehatan
dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor yaitu : lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan dan keturunan. Dari keempat faktor
tersebut, di negara yang sedang berkembang, faktor
lingkungan dan faktor perilaku mempunyai peranan yang
sangat besar disamping faktor-faktor lainnya terhadap
peningkatan derajat kesehatan masyarakat.
Masalah lingkungan erat sekali hubungannya dengan
dunia kesehatan. Untuk mencapai kondisi masyarakat yang
sehat diperlukan lingkungan yang baik pula. Dalam hal ini
sarana pelayanan kesehatan harus pula memperhatikan

124
keterkaitan tersebut. Sarana pelayanan kesehatan merupakan
tempat bertemunya kelompok masyarakat penderita penyakit,
kelompok masyarakat pemberi pelayanan, kelompok
pengunjung dan kelompok lingkungan sekitar. Adanya
interaksi di dalamnya memungkinkan menyebarnya penyakit
bila tidak didukung dengan kondisi lingkungan yang baik dan
saniter (Paramita, 2007).
Bentuk pelayanan itu dapat penanganan langsung
kepada pasien atau dalam tahap membuka wacana kesadaran
masyarakat akan pentingnya kesehatan lingkungan.Namun
aktivitas pusat layanan kesehatan kadang memunculkan
persoalan baru. Sering kali pengelola kesehatan kurang
memperhatikan masalah penanganan limbah klinis yang
biasanya terdiri dari bekas kain kasa,kapas, plastik, jarum
suntik dan botol infus. Apalagi sekarang telah banyak
puskesmas dan klinik kesehatan swasta yang membuka
layanan rawat inap dan tentu saja limbah klinis yang
dihasilkan juga bertambah. Padahal limbah klinis sangatlah
berbahaya karena mengandung berbagai macam jenis
penyakit dan racun. Limbah klinis ini bila tidak ditangani
secara baik dan benar maka fungsi atau peran dari puskesmas
atau klinik kesehatan sebagai pembawa kehidupan sehat bagi
masyarakat justru akan terbalik. Pada Profil Kesehatan
Indonesia tahun 2008 yang dikeluarkan Kementerian
Kesehatan menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit di
Indonesia pada waktu itu mencapai 1.372 unit. Sementara itu,
jumlah puskesmas mencapai 8.548 unit. Pengelolaan limbah
medis yang berasal dari rumah sakit, Puskesmas, balai
pengobatan maupun laboratorium medis di Indonesia masih
dibawah standar professional (Depkes RI, 2002). Bahkan

125
banyak rumah sakit yang membuang dan mengolah limbah
medis tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Pengelolaan limbah yang tidak benar akan sangat
membahayakan bagi petugas sarana kesehatan tersebut, dan
juga bagi petugas yang menangani limbah (petugas
kebersihan).

XI.1 Proses Pemilahan


Tahap pemilahan limbah medis telah dilakukan oleh
seluruh puskesmas walaupun pada pelaksanaannya masih ada
petugas kesehatan yang mencampurkan antara limbah medis
dan non medis. Hal ini dikarenakan adanya sikap tidak peduli
oleh pihak petugas kesehatan serta terkadang banyaknya
melayani pasien sehingga petugas kesehatan tidak lagi
memperhatikan limbah medis yang dihasilkan.
Proses Pengumpulan
Tahap yang kedua yaitu pengumpulan, telah melakukan
pengumpulan limbah medis. Pengumpulan limbah medis dan
non medis dikumpulkan menggunakan wadah ember plastik
yang menggunakan tutup, dan safety box. Pengumpulan
limbah medis dilakukan dengan cara mengambil limbah dari
proses pemilahan selanjutnya dikumpulkan dalam suatu
wadah besar serta tahan terhadap benda tajam yang
selanjutnya diberikan label menjadi limbah medis dan non
medis.

Proses Penampungan
Mengumpulkan terlebih dahulu semualimbah medis dan
non medis ke dalam suatu wadah tertutup, apabila wadah
tersebut sudah penuh setelah itu pihak puskesmas akan

126
melakukan tahap selanjutnya yaitu penampungan., ada
beberapa puskemas yang menumpuk limbah medis di sekitar
puskesmas yang apabila tidak dikontrol dapat dijangkau oleh
pasien/masyarakat yang berkunjung ke puskesmas.

Proses pemusnahan/pembakaran
Tahap yang kelima adalah pemusnahan dan pembakaran
akhir Sebenarnya kondisi ini sangat memprihatinkan, dimana
jika limbah medis dan non medis tersebut tidak dikelola
dengan baik maka akan menimbulkan masalah baik untuk
pihak puskesmas maupun masyarakat yang ada disekitar
puskesmas.
Rumah sakit (RS) adalah institusi pelayanan kesehatan
yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan
secara paripurna yang menyediakan pelayanan rawat inap,
rawat jalan dan gawat darurat(Depkes RI, 2009). Dalam
pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat, institusi
RS secara langsung menghasilkan limbah buangan berbentuk
padat, cair dan gas yang berasal dari pelayanan medis.
Limbah Rumah sakit adalah buangan hasil proses
kegiatan dimana sebagian limbah tersebut merupakan limbah
bahan berbahaya dan beracun (B3) yang mengandung
mikroorganisme pathogen, infeksius dan radioaktif. Limbah
tersebut sebagian dapat dimanfaatkan ulang dengan teknologi
tertentu dan sebagian lainnya sudah tidak dapat dimanfaatkan
kembali. Dengan demikian limbah rumah sakit adalah semua
limbah diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup
sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat (Depkes RI,
2000). yang dihasilkan oleh seluruh kegiatan rumah sakit

127
(Depkes RI, 2006). Jumlah limbah medis yang bersumber
dari fasilitas kesehatan diperkirakan semakin lama semakin
meningkat. Penyebabnya yaitu jumlah rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan, maupun laboratorium medis
yang terus bertambah. Pada Profil Kesehatan Indonesia tahun
2013 menyebutkan bahwa jumlah rumah sakit di Indonesia
mencapai 2.228 unit yang terdiri dari 1725 unit rumah sakit
umum dan 503 unit rumah sakit khusus. Fasilitas kesehatan
yang lain diperkirakan jumlahnya akan terus meningkat
(Kemenkes RI, 2014).
Tak semua rumah sakit memiliki alat insinerator untuk
Pengelolaan limbah padat medis dan limbah bahan berbahaya
dan beracun. Oleh sebab itu, diserahkan oleh pihak ke-tiga.
Dengan kata lain, kurang efektif bila di ambil alih oleh pihak
ke tiga. Karena pada sektor sektor kegiatan yang sangat
berpotensi menghasilkan limbah B3. Salah satu sektor
kegiatan yang sangat berpotensi menghasilkan limbah B3
adalah sektor industri. Sampai saat ini sektor industri
merupakan salah satu penyumbang bahan pencemar yang
terbesar di kota-kota besar di Indonesia yang mengandalkan
kegiatan perekonomiannya dari industri. Untuk menghindari
terjadinya pencemaran yang ditimbulkan dari sektor industri,
maka diperlukan suatu sistem yang baik untuk melakukan
pengawasan dan pengelolaan limbah industri, terutama
limbah B3-nya. pengelolaan limbah padat medis dan limbah
bahan berbahaya dan beracun Rumah Sakit harus diperbaiki.
Limbah infeksius klinis didefinisikan sebagai : Zat yang
mengandung layak mikro ‐ organisme atau mereka racun
yang dikenal atau terpercaya diyakini menyebabkan penyakit
pada manusia atau organisme hidup lainnya. Perhatikan

128
bahwa bahkan organisme atau racun yang menyebabkan kecil
seperti gigi karies atau penyakit periodontal, sudah termasuk
dalam definisi menular limbah. Atas nama profesi gigi,
otoritas regulasi telah memutuskan untuk menafsirkan definisi
Limbah Infeksius sesuai dengan standar pencegahan
pengendalian infeksi (Lihat Bab 2), dimana semua limbah
klinis yang terkontaminasi dengan jejak-jejak cairan tubuh
seperti air liur atau darah akan diserahkan sebagai limbah
menular berbahaya.
Model studi atau model kerja terbuat dari plester
mengandung gipsum. Jika model dibuang di lokasi TPA
domestik dan dicampur dengan limbah makanan, bakteri
dalam makanan memecah gipsum untuk melepaskan gas
hydrogen sulfida, penyebab umum 'hujan asam'. Ini
merupakan polutan beracun tanah, perairan dan hutan Itulah
berbahaya bagi pohon, ikan dan hewan air lainnya. Untuk
alasan ini, gipsum adalah dilarang dari situs TPA domestik.
Model harus dapat dipisahkan dari limbah lainnya, dikodekan
sebagai 18 01 04, dan baik terkirim untuk daur ulang sebagai
gypsum atau untuk pembuangan di situs khusus ditunjuk TPA.
Dalam jumlah kasus kecil, model menjadi terkontaminasi
dengan cairan tubuh jika alat atau mahkota dicoba lagi pada
model setelah penyisipan di mulut pasien. Dalam hal ini kasus
model harus dibuang di karung limbah jeruk sebagai limbah
menular.
Setelah didefinisikan secara mendetail di atas, sekarang
saatnya sampai pada yang lebih detail sehubungan dengan arti
limbah berbahaya. Tiga pendeketan utama untuk
mendefinisikan limbah berbahaya yaitu (1) sebuah diskripsi
kualitatif pada asalnya, tipe, dan pendukungnya, (2) klasifikasi

129
dengan dasar karaktristik terutama bedasarkan prosedur tes,
dan (3) dengan cara konsentrasi zat-zat spesifik yang
berbahaya. Limbah digolongkan menurut tipe umum,
misalnya”spent halogenated solvents” atau pelarut
terhalogenasi atau oleh sumber-sumber industri misalnya
“picking liquor from steel manufacturing”atau mendapat
cairan dari industri manufaktur baja. Berbagai negara
mempunyai definisi yang berbeda tentang limbah yang
berbahaya. misalnya The Federal Republic of Germany
Federal Act tentang Pembangunan Limbah (1972, yang
diamandir tahun 1976) menyebutkan limbah khusus adalah
khususnya berbahaya bagi kesehatan manusia, udara, air, atau
eksplosif, mudah terbakar, atau boleh jadi menyebabkan
penyakit. “The Ontario Waste Management Corporation”
sebuah biro propinsi yang di bentuk lembaga konstitusi
Ontorio, Kanada mendefinisikan limbah khusus adalah cairan
industri dan limbah yang berbahaya yang tidak layak disuling
dan dibuang pada sistem penyulingan limbah, pembakaran
atau di tanam di daratan yang karenannya memerlukan
perlakuan khusus. Limbah radioaktif adalah sebuah persoalan
bagi berbagai negara yang memiliki pembangkitan listrik
nuklir atau industri atau senjata nuklir yang signifikan. Di AS,
limbah seperti itu di atur di bawah Neclear Regulatory
Commission (NRC) dan depertemen energi/Departemen of
Energi (DOE). Problem khusus dihadirkan oleh limbah
campuran yang mengandung limbah kimia dan limbah
radioaktif. Salah satu contoh baru baru ini tentang sebuah
fasilitas yang disulitkan oleh radioaktif dan limbah campuran
di AS adalah Rocky Flat di dekat Denver, Colorado, yang
digunakan untuk memproduksi sanjata nuklir semenjak tahun

130
1950 an, kompleks ini memperkerjakan 6000 pekerja meliputi
384 are di tengah-tengah 6650 are daerah penyangga/buffer
zone, dan mendiami 134 bangunan dengan luas area kira-kira
90.000 m2. Dalam tahun 1957 dan 1969, terjadi kebakaran
lagi yang menyangkut plutonium. Plutonium menyebar di
daratan Rocky Flats, dan terjadi beberapa insiden pelepasan
tritium pada sumber mata air minum. Diantara sebagian besar
limbah yang harus ditangani di Rocky Flats adalah sebagai
berikut:
1. Radionuclides: americium 241, plutonium 238, 239, 241,
242 thorium 232, tritium, uranium 233, 234, 238.
2. Logam beracun: berllium, cadmium, chromium,
timbal,air raksa, nikel.
3. Pelaryt: bensin, karbon tetrachloride,
chlorofrom,chlorometan, tetracholoroetheylene, 1,1,1-
trichloroetane,trichloroethylene.
4. Berbagai campuran berbahaya: benzenedine, 1,3-
butadeine, ethylene oxide, propylene oxide,
formaldehyde hydrazine, nitric acid.
29 Problem besar sehubungan dengan limbah radioaktif
adalah handford Nuclear Reservation terletak dekat Richland
di negara bagian Washington. Ini adalah lokasi sebuah fasilitas
besar untuk memproduksi plutonium yang di peruntukkan
bagi senjata nuklir
dari tahun 1940-an hingga kira-kira 1990. Proses ekstraksi
uranium plutonium (purex) digunakan untuk mengekstraksi
plutonium dari bahan bakar reakton nuklir neutron uranium
tak teradisi. Produksi setiap kg limbah radioaktif tinggi dan
kira-kira 200.000 liter limbah nuklir adalah tangki 101-SY
yang mengandung 48 kg plutonium di dalam 4 juta liter

131
lumpur yang berbahaya. Radioaktif di dalam tangki
memanaskan isinya, dan reaksi kimia menghasilkan campuran
gas hidrogen dan nitrogenoksida yang mudah meledak. Pada
interval kira-kira 90 hari, suatu gelembung-gelembung gas
dilepaskan, dan isi tangki mendingin. Selama kejadian ini
lapisan kerak di atas limbah naik kira-kira 30 cm. Ini benar-
benar situasi yang menarik.

XI.2 Identifikasi limbah B3 menurut PP No 18 Tahun


1999
Limbah B3 dapat diidentifikasi menurut sumber dan
karakteristiknya.
1. Jenis limbah B3 menurut sumbernya meliputi:
a. Limbah B3 dari sumber tidak spesifik;
b. Limbah B3 dari sumber spesifik;
c. Limbah B3 dari bahan kimia kadaluarsa, tumpahan
bekas, kemasan dan buangan produk yang tidak
memenuhi spesifikasi.
Limbah B3 dari sumber tidak spesifik adalah limbah B3
yang pada umumnya berasal bukan dari proses utamanya,
tetapi dari kegiatan pemeliharaan alat, pencucian, pencegah
korosi (inhibitior korosi), pelarut kerak, pengemasan dan lain
lain (contoh dapat dilihat pada lampiran 1). Limbah B3 dari
sumber spesifik adalah limbah B3 sisa proses suatu industri
atau kegiatan yang secara spesifik dapat ditentukan (contoh
dapat dilihat pada lampiran 2). Limbah B3 dari bahan kimia
kadaluarsa, tumpahan, sisa kemasan, atau buangan produk
yang tidak memenuhi spesifikasai, karena tidak memenuhi
spesifikasi yang ditentukan atau tidak dapat di manfaatkan
kembali, maka suatu produk menjadi limbah B3 yang

132
memerlukan pengelolahan seperti limbah B3 lainnya. Hal yang
sama juga berlaku untuk sisa kemasan limbah B3 dan bahan-
bahan kimia yang kadaluarsa

2. Daftar limbah dengan kode limbah D220, D221, D222, dan


D223 dapat dinyatakan limbah B3 setelah di lakukan uji
Toxicity Characteristic Leaching Prosedure(TCLP)dan/
atau uji karaktristik.

3. Memiliki salah satu atau lebih karakteristik sebagai berikut


a. Mudah meledak
b. Mudah terbakar
c. Bersifat reaktif
d. Beracun
e. Menyebabkan infeksi dan
f. Bersifat korosif.
4. Limbah yang termasuk limbah B3 adalah limbah lain yang
apabila diuji dengan metode toksikologi memiliki LD50 di
bawah ambang batas yang telah ditetepkan. Pengujian
karaktristik limbah dilakukan sebelum limbah tersebut
mendapat perlakuan pengolahan. Dalam ketentuan ini yang
di maksud dengan:
a. Limbah mudah meledak adalah limbah yang pada suhu
tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau
melaluireaksi kimia dan/atau fisika dapat menghasilkan gas
dengan suhu dan tekanan tinggi yang dengan cepat dapat
merusak lingkungan sekitarnya.
b. Limbah mudah terbakar adalah limbah limbah yang
mempunyai salah satu sifat-sifat sebagai berikut:

133
1. Limbah yang berupa cairan yang mengandung alkohol
kurang dari 24% volume dan/atau pada titik nyala tidak
lebih dari 60oC (140oF) akan menyala apabila terjadi
kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain
pada tekanan udara 760 mmHg.
2. Limbah yang bukan berupa cairan, yang pada temperatur
dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat mudah
menyebabkan kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap
air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila
terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus
menerus.
3. Merupakan limbah yang bertekanan yang mudah terbakar.
4. Merupakan limbah pengoksidasi.
c. Limbah yang bersifat reaktif adalah limbah-limbah
yang mempunyai salah satu sifat-sifat sebagai berikut:
1. Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan
dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
2. Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air.
3. Limbah yang apabila bercampur dengan air berpotensi
menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau
asap beracun dalam jumlah yang membahayakan bagi
kesehatan manusia dan lingkungan.
4. Merupakan limbah sianida, sulfida atau amoniak yang
pada kondisi pH antara 2 dan 12,5 dapat menghasilkan
gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang
membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
5. Limbah yang dapat mudah meledak atau bereaksi pada
suhu dan tekanan standar (25OC, 760 mmHg).

134
6. Limbah yang menyebabkan kebakaran karena lepas atau
menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang
tidak stabil dalam suhu tinggi.
d. Limbah beracun adalah limbah yang mengandung
pencemar yang bersifat racun bagi manusia atau
lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit
yang serus apabila masuk ke dalam tubuh melalui
pernafasan, kulit atau mulut, penentuan sifat racun untuk
identifikasi limbah ini dapat menggunakan baku mulut
konsentrasi TCLP (Toxicity Charactristic Leaching
Prosedure) pencemar organik dan aroganik dalam limbah
sebagaimana PP No. 18 tahun 1999. Apabila limbah
mengandung salah satu pencemar yang trerdapat dalam
lampiran 4, dengan konsentrasi sama atau lebih besar dari
nilai dalam lampiran 4 tersebut, maka limbah tersebut
merupakan limbah B3. Bila ini ambang batas zat pencemar
tidak terdapat pada lampiran Tabel 4 tersebut maka
dilakukan uji toksikologi.
Toxicity characteristic leaching procedure (TCLP) adalah
metode ekstraksi sampel untuk analisis kimia digunakan
sebagai metode analisis untuk mensimulasikan pencucian
melalui tempat pembuangan akhir. Metodologi pengujian
digunakanuntuk menentukan apakah limbah adalah bersifat
berbahaya (limbah B3 daftar D). TCLP terdiri dari empat
prosedur mendasar yaitu persiapan sampel untuk pencucian,
pencucian sampel, persiapan lindi untuk analisis dan analisis
lindi. Prosedur TCLP biasanya berguna untuk
mengklasifikasikan bahan limbah untuk pilihan pembuangan.
Dalam prosedur TCLP pH bahan harus ditentukan, dan
kemudian dicuci dengan asam asetat/larutan natrium

135
hidroksida dengan perbandingan 1:20 campuran sampel
dengan pelarut atau 100 g sampel dan 2000 mL larutan.
Campuran dalam alat ekstraksi harus ditutup untuk mencegah
senyawa volatile menguap, dan ekstraksi dilakukan selama 18
jam, kemudian disaring dan larutan dianalisis. Menurut EPA
(Environmental Protection Agency) prosedur TCLP yaitu
mengambil sub-sampel limbah diekstrak dengan larutan
buffer asam asetat selama.
Infeksi dalam pelayanan kesehatan gigi ditularkan dari
satu orang ke orang lain melalui � ga model penyebaran
infeksi sebagai berikut :
1. Penularan melalui kontak :
a) langsung dengan mikroorganisme pada sumber
infeksi, contoh mulut pasien.
b) � dak langsung dengan permukaan benda
ma� , misalnya: instrumen, alat dan permukaan
terkontaminasi.
2. Penularan melalui droplet yaitu percikan saliva yang
mengandung mikroorganisme.
3. Penularan melalui udara yang terkontaminasi
mikroorganisme, misalnya aerosol.
Cara terbaik untuk memutus siklus penularan penyakit
adalah dengan mengiku� Kewaspadaan Isolasi. Kontaminasi
silang dari mikroorganisme yang kemungkinan dapat terjadi
di tempat pelayanan kesehatan gigi adalah:
a. Pasien ke tenaga pelayanan kesehatan gigi
Infeksi ini dapat berasal dari penularan melalui kontak
langsung, � dak langsung, penyebaran droplet dan
melalui udara yang terkontaminasi mikroorganisme.
b. Tenaga pelayanan kesehatan gigi ke pasien

136
Infeksi dapat berasal dari tenaga pelayanan kesehatan
gigi yang � dak menggunakan Alat Pelindung Diri
(APD).
c. Pasien ke pasien
Infeksi dapat berasal dari kontak � dak langsung pada
peralatan kedokteran gigi yang � dak dilakukan
sterilisasi dengan sempurna dan permukaan peralatan
dental unit yang terkontaminasi yang paling sering
disentuh tenaga pelayanan kesehatan gigi.
4. Tempat pelayanan kesehatan gigi ke komunitas masyarakat,
termasuk di dalamnya keluarga dari tenaga pelayanan
kesehatan gigi.
• Infeksi dapat berasal dari kontak � dak langsung karena
� dak menggunakan APD misalnya melalui baju,
handphone, dll yang terkontaminasi.
• Limbah medis (cair dan padat) yang � dak dikelola sesuai
aturan yang benar, untuk itu perlu memiliki instalasi
pengelolaan limbah medis.
5. Komunitas ke Pasien
Infeksi dapat berasal dari sumberair yang digunakan di
tempat pelayanan kesehatan gigi.

XI.3 PENGOLAHAN LIMBAH MEDIS


Sebagaimana limbah B3 lainnya, pengelolaan limbah
medis juga dilakukan dengan cara:
Minimisasi dan pemilahan, penyimpanan sementara,
pengangkutan, pengolahan atau pemanfaatan, dan
penimbunan akhir. Khusus limbah medis yang bersifat
infeksius, karena karakter bahayanya, terdapat beberapa
metoda dan alat yang sudah dikenal dan biasa digunakan

137
sebagai sarana penanganan awal, sebelum pengolahan (misal:
insenerasi), yakni a.l:
 Dekontaminasi secara kimia (misal: menggunakan
disinfektan)
 Penggunaan steam autoclaving atau hydroclaving
 Microwave
 Pengemasan menggunakan kantong plastik khusus
dan/atau safety box
 Penyimpanan sementara tanpa atau menggunakan
refrigerasi
 Kombinasi sebagian atau kesemuanya
Dengan tetap memperhatikan perkembangan teknologi,
serta mempertimbangkan banyak hal berkaitan dengan
manfaat dan mudharatnya, ternyata penanganan limbah
medis menggunakan sistem insenerasi masih merupakan
pilihan terbaik. Insenerasi lebih dominan digunakan sebagai
pengolah limbah medis (khususnya infeksius) di berbagai
penjuru dunia, karena lebih praktis, efektif dan langsung
terlihat hasilnya, serta dari segi biaya relatif murah. Kelebihan
lain, proses insenerasi dapat mengurangi banyak jumlah
massa atau volume limbah B3 (reduksi hingga > 85%),
sehingga memudahkan penanganan berikutnya, a.l:
penyimpanan sementara, pengumpulan, pengangkutan dan
penimbunan akhir. Pengelolaan limbah medis menggunakan
insenerasi juga membutuhkan waktu relative lebih singkat
dibanding pengolahan secara biologi maupun sistem secured
landfill. Dari sisi kebutuhan lahan, area yang dibutuhkan
untuk penempatan proses insenerasi jauh lebih kecil, sangat
cocok untuk rumah-rumah

138
sakit di Indonesia yang umumnya berada di kawasan
perkotaan dengan lahan terbatas.

DAFTAR PUSTAKA

A (2000). Perencanaan pengolahan limbah cair untuk rumah


sakit dengan metode lumpur aktif. Media ISTA : 3 (2)
2000: 15-8
139
A. Pruss, E. Giroult, P. Rushbrook. Pengelolaan Aman Limbah
Layanan Kesehatan. Jakarta: EGC. 2005.
Abdullah Zalinawati, Mansor Norudin, Zakaria Noorul Huda.
Workplace Accident in Malaysia: Most Common
Causes and Solutions. Business and Management
Review Vol. 2(5) pp. 75 – 88 July, 2012
Agarwal,B.,Saumyendra,V,S.,dkk.2012.Waste Management in
Dental Office.India:Indian Journal Of Community
Medicine
Agustiani E, Slamet A, Rahayu DW (2000). Penambahan
powdered activated carbon (PAC) pada proses lumpur
aktif untuk pengolahan air limbah rumah sakit.
Majalah IPTEK: jurnal ilmu pengetahuan alam dan
teknologi : 11 (1): 30-8
Agustiani E, Slamet A, Winarni D (1998). Penambahan PAC
pada proses lumpur aktif untuk pengolahan air
limbah rumah sakit: laporan penelitian. Surabaya:
Fakultas Teknik IndustriInstitut Teknologi Sepuluh
Nopember
Akers (1993). Paperboard hospital waste container. United
States Patent : 5,240,176 Arthono
Albert A, Hallowell MR, Kleiner BM. Emerging strategies for
construction safety & health hazard recognition.
Journal of Safety, Health & Environmental Research.
2014; 10(2): 3.
Alberta. Leading indicators for workplace health and safety.
Edmonton. Alberta Government. p. 2,4.
Alli BO. Fundamental principle of occupational health and
safety. 2nd Ed. Geneva: ILO; 2008. pp. vii, 17.
Alli BO. Fundamental principles of occupational health and
safety. 2nd Ed. Geneva: International Labour Office;
2008. p.3,4.

140
Alli, Benjamin O. Fundamental Principles of Occupational
Health and Safety. Second Edition. 2008. Geneva:
Internasional Labour Office. P viii,17
Alli,B.O.2008.Fundamental Principles Of Occupational Health
And Safety.Switzerland:Internasional Labour
Organization.Ed:2.
Anggarani A. Pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja
dalam meningkatkan produktivitas kerja karyawan.
Forum Ilmiah. 2011; 8(3): 218.
Anoraga (2005). Aspek-aspek keselamatan dan kesehatan
kerja.
Arfan, H., Zubair, A., Alpryono. Studi Instalasi Pengolahan Air
Limbah RSUP . Dr. Wahidin Sudirohusodo. Jurnal
Penelitian Teknik Sipil.
Aspek Strategis Peraturan dan Manajemen Rumah Sakit. H.
378.
Assembly of First Nations. Current status of first nations
environmental health research. Canada : Assembly of
First Nations; 2008. p. 2.
Atasoylu Emine, Isik Isil Nurdan. Occupational safety and
health in North Cyprus: Evaluation of risk
assessment. Safety Science 94 (2017). P 17
Atik Adel,M,A.,2011.Evaluasi Pengelolahan Limbah Padat
Secara Terpadu Di Rumah Sakit.Semarang:Jurnal
Dian.Vol.11.No.2.
Babaji Prashant, Samadi Firoza, Jaiswal JN, Bansal Anju.
Occupational Hazard Among Dentisr: A Review Of
Literature. J I Dental And Medical Research. 2011.
4(2).
Bandung General Hospital (RSMB). Jurnal Itenas : 4 (1): 43-9
141
Barlin (1995). Analisis dan evaluasi hukum tentang
pencemaran akibat limbah rumah sakit Jakarta
:Badan Pembinaan Hukum Nasional
Benjamin O. Fundamental principles of occupational health
and safety. 2nd ed. Geneva: International Labour
Office; 2008. P. 27.
Berlanga B (1998). Process, formula and installation for the
treatment and sterilization of biological, solid, liquid,
ferrous metallic, non-ferrous metallic, toxic and
dangerous hospitalwaste material. United States
Patent : 5,820,541
Bhanat Sheron, Patel Roopal, Patel Dolly. The Invisible Risks:
Spotting The Hazard In Your Orthodontic Practice: A
Riview. J Of Dental And Medical Sciences. 2014;13(3).
Biosafety manual. University of Washington; 2017. p.5-1.
Bobby Rocky Kani , R. J. M. Mandagi, J. P. Rantung, G. Y.
Malingkas. Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Pada
Pelaksanaan Proyek Konstruksi (Studi Kasus: Proyek
Pt. Trakindo Utama) .Jurnal Sipil Statik Vol.1 No.6,
Mei 2013 (430-433).
Boyce Ricardo, Mull Justin. Complying with the Occupational
Safety and Health Administration: Guidelines for the
Dental Office. Dent Clin N Am 52 (2008).p 654–5
Busyairi M, Tosungku LOAS, Oktaviani A. Pengaruh
keselamatan kerja dan kesehatan kerja terhadap
produktivitas kerja karyawan. Samarinda: Jurnal
Ilmiah Teknik Industri. 2014 Des; 13 (2): h. 113
Busyairi1 M, Tosungku LO, Oktaviani A. Pengaruh
keselamatan kerja dan kesehatan kerja terhadap
produktivitas kerja karyawan. Jurnal Ilmiah Teknik
Industri. 2014; 13(2): 113.

142
Caniato,M., Tudor, T., Vaccari, M. International governance
structures for health-care waste management: A
systematic review of scientific literature. Journal of
Environmental Management 153 (2015) 93-107.
Cesira Pasquarella, Licia Veronesi, Christian Napoli, dkk.
Microbial environmental contamination in Italian
dental clinics: A multicenter study yielding
recommendations for standardized sampling methods
and threshold values. Science of the Total
Environment 420 (2012). P 289
Christiani (2002). Pemanfaatan substrat padat untuk
imobilisasi sel lumpur aktif pada pengolahan limbah
cair rumah sakit. Buletin Keslingmas Djoko S (2001).
Pengelolaan limbah rumah sakit. Sipil Soepra : jurnal
sipil 3(8): 91-9
Conant J, Fadem P. A community guide to environmental
health. Canada : Hesperian; 2008. p. 23.
Daou,M.H.,Karam,R.,Khalil,S.,Mawla,D.(2015).Current Status
of Dental Waste Management in Lebanon.Lebanon:
Environtmental Nanotechnology ,Monitoring and
Management.
Darmiatun Suryatri,Trasial. Prinsip-Prinsip K3LH:
Keselamatan Dan Kesehatan Kerja Di Lingkungan
Hidup. Malang: Gunungsamudra. 2015.
Davis J. Safety, health and environment research. Asse
Academics Pratictice Specialty: 2014; 10(2). P. 153.
Dental Asia. 2012. P.12
Departemen Kesehatan RI. Indikator Indonesia sehat 2010
dan pedoman penetapan indicator provinsi sehat dan
kabupaten/kota sehat. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI; 2003. h. 12.

143
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus besar bahasa
Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa; 2008. h. 551.
Diezt Ellen Roberta. Safety Standards And Infection Control
For Dental Assistans. Clifton Park : Delmar. 2001.
Efendi F, Makhfudli. Keperawatan kesehatan komunitas.
Jakarta : Salemba Medika; 2009. hh. 74-8.
Fakhri M, Syafura N, Pradana M. The implementation of
occupational health and safety (OHS) program at
state-owned nterprise: case study at pindad, Ltd., in
Bandung, Indonesia. International Journal of Science
and Research. 2015; 4(12): 1238.
Friend MA, Kohn JP. Fundamentals of occupational safety and
health. 4th Ed. UK: The Scarecrow Press; 2007.
p.2,366-7.
Gana AJ. Environmental pollution and sustainability. J Res
Eviron sci Toxicol 2015; 4(1): 2-3. doi :
http:/dx.doi.org/10.14303/jrest.2014.127.

Ganesh Chidambar Subramanian, Masita Arip, T.S.
Saraswathy Subramaniam. Knowledge and Risk
Perceptions of Occupational Infections Among
Health-care Workers in Malaysia. Safety and Health
at Work xxx (2017). P.1
Gavrancic, T., Simic, A., Gavrancic, B,. Medical waste
management at the Oncology Institute of Vojvodina:
possibilities of successful implementation of medical
waste regulation in Serbia.Waste Manag. Res. J. Int.
SolidWastes Public Clean. Assoc. ISWA 30 (6), 596-
600. 2012.
Gayatri IAM. Hubungan keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) dengan kinerja karyawan pada PT. uob

144
Indonesia cabang Bengkulu. Bengkulu: Ekombis
review; 2010. h. 187-8.
Giyatmi (2003). Efektivitas pengolahan limbah cair rumah
sakitDokter Sardjito Yogyakarta terhadap
pencemaran radioaktif. Yogyakarta : Pasca Sarjana
Universitas Gadjah Mada
Gruninger SE, Siew C, Chang SB, et al. Human
immunodeficiency virus type I. Infection among
dentists. J Am Dent Assoc. 1992 Mar;123(3):57-64.
H. Chris, Palenik Charles John. Infection Control And
Management Of Hazardous Materials For Dental
Team. Fourth Edition. St Louis: Elsavier. 2014.
H.-G., Li * Q, Fang J. The solutions and recommendations for
logistics problems in the collection of medical
waste in China. Pro Environment Sci 31 (2016) 447 –
456.
Haddis A. Healthy home environments for health extension
workers. Ethiopia : USAID; 2004. pp.12-4.
Hailu Kassahun, Lawoyin David, Glascoe Alison And Jackson
Andrea. Unexpected Hazard With Dental High Speed
Drill. MPDI. January 2017.5(10).
Hananto WM (1999). Mikroorganisme patogen limbah cair
rumah sakitdan dampak kesehatan yang
ditimbulkannya. Bul Keslingmas : 18 (70) 1999: 37-44
Harding JC. Clinical signs are an interaction of host, agent and
environment. Advances in Pork Production 2005; 16:
213-4.
Harper (1986). Hospital waste disposal system. United States
Patent : 4,619,409 Haryanto (2001). Analisis
senyawa-senyawa kimia limbah cair rumah sakit
Kodya Jambi. Percikan : 31 (Mei): 54-9

145
Hatrick Carol Dixon, Eakle W Stephan,. Dental Material:
Clinical For Dental Assistant And Dental Hygienists.
3rd ed. St.Louis : Elsavier. 2011.
Hatrick Carol Dixon, Eakle W Stephan. Dental Materials:
Clinical Application For Dental Assistants And Dental
Hygienists. St. Loist : Elsevier. 2016.
Health and safety practices for health care personnel and
waste workers, 2015. Pp. 142-4.
Herlambang A. Pencemaran air dan strategi
penanggulangannya. JAI 2006; 2(1): 21-2.
Huber M, et al. How should we define health?. BMJ 2011; 343:
1. doi : 10.1136/bmj.d4163.
Ichtiakhiri TH dan Sudarmaji. Pengelolaan limbah B3 dan
keluhan kesehatan pekerja PT.INKA (PERSERO) kota
Madiun. J Kes Ling 2015 Jan 1;8(1):118-127
Ikhsandri. Kajian infrakstruktur pengolahan sampah di
kawasan berkembang jakabaring kelurahan 15 ulu
Kota Palembang. Jurnal Teknik Sipil dan Lingkungan
2014; 2(1): 131-2.
Karmana O, Nurzaman M, Sanusi S (2003). Pengaruh limbah
padat rumah sakit hasil insinerasi dan pupuk NPK
bagi pertumbuhan tanaman bayam (Amaranthus sp)
var. Gitihijau : laporan penelitian. Bandung : Fakultas
Matematika dan Ilmu Pengetahuan AlamUniversitas
Padjadjaran
Katsuro P, Gadzirayi T, Taruwona M. Impact of occupational
health and safety on worker productivity. A Journal of
Bussiness: 2010; 4 (13). P. 2645.
Kaur Surinder. Impact Of Work Environment On Job
Sastification. Internasional Journal Of Scientific And
Research Publication. Janurary 2014. 4(1).
146
Keberlanjutan melalui perusahaan yang kompetitif dan
bertanggung jawab (SCORE)-Keselamatan dan
Kesehatan Kerja. Jakarta: Internasional Labour
Organization. 2013
Keman S. Kesehatan perumahan dan lingkungan pemukiman.
J KESHLING 2005; 2(1): 36-7.
Kementerian Kesehatan RI. Standar Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi Pelayanan Kesehatan Gigi dan
Mulut di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Jakarta :
Kementerian Kesehatan RI. 2012.
Kementerian Kesehatan, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat. Standar Kesehatan dan Keselamatan
Kerja di Rumah Sakit (K3RS). Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI, 2010.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia. NOMOR
1087/MENKES/SK/VIII/2010. STANDAR
KESEHATAN DAN KESELAMAT KERJA DI RUMAH
SAKIT.
Keputusan Mentri Kesehatan Republik
Indonesia.NO.1204.Tahun 2004.Tentang Persyaratan
Keehatan Lingkungan Rumah Sakit.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sarana Untuk
Produktivitas. Edisi 1. Jakarta: International Labour
Organization; 2013. h.1.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sarana Untuk
Produktivitas. Edisi 1. Jakarta: International Labour
Organization; 2013. h.1.
Khan MA, Ghouri AM. Environmental pollution : its effects on
life and its remedies. Int Refereed Research J 2011;
2(2): 278-280..
147
Khan WA, Mustaq T, Tabassum A. Occupational health, safety
and risk analysis. International Journal of Science.
2014; 3(4): 1336.
Kontogianni,S.,Xirogiannopoulou,A.,Karagiannidis,A.2007.Inv
estigating Solid Wate Production and Associated
Management Practices in Private Dental
Units.Thessaloniki:Elsevier
L Doni, Robinson Debbie S. Modern Dental Assisting. 12th Ed.
St.Louis : Elsavier. 2017.
Laheij A.M.G.A, At All. Healthcare-Associated Viral And
Bacterial Infections In Dentistry. J Oral
Microbiology.June 2012; 4.
Leonita E, Yulianto B. Pengelolaan Limbah Medis Padat
Puskesmas Se-Kota Pekanbaru The Medical Waste
Management in Health Centers as the City of
Pekanbaru.J Kes Kom 2014 Mei 1;2(4):158-162.
Line RrD dan Sulistyorini L. Evaluasi sistem pengelolaan
sampah di rumah sakit umum daerah Blambangan
Banyuwangi. J Kes Ling 2013 Jul 1;7(1):71-75
Matsuda Jacqueline Kimiko, Ginbaum Renato Satovschi,
Davidowicz Harry. The Assessment Of Infection
Control In Dental Practice In The Municipality Of Sao
Paulo. Brazilian Journal Of Infectious Disease.
2011;15(1).
Maulana M, Kusnanto H, Suwarni A. Pengolahan Limbah
Padat Medis dan Pengolahan Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun di RS Swasta Kota Jogja. The
5th URECOL Proc 2017 Feb 18.
Model of Caution : Safety. 2012.

148
Mr. Raja.K, Dr. Auxilia Hemamalini Tilak. Occupational
Hazards In Dentistry And Its Control Measures – A
Review. World Journal Of Pharmacy And
Pharmaceutical Sciences. Volume 3, Issue 6, 397-415.
Mundo-Hernandez JJ, et al. Designing sustainable and healthy
homes. ESJ 2014; 10(20): 241-2.
Nagpal Natasha, Bettiol Silvana S, Isham Amy, Hoang Ha,
Crocombe Leonardo A.A Review Of Mercury
Exposure And Health Of Dental Personnel. Safety
And Health At Work. 2017;8;1-10.
National Center for Healthy Housing. National healthy
housing standard. America : APHA. pp.
35,42,45,50,55.
Nelson B. Inspections and severity: two safety leading
indicators that you can use today. Software:
occupational health and safety. 2008 July. p. 87.
New science workplace health and safety journal. P.16.
Ngim C. Daquan A. Health and safety in the dental clinic –
Hygiene regulations for use of elemental mercury in
the protection of rights, safety and well – being of the
patients, workers and the environment. Singapore
Dental Journal 34: 2013; 19(24).
Notley Rachel. Handbook Of Occupational Hazards And
Controls For Mental Health Workers. Government Of
Alberta. 2011.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku
Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta.
Novita,C,F.,Poppy,A.,Rico,D,H.,2017.Gambaran Kepauhan
Mahasiswa Klinik Fakultas Kedokteran Gigi
Universitas Syiah Kuala Dalam Hal Pemisahan

149
Limbah Medis dan Non Medis.Aceh:Journal Of Syiah
Kuala Dentistry Society.Vol.2.
Nugroho SS. Pengelolaan limbah bahan berbahaya dan
beracun perspektif undang-undang no.32 tahun 2009
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup. Sos 2013 sep 1;14(2)
Occupational health and safety risks in the healthcare sector.
Luxembourg: Publications Office of the European
Union; 2011. p.14. Keputusan Menteri Kesehatan RI
Nomor:1087/MENKES/SK/VIII/2010 Standar
Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Rumah Sakit.
Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 2010. p.21-7.
Occupational health and safety risks in the healthcare sector.
Luxembourg: Publication Office of the European
Union; 2011. P. 9.
pada reaktor fixed-film aerobic. Jakarta : Program Pasca
Sarjana Universitas Indonesia
Pankkhrust CL and Coulter WA. Basic Guide to Infection
prevention and control in dentistry. 2nd Ed.
Oxford,UK: Willey Blackwell;2017.pp.182-199
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 416
Tahun 1990 Pasal 1 tentang Syarat-syarat dan
Pengawasan Kualitas Air.
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
Tahun 2017 Tentang Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Infeksi di Fasilitas Pelayanan
Kesehatan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun
2014 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun

150
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun
2002 Tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif.
Pruss-Ustun A, Corvalan C. Preverenting diseases through
healthy environmenth. Geneva : World Health
Organization; 2006. p. 22.
Pruss-Ustun, A., et al. (Eds.),. Safe Management of Wastes
from Health Care Activities, second ed. World Health
Organization, Geneva. 2014.
Puspitasari DE. Dampak pencemaran air terhadap kesehatan
lingkungan dalam perspektif hukum lingkungan
(studi kasus sungai code di Kelurahan Wirogunan
Kecamatan Mergansan dan Kelurahan Prawirodirjan
Kecamatan Gondomanan Yogyakarta. Mimbar
Hukum 2009; 21(1): 24.
Putri HE, Ritnawati, Samad R. Pengelolaan limbah rumah
sakit gigi dan mulut di wilayah Kota Makassar.
Putri,H,K.,Ritnawati,Rasmidar,S.Pengelolaan Limbah Rumah
Sakit Gigi dan MULUT di Wilayah Kota
Makassar.Makassar:Departemen Ilmu Kesehatan Gigi
Masyarakat
Putten Mark,V,,President and CEO National Wildlife
Federation.1999.A Guide To Proper Waste
Management In Dental Offices:The Environmentally
Responsible Dental Office.
R. I. McDonald, L. J. Walsh, N. W. Savage. Analysis of
workplace injuries in a dental school environment.
Australian Dental Journal 1997;42:(2):p. 109
Rahardjo, Wahyu. Peran Faktor-Faktor Psikososial dan
Keselamatan Kerja pada Jenis Pekerjaan yang

151
Bersifat ISO-SRAIN. Proceeding Seminar Nasional
PESAT. Jakarta, 2005.
Rahardjo, Wahyu. Peran Faktor-Faktor Psikososial dan
Keselamatan Kerja pada Jenis Pekerjaan yang
Bersifat ISO-SRAIN. Proceeding Seminar Nasional
PESAT. Jakarta, 2005.
Riyanto. Limbah bahan berbahaya dan beracun (LIMBAH B3).
1st Ed. Yogyakarta:Deepublish;2013.Peraturan
Pemerintah RI No.101 Tahun 2014 tentang
pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun.
Rostiyanti SF, Sulaiman F (2001). Studi pemeliharaan
bangunan pengolahan air limbah dan incinerator
pada rumah sakit di Jakarta. Jurnal Kajian Teknologi
: 3 (2): 113-23
Rr Domy Line & Lilis Sulistyorini. Evaluasi Sistem Pengelolaan
Sampah di Rumah Sakit Umum Daerah Blambangan
Banyuwangi. Jurnal Kesehatan Lingkungan Vol. 7,
No. 1 Juli 2013: 71–75
Sabayang P, Muljadi, Budi P (1996). Konstruksi dan evaluasi
insinerator untuk limbah padat rumah sakit. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Fisika Terapan Bandung : Pusat
Penelitian dan Pengembangan Fisika Terapan
Safety and Health Management Systems: A Road Map for
Hospitals. Occupational Safety and Health
Administration; 2013. p.1
Said dan Ineza (2002). Uji performance pengolahan air limbah
rumah sakit dengan proses biofilter tercelup. Jakarta :
Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi
Lingkungan
Said NI (1999). Teknologi pengolahan air limbah rumah
sakitdengan sistem "biofilter anaerob-
152
aerob". Seminar Teknologi Pengelolaan Limbah
II: prosiding, Jakarta, 16-7 Feb 1999.
Sanches FA, Pelaez GI, Alis JC. Occupational safety and health
in construction: a review of applications and trends.
Industrial Health. 2017; 55: 210–11.
Saputra A. Pengaruh keselamatan kerja terhadap produktivitas
kerja karyawan pada PT. buran nusa respati di
kecamatan anggana kabupaten kukar. Samarinda:
eJournal Ilmu Pemerintahan. 2014; 2 (3): h. 3063.
Seattle Public Utilities.2012.Picking Up The Toward Zero
Waste.Seattle:Seattle’s Solid Waste Plan.
Shahib MN (1999) Penerapan teknik "Polymerase chain
Reaction" (PCR) untuk memonitor pencemaran
lingkungan oleh senyawa merkuri (Hg) pada
limbahcair rumah sakit. Kongres Himpunan
Toksikologi Indonesia: prosiding, Jakarta, 22-23 Feb
1999
Shahib MN, Djustiana N (1998). Profil DNA plasmid E. coli
yang diisolasi dari limbah cair rumah sakit. Majalah
Kedokteran Bandung : 30 (1) 1998: 328-41
Shannon, A.L., Woolridge, A. Medical waste. In: Waste.
Michigan Department of Natural Resources and
Environment, 525 West Allegan Street, Lansing, MI
48909, United States. 2011. pp. 329-339. Elsevier Inc.
Sheehan C, et al. Leading and lagging indicators of
occupational health and safety: The moderating role
of safety leadership. Australia: Esevier. 2016. p. 113.
Singh,H.,DJ
Bhaskar.,Deepak,R,D,.Rehman,R.,Khan,M.2014.Dent
al Biomedical Waste Management.India:Internasional
Journal Of Scientific Study.Vol 2
Siregar TM (2001). Pengaruh penambahan inokulum pada
pengolahan limbah cair rumah sakit: studi kasus
153
pengolahan limbah cair RSUD Pasar Rebo, Jakarta
menggunakan M-bio
Sitepu PY, Nurmaini, Dharma S. Sistem Pengelolaan Limbah
Medis Padat dan Cair serta Faktor-Faktor yang
Berkaitan dengan Pelaksanaan Pengelolaan Limbah
Medis Padat dan Cair di Rumah Sakit Umum
Kabanjahe Kabupaten Karo Tahun 2015.
Sugiharto. Dasar-dasar pengelolaan air limbah. Jakarta:UI-
PRES;2008. Standar pencegahan dan pengedalian
infeksi pelayanan kesehata gigi dan mulut di fasilitas
pelayanan kesehatan. KEMENKES 2012.
Sundana EJ (2000). Hospital waste minimization in Indonesia
case studi: Muhammadiyah
Suparmin, Tri C, Budiono Z (2002). Studi evaluasi pengolahan
air limbah rumah sakit diPropinsi Jateng tahun 2002.
Buletin Keslingmas
Surg Cdr SS Chopra, Surg Cdr SS Pandey. Occupational
Hazards among Dental Surgeons. MJAFI 2007; 63 : p.
23
Taderera H. Occupational health and safety management
systems: institutional and regulatory frameworks in
Zimbabwe. International Journal of Human Resource
Studies. 2012; 2(4): 100.
Tim Kementerian Lingkungan Hidup. Pedoman Kriteria
Teknologi Pengelolaan Limbah Medis Ramah
Lingkungan. Jakarta: Tim Kementerian Lingkungan
Hidup. 2014.
Tim Kementerian Lingkungan Hidup.2014.Pedoman Kriteria
Teknologi Pengolahan Limbah Medis Ramah
Lingkungan.

154
Townend, W.K., et al,. Factors driving the development of
healthcare waste management in the United Kingdom
over the past 60 years. Waste Manag. Res. J. Int. Solid
Wastes Public Clean. Assoc. ISWA 27 (4), 362-373.
2009.
Tuka Veronica,Ida,N,F.,Djumadi.2003.Teknologi Pengolahan
Limbah Radioaktif di RSCM.Jakarta:Seminar
Tahunan Pengawasan Pemanfaatan Nuklir.
Undang-undang No.18 Tahun 2008 Pasal 1 tentang
Pengelolaan Sampah.
Undang-undang No.23 Tahun 1992 Pasal 22 Ayat (2) tentang
Kesehatan.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit Pasal 11 ayat 1.
USCF Medical Waste Management Plan.2008.California:Office
Of Environmental Health&Safety
Using leading and lagging safety indicators to manage
workplace health and safety risk. UL. p. 3
V Reddy, D Bennadi, Gsatish, U Kura. Occupational Hazard
Among Dentist : A Descriptive Study. J Oral Hyg
Health;3(5).
Vieira,C,D. Dan Maria,A.dkk.,2009.Composition analysis Of
Dental Solid Wasre in Brazil.Brazil:Departemen de
microbiologis
Visi, Misi, Kebijakan, Strategi dan Program Kerja Keselamatan
dan Kesehatan Kerja (K3) Nasional 2007 – 2010.
Dewan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Nasional
(DK3N).

155
Waruru S, Yuamita F. Analisis factor kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) yang signifikan. Spektrum
Industri 2016; 14 (1). H. 64.
Waruwu S, Yuamita F. Analisis factor kesehatan dan
keselamatan kerja (K3) yang signifikan
mempengaruhi kecelakaan kerja pada proyek
pembangunan apartement student castle. Spektrum
Industri. 2016; 14(1): 64.
Weinstock D, Slatin C. Learning to take action: the goals of
health and safety training. New Solutions. 2012;
22(3): 256.
Windfeld ES, Brooks.S-L.M. Medical waste management - A
review. Jou of environmet manage 2015 august 12;
98-108
World Health Organization. National environmental health
programmes : their planning, organization, and
administration. Geneva : World Health Organization;
1970. pp. 10-1.
World Health Organization. Occupational health a manual for
primary health care workers. Geneva: WHO. 2001. P.
13
Wulansari S dan Rukmini. Ketersediaan dan Kelayakan
Penanganan Limbah Puskesmas Berdasarkan
Topografi dan Geografi di Indonesia. Bul Pen Sis Kes
2016 Jan 1;19(1):33-39
Yoon, Y.W., Jeon, T.-W., Son, J.-I., Kim, K.-Y., Kwon, E.-H.,
Shin, S.-K., Kang, J.-G., Characteristics of
PCDDs/PCDFs in stack gas from medical waste
incinerators,Chemosphere (2017).
Yulia. Higiene sanitasi makanan, minuman dan sarana sanitasi
terhadap angka kuman perlatan makan dan minum
156
pada kantin. Jurnal Vokasi Kesehatan 2016; 11 (1): 55.
Yunita AR, Sriatmi A, Fatmasari EY. Analisis factor-faktor
kebijakan dalam implementasi program keselamatan
dan kesehatan kerja rumah sakit (K3RS) di instalasi
gawat darurat rumah sakit umum daerah kota
Semarang. J Kesehatan Masyarakt. 2016; 4(2); 3.

157

Anda mungkin juga menyukai