Anda di halaman 1dari 5

Pendekar Fajar Sungai Musi

"Faiz! Tegakkan badanmu! Busungkan dadamu! Seorang pejuang muslim harus bisa
tegas dalam kebenaran dan tegar dalam keadilan!" Suara lantang Bakas Sanul terdengar
jelas di telingaku.

Mendengar kalimat tersebut, akupun membusungkan dadaku, menegakkan


badanku, dan menarik nafas yang dalam. Langit yang merah-kemerahan dan udara fajar
yang sejuk membantuku untuk menenangkan fikiranku.

"Selalu ingat kata-kata bakas Faiz. Silat dan islam itu maknanya sama, islam artinya
damai, dan silat adalah bela diri kedamaian, selama masih ada penyakit hati di yang
membuat hatimu berkarat, seni silat takkan pernah bisa kamu kuasai." Ucap Akas dengan
suara yang lantang.

Namaku Faiz. Umurku 12 Tahun. Kini aku sedang liburan Ramadhan dengan pulang
kampung ke kampung halamanku yaitu Palembang. Kota yang penuh dengan arti bagiku
sama seperti sungai Musi yang mengalir di sampingku ini.

*Buakk!*

"Kamu kehilangan konsentrasi lagi Faiz!" Omel Bakas Sanul kepadaku setelah
menjatuhkanku dengan tendangan cara menendang kakiku lewat samping.

"Maaf Kas, lagian juga Bakas kelewat kuat buat bisa aku kalahin, fokus gak fokus juga
aku pasti kalah!" protesku.

Bakas Sanul Tersenyum.

"Faiz, coba kamu lihat sungai didiamping kita ini, sungai ini diisi oleh apa?"

"Air Kas, emang kenapa?" Jawabku.

"Faiz, bagi hewan, air itu sebuah kebutuhan. Namun bagi kita manusia, air itu
seharusnya tidak hanyalah kebutuhan, air itu dapat menjadi pelajaran. Sebagaimana sungai
ini, semua itu terus berjalan, dan kamu gak akan pernah lihat sungai ini berhenti mengalir
kecuali jika airnya habis oleh kemarau. Air sungai ini akan terus mengalir mengisi bagian
yang kosong."

"Bakas, Itu sudah seperti sungai yang terkena kemarau, hanya atas kuasaNya hidup
Bakas masih bisa mengalir. Tapi kamu beda Faiz, kamu itu seperti air yang baru turun dari
pegunungan, jalan dan lintasan kamu masih panjang, dan kamu yang memilih apa saja yang
kamu mau bawa seiring perjalananmu, bagian yang belum kamu penuhi itu masih banyak,
jadi jangan pernah menyerah." Bakas menatap mataku dengan mata penuh dengan emosi
yang bercampur, wajahnya dan kalimatnya di saat itu, takkan pernah bisa kulupakan.
Memori yang paling kuingat dari liburan ramadhanku, adalah latihan silatku dengan
Bakasku Setiap habis shubuh di samping sungai Musi, latihan silat di waktu fajar diiringi
dengan langit yang kemerahan dan udara yang sejuk, sambil mendengarkan ajaran-ajaran
dan nasihat-nasihat Bakasku telah kumulai sejak aku berumur 8 tahun, Bakas Sanul amatlah
antusias ketika ibuku menyuruhku untuk berlatih silat padanya, dia langsung mengenaliku
kepada silat dan berhasil membuatku tertarik dengan silat.

Hal tentang Bakas Sanul yang paling berkesan kepadaku, adalah beliau itu orang
yang tegas, bijak, dan sangat kuat. Selama hidupku aku belum pernah sekalipun
mengalahkannya dalam silat. Dan yang paling membuatku takjub, Bakas Sanul tidak pernah
menggunakan kakinya dan selalu mengalahkanku hanya lewat teknik mengunci atau
membuatku kehilangan keseimbangan tanpa terluka.

Bakas Sanul terkenal di seluruh Palembang, tidak ada yang tak kenal dengan bakas
sanul "Si Pendekar Bijak Palembang". Jika keluargaku ada yang bilang dia keluarganya bakas
Sanul, takkan ada perampok, maling, preman, atau penjahat yang berani untuk berulah
kepadanya. Bakas di masa mudanya terkenal garang dan pendekar kebenaran, preman,
maling, dan perampok habis tak berkutik jika berhadapan dengan Bakas.

Cerita paling keren yang diceritakan padaku adalah ketika rumah bakas kebakaran,
semua penduduk rumah panik ingin keluar tapi terhalang api, namun bakas dengan sigap
langsung pergi ke loteng dan mengumandangkan azan. Mendengar azan di tengah malam
membuat warga kebingungan dan mengecek keluar, sehingga semua orang langsung
melihat kebakaran tersebut dan mulai menolong. Kisah Bakas diketahui oleh seluruh
penduduk kota dan sampai ada orang yang melukis kisah Bakas dengan ilustrasi rumah yang
kebakaran dan orang yang azan dari atas rumah tersebut walau api siap melahapnya.

"Faiz! Sebelum pulang, kita bersihin dulu semua sampah-sampah sekitaran sungai
ini," Ujar bakas.

"Ngapain Kas? Kan sampah-sampah ini bukan sampah kita," Protesku.

"Faiz, bersih itu bagian dari iman, dan bersih itu sebuah kenikmatan, selama kita
masih bisa menikmati sungai Musi yang bersih ini, kita harus ikut untuk menjaganya juga."
Ucap kakekku dengan senyuman yang lebar.

Mendengar kalimat tersebut akupun ikut mengumpulkan sampah-sampah


berserakan yang dibuang oleh orang-orang. Di saat itu aku mengerjakannya dengan
setengah hati karena bagiku itu hanya membuang-buang tenagaku saja membersihkan
sampah yang dibuang oleh orang lain. Tapi tak pernah terlewat di benakku, bahwa hal itu
akan menjadi memori yang sangat berharga bagiku.

Seperti hari-hari Ramadhan biasanya, aku pergi untuk shalat shubuh di masjid,
pulang dan menunggu Bakas Sanul untuk menjemputku di prabumuli untuk memulai latihan
silat di samping sungai Musi. Hari-hari berlanjut dan waktu untuk aku harus pulangpun
datang, aku selalu menangis setiap aku harus kembali ke jakarta untuk sekolah dan berpisah
dengan Bakas dan sepupu-sepupuku yang lain. Ajaran-ajaran dari Bakas Sanul selalu
melekat di hatiku, dan ajaran silatnya sangat membantuku dalam kesulitan, reaksiku pada
copet lebih cepat, dan hatiku tak pernah takut kepada siapapun karena orang terkuat di
otakku adalah Bakas Sanul.

Di saat aku berumur 14 tahun, dikala aku sedang di rumah, ibuku mendapat telpon
dari tanteku, lalu tiba-tiba menangis dan terduduk.

"Ma? Mama kenapa?" Tanyaku khawatir.

"Bakas... Bakas Sanul meninggal, nak..." Ucap ibuku sambil mengelus pipiku.

Mendengar kalimat ibuku akupun kaget, butuh waktu yang cukup lama untuk otakku
dan hatiku menangkap maksud dari kalimat ibuku. "Manusia super itu meninggal?" Fikirku
tak mungkin, otak dan hatiku menolak untuk menerima informasi tersebut. Namun dunia ini
kejam, aku dipaksa untuk tau dan datang ke pemakaman Bakas di Palembang, tangisku yang
tersedu-sedu membuat hujan air mata ikut bertebaran di pemakaman tersebut.

Bakas Sanul banyak menolong orang, sehingga banyak sekali orang yang datang dan
ikut menangis melihat wafatnya beliau. "Sang Pendekar Telah Pergi Menuju Peristirahatan"
Kisah seorang pahlawan yang hidupnya abadi itu memang tak pernah ada, sekuat apapun
orang dan sepintar apapun orang, ajal tetap akan menjemputnya tanpa melihat bulu.
Seperti air yang terserap oleh tanah, sudah waktunya untuk sang air yang lelah setelah
banyak memberi manfaat ke berbagai tempat untuk beristirahat di perlindungan tanah.

Dengan meninggalnya Bakas Sanul, semangatku dalam silatpun ikut meredam, aliran
deras semangatku hilang seketika melihat panutanku pergi ke tempat yang tak dapat aku
datangi. tahun ke tahun aku tidak ingin mengingat tentang silat, sampai ketika aku berumur
14 tahun dan aku masuk ke SMA.

Sepupu perempuanku yang paling kecil merengek untuk ingin melihat sungai, dan
ibuku memerintahkan ku untuk mengalah dan mengajaknya. Dengan menarik nafas yang
panjang, aku dengan terpaksa membawa sepupu kecilku itu ke tempat yang penuh memori
tersebut. Disitu akhirnya aku melihat, dan seperti pepatahn mengatakan, penyesalan selalu
datang terakhiran.

Sungai Musi yang aku dan bakas Sanul jaga menjadi sangat kotor, airnya keruh tidak
jernih, sampah berserakan dimana-mana. Hatiku hancur melihatnya dan air mata keluar
sendirinya tanpa mengikuti perintahku.

"Kiai? Kiai kenapa nangis?" Tanya adik sepupuku yang manis itu.

"Kiai... sedih lihat sampah yang berserakan dimana-mana ini."


"Memangnya dulu gak kayak gini Yai?" Tanyanya lagi.

"Dulu sungai ini jernih banget dek, Kiai sama Bakas Sanul selalu ngejaga sungai ini
biar terus bersih, jernih, dan terus membawa manfaat. Hati kiai kerasa kayak diinjak-injak
melihat kondisi ini." Jawabku sambil menahan air mataku agar tak dilihat oleh adik
sepupuku tersebut.

Karena kondisinya yang kotor, aku mengajak adik sepupuku untuk pulang lebih
cepat, kami sampai di rumah bersamaan dengan berkumandangnya azan maghrib. Aku
segera menurunkan adikku dan memasukkannya ke rumah dan pergi ke masjid untuk shalat.
Hatiku sedang kacau, jadi aku menghabiskan waktuku untuk menenangkan hati di masjid,
dari maghrib ke isya, dan jam 8 aku baru pulang dari masjid dan langsung tidur sesampaiku
di kamar.

Di malam itu, aku bermimpi, aku berdiri di sungai Musi yang sudah sangat kotor dan
jorok seperti sekarang.

"Menyedihkan ya Faiz." Sebuah suara serak terdengar dari arah belakangku yang aku
sangat hafal hanya satu orang yang memiliki suara rendah serak yang terdengar bijak seperti
itu.

Mendengar suara itu aku langsung menengok ke belakang, terlihat Bakasku yang
selalu kuingat itu wujudnya sedang menggunakan baju serba putih bersih.

"Hidup itu selalu berpilihan, ingat, kamu itu pejuang silat muslim Faiz. Pejuang itu,
berjuang untuk melindungi kedamaian, kedamaian itu keindahan, dan keindahan itu
kebersihan. Jangan sampai penyesalan seumur hidup datang karena hanya kesalahan di satu
momen." Kalimat nasihat yang diucapkan dengan nada tegas itu membuat air mataku keluar
deras karena rinduku mendengar suara tersebut.

"Bakas!" Teriakku keras, akupun langsung terbangun. Bangunku tanpa disengaja


berpapasan dengan waktu azan shubuh, akupun bersiap dan mulai berjalan menuju masjid.
Disitu aku merenung sejenak kalimat yang kudengar dari Bakas di mimpiku, akupun
bertekad untuk mulai kembali ke sungai Musi dan berlatih silat lagi dan membersihkannya
walau hanya sendiri.

Setelah shalat aku bergegas untuk pergi ke sungai Musi dengan menggunakan motor
ayahku, aku melakukan pemanasan dan mulai melakukan setiap gerakan yang aku ingat
pernah diajarkan oleh Bakas. Setelah berlatih, aku mulai membersihkan sungai tersebut, di
sekitar jam 6 pagi saat orang-orang mulai beraktivitas, orang-orang melihatku
membersihkan sungai tersebut seorang diri, aku hanya memberikan senyum ke setiap orang
yang lewat, namun tanpa aku ketahui, ternyata banyak orang yang juga terbawa hatinya
untuk membantu membersihkan sungai tersebut denganku.
Pembersihan sungai berlangsung hanya dalam satu minggu, setiap harinya orang-
orang yang membantuku semakin bertambah, "Andai Bakas melihat kejadian ini" fikirku.
Dengan banyaknya orang yang membantu, sungai Musi bersih kembali dengan amat cepat.
Dan yang membuatku kaget, beberapa orang tiba-tiba ingin belajar silat denganku, dan
terdapat juka bapak-bapak diantaranya.

"Um... Iya gapapa kok. InsyaAllah saya akan mengajarkan semua yang saya dapat
dari almarhum Bakas." Jawabku ke semua yang mengatakan ingin ikut belajar silat padaku.

Setelah semua selesai, orang-orang sudah bubar dan aku sendiri tinggal di sungai
tersebut. Aku duduk beristirahat sambil meratapi pemandangan sungai tersebut.
Melihatnya akupun teringat syair yang pernah kudengar dari Bakas.

Air mengalir dari hulu ke hilir

Datang dari kejauhan pergipun ke kejauhan

Orang datang dan pergi

Lahir dan mati

Seperti air yang lelah mengalir dan akhirnya beristirahat di tanah

Datang bermanfaat Pergipun bermanfaat

Air itu ilmu, air itu kuat

Hidup itu datang dan pergi

Ya Allah, lindungilah kami dari kekeringanmu

Kekeringan hati maupun kekeringan ilmu

Sungguh engkau sudah memberikan begitu banyak nikmat dari air

Namun sedikit sekali kami bersyukur

Tahun ke tahun orang-orang yang ikut belajar denganku semakin banyak, para
remaja yang tertarik dengan silatpun semakin banyak, pelatihan silat fajar Ramadhanpun
semakin terkenal, dan orang-orang mulai menjuluki kami. Sang "Pendekar Fajar Sungai
Musi".

Anda mungkin juga menyukai