FAKULTAS HUKUM
KARAWANG
i
KATA PENGANTAR
Selanjutnya salawat salam tak lupa pula penulis tujukan kepada Nabi
Muhammad SAW, beserta keluarga dan pengikutnya sekalian. Yang mana beliau
telah mewariskan dua pusaka yang tak ternilai untuk kebaikan manusia di dunia
wal akhirat.
Kami sadar sepenuhnya bahwa makalah yang dibuat ini jauh dari
sempurna, maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
dari semua pihak untuk penyempurnaan makalah Kami selanjutnya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
PENDAHULUAN...................................................................................................1
A. Latar Belakang..........................................................................................1
B. Rumusan Masalah.....................................................................................2
C. Tujuan........................................................................................................2
BAB II.....................................................................................................................3
PEMBAHASAN.....................................................................................................3
A. Definisi Recidive.......................................................................................3
B. Recidive Kejahatan Beserta Unsur-unsur Kejahatan................................3
C. Recidive Pelanggaran................................................................................5
D. Tujuan Penghukuman.....................................................................................6
a. Teori absolut.....................................................................................................7
b. Teori relatif atau teori tujuan...........................................................................8
c. Teori Gabungan................................................................................................8
BAB III....................................................................................................................9
PENUTUP...............................................................................................................9
KESIMPULAN....................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................10
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yang melatar belakangi membuat makalah dengan judul Pengulangan
Tindak Pidana ( Recidive ), ini adalah untuk memenuhi Tugas mata kuliah
Hukum Pidana Fakultas Hukum Semester III – Universitas Buana Perjuangan,
dengan tujuan untuk mengetahui dan memahami salah satu bab mengenai tentang
Pengulangan Tindak Pidana ( Recidive ).
Recidive terjadi dalam hal seseorang yang melakukan tindak pidana dan
telah dijatuhi pidana dengan suatu putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap (inkracht van gewijsde), kemudian melakukan tindak pidana lagi. Sama
seperti dalam concursus relais, dalam recidive terjadi beberapa tindak pidana.
Namun dalam recidive telah ada putusan hakim yang telah berkekuatan hukum
tetap.
Recidive merupakan alasan yang dapat memperberat pemidanaan. Sebagai
contoh, seperti yang diatur dalam Pasal 12 KUHP bahwa karena alasan recidive
pidana penjara boleh diputuskan sampai 20 tahun, walaupun secara umum pidana
penjara maksimum dijatuhkan selama 15 tahun.
Recidive tidak diatur secara umum dalam Buku I "Aturan Umum", namun
diatur secara khusus untuk sekelompok tindak pidana tertentu baik yang berupa
kejahatan dalam Buku II maupun pelanggaran dalam Buku III. Dengan demikian,
KUHP Indonesia saat ini menganut sistem recidive khusus,artinya pemberatan
pidana hanya dikenakan terhadap pengulangan jenis tindak pidana tertentu saja
dan dilakukan dalam tenggang waktu tertentu.
1
B. Rumusan Masalah
1. Definisi Recidive
2. Recidive kejahatan dan beserta unsur-unsurnya
3. Recidive pelanggaran
4. Dan tujuan penghukuman beserta teori yang ada
C. Tujuan
Adapaun tujuan yang didapat dalam penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1. Agar dapat memahami tentang pengertian Recidive
2. Untuk memahami Recidive kejahatan dan unsur-unsurnya
3. Untuk Memahami Recidive Pelanggaran yang ada pada Buku II KUHP
4. Untuk mengetahui tujuan penghukumannya
2
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Recidive
Recidive atau pengulangan tindak pidana terjadi pada dalam hal seorang
yang melakukan suatu tindak pidana dan telah dijatuhi pidana dengan suatu
putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap, kemudian melakukan suatu tindak
pidana lagi. Recidive ini menjadi alasan untuk memperberat pemidanaan.
Sistem Pemberatan Pidana Berdasarkan Recidive
Sistem pemberatan pidana berdasarkan recidive dibagi menjadi dua yaitu :
Recidive Umum
Dalam sistem ini dianut bahwasanya setiap pengulangan terhadap jenis
tindak pidana apapun dan dilakukan dalam waktu kapan saja, merupakan
alasan untuk pemberatan pidana. Dalam sistem ini tidak dikenal adanya
daluarsa recidive.
Recidive Khusus
Menurut sistem ini tidak semua jenis pengulangan merupakan alasan
pemberatan pidana. Pemberatan pidana hanya dikenakan terhadap
pengulangan yang dilakukan terhadap jenis tindak pidana tertentu dan
yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu pula.
3
Yang termasuk recidive jenis ini diatur dalam pasal 486, 487 dan 488
KUHP.
Menurut Edwin: H. Sutherland dalam bukunya Principles of Criminology
menyebutkan tujuh unsur kejahatan yang saling bergantungan dan saling
mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan kecuali apabila
memuat semua tujuh unsur tersebut. Unsur-unsur tersebut adalah :
1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian.
2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang, harus dikemukakan
dengan jelas dalam hukum pidana.
3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang
disengaja atau sembrono yang menimbulkan akibat-akibat yang
merugikan.
4. Harus ada maksud jahat ( mens rea )
5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan
kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan.
6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undang-
undang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri.
7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang.
4
c. Pengertian dalam arti juridis : misalnya dalam Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (KUHP). Walaupun KUHP sendiri tidak membedakan dengan tegas
antara kejahatan dan pelanggaran, tapi KUHP memisahkan kejahatan dan
pelanggaran dalam 2 buku yang berbeda.
Menurut Memorie van Toelichting, sebagai dasar dari pembedaan antara
kejahatan dan pelanggaran adalah pembedaan antara rechtsdelicten (delik
hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang). Pelanggaran termasuk dalam
wetsdelicten, yaitu peristiwa-peristiwa yang untuk kepentingan umum
dinyatakan oleh undang-undang sebagai suatu hat yang terlarang.
Misalnya mengendarai sepeda pada malam hari tanpa lampu merupakan
suatu delik undang-undang karena undang-undang menyatakannya sebagai
perbuatan yang terlarang.
Sedangkan kejahatan termasuk dalam rehtsdelicten (delik hukum), yaitu
peristiwa-peristiwa yang berlawanan atau bertentangan dengan asas-asas
hukum yang hidup dalam keyakinan manusia dan terlepas dari undang-undang.
Contohnya adalah pembunuhan dan pencurian. Walaupun perbuatan itu
(misalnya) belum diatur dalam suatu undang-undang, tapi perbuatan itu sangat
bertentangan dengan hati nurani manusia, sehingga dianggap sebagai suatu
kejahatan.
C. Recidive Pelanggaran
Terdapat 14 jenis pelanggaran di dalam Buku II KUHP yang apabila
diulangi dapat merupakan alasan untuk adanya pemberatan pidana, yaitu : pasal
489, 492, 495, 501, 512, 516, 517, 530, 536, 540, 541, 544, 545, dan 549.
5
3. Tenggang waktu pengulangannya baru lewat 1 atau 2 tahun sejak
adanya putusan pemidanaan yang berkekuatan tetap.
4. Belum lewat 1 tahun untuk pelanggaran pasal 489, 492, 495, 536,
540, 541, 544, 545, dan 549.
5. Belum lewat 2 tahun untuk pelanggaran pasal 501, 512, 516, 517,
dan 530.
D. Tujuan Penghukuman
Apabila berbicara mengenai penghukuman, maka pertanyaan yang
kerapkali muncul adalah apakah tujuan hukuman itu dan siapakah yang berhak
menjatuhkan \ hukuman. Pada umumnya telah disepakati bahwa yang berhak
menghukum (hak puniendi) adalah di dalam tangan negara (pemerintah).
Pemerintah dalam menjatuhkan hukuman selalu dihadapkan pada suatu
paradoksalitas, yang oleh Hazewinkel-Suringa dilukiskan sebagai berikut :
Pemerintah negara harus menjamin kemerdekaan individu, menjaga
supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati. Tapi kadang-
kadang sebaliknya, pemerintah negara menjatuhkan hukuman, dan karena
menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia tersebut oleh pemerintah negara
sendiri diserang, misalnya yang bersangkutan dipenjarakan. Jadi pada satu pihak
pemerintah negara membela dan melindungi pribadi manusia terhadap serangan
siapapun juga, sedangkan dipihak lain pemerintah negara menyerang pribadi
manusia yang hendak dilindungi dan dibela itu.
Orang berusaha untuk menunjukkan alasan apakah yang dapat dipakai untuk
membenarkan penghukuman oleh karena menghukum itu dilakukan terhadap
manusia-manusia yang juga mempunyai hak hidup, hak kemerdekaan bahkan
mempunyai hak pembelaan dari negara itu juga yang menghukumnya. Maka oleh
karena itu muncullah berbagai teori hukuman, yang pada garis besarnya dapat
dibagai atas tiga golongan :
a. teori absolut atau teori pembalasan
b. teori relatif atau teori tujuan
6
c. teori gabungan
a. Teori absolut
Tokoh-tokoh yang terkenal yang mengemukakan teori pembalasan ini
antara lain adalah Kant dan Hegel. Mereka beranggapan bahwa hukuman itu
adalah suatu konsekwensi daripada dilakukannya suatu kejahatan. Sebab
melakukan kejahatan, maka akibatnya harus dihukum. Hukuman itu bersifat
mutlak bagi yang melakukan kejahatan. Semua perbuatan yang temyata
berlawanan dengan keadilan, harus menerima pembalasan. Apakah hukuman itu
bermanfaat bagi masyarakat, bukanlah hal yang menjadi pertimbangan, tapi
hukuman harus dijatuhkan. Untuk menghindari hukuman ganas, maka Leo Polak
menentukan tiga syarat yang harus dipenuhi dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
1. Perbuatan yang dilakukan dapat dicela sebagai suatu perbuatan yang
bertentangan dengan etika, yaitu bertentangan dengan kesusilaan dan tata
hukum obyektif
2. Hukuman hanya boleh memperhatikan apa yang sudah terjadi. Hukuman tidak
boleh dijatuhkan dengan suatu maksud prevensi
3. Beratnya hukuman harus seimbang dengan beratnya delik. Hal ini perlu supaya
penjahat tidak dihukum secara tidak adil.
Gerson W. Bawengan dalam bukunya Pengantar Psychologi Kriminil
menyatakan bahwa ia menolak teori absolut atau teori pembalasan itu yang
dikemukakan dalam bentuk apapun, berdasarkan tiga unsur, yaitu :
1. Tak ada yang absolut didunia ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa.
2. Pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan emosionil
kepada pemegang kekuasaan dan merangsang ke arah sifat-sifat 'sadistis',
sentimentil. Oleh karena itu kepada para penonjol teori pembalasan itu,
dapatlah diterka bahwa mereka memiliki sifat-sifat sadistis. Dan kerena itu
pula ajaran mereka lebih condong untuk dinamai teori sadisme.
3. Tujuan hukuman dalam teori itu adalah hukuman itu sendiri. Dengan dernikian
teori itu mengalami suatu jalan buntu, oleh karena tujuannya hanya sampai
pada hukuman itu sendiri. adalah suatu tujuan yang tak bertujuan, sebab
dipengaruhi dan disertai nafsu membalas
7
b. Teori relatif atau teori tujuan
Para penganjur teori relatif tidak melihat hukuman itu sebagai pembalasan,
dan karena itu tidak mengakui bahwa hukuman itu sendirilah yanag menjadi
tujuan penghukuman, melainkan hukuman itu adalah suatu cara untuk mencapai
tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Hukuman, dengan demikian
mempunyai tujuan, yaitu untuk melindungi ketertiban. Para pengajar teori relatif
itu menunjukkan tujuan hukuman sebagai usaha untuk mencegah terjadinya
pelanggaran hukum. Menghindarkan, agar umumnya orang tidak melakukan
pelanggaran bahkan ditujukan pula bagi terhukum agar tidak mengulangi
pelanggaran.
Dengan demikian maka hukuman itu mempunyai dua sifat, yaitu sifat
prevensi umum dan sifat prevensi khusus. Dengan prevensi umum, orang akan
menahan diri untuk tidak melakukan kejahatan. Dan dengan prevensi khusus para
penganjurnya menitikberatkan bahwa hukuman itu bertujuan untuk mencegah
orang yang telah dijatuhi hukuman, tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Selanjutnyaa bagi mereka yang hendak melakukan peianggaran akan
mengurungkan maksudnya sehingga pelanggaran tidak dilaksanakan.
c. Teori Gabungan
Menurut teori gabungan hukuman hendaknya didasarkan atas tujuan
pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara
kombinasi dengan menitikberatkan pada saiah satu unsurnya tanpa
menghilangkan unsur yang lain maupun pada semua unsur yang telah ada.
8
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Kejahatan adalah suatu persoalan yang selalu melekat dimana masyarakat
itu ada. Kejahatan selalu akan ada seperti penyakit dan kematian yang selalu
berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke tahun.
Segala daya upaya dalam menghadapi kejahatan hanya dapat menekan
atau menguranagi meningkatnya jumlah kejahatan dan memperbaiki penjahat agar
dapat kembali sebagai warga masyarakat yang baik.
Masalah pencegahan dan penanggulangan kejahatan, tidaklah sekedar
mengatasi kejahatan yang sedang terjadi dalam lingkungan masyarakat, tapi harus
diperhatikan pula, atau harus dimulai dari kondisi yang menguntungkan bagi
kehidupan manusia. Perlu digali, dikembangkan dan dimanfaatkan seluruh potensi
dukungan dan partisipasi masyarakat dalam upaya untuk menanggulangi
kejahatan. Hal itu menjadi tugas dari setiap kita, karena kita adaIah bagian dari
masyarakat.
9
DAFTAR PUSTAKA
www.google.com Recedive.
10