Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TAKHRIJ HADITS
Sebagai Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ulumul Hadits
.Dosen Pengampu : Samin Syahidin, M.Pd

Disusun Oleh Kelompok 10 :

1. Dwi Nanda Widad Haryani (0106.2001.008)


2. Fadillah Nurazizah (0106.2001.011)
3. Miljam Khoirul Harisin (0106.2001.023)
4. Nabila Nurul Azmi (0106.2001.025)
5. Putri Nurhakimah (0106.2001.031)

FAKULTAS TARBIYAH ISLAMIYAH


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI )
DR.KH.EZ.MUTTAQIEN PURWAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim..
Puji syukur kami panjatkeun kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat,
taufik dan hidayahnya, sehingga dapat terselesaikannya makalah ini dalam rangka
melengkapi tugas Mata Kuliah “Ulumul Hadits”.
Sholawat beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan pada nabi Muhammad SAW,
beserta keluarganya, para Sahabat dan semoga kita tercatat sebagai Ummatnya, Amiiinn,
dengan harapan semoga bisa mendapatkan Syafa’at uzma ila yaumil qiyamah.
Dalam penyusunan Makalah ini kami mengucapkan banyak terimakasih kepada seluruh
pihak yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan makalah ini dan memeberikan
dorongan semangat dalam mengerjakan makalah ini,
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Takhrij Hadits”. Mungkin dalam
pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami
mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang
sempurna.
Purwakarta, 2 Januari 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................................................ii
BAB I....................................................................................................................................................1
PENDAHULUAN................................................................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................................................1
B. Masalah atau Topik Bahasan.................................................................................................2
C. Tujuan penulisan makalah......................................................................................................2
BAB II..................................................................................................................................................3
PEMBAHASAN...................................................................................................................................3
A. Pengertian Takhrij Hadist.......................................................................................................3
B. Tujuan, Faedah dan Manfaat Takhrij Hadits......................................................................5
C. Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Men-Takhrij..............................................................7
D. Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij.................................................................................8
E. Contoh Takhrij......................................................................................................................13
BAB III...............................................................................................................................................23
PENUTUP..........................................................................................................................................23
A. Kesimpulan............................................................................................................................23
B. Saran.......................................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................................24

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hadist merupakan salah satu sumber hukum Islam, namun tidak seluruh hadist dari Nabi
SAW. Diterima oleh para sahabat secara kolektif kemudian disampaukan kepada orang
banyak secara mutawatir, seperti Al-quran. Mayoritas hadist justru diriwayatkan secara
individu (ahad) atau beberapa orang saja sehingga tidak mencapai nilai mutawatir. Hadist
yang diterima secara mutawatir dapat diterima secara aklamasi sebagai hujjah tanpa penilaian
sifat-sifat individu para perawinya, seperti sifat adil, cerdas, memiliki ingatan yang kuat, atau
mudah hafal.
Berbeda dengan hadist ahad, para periwayat dalam sanad harus memiliki kredibilitas
yang dapat dipertanggungjawabkan, seperti sanad yang harus bersambung (ittishal) serta
periwayat harus bersifat adil (adelah) dan memiliki hafalan kuat (dhabith). Oleh karena itu,
para periwayat hadist ahad perlu diteliti sifat-sifatnya agar dapat memnuhi kriteria hadist
shahih.
Sementara itu, sehubungan dengan masa munculnya hadist yang bersamaan dengan
turunya Al-quran, dalam periwayatannya Al-quran tidak ada masalah. Ummat Islam
menerimanya dan tidak memerlukan kajian silsilah sanad karena selurunya ditulis sejak masa
Rasululloh hidup serta Alquran diterima oleh para sahabat secara mutawatir. Dengan
demikian, Al-quran memiliki kepastian hokum (qath’i al-wurud). Hal tersebut berbeda
dengan sunnah atau hadist yang tidak tertulis sejak masa Rasululloh SAW. Mayoritas hadsit
hanya dihafal oleh para sahabat karena pernah terjadi pemalsuan dan penyalahgunaan
kepentingan. Kondisi itu mengundang ulamak untuk meneliti autentisitas hadist secara
objektif.
Setelah terjadi pemalsuan hadist, terutama oleh beberapa sakte Islam akibat konflik
politik antara pendukung Sayyidina Ali dan muawiyah (41 H), para ilmuan bangkit
mengadakan peneltian hadist, secara garis besar ada beberapa faktor yang malatarbelakangi
perlunya takhrij hadist sebagaimana yang diungkapkan Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail, sebagai
berikut :
1. Hadits sebagai sumber ajaran islam.
2. Tidak seluruh hadist ditulis pada masa Nabi.
3. Timbul berbagai pemalsuan hadist.
4. Proses penghimpunan hadist membutuhkan waktu yang lama.
5. Banyak kitab hadist yang teknik penyusunannya beragam.

1
6. Banyak hadist bertebaran diberbagai buku yang tidak jelas kualitasnya.1

B. Masalah atau Topik Bahasan


Ada beberapa masalah yang akan diulas dalam makalah ini :
1. Pengertian takhrij hadist.
2. Tujuan takhrij hadist.
3. Faedah dan manfaat takhrij hadist.
4. Kitab-kitab hasil takhrij
5. Metode takhrij hadist.

C. Tujuan penulisan makalah


1. Untuk mengatahui pengertian takhrij hadist?
2. Tujuan takhrij hadist?
3. Untuk mengatahui faedah dan mamfaat takhrij hadist?
4. Untuk mengetahui Kitab-kitab hasil Takhrij
5. Untuk mengatahui metode takhrij hadist?

1
M. Syuhudi Ismail, Metodelogi penelitian hadist Nabi, (Jakarta : Bulan bintang, 1991), 7-18.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Takhrij Hadist
Secara etimologi kata “Takhrij” berasal dari kata : ‫ خرج يخرج خروجا‬mendapat tambahan
tasydid/syiddah pada ra’ (ain fi’il) menjadi : ‫رج تخريجا‬MM‫ خرج يخ‬yang berarti menampakkan,
mengeluarkan, menerbitkan, menyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan
sesuatu yang tidak jelas atau masih tersembunyi, tidak kelihatan dan masih samar.
Pengeluaran dan penampakan disini tidak harus berbentuk fisik yang konkrit, tetapi
mencakup nonfisik yang hanya memerlukan tenaga dan fikiran seperti makna kata isktikhraj
‫ ))إستخراج‬yang diartikan istinbath (‫ )إستنباط‬yang berarti mengeluarkan hukum dari nash/teks
Al-quran dan hadist.2
Kata Ikhraj dalam terminologi ilmu hadits berarti ilmu hadis berarti yaitu, periwayatan
hadis dengan menyebutkan sanad-nya mulai dari mukharij-nya dengan perawiannya sampai
kepada Rasul SAW. Jika hadis tersebut Marfu’, atau sampai kepada sahabat jika hadis
tersebut mauquf, atau sampai kepada tabi’in jika hadis tersebut maqthu’.3
1. Pengertian takhrij
M‫ذكر األحاديث بأسانيدها‬
“Menyebutkan beberapa hadist dengan sanadnya.”
2. Pengertian lain.
‫ب التَّ ْق ِويَ ِة فِى اإْل ِ ْسنَا ِد َوال ِّزيَا َد ِة فِى ْال َم ْت ِن‬
ِ ‫ت أَ َسانِ ْي ُدهُ ِم ْن بَا‬
ْ ‫ب ُذ ِك َر‬ ِ ‫ِذ ْك ُر أَ َسانِ ْي َد أُ ْخ َرى أِل َ َحا ِد ْي‬
ٍ ‫ث ِكتَا‬

“Menyebutkan sanad-sanad lain beberapa hadist yang terdapat dalam sebuah kitab.
penyebutan beberapa sanad tersebut dalam suatu bab memperkuat posisi sanad dan
menambah ragam dalam matan”.
3. Pengertian takhrij hadist setelah dibukukan
‫ان ْال ُح ْك ِم عليها‬
ِ َ‫ب ْال َموْ جُوْ َد ِة فِ ْيهَا َم َع بَي‬
ِ ُ‫ث اِلَى ْال ُكت‬
ِ ‫ع َْز ُو اأْل َ َحا ِد ْي‬

“Menunjukkan asal beberapa hadist pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadist) dengan
menerangkan hukumnya.”4

Suatu hadis yang sebelumnya tidak diketahui keadaannya sehingga seolah-olah dianggap
tidak ada, maka dengan ikhraj, yaitu penyebutan sanad-nya secara bersambung sampai

2
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : Amzah, 2012 ), 127.
3
Ahmad ibn Muhammad al-Shiddiq al-Ghamari, Hushul al-Tafrij bi Ushul al-Takhrij (Riya’: Maktabat
Thabariyyah, cet. Pertama 1414 H/1994 M), h. 14
4
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadist, ( Jakarta : Amzah, 2014 ), 3.

3
kepada yang mengucapkannya, hadis tersebut akan menjadi jelas eksistensinya dan akan
diketahui kualitasnya sehingga dapat diamalkan.
Istikhraj dalam istilah ilmu hadis adalah: “bahwa seorang hafiz (ahli hadis) menentukan
(memilih) suatu kitab kumpulan hadis karya orang lain yang telah disusun lengkap dengan
sanad-nya, lalu dia mentakhrij  hadis-hadisnya dengan sanad-nya sendiri tanpa mengikuti
jalur sanad penyusun kitab tersebut. (Akan tetapi) jalur sanad-nya itu bertemu dengan sanad
penulis buku tersebut pada gurunya atau guru sebagai penerima hadis pertama, dengan
syarat bahwa hadis tersebut tidak datang dari sahabat lain, tetapi mestilah dari sahabat
yang sama.”5
Sebagai contoh, seorang bermaksud melakukan istikhraj terhadap kitab Shahih al-
Bukhari. Hadis pertama di dalam kitab tersebut adalah hadis tentang niat, yaitu:

ِ ‫ إِ نَّ َما ْا الَ ْع َما لُلنِّيَا‬...


‫ت‬

Hadis niat tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dari gurunya Al-Humadi, dari Syufan ibn
Uyainah, dari Yahya ibn Said al-Anshari, dari Ibrahim al-Taimi, dari Al-Qamah ibn Waqqash
al-Laitisi, dari ‘Umar ibn al-khathab.6 Seorang mustakhrij (yang melakukan istikhraj) akan
menyandarkan hadis tersebut dengan sanad-nya sendiri kepada al-Humadi,guru Bukhari, atau
jika dia akan meriwayatkan hadis hadis tersebut dengan menyadarkan kepada Yahya ibn al-
Mubarak atau ‘Abd al-Rahman ibn Mahdi atau para perawi selain mereka yang meriwayatkan
hadis tersebut dari Yahya ibn Sa’id al-Anshar, yang jumlahnya menurut sebagian ulama hadis
mencapai 700 orang.
Adapun Takhrij secara Bahasa Berarti : “Berkumpulnya dua hal yang bertentangan
dalam satu masalah.”
Selain itu, Takhrij secara bahasa juga mengandung pengertian yang bermacam-macam,
dan yang paling polpuler di antaranya adalah : (i) al-istinbath (mengeluarkan), (ii) al-tadrib
(melatih atau membiasakan), (iii) al-tajwih (memperhadapkan)7
Secara terminology, takhrij berarti, mengembalikan (menelusuri kembali ke asalnya)
hadis-hadis yang terdapat di dalam berbagai kitab yang tidak memakai sanad kepada kitab-
kitab musnad (kitab sandaran), baik disertai dengan pembicaraan tentang status hadis-hadis
tersebut dari segi shahih atau dha’if, ditolak atau diterima, dan penjelasan tentang
kemungkinan illat yang ada padanya, atau hanya sekedar mengembalikannya kepada kitab-
kitab asal (sumber)-nya.
5
Al-Ghamari, Hushul al-Tafrij, h. 15
6
Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), 8 Juz I, h. 2
7
Al-Ghamari, Hushul al-Tafrij, h. 13

4
B. Tujuan, Faedah dan Manfaat Takhrij Hadits
Peguasaan tentang ilmu takhrij penting, bahkan merupakan suatu kemestian bagi setiap
ilmuan yang berkecimpung di bidang ilmu-ilmu kesyariahan, khususnya yang menekuni
bidang hadis dan ilmu hadis. Dengan mempelajari kaidah-kaidah dan metode takhrij,
seseorang akan dapat mengertahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam
mengetahui bagaimana cara untuk sampai kepada suatu hadis di dalam sumber-sumbernya
yang asli yang pertama kali disusun oleh para ulama mengkodifikasi hadis.8 Dengan
mengetahui hadis di dalam buku-buku sumbernya yang asli, sekaligus akan mengetahui
sanad-sanad-nya akan memudahkan untuk melakukan penelitian sanad dalam rangka untuk
mengetahui status dan kualitasnya. Kebutuhan ini akan sangat dirasakan ketika menyadari
bahwa sebagian para penyusun kitab-kitab dalam bidang fikih, tafsir dan, sejarah yang
memuat Hadis-Hadis Nabi SAW.
Menurut ‘Abd al-Mahdi, yang menjadi tujuan dari takhrij adalah : “menunjukan sumber
Hadits dan menerangkan ditolak atau diterimanya hadits tersebut.” Dengan demikian, ada
dua hal yang menjadi tujuan Takhrij yaitu :
(1) Untuk mengetahui sumber suatu hadits, dan
(2) Mengetahui Kualitas dari suatu Hadits, apakah dapat diterima (Shahih atau Hasan)
atau ditolak (Dha’if)
Dalam melakukan takhrij tentunya ada tujuan yang ingin dicapai. Tujuan pokok dari
takhrij yang ingin dicapai seorang peneliti adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui eksistensi suatu hadist apakah benar suatu hadist yang ingin diteliti
terdapat dalam buku-buku hadist atau tidak.
2. Mengetahui sumber otentik suatu hadist dari buku hadist apa saja yang didapatkan.
3. Mengetahui ada berapa tempat hadist tersebut dengan sanad yang berbeda didalam
sebuah buku hadist atau dalam beberapa buku induk hadist.
4. Mengetahui kualitas hadist (maqbul/diterima atau mardud/tertolak).9

Menurut Abd al-Mahdi manfaat takhrij banyak sekali diantaranya adalah:


1. Mengatahui refrensi beberapa buku hadist. Dengan takhrij, seseorang dapat
mengatahui siapa perawi suatu hadist yang diteliti dan didalam kitab hadist apa saja
hadist tersebut didapatkan.

8
Al-Thahhan, Ushul al-Takhrij, h. 12
9
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Al-Hadist, ( Kairo : Al-I’tisham 1987), 11.

5
2. Menghimpun sejumlah sanad hadist. Dengan takhrij, seseorang dapat menemukan
sebuah hadist yang akan diteliti disebuah atau dibeberapa buku induk hadist. Misalnya
terkadang dibeberapa tempat didalam kitab Al-Bukhori saja, atau didalam kitab-kitab
lain. Dengan demikian dia akan menghimpun sejumlah sanad.
3. Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus
(munqathi’), dan mengatahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadist serta
kejujuran dalam periwayatannya.
4. Mengetahui status suatu hadist. Terkadang ditemukan sanad suatu hadist dha’if, tetapi
melalui sanad lain hukumnya shahih.
5. Meningkatkan suatu hadist yang dha’if menjadi hasan li ghayrihi karena adanya
dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya. Atau
meningkatkannya hadist hasan menjadi shahih li ghayrihi dengan ditemukannya sanad
lain yang seimbang atau lebih tinggi kualitasnya.
6. Mengetahui bagaimana para imam hadist menilai kualitas suatu hadist dan bagaimana
kritikan yang disampaikan.
7. Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan
suatu hadist.10
8. Menambah perbedaharaan sanad hadis melalui kitab-kitab yang di tunjukannya.
9. Memperjelas hukum hadis dengan banyaknya riwayatnya, seperti hadis dha’if  melalui
suatu riwayat, maka dengan takhrij kemungkinan akan didapati riwayat lain yang
dapat mengangkat status hadis tersebut kepada derajat yang lebih tinggi.
10. Mengetahui pendapat-pendapat para ulama sekitar hukum hadits.
11. Memperjelas perawi hadits yang samar karena dengan adanya takhrij, dapat diketahui
nama perawi yang sebenarnya secara lengkap.
12. Memperjelas perawi hadis yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan di
antara sanad-sanad
13. Dapat menafikan pemakaian “an” dalam periwayatan hadis oleh seorang perawi
mudallis. Dengan didapatinya sanad yang lain yang memakai kata yang jelas
kebersambungan sanad-nya, maka periwayatannya yang memakai “an” tadi akan
tampak pula kebersambungan sanad-nya.
14. Dapat menghilangkan kemungkinan, terjadinya pencampuran riwayat.

10
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadist, 131.

6
15. Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya. Hal ini karena mungkin saja ada
perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain,
maka nama perawi itu akan menjadi jelas.

C. Kitab-Kitab yang Diperlukan dalam Men-Takhrij


Dalam melakukan kegiatan takhrij, seseorang memerlukan kitab-kitab tertentu dapat
dijadikan pegangan atau pedoman sehingga dapat melakukan kegiatan takhrij secara mudah
dan mencapai sasaran yang dituju. Di antara kitab-kitab yang dapat dijadikan pedoman dalam
men-takhrij adalah Ushul al-Tahkrij wa Dirasat al-Asanid oleh Muhammad al-
Thahan, Hushul al-Tafrij bi Ushul al-Takhrij oleh Ahmad ibn Muhammad al-Shiddiq al-
Gharami, Thuruq takhrij Hadits Rasulullah SAW.
Selain kitab-kitab diatas, didalam men-takhrij, diperlukan juga bantuan dari kitab-kitab
kamus atau mu’jam hadis dan mu’jampara perawi hadis, yang diantaranya seperti berikut ini.
(i) Al-Mu’jamal-Mufahrasli Alfazh al-Hadits al-Nabawi11 oleh A.J Wensick, seorang
orientalitas dan guru besar bahasa Arab pada Universitas Laiden, dan kemudian
bergabung dengannya Muhammad Fu’ad ‘Abd al-Baqi.
(ii) Miftah kunuz al-Sunnah,12 juga oleh A.J Wesinck, yang memerlukan waktu selama 10
tahun untuk menyusun kitab tersebut. Kitab ini diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Muhammad fu’ad ‘Abd al-Baqi.

Sedangkan kitab yang memuat biografi para perawi hadis, di antaranya adalah
sebagaimana yang disebutkan oleh Al-Thahhan berikut ini.
1. Kitab-kitab yang memuat biografi sahabat:
a. Al- Isti ab Ma’ rifat al-Ashhab, oleh ibnu ‘Abd al- Andalusia (w. 463/1071 M).
b. Ushud al-Ghabah fi Ma’rifat al-Shahabah, oleh Iz al-Din Abi al-Hasan Ali ibn
Muhammad ibn al-Atsir al-Jazari (w. 630H/1232 M).
c. Al- Ishabah ffi Tamyiz al-Shahabah, oleh al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani (w. 852
H/ 1449 M).
2. Kitab-kitab thabaqat, yaitu kitab-kitab yang membahas biografi para perawi hadis
bedasarkan tingkatan para perawi (thabaqat al-ruwat):

11
Kitab ini memuat Hadits-hadits dari sembilan kitab Induk Hadits, seperti (1) Shahih al-Bukhari (2) Shahih
Muslim (3) Sunan Tirmidzi (4) Sunan Abu Dawud (5) Sunan Nasa’i (6) Sunan Ibn Majah (7) Sunan darimi (8)
Sunan M uwantha’ Malik, dan (9) Musnad Imam Ahmad
12
Kitb ini memuat Hadits-hadits yang terdapat dalam 14 buah kitab baik mengenai Sunnah ataupun Biografi
nabi, yaitu dalam elain kitab induk Hadits sebagai yang dimuat oleh kitabnya yang pertama (al-Mu’jam al-
Mufahras li Alfazh al-Hadits al-Nabawi) diatas, tambahannya adalah (10) Musnad al-Thayalisi, (11) Musnad
Zaid ibn Ali ibn Husein ibn Ali ibn Abi Thalib (w, 122 H), (12) Al-Thabaqat al-Kubra oleh Muhamad ibn Sa’ad (w.
230 h), (13) Sirah ibn hisyam (w. 218 H), dan (14) Al-Maghazi oleh Muhammad ibn ‘Umar al-Waqidi (w. 207 H)

7
a. Al-Thabaqat al-kubra, oleh ‘Abd Allah Muhammad ibn Sa’ad Katib al-Waqidi
(w. 230 H).
b. Tadzikirat al-Huffazh, karangan Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad ibn
utsman al- Dzahabi (w. 748 H/ 1348 M)
3. Kitab-kitab yang memuat para perawi hadis secara umum:
a. Al-Tharikh al-kabir, oleh Imam al-Bukhari (w. 256 H/ 870 M).
b. Al-Jarh wa al-Ta’dil, karya Ibn Abi Hatim (w. 327 H).
4. Kitab-kitab yang memuat para perawi hadis dari kitab-kitab hadis tertentu:
a. Al-Hidayah wa al-Irsyad fi Ma’rifat Ahl al-Tsiqat wa al-Sadad, oleh Abu nashr
Ahmad ibn Muhammad al-Kalabadzi (w.398 H). Kitab ini khusus memuat para
perawi dari kitab Shahih al-Bukhari.
b. Rijal Shahih Muslim, olah Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al- Ashfahani (w. 438 H).
c. Al-Jam’ bayn Rijal al-Muawaththa’, tulisan Muhammad Ibn Yahya al-Hidzdza’
al-Tamimi (w. 416 H).
d. Al-Ta’rif Rijal al-Muawaththa’, tulisan Muhammad Ibn yahya al-Qaisarani (w.
507 H).
e. Nashbu al-Rayah li Ahadits al-hidayah karya al-Imam al-Hafizh Jamaluddin Abu
Muhammad Abdillah bin Yusuf al’-Zaila’I al-hanfi (w. 762 H)
f. Al-Mughni an Haml at-Asfar fi Takhrij Ma fi al-Ilhya’ min al-Akhbar karya al-
Hafizh al-Kabir al-Imam Abdurrahim bin at-Husain al-Iraqi (w. 806 H), guru al-
Hafizh Ibnu hajar. Ia adalah orang nomor satu dalam bidang ilmu hadis pada
waktu itu.
5. Dan kitab-kitab lain yang memuat Biografi para Perawi hadits.

D. Cara Pelaksanaan dan Metode Takhrij


Didalam melakukan Takhrij, ada lima metode yang dapat dijadikan sebagai pedoman yaitu:
1. Takhrij menurut lafaz pertama matan Hadits;
2. Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat didalm matan Hadits;
3. Takhrij menurut perawi pertama;
4. Takhrij menurut tema Hadits;
5. Takhrij menurut klasifikasi (Status) Hadits.

Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan diuraikan tentang metode-metode diatas dan kitab-
kitab yang menggunakan metode tersebut, :

8
1. Takhrij Melalui Lafadz Pertama matan Hadits
Metode ini sangat tergantung kepada lafadz pertama matan Hadits. Hadits-hadits dengan
metode ini dikodifikasi berdasarkan lafadz pertamanya menurut urutan huruf-huruf hijaiyah,
seperti Hadits-hadits yang huruf pertama dari lafadz pertamanya alif, ba, ta, dan seterusnya.
Seorang Mukharrij yang menggunakan metode ini haruslah terlebih dahulu mengetahui
secara pasti lafadz pertama dari Hadits yang akan di takhrij-nya, setelah itu barulah dia
melihat huruf pertamanya pada kitab-kitab takhrij yang di susun berdasarkan metode ini, dan
huruf kedua, ketiga, dan seterusnya.
Umpamanya, apabila akan men-takhrij Hadits yang berbunyi :
َ ‫َمنْ غَ َّشنا َفلَي‬
‫ْس ِم َّنا‬

Maka, langkah yang akan ditempuh dalam penerapan metode ini adalah menentukan
urutan huruf-huruf yang terdapat pada lafadz pertamanya, dan begitu juga lafaz-lafaz
selanjutnya :
1. Lafaz pertama dari Hadis diatas dimulai dengan huruf mim, maka dibuka kitab-kitab
Hadits yang disusun berdasarkan metode ini pada bab mim.
2. Kemudian mencari huruf kedua setelah mim, yaitu nun.
3. Berikutnya mencari huruf-huruf selanjutnya, yaitu ghain, syin, dan nun. Dan demikian
seterusnya, mencari huruf-huruf hijaiyah pada lafaz-lafaz matan Hadis tersebut.
Metode ini mempunyai kelebihan dalam hal memberikan kemungkinan yang besar bagi
seorang mukharrij untuk menemukan Hadits-hadits yang sedang di cari dengan cepat. Akan
tetapi, sebagai kelemahan dari metode ini adalah, apabila terdapat kelainan atau atau
perbedaan lafadz pertamanya sedikit saja maka akan sangat sulit untuk menemukan Hadits
yang di maksud. Sebagai contoh , Hadits yang berbunyi :

ِ ِ
َ ‫اذاأَتَا ُك ْم َم ْن َتْر‬
ُ‫ض ْو َن د ْينَهُ َو ُخلَُقهُ َفَز ِّو ُج ْوه‬
Berdasarkan teks di atas, maka lafadz pertama hadits tersebut adalah idza atakum (

‫)ذاأَتَ ا ُك ْم‬. Namun, apabila yang diingat oleh mukharrij sebagai lafadz pertamanya adalah lau
atakum atau idza ja'akum, maka hal tersebut tentu akan menyebabkan sulitnya menemukan
Hadits yang sedang di cari, karena adanya perbedaan lafadz pertamanya, meskipun ketiga
lafadz mengandung arti yang sama.

Diantara kitab-kitab yang menggunakan metode ini adalah

a. Al-Jami' al-Shaghir min Hadits al-Basyir al-Nadzir, karangan Al-Suyuthi (w. 911 H)
b. Al-fath al-Kabir fi Dhamm al-Ziyadat ila al-Jami al-Shagir, juga karangan al-Suyuthi
c. Jam' al-Jawami' aw al-Jami' al-Kabir, juga dikarangan oleh al-Suyuthi
9
d. Al-Jami' al-Azhar min Hadits al-Nabi al-Anwar, oleh Al-Manawi (w. 1031 H)
e. Hidayat al-Bari ila Tartib Ahadits al-Bukhari, oleh 'Abd al-Rahim ibn 'Anbar al-
Thahawi (w. 1365)
f. Mu'jam Jami' al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, oleh Imam al-Mubarak ibn Muhammad
ibn al-Atsir al-Jazari.
2. Takhrij melalui kata-kata dalam matan hadits
Metode ini adalah berdasarkan pada kata-kata yang terdapat dalam matan hadits , baik
berupa isim (nama benda) atau fi’il (kata kerja). Hadits-hadits yang dicanctumkan adalah
berupa potongan atau bagian dari hadits. Dan para ulama yang meriwayatkan beserta nama
kitab-kitab induk hadits yang dikarang mereka. Dicantumkan dibawah potongan hadits-hadits
tersebut. Pengguna metode ini akan lebih mudah manakala menerbitkan pencarian hadits
berdasarkan lafadz-lafadz nya yang asing dan jarang penggunaanya. Umpamanya pencarian
Hadits berikut :
‫هّٰللا‬
ِ ‫صلَّی ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َن َهی َعنْ َط َع ِام ال ُم َت َب‬
‫ار َبي َْن اَنْ يُؤ َك َل‬ َ َّ‫اِنَّ ال َّن ِبي‬
Dalam pencarin Hadits diatas pada dasarnya dapat ditelusuri melalui kata-kata naha,
tha’am, Yu’kal, atau al-mutabariyaini. Akan tetapi, dari sekian kata yng dapat dipergunakn,
lebih dianjurkan untuk menggunkana kata al-mutabariyaini karena kata tersebut jarang
adanya, menurut penelitian para Ulama Hadits, penggunaan kata tabara didalam kitab induk
Hadits (yang berjumlah sembilan) hanya dua kali.13

Beberapa keistimewaan metode ini adalah :


(1) Metode ini mempercepat pencarian hadits
(2) Para peyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini hadits haditsnya.
(3) Memungkinkan pencarian hadits melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam
matan hadits.
Selain mempunyai keistimewaan metode ini juga mempunyai kelemahan , yang diantaranya :
(1) Adanya keharusan memiliki kemampuan berbahasa arab beserta perangkat ilmunya
secara memadai
(2) Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat yang menerima hadits
dari nabi saw.
(3) Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang
mencarinya harus menggunakan kata-kata lain.

13
Addul Mahdi, Thuruq Takhrij, h. 60.

10
Penggunaan metode metakhrij ini suatu hadits dapat dilakukan dengan mengikuti
langkah-langkah berikut :
Langkah pertama adalah menentukan kata kuncinya , yaitu kata yang akan, yaitu kata
yang dipergunakan sebagai alat untuk mencari hadits. Sebaiknya kata kunci dipilih adalah
kata yang jarang dipakai, karena semakin bertambah asing kata tersebut akan semakin mudah
proses pencarian hadits. Setelah itu, kata tersebut dikembalikan kepada bentuk dasarnya, dan
berdasarkan bentuk dasar tersebut dicarilah kata-kata itu didalam kitab mu’jam menurut
urutannya secara abjad (huruf hijaiyah).14
Didalam kitab mu’jam ini penempatan kata kerja sesuai dengan urutan huruf-huruf
hijaiyah yaitu alif, ba’, dan ta’ . dan seterusnya mengiri setiap hadits dicantumkan nama-
nama ulama yang meriwayatkan didalam kitab-kitab hadits karya mereka , selain itu, juga
dicantumkan nama kitab dan bab nya , atau nama kitab dan nomor halamannya.
Berikut keterangan kode-kode tersebut dan penjelasan mengenai tempat Hadist di
dalam masing-asing kitab :

‫خ‬ = Shahih al-Bukhari, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫د‬ = Sunan Abu Dawud, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫ت‬ = Sunan Tirmidzi, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫ن‬ = Sunan Nasa’i, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫ = جه‬Sunan Ibnu Majah, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫ = دي‬Sunan Al-Darimi, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫م‬ = Shahih Muslim, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫ = ط‬Muwaththa, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

‫ = حم‬Musnad Imam Ahmad, mencantumkan tema dan nomor bab terdapatnya Hadits

Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah kitab-kitab al-athraf dan kitab
kitab musnad, kitab athraf adalah kitab yang menghimpun hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh sahabat. Penyusunya hanya menyebutkan beberapa kata atau pengertian dari matan
hadits, yang dengannya dapat dipahami hadits dimaksud. Dikumpulkan. Adapun kitab
musnad adalah kitab yang disusun berdasarkan perawi teratas , yaitu sahabat , dan memuat
hadits hadits setiap sahabat . kitab ini menyebutkan seseorangan sahabat dan dicantumkan
hadits-hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW beserta pendapat dan tafsirnya. Suatu
14
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij. hlm 60

11
kitab musnad tidaklah memuat keseluruhan sahabat , ada diantaranya yang memuat sahabat
dalam jumlah besar dan ada yang memuat sahabat dalam jumlah yang sama dalam hal-hal
tertentu, seperti musnad sahabat yang sedikit riwayatnya , atau musnad yang memuat hadits
hadits dari satu orang sahabat.15
3. Takhrij melalui perawi hadits pertama
Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadits, baik perawi tersebut dari
kalangan sahabat, bila sanadnya muttashil sampai kepada nabi saw, atau dari kalangan
tabi’in. apabila hadits tersebut mursal, para penyusun kitab-kitab takhrij dengan metode ini
mencantumkan hadits hadits yang diriwayatkan oleh perawi pertama tersebut. Keuntungan
dengan metode ini sekaligus adalah bahwa masa periode takhrij dapat diperpendek , karena
ddengan metode ini diperkenalkan sekaligus para ulama hadits yang meriwayatkan beserta
kitab kitab nya. Metode ketiga adalah takhrij menggunakan perawi paling atas. Menelusuri
hadis dengan cara ini lebih  dahulu harus mengetahui perawi paling atas dari hadis tersebut.
Kitab-kitab yang memuat hadis dengan  metode ini, antara lain, Musnad Imam Ahmad karya
Imam Ahmad, Atraf as-Sahihain karya Abu Mas'ud  Ibrahim bin Muhammad, Atrar Kutub
as-Sittah karya Syamsuddin Abu al-Fadl.16

4. Takhrij berdasarkan tema Hadits


Metode ini berdasarkan pada tema dari suatu hadits oleh karena itu , untuk melakukan
takhrij dengan metode ini perlu terlebih dahulu disimpulkan tema dari suatu hadits yang akan
di-takhrij, dan kemudian baru mencarinya melalui tema itu pada kitab –kitab yang disusun
menggunakan metode ini. Seringkali sesuatu hadits memiliki lebih dari satu tema.
berdasarkan tema. Penelusuran dilakukan berdasar tema bahasan hadis apakah hukum, fikih, 
tafsir, atau yang lain. Contoh kitab yang memakai metode ini adalah Kanz al-Ummal fi Sunan
al-Aqwal wa  al-Af'al karya al-Burhanpuri, al Mughni Haml al-Asfar fi Takhrij ma fi al-Ihya
min al-Akhbar   karya al-Iraqi.
Adapun keistimewaan metode ini adalah, bahwa metode ini hanya menuntut
pengetahuan akan di kandungan Hadits, tanpa memerlukan pengetahuan tentang lafadz
pertamanya, pengetahuan bahasa arab dengan perubahan katanya, atau pengetahuan lainnya.
Metode ini mendidik ketajaman pemahaman Hadits pada diri peneliti, memperkenalkan
kepadanya maksud Hadits yang di carinya dan Hadits-hadits yang senada dengannya.

15
Ibid hlm 60-61
16
Ibid hlm 78-118

12
Akan tetapi metode ini juga tidak luput dari berbagai kekurangan, terutama apabila
kandungan Hadits sulit disimpulkan oleh seorang peneliti, sehingga tidak dapat menentukan
temanya, maka metode ini tidak mungkin di terapkan.17
5. Takhrij berdasarkan status Hadits
Metode ini memperkenalkan para ulama Hadits dalam dalam menyusun Hadis-
Hadis,yaitu penghimpunan Hadits berdasarkan statusnya. Karya-karya tersebut sangat
membantu sekali dalam proses pencairan Hadits berdasarkan statusnya, seperti Hadits-hadits
Qudsi,Hadis Mansyur, Hadits Mursal, dan lainnya. Seorang peneliti Hadits,dengan membuka
kitab-kitab seperti di atas, dia telah melakukan takhrij al-Hadits.
Kelebihan metode ini dapat dilihat dari segi mudahnya proses takhrij. Hal ini karena
karena sebagian besar Hadits-Hadits yang dimuat dalam kitab yang berdasarkan sifat-sifat
Hadits sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan upaya yang rumit. Namun, karena
cukupannya sangat terbatas,dengan sedikitnya Hadits-Hadits yang dimuat dalam karya-karya
sejenis, hal ini sekaligus menjadi kelemahan dari metode ini.18

Kitab-kitab yang disusun berdasarkan metode ini adalah:

Al-Azhar al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah karangan Al-Suyuthi,

Al-Ittihafat al-Saniyyat fi al-Ahadits al-Qudaiyyah oleh al-Madani,

Al-Marasil oleh Abu Dawud, dan kitab-kitab sejenis lainnya.

Demikianlah metode-metode takhrij yang dapat dipergunakan oleh para peneliti Hadis
dalam rangka mengenal Hadis-Hadis Nabi SAW dari segi sanad dan matannya, terutama dari
segi statusnya, yaitu diterima (Maqbul) dan ditolak (Mardud)-nya suatu Hadis.

E. Contoh Takhrij
Berikut ini adalah salah satu contoh takhrij, yang dalam hal ini adalah takhrij Hadits
Nabi Muhammad SAW tentang keharusan memulai ibadah puasa Ramadhan dan
mengakhirinya dengan melihat hilal.
Diantara hadits yang menunjukan adanya ketentuan untuk melihat hilal dalam rangka
memulai dan mengakhiri ibadah puasa ramadhan, adalah hadits yang diriwayatkan oleh
malik:
‫هّٰللا‬
‫ي‬َّ ‫ اَل تَص ُۡو ُم ۡوا َح‬:‫صلَّی هٌّللا ُ َعلَ ۡي ِه َو َسلَّ َم قَا َل‬ ٍ ‫َافع َوع َۡب ِدهّللا ِ ۡب ِن ِد ۡين‬
َ ِ ‫َار ع َِن ۡب ِن ُع َم َر اَ َّن َرس ُۡو َل‬ ٍ ‫ك ع َۡن ن‬
ٍ ِ‫ع َۡن َمال‬
ُ‫ان ُغ َّم َعلَ ۡي ُك ْم فَ ۡاق ُد رُوالَه‬
َّ َ‫ ف‬،ٌ‫ت ََروْ ا ال ِهاَل َل َواَل تُ ۡف ِطرُوْ ا َحتَّی تَ َروه‬
17
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij. hlm 122-123
18
Ibid hlm 123-125

13
Artinya : “Dari Malik, dari Nafi` dan Abd Allah ibn dinar, dari Ibn `Umar, bahwasannya
Rasullah SAW bersabda“Janganlah Kamu berpuasa (puasa ramadhan) sehingga kamu
melihat hilal, dan jangan pula kamu berbuka (ber-' idul Fitri) sehingga kamu
melihatnga.Jika hilal tersebut tertutup dai pandanganmu, maka tentukanlah ukurannya
(bilangannya).”19
Secara sistematis, langkah-langkah yang akan dilakukan dalam men-takhrij hadits di atas
adalah sebagai berikut: takhrij al-Hadits, al-i'tibar, tarjam'ah al-ruwat, dan naqd al- s anad,
natijah ( al-hukm' ala al-hadits), serta fiqh al-hadits (syarh al-Hadits).
1. Takhrij al-Hadits
Takhrij al-Hadits merupakan kegiatan penelitian tentang hadits baik dari segi sanad,
rowi, maupun matan hadits.
Takhrij al-Hadits mempunyai tujuan yaitu meneliti dan menjelaskan tentang hadits
dengan menyebutkan para periwayat dalam sanad hadits tersebut, mengeluarkan manfaat
takhrij hadits sangat besar terutama bagi orang yang mempelajari hadits dan mendalami
Ulumul Hadits.20
Hadis di atas, yang membicarakan tentang keharusan melihat hilal untuk memulai dan
mengakhiri ibadah puasa Ramadhan, diriwayatkan oleh Malik dari dua orang gurunya,
yaitu NaJi' dan 'Abd Allah ibn Dinar, dari Abd Allah ibn 'Umar. Ketika ditelusuri lafaz
Hadits tersebut berdasarkan awal kosakatanya (metode pertama) dengan menggunakan
Mu Jam Jami' al-Ushul fi. Ahadits al-Rasul, ditemukan limariwayat Hadis ; namun,
dengan melakukan takhrij al-Hadits bi al-lafzla (berdasarkan kata-kata pada matan Hadis,
yaitu inetode kedua) dengan mempergunakan kitab Al-MuJam al-mufahras li Alfadh al-
Hadits al-Nabawi, dengan menelusuri kosakata showama(‫) ﹶﺼﹶﻮﹶﻢ‬, ditemukan 6 (enam)
riwayat Hadits, yaitu dengan tambahan riwayat Ahmad atas kelima riwayat yang terdapat
pada Jami' al-ushul. Keenam riwayat tersebut terdapat Pada:
1. Kitab Al-Muwaththa' Imam Malik, halaman 177: Hadis nomor 633,634.
Pada Muwaththa’ Malik terdapat dua riwayat, yaitu :
a. Riwayat yang datang dari Nafi’ adalah :
‫هّٰللا‬
ُ ‫ اَل ت‬:‫ال‬M
‫ ۡو ُم ۡوا‬M ‫َص‬ َ Mَ‫لَّ َم ق‬M ‫ ِه َو َس‬M‫لَّی هٌّللا ُ َعلَ ۡي‬M ‫ص‬ ٍ ‫َافع َوع َۡب ِدهّللا ِ ۡب ِن ِد ۡين‬
َ ِ ‫َار ع َِن ۡب ِن ُع َم َر اَ َّن َرس ُۡو َل‬ ٍ ‫ك ع َۡن ن‬
ٍ ِ‫ع َۡن َمال‬
ُ‫ان ُغ َّم َعلَ ۡي ُك ْم فَ ۡاق ُد رُوالَه‬ َّ ‫ َف‬،ٌ‫ي ت ََروْ ا ال ِهاَل َل َواَل تُ ۡف ِطرُوْ ا َحتَّی ت ََروه‬
َّ ‫َح‬
19
Lihat Imam Malik ibn An35,. Al-Mutyaththa', berdasarkan riwayat Yahya ibn Yahya ibn Katsir
al-Laytsi al-Andalusi, ed. Sa id al-Lahham (Beirut: Dar al-Fikr 1409 H / 1989 M)' h. 177:
Hadis no. 633 - 634
20
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pen. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta Timur:
Pustaka Al-Kautsar, 2005), cet I, h. 189. Baca juga, Teungku Muhammad Hashbi Ash Shidqi, Sejarah &
Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang :Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 148

14
b. Riwayat yang berasal dari ‘Abdullah ibn Dinar, berbunyi :
‫هّٰللا‬
‫ ال َّش ۡه ُر تِ ۡس ٌع‬: ‫ال‬ َ َ‫صلَّی هٌّللا ُ َعلَ ۡي ِه َو َسلَّ َم ق‬ ٍ ‫َافع َوع َۡب ِدهّللا ِ ۡب ِن ِد ۡين‬
َ ِ ‫َار َع ِن ۡب ِن ُع َم َر اَ َّن َرس ُۡو َل‬ ٍ ‫ك ع َۡن ن‬
ٍ ِ‫ع َۡن َمال‬
َّ َ‫ ف‬،ٌ‫ فَالَ تَص ُۡو ُموْ ا َحتَّی ت ََر ۡوا ۡال ِهالَ َل َواَل تُ ۡف ِطرُوْ ا َحتَّی تَ َروه‬، َ‫َو ِع ۡشر ُۡون‬
ُ‫ان ُغ َّم َعلَ ۡي ُك ْم فَ ۡاق ُد رُوالَه‬
2. Kitab Shahih al-Bukhari, juz 3,halaman 62-63: Hadis nomor. 16-17.
3. Kitab Shahih Muslim, juz3, halaman 133: Hadits nomor 3.
4. Kitab Sunan Abi Dawud, juz 6, halaman 435-436 : Hadits nomor 2302.
5. Kitab Sunan al-Nasa'i, juz 4, halaman 108: Hadits nomor 2.
6. Kitab Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal, juz2,halaman 337: Hadits nomor 5294.21

2. Al-I'tibar
Keenam riwayat Hadis tentang melihat hilal untuk memulai dan mengakhiri ibadah
puasa Ramadhan tersebut di atas, selanjutnya di i'tibar dengan cara mengkombinasikan
antara sanad yang satu dengan yang lainnya, sehingga terlihat dengan jelas seluruh jalur
sanad Hadis yang diteliti, demikian juga dengan seluruh perawinya dan metode
periwayatannya.
Dengan dilakukan i'tibar tersebut, akan dapat diketahui apakah ada unsur mutabi' atau
syahid pada Hadits tersebut atau tidak.
Yang dimaksud dengan al-i'tibar di dalam llmu Hadis adalah menyertakan sanad-
sanadyang lain untuk suatu Hadis tertentu, yang Hadis itu pada bagian sanad-nya tampak
hanya terdapat seorang periwayat saja; dan dengan menyertakan sanad-sanad yang lain
tersebut akan dapat diketahui apakah ada periwayat yang lain ataukah tidak ada untuk
bagian sanad dui sanad hadits dimaksud. 22

21
ibid.. hal 286-287.
22
Ibn Shalah, ulumul-Hadits, hal.74-75,M Syuhudi lsmail,Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hal.51.

15
3. Terjemah al-Ruwat dan Naqd al-Sanad
Penelitian ini membatasi diri pada sanad Malik, yaitu hadis yang datang dari Abdullah
ibn'Umar melalui Nafi' dan Abdullah ibn Dinar. Karena itu, uraian tarjamah alruat akan
terbatas pada Abd Allah ibn 'Umar, Nafi' ,'Abdullah ibn Dinar, dan Malik sendiri sebagai
perawi terakhir. Uraian tersebut secara berurutan akan dimulai dari Malik, sebagai perawi
terakhir, sampai pada Ibn 'Umar sebagai perawi utama. 23

a. Malik Ibn Anas


Nama Lengkapnya adalah Malik Ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amr ibn al-Harits ibn
Utsman ibn Jutsail ibn Amr ibn al-Harits, beliau adalah salah seorang Ulama
terkenal dan Imam kota Madinah.24
Masa hidupnya, Malik lahir pada tahun 93 H (ada yang menyebutkan tahun 90 H),
dan wafat tahun 169 H dalam usia 87 tahun, setelah menjadi mufti di Madinah

23
Ibn Hajar al.Asqalani.KitabTahdzib al-Tahdzib,Ed.Shidqi Jam'il al- Aar (Beirut: Dar al-Fikr, l4l 5 H/1995 M),
I 0 Juz: Juz 8. Hal 6
24
Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Asqalani, kitab Tahdzib al-Tahdzib, Ed. Shidqi Jam’il al-Aar (Beirut: Dar
al-Fikr, 1415 H/1995 M), juz : juz 8, h. 6

16
selama 60 tahun,25 Ibn Hajar menyebutkan bahwa Malik meninggal dunia pada
tahun 179 H.26
Pernyataan Kritikus Hadits tentang dirinya. Mengenai pribadi Malik,kritikus Hadits
berpendapat :
1. Muhammad ibnu ishaq al-Tsaqofi berkata, “ketika muhammad ibnu Ismail Al
bukhari ditanya tentang Ashahii al-asanid, Al bukhori mengatakan Ashahh al-
Asanid adalah malik dari nafi dari ibnu Umar.”
2. Ali Ibn al madini berkata, dari sumber Ibn `Uyainah, “Malik adalah orang yang
paling teliti, dan kritis terhadap para perawi Hadits serta sangat mengetahui
tentang keadaan mereka.”
3. Berkata Ali, “Saya tidak mengetahui bahwa Malik meninggalkan ( tidak
meriwayatkan Hadits dari ) beberapa perawi, kecuali mereka yang memiliki
sesuatu ( cacat ) pada riwayat mereka.” Berkata Al Dawri, dari ibn ma`in,
“setiap perawi yang menjadi sumber malik dalam pengambilan Hadits Adalah
tiqat, kecuali Abd Al Karim.”
4. Abd Allah Ibn Ahmad mengatakan, “Aku bertanya kepada ayahku, `Siapakah
yang paling terpercaya diantara sahabat Al zuhri?” Ayahku menjawab, “Malik,
Malik adalah yang paling terpercaya dalam segala hal.”
5. Ibn Sa`d berkata “ Saya adalah orang yang paling ingat tentang waktu
meninggalnya Malik, yaitu pada bulan Shofar tahun 179 H, dan Malik adalah
seorang tsiqat, terpercaya ,wara`, faqih, `alim, dan hujjah.”27

Dari komentar para Kritikus Hadits di atas terlihat secara jelas bahwa malik adalah
seorang yang tsiqat ,paling terpercaya, paling teliti, dan kritis terhadap para perawi Hadits,
dan bahkan termasuk bagian dari ashahh al-asanid (yaitu malik dari nafi` dari Ibn Umar ).
Oleh karena itu, pernyataan bahwa dirinya telah menerima riwayat Hadits dari nafi dan Abd
allah Ibn Dinar adalah dalam keaadaan bersambung (muttashil).

b. Nafi`
Nama lengkap nya adalah Nafi` Abd allah Al-Madani dan dia adalah maula Ibn
Umar.28 Masa Hidupnya. Dia meninggal dunia pada tahun 117 H. Abu ubaid Allah
mengatakan bahwa nafi meninggal pada tahun 119 H, dan pendapat ini didukung
25
Sa’id al-Lahham dalam Muwaththa; h, 5.
26
Ibn Hajar, Taqrib al-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 h/1995 M), Jilid 2, h. 565; Id, Kitab Tahdzib al-
Tahdzib, Ed. Shidqi Jam’il al-Aar (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M) juz : Juz 8, h. 9
27
Ibid.
28
Ibid., h. 473

17
oleh Ibnu Uyainah dan ahmad Ibn Hambal. Pendapat lain mengatakan, dan didukung
oleh abu umar al Thorrir bahwa meninggal pada tahun 120 H. Berkata Ahmad Ibn
Sholih Al-Misrhri, bahwa nafi` adalah seorang Hafidz, jelas keadaannya, dan dia
lebih tua dari Ikrimah dikalanagn penduduk madinah. Menurut al-holil, Nafi adalah
salah seorang Imam dari Tabi`in di kota Madina. Dari segi Ilmu, telah disepakati
bahwa Riwatnya adalah Shohih, dan tidak didapati adanya kesalahan dalam seluruh
riwayatnya.53
Gurunya. Nafi` berguru dan menerima hadits dari sejumlah ulama’, diiantaranya
‘Abd Allah Ibn ‘Umar sebagai Maulanya, Abu Huarairah, Abu Lubabah Ibn ‘Abi
Al-Mundzir, Abu Sa’id Al-Khudri, ‘A’Isyah dan Lainnya. ‘Abd Allah Ibn ‘Umar,
sebagai maula dan bagi dari Nafi’, adalah sahabat yang memberikan Hadits kepada
nafi’.
Muridnya, Nafi’ sendiri mempunyai sejumlah murid yang meriwayatkan Hadits
darinya. Diantara murid muridnya adalah ‘Abd Allah Ibn Dinar, Sholih Ibn Kisan
‘Abd Rabbih, Al-Zuhri, Malik Ibn annas dan lainnya.54
Pernyataan para kritikus tentang diri nafi’ , diantaranya :
1. Ibn Sa’d mengatakan, bahwa Nafi’ adalah seorang yang tsiqat dan banyak
meriwayatkan Hadits. Al-bukhori mengatakan, bahwa ashah asaniid adalah
malik dari nafi’ dari Ibn ‘
2. Berkata Basyar Ibn Amr dari malik, “ apabila aku mendengar sebuah Hadits dari
Nafi’ dari Ibn ‘Umar, Maka aku tidak perlu mendengarkannya lagi dari yang
lainnya.”
3. Al-‘Ajali madini, Ibn Khorosyi, dan al- Nasa’i mengatakan , bahwa Nafi’ adalah
seorang yang tsiqat.
Para kritikus Hadits menyatakan bahwa Nafi’ adalah yang tsiqat, bagian dari ashahh
al-asaniid,(yaitu malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar), maka dengan demikian pernyatan Nafi’
bahwa dia telah menerima riwayat Hadits dari ‘Abd allah Ibn ‘Umar dapat dipercaya ;
dan karenanya dapat kita katakan bahwa sanad antar dia dengan Ibn ‘Umar adalah
bersambung.

c. ‘Abd allah Ibn Dinar

18
Nama Lengkap nya adalah ‘abd allah Ibn Dinar al-Adawi Abu ‘Abd Arrahman Al-
madani maula Ibn ‘Umar , masa hidupnya Ibn Dinar meninggal dunia pada tahun
127 H.29
Gurunya. Diantara guru Ibn Dinar adalah : ‘Abd Allah Ibn ‘Umar, Anas, Sulaiman
Ibn Yasar, Nafi’ al-qurasyi mawla Ibn ‘Umar , dan Abu shalih al-samman
Muridnya, para muridnya adalah anaknya sendiri, yaitu ‘abd al-rahman, Malik,
Sulaiman Ibn Bilal, Syu’bah, Shafwan Ibn Salim, ‘Abd Al-Aziz Ibn al-Majis’n dan
lainnya.
Pernyataan kritikus Hadits tentang dirinya :
1. Shalih Ibn ahmad berkata, berdasarkan sumber dari ayahnya , bahwa Abd Allah
ibn Dinar adalah seorang yang tsiqat lagi benar Haditsnya.
2. Ibn Ma’in , Abu Zar’ah ,Abu hatim , Muhammad Ibn Sa’d , Dan Nasa’i
berpendapat, bahwa Ibn Dinar adalah Tsiqat.
3. Al-‘ajali menyatakan bahwa Ibn Dinar adalah seorang yang Tsiqat
4. Ibn Uyainah berkata, bahwa sebelumnya Ibn Dinar bukanlah seorang yang
tsiqat, namun kemudian dia menjadi seorang yang tsiqat
5. Al-Laits berkata, bedasarkan sumber dari Rabi’ah dikatakan bahwa ‘Abd Allah
Ibn Dinar Adalah seorang yang sholeh dikalangan para tabiin dan semua orang
yang benar ( terpercaya ) agamanya.
6. Ibn Hibban mengelompokan Ibn Dinar kedalam kelompok orang orang tsiqat.30
‘Abd allah Ibn Dinar, berdasarkan pernyataan Para kritikus Hadits diatas, adalah seorang
yang tsiqat , Shalih, dan terpercaya. Justru itu, pernyataan bahwa dirinya tealah menerima
riwayat dari Ibn ‘Umar adalah dapat dipercaya. Dan karenanya, dapat pula kita nyatakan
bahwa sanad antara dia dengan Ibn ‘Umar adalah bersambung.

d. ‘Abd Allah Ibn ‘Umar


nama lengkapnya : ‘Abd allah Ibn ‘Umar al-Khattab Ibn Nufail Al-Qurasyi
al-‘adawi Abu ‘Abd al-Rahman al- Makki.31
Masa hidupnya. Dia lahir tidak lama setelah diangkatnya Nabi Muhammad SAW
sebagai Rasul. Berdasarkan sumber dari Al-Zubair, bahwa ketika terjadinya
peristiwa Hijrah, Ibn ‘Umar berkata 10 tahun, da beliau meninggal pada tahun 73
H32.
29
Ibid., juz 4, h. 286.
30
Ibid., h. 286-287
31
Ibid., Juz 4, h. 407.
32
Ibid., h. 408; Id. Taqrib Al-ahdzib, Juz 1, h. 303

19
Gurunya. Para gurunya adalah : Rasulullah SAW, ayahnya ( Umar Ibn Khothob ),
pamannya ( Zaid ), Hafshah ( sodara perempuannya ) abu bakar, Utsman Ibn Affan,
Ali Ibn Abi Thalib, Sa’id, Bilal, Zaid Ibn Tsabit, Suhaib Ibn Mas’ud, ‘Aisyah da
lainnya.
Murid muridnya. Diantara para muridnya adalah anak anaknya sendiri, Bilal,
Hamzah, Zaid, Salim, ‘Abd Allah , Ubaid Allah, Nafi’ (Mawlanya) Aslam Mawla
‘Umar dan banyak lagi murid nya yang lain.33
Pernyataan kritikus tentang dirinya
1. Hafshah berkata, “saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya
Abd Allah ( Ibn ‘Umar ) adalah seorang yang sholeh”
2. Zuhri berkata. “ tidak ada seorangpun yang dapat ,menandingi kecerdasannya”
3. Ibn Zabr menerangkan “dia (Ibn ‘Umar) adalah seorang yang paling Tsabit”34
Para kritikus Hadits telah memberikan penilaian yangbaik kepada Ibn ‘Umar, dan bahkan
Rasulullah SAW sendiri menyatakan bahwa Ibn ‘Umar adalah seorang yang shaleh. Dia juga
adalah seorang yang paling cerdas dan Tsabit

Selain itu, tidak seorang pun yang menyaksikan tentang kepribadiannya. Oleh karenanya,
kita dapat mempercayai pernyataannya bahwa dirinya telah menerima riway Hadits dari
Rasulullah SAW. Dan dengan demikian, dapat kita katan , bahwa sanad antara Ibn ‘Umar
deng Rasulullah SAW adalah dalam keadaan bersambung.

4. Natizah ( Hukum Al Hadits )


Uraian mengenai sanad Hadits tentang ketentuan memulai dan mengakhiri puasa dengan
bulan, yang di takhriz oleh malik di atas, menghasilkan beberapa catatan sebagai berikut,
sebagai berikut :

1. Dari segi kualitas pribadi dan kapasitas intelektual para perawinya, terlihat bahwa
seluruh perawi yang terlibat dalam periwayatan Hadits tersebut adalah tsiqat.
2. Dari segi hubungan periwayatan, maka seluruh sanad Hadits tersebut adalah
bersambung.
3. Dari segi mata rantai sanad, maka rangkaian periwayat malik, Nafi’, dan Ibn ‘Umar,
dinyatakan sebagai ashahh al-asaniid.
4. Dari segi lambang lambang periwayatan Hadits, Hadits di atas tergolong mu an an
dan mu’anan, yang diperselisihkan tentang kebersambungan sanad nya oleh para
33
Ibid., h. 407.
34
Ibid., 407-408

20
ulama Hadits. Namun, setelah dilakukan penelitian tentang kualitas pribadi para
periwayatnya dan hubungan periwayat tersebut dengan periwayat sebelumnya maka
seluruh sanadnya ditanyakan dalam keadaan bersambung35
5. Sanad Malik Ibn annas ini juga didapati pada sanad Al Bukhori dan Muslim, yang
keduanya telah diakui oleh para ulama Hadits sebagai dua kitab shohih (Shohihayn).
Berdasarkan beberapa catatan diatas , maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sanad Hadits
yang di Takhriz oleh Malik di atas, hukumnhya adalah Shohih Lizhatihi

5. Syharh ( Fiqh ) Al-Hadits


Kewajiban ibadah puasa ramadhan merupakan salah satu dari rukun islam yang lima, dan
Al Quran , pada QS 2, Al Baqarah : 183, secara tegas telah dinyatakan kewajiban tersebut,
sebagaimana kewajiban yang sama yang ditetapkan allah kepada umat sebelumnya. Untuk
memulai pelaksanaan ibadah puasa ramadhan, al qur’an juga telah menetapkan adanya
kesaksian ( pengetahuan ) tentang telah datang (masuk) nya bulan Ramadhan, sebagaimana
yang ditegaskan oleh QS 2, Al Baqarah 185.

َّ ‫ ِه َد ِم ۡن ُك ُم‬M ‫ان فَ َم ۡن َش‬M


‫ ۡه َر‬M ‫الش‬ ِ ۚ Mَ‫دى َو ۡالفُ ۡرق‬Mٰ Mُ‫ت ِّمنَ ۡاله‬ ٍ ‫اس َو بَيِّ ٰن‬ ۡ
ِ َّ‫دًى لِّلن‬M ُ‫ر ٰانُ ه‬Mۡ Mُ‫ ِه الق‬M‫ ِز َل فِ ۡي‬M‫ى اُ ۡن‬ٓ ۡ ‫انَ الَّ ِذ‬M ‫ض‬
َ ‫ ۡه ُر َر َم‬M ‫َش‬
‫ َر‬M‫ ُد بِ ُک ُم ۡالع ُۡس‬M‫ َر َواَل ي ُِر ۡي‬M‫ ُد هّٰللا ُ بِ ُک ُم ۡالي ُۡس‬M‫ َرؕ ي ُِر ۡي‬Mَ‫ َّدةٌ ِّم ۡن اَي ٍَّام اُخ‬M‫فَ ٍر فَ ِع‬M‫ اَ ۡو ع َٰلى َس‬M‫ا‬M‫ض‬
ً ‫فَ ۡليَـصُمۡ هُ ؕ َو َم ۡن َکانَ َم ِر ۡي‬
َ‫ ۡال ِع َّدةَ َولِتُ َکبِّرُوا هّٰللا َ ع َٰلى َما ه َٰدٮ ُكمۡ َولَ َعلَّ ُکمۡ ت َۡش ُكر ُۡون‬M‫َولِتُ ۡک ِملُوا‬

Rasulullah SAW , dalam kepastiannya sebagai penjelas dan penafsir ayat ayat al quran,
telah memberikan penjelasan yang lebih rinci mengenai tata cara pelaksanaan ibadah puasa
ramadhan, yang diantaranya adalah tentang keharusan melihat hilal awal bulan ramadhan
untuk memulai ibadah puasa, sebagaiman tersebut didalam hadits yang diriwayatkan oleh
malik di atas.
Hadits riwayat malik tersebut, secara lahirnya mewajibkan berpuasa kapan saja awal
bulan ramadhan terlihat, apakah dimalam hari atau siang hari. Akan tetapi, kandungan hadits
tersebut pada hakikatnya menuntut untuk berpuasa pada hari berikutnya. Hal ini difahami
dari laranagn untuk memulai puasa ramadhan sebelum hilal terlihat.36
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami perkataan Rasulullah SAW “faqduru
lahu”. Sekelompok ulama, termasuk diantaranya imam Ahmad Ibn Hambal, mengataka
bahwa maknanya adalah : “ketetapan hilal ( awal bulan ramadhan ) tersebut meskipun

Lihat M. Syuhudi Ismali, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 63.
35

Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits al-
36

Akhyar (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/ 1983), Juz 4, h. 262.

21
tertutup oleh awan.” Ibn Suraij, dan sekelompok ulama seperti mathraf Ibn Abd allah, Ibn
Quthaibah, dan lainnya, berpendapat bahwa makna kalimat tersebut adalah “tetapkanlah awal
bulan deng menggnakan Hisab, apabila awan menutupi langit. “ namun, Imam Malik, Imam
Syafii, Imam Abu Hanifah dan Jumhur Ulama Salaf Dan Khalaf berpendapat bahwa maksud
perkataan “Faqdurulahu” adalah “ tetapkanlah awal bulan ramadhan dengan cara
menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari”. Jumhur Ulama mengemukakan dalil
dengan perkataan “Faakmil” al- iddah” tsalasiin, yang terdapat pada beberapa riwayat
Hadits lain, dan kalimat tersebut merupakan tafsir dari kalimat “faqdurulahu”.37 Jumhur
Ulama berkaitan dengan hadits ini juga, khususnya perkataan “Fa’inghumma ‘alaykum”
berpendapat bahwa tidak boleh melakukan ( memulai ) puasa ramadhan pada hari yang
diragukan, dan juga tidak boleh pada hari ke 30 Sya’ban, apanila pada malam ke 30 ditutupi
oleh awan. 38
Hadits diatas juga menjelaskan bahwa bulan Qumariyah kadang kadang berjumlah 29
Hari kadang 30 hari. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Ibn mas’ud yang mengatakan, “kami
berpuasa bersama samna dengan Nabi SAW lebih banyak 29 hari daripada 30 hari ( HR Abu
Dawud dan Al-Tirmidzi ).39
Pernyataan “falaa tashumu hatta tarowhu” tidaklah menggantikan memulai puasa
dengan penglihatan hilal oleh stiap orang, namun cukup dengan penglihatan sebagian umat
islam saja, apakah satu atau dua orang, yang adil dan dapat dipercaya.40
Dari contoh takhrij di atas , tergambar bahwa dengan menggunakan dua diantara
metode metode takhrij yang telah di jelaskan sebelumnya, yaitu Takhrij melalui lafadz
pertama Hadits dan Takhrij berdasarkan salahsatu dari matan Hadits, yang didalam hal ini
lafadz shawwama, penulusuran terhadap Hadits tentang melihat hilal untuk memulai dan
mengakhiri puasa ramadhan dapat dilakukan dengan efektif sampai kepada penilaian status
dan kualitas Haditsnya.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari penjelasan diatas penulis dapat menarik kesimpulan bahwa Secara etimologi kata
“Takhrij” berasal dari kata : ‫ خرج يخرج خروجا‬mendapat tambahan tasydid/syiddah pada ra’
(ain fi’il) menjadi : ‫ خرج يخرج تخريجا‬yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan,
37
Imam Muslim, Shhih Muslim bi Syarh al-Nawawi (Kairo: al-Maba ah al-Mishriyyah wa Maktabatuha, t.t),
Juz 4, h. 189. Lihat juga al-Syawkani, Nayl al-Awar, Juz., 4, h: 263.
38
Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, h. 189-190
39
Al-Syawkani, Nayl al-Awar, Juz 4, h. 263: Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, h. 190
40
Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, h. 190, lihat Juga Al-Syawkani, Nayl al-Awar, juz 4, h. 263

22
menyebutkan dan menumbuhkan. Sedangkan Menurut terminologi ada beberapa definisi
takhrij yang dikemukakan oleh para ulamak karena takhrij ini terus berkembang sesuai
dengan situasi dan kondisi, diantaranya ‫ا ِن ْال ُح ْك ِم عليها‬MMَ‫ َع بَي‬M‫ا َم‬MMَ‫وْ َد ِة فِ ْيه‬MM‫ب ْال َموْ ُج‬
ِ ُ‫ث اِلَى ْال ُكت‬
ِ ‫ ا ِد ْي‬M‫ز ُو اأْل َ َح‬M
ْ M‫َع‬
Menunjukkan asal beberapa hadist pada kitab-kitab yang ada (kitab induk hadist) dengan
menerangkan hukumnya.
Sebelum melakukan takhrij sangat diperlukan beberapa metode takhrij yang sesuai
dengan teknik buku hadist yang ingin diteliti. Paling tidak ada 5 metode takhrij dalam arti
penelusuran hadist dari sumber buku hadist, yaitu takhrij dengan kata (bi al-lafzhi), takhrij
dengan tema (bi al-mawdhu’), takhrij dengan permulaan matan (bi awwal al-matan), takhrij
melalui sanad pertama (bi ar-rawi al-a’la), dan takhrij dengan sifat (bi ash-shifah).
Takhrij ini sangat penting bagi seseorang yan ingin memahami ilmu secara komperhensif
karena dengan sekian banyak hadist yang terkadang kontradiktif satu dengan yang lain
menjadikannya sulit dipelajari. Seseorang tidak cukup hanya melihat satu hadist kemudian
mengklaim hadist tersebut atau pemahamannya yang paling benar, sebelum menelusuri
hadist-hadist lain diberbagai buku induk . dengan demikian, takhrij al-hadist sangat
membantu seseorang dalam memahami hadist.
B. Saran
Kritik konstruktif sangat penuliskan harapkan untuk kemajuan dan perkembangan penulis
kedepannya, khususnya dibidang ulumul hadist. Semoga kita bisa mengamalkan dan menyampaikan
kepada orang lain lain, Aminnn…
Materi tanpa implementasi bagaikan pohon yang hanya berduri. dunia sementara akhirat selama-
selamanya.

DAFTAR PUSTAKA
M. Syuhudi Ismail, Metodelogi penelitian hadist Nabi, (Jakarta : Bulan bintang, 1991), 7-18.
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadist, ( Jakarta : Amzah, 2012 ), 127.
Ahmad ibn Muhammad al-Shiddiq al-Ghamari, Hushul al-Tafrij bi Ushul al-Takhrij (Riya’: Maktabat
Thabariyyah,
cet. Pertama 1414 H/1994 M), h. 14
Abdul Majid Khon, Takhrij dan Metode Memahami Hadist, ( Jakarta : Amzah, 2014 ), 3.

23
Al-Ghamari, Hushul al-Tafrij, h. 15
Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), 8 Juz I, h. 2
Al-Ghamari, Hushul al-Tafrij, h. 13
Al-Thahhan, Ushul al-Takhrij, h. 12
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij Al-Hadist, ( Kairo : Al-I’tisham 1987), 11.
Abd. Majid Khon, Ulumul Hadist, 131.
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij, h. 60.
Ibid hlm 60-61
Ibid hlm 78-118
Abdul Mahdi, Thuruq Takhrij. hlm 122-123
Ibid hlm 123-125
Imam Malik ibn Anas,. Al-Mutyaththa', berdasarkan riwayat Yahya ibn Yahya ibn Katsir
al-Laytsi al-Andalusi, ed. Sa id al-Lahham (Beirut: Dar al-Fikr 1409 H / 1989 M)' h. 177:
Hadis no. 633 - 634
Syaikh Manna’ Al-Qaththan, Pen. Mifdhol Abdurrahman, Pengantar Studi Ilmu Hadits, (Jakarta Timur: Pustaka
Al-Kautsar, 2005), cet I, h. 189. Baca juga, Teungku Muhammad Hashbi Ash Shidqi, Sejarah & Pengantar Ilmu
Hadits, (Semarang :Pustaka Rizki Putra, 2009), h. 148
ibid.. hal 286-287.
Ibn Shalah, ulumul-Hadits, hal.74-75,M Syuhudi lsmail,Metodologi
Penelitian Hadis Nabi, hal.51.
Ibn Hajar al.Asqalani.KitabTahdzib al-Tahdzib,Ed.Shidqi Jam'il al- Aar (Beirut: Dar al-Fikr, l4l 5 H/1995 M), I
0 Juz: Juz 8. Hal 6
Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Asqalani, kitab Tahdzib al-Tahdzib, Ed. Shidqi Jam’il al-Aar (Beirut: Dar al-
Fikr, 1415 H/1995 M), juz : juz 8, h. 6
Sa’id al-Lahham dalam Muwaththa; h, 5.
Ibn Hajar, Taqrib al-Tahdzib (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 h/1995 M), Jilid 2, h. 565; Id, Kitab Tahdzib al-Tahdzib,
Ed. Shidqi Jam’il al-Aar (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1995 M) juz : Juz 8, h. 9
Ibid., h. 473
Ibid., juz 4, h. 286.
Ibid., h. 286-287
Ibid., Juz 4, h. 407.
Ibid., h. 408; Id. Taqrib Al-ahdzib, Juz 1, h. 303
Ibid., h. 407.
Ibid., 407-408
M. Syuhudi Ismali, Kaedah Kesahihan Sanad Hadits (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 63.
Muhammad ibn Ali ibn Muhammad al-Syawkani, Nayl al-Awar Syarh Muntaqa al-Akhbar min Ahadits al-
Akhyar (Beirut: Dar al-Fikr, 1403 H/ 1983), Juz 4, h. 262.
Imam Muslim, Shhih Muslim bi Syarh al-Nawawi (Kairo: al-Maba ah al-Mishriyyah wa Maktabatuha, t.t), Juz
4,
h. 189. Lihat juga al-Syawkani, Nayl al-Awar, Juz., 4, h: 263.
Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, h. 189-190
Al-Syawkani, Nayl al-Awar, Juz 4, h. 263: Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, h. 190
Muslim, Shahih Muslim, Juz 4, h. 190, lihat Juga Al-

24

Anda mungkin juga menyukai