Anda di halaman 1dari 18

REFLEKSI PRIBADI UNTUK BERPARTISIPASI AKTIF

SEBAGAI WARGA NEGARA YANG BAIK

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pancasila

Dosen pengampu : Bapak Dr. Edward,M.Pd

Disusun Oleh :

Nabila Nurul Azmi (0106.2001.025)

FAKULTAS TARBIYAH

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI


(PIAUD)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
DR KHEZ MUTTAQIEN PURWAKARTA
2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang
diberikan-Nya sehingga tugas membuat makalah yang berjudul “Refleksi Pribadi Untuk
Berpartisipasi Aktif Sebagai Warga Negara Yang Baik” ini dapat saya selesaikan.
Makalah ini kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas.
Dalam kesempatan ini, penulis menghanturkan terima kasih yang dalam kepada
semua pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi
terwujudnya makalah. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksud untuk
mewujudkan kesempurnaan tugas makalah ini penulis sangat menghargai.
Penulis berharap bahwa ini bisa bermanfaat, dan masih jauh dari kata sempurna
ataupun berkualitas yang begitu sempurna nya, dengan adanya makalah ataupun tugas
ini mendorong kami agar menjadi lebih bertekad dan kuat dalam menanamkan iman
yang kokoh. Demikian yang dapat saya sampaikan, dan mengucapkan segala hormat
kepada pihak dosen mata kuliah ini.

Karawang, 23 Januari 2021

Nabila Nurul Azmi

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah...............................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................3
C. Tujuan Masalah.............................................................................................3
D. Manfaat Penulisan Makalah..........................................................................3
BAB II PEMBAHASAN
A. Bagaimana cara menjadi warga negara yang baik........................................4
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan...................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah yang sedang dihadapi oleh Bangsa Indonesia saat ini adalah kurangnya
kepedulian masyarakat terhadap masalah lingkungan atau masyarakat.
Ketidakpedulian ini ditunjukkan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari anak-
anak, remaja, sampai orang dewasa. Bentuk ketidakpedulian dapat dilihat dari
berbagai perilaku yang ditunjukkan, misalnya tidak menjaga kebersihan (membuang
sampah sembarangan), tidak mentaati peraturan lalu lintas (menyeberang tidak di
zebra cross, tidak sabar ketika mengendarai kendaraan sehingga di jalan sering
terdengar suara klakson yang bersahut-sahutan, tidak menghargai pejalan kaki
ketika menyeberang jalan), ketika naik kendaraan umum sangat jarang yang
memperhatikan orang tua, anak-anak atau wanita hamil.
Kepedulian social sangat dibutuhkan untuk membangun karakter bangsa karena
manusia yang peduli terhadap lingkungan memiliki kecenderungan untuk lebih baik.
Sikap peduli lingkungan akan melahirkan toleransi, saling menghargai dan menjaga
terhadap segala seuatu yang ada disekelilingnya, baik hewan, tumbuhan, dan benda-
benda yang terdapat dalam lingkungan hidup. Dengan demikian akan tercipta suatu
kehidupan yang nyaman dan tenteram.
Pendidikan diharapkan mampu menjadi sarana untuk menjadikan generasi yang
lebih baik. Dibutuhkan berbagai inovasi baru dalam dunia pendidikan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan yaitu mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
dan bertanggung jawab (pasal 3 UU No.20 Tahun 2003). Untuk mewujudkan semua
tujuan di atas tentu sangat sulit sehingga dibutukan kerja keras dari lembaga
pendidikan untuk mewujudkannya. Berkenaan dengan tujuan tersebut telah
digunakan berbagai strategi dalam pembelajarannya yang berhubungan dengan
materi pembelajaran maupun model pembelajaran.
Materi pembelajaran PKn berdasarkan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP)
2006 berisi aspek pengetahuan, sikap, dan keterampilan. Berbagai kompetensi yang

1
diharapkan muncul dapat dilihat pada kata kerja operasional yang terdapat dalam
kompetensi inti (KI), kompetensi dasar (KD), atau indikator. Ruang lingkup PKn
meliputi: (1) persatuan dan kesatuan bangsa, (2) norma, hukum dan peraturan, (3)
hak asasi manusia, (4) kebutuhan warga negara, (5) konstitusi Negara, (6) kekuasan
dan politik, (7) Pancasila, dan globalisasi. Ditinjau dari pengembangan ruang
lingkup di atas sebenarnya isinya sudah sangat bagus untuk menjadikan warga
negara yang baik. Berdasarkan kompetensi afektif yang diharapkan muncul dilihat
dari KKO yang digunakan juga sudah cukup baik, misalnya menampilkan sikap dan
menunjukkan sikap. Dalam pelaksanaannya peserta didik di kelas masih terlalu
banyak diajarkan tentang konsep-konsep berupa hafalan, demikian juga dengan
kompetensi sikap juga masih sebatas pada persepsi yang dibahas bukan pada
perbuatan, sehingga alat ukurnya tetap, jika siswa mempunyai argumen yang baik
tentang suatu hal akan dikatakan berhasil, jadi bukan pada perbuatan baik yang
dilakukan dan dideskripsikan dalam tulisan atau jawaban jika dilaksanakan suatu
tes. Tujuan pembelajaran PKn dilihat dari materi sudah baik akan tetapi dalam
pelaksanaannya masih belum mengena pada perilaku yang diharapkan muncul.
Upaya peningkatan kualitas pembelajaran terus dilaksanakan, salah satunya dengan
diberlakukannya kurikulum 2013. Kurikulum 2013 mencanangkan standar
kompetensi lulusan yang mencakup tiga dimensi, yaitu sikap, keterampilan, dan
pengetahuan. Dimensi ini sejalan dengan teori konstruktivisme yang juga dijadikan
acuan dalam kurikulum 2006. Kompetensi yang diharapkan dicapai siswa dapat
dilihat pada standar kompetensi lulusan (SKL), komptensi inti (KI), dan kompetensi
dasar (KD) yang semuanya sudah ditentukan pusat.
Jika dilihat sekilas kompetensi yang diharapkan dicapai pada kurikulum 2013 begitu
indah dan ideal. Untuk mewujudkan tujuan tersebut pemerintah pusat berusaha
merancangkan pembelajaran yang “ideal” dan menyediakan buku pegangan siswa
dan guru. Pelaksanaan kurikulum 2013 di lapangan tidak menunjukkan perubahan
yang berarti dibandingkan dengan penggunaan kurikulum 2006. Kesibukan guru
yang telah menerapkan kurikulum 2013 terfokus pada penyusunan rencana
pelaksanaan pembelajaran. Sementara itu pelaksanaan pembelajaran masih seperti
biasanya. Pendekatan scientific yang dilakukan mulai dari mengamati, menanya,

2
mengeksplorasi, mengasosiasi, dan mengomunikasi tidak jauh berbeda dengan
pelaksanaan pembelajaraan saat menggunakan kurikulum 2006. Berdasarkan KI dan
KD yang ditetapkan oleh pusat masih memerlukan suatu kegiatan yang benar-benar
nyata, teruji, dan dapat melibatkan secara langsung siswa dalam berperan aktif di
lingkungannya.
Untuk menjembatani antara materi dan berbagai metode, media, dan berbagai unsur
pembelajaran yang terkait perlu adanya suatu pembelajaran yang berbasis pada
upaya agar peserta didik mau berbuat atau berperilaku yang baik agar peka terhadap
lingkungan sekitarnya. Untuk melatih keterampilan yang melahirkan kepekaan
tersebut lingkungan sosial diperlukan kegiatan pembelajaran yang mendukungnya
yaitu pembelajaran yang berbasis service learning.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana cara menjadi warga negara yang baik?
C. Tujuan
1. Mengetahui bagaimana cara menjadi warga negara yang baik
D. Manfaat Penulisan
1. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Pancasila.
2. Bagi penulis diharapkan dapat mendatangkan manfaat dan menambah
wawasan serta pengetahuan yang lebih luas.
3. Bagi pembaca, makalah ini diharapkan dapat mendatangkan manfaat sebagai
tambahan informasi serta reverensi

3
BAB II
PEMBAHASAN
A. CARA MENJADI WARGA NEGARA YANG BAIK
Salah satu solusi yang diharapkan dapat membentuk perilaku warga
negara yang memiliki tanggung jawab dan warga negara yang partisipatif di
beberapa negara maju diterapkan pembelajaran yang berbasis service learning.
Service learning merupakan istilah yang sangat terkenal di Amerika atau
beberapa negara maju lainnya. Service learning menurut The national and
community service act of 1990 adalah:
a method under which students or participants learn and develop through active
participation in thoughfully organized service that is conducted in and meets the
needs of community; is coordinated with an elementary school, secondary
school, institution of higher education, or community service program, and the
with community; and helps foster civic responsibility; and that is integrated into
and enhances the academic curriculum of the students, or the educational
components of the community service program in which the participants are
enrolled; and provides structured time for the students or participants to reflect
on the service experience.
(Wikipedia:2013)

Berdasarkan pengertian di atas service learning adalah: (1) dilaksanakan untuk


mempertemukan dan memenuhi kebutuhan masyarakat, (2) diterapkan untuk
sekolah dasar, sekolah menengah, perguruan tinggi, program pelayanan
masyarakat dalam lingkungan masyarakatnya, (3) membantu mengupayakan
tanggung jawab warga negara, (4) terintegrasi dan meningkatkan kurikulum
akademik siswa sebagai komponen pendidikan dalam program pelayanan
masyarakat dan bentuk partisipasi yang terprogram, (5) menyediakan waktu
yang terstruktur bagi siswa untuk mewujudkan pengalaman memberikan
layanan.
The National Youth Leadership mencetuskan K-12 tentang standar
kualitas praktis dalam pelaksanaan service learning, yaitu: kebermaknaan
layanan, keterkaitan dengan kurikulum, refleksi, keragaman, investigasi,
kemitraan, memantau kemajuan, disain proyek, tindakan, demonstrasi, dan
pengakuan. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah keterkaitan dengan
masyarakat dan asesmen (penilaian).

4
Service learning dibagi menjadi empat tipe, yaitu: (1) direct service
learning, dilaksanakan secara tatap muka antar orang dengan orang, proyek yang
dilaksanakan berimplikasi dengan individu yang menerima bantuan langsung
dari siswa, (2) indirect service learning, proyek dengan keuntungan untuk
masyarakat, misalnya tentang lingkungan, sejarah kota, makanan dan pakaian,
(3) advocacy service learning, memberikan layanan advokasi (konsultasi), dan
(4) research service learning, menyurvey, mempelajari, mengevaluasi, menguji
coba, mengumpulkan data, mewawancarai, dll, tujuannya untuk menemukan,
mengkompilasi, atau melaporkan topik informasi tentang kepentingan umum.
Service learning adalah kegiatan pembelajaran atau perkuliahan yang
dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan masyarakat yang akan
dilayani, dan siswa atau mahasiswa terlibat secara aktif di dalam masyarakat
untuk melaksanakan kegiatan pelayanan tersebut (Goldzweig, Levine, Schlundt,
Bradley, Jones, Zoorob, dan Ekundayo, 2013). Selama pelaksanaan kegiatan
pembelajaran, siswa atau mahasiswa menerapkan teori dan konsep yang
dipelajari di dalam kelas ke dalam kegiatan praktik, kemudian melakukan
refleksi terhadap pelayanan yang dilakukan dan membuat laporan pelaksanaan
kegiatan.
Service learning merupakan konsep pembelajaran yang mendapatkan
perhatian serius di dalam kurikulum pembelajaran di Amerika. Akar dari teori
pembelajaran ini menurut Ma, Zhu, Nan, dan Yu (2012) adalah teori
pembelajaran yang dikemukakan oleh John dewey, yaitu mengenai pentingnya
integrasi antara teori dan praktik. Di dalam penelitiannya, Ma, Zhu, Nan, dan Yu
(2012) juga memberikan sintesa bahwa pelaksanaan service learning di Amerika
Serikat telah mengalami perkembangan melalui 3 tahapan. Tahapan pertama
adalah pelaksanaan service learning yang menekankan pada aktivitas sukarela
untuk melayani (voluntary service), yang kemudian dilanjutkan dengan
pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat (community service), dan tahap
service learning.
Menurut Billig dan Waterman (2003) service learning adalah
pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memiliki komponen-komponen

5
sebagai berikut: (1) dirancang sesuai dengan kebutuhan komunitas atau
masyarakat yang akan dilayani; (2) dirancang oleh institusi pendidikan formal,
seperti sekolah menengah atau perguruan tinggi; (3) bertujuan meningkatkan
rasa tanggungjawab siswa atau mahasiswa sebagai anggota masyarakat; (4)
kegiatan belajar merupakan bagian dari kurikulum sekolah di tempat siswa atau
mahasiswa tersebut menempuh pendidikan; dan (5) terdapat alokasi waktu di
dalam kegiatan belajar untuk memberi kesempatan kepada siswa atau
mahasiswa untuk melakukan refleksi terhadap pengalaman melakukan
pelayanan kepada masyarakat.
Berdasarkan penjelasan yang diberikan oleh Billig dan Waterman,
service learning jelas bukan hanya pelaksanaan pengabdian kepada masyarakat.
Service learning adalah matakuliah atau matapelajaran yang dirancang dengan
memberikan bekal teori dan praktik kepada siswa atau mahasiswa untuk
mengalami langsung kegiatan nyata di dalam masyarakat. Di dalam kegiatan
service learning, siswa atau mahasiswa dapat secara langsung berinteraksi
dengan anggota masyarakat untuk memberikan pelayanan. Di dalam proses
interaksi tersebut, sangat penting bagi mahasiswa untuk memiliki pemahaman
yang luas dan dapat menyesuaikan diri dengan kebudayaan masyarakat dimana
mereka melaksanakan tugas. Oleh sebab itu kegiatan service learning selain
memberikan bekal keterampilan praktik di bidang keilmuwan yang menjadi
spesialisasi mahasiswa (misalnya ilmu hukum, kesehatan masyarakat, teknik
sipil, dsbnya.) juga perlu memberikan bekal keterampilan untuk dapat
menyesuaikan diri dengan kebudayaan di masyarakat. Selama proses
pelaksanaan service learning, siswa atau mahasiswa akan mengalami interaksi
dengan kebudayaan masyarakat yang dilayaninya. Dengan demikian, service
learning juga dapat memberikan kesempatan untuk mengembangkan kompetensi
kultural (cultural comptence) siswa atau mahasiswa (Garret, dickson, Young,
Whelan, dan Forero, 2008).
Di dalam penelitian yang dilakukan terhadap mahasiswa keperawatan di
Utah Valley University, Chen, McAdamJones, Tay, dan Packer (2012)
membuktikan bahwa pelaksanaan service learning dapat meningkatkan cultural

6
competence mahasiswa. Pengaruh pengalaman service learning terhadap
mahasiswa yang berhasil diidentifikasi di dalam penelitian ini adalah: (1)
mahasiswa menyenangi pelaksanaan kegiatan praktik; (2) mahasiswa
memperoleh kesempatan mempelajari bahasa yang digunakan oleh masyarakat
yang dilayani; (3) mahasiswa merasa lebih paham tentang memposisikan diri
dalam melihat orang lain; (4) mahasiswa mengalami kondisi harus menghadapi
kendala perbedaan bahasa di dalam kegiatan komunikasi dengan masyarakat
yang dilayani; dan (5) mahasiswa merasa yakin bahwa mereka mempelajari
kebudayaan dari masyarakat yang mereka layani.
Pada skala yang lebih kecil, Goldzewig, dkk (2013) melakukan
penelitian terhadap penerapan intervensi berpasangan (peer-to-peer
intervention) terhadap remaja di dalam pelaksanaan service learning untuk
meningkatkan kesadaran penggunaan sabuk pengaman ketika menyetir mobil.
Target populasi di dalam penelitian ini adalah remaja. Studi ini memberikan
indikasi bahwa service learning, ketika dilaksanakan dengan menerapkan
intervensi berpasangan sangat efektif dapat meningkatkan kesadaran untuk
menggunakan sabuk di kalangan remaja yang berisiko tinggi di dalam
melanggar peraturan tersebut.
Di Indonesia, khususnya pada program pendidikan keguruan dan ilmu
pendidikan, sebenarnya kita memiliki program yang hampir menyerupai
program service learning. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Ma, Zhu, Nan, Yu
(2012) di Cina yang mencoba menerapkan program service learning di program
pendidikan calon guru. Praktik pengajaran di lapangan yang dilaksanakan oleh
calon-calon guru di Cina merupakan salah satu wujud service learning yang
menurut Ma, dkk (2012) dapat dijadikan sebagai sebuah program berkelanjutan
untuk meningkatkan kemampuan calon guru di dalam mempersipkan diri untuk
menjadi guru setelah menyelesaikan pendidikan di universitas. Di dalam studi
ini, para peneliti juga menekankan bahwa model service learning efektif untuk
diimplementasikan di luar Amerika.
Dalam peneltian lainnya, service learning juga terbukti sangat efektif
untuk program atau kurikulum yang menekankan pada pentingnya hubungan

7
internasional dan tingkat global (global awareness). Kholbry dan Daugherty
(2008) melakukan kajian terhadap peranan instruktur di dalam pelaksanaan
kegiatan service learning di program studi keperawanan yang menangani
masalah kesehatan di tingkat internasional. Pada latarbelakang studinya,
Kholbry dan Daughter (2008) menekankan kembali 3 element penting di dalam
pelaksanaan service learning, yaitu dilaksanakan dengan memeprhatikan
kebutuhan masyarakat, melibatkan participasi aktif mahasiswa, dan memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk melaksanakan refleksi terhadap kegiatan
pelayanannya. Studi ini menambahkan mengenai peranan penting instruktur
matapelajaran atau matakuliah di dalam pelaksanaan service learning. Instruktur
dapat menjalankan peranan di dalam service learning sebagai penggagas
(initiator), rekanan kerjasama (collaborator), fasilitator (facilitator), atau duta
(advocate). Deang demikian, berdasarkan studi ini dapat disimpulkan bahaw
peranan instruktur di dalam service learning berubah dari figur pemegang
otoritasi di dalam kegiatan kelas menjadi pemandu jalan dan rekan kerja bagi
siswa atau mahasiswa yang melaksanakan service learning. Posisi instruktur di
dalam service learning tidaklah lebih kompetence dibandingkan dengan siswa
atau mahasiswa di dalam hal menyangkut budaya masyarakat, perubahan sosial,
dan juga kesadaran tingkat lokal dan global. Instruktur yang memandu program
service learning juga memperoleh kesempatan yang sama untuk belajar bersama
mahasiswa yang dipandunya di dalam kegiatan service learning.
Rekanan (partnership) di dalam pelaksanaan service learning tidak
hanya dilakukan antara mahasiswa dengan instruktur matapelajaran atau
matakuliah. Rekanan juga terjadi antara universitas atau sekolah pelaksanaan
kegiatan dengan masyarakat di mana kegiatan diimplementasikan. Di dalam
studi mengenai pelaksanaan service learning pada program Adolescent
Diversion project (ADP), Davidson, Jimenez, Onifade, dan Hankins (2010)
menggarisbawahi pentingnya unsur kerjasama dan rekanan anatara institusi
pendidikan dengan masyarakat di dalam mewujudkan keberhasilan program
service learning. Di dalam program rekanan ini, service learning ditargetkan
pada kelompok remaja yang melakukan tindakan melanggar hukum (juvenile

8
offenders). Upaya yang dilakukan di dalam service learning ini adalah
universitas dan masyarakat bekerjasama untuk menyusun program
penanggulangan, dan pemecahan masalah yang terbaik untuk kasus-kasus
pelanggaran yang dilakukan oleh remaja tersebut tanpa harus memprioritaskan
pengadilan sebagai jalan utama. Program ini melibatkan banyak pihak, mulai
dari penyandang dana, lembaga hukum (pengadilan, kepolisian, kepala daerah),
mahasiswa pelaksana service learning, pekerja sosial, dan supervisor/instruktur.
Program ini dijalankan melalui tiga tahap. Pada tahap pertama, pertemuan
dilakukan antarpihak yang bekerjasama untuk mempelajari kasus dan
mendefinisikan peran-peran barus sebagai lembaga sosial yang terlibat di dalam
pelaksanaan program. Pada tahap kedua, pelayanan dilakukan dan secara
bekerjasama program intervensi dilakukan, dan refleksi dilakukan terhadap
penanggulangan yang dilakukan sebelum program service learning ADP
dilaksanakan. Pada tahap terakhir, dirumuskan prinsip-prinsip pelayanan yang
memadai dan program kerjasama jangka panjang untuk melanjutkan program
yang telah dilaksanakan. Keberhasilan program tersebut kemudian juga secara
bekerjasama disampaikan kepada pengambil keputusan sebagai landasan di
dalam penyusunan peraturan dan kebijakan.
Pada skala refleksi, service learning memberikan pengaruh yang sangat
positif terhadap perkembangan dan perubahan karakter siswa atau mahasiswa
peserta program. Beberapa hasil penelitian berikut ini dengan penekanan pada
teori yang berbeda mencoba mengkaji perkembangan individu peserta service
learning. Gross dan Maloney (2012) mengidentifikasi adanya proses pertukaran
budaya anatara peserta service learning (siswa dan guru) dengan anggota
komunitas yang menjadi target learning. Di dalam proses service learning, baik
pelaksana maupun target service secara langsung berinteraksi. Hubungan
emotional, profesional, and interaksional berpadu di dalam membangung
karakter masing-masing. Dalam fase refleksi, peserta service learning dan target
menyatakan bahwa mereka menjadi paham mengenai adanya perbedaan cara
pandangan antara masing-masing individu ketika melihat persoalan. Pada
umumnya, sebelum mengikuti service learning atau menjalani program, peserta

9
dan target cenderung melihat persoalan dari sudut pandang diri sendiri. Setelah
pelaksanaan, mereka dapat melihat persoalan dari sudut pandang yang berbeda-
beda dan membuat keputusan bersama serta menjadi sadar akan adanya
keragaman budaya, pendidikan, sosial, dan cara pandang.
Menerapkan teori bandura mengenai self-efficacy dan uji statistik, reeb,
Folger, Lagsner, ryan, dan Crouse (2010) menemukan bahwa self-efficacy
(keyakinan akan kemampuan untuk melakukan organisasi dan melaksanakan
tugas) peserta service learning sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan
program. Dalam penelitian ini ditekankan bahwa self-efficacy dapat menjadi
variable antara di dalam pelaksanaan service learning, prediktor terhadap tingkat
participasi, dan prediktor terhadap efektivitas pelayanan.
Civic responsibility menurut Self (2012) diartikan sebagai tanggung
jawab warga negara. Tanggung jawab ini meliputi tindakan dan sikap yang
berhubungan dengan pemerintahan yang demokratis dan partisipasi sosial.
Partisipasi dapat dilakukan pada pemerintahan, masjid/gereja, relawan, dan
keanggotaan asosiasi sukarela. Tindakan tanggung jawab warga negara dapat
ditampilkan dalam advokasi untuk berbagai bidang, yaitu ekonomi, politik, sipil,
lingkungan, dan masalah mutu hidup.
Civic engagement sering disebut dengan istilah civic participation, yaitu
segala sesuatu yang berhubungan dengan tindakan warga negara baik individu
maupun bersama-sama untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan
pemerintahan dan berbagai kegiatan dalam lingkungan masyarakat. The New
York Time (2013) menjelaskan bahwa civic engagement adalah mengerjakan
sesuatu untuk membuat sesuatu yang berbeda dalam hidup warga negara bagi
suatu komunitas dan mengembangkan kombinasi pengetahuan, keterampilan,
nilai, dan motivasi untuk membuat sesuatu yang berbeda.
Menurut Keeter (2002) terdapat 18 indikator civic engagemen yang
dibagi dalam tiga indikator besar, yaitu civic indicator, electoral indicators, dan
indicator of political voice. Civic indicator meliputi: (1) pemecahan masalah
masyarakat, (2) relawan untuk organisasi non pemilu, (3) aktif dalam
keanggotaan organisasi, (4) berpartisipasi dalam pengumpulan dana lari jalan

10
atau bersepeda, (5) pengumpulan dana lain untuk amal. Electoral indicator
meliputi: (1) voting pada umumnya, (2) membujuk yang lainnya, (3)
menampilkan stiker, gambar, atau symbol, (4) berkontribusi terhadap kampanye,
(5) relawan untuk kandidat atau organisasi politik. Indicators of political voice
meliputi: (1) menghubungi pejabat, (2) menghubungi media cetak, (3)
menghubungi siaran media, (4) protes, (5) petisi melalui email, (6) petisi tertulis,
(7) memboikot, (8) menggambar.

B. PENGINTEGRASIAN SERVICE LEARNING DALAM


PEMBELAJARAN PPKN
Pengintegrasian service learning Dalam pembelajaran PPKn
memerlukan strategi yang baik. Guru atau dosen harus menyiapkan perencanaan
pembelajaran yang didalamnya telah terintegrasi kegiatan service learning.
Dalam penerapannya memerlukan pengetahuan-pengetahuan mata pelajaran atau
matakuliah lainnya. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah kegiatan
layanan dikaitkan dengan materi mata pelajaran lainnya, misalnya IPA, IPS,
Biologi, Matematika, Geografi, Bahasa, Sejarah dan lainnya. Pada jenjang
perguruan tinggi jenis layanan disesuaikan dengan jurusan masing-masing.
Jenis service learning yang akan diterapkan dalam mata pelajaran
sebaiknya menggali dari nilai-nilai luhur dari Bangsa Indonesia sendiri. Nilai-
nilai tersebut digali dari kearifan lokal masing-masing daerah. Setiap daerah
memiliki nilai-nilai yang dianut dan dianggap baik oleh masyarakatnya.
Penggalian nilai-nilai kearifan lokal dapat dilakukan secara bersama-sama di
dalam kelas dengan berdiskusi, di luar kelas dengan menugasi siswa untuk
mewawancarai atau mengamati nilai-nilai yang baik di lingkungannnya, atau
melalui membaca buku atau sumber lain.
Penerapan service learning tiap jenjang pendidikan tentunya akan
berbeda, disesuaikan dengan tingkat pola pikir dan kematangan siswa. Service
learning ini harus terencana dan terprogram. Pengintegrasian kegiatan dapat
disesuaikan dengan materi atau tanpa pengkaitan dengan materi.

11
Pada jenjang pendidikan dasar perancangan dibuat sesederhana mungkin,
sesuatu yang dapat dilakukan dan bermakna. Layanan yang dapat diberikan
siswa misalnya membersihkan rumah, kamar mandi, atau halaman. Untuk
tingkat dasar guru harus merancang dan menyiapkan berbagai kegiatan layanan
yang dapat dilakukan siswa.
Siswa pada jenjang pendidikan menengah memiliki tingkat kedewasaan
yang lebih matang. Perancangan layanan yang akan dilaksanakan dapat ardibuat
oleh siswa dengan bimbingan guru. Penugasan dimulai dari membuat
perencanaan, alternatif pilihan jenis layanan, tujuan, dan pelaksanaan kegiatan.
Mahasiswa di perguruan tinggi dapat diberi tugas memberi layanan yang lebih
luas jangkauannya. Mereka harus dapat membuat perencanaan mulai dari
alternatif jenis layanan, sasaran, alasan pemilihan, pelaksanaan, evaluasi. Pada
jenjang perguruan tinggi ini diharapkan mahasiswa dapat memberikan pelayanan
pada masyarakat yang bersifat penting dan mendesak dalam skala yang cukup
luas.

12
KESIMPULAN

Dunia pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam


membantu memecahkan masalah bangsa. Diperlukan pembelajaran yang
inovatif yang benar-benar dapat meningkatkan tanggung jawab dan partisipasi
warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tujuan tersebut dapat
diwujudkan melalui pembelajaran PPKn yang berbasis service learning. Sejak
bangku sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi anak dibiasakan untuk
memiliki tanggung jawab dan partisipasi pada diri sendiri dan lingkungannya.
Kegiatan layanan pada masyarakat yang terintegrasi dalam pembelajaran PPKn
ini dilaksanakan secara berkelanjutan. Layanan yang diberikan digali dari nilai-
nilai kearifan lokal masing-masing daerah yang menunjukkan ciri-ciri
keindonesiaannya.
Untuk dapat menemukan pengintegrasian service learning dalam
pembelajaran PPKn yang baik diperlukan berbagai penelitian lebih lanjut agar
menghasilkan bentuk-bentuk yang cocok dan efektif sesuai dengan karakteristik
masyarakat Indonesia.

13
DAFTAR PUSTAKA

Benton, Amy D, Cynthia Roberts Gray, dan Carol M Lewis. 2010. Abstinence
Based Versus Service Learning Prevention Education in Small Group:Effect on
The Life Plans of Young Adolescents. Springer Science and Business Media.
Published online. DOI:10.007/s10560-010-0216-7.

Chen, Hsru Chin, Dianne McAdams Jones, Djin Lyn Tay ASN, John M Packer
BS. The Impact of Service Learning on Students Cultural Competence. Journal
Teaching and Learning in Nursing. Published by Elsevier Inc. www.jtln.org.
DOI:10.1016/J.teln.2011.002.

Davidson, Williams S, Tiffany R Jiminez, Eyitayo Onifae, Sean S Hankins. 2010.


Student Experiences of the Adolescent Diversion Project a Community Based
Exemplar in the Pedagogy of Service Learning. American Journal Community
Psychology (2010) 46:442458. Department of Psychology, Michigan State
University.

Ivey, Jean. 2011. Service Learning Research. Pediatric Nursing Volume 37

14
15

Anda mungkin juga menyukai