Anda di halaman 1dari 4

1.

Dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP yaitu, “Nullum delictum, nulla puna sine praevia lege punali” (tiada
kejahatan, tiada hukuman pidana tanpa undang-undang hukum pidana terlebih dahulu).

Contoh: Keadilan bagi korban salah tangkap. Mereka kembali bisa menghirup kebebasan. Namun,
fenomena itu lagi-lagi memperlihatkan betapa kerdilnya kedudukan warga di hadapan kekuasaan
negara. Bagaimanapun, dalam negara demokrasi, keadilan dan kebenaran haruslah terbuka untuk
setiap warga. Negara wajib melaksanakan asas legalitas, yaitu memberi ganti rugi dan merehabilitasi
nama baik warga yang menjadi korban salah tangkap

2. Lex specialis derogat legi generalis adalah salah satu asas hukum, yang mengandung makna
bahwa aturan hukum yang khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang umum.

Contoh peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai asas lex specialis derogat legi
generalis:

Pasal 63 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana:

“Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan
pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.”

Pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang:

“Selama dalam Kitab Undang-undang ini terhadap Kitab Undang-undang Hukum Perdata tidak
diadakan penyimpangan khusus, maka Kitab Undang-undang Hukum Perdata berlaku juga terhadap
hal-hal yang dibicarakan dalam Kitab Undang-undang ini.”

3. Lex superior derogat legi inferior yaitu Peraturan perundang-undangan bertingkat lebih tinggi
mengesampingkan peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah, kecuali apabila substansi
peraturan perundang-undangan lebih tinggi mengatur hal-hal yang oleh undang-undang ditetapkan
menjadi wewenang peraturan perundang-undangan tingkat lebih rendah.

Contoh konkrit Lex superior derogat legi inferior adalah masalah perkawinan, agama, keyakinan,
harta pribadi, warisan, dan semacamnya. Berkait dengan RUU Pornografi, maka jelas bahwa
substansi RUU ini hendak mengatur materi-materi seksualitas, bahkan hingga pengaturan atas salah
satu cara ekspresi seksualitas diri pribadi seseorang. Masalah seksualitas, termasuk pengalaman dan
cara ekspresi seksualitas adalah hal yang tidak bisa dipisahkan dari kedirian manusia, oleh karena itu
hal ini jelas merupakan kepentingan yang sifatnya personal. Pengaturan masalah seksualitas
sebagaimana yang ada dalam RUU Pornografi adalah tindakan keliru oleh negara karena menabrak
batasan ruang privat yang seharusnya dilindungi oleh negara itu sendiri.

Dalam hukum berlaku asas perundang-undangan yang berbunyi lex superior derogat legi inferior,
artinya bahwa suatu peraturan perundang-undangan harus mendasarkan diri dan tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya. Materi dalam RUU Pornografi
terutama yang ada dalam bab II (pasal 4-14) cenderung memiliki potensi untuk bertentangan dengan
UUD 1945, antara lain dengan pasal:

Pasal 28 E ayat 2 UUD 1945:“Setiap orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan
pikirandan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.”

Pasal 28 F UUD 1945:“Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh,
memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran yang tersedia.”
Pasal 28 H ayat 4 UUD 1945:“Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun.”

Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945:“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras
dengan perkembangan zaman dan peradaban.”

Pasal 28 J ayat 1 UUD 1945:“Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

4. Lex Posterior Derogat Legi Priori yaitu pada peraturan yang sederajat, peraturan yang paling baru
melumpuhkan peraturan yang lama. Jadi peraturan yang telah diganti dengan peraturan yang baru,
secara otomatis dengan asas ini peraturan yang lama tidak berlaku lagi. Biasanya dalam peraturan
perundangan-undangan ditegaskan secara ekspilist yang mencerminkan asas ini. Contoh yang
berkenaan dengan Asas Lex Posterior Derogat Legi Priori : dalam Pasal 76 UU No. 20/2003 tentang
Sisidiknas dalam Ketentuan penutup disebutkan bahwa Pada saat mulai berlakunya Undang-undang
ini, Undang-undang Nomor 48/Prp./1960 tentang Pengawasan Pendidikan dan Pengajaran Asing
(Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 155, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2103) dan Undang-
undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara Tahun 1989
Nomor 6, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3390) dinyatakan tidak berlaku.

5. Presumption of innocence (praduga tidak bersalah) ialah bahwa seseorang dianggap tidak
bersalah sebelum ada keputusan hakim yang menyatakan bahwa ia bersalah dan keputusan tersebut
telah mempunyai kekuatan hukum tetap. CONTOH NO 5 Dalam praktik, seperti pada kasus korupsi
yang melibatkan Luthfi Hasan, asas praduga tak bersalah masih belum diterapkan sepenuhnya
walaupun tidak sepenuhnya dikesampingkan. Sebaiknya pemerintah segera menelaah kembali
kebijakan legislali mengenai tindak pidana korupsi yang sudah dibuatnya dengan memberikan
penjelasan dan ketentuan yang lebih jelas, lengkap, dan terperinci dengan tetap berpegang teguh
pada asas-asas universal dalam hukum acara pidana dan agar dalam pelaksanaannya para pihak
yang terlibat lebih memahami dan berhati-hati dalam setiap melakukan tindakan.

6. Unus Testis Nullus Testis (satu saksi bukanlah saksi) merupakan asas yang menolak kesaksian dari
satu orang saksi saja. Dalam hukum acara perdata dan acara pidana, keterangan seorang saksi saja
tanpa dukungan alat bukti lain tidak boleh dipercaya atau tidak dapat digunakan sebagai dasar
bahwa dalil gugatan secara keseluruhan terbukti. Prinsip ini secara tegas dianut oleh KUHAP dalam
pembuktian [Pasal 185 ayat (2)].

7. in dubio pro reo diartikan sebagai “jika ada keragu-raguan mengenai sesuatu hal haruslah
diputuskan hal-hal yang menguntungkan terdakwa”.

Asas in dubio pro reo sendiri sudah sering digunakan Mahkamah Agung (MA) untuk memutus
perkara, di antaranya dalam Putusan Mahkamah Agung No. 33 K/MIL/2009 yang salah satu
pertimbangannya menyebutkan bahwa:

“asas IN DUBIO PRO REO yang menyatakan jika terjadi keragu-raguan apakah Terdakwa salah atau
tidak maka sebaiknya diberikan hal yang menguntungkan bagi Terdakwa yaitu dibebaskan dari
dakwaan.”
8. Ne bis in idem asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan
kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Asas ne bis in idem ini berlaku
secara umum untuk semua ranah hukum.

Dalam hukum pidana nasional di Indonesia, asas ne bis in idem ini dapat kita temui dalam Pasal 76
ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu seseorang tidak boleh dituntut dua kali
karena perbuatan yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Asas ne bis in
idem ini berlaku dalam hal seseorang telah mendapat putusan bebas (vrijspraak), lepas (onstlag van
alle rechtsvolging) atau pemidanaan (veroordeling) (lihat Pasal 75 ayat [2] KUHP).

9. 9. Asas keterikatan hakim pada precedent disebut stare decisis et quieta non movere (pengadilan
yang tingkatannya lebih rendah harus mengikuti keputusan yang lebih tinggi), yang lazimnya
disingkat stare decisis atau disebut juga the binding force of precedent (perkara yang sama harus
diproses dengan cara yang mirip atau sama).

10. Asas FICTIE Hukum : Asas berlakunya hukum yang menganggap setiap orang mengetahui adanya
sesuatu Undang-Undang. Sehingga, tidak ada alasan seseorang membebaskan diri dari Undang-
Undang dengan pernyataan tidak mengetahui adanya Undang-Undang tersebut.

Fictie ialah bahwa kita menerima sesuatu yang tidak benar sebagai suatu hal yang benar. Dengan
perkataan lain kita menerima apa yang sebenarnya tidak ada, sebagai ada atau yang sebenarnya ada
sebagai tidak ada. Kata fictie itu biasanya dipakai orang, jika orang dengan sadar menerima sesuatu
sebagai kebenaran, apa yang tidak benar. Fictie atau dusta yang demikian itu memegang peranan
yang penting dalam hukum, dan sudah dipakai sejak dahulu.

11. Publicity Principle adalah prinsip terbukanya informasi mengenai adanya pembebanan jaminan
fidusia terhadap suatu objek tertentu agar dapat diketahui oleh pihak ketiga yang mempunyai
kepentingan terhadap benda jaminan.

12. No punishment without guilt adalah asas tiada pidana tanpa kesalahan atau sesuatu perbuatan
tidak dapat membuat orang menjadi bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat.

13.asas Audi et Alteram Partem yang artinya "Mendengarkan dua belah pihak" atau mendengarkan
juga pendapat atau argumentasi pihak yang lainnya sebelum menjatuhkan suatu keputusan agar
peradilan dapat berjalan seimbang. Asas Audi et Lateram Partem atau juga dikenal sebagai Asas
Keseimbangan Dalam Hukum Acara Pidana, seorang Hakim wajib untuk mendengarkan pembelaan
dari pihak yang disangka atau didakwa melakukan suatu tindakan yang melanggar hukum guna
menemukan kebenaran materiel dalam suatu perkara yang diadilinya. Hak untuk didengar
pendapatnya sebagai perwujudan asas audi et alteram partem ini juga adalah suatu hak yang
dijamin dan dilindungi oleh UUD 1945, yaitu hak untuk didengar dan dipertimbangkan, baik argumen
maupun alat bukti yang diajukan di depan suatu badan peradilan yang mandiri dan imparsial
( pandangan yang memuliakan kesetaraan hak setiap individu).
14.Das sollen adalah segala sesuatu yang merupakan keharusan , atau yang mengharuskan kita
untuk berpikir dan bersikap tindak secara tertentu dalam menghadapi pekerjaan atau masalah
tertentu pula.

Contoh : Jika kita berkendara, dan tiba-tiba lampu lalu lintas menunjukkan lampu merah, maka kita
harus berhenti.

15.Das sein adalah segala sesuatu yang menjadi pelaksanaan dari das sollen, baik yang sesuai
dengan das sollen maupun yang bertentangan. Das sein adalah dunia kenyataan yang sebenarnya.
Oleh karena itu, maka das sein disebut juga dunia praktek atau dunia konkret terjadinya apa yang
dicita-citakan di dalam das sollen.

Contoh : Ketika melakukan jual beli, kita wajib mematuhi norma yang ada. Pembeli menyerahkan
uang dan penjual menyerahkan barang. Jika uang yang diserahkan tidak sesuai atau barang yang
diberikan tidak sesuai, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum.

Anda mungkin juga menyukai