Anda di halaman 1dari 2

APAKAH AGAMA MASIH DIPERLUKAN?

(Bagian I)

Pada zaman modern ini banyak orang tidak memedulikan agama. Agama
dipandang hanyalah candu bagi orang-orang yang lemah. Karl Max, penggagas paham
komunisme, menyatakan, “Agama adalah candu bagi masyarakat. Menghujat agama
adalah syarat utama dari semua hujatan.” Pernyataan serupa juga dikemukakan oleh
Vladimir Lenin, “Matilah agama dan hiduplah atheisme. Kita harus memperlakukan
agama dengan bengis. Kita harus memerangi agama.”
Agama dianggap hanyalah sumber problem. Agama menyuburkan konflik di
antara manusia. Oleh karena hal tersebut, Charles Kimball, seorang pendeta Kristen
Babtis di Oklahoma Amerika Serikat, menyatakan bahwa agama bisa menjadi jahat.
Menurutnya, ada lima tanda agama busuk dan jahat. Pertama, mengajarkan klaim
kebenaran secara mutlak. Kedua, mengajarkan ketaatan buta. Ketiga, merindukan zaman
ideal, lalu bertekad merealisasikan zaman tersebut ke zaman sekarang. Keempat, tujuan
menghalalkan segala cara. Kelima, menyerukan perang suci. (Charles Kimball, Kala
Agama Jadi Bencana, hlm. 77-318)
Agama menyebabkan orang dijauhi dan tidak mempunyai banyak teman. Agama
mengungkung kebebasan manusia dalam berkreasi dan berekspresi. Singkatnya, agama
sudah usang. Agama tidak diperlukan lagi.      
            Pemikiran dan sikap anti-agama seperti itu pada mulanya muncul dan
berkembang di Barat. Sudah tentu, kemunculannya tidak bisa dilepaskan
dari worldview Barat yang dilatarbelakangi oleh problem dan pengalaman sejarah mereka
terhadap agama Kristen. Namun demikian, pemikiran dan sikap anti-agama pada hari ini
turut berkembang pula di kalangan masyarakat muslim. Sebagian mereka terkagum-
kagum dan mengikuti pemikiran Barat yang sekular itu tanpa selektif dan sikap kritis.

Dari Sekularisme ke Positivisme


            Latar belakang pandangan sekular Barat bisa dilacak dari keadaan-keadaan yang
terjadi di Inggris dan Perancis sekitar abad ke-17 dan ke-18. Keadaan-keadaan itu dapat
disimpulkan dalam 3 unsur sebagai berikut. Pertama; kepercayaan penuh kepada metode
ilmu pengetahuan. Menurut aliran empirisisme yang berkembang di Inggris, semua ilmu
pengetahuan harus didasarkan kepada pancaindera. Kedua; kehilangan kepercayaan
kepada agama Kristen. Agama Kristen menjadi penghalang bagi pengembangan ilmu
pengetahuan. Pada abad pertengahan, banyak ilmuwan Eropa dan orang yang dituduh
melakukan heresy (bid‘ah) disiksa dan dibunuh oleh Dewan Inquisisi Gereja. Ketiga;
semakin bertambah meresapnya paham materialisme, yakni pendapat yang mengatakan
bahwa yang ada hanyalah benda (materi) karena dapat disadari dengan pancaindera,
sedangkan jiwa tidak demikian.
            Ketiga unsur ini yang pada abad ke-18 telah tersiar luas di Barat mendorong
timbulnya aliran positivisme pada abad ke-19. Tokoh utamanya adalah pemikir Perancis
yang bernama August Comte (1795—1857). Menurut teori August Comte, manusia telah
mengalami 3 tingkatan perkembangan dalam cara berpikirnya.
            Pertama; pada mulanya manusia selalu berpikir secara ketuhanan. Keadaan ini
dinamakan tingkatan teologi. Dalam tingkatan terendah ini, manusia belum mempunyai
pikiran tentang sebab musabab kejadian-kejadian dalam alam. Manusia hidup dalam
ketakutan terhadap bencana dan tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab, dia tidak tahu apa
yang harus diperbuat. Satu-satunya tindakan yang dia lakukan adalah memohon kepada
Tuhan agar menjauhkannya dari bencana. Tuhan itu bisa berupa arca, pohon besar, arwah
nenek moyang maupun lainnya.
            Kedua; kemudian berpindah pada tingkatan kedua, yaitu tingkatan metafisik.
Manusia akhirnya menemukan keberanian dalam dirinya. Dia merasa bahwa kekuatan
yang menimbulkan bencana bisa dicegah dengan memberikan sesajian. Contoh cara
berpikir pada tingkatan metafisik adalah kebiasaan mengadakan selamatan dan upacara
penanaman kepala kerbau sebelum memulai pembangunan sebuah gedung besar.
Tujuannya adalah agar gedung yang akan dibangun senantiasa berdiri dengan kokoh.
Meskipun sudah diselamati dan diberi landasan kepala kerbau, terkadang satu atau dua
tahun setelah selesai pembangunannya, gedung itu mulai menunjukkan keretakan di
beberapa bagiannya. Manusia pun berpikir, siapa yang suka memakan semen; pemborong
atau kepala kerbau yang ditanam.
            Ketiga; akhirnya manusia sampai pada tingkatan tertinggi, yaitu tingkatan positif.
Dalam tingkatan ini, manusia telah mendapatkan pengetahuan yang cukup untuk
menguasai alam. Manusia mampu membangun gedung-gedung bertingkat tanpa
menanam kepala kerbau terlebih dahulu, namun gedung-gedung itu kuat dan tahan
berpuluh-puluh tahun, bahkan beberapa generasi.
           Melihat contoh di atas, sepintas teori August Comte tentang tiga tingkatan itu
benar. Manusia memerlukan Tuhan hanya pada tingkatan pertama, yaitu tingkatan
teologi. Dalam tingkatan positip, manusia tidak lagi memerlukan Tuhan. Artinya, pada
zaman modern ini, manusia cukup hidup dengan akal dan teknologinya. Manusia tidak
memerlukan Tuhan. Manusia tidak memerlukan agama. (H.M. Rasjidi, Empat Kuliah
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, hlm. 7-16)

(bersambung…)

Anda mungkin juga menyukai