Anda di halaman 1dari 2

APAKAH AGAMA MASIH DIPERLUKAN?

(Bagian II)

Pada edisi sebelumnya dijelaskan bahwa sekularisme di Eropa memunculkan


positivisme dengan tokoh utama August Comte. Menurut Comte, agama tidak diperlukan
lagi oleh manusia modern. Agama hanya diperlukan oleh manusia primitif yang hidup
dalam ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa saat bencana alam datang. Dalam
kondisi seperti ini, manusia memerlukan Tuhan dan agama untuk menenangkan pikiran.

Kritik terhadap Positivisme


            Prof. Dr. H.M. Rasjidi mengkritik teori August Comte itu. Dia menyimpulkan:
            Pertama; teori August Comte tentang tiga tingkatan itu tidak benar. Manusia tidak
berkembang dari tingkatan teologi, lalu ke tingkatan metafisik dan sekarang dalam
tingkatan tertinggi, yaitu tingkatan positif. Ketiga tingkatan ini bukan merupakan
tingkatan evolusi, tetapi merupakan macam-macam jenis mental manusia. Pada zaman ini
pun kita masih menyaksikan ketiga tingkatan tersebut ada dalam satu wilayah tertentu.
            Kedua; selain teori tiga tingkatan itu menunjukkan adanya tiga macam cara
manusia berpikir, kita juga mendapatkan orang yang hidup dalam dua atau tiga tingkatan
sekaligus. Misalnya, ada orang tamatan perguruan tinggi yang seharusnya hidup dalam
tingkatan positif, namun masih pergi ke dukun dan mengikuti aliran kebatinan. Dengan
demikian, teori August Comte tentang tiga tingkatan itu tidak benar. (Empat Kuliah
Agama Islam Pada Perguruan Tinggi, hlm. 7-19)

Krisis Spiritual di Barat


            Marjinalisasi agama dan penempatan akal manusia sebagai ukuran mutlak
memunculkan berbagai krisis di masyarakat Barat. Pada zaman modern, Barat
menemukan tuhan baru, yaitu ilmu pengetahuan, sedangkan Tuhan lama mereka buang.
Tetapi, tuhan ilmu pengetahuan ini sangat rapuh, selalu berubah-ubah dan berpindah-
pindah kedudukan. Apa yang hari ini dibela merupakan fakta dari apa yang kemarin
dianggap palsu. Akibatnya, para pemujanya selalu berhati cemas dan gelisah. Mereka
tidak menemukan kedamaian dan ketenangan. Selain itu, penuhanan terhadap ilmu
pengetahuan menjadikan dunia hampa dari segala makna dan tujuan karena tidak ada
peraturan dan kekuasaan yang lebih tinggi sebagai pembimbingnya, sementara
pertarungan sengit terus berlangsung di antara kekuatan-kekuatan yang berlawanan itu.
Dalam keadaan seperti itu, hanya agama yang bisa memulihkan kedamaian dan
ketenteraman umat manusia. Agama mempersenjatai manusia dengan segala cara terbaik
dalam menempuh perjuangan hidup yang begitu berat. (M. Quthub, Salah Paham
Terhadap Islam, hlm. 13-16)     
            Menurut kesimpulan sebuah penelitian di Kanada yang mempelajari hubungan
antara penganut agama dan aktivitas otak, otak orang yang relijius terbukti lebih tenang
bila menghadapi situasi tidak pasti dan memiliki tingkat stress lebih rendah saat
mengalami kesalahan dibanding orang yang tidak percaya agama. Michael Inzlicht,
profesor psikologi University of Toronto, berkata, “Orang-orang relijius atau mereka
yang percaya Tuhan terbukti memiliki tingkat stres atau kecemasan lebih rendah setelah
melakukan kesalahan.” Studi ini melibatkan kelompok kecil orang yang percaya Tuhan
dan tidak percaya dari berbagai latar belakang agama, termasuk umat Islam, Kristen,
Hindu dan Budha. (http://riau.bkkbn.go.id/old/article_detail.php?aid=61 Diakses pada 17
Maret 2010)

Kebangkitan Islam di Barat


            Orang di Barat –tempat muncul dan berkembangnya sekularisme— pada hari ini
mulai mencari kembali suatu pegangan untuk hidup mereka. Agama Islam berkembang
cukup pesat di negara-negara Eropa dan Amerika. Dua minggu sesudah peristiwa 11
September 2001, lebih dari 11 ribu orang Amerika Serikat menyatakan masuk Islam.
Lalu pada pertengahan November 2001, Ketua Majelis Hubungan Islam Amerika, Nihad
Awadh, mengumumkan bahwa lebih dari 24.000 orang Amerika telah memeluk agama
Islam sesudah insiden pada gedung WTC itu. Angka ini merupakan angka tertinggi
dalam hal jumlah pemeluk agama Islam di Amerika Serikat sejak Islam memasuki negara
itu. Ini baru yang terjadi di negeri Paman Sam, belum lagi di negara-negara Barat lain.
(Abu Abdurrahman Al-Yafi'i, Mukjizat Terkini Pasca Serangan 11 September)
Selain itu, banyak gereja menjelma menjadi masjid setelah sepi ditinggalkan
pengikutnya. Di antara masjid yang merupakan bekas gereja:

1. Masjid jami’ London atau masjid Brick Lane. Dulunya adalah gereja Protestan
yang dibangun oleh komunitas Huguenot, atau para pemeluk Protestan yang lari
dari Prancis untuk menghindari kekejaman penganut Katolik.
2. Masjid Didsbury di Burton Road, Didsbury Barat, Manchester. Dulunya adalah
gereja komunitas Metodis, yang bernama Albert Park.
3. Masjid New Peckham di dekat Burgess Park, tepatnya di London Selatan SE5.
Dulunya adalah gereja St Marks Cathedral.
4. Masjid Sentral Wembley terletak di jantung kota Wembley, dekat dengan
Wembley Park Station. (http://www.hidayatullah.com/berita/cover-story/10239-
masjid-masjid-yang-dulunya-gereja-.html Diakses pada 18 Januari 2010)

            Jadi, agama tetap diperlukan. Semakin jauh manusia mencapai kemajuan, bahkan
semakin terasa pula perlunya agama. Tanpa agama, segala kemajuan manusia, baik dari
segi pikiran maupun teknologi, tidak akan membahagiakan, tetapi malah membinasakan
mereka. Wallahu a‘lam.
 
 
 

Anda mungkin juga menyukai