Kondisi demikian digambarkan oleh Abul Hasan Ali An-Nadawi, “Tak dapat
disangkal lagi, abad-abad ke-6 dan ke-7 M adalah periode sejarah yang paling suram.
Nilai kemanusian telah merosot hebat sejak berabad-abad dan semakin hari semakin
cepat meluncur menuju titik kehancuran. Tidak ada satu pun kekuatan di atas muka bumi
ini yang mampu menyelamatkannya dari kebinasaan. Pada abad-abad itu manusia telah
lupa kepada Sang Penciptanya; lupa diri dan lupa harus ke mana kembali. Pertimbangan
akalnya telah hilang… Dakwah para nabi pun telah lenyap tak berbekas…” (Mâdzâ
Khasira Al-‘Âlam bi Inhithâth Al-Muslimîn, hlm. 29)
Ketika sedang menyendiri dan larut dalam tahannuts-nya, tiba-tiba datang sosok
asing yang belum pernah dijumpainya. Muhammad terkejut dan takut. Sosok itu
menghampirinya, lalu memerintah, “Iqra’! Bacalah!”, sambil mendekapnya erat-erat
hingga membuatnya susah bernafas. Muhammad menjawab bahwa ia tidak bisa
membaca. Akan tetapi, sosok itu mengulanginya hingga tiga kali. Muhammad pun tetap
memberikan jawaban yang sama. Setelah itu, barulah ia bertanya, “Apa yang harus aku
baca?” Sosok asing yang ternyata adalah malaikat Jibril lalu membacakan, “Bacalah
dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia
dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak
diketahuinya.”(Al-‘Alaq: 1-5) Inilah wahyu pertama. Dengan demikian, Muhammad pun
diangkat menjadi nabi.
Nabi Muhammad adalah nabi yang ummi. Ia tidak bisa menulis dan membaca.
Pada saat perintah iqra’ itu turun, yang ummi bukan hanya ia seorang diri. Fenomena
ummi ini mudah ditemukan di kalangan bangsa Arab secara umum.
Sebelum kedatangan Islam, tradisi membaca dan menulis belum berkembang di
kalangan bangsa Arab. Yang berkembang cukup bagus adalah tradisi lisan. Orang Arab
lebih suka menghafal daripada menulis. Yang mereka hafal adalah nasab dan syair.
Kedua hal ini bahkan menjadi kebanggaan bagi mereka. Orang Arab membuat acara-
acara tertentu untuk memamerkan karya sastra mereka, terutama syair.
Kemampuan membaca dan menulis belum menjadi prioritas, bahkan belum
menjadi kebutuhan hidup masyarakat Arab jahiliyah. Hal ini tidak lepas dari kebiasaan
orang Arab yang hidup secara nomaden. Dalam kehidupan masyarakat nomaden,
perhatian mereka tidak terfokus pada keterampilan membaca dan menulis, tetapi lebih
pada kebutuhan makan dan minum.
Keterampilan membaca dan menulis hanya dimiliki orang perorang. Orang yang
pertama kali menjadi guru menulis sebagai profesinya di Jazirah Arab menurut Ahmad
Syalabi adalah seseorang berasal dari Wadil Qurra. Di antara penduduk Mekah yang
pertama kali belajar menurut Ibnu Khaldun adalah Sufyan bin Umayyah dan Harb bin
Umayyah. Keduanya belajar dari Aslam ibnu Sidrah di negeri Hirah. Mereka belajar
menulis dan membaca karena dibutuhkan untuk urusan dagang. (Ahmad Sjalabi,
Sedjarah Pendidikan Islam, hlm. 33)
Bangsa Arab mempunyai pandangan yang tidak sama terhadap orang yang
mampu menulis dan membaca. Sebagian mereka mengapresiasinya, namun sebagian lain
justru mencelanya. Muhammad Musthafa Al-Azami mengatakan bahwa kegiatan tulis
menulis dalam kehidupan orang-orang Arab jahiliyah mempunyai peranan yang sangat
penting dan tradisi tersebut menjadi salah satu unsur kesempurnaan seseorang. Seorang
anggota masyarakat yang bisa membaca dan menulis mempunyai status sosial yang
tinggi dalam masyarakat dibandingkan dengan mereka yang tidak bisa membaca dan
menulis, terutama setelah Islam datang. (M.M. Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah
Kodifikasinya, hlm. 75)
Sebaliknya, sebagian lain memandang bahwa harga diri masyarakat Arab bukan
berstandarkan pada kemampuan membaca dan menulis, tetapi keunggulan mereka dalam
menghafal. Dalam tradisi mereka, bila kemampuan seseorang sangat kuat dalam
membaca dan menulis, itu menandakan orang tersebut lemah hafalannya. Kelemahan
hafalan di kalangan mereka adalah aib. Oleh karena itu, orang Arab sangat takut jika
kemampuan membaca dan menulisnya diketahui orang lain, sebab hal tersebut menjadi
rahasia kelemahan seseorang. (Muh. Misdar, Sejarah Pendidikan dalam Islam, 42)