Perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia yang pesat menempatkan negara dengan penduduk ke-4
terbesar di dunia ini, sebagai salah satu negara dengan basis industri otomotif kelas dunia. Studi Ipsos
Business Consulting yang dirilis tahun 2016 lalu, menunjukkan pasar otomotif nasional masih tergolong
atraktif. Karakteristik masyarakat Indonesia menjadikan kendaraan dengan segmen mobil penumpang dan
low cost green car (LCGC) sebagai segmen kendaraan favorit. Pertumbuhan pasar otomotif nasional hingga
2020 mendatang diprediksi akan mencapai angka 6,8 persen. Merujuk pada data Gabungan Industri
Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), kuartal pertama 2017 penjualan mobil di Indonesia akan
meningkat sebesar 6 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar domestik masih bergairah. Selain
menggarap pasar domestik, Indonesia juga harus memiliki daya saing secara global agar dapat memenuhi
aturan Presiden Joko Widodo untuk memperbesar ekspor. Meskipun saat ini Indonesia sudah menjadi negara
kedua manufaktur otomotif ASEAN, bersaing dengan Thailand dan Malaysia, faktanya untuk sukses
merambah pasar global, pemerintah Indonesia dan pelaku industri otomotif tanah air harus bekerja sama
untuk menghadapi tantangan di masa depan. Tantangan yang Harus Dihadapi Untuk mengembangkan
industri otomotif masih ada sejumlah tantangan yang harus dihadapi, ujar I Made Dana Tangkas, Presiden
Institute Otomotif Indonesia (IOI) seperti dikutip kompas.com Tantangan pertama yaitu rantai pasokan
komponen. Kurang berkembangnya industri komponen domestik mengakibatkan proses manufaktur mobil
masih cukup bergantung pada kegiatan impor. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) sebagai
salah satu pelaku industri otomotif di Indonesia mengakui bahwa saat ini masih perlu dilakukan pendalaman
industri. Termasuk dengan meningkatkan jumlah dan kapabilitas pemasok lokal. Tidak hanya di lapis 1 saja,
tetapi juga di lapis 2 dan 3 yang merupakan Small Medium Industries (SMIs). “Rantai pasokan komponen
lokal yang memadai akan meningkatkan kandungan lokal dalam produk otomotif. Hal ini berarti
mengurangi ketergantungan impor yang sangat dipengaruhi fluktuasi kurs mata uang. Daya saing produk
dalam hal kepastian harga akan meningkat,” ujar Yui Hastoro, Direktur Technical, Project Planning, dan
Management TMMIN. Tantangan kedua yang harus dihadapi pelaku industri otomotif nasional untuk
berekspansi secara global adalah isu global soal lingkungan dan energi, menurutKukuh Kumara, Sekretaris
Umum Gaikindo. Saat ini, konsumen otomotif global sangat peduli dengan konsumsi bahan bakar dan emisi
gas buang. Di negara-negara lain, level standar emisi sudah mencapai Euro IV, Kukuh menambahkan. Butuh
waktu untuk berbagai penyesuaian misalnya saja dari segi pabrikan, meski manufaktur otomotif nasional
sudah siap dan mampu memproduksi kendaraan dengan standar Euro 4 untuk memenuhi permintaan
konsumen dan menyesuaikan dengan regulasi negara tujuan ekspor. Tidak hanya memproduksi dan
mengekspor kendaraan Euro IV, bahkan hingga saat ini TMMIN juga sudah bisa mengekspor kendaraan
dengan performa Euro VI ke negara tetangga Singapura. Menurut Yui Hastoro, persiapan produksi
kendaraan Euro 4 untuk pasar domestik masih terus dilakukan. Baik yang diproduksi oleh pemasok maupun
in-house. Selain itu, negara-negara berkembang dan maju yang saat ini menjadi tujuan ekspor Indonesia juga
semakin memperhatikan teknologi keamanan kendaraan. Oleh karena itu, penerapan proses produksi
berstandar global perlu dilakukan. Peran Aktif Pelaku Industri Peran aktif pelaku industri otomotif nasional
diperlukan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut. Contohnya yang dilakukan produsen otomotif
nasional, seperti TMMIN. Upaya meningkatkan daya saing produk otomotif nasional untuk mendukung
target pemerintah dengan meningkatkan porsi komponen lokal telah dilakukan TMMIN sebagai produsen
otomotif nasional sejak tahun 1970-an dengan kehadiran Kijang generasi pertama yang menggunakan 19
persen komponen lokal. Kini Kijang generasi ke-6 sebagai generasi terbaru sudah menggunakan 85 persen
komponen lokal. Produk-produk kendaraan TMMIN lainnya juga sudah menggunakan komponen lokal 60-
80 persen. Saat ini, TMMIN juga memiliki beberapa divisi khusus untuk mengembangkan rantai pemasok
komponen lokal. “Kami sedang memulai kerjasama dengan pemasok lokal level SMI di Jawa Tengah dalam
hal pengembangan kapabilitas SDM dan manajemen produksi. Kedepannya, program ini akan diperbanyak
ke SMI lain,” ujar Yui Hastoro. Pengembangan SDM Selain dari segi produksi, pengembangan SDM
(Sumber Daya Manusia) juga berperan penting dalam industri otomotif nasional. Dalam hal ini, TMMIN
tidak hanya fokus kepada kapabilitas SDM yang dimiliki, namun juga kapabilitas SDM yang ada di seluruh
rantai suplainya. Pada awal tahun ini, TMMIN meluncurkan program Manufacturing Skill Interchange
Festival (MASIF), sebuah kegiatan kompetisi keahlian keterampilan diantara perusahaan pemasok yang
bertujuan untuk mendorong semangat bersaing dan budaya pengembangan SDM dalam rangka terbentuknya
SDM terbaik dengan standar global. Tahun ini, MASIF diikuti oleh 17 pemasok lapis pertama dengan 3
bidang yang dilombakan, yaitu logistik, perawatan (maintenance), dan inspeksi (inspection). Kedepannya
jumlah peserta dan bidang yang dikompetisikan diharapkan akan terus meningkat setiap tahunnya. Kegiatan
lain yang berkaitan erat dengan perusahaan pemasok adalah pendampingan dan pelatihan untuk perusahaan
pemasok. TMMIN juga mendukung kegiatan people development berupa aktivitas Shop Floor Management
dan Joint Improvement Group (Jishuken). Dukungan Pemerintah Akan tetapi, upaya yang dilakukan oleh
TMMIN sebagai manufaktur otomotif tersebut tetap butuh dukungan dan kolaborasi dengan pemerintah.
Penciptaan lingkungan usaha manufaktur yang baik juga perlu diperhatikan pemerintah. Salah satunya
dengan pengembangan infrastruktur yang mendukung kelancaran logistik dan proses ekspor impor. Yui
Hastoro mengatakan persaingan di pasar regional dan global yang menantang membutuhkan kolaborasi
antara pelaku industri dengan pemerintah dan pihak terkait. Niscaya tantangan-tantangan akan teratasi.
“Harus ada regulasi dan kerjasama yang bisa memayungi industri dari hulu hingga hilir sehingga produk
lokal dapat berkompetisi di kancah global”, tutup I Made Dana Tangkas seperti dikutip dari Kompas.com.
Indonesia memiliki industri manufaktur mobil terbesar kedua di Asia Tenggara dan di wilayah ASEAN
(setelah Thailand yang menguasai sekitar 50 persen dari produksi mobil di wilayah ASEAN). Kendati
begitu, karena pertumbuhannya yang subur di beberapa tahun terakhir, Indonesia akan semakin mengancam
posisi dominan Thailand selama satu dekade mendatang. Namun, untuk mengambil alih posisi Thailand
sebagai produsen mobil terbesar di kawasan ASEAN, itu akan memerlukan upaya dan terobosan besar. Saat
ini Indonesia sangat tergantung pada investasi asing langsung, terutama dari Jepang, untuk pendirikan
fasilitas manufaktur mobil. Indonesia juga perlu mengembangkan industri komponen mobil yang bisa
mendukung industri manufaktur mobil. Saat ini, kapasitas total produksi mobil yang dirakit di Indonesia
berada pada kira-kira dua juta unit per tahun.
Per 2017 kapasitas total produksi terpasang mobil di Indonesia adalah 2.2 juta unit per tahun. Namun,
pemanfaatan kapasitas tersebut diperkirakan turun menjadi 55 persen pada tahun 2017 karena perluasan
kapasitas produksi mobil dalam negeri tidak sejalan dengan pertumbuhan permintaan domestik dan asing
untuk mobil buatan Indonesia. Toh, tidak ada kekhawatiran besar tentang situasi ini karena permintaan pasar
domestik untuk mobil memiliki banyak ruang untuk pertumbuhan dalam beberapa dekade ke depan dengan
kepemilikan mobil per kapita Indonesia masih pada tingkat yang sangat rendah.
Namun, dalam hal ukuran pasar, Indonesia merupakan pasar mobil terbesar di Asia Tenggara dan wilayah
ASEAN, menguasai sekitar sepertiga dari total penjualan mobil tahunan di ASEAN, diikuti oleh Thailand
pada posisi kedua. Indonesia tidak hanya memiliki populasi besar (258 juta jiwa), tetapi juga ditandai
dengan memiliki kelas menengah yang berkembang pesat. Bersama-sama, kedua faktor ini menciptakan
kekuatan konsumen yang kuat.
Penjualan Mobil di Wilayah ASEAN:
Negara 2014 2015 2016
Thailand 881,832 799,632 768,788
Indonesia 1,208,019 1,013,291 1,061,735
Malaysia 666,465 666,674 580,124
Philippines 234,747 288,609 359,572
Vietnam 133,588 209,267 270,820
Singapore 47,443 78,609 110,455
Brunei 18,114 14,406 13,248
ASEAN 3,190,208 3,070,488 3,164,742
Sumber: ASEAN Automotive Federation
Tertarik dengan kepemilikan mobil per kapita yang rendah, biaya tenaga kerja yang murah dan semakin
bertumbuhnya kelas menengah, berbagai pembuat mobil global (seperti Toyota dan Nissan) memutuskan
untuk berinvestasi besar-besaran untuk mengekspansi kapasitas produksi di Indonesia dan mungkin akan
mengubahnya menjadi tempat pusat produksi mereka di masa depan. Perusahaan-perusahaan lain, seperti
General Motors (GM) telah kembali ke Indonesia (setelah GM menutup pabriknya di Indonesia beberapa
tahun sebelumnya) untuk memasuki pasar yang menguntungkan ini. Kendati begitu, perusahaan-perusahaan
manufaktur mobil dari Jepang tetap menjadi para pemain dominan dalam industri manufaktur mobil
Indonesia, terutama merek Toyota. Lebih dari setengah jumlah total mobil yang dijual secara domestik
adalah mobil Toyota. Akan menjadi tantangan berat untuk merek-merek Barat untuk bersaing dengan rekan-
rekan Jepang mereka di Indonesia. Indonesia dikenal sebagai halaman belakang produsen mobil asal Jepang.
Meskipun low-cost green car (LCGC) yang relatif baru di Indonesia telah menjadi populer (lihat di bawah),
kebanyakan orang Indonesia tetap lebih memilih untuk membeli mobil MPV (untuk keluarga). Pemimpin
pasar di industri mobil Indonesia adalah Toyota (Avanza), didistribusikan oleh Astra International (salah
satu konglomerat paling terdiversifikasi di Indonesia yang mengontrol sekitar 50% dari pasar penjualan
mobil negara ini), diikuti oleh Daihatsu (juga didistribusikan oleh Astra International) dan Honda.
Visi Pemerintah Indonesia Mengenai Industri Otomotif
Pemerintah Indonesia bertekad untuk mengubah Indonesia menjadi pusat produksi global untuk manufaktur
mobil dan ingin melihat produsen-produsen mobil yang besar untuk mendirikan pabrik-pabrik di Indonesia
karena negara ini bertekad untuk menggantikan Thailand sebagai pusat produksi mobil terbesar di Asia
Tenggara dan wilayah ASEAN. Dalam jangka panjang, Pemerintah ingin mengubah Indonesia menjadi
sebuah negara pemanufaktur mobil yang independen yang memproduksi unit-unit mobil yang seluruh
komponennya dimanufaktur di Indonesia.
Saat ini, Thailand mengontrol kira-kira 43,5% dalam konteks penjualan di wilayah ASEAN, sementara
Indonesia berada di posisi kedua dengan 34% pangsa pasar.
Pasca periode Orde Baru, pertumbuhan ekonomi memuncak di tahun 2011 pada 6,2% pada basis year-on-
year (y/y). Setelah 2011, Indonesia mulai mengalami periode perlambatan ekonomi yang berkelanjutan,
terutama karena guncangan internasional (pertumbuhan global yang lambat dan harga-harga komoditi yang
menurun dengan cepat). Kendati begitu, penjualan mobil tidak segera mengikuti pertumbuhan ekonomi yang
melambat dan masih bisa mencapai angka penjualan mobil yang tertinggi pada tahun 2013 (1,23 juta mobil
terjual). Penundaan penurunan penjualan mobil ikut disebabkan oleh pandangan yang terlalu optimis
mengenai perekonomian Indonesia.
Di akhir 2012, lembaga-lembaga seperti Bank Dunia, International Monetary Fund (IMF), Bank
Pembangunan Asia dan juga Pemerintah Indonesia gagal untuk memahami besarnya pengaruh perlambatan
global. Justru, lembaga-lembaga ini memprediksi pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat di Indonesia di
tahun 2012 dan pertumbuhan yang naik cepat pada level +6% mulai dari tahun 2013 sampai seterusnya.
Tetapi karena kondisi global tetap lambat pada tahun 2013-2015, lembaga-lembaga ini harus menurunkan
proyeksinya untuk pertumbuhan PDB Indonesia dalam berbagai kesempatan dan karenanya menyebabkan
sentimen-sentimen yang menurun.
Kedua, penjualan mobil di Indonesia melambat di tahun 2014 (setelah pertumbuhan selama empat tahun
beruntun) karena Pemerintah Indonesia menaikkan harga bahan bakar bersubsidi dua kali dalam rangka
mengurangi tekanan-tekanan berat dalam defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (pada Juni 2013
Pemerintah telah menaikkan harga bahan bakar bersubsidi dengan rata-rata 33% namun hal ini memiliki
dampak yang terbatas pada penjualan mobil), sambil menyediakan dana untuk investasi struktural
(contohnya dalam pembangunan infrastruktur).
Di awal 2015, subsidi bensin (premium) pada dasarnya dihapuskan sementara subsisi tetap Rp 1.000 per
liter ditetapkan untuk diesel (solar). Selama beberapa dekade masyarakat Indonesia menikmati bahan bakar
yang murah karena subsidi energi yang berlimpah dari Pemerintah namun pada tahun 2013-2014 reformasi-
reformasi membawa kepada kenaikan harga bensin dari Rp 4.500 per liter di awal 2013 menjadi Rp 7.400
per liter di pertengahan 2015, kenaikan harga sebesar 62,9%.
Terlebih lagi, reformasi-reformasi harga bahan bakar bersubsidi ini juga menyebabkan akselerasi inflasi
karena efek-efek ronde kedua (karenanya semakin mengurangi daya beli masyarakat Indonesia) karena
harga dari berbagai produk (contohnya produk-produk makanan) meningkat karena biaya-biaya transportasi
yang lebih tinggi. Baik di tahun 2013 maupun 2014 inflasi mencapai 8,4% (y/y). Sementara PDB per kapita
menurun karena perlambatan pertumbuhan ekonomi. Terakhir, rupiah yang lemah (yang telah melemah
sejak pertengahan 2013 karena ancaman pengetatan kebijakan moneter Amerika Serikat) membuat impor
lebih mahal. Karena banyak komponen mobil masih perlu diimpor (dalam dollar Amerika Serikat)
karenanya meningkatkan biaya-biaya produksi untuk para pemanufaktur mobil Indonesia, harga-harga mobil
menjadi lebih mahal. Kendati begitu, para pemanufaktur dan retailer tidak selalu berhasil memindahkan
biaya-biaya ini kepada pengguna akhir karena kompetisi yang sengit dalam pasar mobil domestik.
Penjualan Mobil di Indonesia (CBU):
Sold Cars Sold Cars Sold Cars
Sold Cars Sold Cars
Bulan
2016 2017
2013 2014 2015
Januari 96,718 103,609 94,194 85,002 86,262
Februari 103,278 111,824 88,740 88,208 95,163
Maret 95,996 113,067 99,410 94,092 102,335
April 102,257 106,124 81,600 84,770 89,624
Mei 99,697 96,872 79,375 88,567 94,085
Juni 104,268 110,614 82,172 91,488 66,389
Juli 112,178 91,334 55,615 61,891 85,354
Augustus 77,964 96,652 90,537 96,282 97,256
September 115,974 102,572 93,038 92,541 87,696
Oktober 112,039 105,222 88,408 92,106 94,433
November 111,841 91,327 86,938 100,215 96,148
Desember 97,706 78,802 73,264 86,573
Total 1,229,916 1,208,019 1,013,291 1,061,735
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Penjualan
486,061 764,710 894,164 1,116,230 1,229,916 1,208,019 1,013,291 1,061,735
(unit mobil)
Ekspor
56,669 85,769 107,932 173,368 170,907 202,273 207,691
(unit mobil)
Sumber: Gaikindo
Bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) menurunkan persyaratan pembayaran untuk pembelian sebuah
mobil dalam rangka mendongkrak pertumbuhan kredit (dan pertumbuhan ekonomi) karena pemotongan BI
rate dianggap terlalu berisiko menjelang ancaman kenaikan suku bunga Amerika Serikat (menyebabkan
pelemahan rupiah), sementara inflasi masih ada di atas cakupan target bank sentral pada pertengahan 2015.
Efektif berlaku mulai 18 Juni 2015, konsumen-konsumen Indonesia yang menggunakan pinjaman dari
lembaga keuangan untuk membeli mobil pribadi harus membayar uang muka minimum sebesar 25% (dari
sebelumnya 30%). Uang muka minimum untuk kendaraan-kendaraan komersil tetap pada 20%.
Diperkirakan bahwa sekitar 65% dari pembelian mobil di Indonesia dilakukan secara kredit.
Pengenalan pada Low Cost Green Car (LCGC) di Indonesia
Low-cost green car (LCGC) adalah mobil dengan harga terjangkau, dan efisien menggunakan bahan bakar,
yang diperkenalkan ke pasar Indonesia di akhir 2013 setelah Pemerintah telah menawarkan insentif-insentif
pajak untuk para pemanufaktur mobil yang memenuhi persyaratan-persyaratan untuk target efisiensi BBM.
Mobil-mobil LCGC biasanya memiliki harga kira-kira Rp 100 juta membuat mobil-mobil ini menarik untuk
segmen kelas menengah ke bawah yang berjumlah besar di negara ini. Menjelang implementasi Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA) di akhir 2015, Pemerintah Indonesia ingin membuat Indonesia menjadi pusat
regional untuk produksi mobil-mobil LCGC.
Pemerintah menetapkan beberapa ketentuan dan persyaratan untuk manufaktur mobil-mobil LCGC.
Contohnya, konsumsi bahan bakar diharuskan ditetapkan pada paling sedikit 20 kilometer per liter
sementara mobil harus memiliki - sebesar 85% - komponen yang dimanufaktur secara lokal (karenanya
mengurangi kerentanan harga tipe mobil ini terhadap pelemahan nilai tukar rupiah). Sebagai gantinya,
mobil-mobil LCGC dibebaskan dari pajak barang mewah, yang membuat para pemanufaktur dan retailer
dapat menetapkan harga yang lebih murah.
Mobil-mobil ini memiliki kapasitas mesin maksimum pada 1.200 kubik sentimeter, dan didesain untuk
menggunakan bensin beroktan tinggi. Para pelaku utama dalam industri LCGC Indonesia adalah lima
perusahaan manufaktur asal Jepang yang terkenal: Toyota, Daihatsu, Honda, Suzuki dan Nissan. Berbagai
model mobil-mobil LCGC telah dijual di pasaran sejak akhir 2013 (termasuk Astra Toyota Agya, Astra
Daihatsu Ayla, Suzuki Karimun Wagon R, dan Honda Brio Satya).
Penjualan Low Cost Green Cars di Indonesia:
2013 2014 2015 2016¹
Penjualan LCGC
51,180 172,120 165,434 41,301
Indonesia
¹ Q1-2016
Sumber: Gaikindo
JJ. Rousseau pernah berkata bahwa hidup itu bukanlah soal bernafas saja, tetapi soal bertindak secara nyata
untuk sebuah pembaruan. Dalam hal ini PT Jababeka Tbk, berupaya bertindak dengan mengembangkan
Kawasan Industri Kendal Park by the Bay di Semarang bagi sebuah pembangunan ekonomi yang
diharapkan. Melakukan terobosan dalam meningkatkan daya tarik investasi di daerah potensial.
Semangat Kebangsaan
Pembangunan Kawasan Industri Kendal ini memuat 3 semangat kebangsaan yang menjadikan optimisme
keberhasilan bisa segera diwujudkan bersama, seperti success story yang telah disajikan oleh Kawasan
Industri Jababeka di Cikarang, Bekasi.
Pertama, salah satu poin Nawa Cita yang diprioritaskan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil
Presiden Jusuf Kalla adalah, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional,
sehingga Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa-bangsa Asia lainnya. Melalui pembangunan
berbagai infrastruktur yang dilakukan pemerintah secara intens, optimisme keberhasilan terpampang di
depan mata.
Kedua, bermodal Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian, Pasal 106 ayat 1 yang
menyebutkan perusahaan industri yang akan menjalankan industri, wajib berlokasi di Kawasan Industri.
Maka pembangunan Kawasan Industri Kendal ini menjadi terobosan penting bagi upaya menekan
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sektor industri. Prinsipnya, mengedepankan UU dengan tetap
memerhatikan daya beli masyarakat dan kelestarian lingkungan hidup.
Ketiga, bekerjasama dengan Sembawang Corporation (Sembcorp) Development, semakin membangkitkan
optimisme untuk menjadikan Kendal sebagai Kota Singapura di Jawa Tengah. Sebagai kolaborasi terbaik,
PT Jababeka bertugas untuk mengelola administrasi dan produksi tenant di dalam kawasan, sehingga
mengutamakan penggunaan produk-produk dan bahan baku lokal bagi setiap tenant. Sedangkan Sembcorp
bertugas untuk mendatangkan para investor kelas dunia agar berinvestasi dalam Kawasan Industri Kendal
Park by the Bay. Itu sebab, melalui kerja sama tersebut seluruh pihak siap mewujudkan kawasan ini menjadi
kawasan terintegrasi pertama di Jawa Tengah.
Kementerian Perindustrian mendorong industri keramik nasional semakin meningkatkan kualitas desain produknya
agar lebih mampu bersaing dengan produk impor di tengah menghadapi perdagangan global. Oleh karenanya,
diperlukan penerapan praktik terbaik (best practice) dan penggunaan teknologi terkini guna menghasilkan efisiensi
produksi.
“Caranya, antara lain memodernisasi pabrik dengan penggunaan teknologi digital printing dan peralatan produksi
yang mampu menciptakan keramik dengan ukuran besar sesuai tren pasar saat ini di luar negeri maupun domestik,”
kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto pada Pembukaan Pameran Keramika 2018 di Jakarta, beberapa waktu
lalu.
Menperin menyampaikan, industri keramik dalam negeri perlu melakukan transformasi secara bertahap sesuai dengan
perkembangan teknologi Industry 4.0 yang sedang berjalan. “Kami terus mendorong agar sektor ini mampu
mengkombinasikan teknologi digital di antaranya dalam proses produksi, desain, hingga quality control,” paparnya.
Menurut Airlangga, saat ini pelaku industri di seluruh dunia sedang bertransformasi untuk menyambut era revolusi
industri keempat tersebut, di mana akan menekankan platform Internet of Thingsdengan proses produksi secara
terintegrasi. Tujuannya untuk mencari langkah-langkah efisiensi dan optimalisasi proses produksi agar mencapai hasil
yang lebih maksimal.
Di samping itu, Menperin mengimbau kepada industri keramik nasionalagarsemakin berkontribusi terhadap
perekonomian nasional danmenjadi salah satu motor penggerak percepatan pertumbuhan ekonomi daerah. “Sektor ini
mampu menyerap banyak tenaga kerja langsung sebanyak 150 ribu orang. Apabila ditambah dengan tenaga kerja tidak
langsung seperti distributornya dan lain-lain, mencapai 2 juta orang,” ungkapnya.
Menperin juga meminta kepada industri keramik nasional untukikut berpartisipasi dalam mendukung program
pendidikan vokasi link and match antara industri dengan Sekolah Menengah Kejuruan. Hal ini untuk mempermudah
mendapatkan sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan dunia kerja saat ini sehingga dapat memacu
produktivitas dan daya saing industrinya.
Industri keramik merupakan salah satu sektor unggulan yang diprioritaskan pengembangannya karena berbasis sumber
daya alam lokal serta telah memiliki struktur keterkaitan dan kedalaman yang kuat. Potensi ini diharapkan dapat
mendogkrak kinerja industri keramik sebagai tulang punggung ketahanan ekonomi nasional serta berkontribusi
terhadap pertumbuhan industri pengolahan nonmigas.
Kemenperin mencatat, peranan sektor industri pengolahan nasional terhadap total PDB nasional di tahun 2017
mencapai 20,16 persen, terbesar dibandingkan sektor lainnya sehingga menjadikan sektor manufaktur sebagai
penggerak perekonomian nasional.“Untuk itu, Kemenperin giat menarik investasi di sektor industri pengolahan karena
memberikan multiplier effect yang luas bagi perekonomian seperti peningkatan nilai tambah, penyerapan tenaga kerja,
dan penerimaan negara,” jelas Airlangga.
Pada tahun 2017, perkembangan industri pengolahan nonmigas nasional dinilai cukup baik dengan pertumbuhan
sebesar 4,84persen, meningkat dibandingkan tahun 2016 sebesar 4.43 persen. Kinerja ekspor industri pengolahan juga
mengalami peningkatan sebesar 13.14 persen dibanding tahun 2016 sehingga nilainya menjadi USD125,02 miliar.
“Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi pada tahun 2018 ini, kami menargetkan
pertumbuhan sektor industri pengolahan non migas sebesar 5,67 persen dengan total target investasi sebesar Rp345,4
triliun,” tutur Menperin.
Pertumbuhan pasar domestik
Menperin menyampaikan, pengembangan industri keramik di dalam negerimasih cukup prospektif ke depannya
seiring dengan pertumbuhan pasar dalam negeri yang terus meningkat hingga 15 persen. Hal ini dikukung dengan
program pemerintah dengan maraknyapembangunan infrastruktur, properti dan perumahan, yang diharapkan dapat
pula meningkatkan konsumsi keramik nasional.
“Saat ini, konsumsi keramik nasional per kapita sekitar 1,4 m2, sedangkan negara-negara di ASEAN telah mencapai
lebih dari 3 m2. Untuk itu, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan mengenai peningkatan penggunaan produk
dalam negeri (P3DN),” tegasnya.
Kemenperin pun memberikan apresiasi kepada Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI) atas upayanya
menyelenggarakan Pameran Keramika setiap tahun, karena berperan strategis sebagai ajang untuk mempromosikan
produk keramik unggulan yang telah memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) dan mampu bersaing di pasar
global.
Bahkan, dalam pameran ini, ditampilkan pula perkembangan di bidang arsitektur, properti, dan desain produk
keramik, serta industri pendukung proses produksi keramik seperti, mesin dan bahan baku. “Diharapkan pameran ini
dapat bermanfaat sebagai sarana pertukaran informasi dan transaksi bisnis antara pelaku industri dan konsumen
produk keramik dalam dan luar negeri,” ujar Airlangga.
Menperin menyatakan, pemerintah terus berupaya untuk melindungi industri keramik dalam negeri agar dapat tumbuh
dan berkembang. Apalagi saat ini industri keramik nasional tengah menghadapi berbagai tantangan, seperti serbuan
produk impor.
“Selain itu, Vietnam mengenakan antidumping lebih dari 40 persen, dan Eropa sampai 60 persen. Tentunya kami akan
melindungi industri keramik dalam negeri. Kalau memang sudah mengganggu industri kita, perlu adanya proteksi,”
paparnya.
Selanjutnya, masih tingginya harga gas dan turunnya bea masukASEAN-China Free Trade Agreement(ACFTA) yang
semula 20 persen menjadi 5 persen berdampak pada daya saing industri keramik nasional dalam menghadapi pasar
global yang semakin ketat.
Namun demikian, Menperin optimistis, industri keramik nasional akan mampu kompetitif karena didukung dengan
ketersediaan sumber daya manusia yang kompeten serta jumlah bahan baku yang cukup banyak dan tersebar di
wilayah Indonesia. Dalam hal ini, Kemenperin berkomitmen menjalankan hilirisasi industri agar membawa efek
berantai terhadap perekonomian nasional.
Kemenperin mencatat, terdapat 58 perusahaan ubin keramik dengan kapasitas terpasang lebih dari 537 juta m² per
tahun. Dengan volume tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil keramik ke-6 setelah China, India,
Brazil, Spanyol dan Iran.
Sedangkan untuk kategori industri tableware, tercatat ada 12 perusahaan dengan kapasitas lebih dari 274 juta buah per
tahun. Selain itu, Indonesia juga memiliki enam perusahaan pada industri saniter yang berproduksi mencapai 5,5 juta
buah per tahun dengan didukung tenaga kerja sebanyak 9.174 orang.
KONTAN.CO.ID -Kementerian Perindustrian menyiapkan Provinsi Jawa Barat sebagai wilayah strategis
untuk pembangunan kawasan industri. Saat ini tercatat ada 2.381,97 hektare di wilayah utara Jawa Barat
yang tengah dikembangkan menjadi 10 kawasan industri baru bertaraf nasional dan internasional. Sekitar
35% atau 851,97 hektare dari kawasan industri baru tersebut berada di Kabupaten Karawang.
Dirjen Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian, I Gusti Putu
Suryawirawan menyatakan, pembangunan kawasan industri harus fokus pada pembangunan kawasan
industri yang berdaya saing global agar rantai pasokan industri efektif, efisien, ramah lingkungan dan
memiliki SDM yang berkualitas.
“Pembangunan kawasan industri, khususnya industri otomotif harus sejalan dengan isu dan tren global
seperti low-emission car, electric car dan aplikasi teknologi modern. Hal ini telah menjadi tren dan sorotan
masyarakat secara internasional, serta diharapkan bisa diterapkan secara profesional di kawasan-kawasan
industri di Indonesia,” ujar Putu dalam acara Diskusi Arah Pengembangan Otomotif dan Kesiapan Kawasan
Industri di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Kamis (5/10).
Dia juga menegaskan, pemerintah akan bekerjasama dengan berbagai pihak agar pembangunan kawasan
industri lebih atraktif bagi investor dan pelaku industri, seperti mempermudah regulasi fiskal agar investor
tidak merasa terbebani, kemudahan dalam mengakses sumber listrik, hingga kemudahan dalam berinvestasi
kontruksi. “Pengembangan ini diharapkan mampu menarik investasi lebih banyak ke sektor perindustrian
serta memberikan kontribusi nyata terhadap negara,” ujarnya dalam acara yang sama.
Pemerintah pusat, tambahnya, tengah membangun enam proyek infrastruktur strategis mulai dari Tol Susun
Jakarta-Cikampek, Patimban Deep Port, Bandara Internasional Kertajati, Kereta Api Cepat Jakarta-
Bandung, LRT Jakarta-Bekasi, dan Tol Trans Jawa.
Seluruh infrastruktur strategis baru ini akan mendukung visi pengembangan khususnya wilayah Jawa Barat
sebagai sentra kawasan industri nasional dan menciptakan kantong-kantong ekonomi baru bagi masyarakat,
bisnis, dan UKM yang tergabung dalam rantai pasok dari industri yang akan beroperasi di kawasan baru itu.
“Kementerian Perindustrian dan Pemerintah Pusat terbuka dan mengajak seluruh pemangku kepentingan,
terutama para pelaku industri, pemerintah daerah, BKPM, dan investor nasional serta global untuk
bekerjasama mewujudkan visi ini,” beber Imam.
Selain menyiapkan langkah-langkah strategis dalam hal pembangunan infrastruktur, relaksasi regulasi dan
kebijakan fiskal, pemerintah pusat juga mengimbau pemerintah daerah untuk turut mendukung
pengembangan industri dan kawasan industri di daerahnya.
Hal ini, terutama pengembangan kawasan industri kelas dunia akan membantu peningkatan kompetensi
sumber daya manusia dan penyerapan tenaga kerja di daerah tersebut.
Contohnya, Pemerintah Daerah Karawang berhasil menarik dan berkolaborasi dengan investor global untuk
mengembangkan kota industri terintegrasi kelas dunia, Karawang New Industry City di Karawang Barat.
Karawang New Industry City dikembangkan sejalan dengan visi dan arah Pemerintah Daerah Karawang
untuk menciptakan kantong-kantong ekonomi baru di daerahnya sehingga memperkuat posisi Karawang
sebagai sentra industri dalam rantai pasok global.
Kota industri terintegrasi ini akan memiliki 5 cluster: Automotive Industry Park, Construction Materials
Industry Park, Consumer Electronics, Logistic Service, dan cluster khusus untuk UKM dan Inovasi (SME
and Innovation).
SIARAN PERS
Industri makanan dan minuman (mamin) dinilai mampu menjadi instrumen yang berperan mendorong pemerataan
pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, sektor maminskala besar diharapkan memperkuat
pendalaman struktur dan rantai nilai industrinya melalui kemitraan strategis dengan sektor skala kecil dan menengah.
“Hal ini sesuai arahan Bapak Presiden Joko Widodo bahwa program pemerataan di Indonesia, menjadi sangat penting.
Salah satunya kami memacu lewat partnership di sektor mamin, karena selain makin menguatkan struktur industrinya,
juga akan mendorong penyerapan tenaga kerja yang lebih banyak,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto
pada Breakfast Meeting dengan tema Menjaga Pertumbuhan Industri Makanan dan Minuman untuk Menunjang
Perekonomian Nasional di Kementerian Perindustrian, Jakarta, Selasa (7/2).
Menperin mengungkapkan, potensi industri mamin dalam negeri cukup besar, bahkan pertumbuhannya hampir dua
kali dari pertumbuhan ekonomi nasional. “Rata-rata per tahun, industri mamin tumbuh 9,5persen, sedangkan ekonomi
lima persen,” ujarnya. Industri mamin juga memiliki daya saing kuat danpemainnya beragam. “Tidak ada pelaku yang
mendominasi. Supply chain-nya tidak terganggu mulai bahanbaku, produksi, sampai ke konsumen. Makanya, IKM
mamin yang di daerah hidup,” tambah Airlangga.
Untuk makin meningkatkan pertumbuhan dan struktur industri mamin nasional, Airlanga menegaskan, pihaknya
mendorong agar sektor prioritas ini ikut berperan mendukung program pemerintah dalam pendidikan dan pelatihan
vokasi industri. “Bapak Presiden menegaskan pula bahwa pengembangan industri di Indonesia harus didorong oleh
SDM yang andal dan kompeten,” tuturnya.
Dalam upaya pemenuhan kebutuhan tenaga kerja yang dimaksud, Kemenperin meminta kepada pelakuindustri mamin
untuk juga mengembangkan kemitraan dengan Sekolah Menengah Kejuruan di sekitarlokasi pabrik agar
meningkatkan kompetensi para siswa/siswi SMK tersebut. “Kami harapkan, satuindustri dapat menggaet lima SMK,
maka jumlah yang didorong untuk ikut pelatihan akan meningkat.Kalau mereka bisa bangun politeknik, kami akan
beri insentif,” paparnya.
Di samping itu, Menperin melihat, industri mamin nasional memiliki potensi untuk naik tingkat keindustry 4.0.
Menurut Menperin, dengan naik level, industri mamin dalam negeridapat mengembangkan inovasi dan teknologi
terbaru melalui kemitraan dengan industri mamin dinegara-negara maju. “Salah satu industri mamin di Jawa Timur
sudah ada yang menerapkan Industry 4.0. Dengan memanfaatkan teknologi di Industry 4.0, seperti robotic, big data
dan 3D printing, dapat menurunkan biaya produksi,” imbuhnya.
Menperin menyambut baik pertemuanpemerintah dan pelaku usaha yang diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi
aksi dalam memacupertumbuhan industri mamin nasional ke depan. “Kami mengapresiasi pelaku industri mamin yang
telahberupaya keras dan bekerja sama dengan pemerintah menjaga pertumbuhan industri yang dicapai saatini,
sehingga sektor ini menjadi penggerak utama industri nasional,” jelasnya.
Kinerja industri
Dirjen Industri Agro Panggah Susanto menyampaikan, kinerja industri mamin di Indonesia tumbuhpesat. Laju
pertumbuhan pada triwulan III tahun 2016 sebesar 9,82 persen atau diatas pertumbuhan industri sebesar 4,71 persen
pada periode yang sama.
Pertumbuhan didorong oleh meningkatnya pendapatan masyarakat, tumbuhnya populasikelas menengah yang disertai
kecenderungan pola konsumsi masyarakat yang mengarah untukmengkonsumsi produk-produk pangan olahan ready
to eat,” paparnya.
Industri mamin juga mempunyai peranan penting terutama dalam kontribusinya terhadap ProdukDomestik Bruto
(PDB) industri non migas, di mana peran subsektor industri mamin merupakan yangterbesar dibandingkan subsektor
lainnya yaitu sebesar 33,6 persen pada triwulan III tahun 2016.
Sumbangan nilai ekspor produk mamin (di luar CPO, PKO, CCO dan turunannya yang digunakan sebagai bahan
olahan non-food) pada tahun 2016 mencapai USD19 miliar,mengalami neraca perdagangan yang positif bila
dibandingkan dengan impor produk mamin pada periode yang sama sebesar USD9,64 miliar. Di samping itu, dilihat
dari perkembangan realisasi investasi, sektor industri mamin sampai triwulan III tahun 2016 sebesar Rp24 triliun
untuk PMDN dan PMA sebesar USD1,6 miliar.
Sementara itu, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengaku optimistis industri mamin
nasional akan tumbuh signifikan pada tahun 2017. Hal ini didasarkan pada tren peningkatan investasi di sektor
industri pangan tersebut. “Tahun 2017, kami yakin minimal bisa 8,5 persen,” kata Ketua Gapmmi Adhi S Lukman.
Adhi menambahkan, para pelaku industri mamin saat ini sudah mulai berekspansi melirik pasar-pasarbaru, termasuk
pasar ASEAN yang sudah mulai digarap. Untuk kawasan tersebut, ekspor tidak hanyadilakukan melalui pengiriman
produk mamin dalam kemasan, namun juga kuliner.
Industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, bahan setengah
jadi atau barang jadi menjadi barang yang bermutu tinggi dalam penggunaannya. Dengan demikian,
industri merupakan bagiaan dari proses produksi. Bahan-bahan industry diambil secara langsung
maupun tidak langsung, kemudian diolah sehingga menghasilkan barang yang bernilai lebih bagi
masyarakat. Kegiatan proses produksi dalam industry itu disebut dengan peridustrian. Industry
(perindustrian) di Indonesia merupakan salah satu komponen perekonomian yang penting.
Perindustrian memungkinkan perekonomian kita berkembang pesat dan semakin baik, sehingga
membawa perubahan dalam struktur perekonomian nasional.
industrialisasi adalah suatu proses perubahan sosial Ekonomi yang mengubah sistem pencaharian
masyarakat agraris menjadi masyarakat Industri. Industrialisasi juga bisa diartikan sebagai suatu
keadaan dimana masyarakat berfokus pada ekonomi yang meliputi pekerjaan yang semakin
beragam (spesialisasi), gaji dan penghasilan yang semakin tinggi. Industrialisasi adalah bagian dari
proses modernisasi dimana perubahan sosial dan perkembangan ekonomi erat hubungannya dengan
inovasi Teknologi.
Pada tahun 1920-an industri modern di Indonesia semuanya dimiliki oleh orang asing, walau
jumlahnya hanya sedikit. Setelah Indonesia merdeka, Tahun 1951, pemerintah meluncurkan RUP
(Rencana Urgensi Perekonomian). Program utamanya menumbuhkan dan mendorong industri kecil
pribumi dan memberlakukan pembatasan industri besar atau modern yang dimiliki orang Eropa dan
Cina. Pada tahun 1957 sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa
teduh, pada tahun 1960-an sektor industri tidak berkembang. Perkembang sektor industri sejak orde
baru Akibat karena situasi polotik yang bergejolak, juga disebabkan kurangnya modal dan tenaga
ahli yang terampil. Pemberlakuan dua undang-undang baru, PMA tahun 1967 dan PMDN tahun
1968 ternyata mampu membangkitkan gairah sektor industri.
Keadaan sektor industri selama tahun 1950-an dan 1960-an pada umumnya tidak
menggembirakan karena iklim politik pada waktu yang tidak menentu. Kebijakan perindustrian
selama awal tahun 1960-an mencerminkan filsafat proteksionalisme dan eatisme yang ekstrim,
dengan akibat kemacetan produksi. Sehingga produksi sektor industri praktis tidak berkembang
(stagnasi). Selain itu juga disebabkan karena kelangkaan modal dan tenaga kerja ahli yang
memadai.
Perkembangan sektor industri mengalami kemajuan yang cukup mengesankan pada masa
PJP I, hal ini dapat dilihat dari jumlah usaha, tenaga kerja yang di serap, nilai keluaran yang
dihasilkan, sumbangan devisa dan kontribusi pembentukan PDB, serta pertumbuhannya sampai
terjadinya krisis ekonomi di Indonesia.
C. Kebijakan Industrialisasi.
Pemerintahan orde baru melakukan perubahan-perubahan besar dalam kebijakan perindustrian. Ada
tiga aspek kebijakan ekonomi orde baru yang menumbuhkan iklim lebih baik bagi pertumbuhan
sektor industri. Ketiga aspek tersebut adalah:
1. Dirombaknya sistem devisa. Sehingga transaksi luar negeri menjadi lebih bebas dan lebih
sederhana.
2. Dikuranginya fasilitas-fasilitas khusus yang hanya disediakan bagi perusahaan Negara, dan
kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor swasta bersama-sama dengan
sektor BUMN.
3. Diberlakukannya undang-undang penanaman modal asing (PMA).
Dalam implementasinya ada empat argumentasi basis teori yang melandasi suatu kebijakan
industrialisasi, yaitu :
· Keunggulan komperatif
Negara-negara yang menganut basis teori keunggulan komperatif (comparative advantage)
akan mengembangkan sub sektor atau jenis-jenis industri yang memiliki keunggulan komparatif
baginya.
· Keterkaitan industrial
Negara-negara yang bertolak dari keterkaitan industrial (industrial linkage) akan lebih
mengutamakan pengembangan bidang-bidang kegiatan atau sektor-sektor ekonomi lain.
· Penciptaan kesempatan kerja
Negara yang industrialisasinya dilandasi argumentasi penciptaan lapangan kerja
(employment creator) niscaya akan lebih memprioritaskan pengembangan industri-industri yang
paling banyak tenaga kerja. Jenis industri yang dimajukan bertumpu pada industri-industri padat
karya dan indsutri-industri kecil.
· Loncatan teknologi
Negara-Negara yang menganut argumentasi loncatan teknologi (teknologi jump) percaya
bahwa industri-industri yang menggunakan tehnologi tinggi (hitech) akan memberikan nilai tambah
yang sangat baik, diiringi dengan kemajuan bagi teknologi bagi industri-industri dan sektor lain.
D. Peranan Sektor Industri Indonesia .
Sektor industri merupakan sektor utama dalam perekonomian Indonesia setelah sektor
pertanian. Sektor ini sebagai penyumbang terbesar dalam pembentukan PDB Indonesia sampai
tahun 1999. Bahkan sejak tahun 1991 peran sektor industri mampu menjadi sektor utama dengan
mengalahkan sektor pertanian.
Di Indonesia industri dibagi menjadi empat kelompok,berdasarkan tenaga kerja yang terlibat :
Industri yang menggunakan tenaga kerja kurang dari 10 orang, misalnya industry rumah tangga.
Industri yang menggunakan tenaga kerja antara 5-10 orang. Modal usahanya sudah besar, misalnya
dalam bentuk CV dan PT.
Industri yang menggunakan lebih dari 50 orang, dan antara pemimpin perusahaan dan karyawannya
tidak saling mengenal. Modal usaha jauh lebih besar dan penjualan hasil produksinyapun lebih luas.
Perindustrian di Indonesia telah berkembang pesat. Namun perindustrian yang telah maju
tersebut tampaknya malah menjadi malapetaka bagi sektor pertanian. Dengan semakin banyaknya
pabrik yang berdiri di setiap daerah bahkan daerah pedesaan telah menggusur lahan-lahan pertanian
produktif yang jika tetap digunakan dapat menghasilkan komoditas pertanian yang unggul. Selain
itu hujan asam yang timbul akibat adanya pencemaran dari gas-gas beracun yang tersebar di udara
oleh pabrik-pabrik tersebut dapat merusak tanaman dan tanah sehingga hasil yang didapat sangat
tidak bagus bahkan kurang baik jika dikonsumsi oleh manusia.
SUKOHARJO - Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan industri di Jawa Tengah mengalami
kemajuan pesat selama lima tahun terakhir. Pasalnya perintah daerah membuka kran seluas-luasnya untuk
masuknya investasi.
"Salah satunya adalah beberapa perusahaan yang selama ini berada di wilayah Jabodetabek memindahkan
operasionalnya di Jawa Tengah," jelas Ganjar Pranowo, Kamis (22/3/2018).
Selain itu sebut Ganjar, majunya perindustrian di Jawa Tengah selain karena semakin banyaknya investasi
yang masuk juga terkait adanya reformasi birokrasi, terutama di bagian perizinan.
Semakin mudahnya birokrasi perizinan, pemerintah juga membangun zonasi industri sesuai produksinya.
Misalkan kawasan Semarang Raya untuk industri dan pengolahan, Solo Raya untuk industri kreatif, dan
Kedu hingga Banyumas untuk perkebunan.
Dengan penataan teritorial tersebut, semua akan terjaga mulai dari aspek lingkungan hingga administrasinya.
Hal ini juga menyelesaikan masalah investor yang kesulitan masalah perizinan dan pencarian lahan.
"Sesuai perintah Presiden Jokowi, kita permudah perizinan. Mudah, cepat, dan murah. Jika investor masuk
ke kawasan industri, perizinan cukup tiga jam selesai. Jika luar kawasan industri, harus mengurus semua
dari awal. Sedangkan untuk promosi kita juga mendatangi duta besar dari negara sahabat agar investasi
masuk," tukas Ganjar.
JAKARTA - Kementerian Perindustrian (Kemenperin) akan meluncurkan program Making Indonesia 4.0
yang merupakan peta jalan (roadmap) pada April 2018. Melalui roadmap tersebut nantinya akan
memberikan arahan yang jelas mengenai strategi untuk mengahadapi industri 4.0.
Menteri Perindustrian (Menperin) Airlangga Hartarto mengatakan, untuk menuju industri 4.0 sektor industri
nasional perlu banyak pembenahan terutama dalam aspek teknologi. Pasalnya, penguasaan teknologi bisa
menjadi kunci utama untuk menentukan daya saing Indonesia di era industri 4.0.
Sebagai contohnya adalah bagaimana seluruh negara dunia mulai menguasai teknologi-teknologi seperti
Internet of Things, Big Data, Cloud Computing Artificial Intelegensi, Mobility, Virtual dan Augmantes
Reality. Semuanya harus bisa disesuaikan untuk kemajuan era industri 4.0.
"Setiap negara saling berebut untuk meningkatkan giatkan daya saingnya di kancah industri global. Dalam
kaitannya dengan industri 4.0 dimana sangat terkait dengan penyediaan infrastruktur dan teknologi
informasi dan komunikasi. Maka akan jadi pertanyaan dan tantangan besar yang harus mampu kita jawab
bersama," ujarnya dalam acara Breakfast Meeting di Kantor Kementerian Perinduatrian, Jakarta, Selasa
(20/3/2018).
Lebih lanjut Airlangga menyatakan, dalam rangka menghadapi industri 4.0 , Indonesia juga perlu
meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)nya. Karena menurutnya, jika tidak ditingkatkan, maka
industri Indonesia akan semakin tertinggal dari negara-negara lainya.
Namun untuk kualitas SDM, Airlangga meyakini jika Indonesia akan bisa menyesuaikan dengan revolusi
industri 4.0. Pasalnya, dirinya menyebut jika Indonesia memiliki banyak universitas maupun politeknik yang
menjadi sumber daya manusia berbahan potensial dibandingkan negara-negara lainya.
"Jika tidak melakukan peningkatan kemampuan dan daya saing di sektor (industri) prioritas, kita bukan saja
tidak akan mampu mencapai aspirasi, namun akan digilas oleh negara negara lain yang lebih siap di pasar
global maupun domestik," jelasnya.
Oleh karenanya lanjut Airlangga, dirinya meminta dukungan semua pihak dalam mengimplementasikan
revolusi industri 4.0 ini. Karena menurutnya tanpa dukungan semua pihak revolusi ini tidak akan jalan
dengan baik.
"Marilah kita melihat hal apa yang yang dibutuhkan dan dapat di fasilitasi oleh pemerintah selaku pembuat
kebijakan sektor prioritas industri 4.0 kita dapat mengadopsi industri 4?0 secara optimal termasuk juga
menarik ide-ide cemerlang untuk dapat mengatasi dampaknya," ucapnya.
Airlangga menambahkan, ada lima sektor industri yang akan menjadi fokus dalam menghadapi industri ke
empat atau yang biasa disebut 4.0. Kelima industri tersebut yakni, makanan dan minuman (Food And
Beverages/F&B), automotif, elektronik, kimia dan tekstil.
"Tentu sektor-sektor yang akan menjadi tulang punggung untuk mencapai aspirasi yang besar tersebut
adalah sektor-sekotri yang daya ungkitnya terhadap capaian aspirasi cukup besar,"jelasnya.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, adanya revolusi industri 4.0 memiliki potensi luar
biasa dalam merombak aspek industri. Bahkan diyakininya, dengan adanya revolusi industri ini juga bisa
mengubah berbagai aspek dalam kehidupan manusia.
"Kita melihat banyak negara, baik negara maju maupun negara berkembang menyerap pergerakan ini ke
dalam agenda nasional mereka dalam rangka merevolusi strategi industri untuk meningkatkan daya saing
negara mereka dalam pasal global," ujarnya dalam acara Breakfast Meeting di Kantor Kementerian
Perinduatrian, Jakarta, Selasa (20/3/2018).
Airlangga menambahkan, ada lima sektor industri yang akan menjadi fokus dalam menghadapi industri
keempat atau yang biasa disebut 4.0. Kelima industri tersebut yakni, makanan dan minuman (Food And
Bevarage/F&B), automotif, elektronik, kimia dan tekstil.
"Tentu sektor-sektor yang akan menjadi tulang punggung untuk mencapai aspirasi yang besar tersebut
adalah sektor-sekotri yang daya ungkitnya terhadap capaian aspirasi cukup besar,"jelasnya.
Menurut Airlangga, dengan adanya revolusi industri 4.0 maka pemerintah akan menuju 10 besar negara
dengan ekonomi tertinggi di 2030 yang didorong sektor industri. Pasalnya, pada tahun 2030 dengan adanya
industri 4.0 maka angka ekspor industri Indonesia bisa mencapai 10%.
"Sektor-sektor prioritas adalah sektor yang kita percaya apabila dilakukan implementasi industri 4.0 dengan
benar akan dapat membawa capaian aspirasi yang telah kita tetapkan (pertumbuhan ekonomi nomor 10
dunia dan ekspor industri meningkat)," jelasnya.
Selain itu lanjut Airlangga, adanya revolusi industri 4.0 tidak akan menggerus tenaga kerja. Justru revolusi
industri 4.0 juga diyakini akan bisa meningkatkan dua kali lipat produktivitas tenaga kerja sehingga
kedepannya bisa menjadi lebih efisien.
Sebagai salah satu contohnya, dalam melakukan pemotongan agar lebih cepat, tenaga kerja akan
menggunakan tenaga robotik. Hal serupa terjadi saat teknologi komputeruncul pada era 90-an.
"Aspirasi tersebut adalah lompatan yang besar. Kerja keras yang luar biasa perlu didukung oleh segenap
pemangku kepentingan yang ada," jelasnya. Oleh karenanya lanjut Airlangga, dirinya meminta dukungan
semua pihak dalam mengimplementasikan revolusi industri 4.0 ini. Karena menurutnya tanpa dukungan
semua pihak revolusi ini tidak akan jalan dengan baik. "Marilah kita melihat hal apa yang yang dibutuhkan
dan dapat di fasilitasi oleh pemerintah selaku pembuat kebijakan sektor prioritas industri 4.0 kita dapat
mengadopsi industri 4?0 secara optimal termasuk juga menarik ide-ide cemerlang untuk dapat mengatasi
dampaknya," ucapnya.
JAKARTA - Pemerintah mencatat, sepanjang tahun lalu atau hingga 14 Desember 2017, komitmen
investasi baru yang masuk ke Indonesia mencapai USD42,6 miliar dengan sejumlah 1.054 proyek. Capaian
ini mengalami kenaikan sebesar 23,7% dibanding tahun 2016.
“Pemerintah terus berupaya menciptakan iklim usaha yang kondusif serta memberikan kemudahan berbisnis
di dalam negeri agar para investor meningkatkan penanaman modalnya di Indonesia dalam membangun
perekonomian nasional yang lebih inklusif dan berkualitas,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto
di Jakarta, Jumat (12/1/2018). Sektor perindustrian memberikan kontribusi tertinggi terhadap realisasi
investasi di sektor ini mencapai USD21,6 miliar dengan 256 proyek. Sementara itu, sektor pariwisata
menyumbang sebesar USD17 miliar dengan 159 proyek, pekerjaan umum dan perumahan rakyat (PUPR)
USD1,2 miliar dengan 98 proyek.
Selanjutnya, sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) USD1,18 miliar dengan 32 proyek,
perdagangan USD920 juta dengan 427 proyek, dan pertanian USD27 juta dengan 22 proyek, serta sektor
lainnya sebesar USD43 juta dengan 60 proyek. Menperin menegaskan, pihaknya bersama pemangku
kepentingan terkait terus bersinergi untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi di sektor
industri, antara lain melalui penciptaan iklim usaha yang kondusif dan kepastian hukum, penggunaan
teknologi terkini untuk mendorong peningkatan mutu, efisiensi dan produktivitas, serta pemberian fasilitas
berupa insentif fiskal.
Selanjutnya, didukung dengan ketersediaan bahan baku, harga energi yang kompetitif, sumber daya manusia
(SDM) kompeten, serta kemudahan akses pasar dan pembiayaan. “Pertumbuhan konsumsi juga perlu dijaga
dan kembali ditingkatkan agar permintaan terhadap produk-produk industri semakin meningkat,” imbuhnya.
Peningkatan komitmen investasi baru ini didasari Perpres Nomor 91 Tahun 2017 tentang Peraturan
Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Di samping itu juga berkat kolaborasi dua Satuan Tugas (Satgas), yaitu
Satgas Paket Kebijakan Ekonomi (PKE) dan Satgas Percepatan Pelaksanaan Berusaha (PPB).
Agar pelaksanaan investasi dan kemudahan berusaha di Indonesia bisa terealisasi dengan efektif, kedua
satgas tersebut mengubah seluruh proses investasi dan usaha di Indonesia menjadi online dan terintegrasi.
Menperin menargetkan, pada tahun 2018, nilai investasi yang bisa ditarik dari 13 kawasan industri akan
mencapai Rp250,7 triliun. “Pemerintah telah memberikan kemudahan berinvestasi di dalam kawasan
industri, antara lain melalui pemberian insentif fiskal dan nonfiskal serta pembentukan satgas untuk
penyediaan gas, listrik, air, SDM, lahan, tata ruang, dan lain-lain,” jelasnya.
Sementara itu, menurut Menperin, proyeksi investasi di industri secara keseluruhan sektor manufaktur pada
tahun ini sebanyak Rp352 triliun. “Dengan adanya investasi di sektor industri, tercipta lapangan kerja baru
dan multiplier effect seperti peningkatan nilai tambah dan penerimaan devisa dari ekspor. Oleh karenanya,
industri menjadi penunjang utama dari target pertumbuhan ekonomi,” tukasnya.