Sinus Paranasal
Sinus Paranasal
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
tentang anatomi hidung. Anatomi dan fisiologis normal harus diketahui dan diingat
kembali sebelum terjadi perubahan anatomi dan fisiologi yang dapat berlanjut
embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian rongga hidung yang
berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral hidung yang kemudian berinvaginasi
menjadi kompleks padat, yang dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk
sebagai bagian yang terpisah yaitu daerah frontonasal dan bagian pertautan
akhirnya akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan struktur yang masih
sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga garis axial berbentuk lekukan bersatu
membentuk tiga buah konka (turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu,
mulailah terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus media.
Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus dan bula
ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut hiatus emilunaris.
Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai dengan pembentukan sel
etmoidalis anterior yang berasal dari invaginasi bagian atap meatus media dan sel
ethmoidalis posterior yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya
pada usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung terbentuk
dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka. Seluruh daerah sinus
paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda sejak anak baru lahir,
adalah sinus etmoid, diikuti oleh sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal. (Walsh
WE, 2002)
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung bagian luar
menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir atas ; struktur hidung luar
dibedakan atas tiga bagian : yang paling atas : kubah tulang yang tak dapat
dan yang paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan. Bentuk
pangkal hidung (bridge), 2) batang hidung (dorsum nasi), 3) puncak hidung (hip),4)
oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan ikat dan
beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau menyempitkan lubang
hidung. Kerangka tulang terdiri dari : 1) tulang hidung (os nasal) , 2) prosesus
rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah
nasalis lateralis inferior yang disebut juga sebagai kartilago ala mayor dan 3) tepi
hidung dari nasofaring. Kavum nasi dibagi oleh septum, dinding lateral terdapat
konka superior, konka media, dan konka inferior. Celah antara konka inferior dengan
dasar hidung dinamakan meatus inferior, berikutnya celah antara konka media dan
inferior disebut meatus media dan sebelah atas konka media disebut meatus
Septum membagi kavum nasi menjadi dua ruang kanan dan kiri. Bagian
posterior dan inferior oleh os vomer, krista maksila , Krista palatine serta krista
Dasar hidung
Atap hidung terdiri dari kartilago lateralis superior dan inferior, os nasal,
besar atap hidung dibentuk oleh lamina kribrosa yang dilalui oleh filament-filamen
n.olfaktorius yang berasal dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju
bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior. . (Ballenger
JJ,1994)
Dinding Lateral
os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os
Konka
Fosa nasalis dibagi menjadi tiga meatus oleh tiga buah konka ; celah antara
konka inferior dengan dasar hidung disebut meatus inferior ; celah antara konka
media dan inferior disebut meatus media, dan di sebelah atas konka media disebut
teratas. Konka suprema, konka superior, dan konka media berasal dari massa
Meatus superior atau fisura etmoid merupakan suatu celah yang sempit
antara septum dan massa lateral os etmoid di atas konka media. Kelompok sel-sel
etmoid posterior bermuara di sentral meatus superior melalui satu atau beberapa
Merupakan salah satu celah yang penting yang merupakan celah yang lebih
luas dibandingkan dengan meatus superior. Di sini terdapat muara sinus maksila,
sinus frontal dan bahagian anterior sinus etmoid. Di balik bagian anterior konka
media yang letaknya menggantung, pada dinding lateral terdapat celah yang
berbentuk bulan sabit yang dikenal sebagai infundibulum. Ada suatu muara atau
fisura yang berbentuk bulan sabit yang menghubungkan meatus medius dengan
infundibulum membentuk tonjolan yang berbentuk seperti laci dan dikenal sebagai
prosesus unsinatus. Di atas infundibulum ada penonjolan hemisfer yaitu bula etmoid
yang dibentuk oleh salah satu sel etmoid. Ostium sinus frontal, antrum maksila, dan
sel-sel etmoid anterior biasanya bermuara di infundibulum. Sinus frontal dan sel-sel
etmoid anterior biasanya bermuara di bagian anterior atas, dan sinus maksila
bermuara di posterior muara sinus frontal. Adakalanya sel-sel etmoid dan kadang-
Nares posterior atau koana adalah pertemuan antara kavum nasi dengan
nasofaring, berbentuk oval dan terdapat di sebelah kanan dan kiri septum. Tiap
nares posterior bagian bawahnya dibentuk oleh lamina horisontalis palatum, bagian
dalam oleh os vomer, bagian atas oleh prosesus vaginalis os sfenoid dan bagian
Di bahagian atap dan lateral dari rongga hidung terdapat sinus yang terdiri
atas sinus maksila, etmoid, frontalis dan sphenoid. Sinus maksilaris merupakan
sinus paranasal terbesar di antara lainnya, yang berbentuk piramid yang irregular
Hilger PA,1997)
udara yang berkembang dari dasar tengkorak hingga bagian prosesus alveolaris dan
bagian lateralnya berasal dari rongga hidung hingga bagian inferomedial dari orbita
epithelium yang berhubungan melalui ostium dengan lapisan epitel dari rongga
hidung. Sel-sel epitelnya berisi sejumlah mukus yang menghasilkan sel-sel goblet
Kompleks ostiomeatal (KOM) adalah bagian dari sinus etmoid anterior yang
berupa celah pada dinding lateral hidung. Pada potongan koronal sinus paranasal
gambaran KOM terlihat jelas yaitu suatu rongga di antara konka media dan lamina
unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan
Serambi depan dari sinus maksila dibentuk oleh infundibulum karena sekret
yang keluar dari ostium sinus maksila akan dialirkan dulu ke celah sempit
sekret akan keluar melalui celah sempit resesus frontal yang disebut sebagai
serambi depan sinus frontal. Dari resesus frontal drainase sekret dapat langsung
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis
rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung
RS,2007)
RS,2007)
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris, yang berasal dari
atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut-serabut sensoris
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka media. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
Nervus olfaktorius. Saraf ini turun dari lamina kribrosa dari permukaan bawah
bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada
mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung. (Dhingra PL, 2007 ; Soetjipto D
fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah : 1) fungsi respirasi untuk
resonansi suara, membantu proses berbicara dan mencegah hantaran suara sendiri
melalui konduksi tulang ; 4) fungsi statistik dan mekanik untuk meringankan beban
kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas; 5) refleks nasal. (Soetjipto D
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
pada masing-masing sisi hidung ; sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan
dan kiri (anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut
Antrum Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini
dilapisi oleh mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan
Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada
atau di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel
konka media terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis
perlekatan konka media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua
kelompok. Proctor berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal
adalah sebagai sumber lender yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke
rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa hidung setelah janin
berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya akan berkembang menjadi ostium
sinus. Perkembangan sinus paranasal dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali
sinus sphenoid dan sinus frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat
anak lahir, saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan dasar
agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior. Setelah usia 7 tahun
frontal berkembang dari sinus etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini pada umumnya
mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18 tahun. . (Ballenger JJ,1994 ;
sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan. Saat lahir sinus maksila
bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya
ektodermal yang terletak di bawah penonjolan konka inferior, yang terlihat berupa
celah kecil di sebelah medial orbita. Celah ini kemudian akan berkembang menjadi
tempat ostium sinus maksila yaitu di meatus media. Dalam perkembangannya, celah
ini akan lebih kea rah lateral sehingga terbentuk rongga yang berukuran 7 x 4 x 4
mm, yang merupakan rongga sinus maksila. Perluasan rongga tersebut akan
anteroposterior tiap tahun. Mula-mula dasarnya lebih tinggi dari pada dasar rongga
hidung dan pada usia 12 tahun, lantai sinus maksila ini akan turun, dan akan
setinggi dasar hidung dan kemudian berlanjut meluas ke bawah bersamaan dengan
perluasan rongga. Perkembangan sinus ini akan berhenti saat erupsi gigi permanen.
Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa
medialnya ialah dinding lateral rongga hidung. Dinding medial atau dasar antrum
ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum.
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara
anatomi tubuh manusia, ukuran rata-rata sinus maksila pada bayi baru lahir 7-8 x 4-
6 mm dan untuk usia 15 tahun 31-32 x 18-20 x 19-20 mm. Antrum mempunyai
maksila yang terdapat di bagian anterior atas dinding medial sinus. Ostium ini
biasanya terbentuk dari membran. Jadi ostium tulangnya berukuran lebih besar
daripada lubang yang sebenarnya. Hal ini mempermudah untuk keperluan tindakan
Dari segi klinik yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah : 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas , yaitu
premolar (P1 dan P2) , molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan
gigi molar (M3) , bahkan akar-akar gigi tersebut tumbuh ke dalam rongga sinus,
hanya tertutup oleh mukosa saja. Gigi premolar kedua dan gigi molar kesatu dan
dalam rongga sinus, hanya tertutup oleh mukosa saja. Proses supuratif yang terjadi
di sekitar gigi-gigi ini dapat menjalar ke mukosa sinus melalui pembuluh darah atau
limfe, sedangkan pencabutan gigi ini dapat menimbulkan hubungan dengan rongga
komplikasi orbita. 3) Ostim sinus maksila lebih tinggi letaknya dari dasar sinus,
sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, dan drainase harus melalui
infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior
dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi
emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum
Bentuk dan ukuran sinus frontal sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat
berbeda bentuk dan ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga
ada sinus yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh sekat yang terletak
di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa hanya mempunyai satu sinus
frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata
sinus frontal : tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7 ml.
Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto
rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang
yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus
frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-
akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-
Sel-sel etmoid, mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus
superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid anterior dan
posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi lahir kemudian berkembang
sesuai dengan bertambahnya usia sampai mencapai masa pubertas. Pada orang
Ukurannya dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus kira-kira 14 ml.
Sinus etmoid berongga – rongga terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang
tawon, yang terdapat di dalam massa bagian lateral os etmoid, yang terletak di
antara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid
dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid
anterior ada bagian yang sempit, disebut resesus frontal, yang berhubungan dengan
sinus frontal. Sel etmoid yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina
kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan
membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di bagian belakang sinus etmoid
berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi mukosa ini belum tampak
usia 12 sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran serta
bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama lain oleh septum
tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di tengah, sehingga salah satu sinus
posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid.
Ukurannya adalah tinggi 2 cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya
berkisar dari 5 sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan
sebelah superior terdapat fosa serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah
kavernosus dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di sebelah
adalah organ yang penting sebagai resonansi, dan Howell mencatat bahwa suku
Maori dari Selandia Baru memiliki suara yang sangat khas oleh karena mereka tidak
memiliki rongga sinus paranasal yang luas dan lebar. Teori ini dpatahkan oleh
Proetz , bahwa binatang yang memiliki suara yang kuat, contohnya singa, tidak
memiliki rongga sinus yang besar. Beradasarkan teori dari Proetz, bahwa kerja dari
yang masuk. Jadi sampai saat ini belum ada persesuaian pendapat mengenai
fisiologi sinus paranasal . Ada yang berpendapat bahwa sinus paranasal tidak
Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain
adalah :
kelembaban udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih 1/1000 volume
sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan beberapa jam untuk
pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula mukosa sinus tidak mempunyai
dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi
muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus diganti dengan tulang hanya akan
yang efektif. Tidak ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus
Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan mendadak,
Soetjipto D. 2007)
mukus ini keluar dari meatus medius, tempat yang paling strategis.
permukaan kavum nasi sekitar 150 cm2 dan total volumenya sekitar 15 ml
Permukaan kavum nasi dan sinus paranasal dilapisi oleh mukosa yang
oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas dua tipe yaitu
respiratorius terdiri atas epitel, membran basalis dan lamina propia. (Soetjipto D &
Wardani RS,2007)
berkesinambungan dengan berbagai sifat dan ketebalan. Secara umum sel-sel pada
hidung dan mukosa sinus terdiri atas 4 tipe sel yaitu : Sel kolumnar bersilia, sel
kolumnar tidak bersilia, sal basal dan sel goblet. Mukosa yang melapisi terdiri atas
dua tipe yaitu tipe olfaktorius dan sebahagian besar tipe respiratorius. Mukosa
olfaktorius terdapat pada permukaan atas konka superior dan dibawahnya terletak
bervariasi sesuai dengan lokasi yang terbuka dan terlindung serta terdiri dari empat
macam sel. Pertama sel torak berlapis semu bersilia (pseudostratified columnar
epithelium) yang mempunyai 50-200 silia tiap selnya .Sel-sel bersilia ini memiliki
banyak mitokondria yang sebagian besar berkelompok pada bagian apeks sel.
Mitokondria ini merupakan sumber energy utama sel yang diperlukan untuk kerja
silia. Di antara sel-sel bersilia terdapat sel-sel goblet dan sel sikat (yang mempunyai
Epitel respiratorius lainnya adalah epitel pipih berlapis yang terdapat pada
daerah vestibulum nasi dan epitel transisional yang terletak persis di belakang
vestibulum. Epitel yang terletak di daerah vestibulum nasi ini dilengkapi dengan
rambut yang disebut vibrissae. Lanjutan epitel pipih berlapis pada vestibulum akan
menjadi epitel pipih berlapis tanpa silia terutama pada ujung anterior konka dan
ujung septum nasi. Kemudian pada sepanjang daerah inspirasi maka epitel akan
berbentuk torak, bersilia pendek dan agak tidak teratur. Pada meatus media dan
inferior yang terutama menangani udara ekspirasi silianya panjang dan tersusun
Pada sel torak yang bersilia maupun yang tidak bersilia terdapat mikrovili
yang berjumlah lebih kurang 300-400 tiap selnya, dan jumlah ini bertambah ke arah
nasofaring. Mikrovili berupa benjolan seperti jari yang kecil, pendek dan langsing
pada permukaan sel yang menghadap ke lumen. Mikrovilli ini besarnya ± 1/3 silia
dan mempunyai inti sentral dari filamen aktin. Mikrovili ini tidak bergerak dan
fungsinya mungkin untuk promosi ion dan transportasi serta pengaturan cairan
Waguespack,1995)
Terakhir adalah sel basal yang terdapat di atas membrane sel. Sel basal tidak
pernah mencapai permukaan. Sel kolumnar pada lapisan epitel ini tidak semuanya
memiliki silia. Sel-sel basal berpotensi untuk menggantikan sel-sel bersilia atau sel-
sel goblet yang telah mati. (Ballenger, 1994 ; Hilger , 1997; Weir , 1997)
Secara struktural susunan lapisan mukosa pada daerah yang lebih sering
terkena aliran udara mukosanya akan lebih tebal dan kadang-kadang terjadi
metaplasia, menjadi sel skuamosa. Dalam keadaan normal warna mukosa adalah
pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel-sel
hanya lebih tipis dan kelenjarnya lebih sedikit. Epitelnya torak berlapis semu bersilia,
bertumpu pada membran basal yang tipis dan tunika propia yang melekat erat
gerakannya akan mengalirkan lendir kearah hidung melalui ostium. Kelenjar mukosa
Levine,2002).
macam sel seperti makrofag dan leukosit. Terlihat juga kelenjar mukosa yang masuk
kedalam jaringan ikat. Kelenjar ini memproduksi cairan mukos dan serosa dibawah
Sel goblet atau kelenjar mukus adalah sel tunggal yang pada pemeriksaan
polisakarida yang membentuk lendir dalam air. Distribusi dan kepadatan sel goblet
sel/mm2). Diantara semua sinus, maka sinus maksila mempunyai kepadatan sel
goblet yang paling tinggi. Selain itu sel goblet juga banyak dijumpai didaerah
Pada sel epitel kolumner bersilia (sel epitel torak berlapis semu bersilia)
memiliki mikrovilia dan silia dengan jumlah berkisar 300-400 mikrovili tiap selnya
yang bertambah ke arah nasofaring, dan 50-200 silia tiap selnya. Silia merupakan
struktur kecil menyerupai rambut , menonjol dari permukaan sel dan berperan dalam
membran sel dan bersifat mobile. Jumlah silia dapat mencapai 50 - 200 buah tiap
selnya. Panjang silia antara 5-7 µm dengan diameter 0,3 µm. Denyut silia kira-kira 9-
terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi sembilan pasang
mikrotubulus luar. Masing - masing mikrotubulus dihubungkan satu sama lain oleh
bahan elastik yang disebut dengan neksin dan jari-jari radial. Tiap silia tertanam
pada badan basal yang letaknya di bawah permukaan sel. Pada gambar 2.3
tampak anatomi molekuler silia. (Cohen NA. 2006 ; Soetjipto D & Wardani RS,2007 ;
membengkok dan kembali tegak dengan lebih lambat dengan kecepatan pukulan
silia kira-kira 700-1000 siklus permenit. Silia dapat bergerak akibat adanya energi
berupa adenosine triphospat (ATP) yang menggerakkan tangkai dari silia. Gerak
maju dan mundurnya silia disebut irama. Gerak silia terjadi 12 sampai 1400
kali/menit. Silia ini dapat terkoordinasi dengan baik, gerakannya dapat mengalirkan
secara aktif dengan manfaat fisiologiknya terhadap hidung dan sinus paranasal.
Kemudian dilajutkan oleh Hilding ,tahun 1932, dengan melakukan penelitian pada
nasal. Penemuannya ini adalah sebagai pendekatan sistemik yang pertama dalam
Fungsi utama dari silia adalah membawa mukus kembali ke arah faring.
Mukus hidung adalah berfungsi sebagai alat transportasi partikel yang tertimbun dari
inspirasi dengan lebih dari dari satu liter uap setiap harinya. Namun, dengan jumlah
uap demikian seringkali tidak memadai untuk melembabkan udara yang sangat
kering yang dapat berakibat mengeringnya mukosa yang disertai berbagai gangguan
hidung. Derajat kelembaban selimut mukus ditentukan oleh stimulasi saraf pada
kelenjar seromukosa pada submukosa hidung. Silia dapat berdenyut berkisar antara
10-20 kali permenit pada temperatur tubuh. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997;
Waguespack R,1995)
Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting.
Dengan gerakan yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke
dirinya sendiri dan juga untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam
Struktur silia terbentuk dari dua mikrotubulus sentral tunggal yang dikelilingi
Maksudnya adalah ultra struktur silia dibentuk oleh 2 mikrotubulus sentral dan
Pada outer double mikrotubulus ini dapat dibedakan menjadi subfibril A dan subfibril
tidak. Pasangan mikrotubulus luar ini berhubungan dengan tubulus sentral melalui
Sumber energinya adalah ATP yang berasal dari mitokondria. ATP berasal dari
pemecahan ADP oleh ATPase. ATP berada di lengan dynein yang menghubungkan
pasangan yang satu dengan yang lainnya dihubungkan dengan bahan elastik yang
Pola gerakan silia yaitu gerakan yang cepat dan tiba-tiba ke salah satu arah
menggerakkan lapisan ini. Kemudian silia bergerak kembali lebih lambat dengan
ujung tidak mencapai lapisan tadi (recovery stroke). Perbandingan durasi geraknya
tangan seorang perenang. Silia ini tidak bergerak secara serentak, tetapi berurutan
seperti efek domino ( metachronical waves) pada satu area arahnya sama.
(Ballenger;1994)
Palut lendir merupakan lembaran yang tipis, lengket dan liat. Lendir ini
diproduksi oleh kelenjar mukus dan serous, terutama oleh sel-sel goblet pada
mukosa. Pada keadaan sehat mempunyai PH 7 atau sedikit asam, dan lebih kurang
komposisinya adalah 2,5-3% musin, garam 1-2% dan air 95%. Mukus ini juga
mengandung IgA. Terdapat pada seluruh rongga hidung (kecuali vestibulum), sinus,
telinga dan lainnya. Gerakan silia di bawahnya menggerakkan lapisan lendir ini,
dibatukkan. Terdiri dari dua lapisan yaitu lapisan perisiliar, yang menyelimuti batang
sillia, lebih tipis dan kurang lengket ; dan lapisan kedua terletak di atasnya adalah
yang lebih kental yang ditembus oleh batang silia bila sedang tegak sepenuhnya.
yang menumpang keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan palut lendir. Lapisan
perisiliar sangat berperan penting pada gerakan silia, karena sebagian besar batang
silia berada dalam lapisan ini. . Secara keseluruhan kedua lapisan ini dinamakan
R,1995)
sekresi dengan molekul yang lebih rendah. Lapisan ini sangat berperan penting
pada gerakan silia, karena sebagian besar batang silia berada dalam lapisan ini,
sedangkan denyutan silia didalam cairan ini. Keseimbangan cairan diatur oleh
elektrolit . Penyerapan diatur oleh transpor aktif natrium (Na+) dan sekresi
dikeluarkan oleh gerakan mukosiliar, menelan atau bersin. Lapisan ini juga berfungsi
sebagai pelindung pada temperatur dingin, kelembaban rendah, gas atau aeosol
Weir,1994; Waguespack,1995)
palut lendir, serta sangat menentukan pengaturan transport mukosiliar. Pada lapisan
perisiliar yang dangkal, maka lapisan superfisial yang pekat akan masuk kedalam
ruang perisiliar. Sebaliknya pada keadaan peningkatan cairan perisiliar, maka ujung
silia tidak akan mencapai lapisan superfisial yang dapat mengakibatkan kekuatan
aktivitas silia terbatas atau terhenti sama sekali. Pada keadaan normal permukaan
cairan perisiliar sedikit lebih rendah dibanding ujung silia. Kedua keadaan ini sangat
Mukus yang berasal dari kelompok sinus anterior akan mengalir ke meatus
Silia pada sel epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus atau sel goblet
dan palut lendir membentuk satu kesatuan sebagai sistem mekanisme pertahanan
local pada mukosa hidung. Transpor mukosiliar disebut juga clearance mucosiliar
Transportasi mukosiliar terdiri dari dua sistem yang bekerja simultan, yaitu
gerakan silia dan palut lendir. Ujung silia sepenuhnya masuk menembus gumpalan
mukus dan bergerak ke arah posterior bersama dengan materi asing yang
pola tertentu. Transportasi mukosiliar pada sinus maksila berawal dari dasar yang
suatu partikel yang tidak larut dalam permukaan mukosa. Lapisan mukosa
mengandung enzim lisozim (muramidase), dimana enzim ini dapat merusak bakteri .
beberapa zat imunologik yang berasal dari sekresi sel. Imunoglobulin G (IgG) dan
Interferon dapat juga ditemukan pada sekret hidung sewaktu serangan akut infeksi
virus. Ujung silia tersebut dalam keadaan tegak dan masuk menembus gumpalan
terperangkap ke arah faring. Cairan perisiliar yang di bawahnya akan di alirkan kea
rah posterior oleh aktivitas silia, tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti.
Transportasi mukosiliar yang bergerak secara aktif ini sangat penting untuk
kesehatan tubuh. Bila sistem ini tidak bekerja secara sempurna maka materi yang
Kecepatan dari TMS sangatlah bervariasi, pada orang yang sehat adalah antara 1
2006)
Karena pergerakan silia lebih aktif pada meatus inferior dan media maka
gerakan mukus dalam hidung umumnya ke belakang, silia cenderung akan menarik
lapisan mukus dari meatus komunis ke dalam celah-celah ini. Sedangkan arah
gerakan silia pada sinus seperti spiral, dimulai dari tempat yang jauh dari ostium.
Kecepatan gerakan silia bertambah secara progresif saat mencapai ostium, dan
Pada dinding lateral rongga hidung sekret dari sinus maksila akan bergabung
dengan sekret yang berasal dari sinus frontal dan etmoid anterior di dekat
dialirkan ke arah nasofaring. Sekret yang berasal dari sinus etmoid posterior dan
orifisium tuba eustachius menuju nasofaring. Dari rongga nasofaring mukus turun
Kecepatan gerakan mukus oleh kerja silia berbeda pada setiap bagian
hidung. Pada segmen hidung anterior kecepatan gerakan silianya mungkin hanya
dilakukan dengan menggunakan partikel, baik yang larut maupun yang tidak larut
sedangkan yang tidak larut adalah lamp black, colloid sulfur, 600-um allumunium
disc atau substansi radioaktif seperti human serum albumin, Teflon, bismuth trioxide.
Waktu atau Kecepatan yang didapat pada pemeriksaan disebut sebagai waktu /
kecepatan TMS. (Ballenger JJ,1994 ; Hilger PA,1997; Scott Brown,1997 ; Sun SS.
Uji Sakarin (atau lebih dikenal dengan Waktu transport Sakarin atau Waktu
TMS) dapat digunakan sebagai pengganti partikel yang telah digunakan secara luas
pada beragam penelitian sebagai indikator untuk menilai fungsi pembersihan pada
rongga hidung manusia. Uji sakarin ini juga telah digunakan pada beberapa
penelitian untuk menilai efektivitas pada pemakaian cuci hidung, mengetahui tingkat
kecepatan, radiasi, dan ragam bahan yang dapat menimbulkan siliotoksik pada
mukosa hidung. Banyak penelitian membuktikan bahwa waktu sakarin ini adalah
sebagai indikator langsung terhadap fungsi mukosiliar hidung dan pada penelitian
yang lain telah dilaporkan bahwa waktu sakarin ini dapat digunakan sebagai dasar
diperkenalkan oleh Anderson dan kawan-kawan pada tahun 1974 dan sampai
sekarang telah banyak digunakan pada pemeriksaan rutin, bahkan oleh banyak
para ahli di berbagai kota di dunia oleh karena biayanya relatif murah dan mudah
dalam penggunaannya. Uji sakarin juga cukup ideal untuk penggunaan di klinik.
R,1995)
diharapkan untuk tidak menghirup, makan dan minum. Penderita duduk dengan
anterior konka inferior. Kemudian subjek diminta untuk menelan secara periodik
tertentu kira-kira 1/ 2 - 1 menit sampai penderita merasakan manis. Waktu pada saat
lakukan pencatatan dan ini disebut sebagai TMS atau waktu sakarin. Rata-rata nilai
normal adalah 12-15 menit (Jorissen M, 1998 ; Jorissen M, Willems T, Boeck KD,
2000)
Menurut Sakakura bahwa yang dapat mempengaruhi TMS ada tiga faktor
yaitu silia, mukus dan interaksi antara silia dan mukus. Dengan adanya silia yang
normal, mukus, dan interaksi antara silia dan mukus maka TMS dapat berfungsi
dengan baik, sebaliknya bila hanya satu saja yang terganggu maka disfungsi
mukosiliar dapat terjadi. Selain itu beliau juga melaporkan bahwa disfungsi
mukosiliar dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu berupa kelainan primer yaitu :
diskinesia silia primer, fibrosis kistik, sindroma kartagener dan sindroma silia yang
immotile; sedangkan kelainan sekunder antara lain adalah : common cold, sinusitis
kronik, rinitis atropi, rinitis vasomotor, septum deviasi nasal, sindroma Sjorgen, dan
adalah faktor fisologik atau fisik, merokok dan polusi udara, kelainan kongenital,
rinitis alergi, infeksi virus atau bakteri, obat-obat topikal, obat-obat sistemik, bahan
mendadak pada suhu lingkungan di atas dan di bawah 250 C mungkin akan
menimbulkan rasa yang kurang nyaman tetapi tidak mengubah dan mempengaruhi
abnormal, sel-sel basal abnormal dan aplasia silia. Kelainan ini jarang dijumpai, yaitu
1 dalam 15.000-30.000 kelahiran. Tes Sakarin pada pasien ini adalah lebih dari 60
menit .
bronkiektasis , sinusitis, dan situs inversus, sering disebut dengan sindrom silia
immotil. Penyakit ini diturunkan secara genetik merupakan contoh diskenesia silia
primer, dimana terlihat kekurangan sebahagian atau seluruh lengan dynein luar atau
dalam. Akibatnya terjadi gangguan yang sangat serius pada koordinasi gerakan silia
dan disorientasi arah dari pukulan/denyut dan merupakan identifikasi klasik dengan
abnormalitas kogenital dari silia. Rata-rata frekuensi denyut silia pada kelainan
lengan dynein adalah 6,1 Hz , pada defek jari-jari radial adalah 9,6 Hz dan pada
pasien ini lebih dari 60 menit. Gangguan pada transpor mukosiliar dan frekuensi
denyut silia menyebabkan infeksi kronis dan berulang, sehingga terjadi bronkiektasis
dihubungkan dengan sinusitis kronis. Ultrastruktur silia pada kelainan ini terlihat
normal, tetapi terdapat abnormalitas kekentalan dari palut lendir dan terdapat
2.6.2 lingkungan
Silia harus selalu ditutupi oleh lapisan lendir agar tetap aktif. Frekuensi denyut
silia bekerja normal pada pH 7-9. Diluar pH tersebut akan terjadi penurunan
frekuensi. Kekeringan akan cepat merusak silia. Frekuensi denyut silia juga
dipengaruhi oleh dehidrasi, hipoksia, hiperkarbia. Suplai oksigen yang kurang akan
memperlambat gerakan silia dan oksigen yang banyak akan menaikkan frekuensi
denyut silia sampai dengan 30-50 %. Debu tidak berbahaya terhadap waktu
transport mukosiliar, kecuali zat yang berbahaya yang menempel pada permukaan
seperti pada industri kayu dan kulit . Sulfur, formaldehit terlihat memperlambat waktu
Michael,1998)
2.6.3 Alergi
Waguespack, 1995)
Chevance pada tahun 1957 melaporkan bahwa pada hewan sensitisasi pada
hidung akan menyebabkan kerusakan silia bila dilakukan dengan menaruh alergen
transport mukosiliar hidung pada bronkus dengan pasien penderita atopi bila
2.6.4 Obat-obatan
aktivitas silia dari 8 jam menjadi 30 menit. Larutan Betadin lebih berefek siliotoksik
setengahnya pada peningkatan konsentrasi betadin dua kali lipat. Hasil ini
Gosepath, 2002 ).
Beberapa obat oral juga dapat menurunkan waktu transport mukosiliar seperti
lendir. Obat kolinergik dan methilxantine merangsang aktivitas silia dan produksi
bahwa tindakan mengirigasi atau mencuci hidung adalah terapi yang paling popular
2.7 Rinosinusitis
Sinusitis dapat didefinisikan sebagai peradangan pada salah satu atau lebih
mukosa sinus paranasal, umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering
akut dengan batas sampai 4 minggu, sub akut bila terjadi antara 4 minggu sampai 3
bulan atau 12 minggu dan kronik bila lebih dari 3 bulan atau 12 minggu. (Soetjipto D
& Wardani RS,2007) Rinosinusitis kronis adalah peradangan mukosa hidung dan
sinus paranasal yang menetap selama lebih 12 minggu atau 4 kali serangan akut
Diagnosis ditegakkan bila ditemukan 2 atau lebih gejala mayor atau 1 gejala
nasoendoskopi dan foto polos hidung dan sinus paranasal atau SPN. (Busquets JM
Gejala Mayor :
Hidung tersumbat
Sakit kepala
Gejala Minor :
Demam, halitosis
Sakit gigi
Sakit telinga / nyeri tekan pada telinga / rasa penuh pada telinga.
Dua atau lebih gejala, salah satu yang seharusnya dijumpai adalah hidung
cair, hidung gatal dan mata gatal berair. Jika positif dijumpai tanda-tanda alergi
Kaszuba, 2006, mencatat bahwa penyakit sinusitis akut ataupun kronik telah
dengan perkiraan rata-rata 4 hari tidak bekerja setiap tahunnya akibat menderita
langsung dengan dokternya, dengan lebih dari 18 juta yang berkunjung ke praktik
“sinusitis” diperkirakan lebih dari 5,8 miliar dolar Amerika dan termasuk dalam 10
besar diagnosis penyakit pada seluruh kunjungan praktik dokter di Amerika Serikat.
(Kaszuba, 2006)
salah satu keluhan medis yang terbanyak dijumpai, hingga mencapai 16% populasi,
Amerika Serikat dan diperkirakan menghabiskan biaya sekitar 6 milliar dolar Amerika
2.9 Patofisiologi
Fungsi ventilasi dan drainase adalah penting dalam menjaga kondisi sinus
agar tetap normal. Hal ini berhubungan erat dengan keadaan KOM penderita.
Apabila KOM terganggu dapat menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi yang
berawal dari adanya suatu inflamasi dan infeksi yang menyebabkan dilepasnya
bakteri akan semakin mudah untuk berkolonisasi dan proses inflamasi akan kembali
dan 2 gejala minor. Jika hanya 1 gejala mayor atau 2 atau lebih gejala minor yang
Gejala Mayor :
Obstruksi hidung
Sakit kepala
Demam, halitosis
Sakit gigi
Cairan Salin sebagai adjuvan terapi pada sinusitis dapat mencegah sekresi
krusta pada rongga hidung, khususnya di KOM. Hal ini difasilitasi oleh gerak
mekanik silia dalam mendorong gumpalan mukus yang dibersihkan dengan cairan
salin. Secara teoritis cairan hipertonik salin kemungkinan dapat mengurangi edema
memperbaiki patensi dari ostium sinus. Penelitian dari Mayers et al, menunjukkan
mukosiliar yang dibuktikan dengan mukosa dari trakea binatang yang dicuci dengan
cairan yang sama dengan cairan buffer hipertonik salin. (Talbot AR, 1997 ; Raymond
jumlah sel non silia, metaplasia, ekstrasi dari sel-sel epitel dan silia-silia yang
pengeluaran Ca2+ dari dalam sel (intraseluler) dan peningkatan Ca2+ ini mungkin
juga dipengaruhi oleh adanya pengaturan dari Adenosin Tri-Phosphat (ATP) oleh
axon-axon silia. Efek antibakterial topikal dari hipertonik salin dikenal baik dapat
penatalaksanaan rinosinusitis kronik sampai dengan saat ini. BSEF lebih konservatif
dengan morbiditas yang rendah apabila dibandingkan dengan tehnik operasi yang
functional endoscopik sinus surgery (FESS). Tehnik operasi ini dilakukan secara
bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu infundibulektomi sampai etmoidektomi
Konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel
pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa dengan cara memperbaiki patologi
memulihkan fisiologi dari ventilasi serta drainase sinus paranasal di daerah KOM ke
jalan alamiah, karena meskipun kelainan di KOM sangat minimal dapat mengganggu
Kennedy DW,2006)
peneliti lain yang mengkaji ulang serta berusaha membuktikan kevaliditasan teori
beliau baik secara simptomatik, radiologi, dan mengevaluasi secara patologi pada
beliau konsep dari teknik BSEF adalah didasari pada perubahan yang reversibel
pada fungsi mukosiliar dan patologi mukosa hidung dengan cara memperbaiki
patologi penyakit sinusitis kronis di daerah KOM, memperbaiki mukosa sinus yang
telah rusak dengan cara membuka ostium sinus sealamiah mungkin dan bersamaan
itu juga memulihkan fisiologi dari ventilasi dan drainase sinus paranasal sehingga
Wilma T.2007)