MH M ITE
• Timothy L. H. McCormack
Sixty Years from Nuremberg: What Progress
for International Criminal Law?
• Michael Cottier
War Crimes in International Law: An Introduction
• Natsri Anshari
Tanggung-jawab Komando menurut Hukum International
dan Hukum Nasional Indonesia
• Harkristuti Harkrisnowo
Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter
• Rina Rusman
Kejahatan Perang dan Beberapa Rumusannya dalam
Hukum Pidana Nasional
• Heru Cahyono
Kejahatan Perang yang Diatur dalam Hukum International
dan Hukum Nasional
Ditert>itkan oleh:
PUSAT STUDI HUKUM MUMANITER DAN HAM OerllJ
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI
Diterbitkan atas kerja sama dengan:
Komite lnternasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross)
ICRC
JURNAL HUKUM HUMANITER
Pen a n g g u ng -jawab :
Rektor Universitas Trisakti
Prof Dr. Thoby Mutis
Sekretariat:
Ade A/fay Alfinur, S.Sos.
Supriyadi, S.E.
Andi Setiawan, A.Md.
Jurnal Hukum Humaniter terbit setiap enam bulan pada bulan Juli dan Desember
EDITORIAL ii
EDITORIAL
Pada ed isi perdana ini, topik utama J U RNAL H U KUM H UMAN ITER adalah
tentang "kejahatan perang" (war crimes). Kejahatan perang merupakan
salah satu tindak pidana yang belum sepenuhnya diakomodasikan ke dalam
aturan h ukum nasional I ndonesia. Oleh karena itu, sejara h dan praktik
prakti k negara serta beberapa substansi dasar dari peraturan-peraturan
mengenai tindak pidana kejahatan perang akan dikemukakan dalam artikel
artikel utama dan pend ukung . Tidak hanya itu, pemaparan h ukum nasional
serta upaya-u paya yang telah dilakukan khususnya dalam Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Nasional juga akan ditampilkan guna
melengkapi edisi kali ini.
Di samping materi pokok tersebut, d isertakan pula " Kolom" yang pada edisi
ka li ini berisikan tentang Konvensi Den Haag IV ( 1 907) yang mengatur
mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat. Pemilihan materi ini
sengaja dila kukan mengingat urgensi Konvensi ini yang sudah menjadi
hukum kebiasaan internasional dan berlaku bagi semua negara serta
merupakan aturan penting dalam hal pengaturan alat dan cara berperang
yang masih relevan dan berlaku pada saat ini.
Atas diterbitka nnya jurnal ini, kami mengucapkan terima kasih kepada
International Committee of the Red Cross (ICRC) yang memiliki komitmen
tinggi dalam u paya mengembangkan hukum humaniter di I ndonesia dengan
mendukung penerbitan jurnal ini.
Redaksi
DAFTAR ISi
him.
Artikel
1 . Timothy L. H . McCormack
Sixty Years from Nuremberg: What Progress for Internatio-
nal Criminal Law? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
2. Michael Cottier
War Crimes in International Law: An Introduction . . . . . . . . . . . 21
3. Natsri Anshari
Tanggung-jawab Komando menurut H ukum lnternasional
dan Hukum Nasional I ndonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
4. Harkristuti Harkrisnowo
Kejahatan Berat dan Hukum Hu ma niter . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90
5. Rina Rusman
Kejahatan Perang dan Beberapa Rumusannya dalam Hu-
kum Pidana Nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 00
6. Heru Cahyono
Kejahatan Perang yang Diatur dalam H ukum l nternasional
dan Hukum Nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 21
Kolom
Heru Cahyono1
Abstrak
A. Pendahuluan
Undang-undang Nomor 59 Tahun 1 958 tentang ikut sertanya Negara
Republik I ndonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 1 2 Agustus
1 949, menegaskan bahwa I ndonesia sebagai negara peserta mempunyai
kewajiban membuat undang-undang yang diperlukan untuk memberikan
sanksi pidana yang efektif terhadap orang-orang yang melakukan, atau
memerintahkan melakukan salah satu pelangaran berat terhadap hukum
humaniter. Negara juga berkewajiban untuk mencari orang-orang yang
diduga telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran
berat, mengadili para tersangka tanpa memandang kewarganegaraannya di
pengadilan nasional atau menyerahkan tersangka untuk diadili oleh
pengadilan negara lain.
Hukum internasional memberikan hak kepada para pihak peserta
hukum humaniter untuk menuntut pelaku-pelaku kejahatan perang di bawah
yurisdiksi internasional, hal ini bertitik tolak dari keyakinan bahwa
penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan perang akan lebih efektif bila
dilakukan di tingkat nasional. Di sisi lain hal lni telah menegaskan tanggung
1 Kolonel Heru Cahyono, S . H . , M . H . , saat ini menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum
lnternasional Biro H ukum Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan.
a. Konstitusi Nuremberg
Piagam Pengadilan Militer l nternasional di Nuremberg menentukan
kejahatan perang sebagai salah satu yurisdiksi pengadilan di samping
kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Piagam ini menyatakan bahwa kejahatan perang merupakan pelanggaran
tradisional terhadap hukum dan kebiasaan perang.
Menurut Konstitusi Nuremberg, kejahatan perang yang identik
dengan violations of the laws or customs of war mencakup, namun tidak
terbatas pada perbuatan-perbuatan seperti:
" . . . pembunuhan, perlakuan yang menyakitkan atau deportasi
terhadap buruh atau untuk tujuan lain dari penduduk sipil atau dalam
wilayah yang dikuasai , pembunuhan atau perlakuan yang
menyakitkan terhadap tawanan perang atau orang-orang di laut,
pembunuhan sandera, merampas barang milik publik atau pribadi,
b. Statuta ICTY
Statuta ICTY memasukkan pelanggaran serius atas Pasal Umum 3
Konvensi Jenewa dan j uga aturan yang lain untuk melindungi korban
konflik bersenjata dan aturan dasar untuk metode peperangan. Pengadilan
menetapkan pelanggaran serius sebagai sesuatu yang mempunyai
konsekuensi besar terhadap korbannya, serta melanggar peraturan
perlindungan, termasuk kekerasan terhadap nyawa atau kesehatan,
eksekusi tanpa pengadilan, penyanderaan, hukuman kolektif, dan
perampasan.
Statuta i ni tidak secara khusus menggunakan istilah kejahatan
perang sebagai suatu kategori kejahatan internasional, namun, secara
substansial mengatur tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
kejahatan perang. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa I CTY memiliki
kewenangan untuk menghukum mereka yang melakukan atau
memerintahkan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa, yang
mencakup tindakan-tindakan yang ditujukan kepada orang atau benda yang
dilindungi oleh Konvensi Jenewa, antara lain, pembunuhan secara sengaja,
penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk eksperimen
biologis, penghancuran dan perampasan barang-barang dalam skala yang
luas tanpa mempertimbangan kepentingan militer, serta dilakukan secara
tidak sah dan secara sembarangan.
Sementara itu, Pasal 3 Statuta ICTY mengatur tentang pelanggaran
hukum dan kebiasan perang, yang antara lain tentang penggunaan senjata
beracun atau senjata lain yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak
c. Statuta ICTR
Statuta ICTR tidak secara khusus menggunakan istilah kejahatan
perang sebagai salah satu bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksinya,
namun, hanya memuat satu kategori tindakan yang bisa digolongkan
sebagai kejahatan perang, yakni pelanggaran berat terhadap Konvensi
Jenewa 1 949 dan Protokol Tambahan 1 977. Meski kategori ini juga ada di
dalam Statuta I CTY, namun rincian tindakannya berbeda dengan Statuta
ICTR.
Dalam Pasal 4 ditegaskan, bahwa ICTR memiliki kewenangan untuk
menghukum pelaku atau orang yang menyuruh dilakukannya satu kategori
tindakan yang bisa digolongkan sebagai kejahatan perang, yakni
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1 949 dan Protokol
Tambahan 1 977, sebagaimana d itegaskan dalam Pasal 85. 5 Protokol
Tambahan I Konvensi Jenewa, perbuatan-perbuatan yang merupakan
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya
disebut sebagai kejahatan perang. Masing-masing Pasal 50, 5 1 , 1 30 dan
1 47 yang bersamaan dari Konvensi Jenewa I, I I , Ill dan IV menyebutkan
beberapa perbuatan yang disebut sebagai kejahatan perang, antara lain
kekerasan terhadap nyawa, kesehatan, tubuh dan jiwa manusia, khususnya
pembunuhan dan perlakuan tidak manusiawi seperti penyiksaan, mutilasi
atau segala bentuk hukuman badan, terorisme, penghukuman secara
kolektif dan penyanderaan, maupun ancaman untuk melakukan tindakan
tindakan tersebut.
Perbuatan tersebut dianggap sebagai kejahatan perang apabila
dilakukan terhadap orang-orang atau objek-objek yang dilindungi dalam
Konvensi Jenewa 1 949 dan Protokol Tambahan 1 977 dan perbuatan
tersebut tidak dibenarkan oleh kepentingan militer, dilakukan secara
melawan hukum serta disengaja.
a. Pasal 8 ayat (2) (a) (i) Statuta Roma: Pem bunuhan dengan sengaja
(wilful killing)
lstilah wilful killing semula terdapat dalam Pasal 50 KJ I ; Pasal 5 1 KJ
I I ; Pasal 1 30 KJ 111 dan Pasal 1 4 7 KJ IV. lstilah pembunuhan (killing)
digunakan secara bergantian dengan istilah menyebabkan kematian
(caused death) . Oleh karenanya, kedua istilah itu mengand ung unsur-unsur
tindak pidana yang serupa.
Unsur-unsur kejahatan perang dalam perumusan "pembunuhan
dengan sengaja" meliputi :
a. Pelaku membunuh seseorang atau beberapa orang;
b. Orang-orang-orang yang dibunuh tersebut dilindungi berdasarkan satu
atau lebi h Konvensi Jenewa 1 949;
c. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
d. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
e. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
b. Pasal 8 ayat (2) (a) (ii) Statuta Roma: Penyiksaan atau perlakuan
tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologis (Torture or
inhuman treatment, including biological experiments)
Pada rumusan ini terdapat tiga unsur tindak pidana, yaitu penyiksaan
(torture), perlakuan tidak manusiawi (inhuman treatment) dan eksperimen
biologis (biological experiments).
Unsur tindak pidana "penyiksaan" meliputi :
a. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap seseorang atau beberapa orang;
b. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan untuk tujuan mendapatkan
informasi atau suatu pengakuan, peng hukuman, i ntimidasi atau
pemaksaan atau suatu alasan berdasarkan diskriminasi dalam bentuk
apapun;
c. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
d. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
e. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
f. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
Unsur tindak pidana "perlakuan tidak manusiawi" meliputi :
a. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap seseorang atau beberapa orang ;
b. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
c. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
d. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
e. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
c. Pasal 8 ayat (2) (a) (iii) Statuta Roma: Dengan sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau Iuka berat terhadap tubuh atau kesehatan
(wilfully causing great suffering, or serious injury to body or health)
lstilah "dengan sengaja menyebabkan penderitan berat, atau Iuka
berat terhadap tubuh atau kesehatan" terdapat dalam Pasal 50 KJ I ; Pasal
51 KJ I I ; Pasal 1 30 KJ I l l dan Pasal 1 47 KJ IV, unsur-unsurnya meliputi :
1. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik atau mental yang
berat, atau I uka berat terhadap tubuh atau kesehatan seseorang atau
beberapa orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
d. Pasal 8 ayat (2) (a) (iv) Statuta Roma: Penghancuran yang luas dan
pengambilalihan harta benda, yang tidak d ibenarkan dari segi
kepentingan m i l iter dan dilakukan secara sengaja dan m elawan
hukum (Extensive destruction and appropriation of property, not
justified by military necessity and carried out unlawfully and
wantonly)
Kejahatan ini merupakan pelanggaran berat (grave breaches)
menurut Pasal 50 KJ I ; Pasal 5 1 KJ I I ; dan Pasal 1 47 KJ IV, yang unsur
unsurnya meliputi :
1 . Pelaku menghancurkan atau mengambil-alih harta benda tertentu;
2. Penghancuran atau pengambilalihan tersebut tidak dibenarkan menurut
kepentingan militer;
3. Penghancuran atau pengambilalihan tersebut secara meluas dan
dilakukan dengan sengaja;
4. Harta benda tersebut dilindungi menurut satu atau lebih Konvensi Jenewa
1 949;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
6. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
7. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
e. Pasal 8 ayat (2) (a) (v) Statuta Roma: Memaksa seorang tawanan
perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas pada suatu
penguasa angkatan perang m usah ( Compelling a prisoner of war or
other protected person to serve in the force of a hostile Power)
Kejahatan ini terdapat dalam Pasal 1 30 KJ I l l ; dan Pasal 1 47 KJ IV,
dengan unsur-unsur yang meliputi :
g. Pasal 8 ayat (2) (a) (v) Statuta Roma: Memaksa seorang tawanan
perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas pada suatu
pada suatu Penguasa angkatan perang m usuh ( Compelling a
prisoner of war or other protected person to serve in the force of a
hostile Power)
Kejahatan ini terdapat dalam Pasal 1 30 KJ I l l ; dan Pasal 1 47 KJ IV.
Unsur-unsurnya meliputi :
1. Pelaku memaksa seseoranag atau beberapa orang, dengan tindakan
atau ancaman , untuk terlibat dalam operasi militer melawan negaranya
atau angkatan perangnya send iri atau berdinas pada angkatan perang
suatu pihak yang berm usuhan;
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional.
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata .
i. Pasal 8 ayat (2) (a) (vii) Statuta Roma: Deportasi atau pem i ndahan
secara m elawan hukum atau pengurungan secara m elawan h ukum
(Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement)
Terdapat dua kategori kejahatan perang dalam rumusan pasal ini,
yaitu "deportasi atau pemindahan secara melawan hukum" dan
"pengurungan secara melawan hukum" yang keduanya diatur dalam Pasal
1 47 KJ IV. Unsur-unsur dalam kejahatan perang "deportasi atau
pemindahan secara melawan hukum" meliputi :
1. Pelaku mengusir atau memindahkan seseorang atau beberapa ke
negara lain atau ke tempat lain;
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
5. Pelaku menyadari tentang keadan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
k. Pasal 8 ayat (2) (c) (i) Statuta Roma: Kekerasan terhadap j iwa dan
raga, terutama setiap bentuk pem bunuhan, pengudungan, perlakuan
kejam dan pengan iayaan.
Terdapat empat bentuk kejahatan perang dalam Pasal ini, yaitu
segala bentuk pembunuhan; pengudungan (mutilasi); perlakuan kejam dan
penganiayaan. U nsur-unsur tindak pidana pembunuhan dalam Pasal 8 ayat
(2) (c) (i) Statuta Roma, yaitu:
1 . Pelaku membunuh seseorang atau beberapa orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang
orang sipil, petugas kesehatan, atau petuas rohaniawan yang tidak i kut
dalam permusuhan;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional ;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata;
Unsur-unsur tindak pidana pengudungan (mutilasi) dalam Pasal 8
ayat (2) (c) (i) Statuta Roma, meliputi:
1. Pelaku melakukan mutilasi terhadap seseorang atau beberapa orang,
terutama dengan mengambil atau memotong-motong secara permanen
tubuh seseorang atau beberapa orang, atau dengan membuat cacat atau
memindahkan suatu organ atau anggota tubuh secara tetap;
2. Tindaka n tersebut tidak dibenarkan baik menurut tindakan medis, gigi
atau rumah sakit terhadap orang atau orang-orang yang bersangkutan
maupun dilaksanakan bukan untuk kepentingan orang atau orang-orang
tersebut;
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang
orang sipi l , petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
4. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
I. Pasal 8 ayat (2) (c) (ii) Statuta Roma: Perkosaan atas kehormatan
pribadi , terutama perlakuan yang mengh inakan dan merendahkan
martabat.
1. Pelaku menghinakan , merendahkan atau melanggar martabat
seseorang atau beberapa orang;
2. Penghinaan, perendahan atau pelanggaran tersebut sedemikian berat
sehingga secara umum diakui sebagai suatu perkosaan terhadap
martabat pribadi ;
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang
orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
4. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
5. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional;
6. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
n. Pasal 8 ayat (2) (c) (iv) Statuta Roma: Penjatuhan hukuman atau
melaksanakan eksekusi tanpa putusan terlebih dahu l u yang
dijatu hkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara normal,
yang mem berikan sem ua jaminan perad ilan yang diakui sebagai
keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Unsur-unsur tindak pidana kejahatan perang "penjatuhan hukuman
atau eksekusi tanpa proses hukum yang benar'' ini meliputi :
1. Pelaku menjatuhkan hukuman atau eksekusi seseorang atau beberapa
orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang
orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
4. Tidak ada suatu putusan pengadilan terlebih dahulu, atau pengadi lan
yang mengeluarkan putusan tidak dibentuk secara normal, dalam arti ,
pengadilan itu tidak memberikan jaminan peradi lan yang bebas dan tidak
memihak, atau pengadilan yang menjatuhkan putusan tidak memberikan
semua jaminan peradilan lainnya yang diakui secara umum sebagai
keharusan menurut hukum internasional ;
C. Penutup
Upaya memformulasikan kejahatan-kejahatan internasional dewasa
ini terbukti bermanfaat pada saat masyarakat i nternasional menanggapi
tragedi di bekas Yugoslavia dan Rwanda dengan membentuk Mahkamah
Pidana l nternasional Ad hoc. Hal yang sama terjadi pula ketika pada
akhirnya negara-negara menyatakan persetujuan untuk membentuk suatu
mahkamah pidana internasional permanen berdasarkan Statuta Roma 1 998.
Sebagai suatu ketentuan pidana kategori-kategori kejahatan yang
dimuat dalam Statuta Roma 1 998 telah dirumuskan secara tepat, jelas, dan
tidak bersifat multi interpretatif, meskipun institusionalisasi kategori-kategori
kejahatan internasional tersebut tidak selalu dibarengi oleh pemahaman
yang akurat di masyarakat, namun rumusan kejahatan perang yang diatur
dalam Statuta Roma, yang merupakan hasil negosiasi cukup panjang dan
produk kompromi dari para ahli hukum militer, hukum HAM dan hukum
pidana d ari neg ara-negara anggota PBB atau m asyarakat i nternasional,
DAFTAR PUSTAKA
Black, Henry Campbel l , Black's Law Dictionary, St. Paul, Minnessota: West
Publishing Co. , 1 990.
E.Y. Kanter dan S . R . Sianturi , Hukum Pidana Militer di Indonesia, J akarta:
Alumni AHM-PTHM, 1 98 1 .
F. Sugeng l stanto, Penerapan Hukum Humaniter lnternasional pada Orang
Sipil dan Perlindungan dalam Pertikaian Bersenjata, Makalah dalam
Seminar Nasional tentang Peranan Palang Merah l nternasional
dalam Pertikaian Bersenjata Non-lnternasional, Ujung Pandang, 1 2-
1 3 Maret 1 997.
F. Sugeng l stanto, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta: Bumi
Nusantara J aya, 1 988.
Gasser, H ans-Peter, International Humanitarian Law. An Introduction",
Separete print from Hans Haug, Humanity for All , I nternational Red
Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt,
1 993.
Green, N .A. Maryam, International Law, Law of Peace, London: Mac Donald
dan Evans Ltd . , 1 973.
GPH. Haryomatara m , Hukum Humaniter, Jakarta: CV Rajawali, 1 984.
GPH. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Jakarta:
Sebelas Maret University Press, 1 994.
Kalshoven, First dan Liesbeth Zegveld , Constraint on the Waging of War,
Geneva : ICRC, 2001 .
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam
Aceh, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti , 1 990.
Schermers, Henry G, International Institutional Law, Sijthoff dan Noordhoff,
Alphen aan den Rijn, 1 980.
Singh, Simi, "The Future of International Criminal Law: The I nternational
Criminal Court (ICC)", Touro International Law Reviewi vol. 1 0,
Spring, 2000.
Starke, J . G . , Pengantar Hukum lnternasional, Jakarta: Sinar Grafika , 2000.
Steiner, Henry J. dan Philip Alston, International Human Rights in Contex:
Law, Politics, Morals, Oxford: Claredon Press, 1 996.
Additional Protokol to the 1949 Geneva Conventions, 1977.
ICC Rules of Procedure and Evidence, 1 998.
Rome Statute, 1998.
Statute of the ICTY, 1 993.
Statute of the /CTR, 1 994.
UN General Assembly, Resolution 52 1 6 (Lil), 52nd session, Official
Records, Supplement 49, UN Doc A/5249 (199 7).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM .