Anda di halaman 1dari 41

J RNA

MH M ITE

• Timothy L. H. McCormack
Sixty Years from Nuremberg: What Progress
for International Criminal Law?

• Michael Cottier
War Crimes in International Law: An Introduction

• Natsri Anshari
Tanggung-jawab Komando menurut Hukum International
dan Hukum Nasional Indonesia

• Harkristuti Harkrisnowo
Kejahatan Berat dan Hukum Humaniter

• Rina Rusman
Kejahatan Perang dan Beberapa Rumusannya dalam
Hukum Pidana Nasional

• Heru Cahyono
Kejahatan Perang yang Diatur dalam Hukum International
dan Hukum Nasional

• Konvensi Den Haag 1907


• Pasal-pasal tentang Kejahatan Perang ( War Crimes)

Ditert>itkan oleh:
PUSAT STUDI HUKUM MUMANITER DAN HAM OerllJ
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS TRISAKTI
Diterbitkan atas kerja sama dengan:
Komite lnternasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross)

ICRC
JURNAL HUKUM HUMANITER

Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terls)


Fakultas Hukum Universitas Trisakti Jakarta

Pen a n g g u ng -jawab :
Rektor Universitas Trisakti
Prof Dr. Thoby Mutis

Dewan Redaksi Kehormata n :


Prof KGPH. Haryomataram, S.H.
Prof Timothy L. H. McCormack
Prof Dr. F. Sugeng /stanto, S.H.
Prof Or. Andi Hamzah, S.H.
Michael Cottier, LL.M.
Brigjen. TN/ (Pum) PL T. Sihombing, S.H., LL.M.
Kol. Chk. Natsri Anshari, S.H., LL.M.
Rudi M. Rizki, S.H., LL.M.

Pemimpin Reda ksi


Arlina Permanasari, S.H., M.H.

A n g g ota Reda ksi :


Andrey Sujatmoko, S.H., M.H.
Aji Wibowo, S.H., M.H.
Kushartoyo Budisantosa, S.H., M.H.
Amalia Zuhra, S.H., LL.M.
Jun Justinar, S.H., M.H.

Sekretariat:
Ade A/fay Alfinur, S.Sos.
Supriyadi, S.E.
Andi Setiawan, A.Md.

Alamat Reda ksi :


Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terls) FH-USAKTI
JI. Kyai Tapa No. 1 Gedung H Lt. 5
Kampus A Grogol Jakarta 11440
Tlp./Faks.: (021) 563-7747
E-mail: terAs_fhusakti@yahoo.com

Jurnal Hukum Humaniter terbit setiap enam bulan pada bulan Juli dan Desember
EDITORIAL ii

EDITORIAL

Para pem baca yang kami hormati ,

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah Subhanahu Wata'ala karena


berkat rahmatNya jualah maka J U RNAL H U KUM H UMANITER ini dapat
hadir di tangan para pembaca semua. Jurnal ini merupakan jurnal yang
pertama kali terbit d i tanah air, secara khusus mengulas berbagai masalah
hukum humaniter, dan akan terbit setiap enam bulan sekali.

Penerbitan j u rnal ini d imaksudkan sebagai wahana bagi semua lapisan


masyarakat, baik dari kalangan militer, aparat penegak h ukum, birokrat,
LSM, akademisi, mahasiswa , maupun kalangan lainnya yang ingin
mengetahui secara lebih mendalam mengenai seluk-beluk hukum
humaniter. Di samping itu, konflik-konflik yang terjadi di berbagai wilayah
Republik Indonesia dalam dekade terakhir juga menjadi pertimbangan lain
bagi diterbitkannya jurnal ini.

Pada ed isi perdana ini, topik utama J U RNAL H U KUM H UMAN ITER adalah
tentang "kejahatan perang" (war crimes). Kejahatan perang merupakan
salah satu tindak pidana yang belum sepenuhnya diakomodasikan ke dalam
aturan h ukum nasional I ndonesia. Oleh karena itu, sejara h dan praktik­
prakti k negara serta beberapa substansi dasar dari peraturan-peraturan
mengenai tindak pidana kejahatan perang akan dikemukakan dalam artikel­
artikel utama dan pend ukung . Tidak hanya itu, pemaparan h ukum nasional
serta upaya-u paya yang telah dilakukan khususnya dalam Rancangan Kitab
Undang-undang Hukum Pidana Nasional juga akan ditampilkan guna
melengkapi edisi kali ini.

Di samping materi pokok tersebut, d isertakan pula " Kolom" yang pada edisi
ka li ini berisikan tentang Konvensi Den Haag IV ( 1 907) yang mengatur
mengenai hukum dan kebiasaan berperang di darat. Pemilihan materi ini
sengaja dila kukan mengingat urgensi Konvensi ini yang sudah menjadi
hukum kebiasaan internasional dan berlaku bagi semua negara serta
merupakan aturan penting dalam hal pengaturan alat dan cara berperang
yang masih relevan dan berlaku pada saat ini.

Atas diterbitka nnya jurnal ini, kami mengucapkan terima kasih kepada
International Committee of the Red Cross (ICRC) yang memiliki komitmen
tinggi dalam u paya mengembangkan hukum humaniter di I ndonesia dengan
mendukung penerbitan jurnal ini.

Akhir kata , ka mi berharap semoga penerbitan jurrnal ini dapat memenuhi


kebutuhan dan keingintahuan yang mendalam terhadap h ukum humaniter.
U ntuk itu, kami dengan segala kerendahan hati akan menerima segala kritik
maupun saran-saran yang konstruktif bagi penyempurnaan j u rnal ini di masa
datang.

Redaksi

JURNAL HUKUM HUMANITER, Vol. 1 , No. 1


iii

DAFTAR ISi

him.

Artikel

1 . Timothy L. H . McCormack
Sixty Years from Nuremberg: What Progress for Internatio-
nal Criminal Law? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1
2. Michael Cottier
War Crimes in International Law: An Introduction . . . . . . . . . . . 21
3. Natsri Anshari
Tanggung-jawab Komando menurut H ukum lnternasional
dan Hukum Nasional I ndonesia . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 45
4. Harkristuti Harkrisnowo
Kejahatan Berat dan Hukum Hu ma niter . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 90
5. Rina Rusman
Kejahatan Perang dan Beberapa Rumusannya dalam Hu-
kum Pidana Nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 00
6. Heru Cahyono
Kejahatan Perang yang Diatur dalam H ukum l nternasional
dan Hukum Nasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 21

Kolom

1 . Kejahatan Perang (War Crimes) dalam Berbagai l nstrumen


H ukum l nternasional . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
. . 1 57
2. Konvensi Den Haag 1 907 tentang Alat dan Cara Berperang 1 70
3. Terjemahan Konvensi Den Haag IV 1 907 tentang H ukum
dan Kebiasaan Perang di Darat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 84
4. Teks Konvensi Den Haag IV 1 907 dan Lampira nnya (dalam
bahasa lnggris) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 1 98
Kejahatan Perang yang Diatur dalam
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

KEJAHATAN PE RANG YANG DIATUR DALAM


H UKUM I NTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

Heru Cahyono1

Abstrak

Kejahatan perang (war crimes) yang diatur dalam berbagai instrumen


h u kum internasional telah menunjukan perhatian yang besar masyarakat
internasional terhadap masalah tersebut. Hal itu terutama terlihat setelah
Perang D unia I I yang diwujudkan dalam Nuremberg Trial dan Tokyo Trial.
Perkembangan selanjutnya juga menunjukan bahwa secara substansial
kejahatan perang dewasa ini juga telah diatur dalam Konvensi Jenewa
1 949 , Protokol Tambahan 1 977, statuta International Criminal Court ( ICC)
maupun dalam statuta International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia ( ICTY) dan International Criminal Tribunal for Rwanda ( I CTR).
Dalam konteks I ndonesia masalah kejahatan perang telah diatur pula
dalam beberapa ketentuan hukum nasional.

A. Pendahuluan
Undang-undang Nomor 59 Tahun 1 958 tentang ikut sertanya Negara
Republik I ndonesia dalam Seluruh Konvensi Jenewa tanggal 1 2 Agustus
1 949, menegaskan bahwa I ndonesia sebagai negara peserta mempunyai
kewajiban membuat undang-undang yang diperlukan untuk memberikan
sanksi pidana yang efektif terhadap orang-orang yang melakukan, atau
memerintahkan melakukan salah satu pelangaran berat terhadap hukum
humaniter. Negara juga berkewajiban untuk mencari orang-orang yang
diduga telah melakukan atau memerintahkan untuk melakukan pelanggaran
berat, mengadili para tersangka tanpa memandang kewarganegaraannya di
pengadilan nasional atau menyerahkan tersangka untuk diadili oleh
pengadilan negara lain.
Hukum internasional memberikan hak kepada para pihak peserta
hukum humaniter untuk menuntut pelaku-pelaku kejahatan perang di bawah
yurisdiksi internasional, hal ini bertitik tolak dari keyakinan bahwa
penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan perang akan lebih efektif bila
dilakukan di tingkat nasional. Di sisi lain hal lni telah menegaskan tanggung

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 22
Hukum /nternasional dan Hukum Nasional

jawab utama untuk merumuskan tindak pidana dan sistem pemidanaan


mengenai kejahatan perang berada pada negara atau pada mekanisme
peradilan di tingkat nasional.
Dalam praktiknya, negara pihak telah beberapa kali menuntut pelaku
kejahatan terhadap hukum humaniter tanpa menggunakan ketentuan yang
telah diatur dan diwajibkan dalam Konvensi Jenewa, karena belum diadopsi
dalam undang-undang pidana nasional baik mengenai substansi maupun
sanksi pidananya. Namun demikian di tingkat internasional, para pelaku
kejahatan perang telah diproses dan diadili melalui pengadilan internasional
Ad hoc. Sistem dan mekanisme maupun putusan-putusan pengadilan
internasional Ad hoc tersebut telah mendorong dan menjadi landasan bagi
pembentukan suatu pengadilan internasional yang permanen, yaitu
Mahkamah Pidana l nternasional (International Criminal Court/ICC) . Dalam
Pasal 8 Statuta ICC dirumuskan kejahatan perang secara komprehensif,
dengan memasukkan semua jenis pelanggaran yang terjadi dalam sengketa
bersenjata internasional maupun sengketa bersenjata non-internasional,
termasuk pelanggaran berat (grave breaches) dan pelanggaran terhadap
Common Article 3 Konvensi Jenewa 1 949.

B. Pengertian Kejahatan Perang dan Pengaturannya dalam lnstrumen


Hukum l nternasional
1 . Kejahatan Perang
Berbeda dari kejahatan terhadap kemanusiaan yang relatif baru,
kejahatan perang merupakan kejahatan i nternasional yang telah dikenal
cukup lama. lstilah kejahatan perang sendiri mulai populer dalam
masyarakat i nternasional setidak-tidaknya semenjak di laksanakannya
Pengadilan Kejahatan Perang Nuremberg dan Tokyo.
Kejahatan perang merujuk pada tindakan-tindakan tertentu yang
merupakan pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang. Statuta

1 Kolonel Heru Cahyono, S . H . , M . H . , saat ini menjabat sebagai Kepala Bagian Hukum
lnternasional Biro H ukum Sekretariat Jenderal Departemen Pertahanan.

JURNAL H U KU M H UMAN ITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 23
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

Roma juga menegaskan bahwa kejahatan-kejahatan perang merupakan


kejahatan yang menjadi yurisdiksi I CC .

2 . Pengertian Kejahatan Perang ( War Crimes)


Belum adanya pengertian yang jelas mengenai kejahatan perang
dalam suatu sengketa bersenjata, telah menimbulkan kesulitan dalam
menentukan rumusan tentang kejahatan perang . Bila digunakan sebagai
istilah umum, kejahatan perang adalah segala pelanggaran hukum perang
atau hukum humaniter yang menimbulkan tanggung jawab kriminal secara
individual, namun secara teknis, kejahatan perang seringkali dipahami
secara terbatas pada pelanggaran terhadap aturan-aturan hukum yang
berlaku mengenai pelaksanaan peperangan.
Kejahatan perang adalah tindakan yang dilarang dilakukan karena
mengganggu ketertiban masyarakat dan merugikan kepentingan orang.
Oleh karenanya, larangan dan ancaman hukumannya dicantumkan dalam
perundang-undangan hukum pidana dari suatu negara. Kejahatan perang
khususnya terjadi pada waktu konflik bersenjata dan biasanya dilakukan
oleh orang-orang yang sedang melaksanakan tugas berperang.
Kejahatan perang diatur dalam berbagai i nstrumen hukum
internasional dan hukum humaniter, antara lain :
1 . Peraturan Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat
(Hague Regulations respecting the Laws and Customs of War on Land)
tahun 1 907;
2. Konvensi Jenewa I sampai dengan IV tahun 1 949;
a. Konvensi Jenewa I untuk Perbaikan Keadaan yang Luka dan Sakit
dalam Angkatan Bersenjata di Medan Pertempuran Darat;
b. Konvensi Jenewa II untuk Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan
Bersenjata di Laut yang Luka, Sakit dan Karban Karam;
c. Konvensi Jenewa I l l mengenai Perlakuan Tawanan Perang;
d. Konvensi Jenewa IV mengenai Perlindungan Orang Sipil di waktu
Perang;

J URNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, N o . 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 24
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

3. Protokol Tambahan I mengenai Perlindungan Korban-korban Sengketa


Bersenjata l nternasional tahun 1 977;
4. Protokol Tambahan II mengenai Perlindungan Korban-korban Sengketa
Bersenjata Non-l nternasional tahun 1 977;
5. Protokol Jenewa tentang Larangan Penggunaan Gas Cekik, Beracun
dan Gas lainnya, Cara Peperangan Bakteriologis tahun 1 925;
6. Konvensi Den Haag mengenai Perlindungan Benda Budaya pada waktu
Sengketa Bersenjata tahun 1 954;
7. Konvensi mengenai Keselamatan Person ii PBB dan Personil yang
Menyertainya tahun 1 994;
8. Deklarasi mengenai Peluru yang Mengembang tahun 1 899;
9. Statuta ICTY;
1 0. Statuta ICTR;
1 1 . Statuta ICC.
Pendapat bahwa hanya pelanggaran-pelanggaran tertentu yang bisa
digolongkan sebagai kejahatan perang nampaknya diikuti secara konsisten
sejak masa Mahkamah Nuremberg, masa ICTY, ICTR, hingga masa Statuta
Roma 1 998.

a. Konstitusi Nuremberg
Piagam Pengadilan Militer l nternasional di Nuremberg menentukan
kejahatan perang sebagai salah satu yurisdiksi pengadilan di samping
kejahatan terhadap perdamaian dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Piagam ini menyatakan bahwa kejahatan perang merupakan pelanggaran
tradisional terhadap hukum dan kebiasaan perang.
Menurut Konstitusi Nuremberg, kejahatan perang yang identik
dengan violations of the laws or customs of war mencakup, namun tidak
terbatas pada perbuatan-perbuatan seperti:
" . . . pembunuhan, perlakuan yang menyakitkan atau deportasi
terhadap buruh atau untuk tujuan lain dari penduduk sipil atau dalam
wilayah yang dikuasai , pembunuhan atau perlakuan yang
menyakitkan terhadap tawanan perang atau orang-orang di laut,
pembunuhan sandera, merampas barang milik publik atau pribadi,

J U RNAL H UKUM H U MANITE R , Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 25
Hukum lnternasiona/ dan Hukum Nasional

tanpa alas dan menghancurkan kota, desa, atau pemusnahan yang


tidak sah untuk kepentingan militer. "

Definisi ini dibuat sebelum masa konvensi Jenewa 1 949, oleh


karenanya definisi ini tidak sesistematis definisi dalam Statuta ICTY, Statuta
ICTR, dan Statuta Roma 1 998, serta kurang memiliki karakteristik yang
jelas karena bersifat non-limitatif di dalam mencantumkan tindakan-tindakan
yang dapat digolongkan sebagai hukum perang.

b. Statuta ICTY
Statuta ICTY memasukkan pelanggaran serius atas Pasal Umum 3
Konvensi Jenewa dan j uga aturan yang lain untuk melindungi korban
konflik bersenjata dan aturan dasar untuk metode peperangan. Pengadilan
menetapkan pelanggaran serius sebagai sesuatu yang mempunyai
konsekuensi besar terhadap korbannya, serta melanggar peraturan
perlindungan, termasuk kekerasan terhadap nyawa atau kesehatan,
eksekusi tanpa pengadilan, penyanderaan, hukuman kolektif, dan
perampasan.
Statuta i ni tidak secara khusus menggunakan istilah kejahatan
perang sebagai suatu kategori kejahatan internasional, namun, secara
substansial mengatur tindakan-tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
kejahatan perang. Dalam Pasal 2 disebutkan bahwa I CTY memiliki
kewenangan untuk menghukum mereka yang melakukan atau
memerintahkan pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa, yang
mencakup tindakan-tindakan yang ditujukan kepada orang atau benda yang
dilindungi oleh Konvensi Jenewa, antara lain, pembunuhan secara sengaja,
penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk eksperimen
biologis, penghancuran dan perampasan barang-barang dalam skala yang
luas tanpa mempertimbangan kepentingan militer, serta dilakukan secara
tidak sah dan secara sembarangan.
Sementara itu, Pasal 3 Statuta ICTY mengatur tentang pelanggaran
hukum dan kebiasan perang, yang antara lain tentang penggunaan senjata
beracun atau senjata lain yang dapat menyebabkan penderitaan yang tidak

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 26
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

perlu, penghancuran kota-kota atau desa-desa yang yang dilakukan tanpa


didukung kepentingan militer.

c. Statuta ICTR
Statuta ICTR tidak secara khusus menggunakan istilah kejahatan
perang sebagai salah satu bentuk kejahatan yang menjadi yurisdiksinya,
namun, hanya memuat satu kategori tindakan yang bisa digolongkan
sebagai kejahatan perang, yakni pelanggaran berat terhadap Konvensi
Jenewa 1 949 dan Protokol Tambahan 1 977. Meski kategori ini juga ada di
dalam Statuta I CTY, namun rincian tindakannya berbeda dengan Statuta
ICTR.
Dalam Pasal 4 ditegaskan, bahwa ICTR memiliki kewenangan untuk
menghukum pelaku atau orang yang menyuruh dilakukannya satu kategori
tindakan yang bisa digolongkan sebagai kejahatan perang, yakni
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1 949 dan Protokol
Tambahan 1 977, sebagaimana d itegaskan dalam Pasal 85. 5 Protokol
Tambahan I Konvensi Jenewa, perbuatan-perbuatan yang merupakan
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa dan Protokol Tambahannya
disebut sebagai kejahatan perang. Masing-masing Pasal 50, 5 1 , 1 30 dan
1 47 yang bersamaan dari Konvensi Jenewa I, I I , Ill dan IV menyebutkan
beberapa perbuatan yang disebut sebagai kejahatan perang, antara lain
kekerasan terhadap nyawa, kesehatan, tubuh dan jiwa manusia, khususnya
pembunuhan dan perlakuan tidak manusiawi seperti penyiksaan, mutilasi
atau segala bentuk hukuman badan, terorisme, penghukuman secara
kolektif dan penyanderaan, maupun ancaman untuk melakukan tindakan­
tindakan tersebut.
Perbuatan tersebut dianggap sebagai kejahatan perang apabila
dilakukan terhadap orang-orang atau objek-objek yang dilindungi dalam
Konvensi Jenewa 1 949 dan Protokol Tambahan 1 977 dan perbuatan
tersebut tidak dibenarkan oleh kepentingan militer, dilakukan secara
melawan hukum serta disengaja.

J U R NAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , N o . 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 27
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

Berkaitan dengan perlindungan terhadap orang-orang dan objek­


objek tertentu , Pasal 85.4 Protokol Tambahan I memuat secara eksplisit
beberapa perbuatan yang apabila dilakukan dengan sengaja dan melanggar
ketentuan Konvensi Jenewa dan Protokol dapat dikategorikan sebagai
kejahatan perang, yaitu perbuatan berikut:
a) Tindakan pihak penguasa pendudukan mengirim sebagian penduduk
sipilnya ke wilayah yang didudukinya, atau mendeportasi maupun
mengirim sebagian penduduk di wilayah yang didudukinya, dengan
melanggar Pasal 49 Konvensi Jenewa IV tentang Perlindungan
Penduduk Sipil;
b) Tindakan tanpa dasar untuk menunda mengembalikan (repatriasi) para
tawanan perang maupun orang-orang sipil ke tempat asalnya ;
c) Praktik-praktik apartheid (diskriminasi warna kulit) dan praktik-praktik tak
berprikemanusiaan dan merendahkan yang melibatkan tindakan kasar
terhadap martabat seseorang , yang didasarkan pada diskriminasi ras;
d) Menjadikan momentum sejarah yang jelas diakui, karya seni atau tempat
ibadah yang merupakan budaya atau warisan spiritual rakyat, yang
perlindungan khususnya telah diatur secara khusus, sebagai objek
serangan , padahal tidak ada bukti bahwa lawan telah melanggar aturan
terebut dan letak benda-benda tersebut tidak berada dekat sasaran
mi liter;
e) Menghilangkan hak atas pengadilan yang adil dari orang yang dilindungi
oleh Konvensi Jenewa.

d. Pengaturan Kejahatan Perang dalam Statuta Roma


Pengadilan internasional permanen untuk kejahatan perang didirikan
berdasarkan perjanjian internasional yang disebut dengan Statuta Roma
1 998 tentang pendirian Mahkamah Pidana l nternasional (International
Criminal Court/ICC). Di samping dapat menyelenggarakan pengadilan
terhadap pelaku kejahatan perang , ICC juga dapat menyelenggarakan
pengadilan terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan dan kejahatan
genosida.

JURNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 28
Hukum lnternasiona/ dan Hukum Nasional

Statuta Roma membuat daftar kejahatan perang untuk konflik


internasional yang sudah dicantumkan secara lebih sistematis dan tidak
hanya berisi pelanggaran berat atas Konvensi Jenewa, tetapi juga 26
pelanggaran serius atas hukum dan kebiasaan perang, yang kebanyakan
dianggap sebagai kejahatan. Banyak negara yang telah meratifikasi Statuta
Roma dan Protokol Tambahan 1 977 Konvensi Jenewa , namun ada juga
negara yang mengadopsi ketentuan-ketentuan yang termuat dalam
perjanj ian-perjanjian i nternasional tersebut ke dalam perundang-undangan
nasionalnya.
Dalam Pasal 8 Statuta Roma, tindakan-tindakan yang merupakan
kejahatan perang dikelompokkan menjadi empat kategori , yakni :
a. Pelanggaran berat (grave breaches) terhadap Konvensi Jenewa 1 949,
yang mencakup tindakan-tindakan yang ditujukan terhadap orang atau
benda yang dilindungi, diatur dalam Pasal 8 ayat (2) (a) Statuta Roma,
terdiri dari delapan jenis kejahatan perang yang spesifik;
b. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan
yang berlaku dalam konflik bersenjata internasional, diatur dalam Pasal 8
ayat (2) (b) Statuta Roma, terdiri dari dua puluh enam jenis kejahatan
perang yang spesifik;
c. Pelanggaran terhadap Pasal 3 Konvensi Jenewa 1 949, dalam hal terjadi
konflik bersenjata yang tidak bersifat intenasional, diatur dalam Pasal 8
ayat (2) (c) Statuta Roma terdiri dari empat jenis kejahatan perang
spesifik;
e. Pelanggaran-pelanggaran serius lainnya terhadap hukum dan kebiasaan
yang berlaku dalam sengketa bersenjata yang tidak bersifat
internasional, diatur dalam Pasal 8 ayat (2) (e) Statuta Roma, terdiri dari
dua belas jenis kejahatan perang yang spesifik.

a. Pelanggaran Berat terhadap Konvensi Jenewa 1 949


Dalam Konvensi Jenewa 1 949 dikenal istilah pelanggaran berat
(grave breaches) yang secara substansial sama dengan kejahatan perang,
dan tindak pidana ini terjadi dalam sengketa bersenjata internasional. Grave

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 29
Hukum lntemasional dan Hukum Nasional

breaches yang dapat disebut sebagai pelanggaran khusus, telah membuat


tidak saja semua negara mempunyai hak untuk menuntut dan menghukum
pelaku kejahatan ini, tetapi sekaligus diwajibkan untuk menuntut dan
menghukum mereka yang telah melakukan kejahatan serius.
Grave breaches, yang diatur dalam Pasal 50 Konvensi Jenewa (KJ) I ,
Pasal 5 1 KJ I I ; Pasal 1 30 KJ I l l dan Pasal 1 47 KJ IV, dipakai untuk
membedakan antara kejahatan perang yang terjadi dalam konflik bersenjata
internasional, dengan kejahatan yang dilakukan dalam konflik internal atau
domestik (Pasal 4 jo. Pasal 1 47 Konvensi Jenewa IV), dan terdiri dari :
1 ) Pembunuhan dengan sengaja (wilful killing);
2) Penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen
biologis;
3) Dengan sengaja menyebabkan penderitan serius, atau Iuka yang serius
terhadap tubuh atau kesehatan;
4) Penghancuran yang l uas dan pengambilalihan harta benda, yang tidak
dibenarkan dari segi kepentingan militer dan dilakukan secara sengaja
dan melawan hukum;
5) Memaksa seorang tawanan perang atau orang lain yang dilindungi untuk
berdinas pada suatu penguasa angkatan perang musuh;
6) Dengan sengaja mengesampingkan hak seorang tawanan perang atau
orang lain yang dilindungi akan haknya atas peradilan yang jujur dan
teratur;
7) Deportasi atau pemindahan secara melawan hukum atau pengurungan
secara.· melawan hukum;
8) Penyanderaan.
Dalam Statuta Roma, tindakan-tindakan yang digolongkan sebagai
pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa 1 949 mencakup tindakan
yang dituj ukan terhadap orang atau benda yang dilindungi, dan ternyata
sama dengan uraian kategori kejahatan seperti dalam Statuta ICTY, yakni:
(i) Pembunuhan secara sengaja;
(ii) Penyiksaan atau perlakuan secara tidak manusiawi, termasuk
eksperimen biologis;

JURNAL H UKUM H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 30
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

(iii) Secara sengaja menyebabkan penderitaan yang berat atau Iuka-Iuka


serius bagi tubuh atau kesehatan;
(iv) Penghancuran dan perampasan barang-barang dalam skala yang
luas tanpa pertimbangan keperluan militer, serta dilakukan secara
tidak sah dan secara sembarangan;
(v) Memaksa tawanan perang atau penduduk sipil untuk melakukan
tugas di dalam angkatan bersenjata pihak musuh;
(vi) Secara sengaja menyangkal hak untuk diadili secara jujur dalam
pengadilan biasa yang dimiliki oleh tawanan perang atau penduduk
sipil ;
(viii) Deportasi , pemindahan atau penahanan penduduk sipil secara tidak
sah;
(viii) Menyandera penduduk sipil.

Pada kenyataannya, beberapa praktik hukum pidana internasional,


yang memasukkan korban sipil dalam konflik internal sebagai orang-orang
yang d ilindung i , merupakan usaha perluasan penafsiran atas konflik internal .
Konflik internal Yugoslavia serta genosida di Rwanda dapat disebut
sebagai titik utama kriminalisasi atas kejahatan perang dalam konflik
internal. Ketentuan yang dikeluarkan oleh mahkamah di Rwanda, misalnya,
dengan jelas menegaskan mengenai otoritas jurisdiksinya terhadap
pelanggaran atas Pasal 3 Konvensi Jenewa, serta protokol tambahannya
(Protokol Tambahan I I ). Hal ini merupakan titik awal di mana pelanggaran
atas kejahatan-kejahatan perang yang dilakukan selama konflik internal,
dikriminalisasikan dalam sebuah instrumen hukum internasional.
Hal yang sama j uga terjadi pada mahkamah di bekas Yugoslavia, di
mana dalam persidangan kasus Tadic, pengadilan secara jelas menegaskan
bahwa kasus tersebut merupakan sebuah pelanggaran yang diklasifikasikan
sebagai kejahatan perang. Kriminalisasi kejahatan perang dalam sebuah
konflik internal dikukuhkan dalam Statuta Roma (Pasal 8 (2) (c)). Untuk itu
Statuta Roma dapat disebut sebagai upaya penyempurnaan dari Konvensi
Jenewa.

JURNAL H U KU M H UMANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 131
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

b. Pelanggaran-pelangaran Serius terhadap Hukum dan Kebiasaan


yang Berlaku dalam Konflik Bersenjata
Di luar pelanggaran berat terhadap Konvensi Jenewa, Statuta Roma
juga mengenal kategori pelanggaran serius terhadap h ukum dan kebiasaan
dalam konflik bersenjata. Meski dimuat di bawah kategori kejahatan perang,
Statuta Roma memberi arti yang luas terhadap istilah perang, sehingga
mencakup pula setiap konflik bersenjata. Tindakan-tindakan yang termasuk
dalam kategori ini adalah :
(i) Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap penduduk sipil atau
terhadap orang sipil yang tidak secara langsung terlibat dalam
pertempuran;
(ii) Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap sasaran sipil yang
bukan merupakan sasaran militer;
(iii) Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap personil , instalasi­
instalasi, bangunan, unit-unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan
dan misi penjaga perdamaian sesuai Piagam PBB, sepanjang mereka
berhak atas perli ndungan yang diberikan sebagai orang sipil atau
sasaran sipil menurut hukum internasional tentang konflik bersenjata ;
(iv) Dengan sengaja melancarkan serangan yang diketahuinya bahwa
serangan itu akan menimbulkan kematian atau cidera terhadap
penduduk sipil, atau kerusakan terhadap sasaran sipil, atau
pengakibatkan kerusakan yang meluas, sangat berat dan berjangka
waktu lama terhadap lingkungan alam yang secara tegas melampaui
batas dalam kaitannya dengan upaya mengantisipasi keuntungan­
keuntungan militer yang nyata dan langsung;
(v) Penyerangan atau peledakan kota, desa-desa, tempat tinggal, dan
gedung yang tidak dilindungi dan bukan sasaran militer;
(vi) Pembunuhan atau melukai kombatan yang sudah menyerah, yaitu
mereka yang sudah meletakkan senjatanya atau sudah tidak lagi
memiliki sarana untuk melawan;
(vii) Penggunaan bendera genjatan senjata, tanda-tanda atau seragam
militer musuh atau PBB, juga tanda pembeda (distinctive emblem) yang

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 32
Hukum lntemasional dan Hukum Nasional

diatur dalam Konvensi Jenewa dengan tidak semestinya, yang


mengakibatkan kematian atau Iuka berat;
(viii) Pemindahan secara langsung maupun tidak langsung oleh Kekuasaan
Pendudukan (Occupying Power) terhadap sebagian penduduk sipilnya
ke dalam wilayah yang diduduki, atau deportasi maupun pemindahan
seluruh atau sebagian penduduk yang tinggal di daerah yang diduduki
di dalam atau keluar daerah mereka;
(ix) Secara sengaja melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat
ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal,
bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang­
orang yang sakit dan terluka dikumpulkan sepanjang tempat-tempat itu
bukan untuk keperluan militer;
(x) Mewajibkan orang yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk
melakukan pengudungan (mutilation) fisik, atau untuk percobaan medis
atau keilmuan apapun yang tidak dibenarkan oleh medis, kesehatan
gigi, atau perawat rumah sakit terhadap seseorang, yang dilakukan di
luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya
serius terhadap keselamatan orang itu ;
(xi) Membunuh, atau melukai orang sipil dari negara atau tentara musuh;
(xii) Menyatakan bahwa tidak ada tempat tinggal yang akan diberikan;
(xiii) Penghancuran dan penyitaan barang milik musuh kecuali
pengerusakan atau penyitaan tersebut terpaksa dilakukan demi
kepentingan atau keperluan konflik;
(xiv) Menyatakan penghapusan, penangguhan atau tidak dapat diterimanya
hak-hak dan tindakan warga negara dari pihak musuh dalam suatu
pengadilan;
(xv) Melakukan pemaksaan terhadap penduduk pihak lawan untuk i kut
dalam operasi perang melawan negaranya sendiri , bahkan jika mereka
berdinas dalam tentara musuh sebelum permulaan perang;
(xvi) Perampasan kota atau tempat bahkan dengan penyerangan;
(xvii) Penggunaan racun atau senjata beracun ;

J U RNAL H UKUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam I 33
Hukum lntemasional dan Hukum Nasional

(xviii) Penggunaan asphyxiating , gas beracun atau gas-gas lainnya dan


semua cairan, bahan-bahan, atau peralatan-peralatan yang beracun;
(xix) Penggunaan peluru yang dengan mudah meluas dan hancur dalam
tubuh manusia, seperti peluru dengan selubung keras yang tidak
seluruhnya menutupi ujung peluru atau ujung peluru tersebut ditoreh;
(xx) Menggunakan senjata, proyektil atau bahan, dan metode-metode
perang yang pada dasarnya dapat menyebabkan Iuka yang
berlebihan atau tidak perlu atau secara inheren dan membabi-buta,
dianggap sebagai pelanggaran hukum i nternasional mengenai konflik
bersenjata, yang mana senjata, proyektil peluru, dan bahan-bahan
dan metode tersebut secara komprehensif dilarang dan d icantumkan
dalam lampiran Statuta ini melalui amandemen berkaitan dengan
ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 2 1 dan Pasal 1 23;
(xxi) Penghinaan terhadap martabat seseorang , khususnya perlakuan
yang memalukan dan merendahkan; atau
(xxii) Pemerkosaan, perbudakan seksual , pelacuran dan kehamilan secara
paksa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, ayat ke-2 (f), sterilisasi
secara paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang
juga diatur dalam Konvensi Jenewa;
(xxiii) Penggunaan penduduk sipil atau orang yang dilindungi untuk
membuat suatu wilayah militer atau pasukan militer kebal dari operasi
mi liter;
(xxiv) Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap bangunan,
bahan-bahan, unit-unit, alat transportasi , dan personil medis yang
menggunakan tanda pembed a (distinctive emblem) dalam Konvensi

Jenewa sesuai dengan hukum internasional ;


(xxv) Dengan sengaja menggunakan kelaparan penduduk sipil sebagai
metode berperang dengan cara menghentikan persediaan bahan­
bahan yang dibutuhkan mereka untuk bertahan hidup (survival),
termasuk menghalangi bantuan bahan-bahan sebagaimana diatur
dalam Konvensi Jenewa;

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 34
Hukum /nternasional dan Hukum Nasional

(xxvi) Mempekerjakan atau melibatkan anak-anak di bawah umur lima


belas tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan
mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertempuran.

c. Pelanggaran terhadap Common Article 3 dalam Hal Terjadi Konflik


Bersenjata yang Tidak Bersifat lnternasional
Keempat konvensi Jenewa 1 949 memuat substansi yang sama di
dalam Pasal 3 masing-masing konvensi (Article 3 Common to Geneva
Conventionss) itu dianggap memiliki posisi yang unik karena dua hal.
Pertama, karena posisinya itu dianggap sebagai mini-convention atau
convention within the conventions. Kedua, ia juga merupakan satu-satunya
pasal di dalam Konvensi Jenewa yang ditujukan bagi sengketa bersenjata
non-internasional.
Pasal 3 yang berlaku untuk konflik internasional dan non­
internasional ini, memerintahkan para pihak yang bersengketa untuk
memperlakukan semua orang yang tidak aktif atau tidak lagi ikut serta dalam
tindakan permusuhan secara manusiawi tanpa pembedaan yang merugikan
dalam segala keadaan. Dalam kondisi di mana ada lebih banyak konflik
bersenjata non-internasional dari pada konflik bersenjata yang bersifat
internasional , Pasal 3 inilah yang kemudian memainkan peranan penting.
Dengan dasar peran penting itulah subtansi Pasal 3 Konvensi
Jenewa juga dimasukkan sebagai salah satu kategori kejahatan perang di
dalam Statuta Roma Pasal 8. 2 . (c) yang menyatakan bahwa dalam hal
terjadi sengketa bersenjata non-internasional, pelanggaran serius terhadap
Pasal 3 dari keempat Konvensi Jenewa 1 949 juga termasuk sebagai
kejahatan perang, apabila ditujukan terhadap mereka yang tidak lagi
mengambil peran aktif di dalam permusuhan, termasuk anggota angkatan
bersenjata yang telah meletakkan senjata dan mereka menjadi hors de
combat karena sakit, Iuka-Iuka, penahanan atau sebab lain. Pasal 8.2. (c)
kemudian menyebutkan bahwa tindakan pelanggaran itu meliputi hal berikut:
(a) Kekerasan terhadap jiwa dan raga, terutama segala bentuk
pembunuhan, mutilasi , perlakuan kejam dan penyiksaan ;

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam ] 35
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

(b) Kebiadaban atas kehormatan pribadi, khususnya berupa tindakan yang


merendahkan dan menghina martabat;
(c) Penyanderaan;
(d) Penjatuhan hukuman dan pelaksanaan hukuman mati tanpa melalui
putusan pengadilan biasa yang memberi kan jaminan hukum yang
dianggap penting bagi masyarakat yang beradab.
Pasal 8.2. (d) selanjutnya menegaskan bahwa ketentuan d i atas
berlaku bagi sengketa bersenjata non-internasional , namun tidak berlaku
dalam situasi gangguan keamanan internal dan ketegangan di dalam negeri,
seperti kerusuhan, tindak kekerasan yang bersifat sporadis dan terbatas,
serta tindakan lain yang serupa dengan itu .

d. Pelanggaran-pelanggaran Serius terhadap Huku m dan Kebiasaan


yang Berlaku dalam Konflik Bersenjata Non-i nternasional
Selain mengadopsi substansi Pasal 3 Konvensi Jenewa dan
menerapkannya dalam kondisi sengketa bersenjata non-internasional,
Statuta Roma juga mengatur bahwa tindakan-tindakan melanggar hukum
dan kebiasaan yang berlaku dalam sengketa bersenjata non-internasional
juga bisa merupakan kejahatan perang . Selai n itu dinyatakan pula bahwa
ketentuan tersebut berlaku di dalam sengketa bersenjata yang terjadi di
wilayah suatu negara, d i mana terdapat sengketa bersenjata yang
berkepanjangan antara aparat pemerintahan dengan kelompok bersenjata
yang terorganisir atau di atara sesama kelompok bersenjata yang
terorganisir. Tindakan-tindakan tersebut mencakup :
(i) Dengan sengaja melancarkan serangan terhadap penduduk sipil atau
orang sipil yang tidak terlibat langsung dalam peperangan;
(ii) Dengan sengaja menyerang bangunan , material, unit-unit dan
transportasi dan personil medis yang menggunakan tanda pembeda
(distinctive emblems) dalam Konvensi Jenewa sesuai dengan Hukum
lnternasional;
(iii) Dengan sengaja menyerang personil, intalasi-intalasi bangunan, unit­
unit atau kendaraan bantuan kemanusiaan dan misi penjaga

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 36
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

perdamaian sesuai piagam PBB, sepanjang mereka berhak atas


perlindungan yang diberikan sebagai orang sipil atau sasaran sipil
menurut Hukum l nternasional tentang konflik bersenjata;
(iv) Dengan sengaja melakukan penyerangan terhadap tempat-tempat
ibadah, pendidikan, kebudayaan, ilmu pengetahuan, atau amal,
bangunan bersejarah, rumah sakit, dan tempat-tempat di mana orang­
orang yang sakit dan terluka dikumpulkan, sepanjang tempat-tempat itu
bukan untuk keperluan militer;
(v) Merampas kota atau tempat, bahkan dengan penyerangan;
(vi) melakukan pemerkosaan, perbudakan seksual, pelacuran dan
kehamilan secara paksa, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat
(2) (f) , strerilisasi secara paksa, atau bentuk kekerasan seksual lainnya
yang dianggap sebagai pelanggaran berat terhadap Pasal 3 Konvensi
Jenewa;
(vii) Mempekerjakan atau melibatkan ana k-anak di bawah umur lima belas
tahun ke dalam angkatan bersenjata atau menggunakan mereka untuk
turut serta secara aktif dalam pertempuran;
(viii) Memerintahkan pemindahan lokasi penduduk sipil untuk alasan-alasan
yang berkaitan dengan konflik, kecuali untuk alasan keamanan atau
alasan-alasan militer mengharuska nnya;
(ix) Membunuh atau melukai tentara lawan dengan curang;
(x) Menyatakan bahwa tidak akan ada tempat tinggal yang diberikan;
(xi) Mewajibkan orang yang dalam kekuasaan pihak lawan untuk
melakukan pengundungan (multilation) fisik, atau untuk percobaan
medis atau keilmuan apapun yang tidak dibenarkan oleh perawatan
medis, gigi, atau rumah sakit terhadap seseorang, yang dilakukan di
luar kehendak orang tersebut dan menyebabkan kematian atau bahaya
serius terhadap kesehatan orang itu;
(xii) Menghancurkan atau merampas harta benda pihak lawan kecuali
tindakan-tindakan tersebut terpaksa dilakukan demi kepentingan atau
kebutuhan konfl ik;

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam I 37
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

Ketentuan di atas tampaknya sengaja dibuat untuk meyakinkan agar


negara-negara yang ingin menjadi pihak Statuta Roma tidak perlu merasa
kuatir bahwa ICC akan mencampuri urusan dalam negeri . Penegasan yang
senada dengan itu j uga dicantumkan dalam Pasal 8.3. Statuta Roma yang
mengatakan bahwa aturan mengenai kejahatan perang dalam sengketa
bersenjata non-internasional tidak mempengaruhi kewajiban pemerintah
negara untuk menjaga dan menegakkan hukum serta ketertiban atau
kewajiban pemerintah negara untuk mempertahankan kesatuan dan
keutuhan wilayahnya dengan sarana-sarana yang sah.

3. U nsur-unsur Kejahatan Perang


Yang menjadi perhatian dalam tulisan ini adalah unsur-unsur
kejahatan perang dalam bentuk grave breaches terhadap Konvensi Jenewa
yang terjadi dalam sengketa bersenjata internasional (international armed
conflict), dan kejahatan perang dalam sengketa bersenjata yang tidak
bersifat internasional (armed conflict not of an international character) .
Kedua hal tersebut telah diadopsi dalam Pasal 8 ayat (2) (a) d a n Pasal 8
ayat (2) (c) Statuta Roma.
Di samping grave breaches, terdapat j uga kejahatan-kejahatan
lainnya yang dikategorikan sebagai pelanggaran ringan (simple breaches)
yang terdapat dalam berbagai instrumen hukum internasional. Namun
kejahatan perang yang diuraikan dalam tul isan ini adalah dalam bentuk
grave breaches terhadap Konvensi Jenewa 1 949.
Pasal 50 KJ I; Pasal 51 KJ II; Pasal 1 30 KJ I l l dan Pasal 1 47 KJ IV
menentukan kejahatan-kejahatan yang termasuk dalam kategori grave
breaches. Terhadap setiap bentuk grave breaches harus dilakukan
identifikasi untuk memperjelas dan menjamin ketepatan perum usan norma,
pemidanaan dan tindakan dari ketentuan-ketentuan tersebut ke dalam
hukum pidana nasional setiap negara.
Unsur-unsur tindak pidana yang berlaku umum dalam setiap grave
breaches Konvensi Jenewa 1 949 meliputi :

J U RNAL H U KUM H U MANITER, Vol . I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 38
Hukum lntemasional dan Hukum Nasional

a. Orang atau orang-orang atau harta benda tersebut dilindungi


berdasarkan satu atau lebih Konvensi Jenewa;
b. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
c. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
d. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa i nternasional.

a. Pasal 8 ayat (2) (a) (i) Statuta Roma: Pem bunuhan dengan sengaja
(wilful killing)
lstilah wilful killing semula terdapat dalam Pasal 50 KJ I ; Pasal 5 1 KJ
I I ; Pasal 1 30 KJ 111 dan Pasal 1 4 7 KJ IV. lstilah pembunuhan (killing)
digunakan secara bergantian dengan istilah menyebabkan kematian
(caused death) . Oleh karenanya, kedua istilah itu mengand ung unsur-unsur
tindak pidana yang serupa.
Unsur-unsur kejahatan perang dalam perumusan "pembunuhan
dengan sengaja" meliputi :
a. Pelaku membunuh seseorang atau beberapa orang;
b. Orang-orang-orang yang dibunuh tersebut dilindungi berdasarkan satu
atau lebi h Konvensi Jenewa 1 949;
c. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
d. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
e. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 39
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

b. Pasal 8 ayat (2) (a) (ii) Statuta Roma: Penyiksaan atau perlakuan
tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologis (Torture or
inhuman treatment, including biological experiments)
Pada rumusan ini terdapat tiga unsur tindak pidana, yaitu penyiksaan
(torture), perlakuan tidak manusiawi (inhuman treatment) dan eksperimen
biologis (biological experiments).
Unsur tindak pidana "penyiksaan" meliputi :
a. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap seseorang atau beberapa orang;
b. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan untuk tujuan mendapatkan
informasi atau suatu pengakuan, peng hukuman, i ntimidasi atau
pemaksaan atau suatu alasan berdasarkan diskriminasi dalam bentuk
apapun;
c. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
d. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
e. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
f. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
Unsur tindak pidana "perlakuan tidak manusiawi" meliputi :
a. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik atau mental yang berat
terhadap seseorang atau beberapa orang ;
b. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
c. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
d. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
e. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

J URNAL H U KUM H UMANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 40
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

Unsur tindak pidana "eksperimen biologis" meliputi:


a. Pelaku menjadikan seseorang atau beberapa orang sebagai eksperimen
biologis tertentu;
b. Eksperimen tersebut sangat membahayakan kesehatan atau mental
atau integritas dari orang atau orang-orang tersebut;
c. Maksud dari eksperimen tersebut bukan untuk mengobati dan tidak
dibenarkan secara medis atau dilaksanakan untuk kepentingan orang
atau orang-orang tersebut;
d. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
e. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
f. Tindakan tersebut terjad i dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
g. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

c. Pasal 8 ayat (2) (a) (iii) Statuta Roma: Dengan sengaja menyebabkan
penderitaan berat, atau Iuka berat terhadap tubuh atau kesehatan
(wilfully causing great suffering, or serious injury to body or health)
lstilah "dengan sengaja menyebabkan penderitan berat, atau Iuka
berat terhadap tubuh atau kesehatan" terdapat dalam Pasal 50 KJ I ; Pasal
51 KJ I I ; Pasal 1 30 KJ I l l dan Pasal 1 47 KJ IV, unsur-unsurnya meliputi :
1. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik atau mental yang
berat, atau I uka berat terhadap tubuh atau kesehatan seseorang atau
beberapa orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;

J U RNAL H U KUM H U MANITER, Vol I , N o . 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 141
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang


menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

d. Pasal 8 ayat (2) (a) (iv) Statuta Roma: Penghancuran yang luas dan
pengambilalihan harta benda, yang tidak d ibenarkan dari segi
kepentingan m i l iter dan dilakukan secara sengaja dan m elawan
hukum (Extensive destruction and appropriation of property, not
justified by military necessity and carried out unlawfully and
wantonly)
Kejahatan ini merupakan pelanggaran berat (grave breaches)
menurut Pasal 50 KJ I ; Pasal 5 1 KJ I I ; dan Pasal 1 47 KJ IV, yang unsur­
unsurnya meliputi :
1 . Pelaku menghancurkan atau mengambil-alih harta benda tertentu;
2. Penghancuran atau pengambilalihan tersebut tidak dibenarkan menurut
kepentingan militer;
3. Penghancuran atau pengambilalihan tersebut secara meluas dan
dilakukan dengan sengaja;
4. Harta benda tersebut dilindungi menurut satu atau lebih Konvensi Jenewa
1 949;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
6. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
7. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

e. Pasal 8 ayat (2) (a) (v) Statuta Roma: Memaksa seorang tawanan
perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas pada suatu
penguasa angkatan perang m usah ( Compelling a prisoner of war or
other protected person to serve in the force of a hostile Power)
Kejahatan ini terdapat dalam Pasal 1 30 KJ I l l ; dan Pasal 1 47 KJ IV,
dengan unsur-unsur yang meliputi :

JURNAL H U KUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 42
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

a. Pelaku memaksa seseorang atau beberapa orang , dengan tindakan


atau ancaman, untuk terli bat dalam operasi militer melawan negaranya
atau angkatan perangnya sendiri atau berdinas pada angkatan perang
suatu pihak yang berm usuhan;
b. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
c. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
d. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
e. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata;

f. Pasal 8 ayat (2) (a) (vi) Statuta Roma: Dengan sengaja


mengesampingkan hak seorang tawanan perang atau orang lain yang
dilindungi akan haknya atas peradilan yang jujur dan teratur ( Wilfully
depriving a prisoner of war or other protected person of the rights of
and regular trial)
Menurut Pasal 1 30 KJ I l l dan Pasal 1 47 KJ IV, kejahatan ini
merupakan suatu pelanggaran berat (grave breaches}, dengan unsur­
unsurnya yang meliputi :
1 . Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata i nternasional ;
2. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 43
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

g. Pasal 8 ayat (2) (a) (v) Statuta Roma: Memaksa seorang tawanan
perang atau orang lain yang dilindungi untuk berdinas pada suatu
pada suatu Penguasa angkatan perang m usuh ( Compelling a
prisoner of war or other protected person to serve in the force of a
hostile Power)
Kejahatan ini terdapat dalam Pasal 1 30 KJ I l l ; dan Pasal 1 47 KJ IV.
Unsur-unsurnya meliputi :
1. Pelaku memaksa seseoranag atau beberapa orang, dengan tindakan
atau ancaman , untuk terlibat dalam operasi militer melawan negaranya
atau angkatan perangnya send iri atau berdinas pada angkatan perang
suatu pihak yang berm usuhan;
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional.
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata .

h. Pasal 8 ayat (2)(a)(vi) Statuta Roma: Dengan sengaja


mengesampingkan hak seorang tawanan perang atau orang lain
yang di lindungi akan haknya atas peradi lan yang j ujur dan teratur
( Wilfully depriving a prisoner of war or ather protected person of the
rights of fair and regular trial)
Kejahatan ini merupakan suatu pelanggaran barat (grave breaches)
menurut Pasal 1 30 KJ I l l dan Pasal 1 47 KJ IV. Unsur-unsur dalam kejahatan
perang "menolak suatu peradilan yang jujur " meliputi :
1. Pelaku mengesampingkan peradilan yang jujur dan teratur terhadap
seseorang atau beberapa orang dengan menolak jaminan hukum
sebagaimana ditentukan dakam Konvensi Jenewa I l l dan IV;

JURNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 44
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih


Konvensi Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut ;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

i. Pasal 8 ayat (2) (a) (vii) Statuta Roma: Deportasi atau pem i ndahan
secara m elawan hukum atau pengurungan secara m elawan h ukum
(Unlawful deportation or transfer or unlawful confinement)
Terdapat dua kategori kejahatan perang dalam rumusan pasal ini,
yaitu "deportasi atau pemindahan secara melawan hukum" dan
"pengurungan secara melawan hukum" yang keduanya diatur dalam Pasal
1 47 KJ IV. Unsur-unsur dalam kejahatan perang "deportasi atau
pemindahan secara melawan hukum" meliputi :
1. Pelaku mengusir atau memindahkan seseorang atau beberapa ke
negara lain atau ke tempat lain;
2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih
Konvensi Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

Unsur-unsur dalam kejahatan perang "pengurungan secara melawan


hukum" meliputi:
1. Pelaku mengurung atau terus mengurung seseorang atau beberapa
orang di suatu tempat tertentu;

JURNAL HU KUM H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 45
Hukum lntemasional dan Hukum Nasional

2. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
5. Pelaku menyadari tentang keadan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

j. Pasal 8 ayat (2) (a) (viii) Statuta Roma: Penyanderaan (taking of


hostages)
Kejahatan ini merupakan suatu pelanggaran berat (grave breaches)
menurut Pasal 1 47 Konvensi Jenewa IV. Unsur-unsur dalam kejahatan
perang penyanderaan meliputi :
1. Pelaku menangkap, menahan atau menyandera seseorang atau
beberapa orang;
2. Pelaku mengancam untuk membunuh, melukai atau terus menahan
orang atau orang-orang tersebut;
3. Pelaku bermaksud memaksa suatu negara, suatu organisasi
internasional, seseorang atau suatu badan hukum atau sekelompok
orang untuk bertindak atau tidak melakukan tindakan sebagai suatu
persyaratan yang tegas bagi keselamatan atau pelepasan seseorang
atau orang-orang tersebut;
4. Orang atau orang-orang tersebut dilindungi oleh satu atau lebih Konvensi
Jenewa 1 949;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status perlindungan tersebut;
6. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata internasional;
7. Pelaku menyadari tentang keadan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 46
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

k. Pasal 8 ayat (2) (c) (i) Statuta Roma: Kekerasan terhadap j iwa dan
raga, terutama setiap bentuk pem bunuhan, pengudungan, perlakuan
kejam dan pengan iayaan.
Terdapat empat bentuk kejahatan perang dalam Pasal ini, yaitu
segala bentuk pembunuhan; pengudungan (mutilasi); perlakuan kejam dan
penganiayaan. U nsur-unsur tindak pidana pembunuhan dalam Pasal 8 ayat
(2) (c) (i) Statuta Roma, yaitu:
1 . Pelaku membunuh seseorang atau beberapa orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­
orang sipil, petugas kesehatan, atau petuas rohaniawan yang tidak i kut
dalam permusuhan;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional ;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata;
Unsur-unsur tindak pidana pengudungan (mutilasi) dalam Pasal 8
ayat (2) (c) (i) Statuta Roma, meliputi:
1. Pelaku melakukan mutilasi terhadap seseorang atau beberapa orang,
terutama dengan mengambil atau memotong-motong secara permanen
tubuh seseorang atau beberapa orang, atau dengan membuat cacat atau
memindahkan suatu organ atau anggota tubuh secara tetap;
2. Tindaka n tersebut tidak dibenarkan baik menurut tindakan medis, gigi
atau rumah sakit terhadap orang atau orang-orang yang bersangkutan
maupun dilaksanakan bukan untuk kepentingan orang atau orang-orang
tersebut;
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­
orang sipi l , petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
4. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;

J U RNAL H U K U M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam I 47
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

5. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu


sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional;
6. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
Unsur-unsur tindak pidana perlakuan kejam dalam Pasal 8 ayat (2)
(c) (i) Statuta Roma meliputi:
1 . Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik dan mental yang berat
terhadap seseorang atau beberapa orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­
orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
4. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.
Unsur-unsur tindak pidana penganiayaan dalam Pasal 8 ayat (2) (c)
(i) Statuta Roma meliputi:
1. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan fisik dan mental yang berat
terhadap seseorang atau beberapa orang;
2. Pelaku menyebabkan sakit atau penderitaan untuk tujuan mendapatkan
informasi atau suatu pengakuan, penghukuman, i ntimidasi atau
memaksakan atau untuk suatu alasan berdasarkan diskriminasi dalam
bentuk apapun;
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­
orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
4. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
5. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional ;

J U RNAL H U KUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 48
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

7. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang


menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

I. Pasal 8 ayat (2) (c) (ii) Statuta Roma: Perkosaan atas kehormatan
pribadi , terutama perlakuan yang mengh inakan dan merendahkan
martabat.
1. Pelaku menghinakan , merendahkan atau melanggar martabat
seseorang atau beberapa orang;
2. Penghinaan, perendahan atau pelanggaran tersebut sedemikian berat
sehingga secara umum diakui sebagai suatu perkosaan terhadap
martabat pribadi ;
3. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­
orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
4. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
5. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional;
6. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

m. Pasal 8 ayat (2) (c) (iii) Statuta Roma: Penyanderaan


Pelaku menangkap, menahan atau menyandera seseorang atau
beberapa orang;
1. Pelaku mengancam untuk membunuh, melukai atau terus menahan
seseorang atau orang-orang tersebut;
2. Pelaku bermaksud untuk memaksa suatu negara, suatu organisasi
internasional , seseorang atau suatu badan hukum atau sekelompok
orang-orang untuk bertindak atau tidak melakukan tindakan sebagai
suatu persyaratan yang tegas atau implisit bagi keselamatan atau
pelepasan orang atau orang-orang tersebut.

JURNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 49
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

4. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­


orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
5. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
6. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional ;
7. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

n. Pasal 8 ayat (2) (c) (iv) Statuta Roma: Penjatuhan hukuman atau
melaksanakan eksekusi tanpa putusan terlebih dahu l u yang
dijatu hkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara normal,
yang mem berikan sem ua jaminan perad ilan yang diakui sebagai
keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.
Unsur-unsur tindak pidana kejahatan perang "penjatuhan hukuman
atau eksekusi tanpa proses hukum yang benar'' ini meliputi :
1. Pelaku menjatuhkan hukuman atau eksekusi seseorang atau beberapa
orang;
2. Orang atau orang-orang tersebut baik hors de combat, ataupun orang­
orang sipil, petugas kesehatan, atau petugas rohaniawan yang tidak ikut
dalam permusuhan;
3. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadaan sebenarnya yang
menentukan status tersebut;
4. Tidak ada suatu putusan pengadilan terlebih dahulu, atau pengadi lan
yang mengeluarkan putusan tidak dibentuk secara normal, dalam arti ,
pengadilan itu tidak memberikan jaminan peradi lan yang bebas dan tidak
memihak, atau pengadilan yang menjatuhkan putusan tidak memberikan
semua jaminan peradilan lainnya yang diakui secara umum sebagai
keharusan menurut hukum internasional ;

J U RNAL HUKUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 50
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

5. Pelaku menyadari tidak adanya suatu putusan sebelumnya atau


pengabaian jaminan-jaminan yang relevan dan fakta-fakta yang sangat
penting atau keharusan dalam pengadilan yang jujur.
6. Tindakan tersebut terjadi dalam konteks atau berkaitan dengan suatu
sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional;
7. Pelaku menyadari tentang keadaan-keadan sebenarnya yang
menentukan adanya suatu sengketa bersenjata.

4. Pengaturan dalam Hukum Pidana Nasional


a. Hukum Pidana Umum
I ndonesia tidak memasukkan kejahatan perang dalam Undang­
undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai yurisdiksi
dari pengadilan HAM. Bila dilihat dari bentuk tekstual legalnya, undang­
undang ini dapat dikatakan sebagai bentuk "ratifikasi" dari Statuta Roma,
meskipun hanya mengadopsi dua dari empat kejahatan internasional yang
diatur dalam Statuta Roma. Kedua kejahatan tersebut adalah Kejahatan
terhadap Kemanusiaan dan Genosida.
Undang-undang tersebut secara eksplisit menghormati kaidah hukum
internasional dalam pengklasifikasian tindak pidananya atas kemerdekaan
atau kebebasan fisik seseorang , namun tidak dicantumkannya kejahatan
perang sebagai salah satu yurisdiksinya ternyata telah menjadi masalah
tersendiri . Dalam konflik bersenjata non-internasional dapat saja terjadi
pel anggaran terhadap pihak-pihak yang dilindungi , yang menurut Pasal 3
Konvensi Jenewa 1 949 dikategorikan sebagai pelanggaran berat apabila
ditujukan terhadap mereka yang tidak lagi mengambil peran aktif di dalam
permusuhan, termasuk anggota angkatan bersenjata yang telah meletakkan
senjata dan mereka menjadi horst de combat karena sakit, Iuka-Iuka,
penahanan atau sebab lain. Meskipun pelaku pelanggaran telah memenuhi
unsur dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1 949, mereka tidak dapat dituntut
menurut ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.

J U RNAL HUKUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 151
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

b. Hukum Pidana Militer


Penerapan hukum perang dalam Hukum Pidana Mi liter tercermin
dalam Pasal 32 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUH PM), yang
menyatakan bahwa:
"Tidak dipidana, barang siapa dalam waktu perang, melakukan suatu
tindakan, dalam batas kewenangannya dan diperbolehkan oleh
peraturan-peraturan dalam hukum perang , atau yang pemidanaannya
akan bertentangan dengan suatu perjanjian internasional yang
berlaku antara I ndonesia dengan negara lawan I ndonesia berperang
atau dengan suatu peraturan yang ditetapkan sebagai kelanjutan dari
perjanjian tersebut".

Dalam ketentuan ini batas kewenangan seseorang diselaraskan


dengan hal-hal yang diperbolehkan dalam Konvensi Jenewa 1 949.
Peniadaan pidana ditujukan kepada orang-orang tertentu yang
diperbolehkan melakukan suatu tindakan kepada pihak lain dalam waktu
perang. Pengertian umum Pasal 58 KU H PM menegaskan bahwa dalam
waktu perang adalah sejak satuan militer di perintahkan oleh penguasa
militer untuk turut serta dalam ekspedisi militer, atau untuk memberantas
sesuatu kekuatan yang bersifat bermusuhan atau untuk memelihara
kenetralan negara, atau untuk melaksanakan suatu permintaan bantuan
militer dari penguasa yang berhak dalam hal terjadi suatu gerakan
pengacauan, sampai dengan berakhirnya tugas tersebut.
Kejahatan perang yang di atur dalam instrumen hukum humaniter
internasional, khususnya Pasal 3, belum diakomodasikankan secara
memadai dalam KUHPM. Kejahatan yang diatur dalam KUHPM kebanyakan
adalah kejahatan yang dilakukan oleh militer atau seseorang di waktu
perang dan belum mengatur secara spesifik tentang kejahatan perang.
Meskipun demikian ada beberapa pasal yang relevan dengan hukum
humaniter yaitu :
a. Kejahatan terhadap Keamanan Negara
1 ) Pasal 67 KUHPM tentang kegiatan mata-mata, ketentuan ini berkaitan
dengan Pasal 29 dan Pasal 30 the Hague Regulations 1 907;
2) Pasal 68 KU H PM tentang tawanan perang yang melarikan diri yang
relevan dengan ketentuan Konvensi Jenewa I l l tahun 1 949;

J URNAL HUKUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 52
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

3) Pasal 69 KU H PM tentang pelanggaran perjanjian/persyaratan oleh


l nterniran. Pasal ini berkaitan dengan ketentuan dalam Pasal 5
Konvensi Den Haag V yang menentukan bahwa suatu negara netral
tidak boleh memihak dan tidak boleh membiarkan negaranya dipakai
oleh salah satu pihak yang berperang untuk kepentingan operasi militer
mereka, dan ketentuan dalam Pasal 1 1 Konvensi Den Haag V yang
memberi kekuasaan kepada negara netral untuk menginternir militer dari
pihak beligerent.

b. Kejahatan dalam Melaksanakan Kewajiban dalam Peperangan


1 ) Pasal 73 KUHP tentang menyerahkan tempat atau pos kepada musuh.
Tindakan menyerah yang dilarang dan diancam pidana dalam pasal ini,
yaitu apabila tindakan menyerah tersebut mengabaikan kewajibannya.
Namun tindakan menyerah adalah suatu perbuatan yang diperbolehkan
menurut hukum internasional;
2) Pasal 74 KUHPM tentang Menyerah tanpa ada perintah yang tegas,
ketentuan ini berkaitan dengan hukum perang yang menetapkan tentang
pejabat yang memiliki kewenangan untuk melaksanakan penyerahan;
3) Pasal 78 KUH PM tentang tidak mentaati perintah atasan yang
berwenang di waktu perang. Pasal ini tidak membedakan perintah yang
sah dengan perintah yang melawan hukum. Ketentuan dalam pasal ini
berkaitan dengan prinsip Nuremberg, yang menegaskan bahwa:
"Seseorang yang melakukan tindakan kejahatan menurut hukum
internasional sesuai dengan perintah pemerintah atau atasannya tidak
melepaskan dirinya dari tanggung jawab menurut hukum i nternasional",
namun dalam Pasal 48 KU H P disebutkan bahwa tindakan bawahan
menolak perintah untuk melakukan kejahatan dilindungi;
4) Pasal 80 KUHPM tentang kesengajaan melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan suatu ketentuan yang telah diadakan dalam
perjanjian atara I ndonesia dengan negara lawan berperang . Perjanjian
tersebut mencakup konvensi internasional yang mengikat kedua negara,
dan hanya berlaku bila pihak-pihak yang terlibat menjadi peserta

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I, No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam I 53
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

konvensi . Ketentuan seperti ini sudah ditinggalkan dengan adanya


ketentuan yang diatur dalam Pasal 2 Konvensi Jenewa I tahun 1 949;
5) Pasal 81 KUHPM tentang militer yang dengan sengaja mengambil suatu
barang yang d itentukan tidak termasuk rampasan perang, tanpa maksud
untuk dengan melawan hukum memiliki barang itu. Ketentuan mengenai
barang rampasan perang terdapat dalam the Hague Regulations 1 907
dan Konvensi Jenewa 1 949 yang meliputi:
a) barang pribadi musuh bukan rampasan perang dan tidak boleh
dirampas;
b) barang pribadi musuh bukan rampasan perang tetapi dapat dirampas;
c) barang bergerak milik pribadi di daerah musuh yang ditaklukkan yang
tidak bisa digunakan sebagai sarana perang tidak boleh disita;
d) barang bergerak milik pribadi di daerah musuh yang ditaklukkan yang
dapat digunakan sebagai sarana perang dapat diambil , tetapi bila
perang selesai harus dikembalikan;
e) barang pribadi musuh yang ada di daerah sendiri (daerah penakluk)
tidak boleh disita/d iambil;
f) barang-barang publik, baik bergerak maupun tidak bergerak tidak
boleh dirampas;
g) barang-barang tidak bergerak milik negara m usuh tidak boleh
dirampas, kecuali dengan aneksasi.

6) Pasal 82 KUHPM tentang militer yang dengan sengaja bertentangan


dengan hukum merusak suatu perjanjian yang diadakan dengan musuh.
Perjanjian ini dibuat oleh pimpinan tertinggi dari negara yang membuat
perjanjian, dapat berupa gencatan senjata penghentian peperangan
sementara, kapitulasi, pembebasan atau pertukaran tawanan perang.
Hubungan pasal ini dengan the Hague Regulations adalah jika
pemerintah berperan dalam pelanggaran terhadap suatu perjanjian
penghentian perm usuhan, tindakan tersebut merupakan kejahatan
internasional.

J U RNAL H U KU M H U MANITER, Vol. I , N o . 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 54
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

c. Kejahatan terhadap Keharusan Dinas


Diatur dalam Pasal 1 38 KU H PM tentang larangan melakukan
kekerasan kepada orang mati, sakit atau Iuka dalam peperangan yang
termasuk pada angkatan perang dari salah satu pihak yang berperang,
semua orang yang bekerja, berada dalam hubungan dinas, atau dengan
persetujuan penguasa militer menyertai/mengikuti angkatan perang . Pasal
ini berkaitan dengan perlindungan terhadap korban perang yang diatur
dalam Konvensi Jenewa I , 11, I l l dan IV tahun 1 949, namun ketentuan ini
masih mengacu pada kekerasan dalam sengketa bersenjata internasional,
dan belum mencakup kekerasan dalam sengketa bersenjata non
internasional.

C. Penutup
Upaya memformulasikan kejahatan-kejahatan internasional dewasa
ini terbukti bermanfaat pada saat masyarakat i nternasional menanggapi
tragedi di bekas Yugoslavia dan Rwanda dengan membentuk Mahkamah
Pidana l nternasional Ad hoc. Hal yang sama terjadi pula ketika pada
akhirnya negara-negara menyatakan persetujuan untuk membentuk suatu
mahkamah pidana internasional permanen berdasarkan Statuta Roma 1 998.
Sebagai suatu ketentuan pidana kategori-kategori kejahatan yang
dimuat dalam Statuta Roma 1 998 telah dirumuskan secara tepat, jelas, dan
tidak bersifat multi interpretatif, meskipun institusionalisasi kategori-kategori
kejahatan internasional tersebut tidak selalu dibarengi oleh pemahaman
yang akurat di masyarakat, namun rumusan kejahatan perang yang diatur
dalam Statuta Roma, yang merupakan hasil negosiasi cukup panjang dan
produk kompromi dari para ahli hukum militer, hukum HAM dan hukum
pidana d ari neg ara-negara anggota PBB atau m asyarakat i nternasional,

telah merangkum semua kejahatan-kejahatan perang yang terdapat dalam


berbagai instrumen hukum internasional .
Ketentuan tentang pertahanan negara menegaskan beberapa pri nsip
sebagai dasar disusunnya pertahanan negara di antaranya adalah prinsip
HAM, lingkungan hid up, ketentuan hukum nasional , hukum internasional

J U RNAL H U KUM H U MANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur dalam 1 55
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

dan kebiasaan internasional, serta prinsip hidup berdampingan secara


damai. Selanjutnya dalam ketentuan yang mengatur Tentara Nasional
Indonesia (TN I) terdapat arahan mengenai lingkup permasalahan yang
harus dipertim bangkan dalam perumusan dan pembentukan hukum militer
termasuk hukum pidana militer, karena KU H PM yang berlaku saat ini belum
memasukkan kejahatan-kejahatan berat yang diatur dalam hukum
humaniter internasional, hukum kebiasaan internasional dan hukum hak
asasi manusia serta kejahatan dalam hukum lingkungan hidup sebagai
bahan pertimbangan dalam perumusan norma, pidana, dan tindakan.
Namun adopsi kejahatan perang ke dalam hukum pidana nasional
memerlukan kecermatan untuk menentukan prioritas, relevansi dan
konsistensi dengan kepentingan nasional, sejauh hal itu tidak bertentangan
dengan hukum internasional yang berlaku.

JURNAL H U KUM HUMANITER, Vol. I , No. 1


Kejahatan Perang yang Diatur da/am 1 56
Hukum lnternasional dan Hukum Nasional

DAFTAR PUSTAKA

Black, Henry Campbel l , Black's Law Dictionary, St. Paul, Minnessota: West
Publishing Co. , 1 990.
E.Y. Kanter dan S . R . Sianturi , Hukum Pidana Militer di Indonesia, J akarta:
Alumni AHM-PTHM, 1 98 1 .
F. Sugeng l stanto, Penerapan Hukum Humaniter lnternasional pada Orang
Sipil dan Perlindungan dalam Pertikaian Bersenjata, Makalah dalam
Seminar Nasional tentang Peranan Palang Merah l nternasional
dalam Pertikaian Bersenjata Non-lnternasional, Ujung Pandang, 1 2-
1 3 Maret 1 997.
F. Sugeng l stanto, Bunga Rampai Hukum Humaniter, Jakarta: Bumi
Nusantara J aya, 1 988.
Gasser, H ans-Peter, International Humanitarian Law. An Introduction",
Separete print from Hans Haug, Humanity for All , I nternational Red
Cross and Red Crescent Movement, Henry Dunant Institute, Haupt,
1 993.
Green, N .A. Maryam, International Law, Law of Peace, London: Mac Donald
dan Evans Ltd . , 1 973.
GPH. Haryomatara m , Hukum Humaniter, Jakarta: CV Rajawali, 1 984.
GPH. Haryomataram, Sekelumit tentang Hukum Humaniter, Jakarta:
Sebelas Maret University Press, 1 994.
Kalshoven, First dan Liesbeth Zegveld , Constraint on the Waging of War,
Geneva : ICRC, 2001 .
Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam
Aceh, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti , 1 990.
Schermers, Henry G, International Institutional Law, Sijthoff dan Noordhoff,
Alphen aan den Rijn, 1 980.
Singh, Simi, "The Future of International Criminal Law: The I nternational
Criminal Court (ICC)", Touro International Law Reviewi vol. 1 0,
Spring, 2000.
Starke, J . G . , Pengantar Hukum lnternasional, Jakarta: Sinar Grafika , 2000.
Steiner, Henry J. dan Philip Alston, International Human Rights in Contex:
Law, Politics, Morals, Oxford: Claredon Press, 1 996.
Additional Protokol to the 1949 Geneva Conventions, 1977.
ICC Rules of Procedure and Evidence, 1 998.
Rome Statute, 1998.
Statute of the ICTY, 1 993.
Statute of the /CTR, 1 994.
UN General Assembly, Resolution 52 1 6 (Lil), 52nd session, Official
Records, Supplement 49, UN Doc A/5249 (199 7).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM .

J URNAL H U KUM H U MANITER, Vol. I, No. 1

Anda mungkin juga menyukai