Anda di halaman 1dari 23

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.

id

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Medis

1. Gangguan Sistem Reproduksi

Reproduksi sehat adalah keberhasilan melaksanakan fungsi

produksi, mengatur, dan memelihara kehamilan menuju well born baby–

well health mother, serta untuk mempertahankan keharmonisan keluarga

(Thobroni dan Munir, 2010).

Menurut WHO, kesehatan reproduksi ialah suatu keadaan dimana

proses reproduksi terjamin dalam hal fisik secara keseluruhan, mental

maupun sosial serta terhindar dari penyakit atau kelainan sistem

reproduksi (Sadli, 2010).

2. Menstruasi

a. Pengertian

Haid atau menstruasi merupakan bagian dari siklus bulanan

seorang wanita yang ditandai dengan luruhnya jaringan endometrium

pada wanita yang tidak hamil melewati serviks dan keluar melalui

vagina (Salvo, 2009).

b. Gangguan Menstruasi

Wanita-wanita yang sedang mengalami perdarahan haid

biasanya mengeluhkan gejala-gejala yang terjadi dalam dua hari

pertama. Gejala fisik yang paling umum adalah rasa tidak nyaman,

nyeri, dan kembung di daerah perut, rasa tertekan pada daerah


commit to user

6
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
7

kemaluan, serta dismenore. Rasa sakit ini bisa terjadi pada salah satu

sisi abdomen dan dapat pula dirasakan pada sisi lain pada waktu yang

berbeda (Hendrik, 2006).

Ada macam-macam gangguan menstruasi pada wanita, seperti

hipermenore (menoragia), hipomenore, polimenore, oligomenore,

amenore, menometroragia, dismenore, dan sindroma prahaid

(Prawirohardjo, 2011).

3. Dismenore

Kata dysmenorrhea berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “dys” yang

berarti gangguan dan “menorrhea” yang berarti aliran haid. Maka

dismenore berarti rasa sakit selama atau ketika akan menstruasi (Vij,

2005).

Dismenore dapat didefinisikan sebagai terjadinya nyeri dan kram

selama haid yang dapat mengganggu aktivitas normal dan membutuhkan

penanganan lebih atau pengobatan secara medis (Callahan dan Caughey,

2013).

Dismenore dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu dismenore primer

(spasmodik) dan dismenore sekunder.

a. Dismenore Primer

Dismenore primer adalah nyeri haid tanpa disertai kondisi

patologi panggul. Hal ini berhubungan dengan siklus ovulasi dan

disebabkan oleh kontraksi miometrium sehingga terjadi iskemia akibat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
8

adanya prostaglandin yang diproduksi oleh endometrium fase sekresi

(Prawirohardjo, 2011).

Terjadinya dismenore primer biasanya dimulai pada saat

seorang wanita berumur 2-3 tahun setelah menarche dan mencapai

puncaknya pada usia 15 dan 25 tahun. Frekuensi nyeri menurun sesuai

dengan pertambahan usia dan biasanya berhenti setelah melahirkan

(Hendrik, 2006).

b. Dismenore Sekunder

Dismenore sekunder adalah nyeri haid yang berhubungan

dengan berbagai keadaan patologis pada organ genitalia, misalnya

endometriosis, adenomiosis, mioma uteri, stenosis serviks, penyakit

radang panggul, perlekatan panggul, atau irritable bowel syndrome

(Prawirohardjo, 2011).

4. Dismenore pada Mioma Uteri dan Kistoma Ovarii

a. Pengertian

Leimioma adalah tumor jinak yang berbatas tegas. Nama

lainnya untuk tumor ini ialah fibroid, mioma, fibroma, dan

fibromioma. Umumnya tumor ini terdiri dari otot polos dan sebagian

jaringan fibrosa (Price dan Wilson, 2005).

Kista indung telur adalah rongga berbentuk kantung berisi

cairan di dalam jaringan ovarium. Kista tersebut disebut juga kista

fungsional (Yatim, 2008).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
9

b. Klasifikasi

Mioma uteri berasal dari miometrium dan klasifikasinya dibuat

berdasarkan lokasinya (Prawirohardjo, 2011), terdiri atas :

1) Mioma submukosa, menempati lapisan di bawah endometrium dan

menonjol ke dalam (kavum uteri)

2) Mioma intramural, berkembang di antara miometrium

3) Mioma suberosa, tumbuh di bawah lapisan serosauterus dan dapat

bertumbuh ke arah luar dan juga bertangkai.

Gambar 4.1 Leimioma. Pada rahim tampak whorl-like appearance dan

lokasi mioma.

Sumber : Chistensen dan Kockrow, 2011

Kebanyakan kista yang ditemukan adalah kista fungsional yang

dibagi menjadi 4, yaitu kista folikuler, kista korpus luteum, kista teka

lutein, dan polikistik ovarium (Yatim, 2008).

Endometriosis pada ovarium juga menyebabkan kista yang

dikenal dengan kista coklat (Manuaba 2010).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
10

c. Etiologi

Seperti dijelaskan sebelumnya, adanya gangguan pada daerah

panggul berkaitan erat dengan terjadinya dismenore sekunder. (Chin,

dkk, 2013).

Mioma dan tumor jinak ovarium juga sering menimbulkan

perubahan pola haid atau nyeri abdomen bawah (Datta, dkk dan

Manuaba, 2005).

Penyebab pasti mioma belum diketahui secara pasti. Mioma

jarang sekali ditemukan sebelum usia pubertas, sangat dipengaruhi

oleh hormon reproduksi, dan hanya bermanifestasi selama usia

reproduktif (Prawirohardjo, 2011).

Penyebab utama kista juga belum diketahui pasti. Kista

ovarium dapat muncul secara normal secara normal selama siklus

menstruasi dan hilang sendirinya sebelum memasuki siklus menstruasi

berikutnya (Mardiana, 2010).

d. Patofisiologi

Hormon prostaglandin akan meningkat saat menstruasi. Faktor

yang menyebabkan nyeri ketika itu antara lain kontraksi spasme otot

uterus atau kelainan vaskular. Adanya bekuan menstruasi juga

menyebabkan nyeri karena terdapat obstruksi aliran dan peningkatan

tekanan intrauterin sehingga terjadi dismenore (Nugroho, 2006).

Pada dismenore sekunder keadaan hormonal saat menstruasi

sangat berpengaruh terhadap keberadaan penyakit ginekologis yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
11

diderita seperti inflamasi pelvis, endometriosis, adenomiosis, tumor

pelvis (fibroid), polip, AKDR, stenosis serviks atau vagina, dll

(Nugroho, 2006).

Terjadinya gangguan pada keseimbangan hormon estrogen dan

progesteron menyebabkan gangguan pola menstruasi, termasuk

dismenore pada penderita mioma maupun tumor jinak ovarium (kista).

Pembesaran ukuran tumor menimbulkan rasa tertekan pada abdomen

(Manuaba, 2010).

e. Faktor Predisposisi dan Faktor Risiko

Faktor terjadinya dismenore sekunder dapat dipengaruhi

keadaan bagian dalam cavum maupun lapisan otot dan luar rahim

(Misrha dan Sinha, 2014), berupa:

1) Endometriosis

2) Intramural

a) Adenomiosis

b) fibroid

3) Intrauterine

a) Fibroid submukosa

b) Polip

c) Penggunaan IUD

d) Stenosis serviks

e) Infeksi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
12

Mioma atau fibroid banyak ditemukan pada wanita

berumur lebih dari 50 tahun atau pasca menopause, begitu pula

pada kista. Hal tersebut terkait dengan perubahan hormon dalam

tubuh. Demikian pula risiko meningkat pada wanita yang

menjalani terapi sulih hormon (Mardiana, 2010).

Wanita terlalu gemuk (obesitas), tidak memiliki keturunan,

tidak menikah, dan faktor genetik serta pola hidup yang kurang

diperhatikan dapat meningkatkan risiko terkena tumor jinak

(Mardiana, 2010).

f. Keluhan Subyektif

Berbeda dengan dismenore primer, keluhan nyeri haid dengan

penyerta biasa terjadi pada usia lewat 20 atau 30 tahun. Penderita

dismenore sekunder biasanya menggeluhkan nyeri dimulai 2-3 hari

sebelum haid, mereda saat haid dimulai atau akhir haid, dapat disertai

menoragia atau dispareunia. Gejala-gejalanya bersifat khas sesuai

dengan patologinya (Datta, dkk, 2005 dan Schorge, 2008).

Nyeri haid terutama ditemukan pada penderita endometriosis

dan kista, kadang terasa seperti kram perut. Nyeri di daerah bawah

pinggang juga terjadi selama menstruasi. Pada kista, rasa nyeri dapat

timbul begitu siklus menstruasi selesai (Yatim, 2008).

Separuh penderita mioma uterus tidak memperlihatkan gejala.

Umumnya gejala yang ditemukan bergantung pada lokasi, ukuran, dan

perubahan pada mioma tersebut. Perdarahan berlebihan dan nyeri haid


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
13

didapat pada mioma submukosa. Akibat perdarahan penderita dapat

mengeluh anemia karena kekurangan darah, pusing, cepat lelah, dan

mudah terjadi infeksi. Penekanan terutama didapat pada mioma yang

besar. Putaran tangkai mioma suberosum dapat mengakibatkan nyeri

hebat (Manuaba dan Samsuhidajat, 2010).

g. Tanda Klinis atau Laboratoris

Tanda klinis pada dismenore sekunder secara umum yaitu nyeri

abdomen bagian tengah hingga bawah maupun punggung bagian

bawah yang menyertai menstruasi. Penderita mengalami nyeri yang

berat dan rasa tertekan pada panggul. Gejala spesifik lain biasanya

tergantung pada penyakit yang menyertai. Pemeriksaan panggul

dilakukan untuk menunjukkan kemungkinan penyebab dismenore

sekunder (Smith, 2008).

Pada pemeriksaaan dalam, jika teraba tumor padat pada

abdomen bagian bawah dimungkinkan terdapat mioma. Mioma yang

berasal dari rahim menunjukkan pergerakan yang bebas atau terbatas

saat pemeriksaan. Diagnosa dapat ditegakkan melalui USG

(ultrasonografi). Sedangkan histeroskopi dilakukan untuk

kemungkinan polip, dilatasi dan kuretase untuk kasus endometrium,

serta laparoskopi (Vij, 2005 dan Manuaba 2010).

h. Prognosis

Prognosis tergantung pada tipe dismenore dan keberadaan

kausalnya yang dapat ditangani secara medis maupun operatif. Nyeri


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
14

pada kasus dismenore sekunder hanya dapat diringankan setelah

penanganan penyebanya melalui penatalaksaan medis yang cukup

panjang untuk mengurangi infeksi panggul atau mengangkat adanya

massa (tumor), minimal dengan tindakan operatif seperti laparoskopi

atau histeroskopi. Dalam kasus ini laparotomi relatif jarang digunakan

(Misrha dan Sinha, 2014).

i. Komplikasi

Sinkop atau penurunan kesadaran serta syok yang karena nyeri

hebat dapat terjadi pula pada penderita dismenore. Nyeri tak

tertahankan pada abdomen yang melebihi ambang batas dapat

menstimulasi saraf vagus sehingga terdapat pelepasan asetilkoline

yang berlebihan, curah jantung menurun, dan dilatasi pembuluh darah.

Dengan demikian, darah akan sulit melawan gaya gravitasi untuk

dipompa ke otak (Fauci, 2008).

Komplikasi lain disebabkan oleh penyakit spesifik yang

menyertai. Kadang sebuah kista endometrial yang pecah menimbulkan

sindrom abdomen akut. Luka parut pada ovarium maupun tuba dapat

mengakibatkan steril atau infertile (Mansjoer, 2005 dan Mardiana,

2010).

Pada penderita kelainan fibroid berpotensi terjadi torsi yang

menyebabkan nekrosis atau sindrom abdomen akut. Komplikasi

keganasan jarang terjadi (Mansjoer, 2005).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
15

Jika dilakukan penanganan secara operatif, komplikasi lain

mungkin muncul. Oleh karena itu, penanganan yang baik juga perlu

dilakukan setelah tindakan operasi. Komplikasi pasca bedah yang

harus diantisipasi seperti perdarahan akut, hematom, komplikasi

pencernaan, serta infeksi. Infeksi panggul dan luka jahitan paling

sering terjadi pada pasien histerektomi. Kemungkinan terjadinya ISK

(infeksi saluran kemih) juga cukup tinggi. Hal tersebut tentu dapat

dicegah dengan penggunaan drainase dan menjaga kontaminasi kateter

dengan pemakaian yang tidak terlalu lama (Benson, 2008).

j. Penatalaksanaan dan Pengobatan

Penatalaksanaan kasus dismenore sekunder dilakukan sesuai

penyebab utamanya. Sebelum penanganan lebih lanjut, diperlukan

pemeriksaan radiologi atau laparoskopi untuk menentukan macam

diagnosis patologi panggul yang terjadi (Chin, dkk, 2013).

Setelah diagnosis pasti pada kausal dismenore sekunder, kita

dapat menentukan jenis penanganannya, antara lain :

1) Penanganan Farmakologis

Pemberian terapi obat pada dismenore secara umum sama,

yaitu diutamakan untuk menghilangkan simptomatis berupa

golongan analgesik, antara lain (Carr, dkk, 2007) :

a) NSAIDs

b) OCPs

c) Terapi progestin
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
16

d) Doxycycline (tergantung pada penyebab empiris)

e) Leuprolide atau nafareline

Pada kasus tumor jinak, biasanya penderita tanpa gejala

tidak menerima penanganan khusus. Beberapa macam obat

diberikan terutama untuk mengatasi gejala yang timbul. Meski

dapat mengurangi ukuran serta vaskularisasi tumor, analog GnRH

cukup dipertimbangkan karena memicu osteoporosis dalam

penggunaan jangka panjang (Datta, 2005).

2) Tindakan operatif atau Laparoskopi (Vij, 2005)

a) Laparoskopi adesiolisis untuk adesi pelvis

b) Kistektomi pada kasus kista ovarium, termasuk kista cokelat

c) Histerektomi septum pada kasus septum rahim

d) Miomektomi pada kasus fibroid

e) Histeroskopi polipektomi pada polip rahim

Prosedur pembedahan seperti miomektomi dilakukan pada

tumor yang menyebabkan pembesaran uterus hingga melebihi

tinggi umbilikus. Histerektomi paling sering dilakukan jika

pasangan suami istri tidak membutuhkan lagi kembalinya

kesuburan. Histerektomi, terutama vaginal, membutuhkan

mobilisasi dan akses yang mudah dalam mencapai uterus serta

adneksa yang baik. Tindakan ini tidak dapat dilakukan jika terdapat

inflamasi atau perubahan endometrial pada adneksa (Rasjidi,

2008).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
17

Secara umum berbagai macam kista ditangani dengan

kistektomi. Jika ditemukan perlekatan kista dengan jaringan

sekitarnya, pengangkatan kista dilakukan dengan prosedur

salpingo-ooforektomi. Penatalaksaan ini juga diindikasikan apabila

terdapat tanda-tanda keganasan (Mansjoer, 2005 dan Manuaba,

2010)

B. Teori Manajemen Kebidanan

1. Penerapan Manajemen Asuhan Kebidanan

Proses manajemen asuhan kebidanan untuk kasus Dysmenorrhea

sekunder dengan menggunakan 7 langkah Varney yaitu :

a. Langkah I : Pengumpulan Data Dasar Secara Lengkap

Mengumpulkan semua data yang dibutuhkan secar lengkap dan

akurat dari berbagai sumber yanng berkaitan dengan kondisi klien

keseluruhan terutama data fokus, meliputi :

1) Identitas/Biodata

a) Umur, dicatat dalam hitungan tahun. Sebaiknya ditanyakan

tanggal lahir pasien. Dismenore sekunder lebih lazim diderita

usia di atas 30 tahun (Datta, dkk, 2005 dan Olivia, 2013).

2) Anamnesa (data subyektif)

a) Keluhan utama pada waktu masuk

Ditujukan untuk data yang mengarah pada gejala yang

berhubungan dengan dysmenorrhea yaitu nyeri abdomen.


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
18

Nyeri yang terjadi harus dijelaskan mengenai waktu mulainya,

tipe, lokasi, penjalaran, dan hubungannya dengan gejala lain

(Datta, dkk, 2005).

b) Riwayat menstruasi meliputi: umur menarche, siklus

menstruasi, lama menstruasi, adakah dismenore atau gangguan

sewaktu menstruasi. Pasien yang menderita dismenore

biasanya mempunyai riwayat nyeri setiap siklus menstruasinya.

Siklus menstruasi mungkin teratur atau tidak serta jumlah darah

yang keluar tergantung pada penyebab patologis (Goldman,

dkk, 2013).

c) Riwayat perkawinan perlu ditanyakan untuk mengetahui sudah

berapa lama menikah, berapa kali, dan usia saat menikah

pertama kali. Hal ini berkaitan dengan riwayat ginekologis dan

seksual pasien, biasanya pasien juga mengeluhkan dyspareunia

(Datta, dkk, 2005 dan Schorge, 2008).

d) Riwayat kehamilan, persalinan dan nifas yang lalu. Dismenore

sekunder dan penyertanya berkaitan erat dengan jumlah paritas

(Goldman, 2013).

e) Riwayat KB, penggunaan alat kontrasepsi, misalnya IUD pada

beberapa orang mempengaruhi keluhan pada panggul (Chin,

dkk, 2013 dan Goldman, 2013).

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
19

f) Riwayat Penyakit

Riwayat penyakit sekarang ditanyakan untuk

mengetahui apakah pasien menderita suatu penyakit kronis dan

keluhan yang dialami pasien saat ini. Dalam kasus dismenore

biasanya pasien mengeluhkan nyeri abdomen bagian bawah.

Nyeri dapat pula disertai keluhan lainnya seperti pusing,

menoragia, bahkan dispareunia (Datta, 2005).

Riwayat penyakit sistemik kesehatan yang lalu

digunakan untuk mengetahui penyakit yang pernah diderita

pasien sebelumnya maupun pengobatan yang mungkin sedang

dijalani untuk mengkaji kaitannya dengan nyeri haid yang

diderita (Gant dan Cunningham, 2010).

Riwayat penyakit keluarga perlu dikaji untuk

mengetahui kemungkinan adanya pengaruh penyakit keluarga

terhadap gangguan kesehatan pasien. Pada kasus dismenore

perlu ditanyakan riwayat nyeri haid dalam keluarganya.

Riwayat keluarga dengan kelainan ginekologis tertentu

mungkin dapat diturunkan atau terkait dengan tujuan

penatalaksanaan (Gant dan Cunningham, 2010 dan Judha,

2012).

Riwayat operasi dan pembedahan perlu dikaji untuk

menentukan tindakan selanjutnya sebagai pertimbangan

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
20

komplikasi yang mungkin muncul (Gant dan Cunningham,

2010).

g) Data psikologis, keadaan psikis pasien perlu dikaji untuk

mengetahui kecemasan pasien dan mempersiapkan cara

komunikasi atau konseling yang tepat (Vij, 2005).

3) Pemeriksaaan fisik (data obyektif)

Data objektif adalah data yang dapat diobservasi dan

diukur. Data objektif yang digunakan dalam pengkajian gangguan

reproduksi dengan diagnosa dismenore sekunder adalah:

a) Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang diperlukan terutama

pemeriksaan pada bagian abdomen dan pemeriksaan

ginekologis terutama anogenital.

(1) Pemeriksaan abdomen

Pemeriksaan abdomen dilakukan secara inspeksi,

auskultasi, perkusi, dan palpasi. Tujuannya untuk

mengetahui antara lain :

(a) benjolan (tumor)

(b) nyeri tekan, dan

(c) ada atau tidaknya luka bekas operasi. (Manuaba, 2010)

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
21

(2) Pemeriksaan anogenital

Pemeriksaan genitalia dapat dilakukan dengan cara

inspeksi maupun palpasi pada genitalia eksternal yaitu

bagian pada vulva vagina yang terdiri dari :

(a) pemeriksaan adanya varices

(b) luka

(c) pembengkakan

(d) kemerahan

(e) nyeri

(f) kelenjar bartolini

(g) pengeluaran pervaginam (Gant dan Cunningham,

2010).

Untuk mengetahui keadaan genitalia interna atau

serviks dan porsio dapat dilakukan melalui pemeriksaan

menggunakan inspekulo. Selain itu pemeriksaan dalam

perlu dilakukan pada beberapa kasus untuk mengetahui

keadaan serviks dan adanya benjolan serta nyeri (Gant dan

Cunningham, 2010).

b) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium terutama pemeriksaan darah

lengkap meski tidak dapat mengidentifikasi secara khusus,

pada kasus dismenore dengan penyerta cukup diperlukan untuk

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
22

menentukan adanya kemungkinan infeksi dan tindakan

selanjutnya (Vij, 2005).

Pemeriksaan lain yang dapat menunjang diagnosa yaitu

biopsi endometrium, ultrasonografi, dan laparoskopi. Pada

kasus dismenore sekunder, pemeriksaan pada organ panggul

tampak adanya kelainan ginekologis (Chin, dkk, 2013).

b. Langkah II: Interpretasi Data Dasar

Pada langkah ini dilakukan identifikasi terhadap diagnosa atau

masalah berdasarkan interpretasi yang benar atas data-data yang

dikumpulkan. Data dasar yang sudah dikumpulkan diinterpretasikan

sehingga dapat merumuskan diagnosa atau masalah yang spesifik.

Interpretasi data dasar meliputi :

1) Diagnosa Kebidanan. Diagnosa kebidanan dalam kaitannya dengan

kasus dismenore yang diakibatkan adanya mioma uteri dan kista

ovarium adalah: “Ny. W P2A1 umur 46 tahun dengan mioma uteri

dan kistoma ovarii” (Varney, 2013).

2) Masalah. Dalam kasus dismenore sekunder pada mioma uteri dan

kista ovarium, masalah yang dapat timbul yaitu rasa cemas dan

ketidaknyamanan pasien karena nyeri perut bagian bawah yang

diderita (Varney, 2013).

3) Kebutuhan. Kebutuhan pada pasien dengan dismenore sekunder

tergantung keluhan dan tingkat keparahannya. Jika masalah yang

timbul adalah rasa cemas dan ketidaknyamanan karena nyeri yang


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
23

diderita maka kebutuhan pasien adalah nasihat untuk mengatasi

keluhan dismenore sekunder. Pasien dapat diedukasi untuk

mengatasi nyeri secara sederhana dengan mengompres air hangat

pada lokasi nyeri serta beristirahat tirah baring jika diperlukan

(Carpenito, 2009).

c. Langkah III: Mengidentifikasikan Diagnosa atau Masalah

Potensial

Diagnosa potensial pada kasus dismenore sekunder didasarkan

pada hasil anamnesa dan pemeriksaan. Jika pasien telah mengalami

nyeri hebat yang melampaui ambang batas maka syok neurogenik

hingga penurunan kesadaran atau sinkop mungkin dapat muncul

(Robinson, 2012 dan Mitayani, 2011).

Antisipasi diberikan berdasarkan kebutuhan yaitu mengajarkan

kepada klien untuk melakukan kompres air hangat dan kolaborasi

dengan dokter spesialis kandungan untuk pemberian terapi analgesik

(anti nyeri) (Carpenito, 2009 dan Carr, dkk, 2007).

Komplikasi yang muncul akibat penyakit utama pasien, seperti

fibroid yang dapat menyebabkan sindrom abdomen akut tentu harus

dilakukan dengan kolaborasi dr. SpOG untuk menentukan tindakan

yang sesuai (Mansjoer, 2005 dan Manuaba, 2010).

d. Langkah IV: Menetapkan Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera

Dalam kasus dismenore sekunder kolaborasi dokter spesialis

kandungan tentunya sangat diperlukan mengingat kasus utamanya


commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
24

(seperti endometriosis, fibroid, dll) berada dalam ranah kedokteran

ginekologi (Misrha dan Sinha, 2014).

Tindakan segera dari keluhan dismenore terutama juga

dilakukan secara kolaborasi seperti pemberian analgesik dan

pemberian infus atau rawat inap jika terdapat indikasi (Robinson,

2012).

e. Langkah V: Menyusun Rencana Asuhan yang Menyeluruh

Pada langkah ini direncanakan asuhan yang menyeluruh

ditentukan oleh langkah-langkah sebelumnya. Langkah ini merupakan

kelanjutan manajemen terhadap masalah atau diagnosa yang telah

diidentifikasi atau diantisipasi. Pada langkah ini, informasi data yang

tidak lengkap dapat dilengkapi (Wahyuningrum dan Padmi, 2010).

Rencana asuhan yang dapat diberikan pada kasus dismenore

sekunder antara lain:

1) Lakukan kolaborasi dengan dokter spesialis kandungan untuk

pemeriksaan penunjang (USG) serta laboratorium (Hillard, 2008)

2) Berikan informasi tentang hasil pemeriksaan yang dilakukan serta

penjelasan mengenai keadaan yang dialami dapat memberi

perasaan lega atau pengertian mengenai keadaan pasien (Carpenito,

2009 dan Manuaba, 2010)

3) Berikan support mental dan motivasi untuk menenangkan dan

mengurangi rasa cemas pasien. Dukungan dan suport dapat

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
25

memberi keringanan beban psikologis pada diri pasien karena rasa

cemas yang dialaminya (Carpenito, 2009 dan Manuaba, 2010)

4) Terapi alternatif botol air hangat pada perut atau punggung bawah

(Judha, dkk, 2012)

5) Berikan terapi sesuai advice dr. SpOG yang menangani pasien.

Terapi yang bisa diberikan yaitu analgesik antiprostaglandin atau

pil kontrasepsi kombinasi (Carr, dkk, 2007)

6) Lakukan pemasangan infus dan observasi keadaan pasien melalui

perawatan di bangsal jika diperlukan, terutama pada pasien dengan

rencana tindakan operatif (Manuaba, 2005 dan Robinson, 2012)

7) Penuhi kebutuhan nutrisi ibu dengan gizi seimbang. Hal ini dapat

dikolaborasikan dengan ahli gizi pada pasien rawat inap (Hartono,

2006)

f. Langkah VI : Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan

Aman

Pada langkah keenam ini, rencana asuhan menyeluruh seperti

yang telah diuraikan pada langkah kelima dilaksanakan secara efisien

dan aman. Pelaksanaan dapat dilakukan oleh bidan atau sebagian lagi

oleh klien, maupun anggota tim kesehatan lainnya sebagai tindakan

kolaborasi atau rujukan pada kasus diluar wewenang bidan.

Pemeriksaan dasar, konseling, dan perawatan di bangsal dapat

dilakukan oleh bidan. Sedangkan pemeriksaan penunjang dan terapi

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
26

dilakukan di bawah pengawasan dr. SpOG (Wildan dan Hidayat,

2008).

g. Langkah VII : Evaluasi.

Evaluasi atau hasil yang diharapkan dari asuhan kebidanan

gangguan reproduksi dengan dismenore sekunder adalah :

1) Pasien mendapatkan asuhan yang menyeluruh sesuai dengan

kebutuhannya hingga nyeri berkurang atau hilang

2) Pasien mendapatkan terapi dan tindakan untuk mengatasi keluhan

yang dideritanya yaitu dismenore sekunder dan penyakit

penyertanya (Wahyuningrum dan Padmi, 2010).

2. Follow Up Catatan Perkembangan Kondisi Klien

Dalam Kepmenkes RI No. 938/Menkes/SK/VII/2007 Tentang

Metode Manajemen Asuhan Kebidanan: metode manajemen asuhan

kebidanan 7 langkah Varney disarikan menjadi empat langkah yaitu:

SOAP (Subyektif, Obyektif, Asessment, dan Planning). SOAP digunakan

untuk catatan perkembangan kebidanan dalam kemajuan keadaan klien

(Depkes RI, 2007).

SOAP menurut Depkes RI (2007) adalah:

a. S = Subyektif

Pasien menyatakan keluhan yang dirasakan secara subyektif seperti

berkurang atau tidaknya keluhan utama dismenore berupa nyeri

atau bahkan muncul keluhan lain

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
27

b. O = Obyektif

Data obyektif hampir sama seperti pada langkah 2 Varney,

biasanya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, suhu, nadi, dan

respirasi), hasil inspeksi, palpasi (abdomen) maupun pemeriksaan

laboratorium atau penunjang lain (contoh : USG, Laparoskopi, dll)

c. A = Asessment

Ny. W P2A1 umur 46 tahun dengan mioma uteri dan kistoma

ovarii (atau penyakit lain yang ditemukan melalui keluhan

dismenore sekunder). Assesment dapat juga menyebutkan

diagnosis pasien sebelum atau setelah tindakan, misalnya pre atau

post operasi

d. P = Plan

Menggambarkan pendokumentasian dari tindakan dan evaluasi

perencanaan berdasarkan Asessment sebagai langkah 3, 4, 5, 6, dan

7 Varney. Tindakan yang dilakukan dalam kasus dimenore

sekunder yaitu melakukan observasi keadaan dan perkembangan

pasien meliputi keadaan umum, pemeriksaan fisik (observasi nyeri)

dan penunjang serta melaksanakan terapi atau tindakan lanjutan

sesuai advice dokter.

Jika pasien menjalani tindakan bedah ginekologi, seperti

histerektomi, pencatatan perkembangan dilakukan selama 3-4 hari pasca

bedah. Hal itu bertujuan untuk melakukan pemberian antibiotik,

commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
28

mengobservasi keseimbangan elektrolit, mobilisassi awal, dan

mengantisipasi komplikasi yang mungkin muncul (Manuaba, 2005).

commit to user

Anda mungkin juga menyukai