Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN

HEWAN DAN LINGKUNGAN BIOTIK

(EKOLOGI SERANGGA DAN INTERAKSINYA DENGAN LINGKUNGAN)

Oleh :

Kelompok 3 :

1. Rada Mutia Desmalita (1920801011)


2. Dian Agatha (1930801022)
3. Pira Blen Siska (1930801031)
4. Rukmini (1930801032)
5. Violita Argentina (1930801033)
6. Zulfa Nisa (1930801034)

Pembimbing : Irham Falahudin, M.Si

PROGRAM STUDI BIOLOGI


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2020
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.........................................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN.

A. TUJUAN...................................................................................................................
B. ALAT DAN BAHAN……………………………………………………….……..
C. CARA KERJA……………………………………………………………………..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 

A. EKOLOGI HEWAN TERHADAP SEMUT RANG DAN ULAT


API……………………....……………..………………...……….……..................

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN


A. HASIL……………………………………………………………………………...
B. PEMBAHASAN…………………………………………………………………...

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN


A. KESIMPULAN…………………………………………………………………….
B. SARAN…………………………………………………………………………….

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Tujuan
Kegiatan praktikum ini bertujuan untuk :
1. Untuk melihat peran ekologis hewan terhadap respon yang diberikan rantai
makanan dan melihat peran intra dan interspesifik hewan pada habitatnya.
2. Melihat preferensi hewan pada skala laboratorium
3. Mengetahui prevalensi hewan

B. Alat dan Bahan


1. Alat
Adapun alat yang digunakan, yaitu kamera, pinset, wadah / botol / toples.
2. Bahan
Adapun bahan yang digunakan, yaitu semut rangrang, ulat api, dan dedaunan.

C. Cara Kerja
Di lakukan dengan dua cara pengamatan eyaitu melihat perilaku dan pola
makan semut rangrang terhadap ulat api dan ulat api terhadap dedaunan.
1. Kotak A : Koloni semut rangrang dengan ulat api.
2. Kotak B: Koloni Ulat api dengan dedaunan.
Amatilah selama kurang lebih 30 menit meliputi :
1. Berapa lama waktu yang diperlukan ulat untuk menemukan pakannya?
2. Daun mana yang lebih dulu dimakan serta paling banyak dimakan?
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi berasal dari dua akar kata Yunani (oikos = rumah dan Logos = ilmu),
sehingga secara harfiah bisa diartikan sebagai kajian organisme hidup dalam rumahnya.
Secara lebih formal ekologi didefinisikan sebagai kajian yang mempelajari hubungan
timbal balik antara organisme – organisme hidup dengan lingkungan fisik dan biotik secara
menyeluruh. Jadi, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa ekologi itu adalah ilmu yang
mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (biotik dan
abiotic) (Hasmar, 2003).

Suatu ekosistem sangat rumit. Hubungan antar organisme ada yang langsung dan
ada yang tidak langsung. Dalam beberapa hal hubungannya yang sangat jauh. Arus energy
menempuh berbagai macam jalan. Untuk memperlajari suatu ekosistem diperlukan
pengamatan yang lama dan sukar. Mungkin tidak ada satu ekosistem pun yang dapat
dipahami seluruhnya. Dengan konsep ekosistem komponen – komponen lingkungan hidup
dilihat secara terpadu sebagai komponen yang berkaitan dan bergantung satu sama lain
dalam suatu sistem. Di dalam suatu tata ruang yang sempit, berbagai individu akan
berdesakan. Disitu diperlukan terbentuknya suatu struktur yang berlapis – lapis (Irawan,
2012).

Hama ulat pemakan daun diantaranya ulat api, ulat kantong dan ulat bulu. Ulat api
merupakan salah satu jenis ulat pemakan daun yang paling sering ditemukan. Beberapa
jenis ulat api yang menyerang tanaman, yaitu Setothosea asigna, Setora nitens, Darna
trima, Darna diducta, Darna brodley, Susi malayana, Birthose bisura, Thosea vetusta dan
Olona gater. Serangan hama pemakan daun banyak menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dengan terjadinya eksplosi dari waktu ke waktu. Hal ini menyebabkan
kehilangan daun (defoliasi) tanaman yang berdampak pada penurunan produksi. Seekor
hama ulat api mampu mengkonsumsi daun seluas 300-500 cm per hari (Purba et al., 2005;
Syahputra., 2013). Pada serangan berat ulat api memakan seluruh daun tanaman kelapa
sawit sehingga daun tanaman tampak melidi. Oleh sebab itu, diperlukan pengetahuan
pengendalian hama ulat api.

Sasaerila et al. 2000 menyebutkan bahwa larva Setora nitens, Darna trima, Ploneta
diducta, P. bradleyi dan Setothosea asigna memperoleh makanan dari tanaman inangnya.
Setothosea asigna memiliki siklus hidup (dari oviposisi sampai mati dewasa) berkisar
antara 106-138 hari. Tahapan larva berkisar antara 61-75 hari (rata-rata 68.2). Serangan
ulat ini sangat merugikan karena menyebabkan kerusakan yang sangat parah pada daun
(Tiong, 1982). Falahudin (2012) menyatakan lebih lanjut S. asigna mampu menghasilkan
imago betina sekitar 300-400 butir selama fase hidupnya. Larva ulat ini dapat mengalami
pergantian kulit sebanyak 7-8 kali. Siklus hidup S. asigna dimulai dari ulat yang
meletakkan telurnya (oviposisi) berderet di permukaan bawah pelepah 3-4 baris. Dalam
satu tumpukan telur terdiri dari 44 butir dan lamanya waktu yang dibutuhkan untuk
menetas sekitar 4-8 hari setelah diletakkan. Larva yang baru menetas secara berkelompok
mulai melakukan aktivitas merusak jaringan daun. Ulat pada fase instar ketiga merupakan
fase ulat yang aktif memakan semua helaian daun dan meninggalkan lidinya saja (Buana
dan Siahaan, 2003).

Semut (Formicidae: Hymenoptera) merupakan salah satu kelompok serangga yang


keberadaannya sangat umum dan hampir menyebar luas, paling suskes dari kelompok
serangga, terdapat dimanamana di habitat teresterial dan jumlahnya melebihi hewanhewan
darat lainnya. Keberadaannya dimulai dari kutub sampai tropis dan daerah peisisir sampai
pegunungan (Borror, Triplehorn and Johnson, 1992).

Semut merupakan salah satu kelompok hewan yang dikatakan sebagai indikator
hayati, sebagai alat monitoring perubahan kualitas lingkungan dan penentuan kawasan
konservasi. Hal ini didukung oleh beberapa sifat yang dimiliki semut, yaitu hidup
diberbagai habitat, mempunyai toleransi yang sempit terhadap perubahan lingungan,
biomassa dominan, mempunyai sifat penting dalam ekosistem, mudah di koleksi serta
secara taksonomi relatif maju (Andersen, 1997 dan Agosti et al.,2000).

Semut juga mempunyai fungsi ekologis membantu tumbuhan dalam menyebarkan


bijibijian (dispersal), menggemburkan tanah, predator atau pemangsa serangga lain
(Schultz and McGlyinn, 2000; Dun, 2005; Sitthicharoenchai, 2006). Selain itu yang paling
diharapkan adalah semut juga membantu mengendalikan hama pertanian (Mele and Cuc,
2004). Semut adalah predator yang penting, dan diprediksikan dapat melindungi tanaman
dari hama jika dapat dimengerti dan diteliti dengan benar (Philpott dan Armbrecht, 2006).
Beberapa pendapat tentang semut dapat dilihat dalam surat anNahl:66: artinya” Dan
sungguh pada hewan ternak itu benarbenar terdapat pelajaran bagi kamu...” Walaupun
banyak spesies semut yang mampu membuat sarang dalam kondisi yang cukup variatif,
namun banyak juga yang memerlukan kriteria tertentu dan khusus sehingga dapat
digunakan sebagai indikator perubahan habitat atau keberhasilan restorasi. Ada beberapa
spesies semut di seluruh dunia yang dapat beradaptasi untuk hidup pada area yang telah
“diganggu” dan mengembangkan koloni dengan cepat. Semut seperti ini dapat menjadi
indikator adanya perusakan habitat atau terganggunya alam disekitarnya. Kebanyakan
spesies semut hidup pada koloni secara tetap dan tidak gampang berpindah habitat. Semut
menjadi ideal untuk program monitoring karena dapat di sampling secara berulang kali
dengan menggunakan metoda yang sama, dapat memberi informasi mengenai bagaimana
struktur vegetasi, kepadatan musuh alami, kualitas tanah dan kepadatan predator berubah
seiring dengan waktu (Alonso dan Agosti, 2000).

Salah satu jenis semut yang banyak digunakan dalam mengendalikan hama
pertanian antara lain jenis semut rangrang (Oecophylla smaragdina). Oecophyilla
smaragdina adalah semut yang dominan di hutan terbuka dari India, Australia, Cina dan
Asia Tenggara, yang daun sarang yang diselenggarakan bersamasama dengan sutra larva.
O. smaragdina telah penting dalam penelitian tentang integrasi kontrol, komunikasi,
teritorial dan koloni biologis serta pengendalian biologis pada hama pertanian atau
perkebunan. Semut rangrang (Oecophylla smaragdina) merupakan serangga eusosial
(sosial sejati), dan kehidupan koloninya sangat tergantung pada keberadaan pohon
(arboreal). Seperti halnya jenis semut lainnya, semut rangrang memiliki struktur sosial
yang terdiri atas: Ratu; betina, berukuran 2025 mm, berwarna hijau atau coklat, bertugas
untuk menelurkan bayibayi semut. Pejantan bertugas mengawini ratu semut, dan ketika ia
selesai mengawini ratu semut ia akan mati. Pekerja; betina, berukuran 56 mm, berwarna
orange dan terkadang kehijauan, bertugas mengasuh semutsemut muda yang dihasilkan
semut ratu. Prajurit; betina, berukuran 8 10mm, umumnya berwarna oranye, memiliki kaki
panjang yang kuat, antena panjang dan rahang besar, bertugas menjaga sarang dari
gangguan pengacau, mencari dan mengumpulkan makanan untuk semua koloninya serta
membangun sarang di pohonpohon atau di daun.

Wirjosoehardjo dan Budiman (1985) mengemukakan bahwa hama penting yang


menyerang tanaman meliputi 19 jenis serangga, 6 jenis vertebrata, dan satu jenis nematoda.
Dari 19 jenis serangga tersebut, Setora nitens Walker, Parasa lepida Crammer, Hidari
irava, Chalcocelis albiguttata, Brontispa longissima, Oryctes rhinoceros, dan Valanga sp.
merupakan hama pemakan daun kelapa. Kerugian yang ditimbulkan akibat serangan hama
pemakan daun belum banyak diketahui. Namun, nilai kerusakan pada bagian vegetatif
tanaman seperti daun dan batang, serta pengaruhnya terhadap bagian generatif, seperti
buah dan bunga, berbeda menurut jenis hama (Kalshoven, 1981).

Banyak semut rangrang yang terdapat diareal perkebunan juga merupakan modal
awal untuk melihat dan memanfaatkannya secara alamiah di alam. Dari beberapa uraian
latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh peran semut rangrang
(Oecophyilla smaragdina) terhadap pengendalian biologis terhadap beberpa hama yang
terdapat di tanaman. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peranan semut rangrang
(Oecophylla smaragdina) sebagai pengendali biologis ulat api (Limacodidae: Lepidoptera).
BAB III

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian tentang potensi semut rangrang sebagai predator atau musuh alami hama
sudah dilakukan cukup lama. Huang dan Yang (1987) menuliskan bahwa semut rangrang
sudah dikenal oleh bangsa China pada tahun 304 Masehi untuk mengendalikan hama kutu-
kutuan pada tanaman jeruk. Perilaku agresif semut rangrang dalam mempertahankan
daerah kekuasaannya barangkali menjadi salah satu pertimbangan bagi para petani untuk
menggunakannya sebagai “penjaga” tanaman terhadap gangguan hama. Kajian di Vietnam
(van Mele and Truyen, 2002) membuktikan bahwa penerapan teknologi pengelolaan semut
rangrang (Oecophylla smaragdina) yang tepat di lapangan, mampu meningkatkan potensi
mereka sebagai musuh alami hama. Way dan Khoo (1992) menyebutkan bahwa semut
rangrang menjadi musuh alami pada sekitar 16 spesies hama yang menyerang spesies
tanaman, yaitu kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, eukaliptus, dan jeruk.

Bersama dengan kerabatnya, yaitu Oecophylla longinoda (Afrika dan Australia),


semut rangrang Oecophylla smaragdina melindungi tanamantanaman tersebut dari
serangan hama. Penelitian lain juga membuktikan bahwa semut rangrang menjadi musuh
alami hama pada tanaman lada hitam dan mahoni. Misalnya, Offenberg et al (2006)
memperlihatkan bahwa semut rangrang mampu melindungi tanaman mangrove dari
serangan kepiting Episesarma versicolor.

Dalam penelitian aspek uji makanan semut yang diharapkan adalah ketersediaan
nutrien hewan budidaya, sistem pemberian pakan secara kafetaria sudah sering digunakan
untuk memperoleh informasi selera makan hewan terhadap pakan. Uji preferensi ini
memberikan kesempatan kepada hewan untuk memilih pakan yang disukai secara bebas
disebut sistem pemberian pakan secara kafetaria atau cafeteria feeding system (Manyamu
et. al., 2003). Pada Tabel berikut ini terlihat secara jelas prosentase kesukaan pakan
terhadap hama yang di letakkan dalam perlakuan A, B, C dan D sebagai berikut:

Tabel Persentase Kemampuan Predasi Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina)


terhadap Hama Ulat.

Perlakuan I II III Jumlah


Kotak A 0,65 0,01 0,10 0,76
Kotak C 0,45 0,01 0,12 0,58
Kotak D 0,30 0,02 0,12 0,44
Total 1,70 0,49 0,44
Keterangan: I, II, III adalah hari kedua, ketiga dan keempat pengamatan

`
a b
Gambar a dan b. Semut rangrang terhadap ulat api

a
Gambar a. Ulat api makan daun

Selera hewan terhadap pakan yang disukai mempunyai batas waktu tertentu. Pada
tabel terlihat bahwa persentase ulat yang dimakan pada kotak A pada hari pertama 67%,
diikuti oleh kotak C 50%, sedangkan kotak B dan D samasama 30%. Hal ini terlihat bila
hewan terlalu lama mengkonsumsi pakan tertentu, selera makan hewan terhadap pakan
tersebut menurun meskipun pakan itu sangat disukai. Gejala ini ditujukkan pada hari kedua
hanya kotak B yang ulatnya mengalami kematian. Pada pengamatan terkahir kotak A, B,
dan C, samasama terjadi feeding sebesar 17%. Penurunan selera makan ditandai dengan
penurunan bahan keringnya. Serangan koloni semut aktif dilapangan sekitar pukul 09.00-
11,00 pagisiang hari. Mekanisme ini terkait dengan bau khasnya bunga pada pohon kelapa
sawit, sehingga ini menarik serangga lain untuk datang. Secara keseluruhan ternyata semut
rangrang lebih banyak menyerang ulat api (Setora nitens) sekitar 83% dan sisanya ulatulat
lain.

 Hitung efisiensi ekologis dengan rumus


EF = Pn/pn-1 × 100%
EF = 2,63/2,63 × 100% = 1

Salah satunya dapat menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaragdina). Hal


ini terlihat dari hasil penelitian, berdasarkan kesukaan makannya semut rangrang lebih
cenderung untuk memakan ulat api (Lepidoptera: Limacodidae), dibandingkan ulat
kantong atau serangga hama lainnya. Faktor utamanya karena bentuknya yang menyolok
dan menarik perhatian semut. Teknik pengendalian alamiah ini lebih efektif dan ramah
lingkungan dan berkesinambungan ini perlu diterapkan, salah satunya memaksimalkan
peran predator atau pemangsanya (Kiswanto dkk, 2008).
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan
Ekologi berasal dari dua akar kata Yunani (oikos = rumah dan Logos =
ilmu), sehingga secara harfiah bisa diartikan sebagai kajian organisme hidup dalam
rumahnya. Secara lebih formal ekologi didefinisikan sebagai kajian yang
mempelajari hubungan timbal balik antara organisme – organisme hidup dengan
lingkungan fisik dan biotik secara menyeluruh. Jadi, dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa ekologi itu adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal
balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (biotik dan abiotic).
B. Saran
Berdasarkan praktikum tersebut, diharapkan agar dapat memanfaatkan
peran ekologi dalam pengendalian hama secara biologis.
DAFTAR PUSTAKA

Agosti. D. Majer, D., Alonso L.E., Schultz, TR. 2000. Ants Standard Methods for
Measuring and Monitoring Biodiversity. Washington: Smithsonian Institution Press.

Andersen, A. N. 1993. Ants as indicators of restoration success at a uranium mine in


tropical Australia. Restoration Ecology. 1 : 156–167.

Borror, C.A. Triplehorn and N.F. Johnson. 1992. An Introduction to the Study of Insect.
Philadephia: W.B. Saunders.

Buana dan Siahaan. 2003. Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit. Pertemuan Teknik Kelapa
Sawit 21. Hal 56-77.

Falahudin, I. 2012. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaragdina) Dalam


Pengendalian Biologis Pada Perkebunan Kelapa sawit. In: Conference
Proceedings: Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XII.
Surabaya.

Irawan, Zoer’aini Djamal. 2012. Prinsip – Prinsip Ekologi Ekosistem, Lingkungan dan
Pelestariannya. Jakarta : Bumi Aksara.

Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pests of Crops In Indonesia. PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve :
Jakarta

Rusmendro, Hasmar. 2003. Seri Diktat Kuliah Ekologi Tumbuhan. Fakultas Biologi
Universitas Nasional. Jakarta.

Sasaerila, Y., Gries, G., Gries, R., and Boo, T.C. 2000. Specificity of communication
channels in four limacodid moths: Darna bradleyi, Darna trima, Setothosea
asigna, and Setora nitens (Lepidoptera: Limacodidae). Chemoecology 10:193-199.

Schultz, T. R. and McGlynn, T. P. 2000. The interaction of ants with other organisms./ In:
Agosti, D., Majer, J., Alonso, E. et al. (eds), Ants: standard methods for measuring
and monitoring biodiversity. Smithsonian Institution Press, pp. 35/44.

Syahputra, E. 2013. Keefektifan Insektisida Campuran Emamektin Benzoat + Beta


Sipermetrin Terhadap Hama Ulat Api Setothosea Asigna Pada Tanaman Kelapa
Sawit. Agrovigor Vol.6 No.1:30-37.
Tiong, R.H.C. 1982. The oil palm in the eighties. A report of the Proceedings of the
International Conference on Oil Palm in Agriculture in the Eighties (Eds.
Pushparajah, E., and Chew Poh Soon held in Kuala Lumpur form 17-20 June 1981
. Volume II. Pp 529-542 ref.12.

Anda mungkin juga menyukai