PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Narkotika
disebut juga sebagai obat-obatan anastesi, penggunaan narkotika dapat
mengakibatkan kehilangan kesadaran karena pengaruh sistem susunan saraf pusat.
Narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman yang dapat menyebabkan
hilang kesadaran dan dapat menimbulkan ketergantungan. Golongan I adalah
narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, contohnya heroin. Narkotika golongan II adalah narkotika yang
memiliki khasiat pengobatan dan sering digunakan sebagai obat alternatif tapi
sebagai pilihan yang terakhir, contohnya morfin.
Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat adiktif adalah bahan yang dapat
menimbulkan kerugian bagi seseorang yang menggunakannya akibat timbulnya
ketergantungan psikis seperti golongan alkohol, nikotin dan sebagainya. Jenis-jenis
NAPZA antara lain heroin, morfin, ganja, ekstasi, sabu-sabu, obat penenang, dan
alkohol.
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial (Anggraeni, 2015).
Penyalahgunaan NAPZA sangat memberikan efek yang tidak baik dimana bisa
mengakibatkan adiksi (ketagihan) yang berakibat pada ketergantungan karena sifat-
sifat narkoba yang menyebabkan diantaranya 1) Keinginan yang tidak tertahankan
(an over powering desire) terhadap zat yang dimaksud dan kalau perlu dengan jalan
apapun untuk memperolehnya, 2) Kecenderungan untuk menambahkan takaran atau
dosis dengan toleransi tubuh, 3) Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian
zat dihentikan akan menimbulkan gejala-gejala kejiwaan, seperti kegelisahan,
kecemasan, depresi, dan sejenisnya, dan 4) Ketergantungan fisik yaitu apabila
pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala
putus obat (withdrawal symptoms).
Morfin (C17 H19 NO3) adalah zat utama yang berkhasiat yang terdapat pada
candu mentah yang diperoleh dari tumbuhan Papaver Somniferum. Kata morfin
berasal dari Morpheus, dewa mimpi dalam metologi Yunani. Morfin adalah alkaloid
analgesik yang sangat kuat bekerja langsung pada sistem saraf pusat dan merupakan
agen aktif utama yang ditemukan pada opium.
Analgesik merupakan obat yang digunakan untuk meredakan rasa sakit. Efek
samping morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia (mengurangi
respon psikologis terhadap nyeri), rasa kantuk, lesu, penglihatan kabur. Morfin juga
menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Morfin banyak
digunakan oleh pasien penderita kanker untuk mengurangi rasa nyeri yang
dialaminya.
Secara kimia, morfin adalah sealkaloid yang termasuk derivat fenantren. Dalam
Farmakologi, morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa
(analgetik narkotik). Daya kerjanya 5 sampai 10 kali lebih kuat dari opium. Khasiat
morfin adalah untuk analgetik, menurunkan rasa kesadaran (sedasi, hipnotis),
menghambat pernafasan, menghilangkan refleks batuk dan menimbulkan rasa
nyaman (euphoria) yang kesemuanya berdasarkan penekanan susunan saraf pusat
(SSP).
Morfin digunakan untuk obat dalam bidang kedokteran. Obat dari morfin ini
digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang terbilang parah dan berkepanjangan atau
kronis. Morfin bekerja pada saraf dan otak sehingga tubuh tidak merasakan rasa
sakit.
Morfin merupakan jenis obat analgesik opium dan golongan obat resep. Manfaat
morfin yaitu untuk meredakan rasa sakit yang parah. Dapat dikonsumsi oleh dewasa
dan anak-anak. Obat ini berbentuk tablet, kapsul, cairan yang diminum, dan suntik.
Bagi wanita yang sedang merencanakan kehamilan, tengah hamil, atau sedang
menyusui, sebaiknya tidak mengonsumsi obat ini. Perlu berhati-hati bagi penderita
gangguan jantung, ginjal, pernapasan, prostat, saluran empedu, tiroid, pankreas, dan
adrenal, penderita tekanan darah rendah, epilepsi, radang usus, dan myasthenia
gravis atau kondisi yang menyebabkan otot melemah.
Morfin juga banyak digunakan untuk mengontrol nyeri pascaoperasi. Morfin
sering dipergunakan untuk mengontrol nyeri pascaoperasi pada nyeri sedang sampai
berat. Pemberian morfin secara intravena memungkinkan penanganan nyeri yang
cepat dan membatasi risiko overdosis. Meskipun memiliki manfaat besar, morfin
juga dapat menyebabkan ketergantungan. Risiko ketergantungan ini bahkan lebih
tinggi pada pasien yang di masa lalunya pernah kecanduan alkohol atau narkoba.
BAB III
PEMBAHASAN
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) merupakan jenis obat-obatan
yang mempengaruhi gangguan kesehatan dan jiwa. Narkotika memiliki daya adiksi
(ketagihan Psikotropika) yang sangat berat, juga memiliki daya toleran (penyesuaian)
dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi, dimana ketiga sifat inilah yang
menyebabkan pemakai narkotika sulit untuk melepaskan ketergantungannya.
Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa
(psyche). Zat adiktif Merupakan zat-zat yang tidak termasuk dalam narkotika dan
psikotropika, tetapi memiliki daya adiktif. Biasanya ketergantungan seseorang terhadap
zat bahan adiktif, merupakan pintu gerbang kemungkinan adiksi mereka terhadap
narkotika dan psikotropika.
Morfin jenis narkotika semi sintesis merupakan jenis obat analgesik opium dan golongan
obat resep. Manfaat morfin yaitu untuk meredakan rasa sakit yang parah. Dapat
dikonsumsi oleh dewasa dan anak-anak. Kombinasi morfin dengan obat yang berefek
depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam.
Selain itu, pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan. Efek toksikologi
morfin terhadap manusia dibagi menjadi 3 fase yakni fase eksposisi, fase toksikokinetik,
fase toksikodinamik. Morfin dapat dideteksi melalui Anamnesa dan pemeriksaan fisik,
misalnya gejala klinis, pemeriksaan urin, darah, nasal swab, dan metode lain.
4.2 Saran
Obat-obatan terlarang bukanlah jawaban yang tepat bagi semua masalah, bahkan
sebaliknya, akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar. Pemakai obat-obatan
terlarang adalah orang yang mengalami kerugian besar, dan dapat berakhir pada
kematian. Tindakan yang paling baik untuk menanggulangi bahaya narkoba adalah
mencegah keterlibatan dengan narkoba itu sendiri karena pencegahan jauh lebih baik
dibandingkan dengan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA
Anggraeni, D. 2015. Dampak bagi pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA) di kelurahan gunung kelua samarinda ulu. eJournal Sosiatri-Sosiologi
2015, 3 (3): 37 – 51. Di dapat dari ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id pada 1 juni
2016 pukul 20.00 WIB
Japardi, Iskandar. 2002. Efek Neurologis pada Penggunaan Heroin (Putauw). USU
Digital Library. Diakses dari repository.usu.ac.id pada 2 Juni 2016 pukul 18.04
Saibi, Arman. 2004. Identifikasi Morfin dalam Urine. USU Digital Library. Diakses dari
repository.usu.ac.id pada 2 Juni 2016 pukul 18.07
Lukman, Gardian dan Eddy Harjanto. 2007. Tata Laksana Farmakologis Nyeri Kanker.
Indonesian Journal of Cancer 3. Hal 121-123.