Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
NAPZA adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat adiktif. Narkotika
disebut juga sebagai obat-obatan anastesi, penggunaan narkotika dapat
mengakibatkan kehilangan kesadaran karena pengaruh sistem susunan saraf pusat.
Narkotika merupakan obat yang berasal dari tanaman yang dapat menyebabkan
hilang kesadaran dan dapat menimbulkan ketergantungan. Golongan I adalah
narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak
ditujukan untuk terapi serta mempunyai potensi sangat tinggi menimbulkan
ketergantungan, contohnya heroin. Narkotika golongan II adalah narkotika yang
memiliki khasiat pengobatan dan sering digunakan sebagai obat alternatif tapi
sebagai pilihan yang terakhir, contohnya morfin.
Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1997, psikotropika adalah zat atau
obat, baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan
khas pada aktivitas mental dan perilaku. Zat adiktif adalah bahan yang dapat
menimbulkan kerugian bagi seseorang yang menggunakannya akibat timbulnya
ketergantungan psikis seperti golongan alkohol, nikotin dan sebagainya. Jenis-jenis
NAPZA antara lain heroin, morfin, ganja, ekstasi, sabu-sabu, obat penenang, dan
alkohol.
Penyalahgunaan NAPZA adalah penggunaan salah satu atau beberapa jenis
NAPZA secara berkala atau teratur diluar indikasi medis, sehingga menimbulkan
gangguan kesehatan fisik, psikis dan gangguan fungsi sosial (Anggraeni, 2015).
Penyalahgunaan NAPZA sangat memberikan efek yang tidak baik dimana bisa
mengakibatkan adiksi (ketagihan) yang berakibat pada ketergantungan karena sifat-
sifat narkoba yang menyebabkan diantaranya 1) Keinginan yang tidak tertahankan
(an over powering desire) terhadap zat yang dimaksud dan kalau perlu dengan jalan
apapun untuk memperolehnya, 2) Kecenderungan untuk menambahkan takaran atau
dosis dengan toleransi tubuh, 3) Ketergantungan psikologis, yaitu apabila pemakaian
zat dihentikan akan menimbulkan gejala-gejala kejiwaan, seperti kegelisahan,
kecemasan, depresi, dan sejenisnya, dan 4) Ketergantungan fisik yaitu apabila
pemakaian zat dihentikan akan menimbulkan gejala fisik yang dinamakan gejala
putus obat (withdrawal symptoms).

Selain memberikan dampak negatif, narkotika juga memberikan dampak yang


positif. Jika digunakan sebagaimana mestinya, terutama untuk menyelamatkan jiwa
manusia dan membantu dalam pengobatan, narkotika memberikan manfaat bagi
kehidupan manusia.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan NAPZA ?
2. Apa jenis-jenis NAPZA ?
3. Apa pengertian dari Morfin?
4. Apa manfaat dari morfin?
5. Bagaimana dampak mengkonsumsi morfin?
6. Bagaimana fase toksikologi morfin di dalam tubuh?

7. Bagaimana cara mendeteksi morfin dalam tubuh?

1.3 Tujuan penulisan


1. Menjelaskan mengenai NAPZA
2. Menjelaskan mengenai jenis-jenis dari NAPZA
3. Menjelaskan mengenai morfin
4. Menjelaskan manfaat morfin
5. Menjelaskan dampak akibat mengkonsumsi morfin
6. Memahami fase toksikologi dari morfin di dalam tubuh
7. Memahami cara mendeteksi morfin dalam tubuh
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA)


NAPZA merupakan jenis obat-obatan yang mempengaruhi gangguan kesehatan
dan jiwa. Secara umum adalah zat-zat kimiawi yang apabila dimasukkan kedalam
tubuh baik secara oral (diminum, dihisap, dihirup dan disedot) maupun disuntik,
dapat mempengaruhi pikiran, suasana hati, perasaan dan perilaku seseorang. Hal ini
dapat menimbulkan gangguan keadaan sosial yang ditandai dengan indikasi negatif,
waktu pemakaian yang panjang dan pemakaian yang berlebihan (Lumbantobing,
2007).
Menurut UU RI Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika menyebutkan bahwa,
Narkotika adalah suatu zat atau obat yang berasal dari tanaman maupun bukan
tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang menyebabkan penurunan dan
perubahan kesadaran, mengurangi dan menghilangkan rasa nyeri serta dapat
menimbulkan ketergantungan secara fisik maupun psikologik. Psikotropika adalah
setiap bahan baik alami ataupun buatan bukan Narkotika, yang berkhasiat psikoaktif
mempunyai pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan
perubahan khas pada aktifitas mental dan perilaku. ZatAdiktif  yaitu bahan lain yang
bukan Narkotika atau Psikotropika yang merupakan inhalasi yang penggunaannya
dapat menimbulkan ketergantungan, misalnya lem, aceton, eter, premix, thiner dan
lain-lain.
Penyalahgunaan NAPZA yaitu pemakaian obat-obatan untuk sendiri tanpa
indikasi medik, tanpa petunjuk atau resep dokter, baik secara teratur atau berkalase
kurang-kurangnya selama satu bulan. Pada penyalahgunaan ini cenderung terjadi
toleransi tubuh yaitu kecenderungan menambah dosis obat untuk mendapat khasiat
yang sama setelah pemakaian berulang. Disamping itu menyebabkan sindroma putus
obat (withdrawal) apabila pemakaian dihentikan (Hawari, 2000).
2.2 Jenis-Jenis Napza
2.2.1. Narkotika
Narkotika memiliki daya adiksi (ketagihan Psikotropika) yang sangat
berat, juga memiliki daya toleran (penyesuaian) dan daya habitual
(kebiasaan) yang sangat tinggi, dimana ketiga sifat inilah yang menyebabkan
pemakai narkotika sulit untuk melepaskan ketergantungannya.
Berdasarkan Undang undang No. 22 Tahun 1997 Narkotika
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) golongan, yaitu:
1. Narkotika Golongan I adalah narkotika yang paling berbahaya dengan
daya adiktif yang sangat tinggi. Karenanya tidak diperbolehkan
penggunaannya untuk terapi pengobatan, kecuali penelitian dan
pengembangan pengetahuan. Narkotika yang termasuk golongan ini
adalah ganja, heroin, kokain, morfin, opium, dan lain sebagainya.
2. Narkotika Golongan II adalah narkotika yang memiliki daya adiktif
kuat, tetapi bermanfaat untuk pengobatan dan penelitian. Meskipun
demikian penggunaan narkotika golongan II untuk terapi atau
pengobatan sebagai pilihan terakhir jika tidak ada pilihan lain. Contoh
dari narkotika golongan II ini adalah benzetidin, betametadol, petidin
dan turunannya, dan lainlain.
3. Narkotika Golongan III adalah jenis narkotika yang memiliki daya
adiktif atau potensi ketergantungan ringan dan dapat dipergunakan
secara luas untuk terapi atau pengobatan danpenelitian. Adapun jenis
narkoba yang termasuk dalam golongan III adalah kodein dan
turunannya, metadon, naltrexon dan sebagainya.
Berdasarkan cara pembuatannya, narkotika dibedakan ke dalam 3 (tiga)
jenis yaitu narkotika alami, narkotika semisintesis, dan narkotika sintesis.
1. Narkotika alami
Narkotika alami adalah narkotika yang zat adiktif diambil dari
tumbuh-tumbuhan (alam), seperti :
a) Ganja adalah tanaman dengan daun yang menyerupai daun
singkong yang tepinya bergerigi dan berbulu halus dengan jumlah
jari yang selalu ganjil (5, 7, dan 9). Biasa tumbuh di daerah tropis.
Cara penyalah gunaannya adalah dengan dikeringkan dan dijadikan
rokok yang dibakar dan dihisap. Nama jalanan yang sering
digunakan ialah: grass, cimeng, ganja dan gelek, hasish,
marijuana, bhang. Efek rasa dari tergolong cepat, si pemakai:
cenderung merasa lebih santai, rasa gembira berlebih, sering
berfantasi. Aktif berkomunikasi, selera makan tinggi, sensitif,
kering pada mulut dan tenggorokan.
b) Hasish adalah tanaman serupa ganja yang tumbuh di Amerika Latin
dan Eropa yang biasanya digunakan para pemadat kelas tinggi.
Penyalah gunaannya adalah dengan menyuling daun/ganja untuk
diambil sarinya dan digunakan dengan cara dibakar.
c) Kokain adalah tanaman perdu mirip dengan pohon kopi dengan
buah yang berwarna merah seperti bijikopi. Kokain diolah dan
dicampur dengan zat kimia tertentu untuk menjadi kokain yang
memiliki daya adiktif yang lebih kuat.
d) Opium adalah bunga dengan bentuk dan warna yang indah, dimana
getahnya dapat menghasilkan candu (opiat). Opium pada masa lalu
digunakan oleh masyarakat Mesir dan Cina untuk mengobati
penyakit, memberikan kekuatan, dan/atau menghilangkan rasa sakit
pada tentara yang terluka sewaktu berperang atau berburu.
2. Narkotika Semi Sintesis
Narkotika semi sintetis adalah berbagai jenis narkotika alami yang
diolah dan diambil zat adiktif (intisarinya), agar memiliki khasiat yang
lebih kuat sehingga dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kedokteran.
Beberapa jenis narkotika semi-sintesis yang disalah gunakan adalah:
sebagai berikut: Getah Opium/Morfin Mentah. Adapun jenis Narkotika
semi sintesis adalah:
a) Kodein adalah alkaloida yang terkandung dalam opium banyak
dipergunakan untuk keperluan medis, dengan khasiat analgesic
yang lemah, kodein dipakai untuk obat penghilang (peredam) batuk.
b) Black Heroin yang dicampur obat-obatan Putaw yang beredar di
Indonesia, dihasilkan dari cairan getah opiumpoppy yang diolah
menjadi morfin. Kemudian dengan proses tertentu menghasil
putauw, dimana putauw mempunyai kekuatan 10 kali melebihi
morfin.
c) Morfin adalah getah opium yang diolah dan dicampur dengan zat
kimia tertentu yang memiliki daya analgesic yang kuat berbentuk
kristal, berwarna putih dan berubah menjadi kecoklatan serta tidak
berbau. Biasa dipakai di dunia kedokteran sebagai penghilang rasa
sakit atau pembiusan pada operasi (pembedahan).
d) Opioidsintetik yang mempunyai kekuatan 400 kali lebih kuat dari
morfin, artinya merupakan turunan kualitas terendah dari opium
atau dapat dianggap sebagai sisa opium. Diproses menjadi morfin
yang diolah lebih lanjut secara kimiawi dan memiliki daya adiktif
yang sangat tinggi, jenis narkotika semisentesis yang paling banyak
disalah gunakan dengan cara dihirup atau disuntikkan. Reaksi dari
pemakaian ini sangat cepat yang kemudian timbul rasa ingin
menyendiri, untuk menikmati efek rasanya dan pada taraf
kecanduan si pemakai akan kehilangan rasa percaya diri. Hingga tak
mempunyai keinginan untuk bersosialisasi, mereka mulai
membentuk dunia mereka sendiri.
e) Petidin ialah obat yang digunakan untuk pengobatan rasa sakit
tingkat menengah hingga kuat, petidin obat yang aman untuk
digunakan karena memiliki resiko ketergantungan yang rendah.
f) Methadon adalah opioidasintesis yang digunakan secara medis
sebagai analgesic, antitussive dan sebagai penekan keinginan
menggunakan opioida. Metadondikembangkan di Jerman pada
tahun 1937. Secara kimia menyerupai morfin atau heroin, metadon
dapat bekerja sebagai reseptoropioida dan dapat memproduksi efek
yang sama. Metadon dapat juga digunakan untuk terapi rasa sakit
yang kronis, dalam jangka panjang dengan biaya yang sangat
rendah (murah). Kegunaan metadon dalam pengobatan
ketergantungan opioida, memberikan hasil yang dapat
menstabilisasi para pasien dengan menghentikan
withdrawalsyndrome (gejala putus obat/sakaw), dan juga pada
akhirnya menghentikan ketergantungan mereka terhadap opioida.
g) Naltrexon adalah antagonisreseptoropioida, yang digunakan secara
primer dalam terapi ketergantungan alkohol dan opioida. Naltrexon
seringkali digunakan untuk rapiddetoxification terhadap
ketergantungan opioida.
h) Buprenorfin atau Subutex merupakan opioidasemisintesis, yang
juga digunakan untuk pengobatan ketergantungan opioida.
Dipasaran Buprenorfin juga dikenal dengan nama Subutex
2.2.2 Psikotropika
Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati
gangguan jiwa (psyche) yang menurut Undang-undang No. 5 Tahun 1997
tentang Psikotropika terbagi menjadi 4 golongan, yaitu:
1. Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat,
dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan
pengembangan ilmu pengetahuan. Seperti; MDMA/ekstasi, LSD dan
STP.
2. Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat, akan tetapi
berguna untuk pengobatan dan penelitian. Contohnya; amfetamin,
metilfenidat atau ritalin.
3. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang dan
berguna untuk pengobatan dan penelitian (lumibal, buprenorsina,
pentobarbital, flunitrazepam dan sebagainya).
4. Golongan IV yaitu jenis psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan
serta berguna untuk pengobatan, seperti nitrazepam (BK, mogadon,
dumolid), diazepam dan lain sebagainya.
2.2.3 Zat Adiktif
Merupakan zat-zat yang tidak termasuk dalam narkotika dan
psikotropika, tetapi memiliki daya adiktif atau dapat Lihat Undang-undang
No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. menimbulkan ketergantungan.
Biasanya ketergantungan seseorang terhadap zat bahan adiktif, merupakan
pintu gerbang kemungkinan adiksi mereka terhadap narkotika dan
psikotropika.
Adapun zat suatu benda yang termasuk dalam kategori bahan adiktif
adalah:
1. Rokok. Pemakaian tembakau yang mengandung nikotin sangat luas
dimasyarakat. Pada upaya penanggulangan NAPZA dimasyarakat,
pemakaian rokok dan alcohol terutama pada remaja harus menjadi
bagian dari upaya pencegahan. Karena rokok dan alkohol sering
menjadi pintu masuk penyalah gunaan NAPZA lain yang lebih
berbahaya.
2. Kelompok alkohol dan minuman lain yang dapat menimbulkan
hilangnya kesadaran (memabukkan) dan menimbulkan ketagihan karena
mengandung; etanoletil alkohol, yang berpengaruh menekan susunan
syaraf pusat, dan sering menjadi bagian dari kehidupan manusia sehari-
hari dalam kebudayaan tertentu. Jika digunakan sebagai campuran
dengan narkotika atau psikotropika, memperkuat pengaruh obat/zat itu
dalam tubuh manusia.
3. Thinner dan zat-zat lain yang jika dihirup dapat memabukkan seperti;
lem kayu, penghapus cair, aseton, cat, bensin dan lain sebagainya.
2.3 Pengertian dan Manfaat Morfin

Morfin (C17 H19 NO3) adalah zat utama yang berkhasiat yang terdapat pada

candu mentah yang diperoleh dari tumbuhan Papaver Somniferum. Kata morfin
berasal dari Morpheus, dewa mimpi dalam metologi Yunani. Morfin adalah alkaloid
analgesik yang sangat kuat bekerja langsung pada sistem saraf pusat dan merupakan
agen aktif utama yang ditemukan pada opium.
Analgesik merupakan obat yang digunakan untuk meredakan rasa sakit. Efek
samping morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia (mengurangi
respon psikologis terhadap nyeri), rasa kantuk, lesu, penglihatan kabur. Morfin juga
menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Morfin banyak
digunakan oleh pasien penderita kanker untuk mengurangi rasa nyeri yang
dialaminya.
Secara kimia, morfin adalah sealkaloid yang termasuk derivat fenantren. Dalam
Farmakologi, morfin merupakan obat yang berkhasiat untuk menghilangkan rasa
(analgetik narkotik). Daya kerjanya 5 sampai 10 kali lebih kuat dari opium. Khasiat
morfin adalah untuk analgetik, menurunkan rasa kesadaran (sedasi, hipnotis),
menghambat pernafasan, menghilangkan refleks batuk dan menimbulkan rasa
nyaman (euphoria) yang kesemuanya berdasarkan penekanan susunan saraf pusat
(SSP).
Morfin digunakan untuk obat dalam bidang kedokteran. Obat dari morfin ini
digunakan untuk mengatasi rasa sakit yang terbilang parah dan berkepanjangan atau
kronis. Morfin bekerja pada saraf dan otak sehingga tubuh tidak merasakan rasa
sakit.
Morfin merupakan jenis obat analgesik opium dan golongan obat resep. Manfaat
morfin yaitu untuk meredakan rasa sakit yang parah. Dapat dikonsumsi oleh dewasa
dan anak-anak. Obat ini berbentuk tablet, kapsul, cairan yang diminum, dan suntik.
Bagi wanita yang sedang merencanakan kehamilan, tengah hamil, atau sedang
menyusui, sebaiknya tidak mengonsumsi obat ini. Perlu berhati-hati bagi penderita
gangguan jantung, ginjal, pernapasan, prostat, saluran empedu, tiroid, pankreas, dan
adrenal, penderita tekanan darah rendah, epilepsi, radang usus, dan myasthenia
gravis atau kondisi yang menyebabkan otot melemah.
Morfin juga banyak digunakan untuk mengontrol nyeri pascaoperasi. Morfin
sering dipergunakan untuk mengontrol nyeri pascaoperasi pada nyeri sedang sampai
berat. Pemberian morfin secara intravena memungkinkan penanganan nyeri yang
cepat dan membatasi risiko overdosis. Meskipun memiliki manfaat besar, morfin
juga dapat menyebabkan ketergantungan. Risiko ketergantungan ini bahkan lebih
tinggi pada pasien yang di masa lalunya pernah kecanduan alkohol atau narkoba.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Dampak Mengkonsumsi Morfin


Morfin merupakan jenis obat analgesik opium dan golongan obat resep. Manfaat
morfin yaitu untuk meredakan rasa sakit yang parah. Dapat dikonsumsi oleh dewasa
dan anak-anak. Obat ini berbentuk tablet, kapsul, cairan yang diminum, dan suntik.
Bagi wanita yang sedang merencanakan kehamilan, tengah hamil, atau sedang
menyusui, sebaiknya tidak mengonsumsi obat ini. Perlu berhati-hati bagi penderita
gangguan jantung, ginjal, pernapasan, prostat, saluran empedu, tiroid, pankreas, dan
adrenal, penderita tekanan darah rendah, epilepsi, radang usus, dan myasthenia
gravis atau kondisi yang menyebabkan otot melemah.
Bagi yang mengalami sembelit selama lebih dari satu minggu, baru-baru saja
mengalami cidera parah di kepala, dan pernah mengalami ketergantungan terhadap
obat-obatan atau minuman keras harus waspada terhadap penggunaan obat ini. Ada
kemungkinan terjadi reaksi alergi atau overdosis pada penggunaan obat dari morfin
ini, apabila hal itu terjadi maka harus segera menemui dokter.
Morfin juga diketahui memiliki efek inhibitor terhadap fagositosis kandida oleh
makrofag, dan bersama-sama dengan adanya hipofungsi kelenjar saliva menjadi
faktor predisposisi bagi terjadinya kandidiasis oral bagi pengguna narkoba.
Pemberian morfin pada penderita yang mengalami nyeri, akan menimbulkan
perasaan eforia dimana penderita akan mengalami perasaan nyaman terbebas dari
rasa cemas. Sebaliknya pada dosis yang sama besar bila diberikan kepada orang
normal yang tidak mengalami nyeri, sering menimbulkan disforia berupa perasaan
kuatir disertai mual, muntah, apati, aktivitas fisik berkurang dan ekstrimitas terasa
berat.
Pemberian morfin dapat menimbulkan efek mengantuk dan lethargi. Kombinasi
morfin dengan obat yang berefek depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan
menyebabkan tidur yang sangat dalam. Selain itu, pemberian morfin dapat
menimbulkan depresi pernafasan, yang disebabkan oleh inhibisi langsung pada
pusat respirasi di batang otak. Depresi pernafasan biasanya terjadi dalam 7 menit
setelah ijeksi intravena atau 30 menit setelah injeksi subkutan atau intramuskular.
Respirasi kembali ke normal dalam 2-3 jam.
Berikut bahaya atau efek samping dalam mengkonsumsi morfin
1. Efek samping yang ringan atau efek awal yang terjadi
yakni rasa mengantuk yang sangat berat. Dengan menggunakan obat morfin
ini, pengguna akan merasakan rasa ngantuk yang amat berat.
2. Merasakan sakit kepala yang sangat. Ini di sebabkan
karena morfin langsung menyerang saraf otak.
3. Rasa euphoria (rasa gembira yang luar biasa). Inilah
tujuan yang biasa di cari para pengguna morfin sendiri.
4. Mudah tersinggung dan mudah pula merasakan marah
terhadap sekelilingnya sebab perbedaan suasana hati di dalam pengguna
morfin.
5. Otot-otot akan melemah, sehingga menimbulkan rasa
malas bergerak terhadap pengguna morfin. Selain malas bergerak, pengguna
akan berbicara cadel.
6. Meningkatkan rasa nyeri yang meningkat oleh
pengguna yang mempunyai penyakit sebelumnya.
7. Morfin sendiri dapat mengurangi motilitas usus yang
menghasilkan penyakit sembelit dan menghambat generasi oksida nitrat yang
dikenai oleh morfin. Itu di sebabkan karena morfin mengurangi sekresi pada
usus dan meningkatkan penyerapan cairan pada usus, sehingga akan
menimbulkan rasa sembelit.
8. Pada hati, morfin akan menyebabkan hepatitis C atau
biasa di sebut dengan peradangan hati. Sebab, morfin sendiri akan
merumitkan hepatitis C dengan kekebalan yang menekan dan meningkatkan
replikasi virus pada hepatitis C. Hal ini akan mengarah pada perkembangan
penyakit yang terjadi.
9. Morfin akan menyerang pada proses psikomotorik
seseorang yang menggunakannya. Psikomotorik pengguna akan terserang dan
mengakibatkan rasa depresi setelah pemakaian morfin yang berlebih. Selain
rasa depresi, kinerja si pengguna akan menjadi buruk dan hilangnya
konsentrasi sehingga selalu membuat kesalahan dan kurangnya rasa perhatian
terhadap sekelilingnya.
10. Dalam jangka panjang, pengguna akan merasakan efek
meurotoksik pada obat morfin ini. Sulit untuk mencegah rasa kecanduan
dalam menggunakan obat morfin.

3.2 Fase Toksikologi Morfin dalam Tubuh Manusia


1. Fase Eksposisi
Morfin tidak dapat menembus utuh pada kulit, namun morfin dapat
menembus pada kulit yang terluka. Morfin juga dapat menembus melalui
mukosa kulit.
2. Fase Toksikokinetik
Pada umumnya efek analgesik dari morfin dapat diabsorpsi dengan baik.
Walaupun absorpsi melalui saluran cerna cepat, ketersediaan hayati dari
beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini mungkin berkurang karena
metabolism first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dalam hati. Oleh karena
itu diperlukan dosis oral yang sangat tinggi untuk memperoleh efek terapi.
Jumlah enzim yang berpengaruh pada reaksi ini sangat bervariasi pada manusia
yang satu dengan yang lain, maka dari itu dosis senyawa yang efektif menjadi
susah untuk ditemukan. Kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi oral,
parentral yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada
gugusan hidroksil aromatik.
Penyerapan morfil oleh beberapa organ dan jaringan merupakan fungsi
faktor fisiologik dan kimia. Meskipun morfin terikat pada protein-protein plasma
dengan berbagai tingkat afisitas, senyawa-senyawa ini dengan cepat
meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan-
jaringan yang perfusinya tinggi seperti di paru, hati, ginjal dan limpa. Walaupun
konsentrasi morfin di otot rangka sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat
utama untuk simpanan obat karena massanya yang lebih besar. Walaupun
demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada
pemakaian dosis tinggi morfin. Kadar morfin dalam otak biasanya relatif rendah
dibandingkan dengan di organ-organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak.
Penggunaan analgesik morfin untuk analgesia obstetrik dapat menumbulkan
dapresi pernapasan pada bayi baru lahir.
Sebagian besar morfin dikonversi menjadi metabolit polar, sehingga mudah
diekskresi oleh ginjal. Senyawa morfin dapat mudah dikonjugasi dengan asam
glukoronat. Akumulasi dari metabolit aktif ini dapat dijumpai pada pasien-pasien
gagal ginjal serta dapat memperpanjang feek analgesiknya meskipun yang masuk
kedalam SSP terbatas. Morfin juga mengalami N-dimetilasi oleh hati, namun
hanya sebagian kecilnya saja. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, metabolit
dapat menimbulkan kejang utama pada anak.
Metabolit polar morfin diekskresi terutama pada ginjal. Konjugasi glukoroid
juga diekskresi ke dalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya
merupakan bagian kecil dari proses ekskresi. Morfin diekskresi dalam bentuk
terkonjugasi, yang dominan adalah 3-0 glukuronida.
3. Fase Toksikodinamik
Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung obat
polos. Efek morfin pada sistem saraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi
dan stimulasi. Yang diggolongkan depresi yaitu analgesis, sedasi, perubahan
emosi, dan hipoventilasi alveolar. Sedangkan stimulasi antara lain miosis, mual,
muntah, hiperaktif reflek spinal, konvulsi dan ekskresi hormone ADH.

3.3 Cara mendeteksi morfin dalam tubuh manusia


Morfin dapat dideteksi melalui Anamnesa dan Pemeriksaan fisik, misalnya :
1. Gejala klinis
a. Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain
nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu
menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis.
b. Pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh.
c. Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium.
d. Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral,
timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.
1) Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya
tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari :
a) Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.
b) Halusinasi.
c) Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.
d) Dapat menjadi maniak.
2) Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa
jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari :
a) Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan
b) Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.
c) Wajah sianosis, pupil amat mengecil.
d) Pulse dan respirasi normal.
3) Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :
a) Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.
b) Proses sekresi.
c) Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada
asfiksisa, dan ini merupakan tanda akhir.
d) Respirasi cheyne stokes.
e) Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal
2. Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti :
a. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.
b. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.
c. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.
d. Barang bukti lainnya.
3. Metode lain yang dapat digunakan :
a. Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography
(GasLiquid Chromatography). Pada metode TLC, terutama pada keracunan
peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian
secara oral, morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida
dalam sel mukosausus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu,
maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk
mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang
pasti.
b. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama
dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat
banyak.Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar
morfin/ heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar
dosis lethalis.Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama
dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada
yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal
dari morfinnya sendiri dandari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan,
kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya
sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif Lainnya) merupakan jenis obat-obatan
yang mempengaruhi gangguan kesehatan dan jiwa. Narkotika memiliki daya adiksi
(ketagihan Psikotropika) yang sangat berat, juga memiliki daya toleran (penyesuaian)
dan daya habitual (kebiasaan) yang sangat tinggi, dimana ketiga sifat inilah yang
menyebabkan pemakai narkotika sulit untuk melepaskan ketergantungannya.
Psikotropika adalah obat yang digunakan oleh dokter untuk mengobati gangguan jiwa
(psyche). Zat adiktif Merupakan zat-zat yang tidak termasuk dalam narkotika dan
psikotropika, tetapi memiliki daya adiktif. Biasanya ketergantungan seseorang terhadap
zat bahan adiktif, merupakan pintu gerbang kemungkinan adiksi mereka terhadap
narkotika dan psikotropika.

Morfin jenis narkotika semi sintesis merupakan jenis obat analgesik opium dan golongan
obat resep. Manfaat morfin yaitu untuk meredakan rasa sakit yang parah. Dapat
dikonsumsi oleh dewasa dan anak-anak. Kombinasi morfin dengan obat yang berefek
depresi sentral seperti hipnotik sedatif akan menyebabkan tidur yang sangat dalam.
Selain itu, pemberian morfin dapat menimbulkan depresi pernafasan. Efek toksikologi
morfin terhadap manusia dibagi menjadi 3 fase yakni fase eksposisi, fase toksikokinetik,
fase toksikodinamik. Morfin dapat dideteksi melalui Anamnesa dan pemeriksaan fisik,
misalnya gejala klinis, pemeriksaan urin, darah, nasal swab, dan metode lain.

4.2 Saran

Obat-obatan terlarang bukanlah jawaban yang tepat bagi semua masalah, bahkan
sebaliknya, akan menimbulkan masalah yang jauh lebih besar. Pemakai obat-obatan
terlarang adalah orang yang mengalami kerugian besar, dan dapat berakhir pada
kematian. Tindakan yang paling baik untuk menanggulangi bahaya narkoba adalah
mencegah keterlibatan dengan narkoba itu sendiri karena pencegahan jauh lebih baik
dibandingkan dengan pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

Anggraeni, D. 2015. Dampak bagi pengguna narkotika, psikotropika dan zat adiktif
(NAPZA) di kelurahan gunung kelua samarinda ulu. eJournal Sosiatri-Sosiologi
2015, 3 (3): 37 – 51. Di dapat dari ejournal.sos.fisip-unmul.ac.id pada 1 juni
2016 pukul 20.00 WIB

Sholihah, Q. 2013. Efektivitas program P4GN terhadap pencegahan penyalahgunaan


napza. Universitas Lambung Mangkurat. KEMAS 9 (1) (2013) 153-159. Di
dapat dari http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/kemas pada 1 juni 2016
pukul 19.45 WIB

Iriani,D. 2015. Kejahatan narkoba : penanggulangan, pencegahan dan penerapan


hukuman mati. Di dapat dari
http://jurnal.stainponorogo.ac.id/index.php/justicia/article/download/ 331/227
pada 1 juni 2016 pukul 16.45 WIB

Japardi, Iskandar. 2002. Efek Neurologis pada Penggunaan Heroin (Putauw). USU
Digital Library. Diakses dari repository.usu.ac.id pada 2 Juni 2016 pukul 18.04

Saibi, Arman. 2004. Identifikasi Morfin dalam Urine. USU Digital Library. Diakses dari
repository.usu.ac.id pada 2 Juni 2016 pukul 18.07

Lukman, Gardian dan Eddy Harjanto. 2007. Tata Laksana Farmakologis Nyeri Kanker.
Indonesian Journal of Cancer 3. Hal 121-123.

Hengki Irawan, I Made Subagiartha, I Made Gede Widnyana. 2014. Pemberian


Magnesium Sulfat Intravena Meningkatkan Efek Analgesia Pascaoperasi pada
Bedah Mayor Menggunakan Anestesi Umum. Jurnal Anestesi Perioperatif.
Volume 2 Nomor 3. Hal 222-228.

Sudjono D, 1977, Narkotika dan Remaja, Penerbitan Alumni Bandung.

Aurora, Febryna. 2015. Paper Toksikologi Kimia “Morfin”.


http://dokumen.tips/documents/kelompok-vii-morfin.html. Diakses pada 1 Juni 2016
pukul 20.58 WIB.
Ana. 2015. 19 Efek Dampak Bahaya Morfin Bagi Penggunanya : Kesehatan dan Tubuh.
Dalam HaloSehat.Com [online]. http://halosehat.com/farmasi/aditif/efek-dampak-
bahaya-morfin-bagi-penggunanya. Diakses pada 2 Juni 2016.

Triasmarasari, Steffie Cindikia. 2009. Pusat Rehabilitasi Bagi Pengguna Narkoba Di


Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Skripsi. Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai