Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Nyamuk Aedes aegypti


1. Taksonomi Nyamuk Aedes aegypti
Nyamuk Aedes aegypti merupakan vektor berbagai macam penyakit
diantaranya DBD. Walaupun beberapa spesies dari Aedes sp. dapat
berperan sebagai vektor, tetapi Aedes aegypti tetap menjadi vektor utama
dalam penyebaran penyakit DBD (Palgunadi, 2012).
Menurut Yudhastuti (2011 : 6), kedudukan nyamuk Aedes aegypti
dalam klasifikasi hewan sebagai berikut:
Filum : Arthropoda
Kelas : Insecta
Ordo : Diptera
Famili : Culicidae
Tribus : Culicini
Genus : Aedes
Species : Aedes aegypti
2. Morfologi
Nyamuk Aedes aegypti berukuran kecil (4-13 mm) dan rapuh.
Kepalanya memiliki probosis halus dan panjang yang melebihi panjang
kepala. Pada nyamuk betina probosis dipakai sebagai alat untuk
menghisap darah, sedangkan pada nyamuk jantan digunakan untuk
menghisap bahan-bahan cair seperti cairan tumbuh-tumbuhan dan buah-
buahan.
Di kiri dan kanan probosis terdapat palpus yang terdiri dari 15 ruas.
Antena pada nyamuk jantan berambut lebat (plumose) dan pada nyamuk
betina jarang (pilose). Sebagian besar toraks yang tampak (mesonatum)
diliputi bulu halus. Bagian posterior dari mesonatum terdapat skutelum
yang membentuk 3 lengkungan (trilobus).
Sayap nyamuk panjang dan langsung mempunyai vena yang
permukaannya ditumbuhi sisik-sisik sayap (wing scales) yang letaknya

8
mengikuti vena. Pada pinggir sederetan rambut yang disebut fringe.
Abdomen berbentuk silinder dan terdiri dari 10 ruas. Dua ruas yang
terakhir berubah menjadi alat kelamin. Nyamuk mempunyai 3 pasang kaki
yang melekat pada toraks dan tiap kaki terdiri atas 1 ruas femur (paha), 1
ruas tibia (betis) dan 5 ruas tarsus (tampak). Pada ruas kaki ada gelang-
gelang putih, tetapi pada bagian tibia kaki belakang tidak ada (Ariani, A.
P., 2016 : 24-25).
Bagian punggung terdapat gambaran garis-garis putih yang
membedakan nyamuk Aedes aegypti dengan nyamuk lainnya. Garis
tersebut berupa gambaran sepasang garis lengkung putih (lyre) pada
tepinya dan sepasang garis submedian di tengahnya. Pada waktu istirahat,
posisi tubuh nyamuk sejajar dengan bidang permukaan yang
dihinggapinya (Soegijanto, 2012 : 250).

Gambar II.1 Morfologi Nyamuk Aedes aegypti


Sumber: Pangestu, 2015

9
3. Siklus Hidup

Gambar II.2 Siklus Nyamuk Aedes aegypti


Sumber: Ditjen, P2&PL., 2011

Nyamuk Aedes aegypti mengalami metamorfosis sempurna,


terdiri dari empat tahap yaitu dari stadium telur, larva, pupa dan nyamuk
dewasa.
a. Telur

Gambar II.3 Telur Nyamuk Aedes aegypti


Sumber: Ishartadiati, 2009

Pada waktu dikeluarkan, telur Aedes aegypti berwarna putih,


dan berubah menjadi hitam dalam waktu ± 30 menit. Telur diletakkan
satu demi satu di permukaan air, atau sedikit dibawah permukaan air
dalam jarak ±2,5 cm dari tempat perindukan. Telur dapat bertahan
sampai 6 bulan dalam keadaan kering, namun akan menetes dalam

10
waktu 1-2 hari pada keadaan basah atau dengan suhu 23-27ºC
(Yulidar dan Arda, 2016 : 14).
Menurut Brown (1971) dalam Yulidar dan Arda (2016 : 14-
15), telur diletakkan di dalam air akan menetas dalam waktu 1-3 hari
pada suhu 30 ºC, tetapi membutuhkan waktu 7 hari pada suhu 16 ºC.
Dalam sekali bertelur, nyamuk Aedes aegypti dapat menghasilkan
100-200 butir. Pada kondisi normal, telur yang direndam di dalam air
akan menetas sebanyak 80% pada hari pertama dan 95% pada hari
kedua. Telur Aedes aegypti berukuran kecil yaitu ± 50 µ, berbentuk
lonjong (oval) dan tidak memiliki pelampung. Faktor-faktor yang
mempengaruhi daya retas telur adalah suhu, pH air, cahaya,
kelembaban dan daya fertilitas telur itu sendiri.
b. Larva

Gambar II.4 Larva Aedes aegypti


Sumber: Bowles and Swaby, 2006

Perkembangan larva tergantung pada suhu, kepadatan populasi


dan ketersediaan makanan. Larva berkembang pada suhu 28ºC sekitar
10 hari. Pada suhu air antara 30-40ºC larva akan berkembang menjadi
pupa dalam waktu 5-7 hari. Larva lebih menyukai air bersih, akan
tetapi tetap dapat hidup dalam air yang keruh baik bersifat asam atau
basa (Ariani A. P., 2016 : 19-20).
Adapun ciri larva Aedes aegypti adalah adanya corong udara
(siphon) pada ruas terakhir pada abdomen tidak dijumpai adanya
rambut-rambut berbentuk kipas. pada siphon terdapat pektin serta

11
sepasang rambut yang berjumbai. Pada setiap sisi abdomen segmen
kedelapan ada comb scale sebanyak 8-21 atau berjejer 1-3. Bentuk
individu dari comb scale seperti duri, pada thorax terdapat duri yang
panjang dengan bentuk kurva dan adanya sepasang rambut di kepala.
Larva Aedes aegypti biasa bergerak-gerak lincah dan aktif, dengan
memperlihatkan gerakan-gerakan naik ke permukaan air dan turun ke
dasar wadah secara berulang (Yulidar dan Arda, 2016 : 15-16).
Larva beristirahat di air kemudian membentuk sudut dengan
permukaan dan menggantung hampir tegak lurus. Larva mengambil
oksigen di udara dengan berenang menuju permukaan dan
menempelkan siphon diatas permukaan air. Larva Aedes aegypti
memiliki empat tahapan perkembangan yang disebut instar meliputi
instar I, II, III dan IV. Larva instar IV mempunyai ciri siphon pendek,
sangat gelap dan kontras dengan warna tubuhnya. Gerakan larva instar
IV lebih lincah dan sensitif terhadap rangsangan cahaya. Dalam
keadaan normal (cukup makan dan suhu air 25-27ºC) perkembangan
larva instar ini sekitar 6-8 hari (Ariani A. P., 2016 : 20).
c. Pupa

Gambar II.5 Pupa Aedes aegypti


Sumber: Ditjen, P2&PL., 2011:54

Pupa Aedes aegypti berbentuk bengkok dengan kepala besar


sehingga menyerupai tanda koma, memiliki siphon pada thorax untuk
bernapas. Pupa nyamuk Aedes aegypti bersifat aquatik dan tidak
seperti kebanyakan pupa serangga lain yaitu sangat aktif. Pupa Aedes

12
aegypti tidak makan tetapi masih memerlukan oksigen untuk bernapas
melalui sepasang struktur seperti terompet yang kecil pada thorak.
Pupa pada tahap akhir akan membungkus tubuh larva dan mengalami
metamorfosis menjadi nyamuk Aedes aegypti dewasa dalam waktu 2-
4 hari (Ariani, A. P, 2016 : 21).
d. Dewasa

Gambar II.6 Nyamuk Aedes aegypti Dewasa


Sumber: Bowles and Swaby, 2006

Nyamuk Aedes aegypti terdiri atas 3 bagian yaitu kepala, dada,


dan perut. Aedes aegypti betina dewasa menghisap darah sebagai
makanannya untuk pematangan telur, sedangkan Aedes aegypti jantan
hanya makan cairan buah-buahan dan bunga. Setelah berkopulasi,
nyamuk Aedes aegypti betina menghisap darah dan tiga hari kemudian
akan bertelur sebanyak ±125 butir dan rata-rata 100 butir. Kemudian
akan menghisap darah lagi. Lama hidup Aedes aegypti juga tergantung
pada tinggi rendahnya suhu, kelembaban udara, persediaan air,
makanan dan predator. Aedes aegypti dapat hidup pada suhu 20ºC
dengan kelembaban 70% bertahan ±100 hari dan akan mati bila
berada pada suhu 6ºC selama 24 jam (Yulidar dan Arda, 2016 : 17).
4. Bionomik Nyamuk Aedes aegypti
a. Tempat Perkembangbiakan
Nyamuk Aedes aegypti meletakkan telurnya diatas permukaan
air, kemudian telur menepi dan melekat pada dinding-dinding habitat

13
perkembangbiakannya. Habitat perkembangbiakan tersebut antara lain
sebagai berikut:
1) Tempat penampungan air untuk keperluan sehari-hari, seperti
tangki reservoir, tempayan, bak mandi dan ember.
2) Tempat penampungan air bukan untuk keperluan sehari-hari,
seperti tempat minum burung, vas bunga, bak pembuangan air,
barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng, botol, dll.
3) Tempat penampungan air alamiah, seperti lubang pohon, pelepah
daun, tempurung kelapa, pelepah pisang dan potongan bambu
(Ditjen, P2&PL., 2011 : 56).
b. Perilaku Mencari Makan
Nyamuk Aedes aegypti jantan menghisap cairan tumbuhan atau
sari bunga untuk keperluan hidupnya sedangkan yang betina menghisap
darah. Darah tersebut berfungsi untuk pematangan sel telur, agar dapat
menetas (Ditjen, P2&PL., 2011 : 56). Setelah kawin, nyamuk betina
memerlukan darah untuk bertelur. Nyamuk betina menghisap darah
manusia setiap 2-3 hari sekali. Menghisap darah pada pagi hari sampai
sore hari, dan lebih suka pada jam 08.00-10.00 dan jam 15.00-17.00.
Untuk mendapatkan darah yang cukup, nyamuk betina sering menggigit
lebih dari 1 orang. Umur nyamuk betina dapat mencapai sekitar 1 bulan
(Ariani, A. P., 2016 : 26).
c. Perilaku Istirahat
Setelah kenyang menghisap darah, nyamuk betina perlu
istirahat sekitar 2-3 hari untuk mematangkan telur. Tempat istirahat
yang disukai yaitu tempat-tempat yang lembab dan kurang terang,
seperti kamar mandi, dapur, WC didalam rumah, baju yang digantung,
kelambu, tirai, di luar rumah seperti pada tanaman hias di halaman
rumah (Ariani, A. P., 2016 : 26).
d. Jarak Terbang
Jarak terbang nyamuk Aedes aegypti ± 100 m (Ariani, A. P.,
2016 : 26). Jarak terbang nyamuk sangat dipengaruhi oleh arah dan
kecepatan angin setempat. Sehingga jarak terbang nyamuk dapat

14
diperpendek atau diperpanjang tergantung kecepatan angin (Yudhastuti,
2011 : 83).
5. Faktor Lingkungan
a. Suhu
Nyamuk merupakan binatang berdarah dingin dan karenanya
proses-proses metabolisme dan siklus hidupnya tergantung pada suhu
lingkungan. Suhu optimum untuk perkembangan nyamuk adalah 25ºC-
27ºC, pertumbuhan nyamuk akan terhenti pada suhu kurang dari 10ºC
atau lebih dari 40ºC. Suhu yang meningkat dapat memperpendek masa
harapan hidup nyamuk dan dapat mengganggu perkembangan patogen.
Telur Aedes aegypti yang menempel pada dinding akan mengalami
embrionasi pada suhu 25ºC-30ºC selama 72 jam. Telur yang mengalami
embrionasi dapat tahan pada kekeringan selama lebih dari satu tahun
(Sucipto, 2011 : 53-55).
b. Kelembaban
Kelembaban merupakan kandungan uap air dalam udara yang
biasanya dinyatakan dalam persen (%). Nyamuk menyukai tempat yang
memiliki kelembaban yang tinggi sebagai tempat hinggap atau istirahat.
Dimana pada kelembaban kurang dari 60% dapat memperpendek umur
nyamuk (Sucipto, 2011 : 53-55), sedangkan pada kelembaban yang
lebih tinggi nyamuk menjadi aktif dan lebih sering menggigit
(Yudhastuti, 2011 : 83).
6. Pengendalian Vektor
Pengendalian vektor adalah semua kegiatan atau tindakan yang
ditujukan untuk menurunkan populasi vektor serendah mungkin sehingga
keberadaannya tidak lagi beresiko untuk terjadinya penularan penyakit
tular vektor di suatu wilayah atau menghindari kontak masyarakat dengan
vektor sehingga penularan penyakit tular vektor dapat dicegah (Permenkes
RI No. 374, 2010).

15
Pengendalian Vektor DBD dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu:
a. Pengendalian Fisik dan Mekanik
Metode pengendalian fisik dan mekanik adalah upaya-upaya
untuk mencegah, mengurangi, menghilangkan habitat
perkembangbiakan dan populasi vektor secara fisik dan mekanik.
Contohnya: modifikasi dan manipulasi lingkungan tempat perindukan
seperti melakukan 3M (Menguras, Mengubur, Menutup), pembersihan
lumut, penanaman bakau, pengeringan, pengaliran/drainase, dan lain-
lain (Permenkes No. 374, 2010).
Untuk mengurangi kontak dengan vektor dapat memasang
kawat kasa pada ventilasi, memakai kelambu ketika tidur, dan
menggunakan raket nyamuk elektronik. Selain itu mengurangi
kebiasaan menggantung pakaian kotor (Yudhastuti, 2011 : 23).
b. Pengendalian Kimia
Untuk pengendalian ini digunakan bahan kimia untuk
membunuh serangga (insektisida) atau hanya menghalau serangga
(repellent). Pengendalian secara kimia dapat dilakukan dengan cepat,
meliputi daerah yang luas, dan dapat menekan populasi serangga dalam
waktu singkat. Insektisida yang banyak digunakan terutama golongan
organophosphate, carbamate dan chlorimated hydrocarbon beberapa
diantaranya DDT. Namun apabila digunakan terus menerus dapat
menyebabkan pencemaran lingkungan dan resistensi sehingga mulai
dikembangkan suatu insektisida yang dapat mengatur pertumbuhan
serangga (Yudhastuti, 2011 : 23-24).
c. Pengendalian Biologis
Cara pengendalian secara biologi dengan menggunakan
organisme yang pada umumnya bersifat predator. Beberapa parasit dari
golongan nematoda, bakteri, protozoa, jamur, dan virus dapat dipakai
sebagai pengendalian larva nyamuk. Arthropoda juga dapat sebagai
pengendali nyamuk dewasa. Predator yang baik untuk pengendalian
larva nyamuk terdiri dari beberapa jenis ikan, larva nyamuk yang

16
berukuran lebih besar, larva, capung, dan Crustaceae (Yudhastuti, 2011
: 26).
d. Pengendalian Genetik
Cara pengendalian genetik menggunakan teknik memandulkan
nyamuk jantan. Pemandulan ini dapat dilakukan dengan cara
menggunakan radiasi cobalt 60. Nyamuk yang telah dimandulkan
tersebut dilepas ke alam bebas. Radiasi yang diberikan pada nyamuk
dapat merusak kualitas sperma sehingga apabila berkopulasi dengan
nyamuk betina tidak terjadi pembuahan karena sitoplasma telur tidak
dapat ditembus oleh sperma (Yudhastuti, 2011 : 26-27).

B. Tinjauan Tentang Tanaman Kamboja (Plumeria acuminata)

Gambar II.7 Tanaman Kamboja (Plumeria acuminata)


Sumber: Farooque, 2012

Tanaman Kamboja mempunyai nama latin Plumeria acuminata.


Kamboja merupakan tanaman yang berasal dari Mexico, Amerika Tengah,
Karibia, Amerika selatan dan tersebar di daerah tropis. Kamboja ini dapat
digunakan sebagai obat seperti demam, diare dan gatal (Farooque, 2012 :
467). Tanaman tersebut biasanya ditanam sebagai tanaman hias di
pekarangan, taman dan umumnya di daerah perkuburan, atau tumbuh secara
liar. Tanaman Kamboja tumbuh dapat tumbuh dari ketinggian 1-700 mdpl
(Nuraini, 2014 : 81).

17
1. Klasifikasi
Klasifikasi tanaman Kamboja (Plumeria acuminata) menurut
Tjitrosoepomo, G. (2016) sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Ordo : Apocynales
Famili : Apocyanaceae
Genus : Plumeria
Spesies : Plumeria acuminata
2. Morfologi
Tanaman Kamboja memiliki pohon berukuran kecil dengan tinggi
3-7 m, cabang gemuk berdaging dan lunak, serta mengandung getah putih
yang melimpah. Daunnya tunggal, berkumpul di ujung tangkai, berbentuk
bulat memanjang, panjangnya mencapai 40 cm dan lebarnya 7 cm, pangkal
menyempit, tepi rata, tulang daun menyirip. Bunganya biseksual, berbau
wangi, bagian atas bunga berwarna putih, sedangkan bagian dalamnya
berwarna kuning, panjangnya 5-6 cm (Farooque, 2012 : 467-468).
3. Kandungan Kimia
Menurut Widiantara, I komang (2014 : 19) berdasarkan hasil uji
laboratorium pada ekstrak daun Kamboja (Plumeria acuminata) memiliki
kandungan kimia antara lain senyawa saponin, steroid, fenol, tannin,
glikosida, minyak atsiri, dan flavonoid.
Berdasarkan hasil uji skrining fitokimia yang diperoleh dari
Laboratorium Unit Layanan dan Pengujian Fakultas Farmasi Universitas
Airlangga Surabaya, daun Kamboja (Plumeria acuminata) mengandung
senyawa flavonoid 0,93% dan Polifenol 1,86%, kemudian menurut Badan
Penelitian dan Konsultasi Industri (BPKI) pada daun Kamboja (Plumeria
acuminata) mengandung senyawa saponin 51,07 mg/100 g dan alkaloid
60,36 mg/100 g.

18
Adapun kandungan keempat senyawa tersebut adalah :
a. Flavonoid
Flavonoid merupakan racun pernapasan karena menyebabkan
kerusakan spirakel, akibatnya serangga tidak bisa bernapas kemudian
mati. Flavonoid juga berfungsi sebagai anticholinesterase. Dengan
tidak aktifnya enzim cholinesterase, maka dapat menghambat proses
hidrolisis asetilcholin yang menghasilkan asam asetat dan cholin yang
berfungsi sebagai perantara kimia pada impuls saraf sehingga
rangsangan yang sampai tidak dapat diteruskan. Akibatnya dapat
menimbulkan kelumpuhan terutama pada otot-otot pernapasan
(Nopianti dkk., 2008 dalam Utami, 2017 : 27).
b. Saponin
Saponin merupakan glikosida dalam tanaman yang sifatnya
menyerupai sabun dan dapat larut dalam air. Saponin termasuk
senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan spesies tanaman yang
berbeda, terutama tanaman dikotil dan berperan sebagai bagian dari
sistem pertahanan tanaman dan termasuk kedalam kelompok besar
molekul pelindung tanaman. Saponin diketahui mempunyai efek anti
serangga karena saponin yang terdapat pada makanan yang
dikonsumsi serangga dapat menurunkan aktivitas enzim pencernaan
dan penyerapan makanan. Oleh sebab itu saponin disebut racun perut
(Suparjo, 2008 : 1-2). Saponin juga dapat merusak kulit nyamuk atau
terjadinya trauma kulit, kemudian pada binatang menunjukkan
penghambatan aktifitas otot polos (Gurning, 2015).
c. Polifenol
Senyawa polifenol banyak ditemukan dalam buah, sayur dan biji.
Polifenol berperan dalam memberi warna pada suatu tumbuhan.
Mekanisme kerja polifenol dalam proses kematian nyamuk dengan
menyebabkan kerusakan pada sel nyamuk. Polifenol bertindak sebagai
racun perut (Anggarini, 2012 dalam Gurning, 2015).

19
d. Alkaloid
Alkaloid adalah suatu golongan senyawa organik yang terbanyak
ditemukan di alam. Hampir seluruh senyawa alkaloid berasal dari
tumbuh-tumbuhan dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan.
Alkaloid dapat ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti
biji, daun, ranting dan kulit batang (Lenny, 2006 : 18). Alkaloid pada
serangga bertindak sebagai racun perut. Alkaloid dapat mendegradasi
membran sel untuk masuk ke dalam dan merusak sel. Alkaloid juga
sebagai anticholinesterase yang berfungsi menghambat kerja enzim
cholinesterase yang mempengaruhi transmisi impuls syaraf (Utami
dan Widya, 2017 : 25).

C. Tinjauan Tentang Insektisida Nabati


1. Insektisida Nabati
Insektisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik,
serta virus yang dipergunakan untuk memberantas atau mencegah
binatang-binatang yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia
(Ditjen, P2&PL., 2012 : 3). Sedangkan Insektisida nabati adalah jenis
insektisida alami karena bahan dasarnya berasal dari tanaman
(Djojosumarto, 2008 : 31)
Tumbuhan mengandung banyak bahan kimia yang merupakan
metabolit sekunder. Golongan metabolit sekunder yang mempunyai
bioaktivitas seperti insektisida antara lain adalah, alkaloid, fenol,
flavonoid, glikosid, tanin, dan terpenoid (Hasibuan, R., 2015 : 87). Karena
bahan dasar yang digunakan sebagai insektisida nabati berasal dari
tanaman, maka apabila digunakan dapat terurai dengan mudah di alam
sehingga tidak mencemari lingkungan, relatif aman bagi manusia dan
ternak atau hewan lain karena residunya mudah hilang.
Menurut Hasibuan, R. (2015 : 33-37) Daya racun pada insektisida
dipengaruhi berdasarkan cara masuknya (route of entry) insektisida
kedalam tubuh organisme target atau bagaimana serangga terpapar dengan

20
insektisida. Berdasarkan cara masuknya toksikan ke tubuh serangga,
insektisida dibagi menjadi:
a. Racun Lambung atau Perut (Stomach Poison)
Insektisida yang membunuh serangga sasaran dengan cara
masuk ke sistem pencernaan melalui alat mulut bersamaan dengan
makanan yang mereka makan. Insektisida ini masuk melalui mulut,
kemudian diserap dan bekerja dalam saluran pencernaan, sehingga
insektisida ini juga dikenal dengan racun lambung. Setelah masuk ke
organ pencernaan serangga, toksikan insektisida diserap oleh dinding
usus kemudian ditranslokasikan ke tempat sasaran yang mematikan
sesuai dengan jenis bahan aktif insektisida tersebut.
b. Racun Kontak (Contact Poison)
Insektisida yang masuk ke dalam tubuh serangga melalui kulit.
Insektisida golongan ini menyebabkan serangga target terbunuh
apabila terpapar langsung (kontak) dengan insektisida tersebut. Salah
satu persyaratan racun kontak adalah bahwa bahan kimia yang
terkandung dalam insektisida racun kontak dapat melarutkan lemak
atau lapisan lilin pada kutikula. Hal tersebut memastikan bahwa bahan
aktif yang terkandung dalam insektisida dapat menembus tubuh
serangga dan masuk ke dalam tubuh serangga target.
c. Racun Pernapasan (Fumigants)
Insektisida yang masuk melalui sistem pernapasan serangga
(trachea). Insektisida pernapasan di formulasikan sedemikian rupa
hingga memiliki bentuk partikel mikro yang melayang di udara.
Serangga akan mati bila menghirup partikel mikro insektisida dalam
jumlah yang cukup. Kebanyakan racun pernapasan berupa gas, asap,
maupun uap. Oleh karena itu, nama racun pernapasan sering dikenal
dengan fumigan. Secara umum, fumigan dapat meracuni dan
membunuh serangga target setelah fase uapnya masuk ke dalam
saluran pernapasan.

21
Cara kerja insektisida dalam tubuh serangga dikenal dengan istilah
mode of action. Mode of action adalah cara insektisida memberikan
pengaruh melalui titik tangkap (target site) didalam tubuh serangga. Cara
kerja insektisida yang digunakan dalam pengendalian vektor terbagi
dalalm 5 kelompok yaitu:
a. Mempengaruhi Sistem Saraf (Nerve Poison)
Insektisida akan mempengaruhi protein serabut saraf, dimana protein
tersebut pada keadaann normal membuka untuk memberikan
rangsangan pada saraf dan menutup untuk menghentikan sinyal saraf,
namun akibat paparan insektisida maka mencegah terjadinya
penutupan secara normal dan tidak mampu menghentikan impuls saraf
setelah melewati sinaps yang berakibat terjadinya rangsangan saraf
berkelanjutan. Hal ini menyebabkan tremor dan gerakan inkoordinasi
pada serangga yang keracunan dan berakhir kematian.
b. Mempengaruhi Sistem Endokrin (Affect the Insect Endocrine System)
Insektisida jenis ini akan mengganggu sistem endokrin yang spesifik
pada zat pengatur tumbuhan di serangga. Bahan aktif insektisida akan
memacu hormon kemudaan atau juvenil di otak untuk terus diproduksi
sehingga serangga tidak akan tumbuh dan tetap pada stadium pra
dewasa. Pada kondisi normal hormon juvenil ini akan berhenti
diproduksi jika pertumbuhan serangga sudah dirasa cukup sehingga
serangga akan mengalami pergantian kulit. Akibat racun insektisida
ini kerja hormon menjadi terus menerus sehingga pertumbuhan
serangga menjadi kacau, tidak mampu melakukan pergantian kulit
secara normal dan walaupun serangga telah mencapai tahap dewasa,
serangga tidak mampu bereproduksi secara normal.
c. Mengahambat produksi energi (Inhibit Energy Production)
Insektisida akan menghambat terbentuknya ATP yang merupakan
sumber energi sehingga serangga akan mati kehabisan energi.
Insektisida terikat pada sitokrom yang terdapat di mitokondria
sehingga mengganggu transport elektron. Proses pembentukan ATP
terjadi melalui proses respirasi yang salah satu fasenya adalah

22
transport elektron. Akibat keracunan ini serangga tidak dapat
melakukan proses metabolisme secara normal mengakibatkan
terganggunya pertumbuhan serangga dan pada akhirnya akan mati
karena kekurangan energi.
d. Menghambat produksi kutikula (Inhibit Cuticle Production)
Insektisida menghambat sintesis kitin (sebagai inhibitor) atau
penghambat zat pengatur tumbuh pada serangga. Serangga yang
terkena tidak bisa memproduksi kitin yang merupakan komponen
utama pada eksoskeleton. Oleh karena itu pada saat pergantian kulit
tidak akan bisa memproduksi kutikula secara sempurna. Akibatnya
proses skeletonisasi (penebalan) kulit tidak terjadi.
e. Menghambat keseimbangan air (Affecting Water Balance)
Tubuh serangga dilapisi lilin yang bertujuan untuk melindungi tubuh
serangga dari penguapan air pada tubuhnya. Insektisida ini akan
menghilangkan lapisan lilin yang yang melindungi tubuhnya sehingga
serangga akan mati karena kekurangan air.
Pengujian insektisida merupakan metode untuk mengevaluasi dosis
efektif suatu insektisida. Pengujian daya bunuh insektisida dapat dilakukan
dengan beberapa metode atau cara perlakuan seperti:
a. Metode kontak (residu)
b. Metode pemberian pakan
c. Metode perlakuan setempat (topical application)
d. Metode injeksi
e. Metode celup
Penggolongan toksisitas suatu insektisida dilakukan oleh badan
internasional seperti WHO dan EPA (Environmental protection agency)
yang merupakan referensi bagi industri insektisida maupun penggunanya.
Toksisitas (toxicity) adalah suatu kemampuan yang melekat pada suatu
bahan kimia untuk menimbulkan "keracunan"/"kerusakan". Toksisitas
biasanya dinyatakan dalam sutu nilai yang dikenal sebagai dosis atau
konsentrasi mematikan pada hewan coba dinyatakan dengan lethal dose
(LD) atau lethal concentration (LC). LD50 adalah dosis mematikan/lethal

23
yang mematikan 50% hewan coba jika diberikan melalui mulut (oral) atau
diserap melalui kulit (dermal) atau bahkan terhisap melalui pernafasan
(inhalasi), yang biasanya dinyatakan dalam mg suatu insektisida per kg
berat badan (mg/kg bb). LC50 adalah konsentrasi suatu insektisida
(biasanya dalam makanan, udara atau air) untuk mematikan 50% hewan
coba. LC50 biasanya dinyatakan dalam mg/L atau mg/serangga. Semakin
kecil nilai LD50 atau LC50, semakin beracun insektisida tersebut. Hewan
coba yang biasa digunakan untuk menentukan nilai toksisitas insektisida
biasanya mamalia seperti tikus (Ditjen, P2&PL., 2012 : 5).
Insektisida nabati dapat membunuh atau mengganggu serangga
melalui cara kerja yang unik, baik secara tunggal maupun melalui
perpaduan berbagai cara. Cara kerja insektisida nabati sangat spesifik,
yaitu merusak perkembangan telur, larva dan pupa, menghambat
pergantian kulit, menggangu komunikasi serangga, penolak makan,
menghambat reproduksi serangga betina, mengurangi nafsu makan,
memblokir kemampuan makan seranngga, mengusir serangga, hingga
menghambat patogen penyakit (Sudarmo dan Mulyaningsih, 2014 : 7).
Aplikasi pengendalian vektor penyakit secara umum dikenal dua
jenis insektisida yang bersifat kontak/non-residual dan insektisida residual.
Insektisida residual. Insektisida kontak/non-residual merupakan insektisida
yang langsung kontak dengan tubuh serangga saat diaplikasikan. Aplikasi
kontak langsung dapat berupa penyemprotan udara (space spray) seperti
pengkabutan panas (termal fogging) dan pengkabutan dingin (cold
fogging) / ultra low volume (ULV). Jenis-jenis formulasi yang biasa
digunakan untuk aplikasi kontak langsung adalah emulsifiable concentrate
(EC), micro emulsion (ME), emulsion in water (EW), ultra low volume
(UL) dan beberapa insektisida siap pakai seperti aerosol (AE), mosquito
coil (MC), liquid vaporizer (LV), mat vaporizer (MV) dan smoke.
Insektisida residual adalah insektisida yang diaplikasikan pada permukaan
suatu tempat dengan harapan apabila serangga melewati/hinggap pada
permukaan tersebut akan terpapar pada akhirnya mati. Umumnya
insektisida bersifat residual adalah insektisida dalam formulasi wettable

24
powder (WP), water dispersible granule (WG), suspension concentrate
(SC), capsule suspension (CS), dan (DP) dispersible powder (Ditjen,
P2&PL., 2012 : 3-4).
2. Teknik Menghasilkan Insektisida Nabati
Untuk menghasilkan insektisida nabati terdapat beberapa cara
pengolahan antara lain dengan (Kementerian Pertanian, 2012 : 24-26):
a. Pengepresan
Dilakukan untuk menghasilkan minyak dari tumbuhan. Bahan
tanaman yang dipres merupakan tanaman yang mengandung cairan
seperti minyak, misalnya biji-bijian.
b. Penumbukan
Dilakukan untuk menghasilkan tepung yang digunakan untuk
mengendalikan serangga.
c. Pengabuan
Dilakukan untuk menghasilkan abu yang digunakan untuk
mengendalikan serangga. Tanaman yang dipakai biasanya
mengandung aroma yang menyengat ataupun mengandung bahan
yang menimbulkan iritasi.
d. Ekstraksi
Teknik ekstraksi ada dua cara, yaitu:
1) Ekstraksi Sederhana dengan Pelarut Air
Dilakukan untuk mendapatkan sediaan insektisida yang
langsung digunakan sesaat setelah selesai proses pembuatan
karena apabila disimpan maka tidak dapat bertahan lama.
2) Ekstraksi dengan Pelarut Bahan Kimia
Pelarut yang digunakan yaitu alkohol, heksan, dan aseton. Hal
tersebut biasanya diikuti oleh proses evaporasi pelarut
(menarik pelarut dari formula), sehingga yang tersisa hanya
konsentrat bahan insektisida dari tumbuhan. Formula ini dapat
bertahan lama hingga 6-12 bulan.

25
e. Penyulingan
Dilakukan untuk mendapatkan minyak atsiri dengan cara
memasukkan bahan yang akan disuling (daun, akar, kulit kayu, biji,
dan lainnya) kedalam ketel penyuling, kemudian dikukus ataupun
direbus dan uapnya dialirkan melalui kondensor pendingin sehingga
terjadi kondensasi (uap jadi air). Cairan yang dihasilkan dari proses
tersebut kemudian dipisahkan antara air dan minyak.
3. Keunggulan Insektisida Nabati
Menurut Naria (2005 : 29), penggunaan insektisida nabati di rumah
tangga memiliki keunggulan antara lain :
a. Insektisida nabati tidak atau hanya sedikit meninggalkan residu pada
komponen lingkungan dan bahan makanan, sehingga dianggap lebih
aman daripada insektisida sintetis / kimia.
b. Zat pestisidik dalam insektisida nabati lebih cepat terurai di alam
sehingga tidak menimbulkan resistensi pada sasaran.
c. Dapat dibuat sendiri dengan cara yang sederhana.
d. Bahan pembuat insektisida nabati dapat disediakan di sekitar rumah.
e. Secara ekonomi tentunya akan mengurangi biaya pembelian
insektisida.
4. Kelemahan Insektisida Nabati
Selain keuntungan, tentunya terdapat beberapa kelemahan dari
pemakaian insektisida nabati di rumah. Kelemahan tersebut antara lain
(Naria, 2005 : 29):
a. Frekuensi penggunaan insektisida nabati lebih tinggi dibandingkan
dengan insektisida sintetis. Tingginya frekuensi penggunaan
insektisida nabati/botani adalah karena sifatnya yang mudah terurai di
lingkungan, sehingga harus lebih sering diaplikasikan.
b. Insektisida nabati memiliki bahan aktif yang kompleks (multiple
active ingridient) dan kadang kala tidak semua bahan aktif dapat
dideteksi.

26
D. Kerangka Konsep

Mat elektrik daun Kamboja


(Plumeria acuminata)
(1 gram, 1,5 gram, 2 gram, dan 2,5 gram)

Kandungan Kimia

Saponin
Flavonoid
Polifenol
Alkaloid
Minyak atsiri

Lingkungan Fisik

Suhu
Kelembaban

Gambar II.8. Kerangka Konsep

Keterangan :
: Diteliti
---------- : Tidak diteliti

Pada kerangka konsep, penelitian ini menggunakan pengendalian


kimia dengan insektisida nabati yaitu memanfaatkan daun Kamboja
(Plumeria acuminata) sebagai mat elektrik dengan variasi berat 1 gram, 1,5
gram, 2 gram, dan 2,5 gram. Di dalam daun Kamboja (Plumeria acuminata)
memiliki kandungan kimia seperti saponin, flavonoid, polifenol, dan alkaloid
yang dapat mempengaruhi jumlah kematian nyamuk Aedes aegypti. Selain
itu, faktor-faktor lingkungan fisik juga mempengaruhi, yaitu suhu dan
kelembaban.

27

Anda mungkin juga menyukai