Anda di halaman 1dari 34

PAPER

SINDROMA KAUDA EKUINA

DISUSUN OLEH:
Gita Kumala Dewi (140100090)
Sofie Regina Herman (140100121)
Dhira Vindy Amanda (140100123)
Dewi Gita Maharani (140100155)
Widyadhari Rara Satya (140100240)

PEMBIMBING:
dr. Benny, Sp OT (K)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI KEDOKTERAN


DEPARTEMEN ORTHOPEDI DAN TRAUMATOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN

2019
i

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dibacakan tanggal :

Nilai :

PIMPINAN SIDANG

dr. Benny, Sp OT (K)


ii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan paper kami yang berjudul “Sindroma Kauda
Ekuina”. Penulisan paper ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan
Kepaniteraan Klinik Senior Program Pendidikan Profesi Dokter di Departemen Ilmu
Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing
kami, “dr. Benny, Sp. OT (K)” yang telah memberikan bimbingan dalam penyusunan
paper ini sehingga dapat selesai tepat pada waktunya.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk laporan kasus ini. Akhir kata, semoga laporan kasus ini dapat memberikan
manfaat bagi pembaca dan semua pihak yang terlibat dalam pelayanan kesehatan di
Indonesia.

Medan, 28 Juni 2019

Penulis
iii

DAFTAR ISI

Lembar Pengesahan .................................................................................... .... i

Kata Pengantar ................................................................................................ ii

Daftar Isi .......................................................................................................... iii

BAB I. PENDAHULUAN ....................................................................... ....... 1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................... 1

1.2. Tujuan ...................................................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi ..................................................................................................... 1

2.2. Anatomi..................................................................................................... 1

2.3. Etiologi ...................................................................................................... 3

2.4. Epidemiologi ............................................................................................. 6

2.5. Patofisiologi .............................................................................................. 7

2.6. Manifestasi Klinis ..................................................................................... 8

2.7. Diagnosis ................................................................................................... 9

2.8 Pentalaksanaan ......................................................................................... 13

2.9. Prognosis ................................................................................................... 19

BAB III. KESIMPULAN ............................................................................... 27

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 28


1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sepanjang perkembangannya, korda spinalis dan kolumna vertebralis


tumbuh dalam waktu yang tidak bersamaan, dengan pertumbuhan columna
vertebralis lebih cepat dibandingkan korda spinalis. Nervus spinalis keluar dari
kolumna vertebralis secara progresif dengan sudut-sudut yang lebih oblique
karena peninggian jarak antara segmen korda spinalis dan penyesuaian dari
vertebra. Nervus lumbalis dan nervus sacralis berjalan menurun kebawah melalui
kanalis spinalis untuk mencapai jalan keluar foramennya.

Korda spinalis melancip pada ujung yang dekat dengan vertebra lumbal
pertama, membentuk konus medullaris. Perpanjangan fibrosa dari korda ini
merupakan filum terminal. Gumpalan dari radik saraf di dalam rongga
subarachnoid distal yang membentuk konus medullaris adalah cauda equina.

Akar saraf ini merupakan hubungan antara anatomi sistem saraf pusat ( SSP
) dan sistem saraf perifer. Saraf ini secara anatomis terletak sesuai dengan segmen
tulang belakang dari mana mereka berasal dan berada dalam cairan cerebrospinal (
CSF ) dalam ruang subarachnoid pada kantung dural yang berakhir pada tingkat
vertebra sacral kedua.

Cauda equina syndrome mengacu pada kumpulan gejala neuromuskuler dan


urogenital yang dihasilkan dari kompresi simultan dari beberapa akar saraf
lumbosakral pada bagaian bawah conus medullaris. Gejala ini termasuk nyeri
pinggang, nyeri panggul (unilateral atau bilateral), disfungsi kandung kemih dan
usus serta disfungsi seksual, dan defisit neurologis berupa gangguan motorik,
sensorik atau refleks pada ekstremitas bawah.

Meskipun lesi secara teknis melibatkan akar saraf dan merupakan cedera
saraf perifer, kerusakan pada cauda equina syndrome dapat bersifat irreversible
dan memerlukan tindakan operasi darurat. Diagnosis dini dan dekompresi bedah
2

dini sangat penting untuk hasil yang menguntungkan pada kebanyakan pasien
dengan cauda equina syndrome.

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk memahami tinjauan ilmu teoritis sindroma kauda ekuina.
2. Untuk mengintegrasikan ilmu kedokteran yang telah didapat terhadap kasus
sindroma kauda ekuina serta melakukan penatalaksanaan awal yang tepat,
cepat, dan akurat sehingga mendapatkan prognosis yang baik.

1.3 Manfaat
Beberapa manfaat yang didapat dari penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Untuk lebih memahami dan memperdalam secara teoritis tentang sindroma
kauda ekuina.
2. Sebagai bahan informasi dan pengetahuan bagi pembaca mengenai
sindroma kauda ekuina.
1

BAB II
TINJUAN PUSTAKA

2.1` Definisi

Cauda equina syndrome (CES) adalah kondisi neurologis yang serius di


mana terjadi kerusakan pada cauda equina akibat pemadatan atau penyempitan
yang simultan dari radik saraf lumbosacral multipel dibawah konus medullaris,
sehingga menyebabkan hilangnya fungsi pleksus lumbal secara akut dari bagian
bawah conus medullaris berupa gangguan neuromuscular dan gejala-gejala
urogenital.1

2.2 Anatomi

Ruas-ruas tulang belakang disebut juga tulang belakang disusun oleh 33


buah tulang dengan bentuk tidak beraturan. ke 33 buah tulang tersebut terbagai
atas 5 bagian yaitu:2

1. Tujuh ruas pertama disebut tulang leher. Ruas pertama dari tulang
leher disebut tulang atlas, dan ruas kedua berupa tulang pemutar atau poros.
2. Dua belas ruas berikutnya membentuk tulang punggung. Ruas-
ruas tulang punggung pada bagian kiri dan kanannya merupakan tempat
melekatnya tulang rusuk.
3. Lima ruas berikutnya merupakan tulang pinggang. Ukuran tulang
pinggang lebih besar dibandingkan tulang punggung. Ruas-ruas tulang
pinggang menahan sebagian besar berat tubuh dan banyak melekat otot-otot.
4. Lima ruas tulang kelangkangan (sacrum), yang menyatu,
berbentuk segitiga terletak dibawah ruas-ruas tulang pinggang.
5. Bagian bawah ruas tulang belakang disebut tulang ekor (coccyx),
tersusun atas 3 sampai dengan 5 ruas tulang belakang yang menyatu.
Foramen vertebra adalah cincin tipis tulang vertebra yang terdiri dari bagian
corpus, pediculus, dan lamina. Setiap segmen tulang belakang memiliki karakter
2

yang berbeda. Foramen vertebra dari kumpulan tiap level vertebra akan
membentuk canalis vertebralis, ruang dimana medulla spinalis berada.

Antara tulang vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis dan facet


joint. Diskus intervertebralis berada di antara corpus vertebra, berupa sebuah
massa fibrous yang berfungsi sebagai bantalan absorber. Diskus ini tetap berada di
tempatnya karena disokong oleh ligamen-ligamen.Fungsi ini melindungi vertebra,
otak dan struktur lainnya. Adanya diskus intervertebralis juga memungkinkan
gerakan fleksi dan ekstensi.

Diskus intervertebralis terdiri dari dua komponen yang berbeda: annulus


fibrosus di bagian luar dan nucleus pulposus, massa gelatin di bagian dalam.
Mereka tertambat pada vertebra di bagian atas dan bagian bawah oleh cartilage
end plates. Pada diskus normal, air merupakan komponen penting dari nucleus.
Namun, seiring dengan bertambahnya usia, kandungan air dalam diskus
berkurang dan menyebabkan degenerasi diskus. Medula spinalis pada orang
dewasa berakhir pada level vertebra antara L1 dan L2 dengan sekumpulan berkas
akar saraf lumbal dan sacral dalam kanalis spinalis yang membentuk cauda equina
di bawah medulla spinalis. Akar-akar saraf itu kemudian terpisah dan keluar dari
kanalis spinalis melalui foramina intervertebrale yang sesuai. Cauda equina
terlindung dalam ruang subarakhnoid hingga setinggi vertebra sakralis II. Nyeri
dan gejala lain dapat timbul bila diskus yang rusak menekan ke dalam kanalis
spinalis atau radiks saraf.

Gambar 1. Ilustrasi anatomi daerah cauda equina


3

2.3 Etiologi
Cauda equina syndrome disebabkan oleh penyempitan kanal tulang
belakang yang menyebabkan tertekannya akar saraf pada bagian bawah medula
spinalis. Banyak penyebab CES telah dilaporkan, termasuk herniasi, pecahnya
diskus intradural, stenosis tulang belakang sekunder untuk kondisi lain tulang
belakang, luka trauma, tumor primer seperti ependymomas dan schwannomas,
tumor metastasis, kondisi infeksi, malformasi arteri atau perdarahan, dan cedera
iatrogenik.1
Penyebab paling umum dari CES adalah sebagai berikut :1,3
 Stenosis lumbalis
o Penyempitan ujung dari canalis spinalis dapat berasal dari perkembangan
abnormal atau proses degeneratif.
o Kasus-kasus berat dari spondylolistesis dan Paget disease dapat menjadi
cauda equina sindrom akibat inflamasi jangka panjang.
 Trauma tulang belakang (termasuk patah tulang)
o Terjadinya fraktur yang menyebabkan subluxatio dapat menimbulkan
kompresi dari cauda equina.
o Trauma tembus dapat menyebabkan kerusakan atau kompresi dari cauda
equina.
o Manipulasi spinal menimbulkan subluxatio yang menyebabkan cauda
equina sindrom.
 Hernia nukleus pulposus (penyebab 2-6 % kasus CES)
o Laporan insiden dari cauda equina sindrom berasal dari herniasi diskus
lumbal yang berkisar antara 1-15%.
o 90% dari herniasi diskus lumbal terjadi antara L4-L5 atau L5-S1.
o 71 % Kasus dari herniasi diskus menjadi cauda equina sindrom terjadi pada
pasien dengan riwayat Low Back Pain (LBP) kronik dan 30 %
perkembangan cauda equina sindrom merupakan gejala pertama dari
herniasi diskus lumbal.
o Laki-laki usia 40 sampai 50 tahun cenderung banyak menderita cauda
equina sindrom sebagai akibat dari herniasi diskus.
4

o Kebanyakan kasus dari cauda equina sindrom berasal dari herniasi diskus
yaitu masuknya partikel besar membentuk tonjolan material diskus, yang
diperkirakan sekitar satu per tiga dari diameter canalis.
 Neoplasma (termasuk metastasis, astrocytoma, neurofibroma, meningioma dan
20 % dari semua tumor tulang belakang mempengaruhi daerah ini).
o Cauda equina sindrom dapat disebabkan oleh neoplasma spinal primer atau
metastase yang biasanya berasal dari prostat pada laki-laki.
o 96 % Dari cauda equina sindrom berasal dari perkembangan neoplasma
spinal yang segera ditandai dengan gejala nyeri yang berat.
o Penemuan terakhir termasuk kelemahan ekstermitas bawah berasal dari
keterlibatan dari radik ventral.
o Pasien biasanya menunjukkan gejala hipotonus dan hiporeflek.
o Kehilangan sensorik dan disfungsi spinchter sering ditemukan.

Gambar 2. Ilustrasi cauda equina sindrom sekunder akibat neoplasma tulang


belakang

Schwannoma
 Schwannoma adalah neoplasma berkapsul jinak yang secara struktur
identik dengan sinsitium dari sel schwan.
 Pertumbuhan-pertumbuhan ini dapat timbul dari nervus perifer atau
nervus simpatis.
 Schwannoma dapat dilihat menggunakan myelografi, tetapi standar
patokannya adalah MRI. Schwannoma menunjukkan gambaran
5

isointense pada gambaran T1, hiperintense pada gambaran T2, dan


enhanced dengan kontras gadolinium.
Ependimoma
 Ependimoma adalah glioma yang berasal dari sel ependim
undifferentiated.
 Sel ini biasanya berawal dari kanalis spinalis dari korda spinalis dan
cenderung berubah menyerupai pembuluh darah.
 Ependimoma lebih sering ditemukan pada pasien usia sekitar 35 tahun.
 Ependimoma dapat menimbulkan peningkatan TIK dan protein cairan
serebrospinal.
 MRI diketahui dapat digunakan untuk menolong dokter dalam
menegakkan diagnosa dari cauda equina sindrom. Lesi memperlihatkan
isointense pada gambaran T1, hipointense pada gambaran T2, dan
enhanced dengan kontras gadolinium.
 Infeksi Spinal / abses (misal: tuberkulosis, herpes simplex virus, meningitis,
sifilis meningovaskular, cytomegalovirus, schistosomiasis)
o Kondisi infeksi dapat menyebabkan deformitas dari radik saraf dan korda
spinalis.
o MRI dapat menunjukkan gambaran abnormal berupa penekanan pada radik
saraf ke satu sisi dari saccus dura.
o Gejala-gejala umumnya termasuk nyeri punggung berat dan kelemahan
gerakan motorik yang cepat dan progresif.
 Idiopatik (misalnya pada anestesi spinal). sindrom ini dapat terjadi sebagai
komplikasi dari prosedur atau agen anestesi (misal: lidokain hiperbarik,
tetrakain).
o Kelainan dari susunan saraf spinal telah dilaporkan menjadi penyebab kasus
cauda equina sindrom, termasuk kesalahan penempatan pedicle screw dan
pengait laminar.
o Pemberian anastesi spinal yang terus menerus juga telah dikaitkan dengan
kasus cauda equina sindrom.
o Beberapa kasus melibatkan penggunaan hiprbarik 5 % lignocain.
6

o Beberapa rekomendasi menyarankan agar hiperbarik lignocain sebaiknya


tidak diberikan pada konsentrasi lebih dari 2 % dengan total dosis tidak
melebihi 60 mg
 Spina bifida
Sedangkan penyebab lain yang jarang terjadi adalah sebagai berikut :

o Perdarahan spinal, terutama perdarahan kompresi subdural dan epidural


o Intravaskular lymphomatosis
o Anomali kongenital tulang belakang / filum terminale , termasuk tethered cord
syndrome
o Conus medullaris lipoma
o Multiple sclerosis
o Malformasi arteri Spinal
o Stadium ankylosing spondylitis
o Neurosarcoidosis
o Trombosis vena dalam dari pembuluh darah tulang belakang
o Trombosis vena cava inferior

2.4 Epidemiologi

Angka kejadian cauda equina syndrome realtif cukup jarang, baik yang
disebakan oleh trauma maupun yang bukan disebakan oleh trauma di mana
dilaporkan hanya 4-7 kasus dari 10.000-100.000 pasien. Hal ini sering dilaporkan
sebagai laporan kasus karena kelangkaannya. Meskipun jarang terjadi, itu adalah
diagnosis yang harus diperhatikan pada pasien yang mengeluh sakit punggung
bagian bawah ditambah dengan keluhan neurologis, terutama gejala kencing.1

CES yang disebakan oleh trauma dapat terjadi pada segala usia. Sedangkan
CES yang bukan disebakan oleh trauma terjadi terutama pada orang dewasa yaitu
pada usia 40-50 tahunan dan lebih sering terjadi pada pria sebagai akibat dari
morbiditas bedah, penyakit sendi tulang belakang, metastase kanker, ataupun
abses epidural.1
7

Hernia nukleus pulposus lumbal dilaporkan penyebab paling umum dari


Cauda equina syndrome, dan diperkirakan sekitar 2% dari semua kasus hernia
nukleus lumbal mengakibatkan CES. Kanal tulang belakang yang sempit secara
kongenital atau adanya spinal stenosis yang timbul akibat perubahan degeneratif
diskus intervertebralis dan sendi bagian posterior diduga merupakan predisposisi
timbulnya CES.1

2.5 Patofisiologi

Dalam memahami dasar patologis dari setiap penyakit yang melibatkan


cauda equina, perlu diingat bahwa struktur ini merupakan bagian dari susunan
saraf perifer. Dengan demikian, cedera pada daerah ini sering menghasilkan gejala
lower motor neuron (LMN) yaitu gejala dan tanda-tanda di dermatom dan miotom
yang lebih rendah dari segmen yang terkena.4

CES mungkin akibat dari setiap lesi yang menekan akar saraf cauda equina.
Akar saraf ini sangat rentan terhadap cedera, apabila memiliki epineurium yang
kurang berkembang. Epineurium yang berkembang dengan baik dapat melindungi
cauda equina dari tegangan dan tarikan.4

Sistem mikrovaskuler cauda equina memiliki wilayah yang relatif


hipovaskular pada sepertiga bagian proximal. Peningkatan permeabilitas
pembuluh darah dan difusi dari LCS menambah pasokan nutrisi. Peningkatan
permeabilitas mungkin berhubungan dengan kecenderungan ke arah pembentukan
edema dari akar saraf, yang dapat mengakibatkan cedera awal dengan keluhan
yang ringan.4

Beberapa penelitian pada model hewan yang berbeda telah menilai


patofisiologi CES. Olmarker et al (menggunakan metode tekanan balon yang
dinilai pada babi) melaporkan bahwa venula di wilayah CE mulai terkompresi
pada tekanan terendah sebesar 5 mm Hg sedangkan arteriol mulai menutup akibat
tekanan balon apabila tekanannya telah melampaui tekanan arteri rata-rata.
Meskipun demikian, tekanan setinggi 200 mmHg tidak secara total mematikan
pasokan gizi ke cauda equina.4
8

Studi ini menunjukkan bahwa tidak hanya besar obstruksi tetapi panjang
dan kecepatan obstruksi juga penting dalam merusak wilayah CE. Hasil yang
sama dilaporkan dalam penelitian lain, di mana Takahashi et al melaporkan
penurunan aliran darah ke saraf segmen menengah ketika terdapat 2 titik tekanan
di sepanjang jalur saraf pada cauda equina.4

Penelitian lain telah mempelajari potensial aksi dalam segmen aferen dan
eferen saraf di wilayah CE setelah aplikasi kompresi balon. Para peneliti
melaporkan bahwa tekanan 0-50 mmHg tidak mempengaruhi potensial aksi (di
mana ambang batas untuk gangguan potensial aksi adalah 50-75 mmHg), dan
defisit yang signifikan terjadi ketika tekanan meningkat menjadi 100-200 mmHg.4

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala sindrom cauda equina meliputi :1

 Nyeri punggung bawah (low back pain)


 Unilateral atau bilateral sciatica
 Saddle dan perineum hypoesthesia atau anestesi
 Gangguan fungsi usus dan kandung kemih
 Defisit motorik dan sensorik ekstremitas bawah
 Berkurang atau tidak ada refleks tungkai bawah

Nyeri punggung bawah (low back pain) dapat dibagi menjadi nyeri lokal
dan radikuler. Nyeri lokal umumnya dalam, timbul akibat iritasi jaringan lunak
tubuh dan tulang belakang. Sedangkan nyeri radikuler umumnya tajam, terasa
menusuk akibat kompresi akar saraf dorsal. Proyek nyeri radikuler sesuai
distribusi dermatomal. Low back pain pada CES mungkin memiliki beberapa
karakteristik khusus. Pasien dapat melaporkan tingkat keparahan atau pemicu
tertentu, seperti kepala berputar, yang tampaknya tidak biasa.1

Nyeri yang berat (severe pain) adalah temuan awal pada 96% pasien dengan
CES sekunder untuk neoplasma tulang belakang. Kelemahan motorik ekstremitas
bawah timbul akibat keterlibatan akar ventral. Selain itu, ekstremitas bawah
9

tampak hipotonia dan hiporeflexia serta timbul defisit sensorik dan disfungsi
sfingter.1

Manifestasi urin pada CES meliputi retensi urin, kesulitan memulai


berkemih, dan penurunan sensasi uretra. Biasanya, manifestasi dimulai dengan
retensi urin dan kemudian diikuti oleh inkontinensia overflow. Bell dkk
menunjukkan bahwa retensi urin, frekuensi kencing, inkontinensia, penurunan
sensasi kemih, dan penurunan sensasi perineal kemungkinan disebabkan prolaps
diskus yang merupakan indikasi dilakukannya pemeriksaan MRI.1

Sedangkan gangguan usus antara lain inkontinensia alvii, konstipasi,


kehilangan tonus dan sensasi anal.1

2.7 Diagnosis

Pada lebih 85% kasus, gejala dan tanda klinis CES berkembang dalam
waktu kurang dari 24 jam. Terdapat tiga variasi CES yang sudah diketahui :4

1. CES akut yang terjadi mendadak tanpa didahului problem


punggung bawah sebelumnya.
2. Defisit neurologis akut (disfungsi bladder) pada pasien yang
memiliki riwayat nyeri punggung dan ischialgia.
3. Progresi bertahap ke arah CES pada pasien yang yang menderita
nyeri punggung kronik dan ischialgia.
 Anamnesis

Pasien CES sering menunjukkan gejala-gejala yang tidak spesifk, dengan


nyeri punggung yang merupakan gejala yang paling menonjol. Bell et al
menunjukkan bahwa didapatkan akurasi diagnostik antara retensi urin, frekuensi
urin, inkontinensia urin, penurunan sensasi berkemih dan penurunan sensasi
perineal dengan hasil MRI yang menunjukkan adanya prolaps diskus. Anamnesis
yang harus didapatkan dari pasien antara lain:4

• Nyeri punggung bawah. Nyeri ini mungkin memiliki beberapa


karakteristik yang mengesankan adanya hal yang berbeda dari strain lumbal
10

pada umumnya. Pasien mungkin melaporkan adanya trigger yang


memperparah, seperti menolehkan kepala.

• Nyeri tungkai atau nyeri menjalar ke kaki yang bersifat akut atau
kronik

• Kelemahan motorik ekstremitas bawah unilateral atau bilateral


dan/atau abnormalitas sensorik

• Disfungsi bowel dan bladder

 Gejala awal biasanya adalah retensi urin yang diikuti dengan


munculnya overflow incontinence, dan kemudian bisa juga diikuti dengan
keluhan inkontinensia alvi
 Biasanya dihubungkan dengan anesthesia/hipestesia tipe sadel

• Gangguan ereksi dan ejakulasi

 Pemeriksaan Fisik4

Nyeri sering berlokasi di punggung bawah. Mungkin didapatkan nyeri tekan


setempat atau nyeri sewaktu diperkusi. Nyeri punggung bawah dapat dibagi
menjadi nyeri lokal dan radikular. Nyeri lokal biasanya nyeri yang dalam akibat
iritasi jaringan lunak dan korpus vertebra. Nyeri radikular umumnya bersifat
tajam, seperti tertusuk-tusuk akibat dari kompresi radiks saraf dorsal. Nyeri
radikular diproyeksikan dalam distribusi dermatomal.

Abnormalitas refleks mungkin ada, berupa berkurangnya atau hilangnya


refleks fisiologis. Refleks yang meningkat merupakan tanda adanya keterlibatan
medula spinalis sehingga diagnosis CES bisa disingkirkan. Nyeri menjalar ke kaki
(ischialgia) unilateral atau bilateral merupakan karakteristik CES, diperburuk
dengan manuver valsava. Abnormalitas sensorik mungkin muncul di area perineal
atau ekstremitas bawah. Pemeriksaan raba ringan (light touch) pada area perineal
seharusnya dilakukan. Area yang mengalami anestesi mungkin menunjukkan
adanya kerusakan kulit.
11

Kelemahan otot mungkin timbul pada otot-otot yang mendapatkan inervasi


dari radiks saraf yang terkena. Atrofi otot dapat terjadi pada CES kronik. Tonus
sphincter ani yang menurun atau hilang merupakan karakteristik CES. Adanya
tanda babinski atau tanda-tanda upper motor neuron lainnya menunjukkan
diagnosis selain CES, kemungkinan merupakan kompresi medula spinalis.
Penurunan fungsi bladder dapat dinilai secara empiris dengan kateterisasi urin.

CES harus dipertimbangkan kemungkinannya pada semua pasien yang


memiliki keluhan nyeri punggung bawah dengan inkontinensia bowel atau
bladder. Disfungsi bladder biasanya merupakan akibat dari kelemahan otot
detrussor dan areflexic bladder; disfungsi ini awalnya menyebabkan retensi urin
yang kemudian diikuti dengan overflow incontinence pada stadium selanjutnya.
Pasien yang menderita nyeri punggung dan inkontinensia urin tetapi hasil
pemeriksaan neurologisnya normal seharusnya diukur volume residual postvoid-
nya. Volume residual postvoid yang lebih besar dari 100 mL menunjukkan adanya
overflow incontinence dan memerlukan evaluasi lebih lanjut; sedangkan volume
kurang dari 100 mL menyingkirkan diagnosis CES. Refleks anal, yang
ditimbulkan dengan mengusap kulit lateral anus, normalnya menyebabkan
kontraksi refleks sphincter ani eksterna. Pemeriksaan rektal seharusnya dilakukan
untuk menilai tonus sphincter ani dan sensibilitas jika ditemukan tanda atau gejala
CES.

Tabel 1. Nyeri dan defisit dihubungkan dengan radik saraf spesifik.

Radik Defisit
Nyeri Defisit motorik Defisit reflek
Saraf sensorik

Kelemahan quadricep
Penyusutan
Paha Medial ringan, fleksi
L2 Paha atas ringan
Anterior panggul, adduksi
suprapatella
paha

Kelemahan
Paha lateral Patella atau
L3 Paha bawah quadricep, ekstensi
anterior suprapatella
lutut, adduksi paha

L4 Paha Kaki medial Ekstensi pedis dan Patella


12

Posterolateral, lutut
anterior tibia

Dorsum Dorsofleksi dari pedis


L5 Dorsum pedis Hamstrings
pedis dan tumit

Lateral Plantar fleksi dari


S1-2 Lateral pedis Achiles
pedis pedis dan tumit

Bulbocavernosus;
S3-5 Perineum Saddle Sphincter
anal

 Pemeriksaan Penunjang4

Pemeriksaan radiologi dan laboratorium digunakan untuk mengonfirmasi


diagnosis dan untuk menentukan lokasi patologik dan penyakit yang
mendasari. Pemeriksaan yang dapat dilakukan dalam penelusuran diagnosis CES
adalah:

 X-foto polos. Tidak banyak membantu dalam diagnosis CES tapi mungkin
dapat dilakukan dalam kasus-kasus cedera akibat trauma atau penelusuran
adanya perubahan destruktif pada vertebra, penyempitan diskus intervertebralis
atau adanya spondilosis, spondilolistesis

 CT dengan atau tanpa kontras. Myelogram lumbar diikuti dengan CT

 MRI. Berdasarkan kemampuannya untuk menggambarkan jaringan lunak, MRI


umumnya merupakan tes yang disukai dokter dalam mendiagnosis CES. MRI
direkomendasikan untuk seluruh pasien yang memiliki gejala urinari yang baru
muncul yang berhubungan dengan nyeri punggung bawah dan ischialgia.

 Pemeriksaan laboratorium termasuk pemeriksaan darah rutin, pemeriksaan


kimia, kadar gula darah, sedimen, sifilis dan lyme serologies. Pemeriksaan
liquid cerebrospinal (LCS) harus dilakukan jika ada indikasi, berdasarkan
riwayat dan pemeriksaan fisik yang ditemukan. Human leucocyt antigen
(HLA)-B27 dapat diperiksa jika ankylosing spondilitis atau berbagai
spondyloarthropati seronegatif diyakinkan sebagai diagnosa banding.
13

 Pemeriksaan urodinamik sangat berguna untuk menilai derajat dan sebab dari
disfungsi sphingter, sebaiknya pantau pemulihan dari fungsi kandung kemih
yang disebabkan oleh operasi dekompresi.

2.8 Penatalaksanaan

Belum ada bukti yang menunjukkan terapi apa yang paling baik pada CES.
Terapi umumnya ditujukan pada penyebab yang mendasari terjadinya CES.5

 Medikamentosa5

• Agen vasodilator

Iskemik radik saraf sebagian dapat memungkinkan timbulnya nyeri dan


penurunan kekuatan otot yang dihubungkan dengan cauda equina sindrom.
Berdasarkan penelitian, terapi vasodilator sangat berguna untuk beberapa
pasien.

Terapi dengan Lipoprostaglandin E1 dan derivatnya telah dilaporkan lebih


efektif dalam meningkatkan aliran darah di bagian cauda equina dan
mengurangi gejala nyeri dan kelemahan motorik. Pilihan terapi sebaiknya
diberikan pada pasien dengan gejala stenosis spinal ringan dengan klaudikasio
neurogenik. Dari laporan, tidak ada keuntungan menggunakan terapi ini pada
pasien dengan gejala-gejala berat atau pasien dengan gejala-gejala radikular.

• Agen anti-inflamasi

Agen anti-inflamasi, meliputi steroid dan NSAID, mungkin efektif pada


pasien dengan penyebab inflamasi dan sudah banyak digunakan dalam
pengobatan nyeri punggung, tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa
obat-obat tersebut memberikan manfaat yang signifikan. Regimen steroid yang
biasa dipakai adalah deksametason dengan dosis awal 10 mg secara intravena,
diikuti 4 mg secara intravena diberikan setiap enam jam. Deksametason
umumya diberikan intravena pada dosis 4 sampai 100 mg.

NSAID telah terbukti berguna untuk mencegah kalsifikasi jaringan lunak,


osifikasi heterotopik dan perlengketan. Beberapa peneliti juga menegaskan
14

resiko potensial penggunaan steroid. Pernah dilaporkan bahwa penggunaan


agen antiinflamasi mungkin menghambat penyembuhan dan seringkali
menimbulkan pembentukan abses.
Pasien dengan cauda equina sindrom yang penyebabnya berasal dari infeksi
sebaiknya diberikan terapi antibiotik. Pasien dengan neoplasma spinal sebaiknya
dievaluasi untuk kemoterapi yang cocok dan terapi radiasi. Sebaiknya perlu
diperhatikan dalam menggunakan obat-obatan untuk manajemen terapi dari cauda
equina sindrom. Beberapa pasien dengan true cauda equina sindrom dengan gejala
anastesi saddle dan atau kelemahan anggota gerak bawah bilateral atau kehilangan
kontrol berkemih atau defekasi sebaiknya mendapatkan terapi medis awal tidak
lebih dari 24 jam pertama. Jika tidak ada keringanan gejala yang diperlihatkan
selama periode ini, dekompresi bedah perlu secepatnya dilakukan untuk
meminimalisir kesempatan luka neurogenik yang permanen.

 Pembedahan5

Pada beberapa kasus dari cauda equina sindrom, dekompresi segera dari
kanalis spinalis adalah pilihan terapi yang tepat. Tujuannya adalah untuk
memebebaskan tekanan saraf pada cauda equina dengan memindahkan alat-alat
yang mengkompresi dan meningkatkan ruang kanalis spinalis. Dulunya, pada
penderita cauda equina sindrom diyakini perlu dilakukan bedah segera dengan
dekompresi bedah selama 48 jam dari awal onset gejala.

Pada pasien dengan herniasi diskus sebagai penyebab cauda equina


sindrom, dianjurkan melakukan laminektomi untuk melepaskan penekanan dari
kanalis, diikuti dengan retraksi terbaik dan laminektomi.

Banyak tim medis dan peneliti melaporkan telah mempresentasikan data


fungsional dengan melakukan dekompresi bedah. Beberapa peneliti telah
melaporkan bahwa pembedahan yang dilakukan secara elektif dibandingkan
pembedahan emergensi (dalam 24 jam pertama) tidak mengganggu perbaikan
neurologis. Meskipun begitu, sebagian besar peneliti merekomendasikan tindakan
operasi dekompresi secepat mungkin setelah munculnya gejala untuk
meningkatkan kemungkinan memperoleh perbaikan neurologis komplit.
15

 Rehabilitasi Medik5
- Perawatan kulit
Pada saat terjadinya cedera medulla spinalis seringkali menyebabkan pasien
memerlukan tirah baring dalam waktu lama. Hal ini merupakan faktor risiko
terjadinya ulkus dekubitus pada daerah-daerah tubuh tertentu yang mengalami
penekanan terus menerus. Usaha terhadap pencegahan penanganan dekubitus
harus dimulai segera setelah terjadinya cedera. Dasar perawatan adalah
membebaskan tonjolan tulang dari tekanan setiap 2-3 jam sekali.
- Lower Motor Neuron Bladder Training
Pada tipe ini refleks bulbocavernosus dan anal superficial selalu negatif,
penekanan / pemijatan kandung kemih dengan mengejangkan otot-otot
abdomen dan diafragma yang tidak mengalami paralisis serta dibantu manual
kompresi (maneuver Crede) dapat dilakukan untuk membantu pengosongan
kandung kemih (pertama kali dilakukan 2 minggu setelah terjadinya cedera).
Bila ini gagal, ulangi 2 kali seminggu sampai terjadi pengosongan kandung
kemih ( biasanya terjadi setelah 2-8 minggu). Dapat juga dilakukan usaha
dengan kateter intermiten setiap 4-6 jam untuk melatih pengosongan kandung
kemih secara efektif. Bila pengosongan kandung kemih sudah dapat terjadi,
maka usaha selanjutnya dilakukan oleh penderita sendiri tiap 2 jam di siang
hari dan perawat membantu melakukan penekanan secara manual di malam
hari saat membalik posisi pasien. Setelah penderita menguasai tehnik
pengosongan kandung kemih ini dengan baik, maka frekuensi pengosongan
dapat diatur sendiri.

 Fisioterapi5

Program fisioterapi harus sudah dimulai sejak pasien dirawat. Ada berbagai
macam program fisioterapi yang dapat diberikan pada pasien dengan sindrom
kauda equina dan tentunya tidak semuanya cocok diberikan untuk setiap pasien.
Jelas pemberian latihan ini disesuaikan dengan keadaan klinis pasien dan juga
gangguan neurologis yang ditemukan pada pasien tersebut. Adapun program-
program tersebut antara lain:
16

1. Gerakan pasif.
Tiap persendian dari group otot ekstremitas inferior digerakan secara pasif
dan full ROM, sekurang – kurangnya 2 kali sehari. Hal ini perlu untuk
mencegah terjadinya kontraktur, karena gerakan pasif tersebut memelihara
tonus dan panjang otot, serta melancarkan aliran darah dari ekstremitas inferior
yang rentan terhadap kemungkinan timbulnya trombosis yang disebabkan
aliran darah biasanya ditempat tersebut sangat lambat.
2. Keseimbangan duduk.
Pada pasien dengan kelemahan otot ekstremitas inferior yang cukup berat
saat mula-mula di pindah ke kursi roda perlu waktu beberapa hari bagi pasien
dapat duduk tegak dengan baik. Paralisis otot-otot tubuh seringkali
mengganggu keseimbangan dan bagi pasien hal ini dirasakan sangan
mengganggu. Jika duduk tegak maka pasien akan merasakan gejala-gejala
seperti hipotensi antara lain pusing dan mual. Biasanya secara bertahap pasien
dapat menyesuaikan diri. Jika hal ini terus berlanjut, maka dapat digunakan tilt
table untuk membantu pasien membiasakan diri duduk tegak.
3. Berenang
Latihan berenang di kolam sangat bermanfaat dan menyenangkan karena
akan membantu dan mempermudah otot-otot ekstremitas inferior untuk aktif
berfungsi. Ban dan jaket penyelamat dapat digunakan untuk pengaman dan
memperbesar rasa percaya diri pasien. Jika pasien ragu-ragu, maka terapis
dapat membantu dengan menyangga tubuh pasien pada tempat yang
sensoriknya masih berfungsi. Latihan renang ini dari sejak awalnya sudah
dapat dikembangkan menjadi salah satu latihan yang dapat menyenangkan
sekaligus sebagai suatu rekreasi.
4. Gym work
Tujuan latihan di ruang senam ini adalah untuk mengembangkan sepenuhya
aktifitas otot-otot yang persyarafannya masih baik. Latihan dengan tahanan,
per dan beban, press up, dan memanjat dengan tali.
5. Mat work (senam lantai di matras),
17

Pasien dalam posisi berbaring di lantai bertujuan untuk menguatkan otot–


otot trunkus dan meningkatkan tonus otot-otot paravertebralis sehingga
nantinya hal tersebut dapat membantu pasien dalam memperbaiki
keseimbangan duduk dan postur. Latihan di matras ini bertujuan membantu
mengurangi spastisitas otot-otot tersebut dan ini kelak akan membantu
berfungsinya bladder dan bowel. Semua pasien diajarkan berguling di lantai
dan jika mungkin belajar duduk tanpa dibantu. Selanjutnya latihan
keseimbangan dapat terus di kembangkan dengan latihan duduk di tepi tempat
tidur.
6. Berdiri
Pasien paraparese atau paraplegia secara teratur harus diajarkan cara untuk
berdiri tegak. Disamping meningkatkan moril dan kepercayaan diri pasien, hal
ini bertujuan untuk meringankan beban tekanan di sakrum dan pantat,
memperbaiki tonus otot di trunkus dan ekstremitas inferior, mencegah
deformitas fleksi di pangkal paha, lutut dan pergelangan kaki, memperbaiki
efisiensi pengosongan ginjal dan kandung kemih serta fungsi rektum dan juga
berperan dalam pencegahan osteoporosis dan fraktur patologis. Untuk
memungkinkan latihan berdiri tegak ini dapat digunakan alat yang dinamakan
standing frame.
7. Latihan jalan.
Faktor yang sangat menentukan kemampuan pasien dalam berjalan ialah:
kekuatan otot quadriceps, propioseptif lutut, tidak adanya kontraktur fleksi dari
panggul dan kontrol lengan. Untuk melangkah adalah merupakan problem
yang besar bagi pasien. Kemauan merupakan kunci kearah keberhasilan, yang
juga sangat tergantung faktor umur, berat badan dan jumlah otot-otot yang
masih berfungsi.
8. Pemakaian kursi roda
Harus dipesan kursi roda yang sesuai untuk tiap pasien. Idealnya pasien
dipesankan kursi roda sedini mungkin yang tipenya disesuaikan dengan hasil
pemeriksaan. Waktu yang paling tepat adalah saat pasien mulai belajar duduk.
18

Sebaiknya pemesanan kursi roda ini didiskusikan oleh tim. Pemilihan jenis
kursi roda sangat tergantung kepada usia, ukuran tubuh, tinggi badan dan berat
badan dan ditentukan oleh kekuatan lengan (1,2,3). Tempat kaki yang dapat
dibuka dan berputar, ketinggian yang dapat diatur serta sandaran tangan yang
dapat dilepaskan merupakan bentuk standart.
Latihan mengendalikan kursi roda diberikan sampai pasien betul – betul
yakin akan kemampuannya. Antara lain latihan tersebut adalah bagaimana cara
– cara melintasi pintu, permukaan lantai yang tidak rata, kemiringan dari
“trotoar”. Kepada pasien juga diajarkan cara–cara mundur dengan baik.
9. Ortotik
Pada trauma medula spinalis daerah torako lumbal dapat diberikan torako
lumbal brace. Prinsip kerja ini alat ini adalah memberikan penekanan pada 3
buah titik yang dikenal dengan “three point pressure”. Penekanan tersebut
diberikan dibagian antero distal yang terletak diatas pubis, dibagian antero
proksimal pada sternum, sedangkan dibagian posterior tekanan diberikan pada
daerah thorax bagian distal hingga lumbal bagian proksimal yang berupa
“padding”.
Sedangkan pada trauma medula spinalis daerah torako lumbo sakral dapat
diberikan torako lumbo sakral brace (TLSO). Prinsip kerja alat ini untuk
menghambat gerakan tulang punggung kearak fleksi, ekstensi, laterofleksi.
“Frame dan padding” yang menahan otot – otot abdominal mulai dari
umbilikus sampai daerah supra pubis. Gambar menunjukkan salah satu bentuk
torako lumbo sakral brace yaitu Goltwait brace.
Lesi pada T12 – L1 mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
mulai dari panggul ke bawah. Pada keadaan ini diperlukan pola jalan “swing
throuh” yang memerlukan energi 6 kali lebih besar dibandingkan keadaan
normal untuk setiap meternya. Pasien yang mampu berjalan dengan pola ini
dan dalam kecepatan yang cukup baik 60 m/menit sangat jarang.
19

2.9 Prognosis

Prediksi prognosis pasien dengan CES dapat dipengaruhi oleh beberapa


kriteria-kriteria tertentu yaitu:5

o Pasien dengan ischialgia bilateral dilaporkan memiliki prognosis yang kurang


baik dibanding yang mengalami ishialgia unilateral.
o Pasien dengan gejala anestesi perineal komplit kemungkinan besar akan
menderita paralisis bladder permanen.
o Luasnya defisit sensorik tipe sadel atau perineal merupakan prediktor
perbaikan/penyembuhan yang paling penting. Pasien dengan defisit unilateral
memiliki prognosis yang lebih baik daripada pasien dengan defisit bilateral.
o Wanita dan pasien dengan disfungsi bowel memiliki outcome yang lebih
buruk.
20

BAB III
STATUS ORANG SAKIT

Identitas Pasien

Nama : Pangihutan

Umur : 54 tahun

Alamat : Paran Napa Dolok Barumun Tengah Kec. Barumun


Tengah Kab. Tapanuli Selatan

Pekerjaan : Pegawai Negeri

Status Pernikahaan : Sudah Menikah

Suku : Batak

Agama : Islam

Anamnesis

KU : Nyeri pinggang

T : Hal ini telah dialami pasien sejak 1 tahun ini dan memberat dalam 3
minggu SMRS. Nyeri tidak dapat ditunjuk dengan 1 jari. Nyeri berkurang saat
berbaring dan memberat dengan pergerakan. Nyeri menjalar dari bagian pinggang
hingga ke kaki. Pasien juga mengeluh lemah pada saat berdiri dan berjalan. Pasien
tidak dapat buang air kecil sejak 2 hari ini. BAB dalam batas normal. Pasien juga
mengeluhkan nyeri saat berhubungan dan tidak dapat ereksi sejak 2 hari ini.
Riwayat trauma disangkal. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama
disangkal.

Riwayat penyakit terdahulu : DM (-), Hipertensi (-)

Riwayat pemakaian obat : tidak ada

Pemeriksaan Fisik

Status Presens
TD : 120/70 mmHg
Frekuensi Nadi : 89 bpm
21

Frekuensi Nafas : 20 x/m


Temp : 370 C
VAS :6
BW : 65 kg
Status Generalisata
Kepala:

- Mata :Konjungtiva palpebra pucat (+/+), ikterik (-/-), pupil


isokor (3mm/3mm)

- Hidung : Tidak ada deviasi, pernafasan cuping hidung (-)

- Telinga : Nyeri telinga (-), Tinitus (-)

- Mulut : Sianosis (-), angular seilitis (-)

Leher:

- Trakea medial, Pembesaran KGB (-), TVJ R+2cmH20, Penggunaan otot


bantu nafas (-)

Thoraks:

- I : Simetris fusiformis, ketinggalan bernafas tidak dijumpai

- P: Stem fremitus kanan = kiri, Iktus tidak teraba

- P: Sonor pada kedua lapangan paru

Batas paru hati: Relatif: ICS IV, Absolut: ICS v

Peranjakan : 1 cm

Batas atas jantung : ICS II Linea mid clavicularis sinistra

Batas kiri jantung : ICS V, linea midclavicularis sinistra

Batas kanan jantung : ICS IV, Linea para sternalis dekstra

-A: Sp: Vesikular


22

ST: Ronkhi (-/-),Whz (-/-)

Abdomen:

• I : Simetris

• P : Soepel, nyeri tekan epigastrium (+), H/L/R tidak teraba. Benjolan (-)

• P : Timpani

• A : Peristaltik (+) Normal

Tulang Belakang: Status Lokalisata

Ekstremitas:

• Atas : Sianosis (-/-), eritema palmar (-), edema (-/-)

Kanan Kiri

a. Brachialis + +

a. Radialis + +

• Bawah : Status lokalisata

Status Lokalisata

Tulang Belakang :

- Look: Simetris, Eritema (-), Sinus (-), Jaringan parut (-),


- Feel: Massa (-), Penonolan (-), Nyeri tekan (-)
- Move : Nyeri pergerakkan (+)

Ekstremitas Bawah :

- Look : Simetris, Eritema (-), Sinus (-), Jaringan parut (-),


- Feel : Massa (-), Penonjolan (-), Nyeri tekan (-)
23

Kanan Kiri

a. femoralis + +

a. popliteal + +

a. dorsalis pedis + +

- Move :
o Sistem motorik : 33333 / 33333
o Sistem neurologis : Saddle Anesthesia (+)
o Refleks fisiologis : +/+
o Refleks patologis : - /-

Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

Hb : 14.1 (13-16)

Eritrosit : 4.76 (4.50-6.50)

Leukosit : 10,130 ( 4,000-11,000)

Hematokrit : 40 (39-54)

Trombosit : 333.000 (150.000-450.000)

Faal Hemostasis

Waktu Protombin

 Pasien : 15.7
 kontrol : 13.90
INR : 1.13 (0.8-1.30)

APTT

 Pasien : 41.5 (27-39)


 Kontrol : 33.0
24

Kimia Klinik

Glukosa Darah : 86

BUN : 10

Ureum : 21

Kreatinin : 0.78

Natrium : 136

Kalium : 3.4

Klorida : 102

Radiologi :

Thorax dewasa PA
- Aorta elongasi dan kalsifikasi
- Suspek bronkopneumonia DD/ : Proses spesifik
25

Lumbal PA/L (2 posisi)

Kesan: Spondilosis vertebra lumbalis dengan osteoporosis

Thoracal PA/L (2 posisi)

Kesan :
26

Diagnosa Banding
- Sidroma Kauda Ekuina
- Spondilosis
- HNP
- Spondilolistesis
- Stenosis Spiral

Diagnosis Kerja

Susp. Sindroma Kauda Ekuina

Tatalaksana IGD

- Nacl 0.9 % 20 gtt/ mnt


- Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam IV
- Inj. Ketorolac 30 mg/ 12 jam IV

Rencana:

- MRI
27

BAB IV
KESIMPULAN

Laki-laki, P, 54 tahun, didiagnosis dengan Susp. Sindroma Kauda Ekuina


dan ditatalaksana dengan Nacl 0.9 % 20 gtt/ mnt, Inj. Ranitidin 50 mg/8 jam IV,
dan Inj. Ketorolac 30 mg/ 12 jam IV.
28

DAFTAR PUSTAKA

1. Dawodu ST, Bechtel KA, Beeson MS, Humphreys SC, Kellam JF, et all.
Cauda equina and conus medullaris syndromes. March 2013. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/1148690-overview#aw2aab6b2b4, 27
Oktober 2013.

2. Gardner A, Gardner E, Morley E. Cauda equina syndrome: a review of the


current clinical and medico-legal position. May 2011. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3082683/, 27 Oktober 2013.

3. Shiel WC, Davis C. Cauda equina syndrome. Diunduh dari:


http://www.medicinenet.com/cauda_equina_syndrome/article.htm, 28 Oktober
2013.

4. Lavy C. James A, Macdonald JW, Fairbank J. Cauda equina syndrome. March


2009. Diunduh dari:
http://www.bmj.com/content/338/bmj.b936?hwoasp=authn:1364218072:43159
29:354 50631:0:0:/zin0EakVjG3bIFW8DtxPA%3D%3D, 29 Oktober 2013.

5. Meliala L. Patofisiologi dan penatalaksanaan nyeri punggung bawah. Dalam


Meliala L, Suryono B, Wibowo S. Kumpulan makalah pertemuan ilmiah I
Indonesia Pain Society. Jogjakarta. 2003.

Anda mungkin juga menyukai