KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................................
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah..................................................................................................
1.3 Batasan Masalah....................................................................................................
1.4 Tujuan Penulisan...................................................................................................
1.5 Metode dan teknik penulisan.........................................................................................
1.6 Sistematika Penulisan....................................................................................................
BAB II.................................................................................................................................
2.1 Posisi Kasus...........................................................................................................
2.1.1 Putusan Mahkamah Internasional..........................................................................
2.1.2 Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional...................................................
2.2 Pembahasan...........................................................................................................
2.3 Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional .............................
2.3.1 Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum...................................
2.4 Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika mengatasi kasus yg sama
BAB III. PENUTUP............................................................................................................
3.1 Kesimpulan............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Batasan Masalah
Dalam hal ini pembahasan menegenai kasus perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus
sengketa perebutan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .
1.4 Tujuan Penulisan
Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode
studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat
teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat
adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan
yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk
studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang latar belakang masalah, perumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, metode dan tehnik penulisan serta sistematika penulisan.
BAB II: Merupakan pembahasan yang menguraikan tentang tema yang dibahas berdasarkan
hasil pengolahan data dan informasi dari berbagai sumber buku.
BAB III : Merupakan bagian akhir dari karya tulis ini dalam bentuk kesimpulan hasil dan
saran – saran yang disampaikan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Posisi Kasus
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan
perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-
22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum
1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang
menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian
bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan
wilayah Indonesia. Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian
Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer.
Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan
itu dicoba dilakukan dengan cara musyawarah.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga
Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober tahun 1991, Malaysia tiba-tiba
mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan
tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena
diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat
untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi
1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut
dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan
Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir
Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun,
kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah
Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah
Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas
Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama
perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada
2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang
adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan
bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua
alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-
Den&Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas
kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878
secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus
memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori
banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia
menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan
7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni
jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian
pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan
pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan
wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk
tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau
di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu
saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den
Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyataka bahwa
hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali
kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-
perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan
kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara
bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa
Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang
tidak mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan
membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental
tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua
alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-
Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan,
Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan
Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum
tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas
menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this
Special Agreement as final and binding upon th.
Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada
hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada
pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata
yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of
title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
2.2 Pembahasan
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara
damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi
kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-
Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional
dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan
Thailand dengan hampir semua negara tetangganya. Satu hal yang perlu disesali dalam
mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya
mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat
minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya,
ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk
menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-
persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota
untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya
Dewan Tinggi ini. Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak
domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen
Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu
dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan
Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan
peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani
masalah internasional.
Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-
satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi
konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua
negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral
maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis
terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa
pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak
kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga
solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di
sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak
pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas
Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut
telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai
merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort
wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan
melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti
yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah
orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan
bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan
warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun
bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan
bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua
negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis
kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah
internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan
efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya
ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah
lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen
Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan
Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan
lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga
untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa
negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada
konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim
selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer
maupun ekonomi. Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami
Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka
peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer,
TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan
armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya
negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum
internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga
teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal
pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera
dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini
memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-
menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak
terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-
state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat
sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat-
saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal,
kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan
Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada
pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer
armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi
berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan
rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat
utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.
Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari
standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal,
terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal
buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi
keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli.
Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia
21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan
dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur
diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia
menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi,
sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-
wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung
reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk
persoalan perbatasan di forum internasional.
Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan
kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-
pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-
alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah
Indonesia.
d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau
kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak
yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan
dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga
Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus
1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga
mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian
sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979.
Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and
actually takes part in the negotiation).Determination made by third party is not
binding unless they have so agreed.
e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang
dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang
bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian
kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting
possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat
mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua
belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi.Dalam kasus ini Thailand
selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian
Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat
Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.
3.1 Kesimpulan
Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan
kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2
ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis
perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari
Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan
Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo,
masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan
pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak
dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional
memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia
atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih
banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.
DAFTAR PUSTAKA
1) Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2) Buana Satria Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press:
Banjarmasin
3) Harun,Djaenuddin,dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
4) Iskandar Encang,2004. Pendidikan kewarganegaraan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
5) Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
6) Rifdan,dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar: Ikatan dosen pendidikan
Kewarganegaraan.
7) Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional,
Alumni:Bandung
8) http://putri-ayuniah.blogspot.co.id/2013/05/tugas-softskill-penelitian-ilmiah_9496.html