Anda di halaman 1dari 16

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI.......................................................................................................................
BAB I. PENDAHULUAN..................................................................................................
1.1         Latar Belakang.......................................................................................................
1.2         Rumusan Masalah..................................................................................................
1.3         Batasan Masalah....................................................................................................
1.4         Tujuan Penulisan...................................................................................................
1.5 Metode dan teknik penulisan.........................................................................................
1.6 Sistematika Penulisan....................................................................................................
BAB II.................................................................................................................................
2.1         Posisi Kasus...........................................................................................................
2.1.1      Putusan Mahkamah Internasional..........................................................................
2.1.2      Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional...................................................
2.2         Pembahasan...........................................................................................................
2.3  Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional .............................
2.3.1      Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum...................................
2.4  Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika mengatasi kasus yg sama
BAB III. PENUTUP............................................................................................................
3.1         Kesimpulan............................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang

Sebagai negara kepulauan dengan masyarakatnya yang berbhineka, negara Indonesia


memiliki unsur–unsur kekuatan sekaligus kelemahan. Kekuatannya terletak pada posisi dan
keadaan geografi yang strategis dan kaya akan sumber daya alam (SDA). Sementara
kelemahannya terletak pada wujud kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus
disatukan dalam satu bangsa satu negara dan satu tanah air. Negara bagaikan suatu
organisme. Ia tidak bisa hidup sendiri. Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi oleh
negara-negara lain, terutama Negara-negara tetangga atau negara yang berada dalam satu
kawasan dengannya. Seperti kasus yang akan dibahas tentang perebuatn pulau dengan negara
tetangga yaitu Malaysia yang masih berada satu kawasan dengan Indonesia.
Konflik Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan
terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000
meter²) dengan koordinat: 4°6′52,86″LU 118°37′43,52″BT dan pulau Ligitan (luas: 18.000
meter²) dengan koordinat: 4°9′LU 118°53′BT. Sikap Indonesia semula ingin membawa
masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan
sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang mengatur hubungan antar negara-
negara yang letaknya berdekatan diatas permukaan bumi ini. Sistem politik tersebut
dinamakan geopolitik yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara di sekitanya tak
terkecuali Indonesia. Indonesia pun harus memiliki sistem geopolitik yang cocok diterapkan
dengan kondisi kepulauannya yang unik dan letak geografis negara Indonesia diatas
permukaan planet bumi.geopolitik Indonesia tiada lain adalah wawasan nusantara. Wawasan
nusantara tidak mengandung unsur-unsur kekerasan, cara pandang bangsa Indonesia tentang
diri dan lingkungannya berdasarkan ide nasionalnya yang dilandasi pancasila dan UUD 1945
yang merupakan aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat, dan bermartabat serta
menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaanya dalam mencapai tujuan nasional.
Dalam hal ini sebagai warga negara Indonesia yang baik yang menerapkan geopolitik wajib
ikut untuk melestarikan dan menjaga keutuhan wilayah negara. Dan tidak dapat dipungkiri di
Indonesia bergulir konflik perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan dengan Negara tetangga
yaitu Malaysia. Sebenarnya antara Indonesia dengan Malaysia tidak hanya terjadi konflik
perebutan Pulau atau wilayah negara saja tetapi pernah juga terjadi konflik perebutan
kebudayaan,makanan khas,lagu-lagu daerah. Dan yang terus bergulir dalam konflik
perebutan pulau ini salah satunya Pulau Sipadan dan Ligitan. Masing-masing pihak saling
mengklaim bahwa pulau-pulau tersebut berada di wilayah perariran negara mereka masing-
masing. Sehingga pada akhirnya kasus ini menarik untuk saya bahas.

 
1.2              Rumusan Masalah

1. Langkah apa yang diambil Malaysia dan Indonesia dalam menyelesaikan sengketa


kedaulatan diantara keduanya?
2.  Kenapa Indonesia kalah dalam kasus tersebut padahal peluang Indonesia-Malaysia
adalah fifty-fifty?
3.   Bagaimanakah sikap yang seharusnya diambil Indonesia untuk kedepannya jika
mengatasi kasus yang sama?

 
1.3              Batasan Masalah

Dalam hal ini pembahasan menegenai kasus perebutan wilayah terbatas hanya pada kasus
sengketa perebutan pulau Sipadan dan Ligitan antara Indonesia dan Malaysia .

1.4              Tujuan Penulisan

1.         Untuk memenuhi tugas Pendidikan Kewarganegaraan


2.         Untuk dijadikan bahan dalam kegiatan diskusi.
3.         Untuk mengetahui sebab terjadinya konflik perebutan pulau Sipadan dan Ligitan

1.5              Metode dan teknik penulisan

Metode dan teknik penulisan yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode
studi pustaka. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi yang bersifat
teoritis yang kemudian data tersebut akan dijadikan dasar atau pedoman untuk melihat
adanya ketidaksesuaian antara teori dengan kenyataan sebagai penyebab dari permasalahan
yang dibahas dalam karya tulis ini. Sumber – sumber yang dijadikan sebagai rujukan untuk
studi pustaka diperoleh dari berbagai sumber bacaan.

1.6        Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan karya tulis ini adalah sebagai berikut :
BAB I : Merupakan bagian pendahuluan yang latar belakang masalah, perumusan masalah,
batasan masalah, tujuan penelitian, metode dan tehnik penulisan serta sistematika penulisan.

BAB II: Merupakan pembahasan yang menguraikan tentang tema yang dibahas berdasarkan
hasil pengolahan data dan informasi dari berbagai sumber buku.

BAB III : Merupakan bagian akhir dari karya tulis ini dalam bentuk kesimpulan hasil dan
saran – saran yang disampaikan.

                                                           

BAB II

PEMBAHASAN 

2.1  Posisi Kasus

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan untuk pertama kali muncul ketika dilangsungkan
perundingan batas landas kontinen antara Indonesia dan Malaysia di Kuala Lumpur pada 9-
22 September 1969, karena Malaysia mengklaim pemilik kedua pulau tersebut. Sebelum
1969 kedua belah pihak menghormati Konvensi 1891 antara Inggris dan Belanda yang
menetapkan garis batas 40 10’ Lintang Utara (LU) bagi kedua negara. Indonesia berpendirian
bahwa Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di sebelah Selatan garis itu merupakan
wilayah Indonesia.  Serangkaian perjanjian, lobi, diplomasi berlangsung dengan cara “Asian
Way”, sebuah cara yang mengedepankan dialog, dengan menghindari konflik militer.
Akhirnya masalah itu menjadi redam dalam  tanda kutip, artinya dialog tentang perselisihan
itu dicoba dilakukan dengan cara musyawarah.
Indonesia pada waktu itu tampaknya terlalu terbuai dengan model seperti itu sehingga
Indonesia tiba-tiba terkejut ketika pada bulan Oktober  tahun 1991, Malaysia tiba-tiba
mengeluarkan peta yang memasukkan Sipadan dan Ligitan ke wilayah Malaysia, dan
tragisnya Indonesia juga tidak tahu kalau di Sipadan telah dibangun tourisme dan arena
diving yang sangat bagus . Kemudian pada tahun 1997 Indonesia dan Malaysia bersepakat
untuk menyerahkan masalah tersebut ke International Court of Justice, the Hague di Belanda.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi
1891 antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut
dua alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan
Sulu-Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Sengketa ini lalu dibicarakan dalam pertemuan antara Presiden Soeharto dan PM Mahathir
Muhamad di Yogyakarta pada 1989. Melalui berbagai pertemuan dalam beberapa tahun,
kedua belah pihak berkesimpulan sengketa ini sulit untuk diselesaikan secara bilateral
Karena itu kedua belah pihak setuju untuk mengajukan penyelesaian ini ke Mahkamah
Internasional dengan menandatangai ”Perjanjian Khusus untuk diajukan ke Mahkamah
Internasional dalam Sengketa antara Indonesia dan Malaysia menyangkut kedaulatan atas
Pulau Ligitan dan Sipdan,” di Kuala Lumpur pada 31 Mei 1997. Melalui surat bersama
perjanjian ini kasus sengketa ini disampaikan ke Mahkamah Internasional di Den Haag pada
2 November 1998.
Kedua belah pihak mempercayai Mahkamah Internasional akan mengambil keputusan yang
adil mengenai siapa yang berdaulat atas kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadan, berdasarkan
bukti-bukti yang ada.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua
alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-
Den&Overbeck-BNBC-Malaysia. Malaysia juga berpendirian bahwa kedaulatannya atas
kedua pulau tersebut berdasarkan fakta bahwa Inggris dan kemudian Malaysia sejak 1878
secara damai terus menerus mengadministrasi kedua pulau itu.
Di depan Mahkamah Internasional, untuk membuktikan klaimnya, kedua belah pihak harus
memenuhi prosedur, antara lain menyampaikan pembelaan tertulis dan memori, memori
banding dan replik. sampai memasuki tahap penyampaian pembelaan lisan.
Pembelaan lisan terbagi dua, yaitu putaran pertama pada 3 dan 4 Juni 2002 Indonesia
menyampaikan pembelaannya pada dengar pendapat terbuka. Menyusul Malaysia pada 6 dan
7 Juni. Sedang putaran kedua pada 10 Juni untuk Indonesia dan pada 12 Juni
jawaban Malaysia. Mengenai cara-cara menyampaikan perkara, batas waktu penyampaian
pembelaan tertulis dan lisan tertera dalam Statuta ICJ. Pembelaan lisan ini, sebagai kelanjutan
pembelaaan tertulis yang berakhir pada Maret 2000, akan berlangsung sampai 12 Juni 2002
Pemerintah Indonesia berpendirian bahwa Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan merupakan
wilayah Indonesia. Selain itu, Indonesia tetap mengajukan protes sambil menahan diri untuk
tidak melakukan klaim sepihak seperti yang dilakukan Malaysia selama ini atas kedua pulau
di lepas pulau Kalimantan tersebut. Demikian salah satu kesimpulan yang diutarakan Menlu
saat menyampaikan argumentasi lisan di hadapan hakim pengadilan internasional di Den
Haag.
Kendati sedang bersengketa, Hassan menyataka bahwa
hubungan Indonesia dengan Malaysia masih berlangsung dengan sangat baik. ”Kembali
kepada sisi yang positif, Indonesia memperhatikan bahwa kendati terdapat perbedaan-
perbedaan dengan Malaysia, hubungan antara kedua negara tetap berjalan sangat baik dan
kedua negara telah bersikap arif untuk menyelesaikan sengketa (Sipadan dan Ligitan) secara
bersama kepada yurisdiksi Mahkamah Internasional
Hassan, selaku pemegang kuasa hukum (Agent) Indonesia dalam kasus sengketa
Sipadan dan Ligitan, yaitu bahwa adanya tindakan sepihak Malaysia pada tahun 1979 yang
tidak mencerminkan adanya ”good faith,” diantaranya dengan cara menerbitkan peta yang
memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam wilayah nasionalnya. ”Dan akhirnya dengan
membangun sejumlah fasilitas wisata di Sipadan. Tindakan-tindakan ini secara fundamental
tidak selaras dengan sikap menahan diri atau ‘status quo.
Indonesia mendasarkan kedaulatan atas kedua pulau itu menurut Pasal IV Konvensi 1891
antara Belanda dan Inggris. Sedangkan Malaysia mendasarkan kepemilikannya menurut dua
alur yaitu alur Sultan Sulu-Spanyol-Amerika Serikat-Inggris-Malaysia dan alur Sultan Sulu-
Den & Overbeck-BNBC-Malaysia.
Pada tanggal 17 Desember 2002 lalu, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan,
Pulau Sipadan dan Ligitan adalah wilayah Malaysia berdasar kenyataan, Inggris dan
Malaysia dianggap telah melaksanakan kedaulatan yang lebih "efektif" atas pulau itu sebelum
tahun 1969.
Indonesia menghormati keputusan itu, apalagi karena Pasal 5 Persetujuan 1997 tegas
menyatakan, kedua pihak agree to accept the judgement of the Court given pursuant to this
Special Agreement as final and binding upon th.

2.1.1    Putusan Mahkamah Internasional

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[8] [9] kemudian pada
hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa
kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting
di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara
satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan
Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada
pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris
(penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan
ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu
sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata
yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of
title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di
perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.

2.1.2       Pokok-pokok Putusan Mahkamah Internasional          


1. Menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari
wilayah yang diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu
dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi
Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang
kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of
Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang
diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat
referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada
di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891.
penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai
allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa
juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau
tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV
tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari
konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua
pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai
bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial
Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun
1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum
Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula
yang bersengketa

 2.2 Pembahasan
Penyelesaian sengketa yang akhirnya diserahakan kepada Mahkamah Internasional ini pada
hakikatnya merupakan keberhasilan diplomasi dari pihak Malaysia dan Indonesia. Cara
damai yang ditempuh Indonesia dan Malaysia akan memberikan dampak yang besar bagi
kawasan Asia Tenggara, seperti misalnya cara penyelesaian kedua belah pihak (Malaysia-
Indonesia) yang menyerahkan persoalan ini seutuhnya kepada Mahkamah Internasional
dapat ditiru sebagai salah satu model penyelesaian klaim-klaim teritorial lain antar negara
anggota ASEAN yang masih cukup banyak terjadi, misalnya klaim teritorial Malaysia dan
Thailand dengan hampir semua negara tetangganya. Satu hal yang perlu disesali dalam
mekanisme penyelesaian konflik Sipadan dan Ligitan adalah tidak dipergunakannya
mekanisme regional ASEAN. ASEAN, sebagai satu forum kerja sama regional, sangat
minimal perannya dalam pemecahan perbatasan. Hal ini karena dipandang sebagai persoalan
domestik satu negara dan ASEAN tidak ikut campur tangan di atasnya. Sesungguhnya,
ASEAN sendiri sudah merancang terbentuknya sebuah Dewan Tinggi (High Council) untuk
menyelesaikan masalah-masalah regional. Dewan ini bertugas untuk memutuskan persoalan-
persoalan kawasan termasuk masalah klaim teritorial. Namun keberatan beberapa anggota
untuk membagi sebagian kedaulatannya merupakan hambatan utama dari terbentuknya
Dewan Tinggi ini. Akibat jatuhnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia terjadi dampak
domestik yang tak kalah hebatnya, banyak komentar maupun anggapan bahwa Departemen
Luar Negeri-lah penyebab utama lepasnya Sipadan-Ligitan mengingat seharusnya Deplu
dibawah kepemiminan Mentri Luar Negeri Hasan Wirajuda mampu mempertahankan
Sipadan-Ligitan dengan kekuatan diplomasinya. Memang masih banyak revisi dan
peninjauan yang harus dilakukan para diplomat kita dan juga cara Deplu dalam menangani
masalah internasional.

Namun, bukanlah merupakan hal yang bijaksana bila kita menyalahkan deplu sebagai satu-
satunya pihak yang menyebabkan lepasnya Sipadan dan Ligitan, mengingat kronologi
konflik Sipadan-Ligitan yang sudah berumur lebih dari empat dasawarsa tersebut. Kedua
negara telah melakukan pertemuan-pertemuan baik formal maupun informal, secara bilateral
maupun melalui ASEAN dalam menyelesaikan sengketa Sipadan dan Ligitan sejak tahun
1967. Indonesia dan Malaysia juga sama-sama kuat dalam mengajukan bukti historis
terhadap klaim mereka masing-masing. Akhirnya pada tanggal 31 Mei 1997 pada akhir masa
pemerintahan Soeharto, Soeharto menyepakati untuk menyerahkan masalah yang tak
kunjung selesai ini ke mahkamah internasional dengan pertimbangan untuk menjaga
solidaritas sesama negara kawasan dan penyelesaian dengan cara damai. Perlu kita tahu di
sini adalah selama jangka waktu yang panjang tersebut pihak Republik Indonesia tidak
pernah melakukan suatu usaha apapun dalam melakukan manajemen dan pemeliharaan atas
Sipadan-Ligitan. Kita seolah mengabaikan kenyataan bahwa secara “de facto” pulau tersebut
telah efektif dikuasai oleh Malaysia. Bahkan sejak tahun 1974 Malaysia sudah mulai
merancang dan membangun infra struktur Ssipadan-Ligitan lengkap dengan fasilitas resort
wisata. Kita seakan membiarkan saja hal ini terjadi tanpa melakukan apapun atau bahkan
melakukan hal yang sama. Kesalahan kita ialah kita terlalu cukup percaya diri dengan bukti
yuridis yang kita miliki dan bukti bahwa mereka yang bertempat tinggal di sana adalah
orang-orang Indonesia. Tentu saja bukti ini sangat lemah mengingat bangsa Indonesia dan
bangsa Malaysia berasal dari rumpun yang sama dan agaknya cukup sulit membedakan
warga Indonesia dan warga Malaysia dengan hanya berdasarkan penampilan fisik maupun
bahasa yang dipergunakannya. Terlebih lagi sudah menjadi ciri khas di daerah perbatasan
bahwa biasanya penduduk setempat merupakan penduduk campuran yang berasal dari kedua
negara.
Melihat pertimbangan yang diberikan oleh mahkamah internasional, ternyata bukti historis
kedua negara kurang dipertimbangkan. Yang menjadi petimbangan utama dari mahkamah
internasional adalah keberadaan terus-menerus dalam (continuous presence), penguasaan
efektif (effectrive occupation) dan pelestarian alam (ecology preservation). Ironisnya
ternyata hal-hal inilah yang kurang menjadi perhatian dari pihak Indonesia. Apabila ditelaah
lebih dalam, seharusnya ketiga poin di atas ialah wewenang dan otoritas dari Departemen
Luar Negeri beserta instansi lainnya yang berkaitan, tidak terkecuali TNI terutama Angkatan
Laut, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kelautan, Departemen Pariwisata dan
lembaga terkait lainnya. Sesungguhnya apabila terdapat koordinasi yang baik antar lembaga
untuk mengelola Sipadan-Ligitan mungkin posisi tawar kita akan menjadi lebih baik.
Di samping itu tumpang tindih pengaturan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dengan beberapa
negara tetangga juga berpotensi melahirkan friksi dan sengketa yang dapat mengarah kepada
konflk internasional. Mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan, isu maritim
selayaknya menjadi perhatian dan melibatkan aneka kepentingan strategis, baik militer
maupun ekonomi. Berkaitan dengan batas teritorial ada beberapa aspek yang dialami
Indonesia. Pertama, Indonesia masih memiliki “Pulau-pulau tak bernama”, membuka
peluang negara tetangga mengklaim wilayah-wilayah itu. Kedua, implikasi secara militer,
TNI AL yang bertanggung jawab terhadap wilayah maritim amat lemah kekuatan
armadanya, baik dalam kecanggihan maupun sumber daya manusianya. Ketiga, tidak adanya
negosiator yang menguasai hukum teritorial kewilayahan yang diandalkan di forum
internasional.
Pembenahan secara gradual sebenarnya dapat dimulai dari tataran domestik untuk menjaga
teritorialnya. Pertama, melakukan penelitian dan penyesuaian kembali garis-garis pangkal
pantai (internal waters) dan alur laut nusantara (archipelagic sea lanes). Hal ini perlu segera
dilakukan untuk mencegah klaim-klaim dari negara lain. Namun sekali lagi, Hal ini
memerlukan political will pemerintah. Kedua, mengintensifkan kehadiran yang terus-
menerus, pendudukan intensif dan jaminan pelestarian terhadap pulau perbatasan. Tidak
terpenuhinya unsur-unsur itu menyebabkan Sipadan-Ligitan jatuh ke Malaysia.
Tantangan keamanan maritim yang mengemuka memungkinkan konflik antarnegara (inter-
state conflict). Konflik antarnegara merujuk tingkat kompetisi antarnegara untuk mendapat
sumber daya alam dan klaim berkait batas-batas nasional dan teritorial.
Isu sekuritisasi maritim saat ini masih kurang mendapat perhatian serius, kecuali pada saat-
saat tertentu, yaitu ketika kedaulatan kita merasa dilanggar negara lain. Akibatnya fatal,
kelengahan pemerintah menggoreskan sejarah pahit, di antaranya, lepasnya Timor Timur dan
Sipadan-Ligitan.
Lebih jauh lagi, hal ini juga berpengaruh pada tingkat kesiapan domestik, armada
pengamanan kelautan kita dalam mengatasi ancaman dari luar negeri. Kemampuan militer
armada laut kita amat minim apalagi jika dibandingkan dengan luas wilayah. Belum lagi
berbicara kecanggihan peralatan militer yang “tidak layak tempur” karena usia tua dengan
rata-rata pembuatan akhir 1960-an dan tahun rekondisi 1980-an. Maka dapat dikatakan, alat
utama sistem persenjataan merupakan “besi tua yang mengambang” dan tidak mampu
melakukan tugas pengamanan secara menyeluruh.

Terkait pembangunan kekuatan armada TNI AL, kini peralatan militer kita amat jauh dari
standar pengamanan wilayah teritorial. Ditilik dari kuantitas, TNI AL memiliki 114 kapal,
terdiri dari berbagai tipe dengan rentang waktu pembuatan 1967 dan 1990. Armada kapal
buatan tahun 1967 direkondisi tahun 1986 hingga 1990-an. Padahal, guna melindungi
keamanan laut nasional Indonesia sepanjang 613 mil dibutuhkan minimal 38 kapal patroli.
Dari armada yang dimiliki TNI AL itu, 39 kapal berusia lebih dari 30 tahun, 42 kapal berusia
21-30 tahun, 24 kapal berusia 11-20 tahun, dan delapan kapal berusia kurang dari 10 tahun.
Dalam relasi dunia modern sekarang ini, tindakan penyerangan dengan persenjataan
dianggap sebagai langkah konvensional primitif. Oleh karena itu, mengedepankan jalur
diplomatis menjadi pilihan utama dan logis.
Namun, kembali lagi adanya pengalaman pahit terkait lepasnya wilayah-wilayah Indonesia
menjadikan publik menaruh pesimistis atas kemampuan tim diplomatik kita. Apalagi,
sepertinya kita lalai dalam merawat perbatasan. Atas dasar alasan itu, bisa jadi wilayah-
wilayah lain akan menyusul. Pemerintah juga tidak memiliki upaya proaktif, dan cenderung
reaktif dalam forum diplomatik untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia, termasuk
persoalan perbatasan di forum internasional.

Hal ini terlihat dari minimalnya perhatian pemerintah terhadap persoalan perbatasan dan
kedaulatan RI atas negara lain. Contoh yang paling nyata, tiadanya penamaan atas pulau-
pulau “tak bernama’ yang tersebar di wilayah perbatasan Indonesia. Belum lagi alasan-
alasan, misalnya, terkait pelestarian lingkungan yang masih jauh dari perhatian Pemerintah
Indonesia.

 
 

2.3 Teori Mengenai Metode Penyelesaian Sengketa Internasional

Teory mengenai metode penyelesaian sengketa internasional (methods of international


settlement disputes) di bagi dua bagian yaitu metode diplomasi dan secara huklum, lebih
jelasnya di jelaskan seperti di bawah ini:

1. Metode Diplomasi (Diplomatic Method):


a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi adalah perundingan yang dilakukan secara langsung antara para pihak
dengan tujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui dialog tanpa melibatkan pihak
ketiga. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling dasar dan paling
tuas digunakan oleh umat manusia. Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan
negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
b. Pencarian Fakta (fact-finding atau inquiry)
Sengketa yang dihadapi oleh para pihak pada intinya adalah mempersengketakan
perbedaan mengenai fakta, maka untuk meluruskan perbedaan tersebut diperlukan
campur tangan pihak lain untuk menyelidiki kedudukan fakta yang sebenarnya.
Biasanya para pihak tidak meminta pengadilan tetapi meminta pihak ketiga sifatnya
kurang formal. Cara ini biasanya ditempuh manakala cara-cara konsultasi atau
negosiasi telah dilakukan dan tidak menghasilkan suatu penyelesaian. Dengan cara
ini, pihak ketiga akan berupaya melihat suatu permasalahan dari semua sudut guna
memberikan penjelasan mengenai kedudukan para pihak.
c. Jasa-Jasa Baik (good offices)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau
kelompok negara atau organisasi internasional.Dalam jasa-jasa baik, pihak ketiga
terlibat tanpa memainkan peranan yang aktif dalam arti dia tidak ikut secara langsung
dalam perundingan-perundingan tetapi hanya menyiapkan dan mengambil langkah-
langkah yang perlu agar para pihak yang bersengketa dapat bertemu satu sama lain
dan merundingkan sengketanya. Bila para pihak yang bersengketa telah setuju untuk
saling bertemu maka berakhir pulalah misi negara yang menawarkan jasa-jasa
baiknya tersebut, contoh: atas jasa-jasa baik Perancis, Menlu Henry Kissinger
mengadakan perundingan dengan Menlu Vietnam Le Duc Tho pada bulan Januari
1973 untuk mengakhiri Perang Vietnam.
Pelaksanaan jasa-jasa baik (good offices) dapat disatukan dengan mediasi (mediation)
pelaksanaannya dapat disatukan/digabungkan, contoh: Kasus Iran (1979) --- kedua
belah pihak tidak berbicara secara langsung satu sama lain. Dalam kasus ini Aljazair
bertindak sebagai mediator dan menghasilkan Algier Accord sebagai dasar
pembentukan “The Iran-USA Claims Tribunal in the Hague (1981)”.

d. Mediasi (mediation)
Melibatkan pihak ketiga (third party) yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa.
Pihak ketiga dapat berupa individu atau kelompok (group or individual), negara atau
kelompok negara atau organisasi internasional.
Dalam mediasi, negara ketiga bukan hanya sekedar mengusahakan agar para pihak
yang bersengketa saling bertemu, tetapi juga mengusahakan dasar-dasar perundingan
dan ikut aktif dalam perundingan, contoh: mediasi yang dilakukan oleh Komisi Tiga
Negara (Australia, Amerika, Belgia) yang dibentuk oleh PBB pada bulan Agustus
1947 untuk mencari penyelesaian sengketa antara Indonesia dan Belanda dan juga
mediasi yang dilakukan oleh Presiden Jimmy Carter untuk mencari penyelesaian
sengketa antara Israel dan Mesir hingga menghasilkan Perjanjian Camp David 1979.
Dengan demikian, dalam mediasi pihak ketiga terlibat secara aktif (more active and
actually takes part in the negotiation).Determination made by third party is not
binding unless they have so agreed.
e. Konsiliasi (conciliation)
Konsiliasi merupakan suatu cara penyelesaian sengketa oleh suatu organ yang
dibentuk sebelumnya atau dibentuk kemudian atas kesepakatan para pihak yang
bersengketa. Organ yang dibentuk tersebut mengajukan usul-usul penyelesaian
kepada para pihak yang bersengketa (to the ascertain the facts and suggesting
possible solution). Rekomendasi yang diberikan oleh organ tersebut tidak bersifat
mengikat (the recommendation of the commission is not binding).
Contoh dari konsiliasi adalah pada sengketa antara Thailand dan Perancis, kedua
belah pihak sepakat untuk membentuk Komisi Konsiliasi.Dalam kasus ini Thailand
selalu menuntut sebagian dari wilayah Laos dan Kamboja yang terletak di bagian
Timur tapal batasnya. Karena waktu itu Laos dan Kamboja adalah protektorat
Perancis maka sengketa ini menyangkut antara Thailand dan Perancis.

2.3.1    Penyelesaian Sengketa Internasional Dengan Cara Hukum


a. Arbitrase
Arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa melalui keputusan yang
mengikat yang didasarkan atas hukum dan sebagai hasil dari penerimaan secara
sukarela (a procedure for the settlement of disputes between states by a binding
award on the basis of law and as a result of an undertaking voluntarily accepted).
b. Mahkamah Internasional (International Court of Justice)
Mahkamah Internasional (ICJ) sebagai badan peradilan dunia yang berkedudukan
di Den Haag dewasa ini memainkan peranan yang sangat penting di dalam
mencegah pertikaian antarnegara. Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan
kelanjutan dari Mahkamah Tetap Peradilan Internasional (PCIJ) yang dibentuk
berdasarkan Pasal XIV Covenant LBB. Pembentukan Mahkamah yang baru ini
(ICJ) sama sekali bukanlah berarti bahwa Mahkamah yang lama (PCIJ) gagal
dalam menjalankan tugasnya. Terbukti dari tahun 1922 sampai dengan tahun
1940, Mahkamah Tetap (PCIJ) telah memutuskan 31 perkara dan menyampaikan
27 pendapat tidak mengikat (advisory opinion).
Mahkamah Internasional (ICJ) merupakan bagian integral dari PBB. Menurut
Pasal 92 Piagam PBB: “Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama
PBB”. Karena Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB,
maka secara otomatis semua anggota PBB merupakan anggota Statuta Mahkamah
Internasional. Hal ini berbeda dengan LBB: Pakta (Covenant) LBB dan Statuta
Mahkamah Tetap (PCIJ) merupakan dua naskah yang terpisah sama sekali.
Penyelesaian sengketa yang Diambil antara Malaysia dan Indonesia adalah
dengan jalan mengambil metode kedua dalam hal metode hUkum dengan cara
mengajukan persoalan sengketa kepada Mahkamah Internasional.
Bagi sebagian pihak, bersengketa melalui jalur hukum seringkali menimbulkan
kesulitan, baik dalam urusan birokrasi maupun besarnya biaya yang dikeluarkan.
Namun yang menjadi keuntungan penyelesaian sengketa jalur hukum adalah
kekuatan hukum yang mengikat antara masing-masing pihak yang bersengketa.
Selain arbitrase, lembaga lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan sengketa
internasional melalui jalur hukum adalah pengadilan internasional. Pada saat ini
ada beberapa pengadilan internasional dan pengadilan internasional regional yang
hadir untuk menyelesaikan berbagai macam sengketa internasional.
Misalnya International Court of Justice (ICJ), International Criminal
Court, International Tribunal on the Law of the Sea, European Court for Human
Rights, dan lainnya.
Penyelesaian sengketa internasional melalui jalur hukum berarti adanya
pengurangan kedaulatan terhadap pihak-pihak yang bersengketa. Karena tidak ada
lagi keleluasaan yang dimiliki oleh para pihak, misalnya seperti memilih hakim,
memilih hukum dan hukum acara yang digunakan. Tetapi dengan bersengketa di
pengadilan internasional, maka para pihak akan mendapatkan putusan yang
mengikat masing-masing pihak yang bersengketa.

2.4       Cara atau Sikap yang Harus Dilakukan Indonesia Jika

         Mengatasi Kasus yang Sama

Dalam mengantisipasi negosiasi pada tahap berikutnya,maka perlu terus dilakukan


pengkajian mendalam untuk memperkuat posisi tawar menawar kita. Landasan hukum yang
kuat akan menjadi modal dasarnya, namun harus didukung dengan kepiawaian dalam seni
bernegosiasi untuk menyakinkan pihak lawan. Apabila atas dasar hasil kajian yang mendalam
dan komprehensif, posisi Indonesia secara yuridis sangat kuat, maka penyelesaian secara
hukum harus tetap dibuka kemungkinannya. Dengan alasan apapun, opsi perangsebaiknya
tidak digunakan
Untuk mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani
secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan dengan
negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di Mahkamah
Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan uang yang sedikit
terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap integritas wilayah Indonesia. Hal
ini penting, karena sengketa pulau yang dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi
banyak pulau lainnya. Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap
pertanggungjawaban pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Miskin ahli hukum internasional, Hilangnya Pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah
Internasional, menjadi pelajaran yang sangat berharga sekali, harus diakui bahwa pemerintah
memang tidak menggunakan bantuan dari pengacara atau pakar hukum internasional dari
Indonesia, kecuali ahli-ahli dari Deplu sendiri. Dari sekian ribu pengacara yang ada di
Indonesia, menurut Havas, belum ada satupun yang memiliki keterampilan yang memadai
untuk berlaga di Mahkamah Internasional. Salah satunya adalah memperkuat dan
memperbanyak ahli hukum yang menguasai pengetahuan tentang hukum internasional.
Menurut Director of Treaties on Political, Security and Teritorial Affairs Deplu, Arif Havas
Oegroseno, Indonesia minim sekali orang yang ahli di bidang hukum
internasional. Namun,  tidak seharusnya ketiadaan para pakar hukum internasional membuat
kita menjadi tidak percaya diri.
Jangan menggunakan pengacara asing karena, Selain itu, ia juga berpendapat bahwa
pengacara dalam negeri memiliki sense of belonging yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan pengacara asing. Sedangkan, pengacara-pengacara asing relatif melihat kasus tersebut
dari sisi bisnisnya semata
BAB III PENUTUP

 3.1       Kesimpulan

Penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh Indonesia dan Malaysia dalam menentukan
kedaulatan di Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan suatu cara penyelesaian sengketa secara
damai,dimana Indonesia dan Malaysia memilih Mahkamah Internasional untuk
menyelesaikan sengketa ini, dasar hukum di dalam penyelesaian sengketa ini adalah pasal 2
ayat 3 dan pasal 33 Piagam PBB.
Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan disebabkan karena adanya ketidakjelasan garis
perbatasan yang dibuat oleh Belanda dan Inggris yang merupakan negara pendahulu dari
Indonesia dan Malaysia di perairan timur Pulau Borneo, sehingga pada saat Indonesia dan
Malaysia berunding untuk menentukan garis perbatasan kedua negara di Pulau Borneo,
masalah ini muncul karena kedua pihak saling mengklaim kedaulatan atas Pulau Sipadan dan
Ligitan.
Berbagai pertemuan bilateral dilakukan oleh kedua negara dalam upaya melakukan
pemecahan atas sengketa ini namun sengketa ini tidak dapat diselesaikan, sehingga kedua
negara sepakat untuk menyerahkan penyelesaian sengketa ini kepada Mahkamah
Internasional. Berbagai macam argumentasi dan bukti yuridis dikemukakan kedua pihak
dalam persidangan di Mahkamah Internasional, dan pada akhirnya Mahkamah Internasional
memutuskan bahwa kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan milik Malaysia
atas dasar prinsip okupasi, dimana Malaysia dan Inggris sebagai negara pendahulu lebih
banyak melaksanakan efektifitas di Pulau Sipadan dan Ligitan.

 DAFTAR PUSTAKA

1)      Adolf Huala, 2006 , Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika Jakarta.
2)      Buana Satria Mirza, 2007 , Hukum Internasional Teori dan Praktek, FH unlam press:
Banjarmasin
3)      Harun,Djaenuddin,dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Pusat Perbukuan
Departemen Pendidikan Nasional.
4)      Iskandar Encang,2004. Pendidikan kewarganegaraan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
5)      Moh Burhan Tsani,1990, Hukum dan Hubungan Internasional.Liberty:Yogyakarta
6)      Rifdan,dkk. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Makassar: Ikatan dosen pendidikan
Kewarganegaraan.
7)      Sumaryo Suryokusumo, 1997, Studi Kasus Hukum Organisasi Internasional,
Alumni:Bandung
8) http://putri-ayuniah.blogspot.co.id/2013/05/tugas-softskill-penelitian-ilmiah_9496.html

Anda mungkin juga menyukai