Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

Infeksi intra-uterin atau korioamnionitis atau infeksi intraa-mniotik adalah

inflamasi akut pada membran dan korion plasenta, biasanya karena infeksi bakteri

polimikroba yang menjalar naik dalam keadaan membran yang sudah ruptur.

Korioamnionitis dapat terjadi pada keadaan membran yang utuh, dan ini tampaknya

sangat umum untuk sebagian kecil mycoplasma genital seperti spesies. Penyebaran

hematogen jarang terlibat dalam terjadinya korioamnionitis, seperti yang terjadi

dengan Listeria monocytogenes. Ketika tanda-tanda klinis yang khas hadir, kondisi

ini disebut sebagai korioamnionitis klinis atau infeksi intraamniotik klinis. Meskipun

ada tumpang tindih yang signifikan antara klinis dan histologis korioamnionitis, yang

terakhir adalah diagnosis yang lebih umum berdasarkan temuan patologis pada

pemeriksaan mikroskopis plasenta (Triananda M H, 2020).


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Infeksi intra uterin atau korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan
ketuban, janin, dan selaput koriamnion yang disebabkan oleh bakteri (Silvia P &
Hayudha R, 2018).

2.2. ETIOLOGI

Pada wanita yang menjalani persalinan prematur spontan dengan ketuban utuh,
bakteri yang paling sering menyebabkan korioamnionitis adalah Ureaplasma
urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, peptostreptokokus, dan
spesies bakterioides, dan merupakan organisme vagina yang virulensinya relative
rendah. Selain itu, bakteri yang menyebaban korioamnionitis dan infeksi janin setelah
ketuban pecah adalah Neiserria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis sedangkan
Streptokokus group B dan Escherechia coli hanya ditemukan kadang-kadang (Esam
K, 2015).

2.3. EPIDEMIOLOGI

Korioamnionitis terjadi pada sekitar 4% persalinan aterm tetapi terjadi lebih


sering pada persalinan prematur dan ketuban pecah dini. Dalam mengevaluasi wanita
dengan gejala korioamnionitis, penelitian menunjukkan korelasi yang kuat antara
korioamnionitis histologis dan gejala klinis utama demam, nyeri tekan rahim,
sindrom aspirasi mekonium, dan keputihan yang berbau busuk. Korioamnionitis
histologis dengan vaskulitis dikaitkan dengan insiden yang lebih tinggi dari ketuban
pecah dini dan kelahiran prematur (Fowler J R & Simon L V, 2020).
Pada persalinan antara usia kehamilan 21 dan 24 minggu, korioamnionitis dapat
ditemukan di lebih dari 94% plasenta pada evaluasi. Persalinan cukup bulan dari ibu
dengan korioamnionitis dikaitkan dengan kegagalan untuk berkembang.
Korioamnionitis pada persalinan prematur kemungkinan besar akan berakhir pada
persalinan prematur. Studi menunjukkan bahwa peradangan pada plasenta atau
korioamnionitis dapat ditemukan pada sekitar 8% sampai 50% dari kelahiran
prematur. Pada kehamilan aterm, korioamnionitis kemungkinan besar terkait dengan
persalinan dan riwayat pecah ketuban yang berkepanjangan (Fowler J R & Simon L
V, 2020).

2.4. PATOFISIOLOGI

Korioamnionitis terjadi akibat infeksi asenden mikroorganisme dari serviks dan


vagina setelah terjadinya ketuban pecah dan persalinan. Selain itu dapat pula akibat
infeksi transplasental yang merupakan penyebaran hematogen dan bakteremia
maternal dan induksi bakteri pada cairan amnion akibat iatrogenik pada pemeriksaan
amniosintesis, pasca transfusi intrauterin dan kordosintesis.
Faktor risiko terjadinya korioamnionitis adalah waktu antara ketuban pecah dan
persalinan, penggunaan monitor fetal internal, jumlah pemeriksaan dalam selama
persalinan, nulipara, dan adanya bakterial vaginosis. Korioamnionitis terjadi paling
sering saat persalinan sesudah pecahnya selaput ketuban. Walaupun sangat jarang,
korioamnionitis dapat juga terjadi pada keadaan dimana selaput ketuban masih intak.
Sebanyak 3% dari neonatus yang lahir dari ibu dengan korioamnionitis dengan
pecahnya selaput ketuban < 24 jam sebelum persalinan, akan menderita bakteremia.
Bila pecahnya selaput ketuban terjadi >24 jam maka sebanyak 17% neonatus akan
mengalami bacteremia. Pada keadaan selaput ketuban yang masih intak,
korioamnionitis sangat jarang terjadi. Hal ini mungkin disebabkan oleh infeksi
Listeria monosytogenes, yang merupakan batang gram positif anaerob, yang
menginfeksi janin secara hematogen (infeksi transplasental) dan dapat menyebabkan
kematian janin.
Gejala pada ibu dapat asimtomatis atau hanya berupa demam ringan dan jarang
menyebabkan sepsis pada ibu. Streptokokus grup A juga dapat menyebakan infeksi
janin dan rongga amnion pada selaput ketuban yang masih intak. Organisme
penyebab infeksi menyebar pertama kali ke dalam ruang koriodesidua, dan pada
beberapa kasus dapat melintas melalui membran korioamnion yang masih utuh dan
masuk ke dalam cairan amnion, sehingga menyebabkan infeksi pada janin. Setiap
kehamilan dengan korioamnionitis merupakan faktor risiko penyebab prematuritas
dan ketuban pecah dini (Irwinda R, 2007).

2.5. DIAGNOSA

Pada anamnesis dijumpai keluhan berupa demam, kedinginan, dan nyeri uterus
menjadi gejala paling khas. Hampir selalu ada riwayat pecahnya selaput ketuban,
gejala persalinan seperti keluar lender darah (Dewi H et al, 2015).
Pada pemeriksaan umum suhu dan nadi cenderung meningkat, uterus bisa nyeri
tekan dan tegang pada palpasi, takikardia janin persisten bisa menunjukkan infeksi
amnion atau respon janin terhadap demam ibu. Karena kematian intrauterine dapat
akibat infeksi, maka penghentian denyut jantung janin mendadak seharusnya
menyiagakan dokter akan kemungkinan korioamnionitis. Pada pemeriksaan pelvis
dengan pemeriksaan spekulum dapat memperlihatkan cairan amnion berbau busuk
atau purulent (Dewi H et al, 2015).
Tes Laboratorium berupa hitung sel darah lengkap dan apusan darah untuk
hitung leukosit yang mana cenderung meningkat, ada peningkatan jumlah sel-sel
imatur pada hitung jenis, C-reactive protein meningkat. Mikroskopis urin juga dapat
dilakukan (Dewi H et al, 2015).
Penegakan Diagnosis berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Amniosentesis dapat membantu, yang mana adanya bakteri
dan leukosit dalam cairan amnion membantu memastikan diagnosis infeksi
intrauterine. Pemeriksaan bakteriologi meliputi pewarnaan gram, biakan serviks
aerob, dan biakan darah dan cairan amnion aerob dan anaerob. Biakan juga harus
diambil dari plasenta pada saat kelahiran (Dewi H et al, 2015).

2.6. PENATALAKSANAAN

Terapi antibiotic bisa didasarkan pada pewarnaan gram atau pada data empiris.
Panduan terpilih yang tersering meliputi ampisilin atau klindamisin dengan
aminoglikosida. Kelahiran per vaginam biasanya lebih disenangi. Tanpa
kontraindikasi janin atau ibu, maka kelahiran dapat diinduksi atau dipercepat dengan
oksitosin. Seksio sesarea mungkin diperlukan pada kasus persalinan disfungsional,
malpresentasi atau gawat janin. Pada pembedahan, biakan aerob dan anaerob diambil
dari kavum uteri (Dewi H et al, 2015).

2.7. KOMPLIKASI

Dampak yang berbahaya adalah kehilangan fetus pada trimester dua kehamilan.
Komplikasi ini terjadi pada 1-2% kehamilan. Penyebab belum diketahui secara pasti
tetapi infeksi korioamnionitis merupakan penyebab yang lazim pada kehilangan
kehamilan fetus pada trimester dua. Penyebab kehilangan kehamilan pada trimester
dua berhubungan dengan faktor ibu dan maternal. Faktor dari fetus biasanya
abnormalitas kromosom dan kongenital. Faktor ibu biasanya berhubungan dengan
infeksi seperti vaginosis bakteri, infeksi intra amnion, masalah placenta, faktor
imunologik, trombophilia dan penyakit akut yang berat. Faktor infeksi terjadi 10-25%
pada kasus kehilangan kehamilan trimester dua (Esam K, 2015).
Korioamnionitis dapat meningkatkan risiko pada bayi yaitu kejadian injuri otak.
Risiko serebral palsi meningkat pada korioamnionitis, ketuban pecah dini dan infeksi
maternal. Mekanisme pemicu injury otak yang disebabkan inflamasi fetus walaupun
belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan disebabkan adanya gangguan
sirkulasi atau efek kesakitan langsung dari inflamasi terhadap perkembangan otak.
Studi klinik patologi menemukan thrombosis vena dan perdarahan robekan vena yang
terjadi pada bayi dengan berat badan sangat rendah dengan perdarahan intra
ventrikuler (IVH) (Esam K, 2015).
Korioamnionitis tidak berhubungan dengan gangguan perkembangan neurologis
secara umum. Faktor risiko dampak neurologis yang merugikan pada bayi prematur
<32 minggu gestasi tidak signifikan pada kejadian korioamnionitis, preeklampsia dan
kelompok kontrol. Dampak neurologis yang merugikan secara signifikan
berhubungan dengan ventilasi mekanik, dan pertumbuhan pasca kelahiran yang jelek,
Korioamnionitis dan preeklampsia memiliki dampak minor terhadap perkembangan
neurologis pada bayi premature (Esam K, 2015).
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, H., Kurniati I., A., & Ratnaningrum K. (2015). Buku Ajar Ilmu Obstetri dan
Ginekologi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.
Esam, K. (2015). Korioamnionitis.
Fowler, J., R., & Simon, L., V. (2020). Chorioamnionitis. National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine.
Irwinda, R. (2007). Konferensi Ilmiah Tatalaksana Infeksi Intrauterin
(Korioamnionitis). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Silvia, P., & Hayudha, R. (2018) . Clinical Science Session korioamionitis.
Triananda, M., H. (2020). Korioamnionitis

Anda mungkin juga menyukai