PENDAHULUAN
inflamasi akut pada membran dan korion plasenta, biasanya karena infeksi bakteri
polimikroba yang menjalar naik dalam keadaan membran yang sudah ruptur.
Korioamnionitis dapat terjadi pada keadaan membran yang utuh, dan ini tampaknya
sangat umum untuk sebagian kecil mycoplasma genital seperti spesies. Penyebaran
dengan Listeria monocytogenes. Ketika tanda-tanda klinis yang khas hadir, kondisi
ini disebut sebagai korioamnionitis klinis atau infeksi intraamniotik klinis. Meskipun
ada tumpang tindih yang signifikan antara klinis dan histologis korioamnionitis, yang
terakhir adalah diagnosis yang lebih umum berdasarkan temuan patologis pada
2.1. DEFINISI
Infeksi intra uterin atau korioamnionitis merupakan infeksi akut pada cairan
ketuban, janin, dan selaput koriamnion yang disebabkan oleh bakteri (Silvia P &
Hayudha R, 2018).
2.2. ETIOLOGI
Pada wanita yang menjalani persalinan prematur spontan dengan ketuban utuh,
bakteri yang paling sering menyebabkan korioamnionitis adalah Ureaplasma
urealyticum, Mycoplasma hominis, Gardnerella vaginalis, peptostreptokokus, dan
spesies bakterioides, dan merupakan organisme vagina yang virulensinya relative
rendah. Selain itu, bakteri yang menyebaban korioamnionitis dan infeksi janin setelah
ketuban pecah adalah Neiserria gonorrhea dan Chlamydia trachomatis sedangkan
Streptokokus group B dan Escherechia coli hanya ditemukan kadang-kadang (Esam
K, 2015).
2.3. EPIDEMIOLOGI
2.4. PATOFISIOLOGI
2.5. DIAGNOSA
Pada anamnesis dijumpai keluhan berupa demam, kedinginan, dan nyeri uterus
menjadi gejala paling khas. Hampir selalu ada riwayat pecahnya selaput ketuban,
gejala persalinan seperti keluar lender darah (Dewi H et al, 2015).
Pada pemeriksaan umum suhu dan nadi cenderung meningkat, uterus bisa nyeri
tekan dan tegang pada palpasi, takikardia janin persisten bisa menunjukkan infeksi
amnion atau respon janin terhadap demam ibu. Karena kematian intrauterine dapat
akibat infeksi, maka penghentian denyut jantung janin mendadak seharusnya
menyiagakan dokter akan kemungkinan korioamnionitis. Pada pemeriksaan pelvis
dengan pemeriksaan spekulum dapat memperlihatkan cairan amnion berbau busuk
atau purulent (Dewi H et al, 2015).
Tes Laboratorium berupa hitung sel darah lengkap dan apusan darah untuk
hitung leukosit yang mana cenderung meningkat, ada peningkatan jumlah sel-sel
imatur pada hitung jenis, C-reactive protein meningkat. Mikroskopis urin juga dapat
dilakukan (Dewi H et al, 2015).
Penegakan Diagnosis berdasarkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Amniosentesis dapat membantu, yang mana adanya bakteri
dan leukosit dalam cairan amnion membantu memastikan diagnosis infeksi
intrauterine. Pemeriksaan bakteriologi meliputi pewarnaan gram, biakan serviks
aerob, dan biakan darah dan cairan amnion aerob dan anaerob. Biakan juga harus
diambil dari plasenta pada saat kelahiran (Dewi H et al, 2015).
2.6. PENATALAKSANAAN
Terapi antibiotic bisa didasarkan pada pewarnaan gram atau pada data empiris.
Panduan terpilih yang tersering meliputi ampisilin atau klindamisin dengan
aminoglikosida. Kelahiran per vaginam biasanya lebih disenangi. Tanpa
kontraindikasi janin atau ibu, maka kelahiran dapat diinduksi atau dipercepat dengan
oksitosin. Seksio sesarea mungkin diperlukan pada kasus persalinan disfungsional,
malpresentasi atau gawat janin. Pada pembedahan, biakan aerob dan anaerob diambil
dari kavum uteri (Dewi H et al, 2015).
2.7. KOMPLIKASI
Dampak yang berbahaya adalah kehilangan fetus pada trimester dua kehamilan.
Komplikasi ini terjadi pada 1-2% kehamilan. Penyebab belum diketahui secara pasti
tetapi infeksi korioamnionitis merupakan penyebab yang lazim pada kehilangan
kehamilan fetus pada trimester dua. Penyebab kehilangan kehamilan pada trimester
dua berhubungan dengan faktor ibu dan maternal. Faktor dari fetus biasanya
abnormalitas kromosom dan kongenital. Faktor ibu biasanya berhubungan dengan
infeksi seperti vaginosis bakteri, infeksi intra amnion, masalah placenta, faktor
imunologik, trombophilia dan penyakit akut yang berat. Faktor infeksi terjadi 10-25%
pada kasus kehilangan kehamilan trimester dua (Esam K, 2015).
Korioamnionitis dapat meningkatkan risiko pada bayi yaitu kejadian injuri otak.
Risiko serebral palsi meningkat pada korioamnionitis, ketuban pecah dini dan infeksi
maternal. Mekanisme pemicu injury otak yang disebabkan inflamasi fetus walaupun
belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan disebabkan adanya gangguan
sirkulasi atau efek kesakitan langsung dari inflamasi terhadap perkembangan otak.
Studi klinik patologi menemukan thrombosis vena dan perdarahan robekan vena yang
terjadi pada bayi dengan berat badan sangat rendah dengan perdarahan intra
ventrikuler (IVH) (Esam K, 2015).
Korioamnionitis tidak berhubungan dengan gangguan perkembangan neurologis
secara umum. Faktor risiko dampak neurologis yang merugikan pada bayi prematur
<32 minggu gestasi tidak signifikan pada kejadian korioamnionitis, preeklampsia dan
kelompok kontrol. Dampak neurologis yang merugikan secara signifikan
berhubungan dengan ventilasi mekanik, dan pertumbuhan pasca kelahiran yang jelek,
Korioamnionitis dan preeklampsia memiliki dampak minor terhadap perkembangan
neurologis pada bayi premature (Esam K, 2015).
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, H., Kurniati I., A., & Ratnaningrum K. (2015). Buku Ajar Ilmu Obstetri dan
Ginekologi. Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Semarang.
Esam, K. (2015). Korioamnionitis.
Fowler, J., R., & Simon, L., V. (2020). Chorioamnionitis. National Center for
Biotechnology Information, U.S. National Library of Medicine.
Irwinda, R. (2007). Konferensi Ilmiah Tatalaksana Infeksi Intrauterin
(Korioamnionitis). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Silvia, P., & Hayudha, R. (2018) . Clinical Science Session korioamionitis.
Triananda, M., H. (2020). Korioamnionitis