Anda di halaman 1dari 5

Pandemi Covid-19 yang sedang terjadi saat ini tidak bisa dianggap sepele.

Penyebaran
virus ini telah menyebar hinga ke negara-negara di seluruh dunia. Virus yang berasal dari
Negara china ini sudah menelan banyak korban jiwa. Termasuk di Indonesia yang kian hari
kian bertambah. Presiden Jokowi yang sudah menetapkan bahwa wabah viruscorona ini
sebagai bencana nasionan non-alam, dan sudah turun tangan untuk penanganan virus corona,
dimulai dari Social Distancing hingga PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) disetiap
daerah-daerah yang sudah memiliki kasus penyebaran viruscorona. Ancaman Covid-19 ini
tidak hanya kepada kalangan pejabat, tetapi juga pada penduduk-penduduk usia produktif di
Indonesia.

Ketika PSBB berlaku banyak tenaga kerja di Indonesia terpaksa harus dirumahkan,
karena mengingat penyebaran virus ini sangat cepat, dan seluruh perusahaan ikut merasakan
dampaknya. Penerapan physical/social distancing yang lebih keras adalah melalui karantina
wilayah alias lockdown, seperti yang diterapkan di India atau Filipina. Masyarakat benar-
benar tidak boleh keluar rumah kecuali untuk urusan yang sangat mendesak. Transportasi
publik juga tidak beroperasi. Berbagai kebijakan tersebut bertujuan untuk mempersempit
ruang gerak penyebaran virus corona dan menyelamatkan jutaan nyawa.

Aktivitas manusia yang sangat terbatas membuat laju perekonomian berjalan sangat
lambat. Pabrik dan kantor banyak yang tidak beroperasi, walau beroperasi tidak dalam
kapasitas penuh. Hotel dan restoran sepi. Tempat wisata dan pusat perbelanjaan minim
pengunjung, atau bahkan ada yang ditutup. Dunia usaha kelimpungan. Pemasukan anjlok
seanjlok-anjloknya, sementara pengeluaran jalan terus untuk membayar tagihan listrik, air,
membayar utang, dan sebagainya. Penerapan PSBB membuat tenaga kerja di Indonesia
hampir kehilangan pekerjaannya. Karena pada situasi seperti ini usaha di berbagai sektor
ekonomi akan menghadapi kerugian besar, yang akan mengancam operasi dan kesehatan para
pekerja terutama pada perusahaan-perusahaan kecil, banyak perusahaan yang pada akhirnya
memutuskan hubungan kerja dengan para karyawannya dikarenakan pendemi viruscorona
yang semakin meningkat kian kemari. Bahkan perusahaan hingga mengeluarkan keputusan
ekstrim yakni pemutusan hubungan kerja (PHK), dirumahkan, bekerja sebagian, dikurangi
gajinya, dan semacamnya.

Gangguan ekonomi yang besar dan masif ini yang diakibatkan Covid-19 telah
mempengaruhi tenaga kerja dunia sebesar 3,3 miliar. Dan terjadilah penurunan dramatis dari
kegiatan ekonomi dalam lapangan pekerjaan, baik dalam hal pekerjaan, jumlah pekerja, jam
kerja, dan gaji pokok pekerja di banyak negara menyebabkan penurunan tajam dalam aliran
pendapatan untuk banyak sektor usaha. Dengan adanya PSBB sebagian atau total yang
membatasi operasi usaha dan pergerakan sebagian besar pekerja, dan bagi yang harus diam di
rumah saja tidak memungkinkan untuk bekerja sehingga terjadi perubahan pada metode kerja
mereka.

Perkiraan global dari model nowcasting International Labour Organisation  (ILO)


saat ini menunjukkan bahwa krisis telah menyebabkan pengurangan aktivitas ekonomi dan
waktu kerja yang belum pernah terjadi sebelumnya, pada 1 April 2020 perkiraan menunjukan
bahwa jam kerja akan menurun sekitar 6,7 persen yang setara dengan 195 juta pekerja penuh
waktu dengan asusmsi seminggu kerja 48 jam. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa para pekerja
akan kehilangan pendapatan dan mengalami kemiskinan yang lebih dalam.

Di Indonesia, menurut data dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional


(Bappenas) memperkirakan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada 2020 mencapai 8,1%
hingga 9,2% dan angka pengangguran diperkirakan naik 4 hingga 5,5 juta orang. Lebih
lanjut, pada 2021, TPT diperkirakan mencapai kisaran 7,7% hingga 9,1%. Jumlah
pengangguran juga diprediksi meningkat antara 10,7 juta sampai 12,7 juta orang. Angka
tersebut naik dibandingkan jumlah pengangguran pada Februari tahun ini. Badan Pusat
Statistik (BPS) mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2020 sebesar
4,99 persen dengan jumlah pengangguran sebanyak 6,88 juta orang. BPS khawatir pada 2021
pengangguran akan mencapai 10,7-12,7 juta orang. Menurut Hitungan dari BPS,
memperkirakan akan ada 2,3-2,8 juta penciptaan lapangan kerja di 2021 yang berhadapan
dengan penganggur yang akan bertambah 4,2 juta pada tahun 2020 dibanding 2019.

BPS mencatat TPT dan jumlah pengangguran setiap bulan Februari dan Agustus
setiap tahunnya. Tingkat pengangguran Terbuka atau TPT merupakan persentase jumlah
pengangguran terhadap jumlah Angkatan kerja. Pada Februari 2010, TPT tercatat sebesar
7,41 persen. Angka tersebut memperlihatkan kecenderungan menurun hingga mencapai 4,99
pada Februari 2020 lalu. TPT tertinggi terdapat pada Agustus 2011 dengan 7,48 persen.

Jika diperhatikan, angka TPT mempunyai kecenderungan untuk meningkat pada


Agustus dan kembali turun pada Februari. Hal tersebut dipengaruhi periode tahun ajaran
sekolah yang berakhir pada semester ganjil sehingga banyak lulusan sekolah yang tengah
mencari kerja juga turut tercatat. Angka pengangguran juga senada dengan tren TPT setiap
periodenya. Jumlah pengangguran pada Februari 2010 tercatat sebanyak 8,59 juta orang.
Angka tersebut cenderung menurun hingga mencapai 6,88 juta orang pada Februari 2020.

Melihat perubahan angka pengangguran pada periode Agustus setiap tahunnya (Y-o-
Y), angka pengangguran mengalami perubahan yang fluktuatif. Kenaikan tertinggi terjadi
pada Agustus 2011, sebanyak 361.613 orang. Sedangkan penurunan terbesar terjadi pada
Agustus 2012, turun 1,34 juta orang jika dibandingkan periode sebelumnya. Jika prediksi
Bappenas mengenai angka pengangguran pada 2021 terjadi, maka angka tersebut menjadi
angka pengangguran terbesar dalam 10 tahun terakhir. Selain itu, hal tersebut juga
mencatatkan angka perubahan tertinggi dalam 10 tahun terakhir dengan adanya kenaikan
antara 3,82 juta hingga 5,82 juta orang dibandingkan angka pada Februari 2020.

Sedangkan menurut data Kementerian Tenaga Kerja pertanggal 27 Mei 202, pekerja

formal dan informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 1.722.958. Dengan perincian,

1.034.618 pekerja sektor formal yang dirumahkan dan 377.386 terkena PHK. Sedangkan

pekerja informal sebanyak 316.501. Dampak Covid-19 tidak hanya pada sektor pekerja

formal dan informal, tetapi juga pada pekerja migran. Data Kemenaker menggambarkan,

34.179 calon pekerja migran tidak bisa berangkat dan  465 pekerja magang di Jepang

dipulangkan. Selain itu, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI)

memprediksi  34.300 pekerja migran pulang pada Mei hingga Juni 2020. Data tersebut

merupakan data yang sudah clear, dari nama dan dari alamat serta dilengkapi NIK KTP.
Selain itu, masih ada 1,2 juta pekerja yang diproses tahap verifikasi dan validasi sehingga

totalnya sekitar 3 juta pekerja yang terdampak

Hasil survei daring Trade Union Rights Centre (TURC) pada 1-15 Mei 2020 dengan

665 responden pekerja formal menggambarkan kondisi pekerja terdampak lebih mikro.

Terdapat 9 persen pekerja tetap masuk kerja dengan upah tak penuh dan 38 persen dengan

upah penuh. Terdapat 21  persen pekerja dirumahkan dengan upah tidak penuh dan dua

persen mendapat upah penuh. Pekerja yang mengalami PHK, tujuh persen tak mendapat

pesangon dan hanya satu persen pekerja terkena PHK memperoleh pesangon.

Pekerja yang bekerja dari rumah, 6 persen diupah tak penuh dan 16 persen dapat upah

penuh. Data menunjukkan, pekerja mengalami tiga persoalan, yaitu berkurangnya


pendapatan, hilangnya pekerjaan, dan kesehatan yang tak pasti karena perusahaan

menuntutnya tetap kerja. Temuan lainnya menggambarkan kondisi pekerja terdampak. Di

antaranya, PHK tanpa pesangon, PHK dengan pesangon, dirumahkan tanpa upah penuh, tetap

masuk kerja tanpa upah penuh, bekerja dari rumah dengan upah tak penuh.

Kategorisasi pekerja dengan status itu terkonsentrasi pada dua kelompok, yakni kelas

menengah dan menuju kelas menengah. Pada kelompok kelas menengah dengan rata-rata

pengeluaran Rp 1,2 juta-Rp 6 juta terdapat 75 persen pekerja terdampak. Pada

kelompok aspiring middle class dengan rata-rata pengeluaran Rp 500 ribu-Rp 1,2 juta

terdapat 11 persen pekerja terdampak. Sisanya tersebar di kelompok pekerja rentan dengan

pengeluaran antara Rp 355 ribu-Rp 532 ribu. Selain itu, ada kelompok pekerja miskin dengan

rata-rata pengeluaran kurang dari Rp 345 ribu. Data ini mengonfirmasi temuan laporan Bank

Dunia awal 2020 bahwa empat kelompok tersebut rentan turun kelas, bahkan menjadi

pengangguran baru bila ada guncangan ekonomi.

https://www.cnbcindonesia.com/news/20200403073213-4-149505/sedih-phk-dan-
pengangguran-di-mana-mana-gegara-corona

https://www.feb.ui.ac.id/blog/2020/06/11/riani-rachmawati-pandemi-ketenagakerjaan-
dan-social-partnership/

https://www.republika.id/posts/6834/covid-19-dan-nasib-pekerja

https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/bagaimana-pandemi-covid-19-
memengaruhi-angka-pengangguran-ri-fK3e

dari jurnal Dampak COVID-19 terhadapTenaga Kerja di Indonesia Syeikha Nabilla Setiawan,
Nunung Nurwati, M.Si.2
Selain sektor kesehatan, pandemi Covid 19 berdampak terhadap sektor
ekonomi khususnya keberlangsungan pekerjaan dan pendapatan. Dampak pandemi Covid 19
terhadap dunia ketenagakerjaan di Indonesia dilihat dari sisi pekerja, pengusaha dan usaha
mandiri. Dari sisi pekerja, terjadinya gelombang PHK tenaga kerja dan penurunan
pendapatan sebagai akibat terganggunya kegiatan usaha pada sebagian besar sektor. Pandemi
ini memiliki dampak negatif terhadap keberlangsungan sektor industri. Berikut ini beberapa
sektor industri yang paling terhantam keras karena wabah Covid 19, dan rentan melakukan
kebijakan PHK massal atau merumahkan tenaga kerjanya.

Anda mungkin juga menyukai