Anda di halaman 1dari 9

Pendidikan Inklusif

Menurut Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan / atau bakat istimewa, Pasal 1 bahwa Pendidikan inklusif adalah
sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.
Inklusi merupakan suatu sistem yang menempatkan semua pemangku kepentingan di bidang pendidikan,
termasuk kepala sekolah, guru, pengurus yayasan, tenaga kependidikan, siswa, orang tua, masyarakat dan
pembina pendidikan, secara bersama-sama mengembangkan lingkungan pendidikan yang kondusif bagi
semua anak termasuk anak berkebutuhan khusus untuk dapat mengembangkan potensinya secara optimal.
Peran Kolaboratif Konselor
Kolaborasi adalah proses di mana dua individu atau kelompok bekerja bersama
untuk tujuan bersama, bermanfaat satu sama lain dengan mengupayakan hasil yang
diinginkan. Clark dan Bremen (2009) mendefinisikan kolaborasi sebagai bagunan
sistem interdependen untuk mencapai tujuan bersama yang tidak dapat dicapai jika dikerjakan sendiri.
American School Counselor Association (ASCA, 2005) menggarisbawahi peran kolaborasif dalam Model
Nasional, yang mengatakan bahwa “school counsellor build effective team by
encouraging genuine collaboration among all schools staff to work toward the common goal
of equity, access, and academic success of every student” yang bermakna bahwa konselor atau guru bimbingan
konseling di sekolah membangun tim yang efektif dengan mendorong kolaborasi yang asli antara semua staf
sekolah untuk bekerja meraih tujuan
bersama dari ekuaitas, akses, dan keberhasilan
akademik setiap siswa”. Allen (1994)
menjelaskan syarat mendasar untuk usaha
kolaboratif meliputi adanya kepercayaan, rasa
hormat, keterbukaan, proses mendengarkan
aktif, komunikasi yang jelas, dan kemampuan
pengambilan resiko. Syarat tersebut
merupakan bentuk kompetensi yang sesuai
dengan standar kompetensi yang dimiliki oleh
tiap konselor atau guru BK.
Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor tertuang dalam peraturan Mendiknas RI nomor 27 tahun 2008
tentang Standar Kualifikasi dan Kompetensi Konselor yang
menyatakan bahwa seorang konselor harus memiliki kompetensi, yakni kompetensi akademik dan profesional.
Kompetensi akademik mempunyai pengertian bahwa konselor atau guru BK jika di sekolah telah
menamatkan pendidikannya minimal S1
bidang bimbingan konseling sebagai syarat
kualifikasi konselor. Sedangkan kompetensi
professional mempunyai arti bahwa dalam
menjalankan tugas keprofesionalannya
seorang guru BK menguasai konsep keilmuan
yang penerapan di lapangan dapat
dipertanggungjawabkan secara kedinasan
maupun profesi. Purwanta (2005)
mengungkapkan sembilan aspek kinerja
profesional konselor, yaitu: (1) hubungan
antar pribadi; (2) etos kerja dan komitmen
profesional; (3) etika dan moral dalam
berperilaku; (4) dorongan dan upaya
pengembangan diri; (5) kemampuan
pemecahan masalah dan penyesuaian diri; (6)
upaya pemberian bantuan kepada siswa; (7)
manajemen bimbingan dan konseling di
sekolah; (8) instrumentasi bimbingan; dan (9)
penyelenggaraan layanan bimbingan. Dengan
demikian konselor atau guru bimbingan dan
konseling setidaknya memiliki kompetensi
akademik, profesionl, social, dan kepribadian.
Memulai dan mempertahankan upaya
kolaboratif adalah peran yang tepat dari
konselor sekolah dalam reformasi pendidikan
inklusif.

Pengembangan Teknik Pembelajaran dan


Layanan Psikologis di Sekolah Inklusif
Proses pembelajaran di sekolah inklusif telah dimodisfikasi sehingga tunjuannya adalah
menyediakan materi faktual sesuai kebutuhan siswa. Pemberian tugas bagi siswa berkebutuhan khusus
dilakukan dengan teknik small step. Teknik ini dilakukan dengan menulis materi pembelajaran di papan tulis
menggunakan kapur berwarna, kartu penolong, dan dengan memanfaatkan foto sebagai visualisasi kata. Hal
mendasar dalam teknik ini adalah pemberian materi yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan
penguasaan tugas siswa berkebutuhan khusus, materi disajikan sedikit demi sedikit dan dilakukan analisis
tugas, sehingga pemberian materi diibaratkan seperti menaiki anak tangga secara perlahan namun
tetap sampai pada tujuan.
Teknik lainnya adalah taking in taking out. Teknik taking in and out diperlukan untuk menyesuaikan
pembelajaran sesuai kebutuhan anak. Hal ini untuk menghindarkan siswa dari gejala depresi dan perasan tidak
berharga di kelas serta untuk menanamkan kemandirian dan dan percaya diri bagi siswa berkebutuhan khusus
agar dirinya merasa mampu. Teknik ini dikembangkan untuk mengetahui kompetensi dasar siswa, bagian
mana dari mata pelajaran yang sudah ataupun
belum dikuasai. Caranya dengan membiarkan siswa berkebutuhan khusus bergabung dengan
siswa reguler di ruang kelas, dan mengambil siswa tersebut pada jam-jam tertentu untuk menerima materi
khusus di ruang khusus.
Pemberian layanan psikologis bagi siswa berkebutuhan khusus dilakukan secara kolaboratif oleh psikolog
sekolah, wali kelas, dan konselor atau guru bimbingan konseling. Kolaborasi dilakukan dengan konselor, wali
kelas, maupun guru dengan system team teaching, untuk pengajaran dan penilaian. Konselor berkolaborasi
dengan melakukan diskusi dan konsultasi pada siswa dan orang tua, diskusi dengan stake holder sekolah, rapat/
konferensi kasus internal dengan sekolah, rekonsiliasi dan pelatihan siswa berkebutuhan khusus, identifikasi
dan asesmen bagi siswa tersebut. Setiap sekolah memiliki catatan jurnal yang dimiliki siswa berkebutuhan
khusus mulai dari jenjang dasar sampai tingkat dimana siswa tersebut berada.
Jurnal tersebut merupakan rekam jejak siswa yang berupa dokumen medis, hasil asesmen
ahli, penanganan, terapi yang pernah dijalani, serta tingkat penguasaan materi yang telah dimiliki. Jurnal
tersebut diisikan oleh dinas pendidikan setempat dan dapat diakses oleh konselor atau guru BK maupun pihak
yang terkait sebagai landasan penanganan siswa.

Salah satu karakteristik


terpenting dari sekolah inklusif adalah satu komunitas yang kohesif, menerima dan responsif
terhadap kebutuhan individual setiap murid. Menurut Purwanta (2005), ada beberapa
karakteristik pendidikan inklusi yang dapat dijadikan dasar layanan pendidikan bagi ABK
diantaranya:
1. Pendidikan inklusi berusaha menempatkan anak dalam keterbatasan lingkungan seminimal
mungkin. Sehingga mereka mampu berinteraksi dengan lingkungan dan
masyarakat sekitar.
2. Pendidikan inklusi memandang anak bukan pada kecacatannya, tetap melihat ABK sebagai
anak yang memiliki kebutuhan khusus untuk memperoleh perlakuan yang optimal sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki anak.
3. Pendidikan inklusi lebih mementingkan pembauran bersama anak lain seusianya dalam
sekolah reguler
4. Pendidikan inklusi menuntut pembelajaran secara individual meski pembelajarannya
dilaksanakan secara klasikal. Proses belajar lebih bersifat kebersamaan daripada persaingan.
Selain modifikasi dalam segi pembelajaran dan sarana prasarana sekolah, ABK juga memerlukan
layanan bimbingan konseling yang juga berorientasi pada kebutuhan masing-masing individu
ABK.
Menurut Sunardi (2005), secara umum tujuan bimbingan dan konseling pada hakekatnya harus
merujuk, bermuara, bernuansa, dan seirama dengan tujuan pendidikan nasional. Secara khusus
tujuan bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus harus merefleksikan kebutuhan
khususnya, membantu individu memperkembangkan diri secara optimal sesuai dengan tahap
perkembangan dan predisposisi yang dimilikinya (kemampuan, bakat, minat, permasalahan, dan
kebutuhannya), serta sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan tuntutan positif lingkungan.
Tujuan bimbingan bagi ABK secara umum
meliputi:
1. Membantu peserta didik agar dapat melewati setiap masa transisi perkembangan dengan baik.
2. Membantu peserta didik dalam mengatasi hambatan belajar dan hambatan perkembangan atau
permasalahan-permasalahan yang dihadapinya melalui pemenuhan kebutuhan khususnya.
3. Membantu menyiapkan perkembangan mental anak-anak untuk masuk ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
4. Membantu peserta didik dalam mencapai taraf kemandirian dan
kebahagiaan hidup.
Menurut Sunardi (2005), layanan bimbingan bagi ABK harus didasarkan pada prinsip-prinsip
tertentu. Prinsip tersebut secara garis berkenaan dengan 4 sasaran adalah:
1. Sasaran layanan bimbingan
a. Bimbingan ditujukan kepada semua individu yang berkelainan tanpa memandang umur, suku,
agama, dan status social ekonomi.
b. Bimbingan berurusan dengan pribadi berkelainan dan unik.
c. Bimbingan memperhatikan sepenuhnya tahap dan berbagai aspek perkembangan individu
yang berkelainan.
d. Bimbingan memberikan perhatian utama kepada perbedaan individu yang berkelainan yang
menjadi pokok layanannya.
2. Permasalahan Individu Permasalahan yang dihadapi oleh individu adalah kompleks, sedapat
mungkin dikecilkan artinya (dieliminir) oleh karenanya dalam pelayanan bimbingan perlu
melibatkan orang tua, sekolah, dan masyarakat.
3. Program Layanan Bimbingan
a. Layanan bimbingan merupakan bagian integral dari pendidikan dan pengembangan individu,
oleh karena itu program bimbingan harus disesuaikan dan dipadukan dengan program
pendidikan serta pengembangan siswa.
b. Program bimbingan harus fleksibel, disesuaikan dengan kebutuhan individu, masyarakat
dan kondisi lembaga.
c. Program bimbingan disusun dari jenjang pendidikan yang terendah sampai yang tertinggi.
d. Terhadap isi dan pelaksanaan program bimbingan perlu ada kegiatan penilaian yang teratur
dan terarah.
4. Pelaksanaan Layanan Bimbingan
a. Bimbingan harus diarahkan untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu
membimbing diri sendiri dalam menghadapi permasalahan.
b. Dalam proses bimbingan keputusan diambil oleh individu hendaknya atas kemauan individu
itu sendiri, bukan atas kemauan atau desakan pembimbing.
c. Kerjasama antar pembimbing, guru, orang tua, dan tim ahli sangat menentukan hasil
pelayanan bimbingan.
d. Pengembangan program pelayanan bimbingan ditempuh melalui pemanfaatan secara
maksimal hasil asesmen.
e. Hasil pelaksanaan bimbingan hendaknya ditindaklanjuti dengan kegiatan evaluasi dan
tindak lanjut.
Menurut Purwanta (2005), bimbingan konseling untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang
utama adalah menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mendorong adanya perubahan tingkah
laku yang spesifik. Mu‘arifah, Barida, &Supriyanto (2016), menyatakanbahwa faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus adalah kemampuan anak
Dalam memberikan layanan program bimbingan dan konseling bagi ABK, terdapat beberapa
pendekatan yang bisa diterapkan untuk membantu ABK. Suhaeri dan Purwanta (1996)
mengemukakan bahwa layanan bimbingan dan konseling ABK bisa dilakukan melalui
pendekatan individual dan pendekatan kelompok, disesuaikan dengan tujuan dan masalah yang
sedang dihadapi, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut.
1. Pendekatan individual dan kelompok;
Dalam pendekatan individual, konselor berfokus pada seorang klien saja. Pendekatan individual
ini dapat dilakukan jika: klien dalam keadaan krisis; ada permintaan untuk menjaga
keberhasilan klien; untuk menafsirkan hasil tes mengenai konsep diri; klien merasa takut untuk
bicara; hubungan interpersonal klien sangat tidak efektif; kesadaran klien
atas perasaan, motivasi, dan tingkah lakunya sangat terbatas; masalahnya berupa penyimpangan
tingkah laku seks; kebutuhan klien atas perhatian konselor sangat besar.
Berbeda dengan pendekatan individual, dalam pendekatan kelompok, konselor menghadapi
beberapa konseli sekaligus dalam waktu yang sama. Fokus konselor adalah para siswa, informasi
yang diberikan, dan cara memecahkan masalah yang berhubungan dengan tugas perkembangan
dan tugas sosial.
2. Pendekatan behavior
Menurut Suhaeri dan Purwanta (1996) mengemukakan bahwa kelompok pendekatan ini
biasa juga disebut terapi behavior dan modifikasi tingkah laku (behavior modification).
Krumboltz dalam Surya (2003) mengemukakan bahwa dalam pendekatan behavioral terdapat
empat metode yang dapat digunakan untuk bimbingan konseling ABK, yaitu:
a. Operant learning
Metode ini berfokus pada penguatan yang dapat menghasilka perilaku yang diharapkan. Serta
pemanfaatan situasi di luar siswa ABK yang dapat memperkuat perilaku yang dikehendaki.
Penguatan hendaknya sesuai kebutuhan siswa ABK.
b. Unitative learning atau social
modelling
Metode ini berfokus pada perlunya konselor merancang perilaku adaptif yang dapat dijadikan
model bagi siswa ABK, baik dalam bentuk rekaman, program
pengajaran, video, film, dan biografi. Model yang dipilih hendaknya subyek yang kompeten,
aktraktif (menarik), dan berpengaruh.
c. Cognitive learning
Metode ini menekankan pada pentingnya aspek perubahan kognitif siswa ABK. Dalam
pelaksanaannya dapat dilakukan melalui pengajaran secara verbal, kontrak Antara konselor
dengan siswa ABK, dan bermain peran.
d. Emotional learning128
Metode ini cocok diterapkan bagi individu yang mengalami kecemasan yang berlebihan.
3. Pendekatan reality
Pendekatan ini berfokus untuk membantu siswa ABK agar mempunyai emosi yang kuat dan
rasional. Menurut Suhaeri dan Purwanta (1996), konselor yang menggunakan pendekatan ini,
berperan untuk aktif berbicara mengenai tingkah laku siswa ABK, mengarahkan perhatian siswa
ABK tentang tingkah lakunya, mendorong memberikan penilaian atas tingkah lakunya,
mendorong menemukan alternative, dan membantu mengadakan perubahan tingkah laku siswa
ABK.
Menurut Awwad (2015), dalam pendidikan khusus, konselor telah mengetahui bahwa siswanya
mempunyai kekurangan, namun harus percaya bahwa siswa juga mempunyai potensi yang masih
dapat dikembangkan. Sehingga konselor diharapkan dapat menciptakan lingkungan ideal yang
memungkinkan siswa ABK berkembang dengan maksimal. Lingkungan ideal ialah lingkungan
yang penuh kehangatan, sikap menerima kenyataan dan memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan eksplorasi terhadap diri dan lingkungan.
Menurut Purwanta (2005), dalam membantu ABK di sekolah inklusi, konselor diharapkan untuk
lebih bersikap profesional. Definisi bersikap profesional ini adalah konselor harus mempunyai
kompetensi yang diperlukan untuk memberikan bantuan pada ABK. Konselor dituntut untuk
selalu meningkatkan kompetensi yang dimilikinya sebagai wujud
profesionalitas seorang konselor.
Menurut Furqon dalam Murad
(2003), kompetensi yang harus
dimiliki seorang konselor minimal
ada tiga sudut kajian, yaitu:
a. kompetensi pribadi (personal
competencies)
Kompetensi pribadi merujuk pada
kualitas pribadi konselor yang
berkenaan dengan kemampuan
untuk membangun hubungan baik
secara sehat, etos kerja, komitmen
profesional, landasan etik dan
moral dalam berperilaku,
dorongan dan semangat
untukmengembangkan diri, serta
kemampuan untuk melakukan
problem solving
b. kompetensi inti (core
competencies)
Kompetensi inti merupakan
kemampuan langsung untuk
mengelola dan menyelenggarakan
pelayanan bimbingan mulai
dengan penguasaan landasan
konsep dan teori bimbingan dan
konseling, menyelenggarakan
berbagai macam layanan
bimbingan dalam berbagai setting
dan kemampuan manajerial.
c. kompetensi pendukung
(supporting competencies)
Kompetensi pendukung
merupakan kemampuan tambahan
yang diharapkan dapat
memperkuat atau memperkokoh
daya adaptasi konselor.
Berdasarkan tiga kompetensi
tersebut, minimal dapat
dikembangkan dalam 9 aspek kinerja
profesional konselor, yaitu:
a. hubungan antar pribadi;
b. etos kerja dan komitmen
profesional;
c. etika dan moral dalam
berperilaku;
d. dorongan dan upaya
pengembangan diri;
e. kemampuan pemecahan masalah
dan penyesuaian diri;
f. upaya pemberian bantuan kepada
siswa;
g. manajemen bimbingan dan
konseling di sekolah;
h. instrumentasi bimbingan; dan
i. penyelenggaraan layanan
bimbingan.
Sejalan dengan pendapat
Hermanto (2010), dalam
mendampingi siswa ABK, konselor
di sekolah inklusi diharapkan
memiliki beberapa kompetensi yaitu:
a. Kompetensi melaksanakan
penerimaan siswa baru yang
mengakomodasi semua anak,
b. Kompetensi melaksanakan
kurikulum yang fleksibel dan
akomodatif,
c. Kompetensi merancang bahan
ajar, KBM dan menata kelas yang
ramah anak,
d. Kompetensi pengadaan
pemanfaatan media adaptif, dan
melaksanakan evaluasi
pembelajaran dalam setting
pendidikan inklusi.

Pengertian pendidikan inklusif memberi gambaran layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak
berkebutuhan khusus (ABK) belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah reguler yang
terdekat dengan tempat tinggalnya. Penyelenggaraan pendidikan inklusif menyemangati pemberikan
kesempatan atau akses yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk memperoleh pendidikan yang
bermutu dan sesuai dengan kebutuhan individu peserta didik tanpa diskriminasi.
Beberapa alasan mengapa pendidikan inklusi harus diimplementasikan antara lain :semua anak
mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan bermutu dan tidak diskriminatif, semua
anak memiliki kemampuan untuk mengikuti pelajaran tanpa melihat kelainan dan kecacatannya,
perbedaan merupakan penguat dalam meningkatkan mutu pembelajaran bagi semua anak, sekolah
dan guru mempunyai kemampuan untuk belajar merespons kebutuhan pembelajaran yang berbeda.
Sisi positif implementasi pendidikan inklusif antara lain: membangun kesadaran dan konsensus
pentingnya pendidikan inklusif sekaligus menghilangkan nilai dan sikap diskriminatif, melibatkan
dan memberdayakan masyarakat untuk memberlakukan analisis situasi pendidikan setempat,
memberikan kesmpatan kepada anak dan mengidentifikasi alasan meraka tidak sekolah (bagi anak
yang belum/tidak sekolah).
Implementasi pendidikan inklusif perlu memperhatikan beberapa hal antara lain: sekolah harus
menyediakan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keberagaman dan menghargai perbedaan,
guru dituntut untuk melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembelajaran, guru dituntut melibatkan orangtua secara bermakna dalam
proses pendidikan, sekolah harus melibatkan tenaga profesional dalam melakukan asesmen ABK dan
memberikan solusi atau tindakan yang diperlukan, termasuk mengidentifikasi, hambatan berkaitan
dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap terhadap askses dan pembelajaran,
melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan monitoring mutu pendidikan bagi semua
anak. Tujuan utama dari penekanan 6 aspek yang harus diperahtikan pada sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif agar layanan yang dilakukan dalam pembimbingan dan pendidikan dapat
dilakukan secara maksimal demi pemenuhan mutu pendidikan yang diharapkan.
Peran Guru BK dalam Pendidikan Inklusif
Membimbing dan mendidik tidak lepas dari tugas dan tanggung jawab guru termasuk guru BK.
Sebagai tenaga pendidik guru BK mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang penuh dalam
kegiatan bimbingan dan konseling terhadap sejumlah peserta didik. Kegiatan bimbingan dan
konseling di sekolah merupakan kegiatan untuk membantu peserta didik dalam upaya menemukan
jati dirinya, penyesuaian terhadap lingkungan serta dapat merencanakan masa depannya sehingga,
dapat berkembang secara optimal.

Dalam memberikan layanan konselor harus berpedoman pada need assement peserta didik, sehingga
dalam pemberian layanan tidak salah dan sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Setelah mengetahui
kebutuhan peserta didik, konselor akan menyusun program bimbingan konseling. Disusunnya
program bimbingan konseling bertujuan guna memperlancar kegiatan bimbingan dan konseling.
Menurut Sugiyo (2011: 48) menyatakan “ Penyusunan program tidak lain agar kegiatan bimbingan
konseling disekolah dapat terlaksana dengan lancar, dan efisien, serta hasil-hasilnya dapat dinilai”.
Bimbingan dan konseling sebenarnya ditunjukkan untuk semua siswa tanpa terkecuali, dalam hal ini
ketika bimbingan dan konseling diimplementasikan dalam satuan pendidikan berbasis inklusi berarti
bimbingan dan konseling pun harus mengakomodasi kebutuhan siswa difabel dan siswa regular
lainnya, karena pada dasarnya dalam pelaksanaan pendidikan sekolah harus menerima keadaan
masing-masing siswa tanpa terkecuali, baik itu siswa normal maupun siswa yang memiliki kebutuhan
khusus. Dalam hal ini berarti sekolah harus mensetarakan siswa normal dan siswa berkebutuhan
khusus tanpa membedakan fisik dan kemampuan siswa dalam tempat yang sama.
Pada dasarnya kebutuhan bimbingan dan konseling memanglah tidak tertuju pada anak normal saja,
namun hakikatnya menyeluruh pada setiap anak baik itu normal maupun memiliki keterbatasan.
Bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus sebenarnya merupakan proses bantuan
konselor kepada anak berkebutuhan khusus yang dilakukan dengan tujuan agar terpecahkannya
permasalahan anak berkebutuhan khusus baik pribadi, social, belajar, serta karirnya secara mandiri.
Dalam menjalankanbimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus konselor harus
memiliki kreatifitas dan inovasi agar dalam prosesnya berjalan lancar sesuai dengan keterbatasan
yang dimiliki konseli.
Bimbingan dan konseling pada lingkup anak berkebutuhan khusus ini dilaksanakan dengan hati-hati
dan cermat karena menyangkut pada keterbatasan fisik dan mental konseli. Kustawan (2013: 58)
menyatakan bimbingan konseling diprogramkan untuk anak yang memiliki hambatan atau kelainan
pada satuan pendidikan harus berdasar dan disesuaikan dengan kebutuhan khusus anak tersebut.
Untuk melaksanakan bimbingan dan konseling di sekolah inklusi seorang konselor harus memegang
teguh prinsip bahwa setiap individu itu unik dan berbeda, baik dari segi fisik maupun psikisnya.
Melalui bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus ini seharusnya menjadi momentum
keterlibatanbimbingan dan konseling disegala aspek pendidikan yang ada, hal ini akan menjadikan
ujung tombak bagi bimbingan dan konseling untuk lebih mengeksiskan dan unjuk diri tentang
pentingnya kegiatan bimbingan dan konseling bagi anak berkebutuhan khusus.
Pelaksanaan bimbingan dan konseling untuk anak berkebutuhan khusus tidak akan lepas dari
program bimbingan dan konseling. Program bimbingan dan konseling yang ditunjukkan untukanak
berkebutuhan khusus ini hendaknya dimodifikasi dengan melihat kondisi fisik dan psikis anak,
sehingga tidak ada diskriminasi terhadapanak berkebutuhan khusus dan anak regular lainnya.
Program dibuat untuk mensukseskan pelaksanaan bimbingan dan konseling, khusus penanganan
anak berkebutuhan khusus konselor harus melaksanankan need assessment yang intensif guna
mengetahui kebutuhan yang mereka butuhkan. Pada dasarnya program bimbingan dan konseling
yang ditunjukkan untuk anak berkebutuhan khusus akan melalui beberapa tahapan yang
diantaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, dan evaluasi.
Perlu ditegaskan lagi dalam kehidupan bermasyarakat bahwasanya bagian dari masyarakat Indonesia
adalah anak-anak yang memiliki kemampuan berbeda dengan anak lainya yang sering disebut difabel
atau anak berkebutuhan khusus (ABK), kekhususan atau perbedaan bisa dari segi fisik ataupun psikis
dari anak tersebut. Anak dengan kebutuhan khusus ini juga berhak mendapatkan pendidikan yang
sama dengan orang lain, mereka tidak boleh dibedakan dalam hal 5
pendidikan, anak difabel berhak mengenyam pendidikan di sekolah regular seperti siswa normal
lainya dengan melalui pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusi merupakan suatu trobasan baru bagi pendidikan di Indonesia yang memberikan
kesempatan yang sama bagi anak berkebutuhan khusus untuk merasakan pendidikan seperti anak
normal lainnya dalam pembelajaran. Dalam pelaksanaannya pendidikan inklusi menggabungkan
antara anak berkebutuhan khusus dan anak normal dalam satu kelas dan satu pembelajaran. Namun
perlu adanya kreatifitas dari pengajar dalam memberikan treatment pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus sehingga mereka memahami tentang apa yang dijelaskan oleh pengajar.
Pada dasarnya pendidikan inklusi merupakan suatu konsep pendidikan yang tidak membeda-
bedakan latarbelakang kehidupan siswa dari segi fisik, psikis maupun kemampuannya.
Kemunculan pendidikan inklusi dalam pendidikan regular ini adalah sebagai jawaban dari semboyan
lama pendidikan yaitu “ pendidikan untuk semua” untuk mereformasikan pendidikan yang ramah
terhadap siapa saja tanpa terkecuali. Seperti yang diketahui bersama bahwa pendidikan untuk semua
menjadi titik awal pemikiran pelaksanaan pendidikan yang sehat tanpa diskriminasi terhadap
siapapun termasuk kepada siswa berkebutuhan khusus.
Sangat disayangkan, keberadaan sekolah yang melaksanakan pendidikan bagi anak berkebutuhan
khusus di Indonesia masih sangat sedikit dan jarang ditemui, hal ini sesuai dengan fakta
penyandang disabilitas di Indonesia kurang memiliki akses terhadap pelayanan sosial yang ada,
seperti transportasi umum, fasilitas jalan, sarana dan prasarana, gedung, serta pendidikan
( Republika, 21 Oktober 2016). Hal lain didukung dengan adanya data yang terhimpun dari Dit.PPK-
LK Dikdas sampai tahun 2015, terdapat 356.192 anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan
disabilitas. Namun baru terlayani 85.645 ABK disabilitas yang memperoleh layanan pendidikan pada
Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan sekolah terpadu maupun sekolah
penyelenggara pendidikan inklusif. Sependapat dengan data di atas, berdasarkan survey yang
dilakukan oleh WHO pada tahun 2015 mencatat jumlah penyandang cacat di Indonesia sebesar
3,11% dari jumlah penduduk, kebanyakan tidak mengenyam pendidikan, partisipasi sekolah kurang
dari 15% dan mayoritas tidak memperoleh pemeliharaan yang memadai karena kemiskinan atau
keluarga merasa malu.
Secara umum bimbingan dan konseling merupakan salah satu komponen penyelenggara pendidikan
di sekolah yang keberadaanya sangat dibutuhkan khususnya untuk membantu agar individu tersebut
mampu menjadi pribadi yang mandiri dan berkembang secara optimal dalam kehidupan pribadi,
kehidupan sosial, kemampuan belajar, dan perencanaan karir melalui berbagai jenis layanan dan
kegiatan pendukung berdasarkan norma-norma yang berlaku. Hal di atas sesuai dengan pendapat
Tohirin (2007:26) yang mengemukakan :
Bimbingan dan konseling merupakan bantuan proses bantuan atau pertolongan yang diberikan oleh
pembimbing (konselor) kepada individu (konseli) melalui pertemuan tatap muka atau hubungan
timbal balik antara keduanya, agar konseli memiliki kemampuan atau kecakapan melihat dan
menemukan masalahnya serta mampu memecahkan masalahnya sendiri.

Kata inklusi berasal dari bahasa Inggris “Inclusion” yang merupakan sebuah istilah yang
dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang
hambatan/cacat).Pendidikan inklusif diartikan dengan memasukkan anak berkebutuhan khusus di
kelas reguler bersama dengan anak lainnya. Namun secara lebih luas pendidikan inklusif berarti
melibatkan seluruh peserta didik tanpa terkecuali dalam pendidikan regular.

Anda mungkin juga menyukai