Disusun oleh :
Ns. Rozi Buana, S.Kep
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena
itu saya mengharapkan adanya kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah
ini. Saya berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan mampu menjawab
tujuan pembelajaran.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................2
DAFTAR ISI............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3
A. Pendahuluan.................................................................................................3
B. Tujuan Penulisan..........................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5
A. Pengertian Paradigma...................................................................................5
A. Kesimpulan.................................................................................................28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
menginterpretasi, suatu kerangka berfikir, dasar keyakinan yang memberikan arahan pada
tindakan. Dalam penyelesaian masalah, peneliti diharuskan melihat dari sudut pandang
Penelitian ilmiah merupakan proses sistematis yang dilakukan dengan urutan dan
prosedur tertentu yang bersifat tetap dan benar. Peneliti mengumpulkan data dan
berikutnya misalnya tahap perumusan masalah, telaah teoretis, verifikasi data, dan
kesimpulan.
besar kecilnya frekuensi kejadian atau variasi obyek. Suatu penelitian dipandang
obyektif, bila siapapun dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan
penelitian yang sama. Reliabilitas dapat dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan
stabilitas antar kelompok. Dengan belah dua random atau dengan pengulangan
pengukuran antar waktu kita menguji keajegan internal atau consistency; sedangkan
dengan memperbandingkan frekeunsi atau variansi antar kelompok kita menguji stabilitas
antar kelompok atau stability. Consistency dan stability adalah ragam prosedur untuk
obyeknya.
Dalam penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan
variansi, melainkan dilandaskan pada diketemukan hal yang esensial, hal yang intrinsik
benar; Untuk mengejar kebenaran positivisme mengejar lewat populasi yang luas serta
diketemukan sumber terpercaya sehingga hal yang hakiki, yang intrinsik, yang esensial
B. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memahami perbedaan antara
A. Pengertian Paradigma
Paradigma itu sendiri dapat didefinisikan sebagai ―satu set proposisi yang menjelaskan
memberitahu peneliti dan para ilmuwan secara umum tentang apa yang dianggap penting,
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah
cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of
inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi
tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu
disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.
Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma
sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok
persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Para peneliti keilmuan akuntansi secara umum memiliki dua perspektif yang
dapat dijadikan acuan dalam penelitiannya. Yaitu dari sisi kuantitatif dan sisi kualitatif.
Namun kedua perspektif tersebut masih sangat luas penjabarannya. Sehingga apabila
penulis merujuk pada buku yang dibuat oleh Burrell dan Morgan (1979) yang berjudul
Sociological Paradigm and Oraganizational Analysis. Dalam bukunya Burrel dan Morgan
membuat pemetaan perkembangan pemikiran akuntansi. Selain itu juga melibatkan karya
penulis lain seperti Chua (1986), Roslender (1992), Sarantakos (1993) dan ilmu sosial
secara umum.
organisasi yang diturunkan dari teori sosiologi. Yaitu; (1) The Functionalist Paradigm,
(2) Interpretive Paradigm, (3) Radical Humanist Paradigm, dan (4) Radical Structuralist
dibedakan secara nyata. Dari paradigma tersebut kemudian munurut Chua (1986) dalam
tiga paradigma, yaitu; (1) The Functionalist Paradigm (Mainstream atau Positivist
Perspective), (2) The Interpretive Paradigm, dan (3) The Critical Paradigm. Pada
dan berkembang begitu pesat, sehingga cenderung menjadi arus utama (Mainstream).
Paradigm).
paradigma menjadi tiga, yaitu ; (1) Positivist Paradigm, (2) Interpretivist Paradigm,
dan(3) Critical Paradigm. Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga
keyakinan dan asumsi fundamental tentang sifat organisasi (bandingkan Kuhn, 1970;
Lincoln, 1985). Para sarjana di disiplin ilmu kita saat ini terlibat dalam sebuah debat
mengenai kontribusi pengetahuan dan pengetahuan yang khas, yang timbul dari
pandangan philosophical dan paradigma konseptual yang berbeda (Burrell & Morgan,
1979; Lincoln, 1985) (lihat juga Astley & Van de Ven, 1983; Rao & Pasmore, 1989).
Perdebatan ini mungkin paling ringkas berdasarkan asumsi mendasar yang berbeda
Burrell dan Morgan (1979) telah mengorganisasikan perbedaan ini di sepanjang dimensi
perubahan subjektif dan regulasi, yang menghasilkan matriks 2 x 2 yang terdiri dari
dengan orientasi terhadap stabilitas atau pemeliharaan status quo; Cara pandang
functionalist paradigm pada aspek ontologi, banyak dipengaruhi oleh physical realism
yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang objektif, berdiri secara independen
perhatian yang jelas terhadap peraturan, atau setidaknya kurangnya perhatian dengan
perubahan status quo. Paradigm ini diturunkan dari Germanic Philosopycal Interest yang
menekankan pada peranan bahasa, interpretasi, dan pemahaman (Chua, 1969). Paradigma
ini lebih mengutamakan pada makna atau interpretasi seseorang terhadap sebuah simbol.
Menurut Burrell dan Morgan (1979), paradigma ini menggunakan cara pandang
nominalis yang didasari oleh paham nominalism. Paham ini melihat realitas sosial
sebagai sesuatu yang berupa label, nama atau konsep yang digunakan untuk membangun
yang nyata. Nama-nama hanya dianggap sebagai kreasi artifisial yang kegunaannya
Manusia memiliki subjektivitas yang secara sadar atau tidak akan mempengaruhi
proses konstruksi ilmu pengetahuan. Jika subjektivitas tersebut menyatu dalam proses,
maka dengan sendirinya ilmu pengetahuan tersebut akan sarat dengan nilai-nilai
humanisme. Penamaan sesuatu atau sesuatu yang diciptakan oleh manusia merupakan
produk dari pikiran yang berupa ide, konsep, gagasan dan sebagainya. Sehingga realitas
sosial bukan sesuatu yang berada di luar manusia, (not “out there‟), melainkan sesuatu
yang sudah inherent dalam pikiran manusia (Sarantakos, 1993). Artinya, realitas sosial
adalah kenyataan yang dialami secara internal, dibangun melalui interaksi sosial dan
diinterpretasi oleh manusia sebagai pihak yang aktif membangun realitas tersebut.
Dengan demikian, realitas sosial bersifat subjektif, tidak objektif sebagaimana yang
Kesadaran kontektual ini dapat dianggap sebagai kekuatan yang dimiliki oleh
dasarnya akuntansi dipraktikkan tidak dalam kondisi yang tanpa mengakomodasi nilai
lokal atas kondisi lingkungan dimana ia digunakan. Akuntansi dibentuk dan dipraktikkan
melalui proses konstruksi sosial (social construction). Proses konstruksi yang demikian
ini jelas terkait dengan nilai-nilai lokal dari lingkungannya dan dengan subjektivitas
Kondisi tersebut sesuai dengan metode inductive approach yang digunakan oleh
interpretive paradigm. Metode tersebut menjelaskan dari sesuatu yang khusus ke yang
umum atau dari sesuatu yang kongkret ke yang abstrak (Sarantakos, 1993). Maksud dan
tunjuan inductive approach tersebut tidak bisa diartikan mencari generalisasi, namun
sebagai sebuah bentuk pemahaman dari sesuatu yang empirik dan khusus menjadi
pemahaman yang lebih abstrak melalui proses penafsiran (interpret). Proses penafsiran
tidak sekedar menggunakan indera, tetapi yang lebih penting adalah pemahaman makna
Paradigma humanis radikal juga ditandai oleh pandangan yang lebih subjektif,
namun dengan orientasi ideologis terhadap realitas konstruktif yang berubah secara
radikal;
dominan dalam konteks ontologi, yaitu positivisme dan interpretivisme. Kedua aliran ini
menjadi dasar untuk penelitian kuantitatif sedangkan interpretivisme menjadi dasar untuk
penelitian kualitatif.
harus dapat diketahui melalui panca indera manusia. Terkait dengan itu, teologi, logika
obyek materialnya tidak dapat diketahui melalui panca indera manusia. Dengan
pernyataan lain, obyek dari ketiganya merupakan metafisik. Terkait dengan itu, obyek
material pengetahuan ilmiah harus dapat diukur sehingga dapat dihasilkan data
sehingga inteligensi itu dapat direpresentasikan dalam bentuk data numerik. Jadi, obyek
material ilmu pengetahuan harus dapat diukur sedemikian sehingga berbentuk atau
meyakinkan, empiris, bukan spekulatif. Terkait dengan ciri positivisme, obyek material
dalam pengetahuan ilmiah lazim disebut sebagai variabel, bukan gejala seperti pada
interpretivisme. Itu berarti bahwa obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur
secara obyektif.
pengalaman orang. Menurut interpretivisme, obyek material ilmu-ilmu sosial tidak dapat
direduksi menjadi data kuantitatif. Alasannya adalah bahwa perilaku manusia, sebagai
obyek materialnya, tidak dapat diperlakukan sebagai benda fisik. Manusia memiliki
perasaan dan berpikir reflektif sehingga hakikat atau keberadaan perilakunya tidak dapat
direduksi, tidak dapat diukur secara obyektif. Untuk memahami, bukan untuk
yang melatari perilaku itu. Misalnya, variabel usia dalam penelitian kuantitatif lazim
Menurut interpretivisme, usia yang sama dapat memiliki makna yang berbeda bagi
orang yang berbeda sehingga perilaku tiap orang dapat menjadi berbeda terkait dengan
usia yang sama itu. Bagi orang-orang yang segera akan pensiun, misalnya, usianya dapat
dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Mungkin ada orang yang
memaknainya sebagai suatu berkah karena ia akan memiliki banyak waktu mengunjungi
anak, menantu, cucu maupun tempat-tempat wisata yang selama ini tidak dapat
ia tidak lagi memiliki kekuasaan, penghasilannya berkurang atau tidak seperti pada waktu
ia masih aktif bekerja. Jadi, obyek material ilmu-ilmu sosial, menurut interpretivisme,
bersifat subyektif.
tidak boleh direduksi tapi harus dipandang sebagai satu keseluruhan, holistik, gestalt,
serta mencakup makna yang terkandung dalam obyek itu. Dengan demikian, peneliti akan
memperoleh hakikat dari obyek material itu. Dalam psikologi maupun penelitian dikenal
juga istilah halo effect, yakni kesan pertama kita terhadap seseorang akan mempengaruhi
sikap dan perilaku kita selanjutnya terhadap orang itu, terlepas dari apakah pengaruhnya
Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini,
yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that
pandangan dunia tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana
didahului penelitian sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi
dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting
1. Paradigma kuantitatif:
berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak
unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur
berbeda. Asumsi dasar inilah yang kemudian memengaruhi perbedaan cara pandang
peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan.
Asumsi yang dimaksud adalah ontologi, epistemologi, hakikat dasar manusia, serta
aksiologi.
a) Ontologi
konsep dalam suatu gejala dan hubungan antara konsep-konsep yang ada dalam
gejala tersebut (Gruber, 1993). Ontologi juga digunakan untuk menjelaskan sifat dari
gejala tersebut. Dalam ilmu sosial, gejala yang dimaksud adalah gejala sosial yang
Dalam dunia yang sebenarnya, pasti tidak akan pernah ditemukan wujud buah
semangka berdaun sirih. Pohon sirih hanya akan menghasilkan buah sirih, sedangkan
sosial adalah gejala yang nyata. Jadi, jika seseorang kehilangan uang karena isu
tuyul, ini bukan dianggap sebagai sebuah gejala sosial karena sukar untuk dilihat
dengan mata kepala. Akan tetapi, jika nantinya dapat ditemukan suatu alat yang
dapat melihat langsung tuyul dan banyak orang menyaksikan keberadaan tuyul
sedang mengambil uang, itu akan menjadi suatu gejala yang dianggap nyata.
b) Epistemologi
apa syarat perlu dan cukup dari pengetahuan? Apa sumber-sumber pengetahuan?
pembenaran? Apa yang membuat keyakinan dibenarkan, sedangkan yang lain tidak
hakikat ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan pada kalimat awal paragraf
ini. Jika dihubungkan dengan ontologi, pengetahuan yang dimaksud terkait dengan
gejala yang nyata. Segala sesuatu yang dapat dipelajari oleh ilmu pengetahuan adalah
sebuah objek.
Dalam epistemologi, terdapat tiga asumsi dasar yang dijelaskan berikut ini.
Individu adalah seseorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa
individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orangorang yang
sedang diteliti. Bebas nilai karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia
gunakan untuk meneliti orang-orang tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah
Ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki manusia. Segala sesuatu
yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal sebagai
ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan akal sehat
belaka. Misalnya, kita ingin mendapatkan keuntungan yang besar dalam berusaha.
(3) Metodologi
kuantitatif. Pola yang digunakan adalah baku dan bersifat linier. Setelah tahap
pertama, baru masuk ke tahap kedua, sesudah tahap kedua baru masuk tahap ketiga,
dan seterusnya. Proses yang dilakukan adalah sebuah proses deduktif yang
mengandung pengertian berangkat dari sebuah konsep yang bersifat umum menuju
hal yang bersifat khusus. Artinya, peneliti memulai dari generalisasi yang sudah ada
suatu gejala karena adanya atau disebabkan oleh gejala lain dan mengabaikan
Padahal, penyebab kemacetan itu beragam, seperti ada mobil mogok, banjir, dan
sebagainya.
kecil, seorang anak akan dipengaruhi pandangan orang tua atau gurunya. Seorang
gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan oleh orang tua atau gurunya. Pandangan
seperti ini tentu saja berpengaruh terhadap pola pikir anak bahwa yang namanya
pemandangan harus terkait dengan gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan.
Bagaimana jika si anak ingin menggambar pemandangan yang hanya mencakup pot
dan bunga yang ada di rumahnya. Orang tua atau guru akan memarahi si anak. Anak
d) Aksiologi
Istilah aksiologi merujuk pada bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti nilai dan
logos yang berarti logika atau teori. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Dalam
hukum yang universal. Pendekatan ini mencari penjelasan mengapa sebuah peristiwa
terjadi dengan memakai pola-pola yang sudah ada. Jika pola yang sudah ada tidak
dapat dipakai untuk menjelaskan kejadian yang ada, dicari pola baru yang lebih
pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam
utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang
sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance
given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang
kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar ontologisnya dalam melihat fakta
keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2)
suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu;
dan (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan,
poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola,
event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities.
berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data
empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi.
Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai
dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses
perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui
verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru.
Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico,
hypothetico, verifikatif.
seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif
ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang
dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan
partikularistis.
paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian
adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik.
manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini
humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia
sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber,
sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada
manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.
perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin
yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial
lingkungan antropologi dan ditunjang antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik
telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang
berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh
semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi
penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi penelitian, umumnya diakui terdapat
dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist (penelitian
baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi
yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam
tataran filosofis/teoritis maupun dalam tataran praktis pelaksanaan penelitian, dan justru
sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan
penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah
ditetapkan.
sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai
(fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut
1. Positivisme
Auguste Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia
seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid dan
politik positif).
2. Fenomenologi
meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari
kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia,
harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus
alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-
kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul
perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap
obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah
kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek
Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk
pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan
Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau
kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas,
dan masalah nilai. untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut.
bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan
dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena
itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang
terfragmentasi.
peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh
hasil yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek
tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut
aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai
tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh
Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara paradigma
penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman yang
dalam tingkatan operasional lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak
belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi
maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode kuantitatif dengan kualitatif adalah
sebagai berikut :
merah yang mempertemukan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat
manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar
bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam
hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan
dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan
atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak
konteks.
lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini
pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern
Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan
teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan
sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau
empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai
penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen
pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam
Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan
bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah
data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan
yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap
dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu
pernyataan teoritis.
Kuantitatif
1. Positivistik
2. Deduktif-Hipotetis
3. Partikularistik
4. Obyektif
Kualitatif
1. Fenomenologik
2. Induktif
3. Holistik
4. Subyektif
berikut:
Paradigma Kuantitatif
2. Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir
yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan
4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap
6. Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih
8. Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada
pembuatan generalisasi.
proses analisisnya.
(fenomenologis).
4. Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan
berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.
menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau
hipotesis.
utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus
7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja
mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.
9. Fokus penelitian bersifat holistik, meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi
A. Kesimpulan
Dalam penelitian ilmiah khususnya penelitian kualitatif dan kuantitatif,
dalam komponen penting. Tanpa suatu metode, penelitian ilmiah tidak dapat
terlaksana dengan baik. Namun, metode ilmiah tersebut harus dimaknai agar tidak
pengantar penjelasan bentuk formula teori mana yang lebih baik untuk keperluan
Agus Salim (ed.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana,
2001.
Forester, J. (1983) Critical theory and organizational analysis. In G. Morgan (Ed.),
Beyond method; Strategies for social research (pp. 234-246). Beverly Hills, CA:
Sage.
Gioia, Dennis A. and Evelyn Pitre. (1990). Multiparadigm perspectives on theory
building. Academy of Management Review 15 (4): 584-602.
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 13, bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2000
Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry. California, Beverly
Hills: Sage Publications
Jick, T. D. (1979) Mixing qualitative and quantitative methods. Administrative Science
Quarterly, 24, 602-611.
Kerlinger, Fred N. (1986). Fundamentals of behavioral research. San Fransisco: Holt,
Rinehart, and Winston, Inc.
Kirk, J. & Miller, M.I. (1986). Reability and Validity in Qualitative Research, Vol.1,
Beverly Hills: Sage Publication
Morgan, G., & Smircich, L. (1980) The case for qualitative research. Academy of
Management Review, 5, 491-500.
Neuman, Lawrence W. (2003). Social Reseatch Methods: Qualitive and Quantitative
Approanhes. Boston: Allyn & Bacon.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV, Jogjakarta, Penerbit Rake
Sarasin, 2000.
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd ed.). Newbury
Park, CA: Sage.