Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PARADIGMA PENELITIAN DEDUKTIF DAN


INDUKTIF

Diajukan untuk memenuhi salah Satu Tugas Ujian Tengah Semester 1

Mata Kuliah Metodologi Penelitian

Disusun oleh :
Ns. Rozi Buana, S.Kep

SEKOLAH TINGGI LIMU KESEHATAN


JENDERAL ACHMAD YANI CIMAHI
PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-

Nya makalah yang berjudul “Paradigma Penelitian Deduktif dan Induktif”

dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan

arahan dalam proses pembuatan makalah ini.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena

itu saya mengharapkan adanya kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah

ini. Saya berharap makalah ini dapat memberikan manfaat dan mampu menjawab

tujuan pembelajaran.

Bogor, November 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................2

DAFTAR ISI............................................................................................................3

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................3

A. Pendahuluan.................................................................................................3

B. Tujuan Penulisan..........................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................5

A. Pengertian Paradigma...................................................................................5

B. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif.........................................10

C. Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif..............................................25

BAB III PENUTUP................................................................................................28

A. Kesimpulan.................................................................................................28

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................29
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Penyelesaian masalah penelitian pada tahap awal ditentukan paradigma dari

peneliti. Paradigma merupakan suatu cara pandang, cara memahami, cara

menginterpretasi, suatu kerangka berfikir, dasar keyakinan yang memberikan arahan pada

tindakan. Dalam penyelesaian masalah, peneliti diharuskan melihat dari sudut pandang

yang mampu dilakukan oleh peneliti tersebut.

Penelitian ilmiah merupakan proses sistematis yang dilakukan dengan urutan dan

prosedur tertentu yang bersifat tetap dan benar. Peneliti mengumpulkan data dan

menganalisa dari awal penemuan permasalahan dan berlanjut kepada tahap-tahap

berikutnya misalnya tahap perumusan masalah, telaah teoretis, verifikasi data, dan

kesimpulan.

Dasar berfikir positivistik dalam upaya mencari kebenaran dilandaskan pada

besar kecilnya frekuensi kejadian atau variasi obyek. Suatu penelitian dipandang

obyektif, bila siapapun dengan prosedur kerja yang sama menghasilkan kesimpulan

penelitian yang sama. Reliabilitas dapat dibedakan menjadi dua: keajegan internal dan

stabilitas antar kelompok. Dengan belah dua random atau dengan pengulangan

pengukuran antar waktu kita menguji keajegan internal atau consistency; sedangkan

dengan memperbandingkan frekeunsi atau variansi antar kelompok kita menguji stabilitas

antar kelompok atau stability. Consistency dan stability adalah ragam prosedur untuk

menguji reliabilitas. Validitas adalah kebenaran. Kebenaran bagi positivisme diukur

berdasar besarnya frekuensi kejadian atau berdasar berartinya (significancy) variansi

obyeknya.
Dalam penelitian kualitatif kebenaran tidak diukur berdasar frekuensi dan

variansi, melainkan dilandaskan pada diketemukan hal yang esensial, hal yang intrinsik

benar; Untuk mengejar kebenaran positivisme mengejar lewat populasi yang luas serta

sampel yang representatif, sedangkan penelitian kualitatif mengejar kebenaran lewat

diketemukan sumber terpercaya sehingga hal yang hakiki, yang intrinsik, yang esensial

dapat diketemukan. (Noeng Muhadjir, 2000)

B. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini yaitu untuk memahami perbedaan antara

paradigma penelitian deduktif dan paradigma penelitian induktif


BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Paradigma

Paradigma (Paradigm) sering juga disebut perspektif (cara pandang) atau

worldview (pandangan dunia) ataupun school of tought (aliran pemikiran, mazhab).

Paradigma itu sendiri dapat didefinisikan sebagai ―satu set proposisi yang menjelaskan

bagaimana dunia dipahami, cara menyederhanakan kompleksitas dunia nyata,

memberitahu peneliti dan para ilmuwan secara umum tentang apa yang dianggap penting,

sah dan rasional. (Sarantakos, 1993).

Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan

kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah

cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of

inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi

tersebut dipertegas oleh Friedrichs, sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu

disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari.

Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer (1980), dengan menyatakan paradigma

sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok

persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.

Para peneliti keilmuan akuntansi secara umum memiliki dua perspektif yang

dapat dijadikan acuan dalam penelitiannya. Yaitu dari sisi kuantitatif dan sisi kualitatif.

Namun kedua perspektif tersebut masih sangat luas penjabarannya. Sehingga apabila

tidak diklasifikasikan, akan mempersulit dalam penggunaannya. Pada pembahasan ini,

penulis merujuk pada buku yang dibuat oleh Burrell dan Morgan (1979) yang berjudul

Sociological Paradigm and Oraganizational Analysis. Dalam bukunya Burrel dan Morgan
membuat pemetaan perkembangan pemikiran akuntansi. Selain itu juga melibatkan karya

penulis lain seperti Chua (1986), Roslender (1992), Sarantakos (1993) dan ilmu sosial

secara umum.

Klasifikasi paradigma tersebut sebenarnya merupakan pemikiran-pemikiran teori

organisasi yang diturunkan dari teori sosiologi. Yaitu; (1) The Functionalist Paradigm,

(2) Interpretive Paradigm, (3) Radical Humanist Paradigm, dan (4) Radical Structuralist

Paradigm. Masing-masing paradigma memiliki karakter sendiri-sendiri yang dapat

dibedakan secara nyata. Dari paradigma tersebut kemudian munurut Chua (1986) dalam

bukunya yang berjudul Radical Development in Accounting Thought memodifikasi dalam

tiga paradigma, yaitu; (1) The Functionalist Paradigm (Mainstream atau Positivist

Perspective), (2) The Interpretive Paradigm, dan (3) The Critical Paradigm. Pada

perkembangannya, yang paling dominan menjadi dasar paradigma penelitian adalah

Functionalist atau Positivist Paradigm. Pengaruh yang ditimbulkannya sangat dominan

dan berkembang begitu pesat, sehingga cenderung menjadi arus utama (Mainstream).

Sehingga akhirnya paradigma ini dinamakan paradigma arus utama (Mainstream

Paradigm).

Sedikit berbeda dengan Burrell dan Morgan, Sarantakos (1993) cenderung

mengikuti penggolongan yang dibuat oleh Chua (1986) dengan mengklasifikasikan

paradigma menjadi tiga, yaitu ; (1) Positivist Paradigm, (2) Interpretivist Paradigm,

dan(3) Critical Paradigm. Secara umum pendekatan penelitian atau sering juga

disebut paradigma penelitian yang cukup dominan adalah paradigma penelitian

kuantitatif dan penelitian kualitatif.

Paradigma adalah perspektif umum atau cara berpikir yang mencerminkan

keyakinan dan asumsi fundamental tentang sifat organisasi (bandingkan Kuhn, 1970;

Lincoln, 1985). Para sarjana di disiplin ilmu kita saat ini terlibat dalam sebuah debat

mengenai kontribusi pengetahuan dan pengetahuan yang khas, yang timbul dari

pandangan philosophical dan paradigma konseptual yang berbeda (Burrell & Morgan,
1979; Lincoln, 1985) (lihat juga Astley & Van de Ven, 1983; Rao & Pasmore, 1989).

Perdebatan ini mungkin paling ringkas berdasarkan asumsi mendasar yang berbeda

tentang sifat fenomena organisasi (ontology), sifat pengetahuan tentang fenomena

(epistemology) tersebut, dan sifat cara mempelajari fenomena tersebut (methodology).

Burrell dan Morgan (1979) telah mengorganisasikan perbedaan ini di sepanjang dimensi

perubahan subjektif dan regulasi, yang menghasilkan matriks 2 x 2 yang terdiri dari

empat paradigma penelitian yang berbeda.

Gambar: Matrik Empat Paradigma (Burrel & Morgan, 1979)

(1) Paradigma Fungsionalis / Positivisme (Functionalist Paradigm)

Paradigma fungsionalis dicirikan oleh pandangan objektivis dari dunia organisasi

dengan orientasi terhadap stabilitas atau pemeliharaan status quo; Cara pandang

functionalist paradigm pada aspek ontologi, banyak dipengaruhi oleh physical realism

yang melihat realitas sosial sebagai sesuatu yang objektif, berdiri secara independen

diluar ―diri‖ manusia (Burrell dan Morgan, 1979 ; Chua, 1986).

(2) Paradigma Interpretivisme (Interpretive Paradigm)

Paradigma interpretif dicirikan oleh pandangan subjektivisme, juga dengan

perhatian yang jelas terhadap peraturan, atau setidaknya kurangnya perhatian dengan

perubahan status quo. Paradigm ini diturunkan dari Germanic Philosopycal Interest yang

menekankan pada peranan bahasa, interpretasi, dan pemahaman (Chua, 1969). Paradigma

ini lebih mengutamakan pada makna atau interpretasi seseorang terhadap sebuah simbol.
Menurut Burrell dan Morgan (1979), paradigma ini menggunakan cara pandang

nominalis yang didasari oleh paham nominalism. Paham ini melihat realitas sosial

sebagai sesuatu yang berupa label, nama atau konsep yang digunakan untuk membangun

realitas. Pandangan nominalism menganggap bahwa sesungguhnya tidak ada sesuatu

yang nyata. Nama-nama hanya dianggap sebagai kreasi artifisial yang kegunaannya

tergantung pada kecocokannya dalam mendeskripsikan, mengartikan, dan menegosiasi

sesuatu (Burrell dan Morgan, 1979).

Manusia memiliki subjektivitas yang secara sadar atau tidak akan mempengaruhi

proses konstruksi ilmu pengetahuan. Jika subjektivitas tersebut menyatu dalam proses,

maka dengan sendirinya ilmu pengetahuan tersebut akan sarat dengan nilai-nilai

humanisme. Penamaan sesuatu atau sesuatu yang diciptakan oleh manusia merupakan

produk dari pikiran yang berupa ide, konsep, gagasan dan sebagainya. Sehingga realitas

sosial bukan sesuatu yang berada di luar manusia, (not “out there‟), melainkan sesuatu

yang sudah inherent dalam pikiran manusia (Sarantakos, 1993). Artinya, realitas sosial

adalah kenyataan yang dialami secara internal, dibangun melalui interaksi sosial dan

diinterpretasi oleh manusia sebagai pihak yang aktif membangun realitas tersebut.

Dengan demikian, realitas sosial bersifat subjektif, tidak objektif sebagaimana yang

dialami oleh paradigma positivisme.

Kesadaran kontektual ini dapat dianggap sebagai kekuatan yang dimiliki oleh

paradigma interpretivisme. Kesadaran ini mencerminkan pemahaman bahwa pada

dasarnya akuntansi dipraktikkan tidak dalam kondisi yang tanpa mengakomodasi nilai

lokal atas kondisi lingkungan dimana ia digunakan. Akuntansi dibentuk dan dipraktikkan

melalui proses konstruksi sosial (social construction). Proses konstruksi yang demikian

ini jelas terkait dengan nilai-nilai lokal dari lingkungannya dan dengan subjektivitas

praktisi akuntansi dan masyarakat bisnis.

Kondisi tersebut sesuai dengan metode inductive approach yang digunakan oleh

interpretive paradigm. Metode tersebut menjelaskan dari sesuatu yang khusus ke yang
umum atau dari sesuatu yang kongkret ke yang abstrak (Sarantakos, 1993). Maksud dan

tunjuan inductive approach tersebut tidak bisa diartikan mencari generalisasi, namun

sebagai sebuah bentuk pemahaman dari sesuatu yang empirik dan khusus menjadi

pemahaman yang lebih abstrak melalui proses penafsiran (interpret). Proses penafsiran

tidak sekedar menggunakan indera, tetapi yang lebih penting adalah pemahaman makna

dan interpretasinya (Sarantakos, 1993) atas realitas sosial yang dikaji.

(3) Radical Humanist Paradigm

Paradigma humanis radikal juga ditandai oleh pandangan yang lebih subjektif,

namun dengan orientasi ideologis terhadap realitas konstruktif yang berubah secara

radikal;

(4) Radical Structuralist Paradigm.

Paradigma strukturalis radikal ditandai oleh sikap objektivis, dengan perhatian

ideologis terhadap perubahan radikal dari kenyataan struktural.

B. Paradigma Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif


Terkait dengan obyek material ilmu-ilmu sosial, ada dua aliran filsafat yang

dominan dalam konteks ontologi, yaitu positivisme dan interpretivisme. Kedua aliran ini

menjadi perspektif dalam penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Positivisme

menjadi dasar untuk penelitian kuantitatif sedangkan interpretivisme menjadi dasar untuk

penelitian kualitatif.

Menurut positivisme, obyek pengetahuan ilmiah harus empiris, keberadaannya

harus dapat diketahui melalui panca indera manusia. Terkait dengan itu, teologi, logika

dan matematika tidak dikategorikan sebagai pengetahuan ilmiah karena keberadaan

obyek materialnya tidak dapat diketahui melalui panca indera manusia. Dengan

pernyataan lain, obyek dari ketiganya merupakan metafisik. Terkait dengan itu, obyek

material pengetahuan ilmiah harus dapat diukur sehingga dapat dihasilkan data

kuantitatif/numerik, yaitu berupa angka/bilangan. Dalam psikologi, inteligensi umum


yang tidak dapat diobservasi secara langsung, misalnya, diukur melalui tes psikologi

sehingga inteligensi itu dapat direpresentasikan dalam bentuk data numerik. Jadi, obyek

material ilmu pengetahuan harus dapat diukur sedemikian sehingga berbentuk atau

direduksi menjadi data kuantitatif.

Dalam konteks ini, istilah “positivisme” didasarkan pada pengalaman, nyata,

meyakinkan, empiris, bukan spekulatif. Terkait dengan ciri positivisme, obyek material

dalam pengetahuan ilmiah lazim disebut sebagai variabel, bukan gejala seperti pada

interpretivisme. Itu berarti bahwa obyek material ilmu pengetahuan harus dapat diukur

secara obyektif.

Istilah “interpretivisme” berkaitan dengan interpretasi, pemberian makna atas

pengalaman orang. Menurut interpretivisme, obyek material ilmu-ilmu sosial tidak dapat

direduksi menjadi data kuantitatif. Alasannya adalah bahwa perilaku manusia, sebagai

obyek materialnya, tidak dapat diperlakukan sebagai benda fisik. Manusia memiliki

perasaan dan berpikir reflektif sehingga hakikat atau keberadaan perilakunya tidak dapat

direduksi, tidak dapat diukur secara obyektif. Untuk memahami, bukan untuk

mengetahui, perilaku seseorang, kita harus mengeksplorasi dan mengidentifikasi makna

yang melatari perilaku itu. Misalnya, variabel usia dalam penelitian kuantitatif lazim

diukur dalam bentuk usia kalender.

Menurut interpretivisme, usia yang sama dapat memiliki makna yang berbeda bagi

orang yang berbeda sehingga perilaku tiap orang dapat menjadi berbeda terkait dengan

usia yang sama itu. Bagi orang-orang yang segera akan pensiun, misalnya, usianya dapat

dimaknai secara berbeda oleh orang yang berbeda. Mungkin ada orang yang

memaknainya sebagai suatu berkah karena ia akan memiliki banyak waktu mengunjungi

anak, menantu, cucu maupun tempat-tempat wisata yang selama ini tidak dapat

dikunjunginya. Sebaliknya, orang lain mungkin memaknainya sebagai penderitaan karena

ia tidak lagi memiliki kekuasaan, penghasilannya berkurang atau tidak seperti pada waktu

ia masih aktif bekerja. Jadi, obyek material ilmu-ilmu sosial, menurut interpretivisme,
bersifat subyektif.

Menurut interpretivisme, obyek material pengetahuan sosial (perilaku manusia)

tidak boleh direduksi tapi harus dipandang sebagai satu keseluruhan, holistik, gestalt,

serta mencakup makna yang terkandung dalam obyek itu. Dengan demikian, peneliti akan

memperoleh hakikat dari obyek material itu. Dalam psikologi maupun penelitian dikenal

juga istilah halo effect, yakni kesan pertama kita terhadap seseorang akan mempengaruhi

sikap dan perilaku kita selanjutnya terhadap orang itu, terlepas dari apakah pengaruhnya

tergolong besar atau kecil. Hal itu manusiawi.

Ada pernyataan dari Egon G. Guba yang cukup menarik untuk ditanggapi di sini,

yaitu bahwa “A paradigm may be viewed as set of basic beliefs (or metaphisies) that

deals with ultimetes or principles. Keyakinan itu, menurut Guba, merepresentasikan

pandangan dunia tentang hakikat sesuatu, serta merupakan dasar di dalam nurani dimana

ia diterima dengan penuh kepercayaan. Sesuatu yang diyakini kebenarannya tanpa

didahului penelitian sistematis, dalam filsafat ilmu, disebut dengan aksioma atau asumsi

dasar. Keyakinan (beliefs), aksioma atau asumsi dasar tersebut menempati posisi penting

dalam menentukan skema konseptual penelitian, ia merupakan dasar permulaan yang

melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.

Berkait dengan proposisi di atas, penelitian kuantitatif dan kualitatif memiliki

perbedaan paradigma yang amat mendasar. Penelitian kuantitatif dibangun berlandaskan

paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif

dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).

1. Paradigma kuantitatif:

Paradigma kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun

berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak

unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Karena penolakannya terhadap unsur

metafisis dan teologis, positivisme kadang-kadang dianggap sebagai sebuah varian

dari Materialisme (bila yang terakhir ini dikontraskan dengan Idealisme).


Neuman (2003) dan Smith (1983), misalnya, menyamakan pendekatan

kuantitatif dengan pendekatan positivis, sedangkan pendekatan kualitatif disamakan

dengan pendekatan interpretif. Setiap pendekatan memiliki asumsi dasar yang

berbeda. Asumsi dasar inilah yang kemudian memengaruhi perbedaan cara pandang

peneliti terhadap sebuah fenomena dan juga proses penelitian secara keseluruhan.

Asumsi yang dimaksud adalah ontologi, epistemologi, hakikat dasar manusia, serta

aksiologi.

a) Ontologi

Ontologi merupakan representasi pengetahuan formal dengan seperangkat

konsep dalam suatu gejala dan hubungan antara konsep-konsep yang ada dalam

gejala tersebut (Gruber, 1993). Ontologi juga digunakan untuk menjelaskan sifat dari

gejala tersebut. Dalam ilmu sosial, gejala yang dimaksud adalah gejala sosial yang

dilihat sebagai sesuatu yang nyata.

Dalam dunia yang sebenarnya, pasti tidak akan pernah ditemukan wujud buah

semangka berdaun sirih. Pohon sirih hanya akan menghasilkan buah sirih, sedangkan

buah semangka hanya berasal dari pohon semangka.

Orang yang menggunakan pendekatan kuantitatif akan melihat bahwa gejala

sosial adalah gejala yang nyata. Jadi, jika seseorang kehilangan uang karena isu

tuyul, ini bukan dianggap sebagai sebuah gejala sosial karena sukar untuk dilihat

dengan mata kepala. Akan tetapi, jika nantinya dapat ditemukan suatu alat yang

dapat melihat langsung tuyul dan banyak orang menyaksikan keberadaan tuyul

sedang mengambil uang, itu akan menjadi suatu gejala yang dianggap nyata.

b) Epistemologi

Epistemologi merupakan studi tentang pengetahuan dan pembenaran. Sebagai

studi tentang pengetahuan, epistemologi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan:

apa syarat perlu dan cukup dari pengetahuan? Apa sumber-sumber pengetahuan?

Apa struktur dan batas-batasnya? Sebagai studi tentang pembenaran, epistemologi


bertujuan untuk menjawab pertanyaan: bagaimana kita memahami konsep

pembenaran? Apa yang membuat keyakinan dibenarkan, sedangkan yang lain tidak

dibenarkan? Dalam kaitannya dengan penelitian, epistemologi berbicara mengenai

hakikat ilmu pengetahuan seperti yang telah diuraikan pada kalimat awal paragraf

ini. Jika dihubungkan dengan ontologi, pengetahuan yang dimaksud terkait dengan

gejala yang nyata. Segala sesuatu yang dapat dipelajari oleh ilmu pengetahuan adalah

sebuah objek.

Dalam epistemologi, terdapat tiga asumsi dasar yang dijelaskan berikut ini.

(1) Kaitan antara Ilmu dan Nilai

Individu adalah seseorang yang bebas nilai. Bebas nilai dapat diartikan bahwa

individu tidak dipengaruhi oleh nilai-nilai yang ada di antara orangorang yang

sedang diteliti. Bebas nilai karena individu telah memiliki seperangkat nilai yang ia

gunakan untuk meneliti orang-orang tersebut. Nilai yang ia bawa dan gunakan adalah

nilai-nilai yang sifatnya universal.

(2) Kaitan antara Ilmu dan Akal Sehat

Ilmu pengetahuan adalah cara terbaik yang dimiliki manusia. Segala sesuatu

yang diperoleh dengan menggunakan cara yang ilmiah atau yang kita kenal sebagai

ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang lebih baik dibandingkan akal sehat

belaka. Misalnya, kita ingin mendapatkan keuntungan yang besar dalam berusaha.

(3) Metodologi

Pola-pola yang universal dan berlaku ketat digunakan dalam pendekatan

kuantitatif. Pola yang digunakan adalah baku dan bersifat linier. Setelah tahap

pertama, baru masuk ke tahap kedua, sesudah tahap kedua baru masuk tahap ketiga,

dan seterusnya. Proses yang dilakukan adalah sebuah proses deduktif yang

mengandung pengertian berangkat dari sebuah konsep yang bersifat umum menuju

hal yang bersifat khusus. Artinya, peneliti memulai dari generalisasi yang sudah ada

(teori) untuk melihat sesuatu yang khusus (kasus).


Salah satu dasar dalam pendekatan ini adalah nomotetik. Nomotetik merupakan

pemikiran Immanuel Kant untuk menggambarkan kecenderungan menggeneralisasi

suatu keadaan. Istilah ini selalu dipertentangkan dengan idiografik yang

menggambarkan usaha untuk mengetahui atau memahami sesuatu secara spesifik.

Dalam ilmu sosial, nomotetik melahirkan kecenderungan untuk melihat terjadinya

suatu gejala karena adanya atau disebabkan oleh gejala lain dan mengabaikan

berbagai gejala lainnya. Misalnya, kemacetan terjadi karena adanya kecelakaan.

Padahal, penyebab kemacetan itu beragam, seperti ada mobil mogok, banjir, dan

sebagainya.

c) Hakikat Dasar Manusia

Pada hakikatnya, manusia diatur dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Sejak

kecil, seorang anak akan dipengaruhi pandangan orang tua atau gurunya. Seorang

anak kecil, ketika diminta menggambar pemandangan, akan diarahkan menggambar

gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan oleh orang tua atau gurunya. Pandangan

seperti ini tentu saja berpengaruh terhadap pola pikir anak bahwa yang namanya

pemandangan harus terkait dengan gunung, pohon, sawah, matahari, dan awan.

Bagaimana jika si anak ingin menggambar pemandangan yang hanya mencakup pot

dan bunga yang ada di rumahnya. Orang tua atau guru akan memarahi si anak. Anak

tidak boleh mengungkapkan kreativitasnya karena bertentangan dengan pemahaman

orang tua dan guru.

d) Aksiologi

Istilah aksiologi merujuk pada bahasa Yunani, yaitu axios yang berarti nilai dan

logos yang berarti logika atau teori. Aksiologi adalah ilmu tentang nilai. Dalam

melakukan sebuah penelitian, pendekatan kuantitatif didasarkan pada nilai. Tujuan

melakukan penelitian adalah menjelaskan sebuah gejala dan menemukan sebuah

hukum yang universal. Pendekatan ini mencari penjelasan mengapa sebuah peristiwa

terjadi dengan memakai pola-pola yang sudah ada. Jika pola yang sudah ada tidak
dapat dipakai untuk menjelaskan kejadian yang ada, dicari pola baru yang lebih

universal sehingga dapat digunakan untuk menerangkan kejadian tersebut.

Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan

(knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang

berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat

pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason). Secara epistemologis, dalam

penelitian kuantitatif diterima suatu paradigma, bahwa sumber pengetahuan paling

utama adalah fakta yang sudah pernah terjadi, dan lebih khusus lagi hal-hal yang

dapat ditangkap pancaindera (exposed to sensory experience). Hal ini sekaligus

mengindikasikan, bahwa secara ontologis, obyek studi penelitian kuantitatif adalah

fenomena dan hubungan-hubungan umum antara fenomena-fenomena (general

relations between phenomena). Yang dimaksud dengan fenomena di sini adalah

sejalan dengan prinsip sensory experience yang terbatas pada external appearance

given in sense perception saja. Karena pengetahuan itu bersumber dari fakta yang

diperoleh melalui pancaindera, maka ilmu pengetahuan harus didasarkan pada

eksperimen, induksi dan observasi.

Bagaimana pandangan penganut kuantitatif tentang fakta? Dalam penelitian

kuantitatif diyakini sejumlah asumsi sebagai dasar ontologisnya dalam melihat fakta

atau gejala. Asumsi-asumsi dimaksud adalah; (1) obyek-obyek tertentu mempunyai

keserupaan satu sama lain, baik bentuk, struktur, sifat maupun dimensi lainnya; (2)

suatu benda atau keadaan tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu;

dan (3) suatu gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan,

melainkan merupakan akibat dari faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jadi diyakini

adanya determinisme atau proses sebab-akibat (causalitas). Dalam kaitannya dengan

poin terakhir, lebih jauh Russel Keat & John Urry, seperti dikutip oleh Tomagola,

mengemukakan bahwa setiap individual event/case tidak mempunyai eksistensi


sendiri yang lepas terpisah dari kendali empirical regularities. Tiap individual

event/case hanyalah manifestasi atau contoh dari adanya suatu empirical regularities.

Sejalan dengan penjelasan di atas, secara epistemologi, paradigma kuantitatif

berpandangan bahwa sumber ilmu itu terdiri dari dua, yaitu pemikiran rasional data

empiris. Karena itu, ukuran kebenaran terletak pada koherensi dan korespondensi.

Koheren besarti sesuai dengan teori-teori terdahulu, serta korespondens berarti sesuai

dengan kenyataan empiris. Kerangka pengembangan ilmu itu dimulai dari proses

perumusan hipotesis yang deduksi dari teori, kemudian diuji kebenarannya melalui

verifikasi untuk diproses lebih lanjut secara induktif menuju perumusan teori baru.

Jadi, secara epistemologis, pengembangan ilmu itu berputar mengikuti siklus; logico,

hypothetico, verifikatif.

Dalam metode kuantitatif, dianut suatu paradigma bahwa dalam setiap

event/peristiwa sosial mengandung elemen-elemen tertentu yang berbeda-beda dan

dapat berubah. Elemen-elemen dimaksud disebut dengan variabel. Variabel dari

setiap even/case, baik yang melekat padanya maupun yang

mempengaruhi/dipengaruhinya, cukup banyak, karena itu tidak mungkin menangkap

seluruh variabel itu secara keseluruhan. Atas dasar itu, dalam penelitian kuantitatif

ditekankan agar obyek penelitian diarahkan pada variabel-variabel tertentu saja yang

dinilai paling relevan. Jadi, di sini paradigma kuantitatif cenderung pada pendekatan

partikularistis.

Lebih khusus mengenai metode analisis dan prinsip pengambilan kesimpulan,

Julia Brannen, ketika menjelaskan paradigma kuantitatif dan kualitatif, mengungkap

paradigma penelitian kuantitaif dari dua aspek penting, yaitu: bahwa penelitian

kuantitatif menggunakan enumerative induction dan cenderung membuat generalisasi

(generalization)[12]. Penekanan analisis data dari pendekatan enumerative induction

adalah perhitungan secara kuantitatif, mulai dari frekuensi sampai analisa statistik.

Selanjutnya pada dasarnya generalisasi adalah pemberlakuan hasil temuan dari


sampel terhadap semua populasi, tetapi karena dalam paradigma kuantitatif terdapat

asumsi mengenai adanya “keserupaan” antara obyek-obyek tertentu, maka

generalisasi juga dapat didefinisikan sebagai universalisasi.

2. Paradigma Penelitian Kualitatif

Penelitian kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan

manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosial/budaya. Jenis penelitian ini

berlandaskan pada filsafat fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1928) dan

kemudian dikembangkan oleh Max Weber (1864-1920) ke dalam sosiologi. Sifat

humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia

sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Dalam pandangan Weber,

tingkah laku manusia yang tampak merupakan konsekwensi-konsekwensi dari

sejumlah pandangan atau doktrin yang hidup di kepala manusia pelakunya. Jadi, ada

sejumlah pengertian, batasan-batasan, atau kompleksitas makna yang hidup di kepala

manusia pelaku, yang membentuk tingkah laku yang terkspresi secara eksplisit.

Sementara itu Noeng Muhadjir (1994:12) mengemukakan beberapa nama yang

dipergunakan para ahli tentang metodologi penelitian kualitatif yaitu: grounded

research, ethnometodologi, paradigma naturalistik, interaksi simbolik, semiotik,

heuristik, hermeneutik, atau holistik. Perbedaan tersebut dimungkinkan karena

perbedaan titik tekan dalam melihat permasalahan serta latar brlakang disiplin

ilmunya, istilah grounded research lebih berkembang dilingkungan sosiologi dengan

tokohnya Strauss dan Glaser (untuk di Indonesia istilah ini

diperkenalkan/dipopulerkan oleh Stuart A. Schleigel dari Universitas California

yang pernah menjadi tenaga ahli pada Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial 

Banda Aceh pada tahun 1970-an),  ethnometodologi lebih berkembang di

lingkungan antropologi dan ditunjang  antara lain oleh Bogdan, interaksi simbolik

lebih berpengaruh di pantai barat Amerika Serikat dikembangkan oleh Blumer,


Paradigma naturalistik dikembangkan antara lain oleh Guba yang pada awalnya

memperoleh pendidikan dalam fisika, matematika dan penelitian kuantitatif.

Secara lebih rinci Patton (1990:88) mengemukakan penamaan macam-macam

penelitian kualitatif (Qualitative inquiry) berdasarkan tradisi teoritisnya yang

diuraikan dalam bentuk tabel sebagai berikut :

Tabel 2. Variety in qualitative Inquiry : Theoritical traditions

No Perspektif Akar Ilmu Pertanyaan Utama


1 Ethnography Anthropology Apa kebudayaan masyarakat ini?
Apa struktur dan esensi pengalaman atas
2 Phenomenology Philosophy
gejala-gejala ini bagi masyarakat tersebut?
Apa pengalaman saya mengenai gejala-gejala
ini dan apa pengalaman essensial bagi yang
3 Heuristics Psikologi Humanistik
lain yang juga mengalami gejala ini secara
intens?
Bagaimana orang memahami kegiatan sehari-
4 Ethnomethodology Sosiology hari mereka sehingga berprilaku dengan cara
yang dapat diterima secara sosial?
Apa simbul dan pemahaman umum yang telah
Symbolic
5 Psikologi sosial muncul dan memberikan makna bagi interaksi
interactionism
sosial masyarakat?
Bagaimana orang-orang mencapai tujuan
Echological
6 Psikologi lingkungan mereka melalui prilaku tertentu dalam
Psychology
lingkungan yang tertentu?              
Bagaimana dan kenapa sistem ini berfungsi
7 System theory Interdisipliner
secara keseluruhan?
Chaos theory: non Fisika teoritis: ilmu-ilmu Apa yang mendasari keteraturan gejala-gejala
8
-linier dynamics alam yang tak teratur jika ada?
Apa kondisi-kondisi yang melahirkan prilaku
9 Hermeneutics Teologi, filsafat, kritik sastra atau produk yang dihasilkan yang
memungkinkan penafsiran makna?
Orientaional, Bagimana perspektif ideologi seseorang
10 Ideologi, ekonomi politik
qualitative berujud dalam suatu gejala?

Dalam perkembangannya, belakangan ini nampaknya istilah penelitian kualitatif

telah menjadi istilah yang dominan dan baku, meskipun mengacu pada istilah yang

berbeda dengan pemberian karakteristik yang berbeda pula, namun bila dikaji lebih jauh

semua itu lebih bersifat saling melengkapi/memperluas dalam suatu bingkai metodologi

penelitian kualitatif.
Oleh karena itu dalam wacana metodologi  penelitian, umumnya  diakui terdapat

dua paradigma utama dalam metodologi penelitian yakni paradigma positivist (penelitian

kuantitatif) dan paradigma naturalistik (penelitian kualitatif), ada ahli yang

memposisikannya secara diametral, namun ada juga yang mencoba menggabungkannya

baik dalam makna integratif maupun bersifat komplementer, namun apapun kontroversi

yang terjadi kedua jenis penelitian tersebut memiliki perbedaan-perbedaan baik dalam

tataran filosofis/teoritis maupun   dalam tataran praktis pelaksanaan  penelitian, dan justru

dengan perbedaan tersebut akan nampak kelebihan dan kekurangan masing-masing,

sehingga seorang peneliti akan dapat lebih mudah memilih metode yang akan diterapkan

apakah metode kuantitatif atau metode kualitatif dengan memperhatikan obyek

penelitian/masalah yang akan diteliti serta mengacu pada tujuan penelitian yang telah

ditetapkan.                                     

Meskipun dalam tataran praktis perbedaan antara keduanya seperti nampak

sederhana dan hanya bersifat teknis, namun secara esensial keduanya mempunyai

landasan epistemologis/filosofis yang sangat berbeda. Penelitian kuantitatif merupakan

pendekatan penelitian yang mewakili paham positivisme, sementara itu penelitian

kualitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili paham naturalistik

(fenomenologis). Untuk lebih memahami landasan filosofis kedua paham tersebut, berikut

ini akan diuraiakan secara ringkas kedua aliran faham tersebut.

1. Positivisme

Positivisme merupakan aliran filsafat yang dinisbahkan/bersumber dari pemikiran

Auguste Comte seorang folosof yang lahir di Montpellier Perancis pada tahun 1798, ia

seorang yang sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid dan

teman-temannya antara lain dari folosof inggris John Stuart Mill (juga seorang akhli

ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857. meskipun demikian pemikiran-pemikirannya

cukup berpengaruh yang dituangkan dalam tulisan-tulisannya antara lain Cours de


Philosophie Positive (Kursus filsafat positif) dan Systeme de Politique Positive (Sistem

politik positif).

2. Fenomenologi

Edmund Husserl adalah filosof yang mengmbangkan metode Fenomenologi, dia

lahir di Prostejov Cekoslowakia dan mengajar di berbagai Universitas besar Eropa,

meninggal pada tahun 1938 di Freiburg. Hasil pemikirannya dapat diselamatkan dari

kaum Nazi, dengan membawa seluruh buku dan tulisannya ke Universitas Leuven Belgia,

sehingga kemudian dapat dikembangkan lebih lanjut oleh murid-muridnya. Diantara

tulisan-tulisan pentangnya adalah: Logische Untersuchungen (Penyelidikan-penyelidikan

Logis) dan Ideen zu einer reinen Phanomenologie und Phanomenologischen Philosophie

(gagasan-gagasan untuk suatu fenomenologi murni dan filsafat fenomenologi)

Dalam faham fenomenologi sebagaimana diungkapkan oleh Husserl, bahwa kita

harus kembali kepada benda-benda itu sendiri (zu den sachen selbst), obyek-obyek harus

diberikan kesempatan untuk berbicara melalui deskripsi fenomenologis guna mencari

hakekat gejala-gejala (Wessenchau). Husserl berpendapat bahwa kesadaran bukan bagian

dari kenyataan melainkan asal kenyataan, dia menolak bipolarisasi antara kesadaran dan

alam, antara subyek dan obyek, kesadaran tidak menemukan obyek-obyek, tapi obyek-

obyek diciptakan oleh kesadaran.

Kesadaran merupakan sesuatu yang bersifat intensionalitas (bertujuan), artinya

kesadaran tidak dapat dibayangkan tanpa sesuatu yang disadari. Supaya kesadaran timbul

perlu diandaikan tiga hal yaitu: ada subyek, ada obyek, dan subyek yang terbuka terhadap

obyek-obyek. Kesadaran tidak bersifat pasif karena menyadari sesuatu berarti mengubah

sesuatu, kesadaran merupakan suatu tindakan, terdapat interaksi antara tindakan

kesadaran dan obyek kesadaran, namun yang ada hanyalah kesadaran sedang obyek

kesadaran pada dasarnya diciptakan oleh kesadaran.

Berkaitan dengan hakekat obyek-obyek, Husserl berpandapat bahwa untuk

menangkap hakekat obyek-obyek diperlukan tiga macam reduksi guna menyingkirkan


semua hal yang mengganggu dalam mencapai wessenchauyaitu:  Reduksi pertama.

Menyingkirkan segala sesuatu yang subyektif, sikap kita harus obyektif, terbuka untuk

gejala-gejala yang harus diajak bicara. Reduksi kedua. Menyingkirkan seluruh

pengetahuan tentang obyek yang diperoleh dari sumber lain, dan semua teori dan

hipotesis yang sudah ada Reduksi ketiga. Menyingkirkan seluruh tradisi pengetahuan.

Segala sesuatu yang sudah dikatakan orang lain harus, untuk sementara, dilupakan, kalau

reduksi-reduksi ini berhasil, maka gejala-gejala akan memperlihatkan dirinya

sendiri/dapat menjadi fenomin

3. Perbandingan tataran Filosofis

Kedua aliran filsafat tersebut terus berkembang dengan dukungan pengikut-

pengikutnya, yang dalam wacana metodologi penelitian telah mendorong lahirnya

paradigma penelitian kuantitatif (positivisme) dan paradigma penelitian kualitatif

(fenomenologi). Kedua paradigma pendekatan penelitian tersebut nampak sekali

mempunyai asumsi/aksioma dasar filosofis dan paradigma berbeda yang

menurut Lincoln dan Guba perbedaan tersebut terletak dalam asumsi/aksioma tentang

kenyataan, hubungan pencari tahu dengan tahu (yang diketahui), generalisasi, kausalitas,

dan masalah nilai. untuk lebih rincinya dapat dilihat dalam tabel berikut.

Dalam pandangan positivisme dari sudut ontologi meyakini bahwa realitas

merupakan suatu yang tunggal dan dapat dipecah-pecah untuk dipelajari/dipahami secara

bebas, obyek yang diteliti bisa dieliminasikan dari obyek-obyek lainnya, sedangkan

dalam pandangan fenomenologi kenyataan itu merupakan suatu yang utuh, oleh karena

itu obyek harus dilihat dalam suatu konteks natural tidak dalam bentuk yang

terfragmentasi.

Dari sudut epistemologi, positivisme mensyaratkan adanya dualisme antara subyek

peneliti dengan obyek yang ditelitinya, pemilahan ini dimaksudkan agar dapat diperoleh

hasil yang obyektif, sementara itu dalam pandangan Fenomenologis subyek dan obyek

tidak dapat dipisahkan dan aktif bersama dalam memahami berbagai gejala. Dari sudut
aksiologi, positivisme mensyaratkan agar penelitian itu bebas nilai agar dicapai

obyektivitas konsep-konsep dan hukum-hukum sehingga tingkat keberlakuannya bebas

tempat dan waktu, sedangkan dalam pandangan fenomenologi penelitian itu terikat oleh

nilai sehinggan hasil suatu penelitian harus dilihat sesuai konteks.

Untuk lebih jelasnya berikut ini akan dikemukakan perbandingan antara paradigma

positivisme dan paradigma alamiah (fenomenologi) dengan mengacu pada pendapat

Lincoln dan Guba, sebagaimana terlihat dalam tabel berikut :

Tabel 3. Perbedaan Aksioma Paradigma Positivisme dan Alamiah

No. Aksioma Tentang Paradigma Positivisme Paradigma Naturalistik/Kualitatif


1 Hakikat kenyatan Kenyataan adalah tunggal, Kenyataan adalah ganda, dibentuk, dan
nyata dan fragmentaris me-rupakan   keutuhan
2 Hubungan pencari tahu Pencari tahu dengan yang tahu Pencari tahu dengan yang tahu aktif
dan yang tahu adalah bebas, jadi ada dualism bersama, jadi tidak dapat dipisahkan
3 Kemungkinan Generalisasi atas dasar bebas- Hanya waktu dan konteks yang mengikat
Generalisasi waktu dan bebas-konteks hipotesis kerja (pernyataan idiografis) yang
(pernyataan nomotetik) dimungkinkan

4 Kemungkinan hubungan Terdapat penyebab Setiap keutuhan berada dalam keadaan


sebab akibat sebenarnya yang secara mempe-ngaruhi secara bersama-sama
temporer terhadap, atau secara sehingga sukar mem-bedakan mana sebab
simultan terhadap akibatnya dan mana akibat

5 Peranan nilai Inkuirinya bebas nilai Inkuirinya terikat nilai


(Sumber : Lexy J. Moleong : 2000 : 31)

4. Perbandingan tataran Metodologis

Memahami landasan filosofis penelitian kualitatif dalam perbandingannya dengan

penelitian kuantitatif merupakan hal yang penting sebagai dasar bagi pemahaman yang

tepat terhadap penelitian kualitatif, namun demikian bagi seorang peneliti penguasaan

dalam tingkatan operasional lebih diperlukan lagi agar dalam pelaksanaan penelitian tidak

terjadi kerancuan metodologis, dan penelitian benar-benar dilaksanakan dalam suatu

bingkai pendekatan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam tataran metodologis perbedaan landasan filosofis terrefleksikan dalam

perbedaan metode penelitian, dimana positivisme dimanifestasikan dalam metode

penelitian kuantitatif sedangkan fenomenologi dimanifestasikan dalam metode penelitian


kualitatif. Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara diametral, meskipun

belakangan ini terdapat upaya untuk menggabungkannya baik dalam bentuk paralelisasi

maupun kombinasi, adapun perbedaan antara metode kuantitatif dengan kualitatif adalah

sebagai berikut :

Tabel 4. Perbedaan Metode Kuantitatif dengan Kualitatif

No. Metode Kuantitatif Metode Kualitatif


Menggunakan hipotesis yang ditentukan sejak awal Hipotesis dikembangkan sejalan dengan
1
penelitian penelitian/saat penelitian
Definisi sesuai konteks atau saat penelitian
2 Definisi yang jelas dinyatakan sejak awal
berlangsung
Deskripsi naratif/kata-kata, ungkapan atau
3 Reduksi data menjadi angka-angka
pernyataan
Lebih memperhatikan reliabilitas skor yang Lebih suka menganggap cukup dengan
4
diperoleh melalui instrumen penelitian reliabilitas penyimpulan
Penilaian validitas menggunakan berbagai prosedur Penilaian validitas melalui pengecekan silang
5
dengan mengandalkan hitungan statistik atas sumber informasi
6 Mengunakan deskripsi prosedur yang jelas (terinci) Menggunakan deskripsi prosedur secara naratif
7 sampling random Sampling purposive
Menggunakan analisis logis dalam mengontrol
8 Desain/kontrol statistik atas variabel eksternal
variabel eksternal
Menggunakan desain khusus untuk mengontrol
9 Mengandalkan peneliti dalam mengontrol bias
bias prosedur
10 Menyimpulkan hasil menggunakan statistik Menyimpulkan hasil secara naratif/kata-kata
Memecah gejala-gejala menjadi bagian-bagian Gejala-gejala yang terjadi dilihat dalam
11
untuk dianalisis perspektif keseluruhan
Memanipulasi aspek, situasi atau kondisi dalam Tidak merusak gejala-gejala yang terjadi secara
12
mempelajari gejala yang kompleks alamiah /membiarkan keadaan aslinya 
(diadaptasi dari Jack R. Fraenkel & Norman E. Wallen. 1993: 380)

Terdapat sejumlah aliran filsafat yang mendasari penelitian kualitatif, seperti

Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, dan Etnometodologi. Harus diakui bahwa

aliran-aliran tersebut memiliki perbedaan-perbedaan, namun demikian ada satu benang

merah yang mempertemukan mereka, yaitu pandangan yang sama tentang hakikat

manusia sebagai subyek yang mempunyai kebebasan menentukan pilihan atas dasar

sistem makna yang membudaya dalam diri masing-masing pelaku.

Bertolak dari proposisi di atas, secara ontologis, paradigma kualitatif berpandangan

bahwa fenomena sosial, budaya dan tingkah laku manusia tidak cukup dengan merekam
hal-hal yang tampak secara nyata, melainkan juga harus mencermati secara keseluruhan

dalam totalitas konteksnya. Sebab tingkah laku (sebagai fakta) tidak dapat dilepaskan

atau dipisahkan begitu saja dari setiap konteks yang melatarbelakanginya, serta tidak

dapat disederhanakan ke dalam hukum-hukum tunggal yang deterministik dan bebas

konteks.

Dalam Interaksionisme simbolis, sebagai salah satu rujukan penelitian kualitatif,

lebih dipertegas lagi tentang batasan tingkah laku manusia sebagai obyek studi. Di sini

ditekankankan perspektif pandangan sosio-psikologis, yang sasaran utamanya adalah

pada individu ‘dengan kepribadian diri pribadi’ dan pada interaksi antara pendapat intern

dan emosi seseorang dengan tingkah laku sosialnya.

Paradigma kualitatif meyakini bahwa di dalam masyarakat terdapat keteraturan.

Keteraturan itu terbentuk secara natural, karena itu tugas peneliti adalah menemukan

keteraturan itu, bukan menciptakan atau membuat sendiri batasan-batasannya berdasarkan

teori yang ada. Atas dasar itu, pada hakikatnya penelitian kualitatif adalah satu kegiatan

sistematis untuk menemukan teori dari kancah – bukan untuk menguji teori atau

hipotesis. Karenanya, secara epistemologis, paradigma kualitatif tetap mengakui fakta

empiris sebagai sumber pengetahuan tetapi tidak menggunakan teori yang ada sebagai

bahan dasar untuk melakukan verifikasi.

Dalam penelitian kualitatif, ‘proses’ penelitian merupakan sesuatu yang lebih

penting dibanding dengan ‘hasil’ yang diperoleh. Karena itu peneliti sebagai instrumen

pengumpul data merupakan satu prinsip utama. Hanya dengan keterlibatan peneliti alam

proses pengumpulan datalah hasil penelitian dapat dipertanggungjawakan.

Khusus dalam proses analisis dan pengambilan kesimpulan, paradigma kualitatif

menggunakan induksi analitis (analytic induction) dan ekstrapolasi (extrpolation).

Induksi analitis adalah satu pendekatan pengolahan data ke dalam konsep-konsep dan

kateori-kategori (bukan frekuensi). Jadi simbol-simbol yang digunakan tidak dalam

bentuk numerik, melainkan dalam bentuk deskripsi, yang ditempuh dengan cara merubah
data ke formulasi. Sedangkan ekstrapolasi adalah suatu cara pengambilan kesimpulan

yang dilakukan simultan pada saat proses induksi analitis dan dilakukan secara bertahap

dari satu kasus ke kasus lainnya, kemudian –dari proses analisis itu--dirumuskan suatu

pernyataan teoritis.

C. Perbedaan Paradigma Kuantitatif-Kualitatif

Bertolak dari perbedaan-perbedaan disebut di atas, dapat dicatat berbagai

perbedaan paradigma yang cukup signifikan antara penelitian kuantitatif dengan

kualitatif. Seperti dikemukakan sebelumnya, penelitian kuantitatif memiliki perbedaan

paradigmatik dengan penelitian kualitatif. Secara garis besar, perbedaan dimaksud

mencakup beberapa hal:

Kuantitatif

1. Positivistik

2. Deduktif-Hipotetis

3. Partikularistik

4. Obyektif

5. Berorientasi kepada hasil

6. Menggunakan pandangan ilmu pengetahuan alam

Kualitatif

1. Fenomenologik

2. Induktif

3. Holistik

4. Subyektif

5. Berorientasi kepada proses

6. Menggunakan pandangan ilmu sosial/antropological


Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai

berikut:

Paradigma Kuantitatif

1. Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data,

termasuk dalam penarikan sampel.

2. Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir

yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan

mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.

3. Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga dalam

pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive) dan

berusaha mengendalikan stuasi (controlled).

4. Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap

berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.

5. Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan kesimpulan umum

(generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.

6. Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih

dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).

7. Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan biasanya

cenderung mengambil data konkrit (hard fact).

8. Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada

pembuatan generalisasi.

9. Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-variabel tertentu

saja. Jadi tidak bersifat holistik.


Paradigma Kualitatif

1. Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun dalam

proses analisisnya.

2. Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala

(fenomenologis).

3. Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa

pengaturan yang ketat).

4. Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan

berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.

5. Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan

menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau

hipotesis.

6. Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen

utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus

terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.

7. Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja

mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.

8. Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga

tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.

9. Fokus penelitian bersifat holistik, meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi

pada variabel tertentu).


BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam penelitian ilmiah khususnya penelitian kualitatif dan kuantitatif,

metode ilmiah yakni langkah-langkah  penelitian dalam pengolahan data termasuk

dalam komponen penting. Tanpa suatu metode, penelitian ilmiah tidak dapat

terlaksana dengan baik. Namun, metode ilmiah tersebut harus dimaknai agar tidak

hanya merupakan kumpulan langkah-langkah yang tanpa arti. Untuk

memaknainya diperlukan proses penelitian. Disinilah letak tahap kritis dalam

penelitian kualitatif dan kuantitatif.

Penjelasan mengenai hakikat penelitian, metode ilmiah, dan paradigma

penelitian kuantitatif dan kualitatif adalah untuk merumuskan dan menyimpulkan

intisari landasan toeritis tentang penelitian kualitatif dan kuantitatif.  Sebagai

pengantar penjelasan bentuk formula teori mana yang lebih baik untuk keperluan

pelaporan hasil penelitian.


DAFTAR PUSTAKA

Agus Salim (ed.), Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta, Tiara Wacana,
2001.
Forester, J. (1983) Critical theory and organizational analysis. In G. Morgan (Ed.),
Beyond method; Strategies for social research (pp. 234-246). Beverly Hills, CA:
Sage.
Gioia, Dennis A. and Evelyn Pitre. (1990). Multiparadigm perspectives on theory
building. Academy of Management Review 15 (4): 584-602.
Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, cet. 13, bandung, PT. Remaja
Rosdakarya, 2000
Lincoln, Yvonna S. & Guba, Egon G. (1985). Naturalistic Inquiry. California, Beverly
Hills: Sage Publications
Jick, T. D. (1979) Mixing qualitative and quantitative methods. Administrative Science
Quarterly, 24, 602-611.
Kerlinger, Fred N. (1986). Fundamentals of behavioral research. San Fransisco: Holt,
Rinehart, and Winston, Inc.
Kirk, J. & Miller, M.I. (1986). Reability and Validity in Qualitative Research, Vol.1,
Beverly Hills: Sage Publication
Morgan, G., & Smircich, L. (1980) The case for qualitative research. Academy of
Management Review, 5, 491-500.
Neuman, Lawrence W. (2003). Social Reseatch Methods: Qualitive and Quantitative
Approanhes. Boston: Allyn & Bacon.
Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi IV, Jogjakarta, Penerbit Rake
Sarasin, 2000.
Patton, M. Q. (1990). Qualitative Evaluation and Research Methods (2nd ed.). Newbury
Park, CA: Sage.

Anda mungkin juga menyukai