Anda di halaman 1dari 7

B. Siapakah Tuhan itu?

Perkataan ilah, yang selalu diterjemahkan “Tuhan”, dalam al-Qur’an dipakai untuk
menyatakan berbagai objek yang dibesarkan atau dipentingkan manusia, misalnya dalam
surat  al-Furqan ayat 43.

Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?

Dalam surat al-Qashash ayat 38, perkataan ilah dipakai oleh Fir’aun untuk dirinya
sendiri:

Terjemah Arti: Dan berkata Fir'aun: "Hai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan
bagimu selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah
untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan
sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk orang-orang pendusta".

Contoh ayat-ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa perkataan ilah bisa mengandung arti
berbagai benda, baik abstrak (nafsu atau keinginan pribadi maupun benda nyata (Fir’aun
atau penguasa yang dipatuhi dan dipuja). Perkataan ilah dalam al-Qur’an juga dipakai dalam
bentuk tunggal (mufrad: ilaahun), ganda (mutsanna: ilaahaini), dan banyak (jama’:
aalihatun). Bertuhan nol atau atheisme tidak mungkin. Untuk dapat mengerti tentang definisi
Tuhan atau Ilah yang tepat, berdasarkan logika al-Qur’an adalah sebagai berikut:

Tuhan (ilah) ialah sesuatu yang dipentingkan (dianggap penting) oleh manusia
sedemikian rupa, sehingga manusia merelakan dirinya dikuasai olehnya.

Perkataan dipentingkan hendaklah diartikan secara luas. Tercakup di dalamnya yang


dipuja, dicintai, diagungkan, diharap-harapkan dapat memberikan kemaslahatan atau
kegembiraan, dan termasuk pula sesuatu yang ditakuti akan mendatangkan bahaya atau
kerugian.

Ibnu Taimiyah memberikan definisi al-ilah sebagai berikut:

Al-ilah ialah: yang dipuja dengan penuh kecintaan hati, tunduk kepadanya, merendahkan
diri di hadapannya, takut, dan mengharapkannya, kepadanya tempat berpasrah ketika
berada dalam kesulitan, berdo’a, dan bertawakkal kepadanya untuk kemaslahatan diri,
meminta perlindungan dari padanya, dan menimbulkan ketenangan di saat mengingatnya
dan terpaut cinta kepadanya. (M. Imaduddin, 1989: 56).
Berdasarkan definisi tersebut di atas dapat dipahami, bahwa Tuhan itu bisa berbentuk
apa saja, yang dipentingkan oleh manusia. Yang pasti ialah manusia tidak mungkin atheis,
tidak mungkin tidak ber-Tuhan. Berdasarkan logika al-Qur’an setiap manusia pasti
mempunyai sesuatu yang dipertuhankannya. Dengan demikian, orang-orang komunis pada
hakikatnya ber-Tuhan juga. Adapun Tuhan mereka ialah ideologi atau angan-angan (utopia)
mereka.

Dalam ajaran Islam diajarkan kalimat “Laa illaha illaa Allah”. Susunan kalimat tersebut
dimulai dengan peniadaan, yaitu “tidak ada Tuhan”, kemudian baru diikuti dengan suatu
penegasan “melainkan Allah”. Hal itu berarti bahwa seorang muslim harus membersihkan
dari segala macam Tuhan terlebih dahulu, yang ada dalam hatinya hanya satu Tuhan yang
bernama Allah.

C. Sejarah Pemikiran Manusia tentang Tuhan

1.    Pemikiran Barat

Yang dimaksud konsep Ketuhanan menurut pemikiran manusia adalah konsep yang
didasarkan atas hasil pemikiran baik melalui pengalaman lahiriah maupun batiniah, baik
yang bersifat penelitian rasional maupun pengalaman batin. Dalam literatur sejarah agama,
dikenal teori evolusionisme, yaitu teori yang menyatakan adanya proses dari kepercayaan
yang amat sederhana, lama kelamaan meningkat menjadi sempurna. Teori tersebut mula-
mula dikemukakan oleh Max Muller, kemudian dikemukakan oleh EB Taylor, Robertson
Smith, Lubbock, dan Jevens. Proses perkembangan pemikiran tentang Tuhan menurut teori
evolusionisme adalah sebagai berikut:

a.     Dinamisme

             Menurut paham ini, manusia sejak zaman primitif telah mengakui adanya kekuatan
yang berpengaruh dalam kehidupan. Mula-mula sesuatu yang berpengaruh tersebut
ditujukan pada benda. Setiap benda mempunyai pengaruh pada manusia, ada yang
berpengaruh positif dan ada pula yang berpengaruh negatif. Kekuatan yang ada pada
benda disebut dengan nama yang berbeda-beda, seperti mana (Melanesia), tuah (Melayu),
dan syakti (India). Mana adalah kekuatan gaib yang tidak dapat dilihat atau diindera dengan
pancaindera. Oleh karena itu dianggap sebagai sesuatu yang misterius. Meskipun mana
tidak dapat diindera, tetapi ia dapat dirasakan pengaruhnya.

b.    Animisme

Di samping kepercayaan dinamisme, masyarakat primitif juga mempercayai adanya


peran roh dalam  hidupnya. Setiap benda yang dianggap benda baik, mempunyai roh. Oleh
masyarakat primitif, roh dipercayai sebagai sesuatu yang aktif sekalipun bendanya telah
mati. Oleh karena itu, roh dianggap sebagai sesuatu yang selalu hidup, mempunyai rasa
senang, rasa tidak senang, serta mempunyai kebutuhan-kebutuhan. Roh akan senang
apabila kebutuhannya dipenuhi. Menurut kepercayaan ini, agar manusia tidak terkena efek
negatif dari roh-roh tersebut, manusia harus menyediakan kebutuhan roh. Saji-sajian yang
sesuai dengan advis dukun adalah salah satu usaha untuk memenuhi kebutuhan roh.

                c.    Politeisme

Kepercayaan dinamisme dan animisme lama-lama tidak memberikan kepuasan, karena


terlalu banyak yang menjadi sanjungan dan pujaan. Roh yang lebih dari yang lain kemudian
disebut dewa. Dewa mempunyai tugas dan kekuasaan tertentu sesuai dengan bidangnya.
Ada Dewa yang bertanggung jawab terhadap cahaya, ada yang membidangi masalah air,
ada yang membidangi angin dan lain sebagainya.

d.    Henoteisme

       Politeisme tidak memberikan kepuasan terutama terhadap kaum cendekiawan. Oleh
karena itu dari dewa-dewa yang diakui diadakan seleksi, karena tidak mungkin mempunyai
kekuatan yang sama. Lama-kelamaan kepercayaan manusia meningkat menjadi lebih
definitif (tertentu). Satu bangsa hanya mengakui satu dewa yang disebut dengan Tuhan,
namun manusia masih mengakui Tuhan (Ilah) bangsa lain. kepercayaan satu Tuhan untuk
satu bangsa disebut dengan henoteisme (Tuhan tingkat Nasional).

               e.    Monoteisme

       Kepercayaan dalam bentuk henoteisme melangkah menjadi monoteisme. Dalam


monoteisme hanya mengakui satu Tuhan untuk seluruh bangsa dan bersifat internasional.
Bentuk monoteisme ditinjau dari filsafat Ketuhanan terbagi dalam tiga paham yaitu: deisme,
panteisme, dan teisme.

Evolusionisme dalam kepercayaan terhadap Tuhan sebagaimana dinyatakan oleh Max


Muller dan EB. Taylor (1877), ditentang oleh Andrew Lang (1898) yang menekankan adanya
monoteisme dalam masyarakat primitif. Dia mengemukakan bahwa orang-orang yang
berbudaya rendah juga sama monoteismenya dengan orang-orang Kristen. Mereka
mempunyai kepercayaan pada wujud yang Agung dan sifat-sifat yang khas terhadap Tuhan
mereka, yang tidak mereka berikan kepada wujud yang lain.

       Dengan lahirnya pendapat Andrew Lang, maka berangsur-angsur golongan


evolusionisme menjadi reda dan sebaliknya sarjana-sarjana agama terutama di Eropa Barat
mulai menantang evolusionisme dan memperkenalkan teori baru untuk memahami sejarah
agama. Mereka menyatakan bahwa ide tentang Tuhan tidak datang secara evolusi, tetapi
dengan relevansi atau wahyu. Kesimpulan tersebut diambil berdasarkan pada penyelidikan
bermacam-macam kepercayaan yang dimiliki oleh kebanyakan masyarakat primitif. Dalam
penyelidikan didapatkan bukti-bukti bahwa asal-usul kepercayaan masyarakat primitif adalah
monoteisme dan monoteisme adalah berasal dari ajaran wahyu Tuhan. (Zaglul Yusuf, 1993:
26-37).

2.    Pemikiran Umat Islam

      Dikalangan umat Islam terdapat polemik dalam masalah ketuhanan. Satu kelompok
berpegang teguh dengan Jabariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa Tuhan
mempunyai kekuatan mutlah yang menjadi penentu segalanya. Di lain pihak ada yang
berpegang pada doktrin Qodariah, yaitu faham yang mengatakan bahwa manusialah yang
menentukan nasibnya. Polemik dalam masalah ketuhanan di kalangan umat Islam pernah
menimbulkan suatu dis-integrasi (perpecahan) umat Islam, yang cukup menyedihkan.
Peristiwa al-mihnah yaitu pembantaian terhadap para tokoh Jabariah oleh penguasa
Qadariah pada zaman khalifah al-Makmun (Dinasti Abbasiah). Munculnya faham Jabariah
dan Qadariah berkaitan erat dengan masalah politik umat Islam setelah Rasulullah
Muhammad meninggal. Sebagai kepala pemerintahaan, Abu Bakar Siddiq secara aklamasi
formal diangkat sebagai pelanjut Rasulullah. Berikutnya digantikan oleh Umar Ibnu Al-
Khattab, Usman dan Ali.
Embrio ketegangan politik  sebenarnya sudah ada sejak khalifah Abu Bakar, yaitu
persaingan segitiga antara sekompok orang Anshar (pribumi Madinah), sekelompok orang
Muhajirin yang fanatik dengan garis keturunan Abdul Muthalib (fanatisme Ali), dan kelompok
mayoritas yang mendukung kepemimpinan Abu Bakar. Pada periode kepemimpinan Abu
Bakar dan Umar gejolak politik tidak muncul, karena sikap khalifah yang tegas, sehingga
kelompok oposisi tidak diberikan kesempatan melakukan gerakannya.

Ketika khalifah dipegang oleh Usman Ibn Affan (khalifa ke 3), ketegangan politik menjadi
terbuka. Sistem nepotisme yang diterapkan oleh penguasa (wazir) pada masa khalifah
Usman menjadi penyebab adanya reaksi negatif dari kalangan warga Abdul Muthalib.
Akibatnya terjadi ketegangan,yang menyebabkan Usman sebagai khalifah terbunuh.
Ketegangan semakin bergejolak pada khalifah berikutnya, yaitu Ali Ibn Abi Thalib.  Dendam
yang dikumandangkan dalam bentuk slogan bahwa darah harus dibalas dengan  darah,
menjadi motto bagi kalangan oposisi di bawah kepemimpinan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Pertempuran antara dua kubu tidak terhindarkan. Untuk menghindari perpecahan, antara
dua kubu yang berselisih mengadakan perjanjian damai. Nampaknya bagi kelompok
Muawiyah, perjanjian damai hanyalah merupakan strategi untuk memenangkan
pertempuran. Amru bin Ash sebagai diplomat Muawiyah mengungkapkan penilaian sepihak.
Pihak Ali yang paling bersalah, sementara pihaknya tidak bersalah. Akibat perjanjian itu
pihak Ali (sebagai penguasa resmi) tersudut. Setelah dirasakan oleh pihak Ali bahwa
perjanjian itu merugikan pihaknya, di kalangan pendukung Ali terbelah menjadi dua
kelompok, yaitu : kelompok yang tetap setia kepada Ali, dan kelompok yang menyatakan
keluar, namun tidak mau bergabung dengan Muawiyah. Kelompok pertama disebut dengan
kelompok SYIAH, dan kelompok kedua disebut dengan KHAWARIJ. Dengan demikian umat
Islam terpecah menjadi tiga kelompok politik, yaitu: 1) Kelompok Muawiyah (Sunni), 2)
Kelompok Syi’ah, dan 3) Kelompok Khawarij.

Untuk memenangkan kelompok dalam menghadapi oposisinya, mereka tidak segan-segan


menggunakan konsep asasi. Kelompok yang satu sampai mengkafirkan kelompok lainnya.
Menurut Khawarij  semua pihak yang terlibat perjanjian damai baik pihak Muawiyah maupun
pihak Ali dinyatakan kafir. Pihak Muawiyah dikatakan kafir karena menentang pemerintah,
sedangkan pihak Ali dikatakan kafir karena tidak bersikap tegas terhadap para
pemberontak, berarti tidak menetapkan hukum berdasarkan ketentuan Allah. Mereka
mengkafirkan Ali dan para pendukungknya, berdasarkan Al-Quran Surat Al-Maidah (5) : 44

َ ‫َو َمنْ لَ ْم َيحْ ُك ْم ِب َما أَ ْن َز َل هَّللا ُ َفأُولَئ‬


َ ‫ِك ُه ُم ْال َكا ِفر‬
‫ُون‬

Siapa yang tidak menegakkan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah (Al-Quran),
maka mereka dalah orang-orang kafir.

Munculnya doktrin saling mengkafirkan antara satu kelompok dengan kelompok lain
membuat pertanyaan besar bagi kalangan cendikiawan. Pada suatu mimbar akademik
(pengajian) muncul pertanyaan dari peserta pengajian kepada gurunya yaitu Hasan Al-
Bashry. Pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan adanya perbedaan pendapat tentang
orang  yang berbuat dosa besar. Sebagian pendapat mengatakan bahwa mereka itu adalah
mukmin, sedangkan pendapat lain mengatakan kafir. Para pelaku politik yang terlibat tahkim
perjanjian antara pihak Ali dan pihak Muawiyah, mereka dinilai sebagai pelaku dosa besar.
Alasan yang mengatakan mereka itu mukmin beralasan bahwa iman itu letaknya di hati,
sedangkan orang lain tidak ada yang mengetahui hati seseorang kecuali Allah. Sedangkan
pendapat lainnya mengatakan bahwa iman itu bukan hanya di hati melainkan berwujud
dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Berarti orang yang melakukan dosa besar dia adalah
bukan mukmin. Kalau mereka bukan mukmin berarti mereka kafir.

Sebelum guru besarnya memberikan jawaban terhadap pertanyaan yang dimajukan tentang
dosa besar tersebut, seorang peserta pengajian yang bernama Wasil ibnu Atha mengajukan
jawaban, bahwa pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir melainkan diantara
keduanya. Hasan Al-Bashry sebagai pembina pengajian tersebut memeberikan komentar,
terhadap jawaban Wasil. Komentarnya bahwa pelaku dosa besar termasuk yang terlibat
dalam perjanjian damai termasuk kelompok fasik. Wasil membantah komentar gurunya itu,
karena orang yang fasik lebih hina dimata Allah ketimbang orang yang kafir. Akibat polemik
tersebut Wasil bersama beberapa orang  yang sependapat dengannya memisahkan diri dari
kelompok pengajian Hasal Al-Bashry. Peserta pengajian yang tetap bergabung bersama
Hasan Al-Bashry mengatakan, “I’tazala Wasil ‘anna.” (Wasil telah memisahkan diri dari
kelompok kita.) Dari kata-kata inilah Wasil dan pendukungnya disebut kelompok
MUKTAZILAH. (Lebih jelasnya lihat Harun Nasution dalam Teologi Islam).

Kelompok Muktazilah mengajukan konsep-konsep yang bertentangan dengan konsep yang


diajukan golongan Murjiah (aliran teologi yang diakui oleh penguasa politik pada waktu itu,
yaitu Sunni. Berarti Muktazilah sebagai kelompok penentang arus). Doktrin Muktazilah
terkenal dengan lima azas (ushul al-khamsah) yaitu:

1. meniadakan (menafikan) sifat-sifat Tuhan dan menetapkan zat-Nya


2. Janji dan ancaman Tuhan (al-wa’ad dan al-wa’id)
3. Keadilan Tuhan (al-‘adalah)
4. Al-Manzilah baina al-manzilatain (posisi diatara dua posisi)
5. Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar.

Dari lima azas tersebut – menurut Muktazilah – Tuhan terikat dengan kewajiban-kewajiban.
Tuhan wajib memenuhi janjinya. Ia berkewajiban memasukkan orang yang baik ke surga
dan wajib memasukkan orang yang jahat ke neraka, dan kewajiban-kewajiban lain.
Pandangan-pandangan kelompok ini menempatkan akal manusia dalam posisi yang kuat.
Sebab itu kelompok ini dimasukkan ke dalam kelompok teologi rasional dengan sebutan
Qadariah.

Sebaliknya, aliran teologi tradisional (Jabariah) berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat
(sifat 20, sifat 13, dan maha sifat). Ia maha kuasa, memiliki kehendak mutlak. Kehendak
Tuhan tidak terikat dengan apapun. Karena itu ia mungkin saja menempatkan orang yang
baik ke dalam neraka dan sebaliknya mungkin pula ia menempatkan orang jahat ke dalam
surga, kalau Ia menghendaki. Dari faham Jabariah inilah ilmu-ilmu kebatinan berkembang di
sebagaian umat Islam.

3. Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi
penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang
mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran konotasinya
ada dua kemungkinan, yaitu  Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi
ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula
berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165,
sebagai berikut:

ِ ‫ُون هَّللا ِ أَ ْندَ ا ًدا ُي ِحبُّو َن ُه ْم َكحُبِّ هَّللا‬


ِ ‫اس َمنْ َي َّتخ ُِذ مِنْ د‬
ِ ‫َوم َِن ال َّن‬

 Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap
Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid
(monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Hal ini diketahui dari ungkapan-ungkapan yang
mereka cetuskan, baik dalam do’a maupun acara-acara ritual. Abu Thalib, ketika
memberikan khutbah nikah Nabi Muhammad dengan Khadijah (sekitar 15 tahun sebelum
turunya Al-Quran) ia mengungkapkan kata-kata Alhamdulillah. (Lihat Al-Wasith,hal 29).
Adanya nama Abdullah (hamba Allah) telah lazim dipakai di kalangan masyarakat Arab
sebelum turunnya Al-Quran. Keyakinan akan adanya Allah, kemaha besaran Allah,
kekuasaan Allah dan lain-lain, telah mantap. Dari kenyataan tersebut timbul pertanyaan
apakah konsep ketuhanan yang dibawakan Nabi Muhammad? Pertanyaan ini muncul
karena Nabi Muhammad dalam mendakwahkan konsep ilahiyah mendapat tantangan keras
dari kalangan masyarakat. Jika konsep ketuhanan yang dibawa Muhammad sama dengan
konsep ketuhanan yang mereka yakini tentu tidak demikian kejadiannya.

Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-
Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

َ ‫ْس َو ْال َق َم َر َل َيقُولُنَّ هَّللا ُ َفأ َ َّنى ي ُْؤ َف ُك‬


‫ون‬ َ ْ‫ت َواأْل َر‬
rَ ‫ض َو َس َّخ َر ال َّشم‬ ِ ‫َولَئِنْ َسأ َ ْل َت ُه ْم َمنْ َخلَقَ ال َّس َم َوا‬

Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan
menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Dengan demikian seseorang yang mempercayai adanya Allah, belum tentu berarti orang itu
beriman dan bertaqwa kepada-Nya. Seseorang baru laik dinyatakan bertuhan kepada Allah
jika ia telah memenuhi segala yang dimaui oleh Allah. Atas dasar itu inti konsep ketuhanan
Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam
kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur
alam semesta.

Pernyataan lugas dan sederhana cermin manusia bertuhan Allah sebagaimana dinyatakan
dalam surat Al-Ikhlas. Kalimat syahadat adalah pernyataan lain sebagai jawaban atas
perintah yang dijaukan pada surat Al-Ikhlas tersebut. Ringkasnya jika Allah yang harus
terbayang dalam kesadaran manusia yang bertuhan Allah adalah disamping Allah sebagai
Zat, juga Al-Quran sebagai ajaran serta Rasullullah sebagai Uswah hasanah.
Kepustakaan

1.     Abdurrahim, Muhammad, Imaduddin, Kuliah Tauhid, (Jakarta: Yayasan Sari Insan,
1989), h. 16-21, 54-56.

2.   Al-Ghazali, Muhammad Selalu Melibatkan Allah, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu
Semesta, 2001), h. 28-39.

3.     Jusuf, Zaghlul, Dr, SH., Studi Islam, (Jakarta: Ikhwan, 1993), h. 26-37.

4.     Kadir, Muhammad Mahmud Abdul, Dr. Biologi Iman, (Jakarta: al-Hidayah, 1981), h.
9-11.

5.    Khan, Waheduddin, Islam Menjawab Tantangan Zaman, (Bandung: Penerbit


Pustaka, 1983), h. 39-101.

6.     Suryana, Toto, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Tiga Mutiara, 1996), h. 67-77.

7.        Daradjat, Zakiah, Dasar-dasar Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), h.
55-152.

Anda mungkin juga menyukai