Anda di halaman 1dari 3

Nurmadiah 171011201050

Pertemuan 6
Soal Latihan

1) Coba buatkan Perencanaan Pajak Pasal 22 yang sederhana?


2) Didalam PPh Pasal 22 Bendaharawan Pemerintah, ada pengecualian, coba jelaskan?
3) Coba Jelaskan bagaimana memperoleh Surat Keterangan Bebas (SKB)?

Jawaban
1) PT. XYZ mengimpor barang dari Kanada dengan harga faktur senilai US$500.000.
Barang yang diimpor adalah jenis barang yang tidak termasuk dalam barang-barang
tertentu yang ditentukan dalam PMK No. 16/PMK.010/2016. Biaya asuransi yang
dibayar di luar negeri sebesar 3% dari harga faktur dan biaya angkut sebesar 5% dari
harga faktur.

Bea Masuk (BM) sebesar 10% dan Bea Masuk Tambahan sebesar 6%. Kurs pajak saat itu
sebesar Rp14.550 per dolar Amerika Serikat. Maka, perhitungan PPh Pasal 22 yang
dipungut Ditjen Bea Cukai adalah:

No Diketahui Perhitungan Nilai


A Harga Faktur (Cost) US$500.000
B Biaya Asuransi (Insurance) (3% x US$500.000) US$15.000
C Biaya Angkut (Freight) (5% x US$500.000) US$25.000
CIF(Cost, Insurance, Freight) (a + b + c) US$540.000
D CIF (dalam rupiah) (US$ 540.000 X Rp 14.550) Rp7.857.000.000
E Bea Masuk (10% x Rp 7.857.000.000) Rp785.700.000
F Bea Masuk Tambahan (6% x Rp 7.857.000.000) Rp471.420.000
Nilai Impor (d + e + f) Rp9.114.120.000

Perhitungan PPh Pasal 22 jika memiliki API


Jika PT.XYZ memiliki angka pengenal impor, maka hitungan PPh Pasal 22 dari impor
barang tersebut sebagai berikut:

= (Tarif PPh Pasal 22 memiliki API x Nilai Impor)


= 2,5% x Rp9.114.120.000
= Rp227.853.000

Perhitungan PPh Pasal 22 jika tidak memiliki API


Ketika PT XYZ tidak memiliki angka pengenal impor, hitungan PPh Pasal 22 dari impor
barang tersebut adalah:
= (Tarif PPh Pasal 22 tidak punya API x Nilai Impor)
= 7,5% x 9.114.120.000
= Rp683.559.000

Jadi jika ingin menghemat PT. XYZ sebaiknya memiliki atau menggunakan API.

2) Dikecualikan dari Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22


1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan;
2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai;
3. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor
kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang telah
diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi
syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;
4. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:
• Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah
• Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank
BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;
• Pembayaran untuk: Pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,
benda-benda pos dan Pemakaian air dan listrik.
5. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas
untuk tujuan ekspor
6. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan
Operasional Sekolah (BOS).

Pengecualian dari pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang impor


sebagaimana dimaksud pada point 2 di atas, tetap berlaku dalam hal barang impor
tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen).

Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan 5 dinyatakan dengan Surat


Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal
Pajak. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 3, 4, dan 6 di atas dilakukan tanpa
Surat Keterangan Bebas (SKB).
3) Fasilitas ini diberikan kepada perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur dan
memiliki kode Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) penerima fasilitas.Fasilitas ini juga
bisa dinikmati perusahaan penerima fasilitas Kemudahan Impor untuk Tujuan Ekspor
(KITE). Tata cara untuk memperoleh fasilitas tersebut diperjelas melalui Surat Edaran
(SE) Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor SE-19/PJ/2020.
Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan PPh Pasal 22 impor, Wajib Pajak harus
mengajukan permohonan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPh Pasal 22 impor (dengan
melampirkan nomor KLU) kepada DJP secara daring melalui pajak.go.id. Sementara itu,
bagi perusahaan yang mendapatkan fasilitas KITE, permohonan harus melampirkan Surat
Penetapan sebagai perusahaan penerima KITE dari Kementerian Keuangan. DJP
kemudian akan mempertimbangkan, apakah menerima atau menolak permohonan SKB
dengan mempertimbangkan kesesuaian kriteria dan ketentuan yang dipersyaratkan.

Karena pelaksana di lapangan adalah petugas kepabeanan maka Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai (DJBC) akan mengkonfirmasi kebenaran SKB PPh Pasal 22 Impor secara
online atas setiap kegiatan importasi yang memanfaatkan fasilitas ini. Bagi pengusaha
KITE, dalam hal terjadi ketidak-sesuaian kriteria, DJBC selaku otoritas kepabeanan dapat
mencabut pemberian fasilitas KITE. Keputusan tersebut kemudian diinformasikan ke
DJP untuk kemudian ditindaklanjuti dengan pencabutan SKB PPh Pasal 22 impor.

Anda mungkin juga menyukai