Anda di halaman 1dari 2

Sore itu, 15 Agustus, suasana Jakarta diliputi ketidakpastian.

Kabar soal
menyerahnya Jepang sudah demikian masih tersebar di kelompok-kelompok
pemuda anti-Jepang. Tapi, belum ada konfirmasi resmi dari otoritas Jepang di
Jakarta. Radio resmi Jepang pun berhenti siaran sejak sehari sebelumnya.

Atas alasan ini para aktivis muda di Jakarta yakin Jepang memang telah menyerah.
Maka inilah saatnya rakyat Indonesia segera ambil inisiasi untuk memproklamasikan
kemerdekaan. Tapi, para “orang tua” macam Sukarno dan Hatta masih enggan
bergerak tanpa ada kejelasan status resmi dari Jepang.

Itulah musabab Soebadio menemui Hatta di rumahnya sore itu. Adu mulut pun tak
terhindarkan karena Hatta tak mau dipaksa menyegerakan proklamasi. Hatta—yang
sedang menekuri rancangan proklamasi untuk dirapatkan dalam Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) esok harinya—jadi jengkel karena dituduh ragu-
ragu.

“Tindakan yang akan engkau adakan itu bukanlah revolusi, tetapi putsch, seperti
yang dilakukan dahulu di Muenchen tahun 1923 oleh Hitler, tetapi gagal,” timpal
Hatta sebagaimana ia tulis dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2010: 78).

Rupa-rupanya bukan Hatta saja yang kena desak, tapi juga Sukarno. Malamnya,
Wikana dikawani Soebadio, Suroto Kunto, dan D.N. Aidit sebagai perwakilan
kelompok pemuda mendatangi kediaman Sukarno di Pegangsaan Timur. Hatta juga
datang ke sana setelah percekcokan kian sengit.

Wikana dan para pemuda itu mendesak Bung Karno mengobarkan revolusi malam
itu juga. Massa sudah siap, bantuan dari Peta dan Heiho semua menunggu
komando. Kalau pun harus pecah kontak senjata dengan Jepang, juga jadilah.

“Tapi kalian tidak kompak. Tidak ada kesatuan di antara kalian. Ada golongan kiri,
ada golongan Sjahrir, golongan intelektual, yang semua mengambil keputusan
sendiri-sendiri,” cecar Sukarno, sebagaimana disebut Cindy Adams dalam Bung
Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2014: 250).

Bagi para pemuda, kemerdekaan mesti diproklamasikan atas nama rakyat dan di
luar proses PPKI. Kenyataan bahwa Jepang sudah kalah semestinya menggugurkan
juga wewenangnya untuk mengatur cara Indonesia merdeka. Sementara Sukarno-
Hatta tidak mau mengambil risiko bentrok dengan Jepang yang membuang tenaga
percuma.

Sampai akhirnya, Wikana yang emosional menggertak Sukarno dengan ancaman.

“Apabila Bung Karno tidak mau mengucapkan pengumuman kemerdekaan itu


malam ini juga, besok pagi akan terjadi pembunuhan dan penumpahan darah!” seru
Wikana.
Tiba-tiba Sukarno melonjak dari duduknya, berdiri, menghampiri Wikana, dan
membuka lehernya.

“Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga,
jangan menunggu sampai besok!”

Wikana ciut juga kena bentak Bung Besar.

“Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan,”


katanya.

Anda mungkin juga menyukai