Anda di halaman 1dari 2

Wikana.

Tiba-tiba Sukarno melonjak dari duduknya, berdiri, menghampiri Wikana, dan


membuka lehernya.

“Ini leherku, seretlah aku ke pojok sana, dan sudahilah nyawaku malam ini juga,
jangan menunggu sampai besok!”

Wikana ciut juga kena bentak Bung Besar.

“Maksud kami bukan membunuh Bung, melainkan kami mau memperingatkan,”


katanya.

Hatta akhirnya angkat bicara juga. Dengan dingin ia menolak segala rencana
Wikana dan kawan-kawan. Lebih baik mereka cari pemimpin lain saja untuk
mengobarkan revolusi jika memang ingin.

Tentu saja Wikana dan kawan-kawannya tak bisa menjawab apa-apa lagi. Mereka
sadar belaka, tidak ada tokoh lain yang punya wibawa dan kekuatan politik untuk
mengobarkan revolusi selain Sukarno-Hatta. Konfrontasi emosional itu berakhir
tanpa hasil dan mereka semua bubar.

Drama Penculikan

Menurut indonesianis Benedict Anderson, para tetua itu merasa bahwa mereka
berhasil mencegah perbuatan gegabah pemuda. Sementara bagi pemuda,
pertemuan itu punya arti psikologis yang mendalam. Perkembangan yang terjadi
selanjutnya adalah buah dari penolakan yang pahit itu.

Sepulang dari rumah Sukarno, Wikana menemui kawan-kawannya di Asrama Cikini


71. Dibeberkannya semua omongan Sukarno dan Hatta di hadapan aktivis-aktivis
pemuda lintas golongan yang sudah menunggu di sana. Bersamaan dengan itu,
mereka juga menerima telegram tentang pernyataan Kaisar Hirohito yang minta
damai kepada Sekutu.

Kabar itu mungkin belum sampai pada Sukarno, Hatta, atau anggota PPKI lainnya.
Tapi jelas, tekad mereka untuk bergerak kini menemukan pembenarannya. Akhirnya
disusunlah sebuah rencana untuk “mengamankan” Sukarno dan Hatta dari pengaruh
Jepang.

“Tidak jelas siapa yang memulai rencana untuk menculik Sukarno dan Hatta, tetapi
pada akhirnya para pelaksananya adalah Chaerul Saleh, Sukarni, Wikana, dr.
Muwardi, Jusuf Kunto, Singgih, dan dr. Sutjipto (seorang perwira Peta dari
Kawedanan Rengasdengklok, sebelah timur laut Jakarta),” tulis Anderson
dalam Revoloesi Pemoeda (2018: 81).

Selain kelompok penculik itu, kelompok lain juga bergerak membuat keributan kecil
untuk menyamarkan aksi itu. Wikana cs mendatangi lagi Sukarno dan Hatta seraya
mengatakan bahwa kelompok pemuda yang tak sabar bikin pemberontakan.
Dengan alasan takut Jepang akan menuduh dwitunggal sebagai provokator, mereka
minta keduanya untuk bersedia bersembunyi di luar kota untuk sementara.

Hatta, dalam memoarnya (hlm. 80), mengingat Sukarni mengatakan padanya bahwa
15.000 massa akan menyerbu Jakarta untuk melucuti Jepang. Tapi alasan
dibawanya Hatta agak berlainan: untuk meneruskan kepemimpinan nasional dari
luar kota. Agaknya Sukarno dan Hatta cukup percaya pada cerita itu.

Jadilah, pada subuh hari tanggal 16 Agustus 1945, tepat hari ini 74 tahun lampau,
Sukarno dan Hatta dibawa ke Rengasdengklok.

Anda mungkin juga menyukai