Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH FARMASETIKA

“KRIM DAN GEL”

OLEH:

Elsyahrani Rafika Intan (1911320004)

PEMBIMBING: Apt. AL SYAHRIL SAMSI, S.Farm., M.Si

MATA KULIAH FARMASETIKA

PROGRAM STUDI FARMASI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALOPO

2020
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis memperoleh kesehatan
dan kekuatan untuk dapat menyelesaikan makalah Farmasetika yang berjudul
“KRIM DAN GEL” ini.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pihak, khususnya
kepada dosen pembimbing atas kesediaannya dalam membimbing sehingga
makalah ini dapat terselesaikan.
Penulis menyadari sepenuhnya atas keterbatasan ilmu maupun dari segi
penyampaian yang menjadikan makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diperlukan dari semua pihak
untuk sempurnanya makalah ini.

Palopo, 22 JUNI 2020

Penyusun

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III PEMBAHASAN

3.1 KRIM

3.2 GEL

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan

4.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Krim dan Gel merupakan salah satu sediaan setengah padat yang
dimaksudkan untuk pemakaian luar yang pemakaiannya dengan cara dioleskan
pada bagian kulit yang sakit. Selain krim ada sediaan setengah padat lain yang
beredar dipasaran yang dimaksudkan untuk pengobatan seperti pasta, salep, tetapi
dari sediaan-sediaan tersebut krim dan gel paling sering digunakan sebagai basis.
Hal ini dikarenakan krim mempunyai beberapa keuntungan yaitu tidak lengket
dan mudah dicuci dengan air.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan
setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan
dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem
semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan.
Sediaan semi solid adalah sediaan setengah padat yang digunakan untuk
pemakaian luar, sediaan semi solid terdiri dari salep,krim, ungenta, pasta dan lain-
lain. Salep adalah sediaan setengah padat yang digunakan untuk pemakaian
topikal pada kulit atau selaput lendir dan termasuk golongan sediaan semi solid
yang umumnya berminyak tidak mengandung air, untuk mendapatkan sediaan
semi solid yang baik maka harus mencari basis salep yang cocok yang dapat
menyatu dengan bahan aktifnya dan dapat meresap pada kulit dengan zat
pembawa yang cocok
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Krim ?
2. Apa yang dimaksud dengan Gel ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Untuk memahami pengertian Krim dan Gel.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem
semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Sedangkan
definisi gel menurut Formularium Kosmetika Indonesia (1985), adalah sediaan
dasar berupa sistem dispersi yang terdiri dari partikel anorganik submikroskopik
atau organik makromolekul yang terdispersi atau terbungkus dan terendam dalam
cairan. Gel merupakan bentuk sediaan padat dan mengandung banyak air.
Penampilan gel transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang
terdispersi (Hidayatussa’adah, 2008).
Menurut Farmakope Indonesia Edisi III, krim adalah bentuk sediaan
setengah padat, berupa emulsi mengandung air tidak kurang dari 60% dan
dimaksudkan untuk pemakaian luar.
Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan
setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau terdispersi
dalam bahan dasar yang sesuai.
Menurut Formularian Nasional, krim adalah sediaan setengah padat,
berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan dimaksudkan
untuk pemakaian luar.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1 KRIM
Krim adalah sediaan semi solid kental, umumnya berupa emulsi m/a (krim
berair) atau emulsi a/m (krim berminyak). (The Pharmaceutical Codex 1994, hal
134).Sekarang ini batasan tersebut lebih diarahkan untuk produk yang terdiri dari
emulsi minyak dalam air atau dispersi mikrokristal asam asam lemak atau alkohol
berantai panjang dalam air, yang dapat dicuci dengan air dan lebih ditujukan
untuk penggunaan kosmetika dan estetika. Krim dapat digunakan untuk
pemberian obat melalui vaginal (Ditjen POM, 1995).
Ada 2 tipe krim yaitu krim tipe minyak dalam air (M/A) dan krim tipe air
dalam minyak (A/M). Pemilihan zat pengemulsi harus disesuaikan dengan jenis
dan sifat krim yang dikehendaki. Untuk krim tipe A/M digunakan sabun
polivalen, span, adeps lanae, kolsterol dan cera. Sedangkan untuk krim tipe M/A
digunakan sabun monovalen, seperti trietanolamin, natrium stearat, kalium stearat
dan ammonium stearat. Selain itu juga dipakai tween, natrium lauryl sulfat,
kuning telur, gelatinum, caseinum, cmc dan emulygidum.
Kestabilan krim akan terganggu/rusak jika sistem campurannya terganggu,
terutama disebabkan oleh perubahan suhu dan perubahan komposisi yang
disebabkan perubahan salah satu fase secara berlebihan atau zat pengemulsinya
tidak tercampurkan satu sama lain.
Pengenceran krim hanya dapat dilakukan jika diketahui pengencernya
yang cocok dan dilakukan dengan teknik aseptic. Krim yang sudah diencerkan
harus digunakan dalam jangka waktu 1 bulan. Sebagai pengawet pada krim
umumnya digunakan metil paraben (nipagin) dengan kadar 0,12% hingga 0,18%
atau propil paraben (nipasol) dengan kadar 0,02% hingga 0,05%.
Penyimpanan krim dilakukan dalam wadah tertutup baik atau tube
ditempat sejuk, penandaan pada etiket harus juga tertera “obat luar”. Ada 2 tipe
krim, yaitu :
a. Krim Tipe M/A atau O/W
Vanishing cream adalah kosmetika yang digunakan untuk maksud
membersihkan, melembabkan, dan sebagai alas bedak. Vanishing
cream. Krim m/a (vanishing cream) yang digunakan melalui kulit
akan hilang tanpa bekas. Pembuatan krim m/a sering menggunakan
zat pengemulsi campuran dari surfaktan (jenis lemak yang ampifil)
yang umumnya merupakan rantai panjang alcohol walaupun untuk
beberapa sediaan kosmetik pemakaian asam lemak lebih popular.
Contoh: vanishing cream. Sebagai pelembab (moisturizing)
meninggalkan lapisan berminyak/film pada kulit.
b. Krim Tipe A/M atau W/O
Krim berminyak mengandung zat pengemulsi A/M yang spesifik
seperti adeps lane, wool alcohol atau ester asam lemak dengan atau
garam dari asam lemak dengan logam bervalensi 2, misal Ca. Krim
A/M dan M/A membutuhkan emulgator yang berbeda beda. Jika
emulgator tidak tepat, dapat terjadi pembalikan fasa. Contoh: Cold
cream. Cold cream adalah sediaan kosmetika yang digunakan untuk
maksud memberikan rasa dingin dan nyaman pada kulit, sebagai krim
pembersih berwarna putih dan bebas dari butiran. Cold cream
mengandung mineral oil dalam jumlah besar.
Bahan Bahan Penyusun Krim
Formula dasar krim, antara lain:
a. Fase minyak, yaitu bahan obat yang larut dalam minyak, bersifat
asam.
Contoh: asam stearat, adepslanae, paraffin liquidum, paraffin solidum,
minyak lemak, cera, cetaceum, vaselin, setil alkohol, stearil alkohol,
dan sebagainya.
b. Fase air, yaitu bahan obat yang larut dalam air, bersifat basa.
Contoh: Na tetraborat (borax, Na biboras), Trietanolamin/TEA,
NaOH, KOH, Na2C03, Gliserin, Polietilenglikol/PEG, Propilenglikol,
Surfaktan (Na lauril sulfat, Na setostearil alkohol,
polisorbatum/Tween, Span dan sebagainya)
Bahan bahan penyusun krim, antara lain :
a. Zat berkhasiat
b. Minyak
c. Air
d. Pengemulsi
Bahan pengemulsi yang digunakan dalam sediaan krim disesuaikan
dengan jenis dan sifat krim yang akan dibuat/dikehendaki. Sebagai bahan
pengemulsi dapat digunakan emulgide, lemak bulu domba, setaseum, setil
alcohol, stearil alcohol, trietanolalamin stearat, polisorbat, PEG.
Bahan bahan tambahan dalam sediaan krim agar peningkatan penetrasi
pada kuli, antara lain :
a. Zat untuk memperbaiki konsistensi
Konsistensi sediaan topical diatur untuk mendapatkan
bioavabilitas yang maksimal, selain itu juga dimaksudkan untuk
mendapatkan formula yang “estetis” dan “acceptable”. Konsistensi
yang disukai umumnya adalah sediaan yang dioleskan, tidak
meninggalkan bekas, tidak terlalu melekat dan berlemak Hal yang
penting lain adalah mudah dikeluarkan dari tube. Perbaikan
konsistensi dapat dilakukan dengan mengatur komponen sediaan
emulsi diperhatikan ratio perbandingan fasa. Untuk krim adalah
jumlah konsentrat campuran zat pengemulsi.
b. Zat pengawet
Pengawet yang dimaksudkan adalah zat yang ditambahkan dan
dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas sediaan dengan
mencegah terjadinya kontaminasi mikroorganisme. Karena pada
sediaan krim mengandung fase air dan lemak maka pada sediaan ini
mudah ditumbuhi bakteri dan jamur. Oleh karena itu perlu
penambahan zat yang dapat mencegah pertumbuhan mikroorganisme
tersebut. Zat pengawet yang digunakan umumnya metil paraben
0.12% sampai 0,18% atau propil paraben 0,02%-0,05%.
c. Pendapar
Pendapar dimaksudkan untuk mempertahankan pH sediaan
untuk menjaga stabilitas sediaan. pH dipilih berdasarkan stabilitas
bahan aktif. Pemilihan pendapar harus diperhitungkan
ketercampurannya dengan bahan lainnya yang terdapat dalam
sediaan, terutama pH efektif untuk pengawet. Perubahan pH sediaan
dapat terjadi karena: perubahan kimia zat aktif atau zat tambahan
dalam sediaan pada penyimpanan karena mungkin pengaruh
pembawa atau lingkungan. Kontaminasi logam pada proses produksi
atau wadah (tube) seringkali merupakan katalisator bagi
pertumbuhan kimia dari bahan sediaan.
d. Pelembab
Pelembab atau humectan ditambahkan dalam sediaan topical
dimaksudkan untuk meningkatkan hidrasi kulit. Hidrasi pada kulit
menyebabkan jaringan menjadi lunak, mengembang dan tidak
berkeriput sehingga penetrasi zat akan lebih efektif. Contoh zat
tambahan ini adalah: gliserol, PEG, sorbitol.
e. Pengompleks (sequestering)
Pengompleks adalah zat yang ditambahkan dengan tujuan zat ini
dapat membentuk kompleks dengan logam yang mungkin terdapat
dalam sediaan, timbul pada proses pembuatan atau pada
penyimpanan karena wadah yang kurang baik. Contoh : Sitrat,
EDTA, dsb.
f. Anti Oksidan
Antioksidan dimaksudkan untuk mencegah tejadinya ketengikan
akibat oksidasi oleh cahaya pada minyak tidak jenuh yang sifatnya
autooksidasi, antioksidan terbagi atas :
Anti oksidan sejati (anti oksigen) Kerjanya: mencegah oksidasi
dengan cara bereaksi dengan radikal bebas dan mencegah reaksi
cincin. Contoh: tokoferol, alkil gallat, BHA, BHT. Anti oksidan
sebagai agen produksi. Zat zat ini mempunyai potensial reduksi lebih
tinggi sehingga lebih mudah teroksidasi dibandingkan zat yang lain
kadang-kadang bekerja dengan cara bereaksi dengan radikal bebas.
Contoh; garam Na dan K dari asam sulfit. Anti oksidan sinergis.
Yaitu senyawa yang bersifat membentuk kompleks dengan logam,
karena adanya sedikit logam dapat merupakan katalisator reaksi
oksidasi. Contoh: sitrat, tamat, EDTA
g. Peningkat Penetrasi
Zat tambahan ini dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah zat yang
terpenetrasi agar dapat digunakan untuk tujuan pengobatan sistemik
lewat dermal (kulit). Syarat-syarat:
 Tidak mempunyai efek farmakologi.
 Tidak menyebabkan iritasi alergi atau toksik.
 Bekerja secara cepat dengan efek terduga (dapat diramalkan)
 Dapat dihilangkan dari kulit secara normal.
 Tidak mempengaruhi cairan tubuh, elektrolit dan zat endogen
lainnya.
 Dapat bercampur secara fisika dan kimia dengan banyak zat.
 Dapat berfungsi sebagai pelarut obat dengan baik.
 Dapat menyebar pada kulit.
 Dapat dibuat sebagai bentuk sediaan.
 Tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa.
Kelebihan dan Kekurangan Sediaan Krim
a. Kelebihan sediaan krim
 Mudah menyebar rata.
 Praktis.
 Lebih mudah dibersihkan atau dicuci dengan air terutama tipe
M/A (minyak dalam air).
 Cara kerja langsung pada jaringan setempat.
 Tidak lengket, terutama pada tipe M/A (minyak dalam air).
 Bahan untuk pemakaian topikal jumlah yang diabsorpsi tidak
cukup beracun, sehingga pengaruh absorpsi biasanya tidak
diketahui pasien.
 Aman digunakan dewasa maupun anak-anak.
 Memberikan rasa dingin, terutama pada tipe A/M (air dalam
minyak).
 Bisa digunakan untuk mencegah lecet pada lipatan kulit terutama
pada bayi, pada fase A/M (air dalam minyak) karena kadar
lemaknya cukup tinggi.
 Bisa digunakan untuk kosmetik, misalnya mascara, krim mata,
krim kuku, dan deodorant.
 Bisa meningkatkan rasa lembut dan lentur pada kulit, tetapi tidak
menyebabkan kulit berminyak.
b. Kekurangan Sediaan Krim
 Mudah kering dan mudah rusak khususnya tipe A/M (air dalam
minyak) karena terganggu sistem campuran terutama disebabkan
karena perubahan suhu dan perubahan komposisi disebabkan
penambahan salah satu fase secara berlebihan atau pencampuran
dua tipe krim jika zat pengemulsinya tidak tersatukan.
 Susah dalam pembuatannya, karena pembuatan kirim harus
dalam keadaan panas.
 Mudah lengket, terutama tipe A/M (air dalam minyak).
 Mudah pecah, disebabkan dalam pembuatan formulanya tidak
pas.
 Pembuatannya harus secara aseptis
Metode Pembuatan Krim
Pembuatan sediaan krim meliputi proses peleburan dan proses
emulsifikasi. Biasanya komponen yang tidak bercampur dengan air seperti
minyak dan lilin dicairkan bersama sama di penangas air pada suhu 70-75°C,
sementara itu semua larutan berair yang tahan panas, komponen yang larut dalam
air dipanaskan pada suhu yang sama dengan komponen lemak.
Kemudian larutan berair secara perlahan lahan ditambahkan ke dalam
campuran lemak yang cair dan diaduk secara konstan, temperatur dipertahankan
selama 5-10 menit untuk mencegah kristalisasi dari lilin/lemak.
Selanjutnya campuran perlahan lahan didinginkan dengan pengadukan
yang terus menerus sampai campuran mengental. Bila larutan berair tidak sama
temperaturnya dengan leburan lemak, maka beberapa lilin akan menjadi padat,
sehingga terjadi pemisahan antara fase lemak dengan fase cair (Munson, 1991).
Dasar-dasar proses pembuatan sediaan semi solid (termasuk krim) dapat
dibagi:
a. Reduksi ukuran partikel, skrining partikel dan penyaringan. Bahan
padat dalam suatu sediaan diusahakan mempunyai ukuran yang
homogen. Skrining partikel dimaksudkan untuk menghilangkan
partikel asing yang dapat terjadi akibatadanya panikel yang
terflokulasi dan aglomerisasi selama proses.
b. Pemanasan dan pendinginan Proses pemanasan diperlukan pada saat
melarutkan bahan berkhasiat, pencampuran bahan bahan semisolid
pada proses pembuatan emulsi. Pembuatan sediaan semi solid
dibutuhkan pemanasan, sehingga pada proses homogenisasi bahan
bahan yang digunakan tidak membutuhkan penanganan yang sulit,
kecuali apabila didalam sediaan tersebut ada bahan bahan yang
termolabil.
c. Pencampuran terdiri dari tiga macam
 Pencampuran bahan padat. Pada prinsipnya pencampuran bahan
padat adalah menghancurkan aglomerat yang terjadi menjadi
partikel dengan ukuran yang serba sama.
 Pencampuran untuk larutan. Tujuan pencampuran larutan
didasarkan pada dua tujuan yaitu: adanya transfer panas dan
homogenitas komponen sediaan.
 Pencampuran semi solida. Untuk pencampuran sediaan semi
solid dapat digunakan alat pencampuran dengan bentuk mixer
planetary dan bentuk sigma blade. Alat dengan sigma blade
dapat membersihkan salep/krim yang menempel pada dinding
wadah dan menjamin homogenitas produk serta proses transfer
panas lebih baik.
d. Penghalusan dan Homogenisasi. Proses terakhir dari seluruh
rangkaian pembuatan adalah penghalusan dan homogenisasi produk
semi solid yang telah tercampur dengan baik.
Pengujian Mutu Krim
a. Organoleptik, uji organoleptik lakukan dengan menggunakan panca
indra atau secara visual. Komponen yang dievaluasi meliputi bau,
warna, tekstur sediaan, dan konsistensi. Adapun pelaksanaannya
dengan menggunakan subjek responden atau dengan menggunakan
kriteria tertentu dengan menetapkan kriteria pengujiannya (Widodo,
2003).
b. Homogenitas, pengujian homogenitas dilakukan untuk mengetahui
apakah pada saat proses pembuatan krim bahan aktif obat dengan
bahan dasarnya dan bahan tambahan lain yang diperlukan tercampur
secara homogen. Persyaratannya harus homogen sehingga krim yang
dihasilkan mudah digunakan dan terdistribusi merata saat
penggunaan pada kulit. Krim harus tahan terhadap gaya gesek yang
timbul akibat pemindahan produk, maupun akibat aksi mekanis dari
alat pengisi. (Anief, 1994).
c. Stabilitas, salah satu aktivitas yang paling penting dalam kerja
preformulasi adalah evaluasi kestabilan fisika dan kimia dari zat obat
murni. Adalah perlu bahwa pengkajian awal ini dihubungkan dengan
menggunakan sampel obat dengan kemurnian yang diketahui.
Adanya pengotoran dapat mengakibatkan kesimpulan yang salah
dalam evaluasi tersebut. Ketidakstabilan kimia dari zat obat dapat
mengambil banyak bentuk, karena obat obat yang digunakan
sekarang adalah konstituen kimia yang beraneka ragam. Secara
kimia proses kerusakan yang sering meliputi hidrolisis dan oksidasi
(Ansel, 1989). Untuk mengevaluasi kestabilan emulsi dengan cara
sentrifugasi. Umumnya diterima bahwa shelf life pada kondisi
penyimpanan normal dapat diramalkan dengan cepat dengan
mengamati pemisahan dari fase terdispersi karena pembetukan krim
atau penggumpalan bila emulsi bila dipaparkan pada sentrifugasi.
Sentrifugasi jika digunakan dengan bijaksana, merupakan alat yang
sangat berguna untuk mengevaluasi emulsi (Lachman, dkk., 1994).
d. Uji pH, harga pH adalah harga yang ditunjukkan oleh pH meter yang
telah dibakukan dan mampu mengukur harga pH sampai 0,02 unit
pH menggunakan elektroda indikator yang peka terhadap aktivitas
ion hidrogen, elektroda kaca, dan elektroda pembanding yang sesuai
seperti elektroda kalomel dan elektroda perakperak klorida.
Pengukuran dilakukan pada suhu ±250° C, kecuali dinyatakan lain
dalam masing masing monografi (Ditjen POM, 1995 ). Penetapan pH
dilakukan dengan menggunakan alat bernama pH meter. Karena pH
meter hanya bekerja pada zat yang berbentuk larutan, maka krim
harus dibuat dalam bentuk larutan terlebih dahulu. Krim dan air
dicampur dengan perbandingan 60g : 200 ml air, kemudian diaduk
hingga homogen dan dibiarkan agar mengendap. Setelah itu, pH
airnya diukur dengan pH meter. Nilai pH akan tertera pada layar pH
meter (Widodo, 2003).
e. Keseragaman, sediaan Keseragaman sediaan dapat ditetapkan
dengan salah satu dari dua metode, yaitu keseragam bobot atau
keseragaman kandungan. Persyaratan ini digunakan untuk sediaan
yang mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau
lebih zat aktif. Untuk penetapan keseragaman sediaan dengan cara
keseragaman bobot , dilakukan untuk sediaan yang dimaksud (dari
satuan uji dapat diambil dari bets yang sama untuk penetapan kadar
(Ditjen POM, 1995).
Persyaratan krim sebagai obat luar, krim harus memenuhi beberapa
persyaratan berikut :
a. Stabil selama masih dipakai untuk mengobati. Oleh karena itu, krim
harus bebas dari inkompatibilitas, stabil pada suhu kamar.
b. Lunak. Semua zat harus dalam keadaan halus dan seluruh produk
yang dihasilkan menjadi lunak serta homogen.
c. Mudah dipakai. Umumnya, krim tipe emulsi adalah yang paling
mudah dipakai dan dihilangkan dari kulit.
d. Terdistribusi secara merata. Obat harus terdispersi merata melalui
dasar krim padat atau cair pada penggunaan. (Widodo, 2013).
Contoh sediaan (Krim)

3.2 GEL
Gel menurut Farmakope Indonesia Edisi IV (1995), merupakan sistem
semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel anorganik yang kecil
atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan. Sedangkan
definisi gel menurut Formularium Kosmetika Indonesia (1985), adalah sediaan
dasar berupa sistem dispersi yang terdiri dari partikel anorganik submikroskopik
atau organik makromolekul yang terdispersi atau terbungkus dan terendam dalam
cairan. Gel merupakan bentuk sediaan padat dan mengandung banyak air.
Penampilan gel transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid yang
terdispersi (Hidayatussa’adah, 2008).
Menurut Fardiaz (1989) sifat pembentukan gel bervariasi dari satu jenis
hidrokoloid ke hidrokoloid yang lainnya tergantung pada jenisnya. Gel mungkin
mengandung 99,9% air tetapi mempunyai sifat lebih khas seperti padatan,
khususnya sifat elastisitas (elasticity) dan kekakuan (rigidity). Gelasi atau
pembentukan gel merupakan fenomena yang menarik dan sangat kompleks,
namun sampai saat ini masih banyak hal-hal yang belum diketahui tentang
mekanismenya. Pada prinsipnya pembentukan gel hidrokoloid terjadi karena
adanya pembentukan jala atau jaringan tiga dimensi oleh molekul primer yang
terentang pada seluruh volume gel yang terbentuk dengan memerangkap sejumlah
air di dalamnya.Terjadi ikatan silang pada polimer-polimer yang terdiri dari
molekul rantai panjang dalam jumlah yang cukup maka akan terbentuk bangunan
tiga dimensi yang kontinyu sehingga molekul pelarut akan terjebak diantaranya,
terjadi immobilisasi molekul pelarut dan terbentuk struktur yang kaku dan tegar
yang tahan terhadap gaya maupun tekanan tertentu. Gelasi merupakan fenomena
yang melibatkan penggabungan, atau terjadinya ikatan silang antar arantai-rantai
polimer.
Ada tiga teori yang dapat digunakan untuk menjelaskan pembentukan gel
dan mendapat banyak dukungan dari para ahli kimia koloid, yaitu :
a. Teori adsorpsi pelarut
Teori ini menyatakan bahwa gel terjadi sebagai akibat adsorpsi
molekul pelarut olehpartikel terlarut selama pendinginan yaitu dalam
bentuk pembesaran molekul akibat pelapisan zat terlarut oleh
molekul-molekul pelarut. Pembesaran partikel terjadi terus menerus
sehingga molekul zat telarut yang telah membesar bersinggungan dan
tumpang tindih melingkari satu sama lain sehingga seluruh system
menjadi tetap dan kaku. Adsorpsi zat pelarut akan meningkat dengan
makin rendahnya suhu.
b. Teori jaringan tiga dimensi
Teori ini hampir sama dengan teori yang dikemukakan oleh Oakenfull
dan Tobolsky. Teori ini menyatakan bahwa kemampuan senyawa-
senyawa untuk mengadakan gelasi disebabkan oleh terbentuknya
struktur berserat atau terjadinya reaksi di dalam molekul itu sendiri
membentuk serat. Selama pendinginan serat tersebut membentuk
jaringan tiga dimensi. Ikatan yang menentukan dalam jaringan tiga
dimensi kemungkinan merupakan ikatan primer dari gugusan
fungsional danikatan sekunder yang terdiri dari ikatan hydrogen atau
dapat juga terjadi antara gugus alkil. Tipe ikatan yang terdapat dalam
jaringan tiga dimensi akan menentukan tipe gel yang dihasilkan.
c. Teori orientasi partikel
Teori ini menyatakan bahwa pada sisi tertentu terdapat kecenderungan
bagi partikel terlarut dan solven untuk berorientasi dalam konfigurasi
yang tertentu melalui pengaruh gaya dengan jangkauan yang panjang,
seperti yang terjadi pada kristal.
Mekanisme pembentukan gel dapat berbeda-beda tergantung pada jenis
bahan pembentuknya. Diantaranya yang paling berbeda dalam hal jenis dan sifat-
sifatnya adalah gel yang dibentuk oleh gelatin, suatu jenis protein dan gel yang
dibentuk oleh polisakarida.
Kebanyakan hidrokoloid adalah polisakarida. Polisakarida yang memiliki
empat tipe struktur yang berbeda yaitu linear, bercabang tunggal, linier berselang,
dan tipe semak akan menghasilkan viskositas larutan yang tergantung pada ukuran
molekul, bentuk molekul, dan muatannya. Jika molekul memiliki muatan yang
dihasilkan dari ionisasi gugus tertentu seperti karboksil, maka pengaruh muatan
sangat besar.
Gaya tolak menolak Coulomb dari muatan-muatan negatif yang tersebar
sepanjang molekul polisakarida cenderung meluruskan molekul (polimer), yang
menghasilkan larutan dengan viskositas tinggi.
Polisakarida linier dengan berat molekul yang sama dengan polisakarida
tipe semak, akan mempunyai viskositas yang lebih besar dalam larutannya sebab
girasi atau perputaran gerak polimer struktur linier meliputi daerah yang lebih luas
dan volume yang lebih besar. Hal ini akan menyebabkan gesekan antar molekul
lebih mudah terjadi sehingga lebih meningkatkan gaya gesek dan viskositas
larutan, dibandingkan dengan polimer yang memiliki tingkat percabangan yang
tinggi. Namun hal ini tidak terjadi pada polimer linier yang tidak bermuatan yang
cenderung membentuk larutan yang tidak stabil.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan Dalam Formulasi Gel
a. Penampilan gel : transparan atau berbentuk suspensi partikel koloid
yang terdispersi, dimana dengan jumlah pelarut yang cukup banyak
membentuk gel koloid yang mempunyai struktur tiga dimensi.
b. Inkompatibilitas dapat terjadi dengan mencampur obat yang bersifat
kationik pada kombinasi zat aktif, pengawet atau surfaktan dengan
pembentuk gel yang bersifat anionik (terjadi inaktivasi atau
pengendapan zat kationik tersebut).
c. Gelling agents yang dipilih harus bersifat inert, aman dan tidak
bereaksi dengan komponen lain dalam formulasi.
d. Penggunaan polisakarida memerlukan penambahan pengawet sebab
polisakarida bersifat rentan terhadap mikroba.
e. Viskositas sediaan gel yang tepat, sehingga saat disimpan bersifat
solid tapi sifat soliditas tersebut mudah diubah dengan pengocokan
sehingga mudah dioleskan saat penggunaan topikal.
f. Pemilihan komponen dalam formula yang tidak banyak menimbulkan
perubahan viskositas saat disimpan di bawah temperatur yang tidak
terkontrol.
g. Konsentrasi polimer sebagai gelling agents harus tepat sebab saat
penyimpanan dapat terjadi penurunan konsentrasi polimer yang dapat
menimbulkan syneresis (air mengambang diatas permukaan gel)
h. Pelarut yang digunakan tidak bersifat melarutkan gel, sebab bila daya
adhesi antar pelarut dan gel lebih besar dari daya kohesi antar gel
maka sistem gel akan rusak.
Cara Pemakaian :
a. Sejumlah cukup gel, sesuai dengan luas area yang sakit, dioleskan
pada sendi yang sakit. Diberikan pijatan secara perlahan untuk
memastikan pemakaian gel merata pada seluruh sendi yang sakit.
Daerah yang baru dioleskan sediaan didiamkan selama 10 menit
sebelum ditutupi dengan pakaian dan 60 menit sebelum mandi.
Tangan harus segera dicuci setelah dioleskan gel Na-diklofenak,
kecuali bila tangan tersebut adalah daerah yang diobati.
Cara Penyimpanan
b. Gel lubrikan harus dikemas dalam tube dan harus disterilkan
c. Gel untuk penggunaan mata dikemas dalam tube steril.
d. Gel untuk penggunaan pada kulit dapat dikemas dalam tube atau pot
salep.
e. Wadah harus diisi cukup penuh dan kedap udara untuk mencegah
penguapan.
Contoh sediaan (GEL)

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Gel merupakan sistem semi padat, terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar,
terpenetrasi oleh suatu cairan.
2. Dalam pembentukaqn gel terdapat 3 teori yaitu teori adsorpsi pelarut, teori
jaringan tiga dimensi, teori orientasi partikel
3. Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan gel adalah
konsentrasi, suhu , pH, ion, dan komponen aktif lainnya
4. Inkompatibilitas dapat terjadi dengan mencampur obat yang bersifat
kationik pada kombinasi zat aktif, pengawet atau surfaktan dengan
pembentuk gel yang bersifat anionic
5. Wadah untuk penyimpanan gel harus steril, terisi cukup penuh, dan kedap
udara untuk mencegah terjadinya penguapan
6. Menurut Farmakope Indonesia Edisi IV, krim adalah bentuk sediaan
setengah padat mengandung satu atau lebih bahan obat terlarut atau
terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.
7. Menurut Formularian Nasional, krim adalah sediaan setengah padat,
berupa emulsi kental mengandung air tidak kurang dari 60% dan
dimaksudkan untuk pemakaian luar.
4.2 Saran
Saran yang dapat diberikan adalah:
1. Untuk lebih memahami penjelasan diatas, perlu dilakukan pembelajaran
lanjutan tentang materi ini.
2. Pembaca sebaiknya menambah referensi berupa buku-buku yang relevan,
jurnal penelitian, gambar, atau referensi lain dari internet.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1979, Farmakope Indonesia, Edisi III, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia, Jakarta.

Anonim, 1995, Farmakope Indonesia, Edisi IV, Departemen Kesehatan

Republik Indonesia.

Dirjen POM.(1995). Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI.

Lachman, L., H.A. Lieberman, dan J.L. Karig. 1994. Teori dan Praktek Farmasi

Industri, Edisi ketiga, Terjemahan : S. Suyatmi, Universitas Indonesia

Press, Jakarta.

Hidayatussa’adah, P.N., 2008, Formulasi dan Uji Sterilitas Gel Steril Lidah Buaya

(Aloebarbadensis Mill.), Skripsi, Institut Teknologi Bandung, Bandung

Ansel, H.C., 2008, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Farida

Ibrahim,Edisi Keempat, UI Press, Jakarta

Hosmani, A.H., 2006, Carbopol and Its Pharmaceutical Significance : A Review,

http://pharmainfo.net, diakses tanggal 5 Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai