Anda di halaman 1dari 22

POLITIK ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA

Oleh: Ernawati, SHI.,MH

Kemampuan Akhir yang diharapkan :

- Mahasiswa mampu menjelaskan sistem politik Islam dan membeda HAM perspektif
Islam dan HAM perspektif Barat

Uraian dan pembahasan

A. SISTEM POLITIK ISLAM

1. Pengertian Politik
Politik Islam di dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab
itu, di dalam buku-buku para ulama dikenal istilah siyasah syar’iyyah. Dalam Al Muhith,
siyasah berakar kata sâsa - yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti
Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). al-
Siyasah juga berarti mengatur, mengendalikan, mengurus, atau membuat keputusan,
mengatur kaum, memerintah, dan memimpinya.
Secara istilah politik Islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai
dengan syara’. Pengertian siyasah lainya oleh Ibn A’qil, sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu
Qayyim, politik Islam adalah segala perbuatan yang membawa manusia lebih dekat kepada
kemaslahatan dan lebih jauh dari kemafsadatan, sekalipun Rasullah tidak menetapkannya
dan (bahkan) Allah SWT tidak menentukanya. Pandangan politik menurut syara’, realitanya
pasti berhubungan dengan masalah mengatur urusan rakyat baik oleh negara maupun rakyat.
Sehingga definisi dasar menurut realita dasar ini adalah netral. Hanya saja tiap ideologi
(kapitalisme, sosialisme, dan Islam) punya pandangan tersendiri tentang aturan dan hukum
mengatur sistem politik mereka. Dari sinilah muncul pengertian politik yang mengandung
pandangan hidup tertentu dan tidak lagi “netral”(Zawawi, 2015).

Rasulullah SAW sendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya :


"Adalah Bani Israil, mereka diurusi (siyasah) urusannya oleh para nabi (tasusuhumul
anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi
setelahku, namun akan ada banyak para khalifah." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)

Era Nabi Muhammad SAW adalah 14 abad yang silam (570-632 M), akan tetapi
ajaran yang dibawanya tetap berlaku hingga kini. Islam, apabila ditelaah secara keseluruhan,
ternyata bukan hanya menyangkut teologi, ritual dan etika, melainkan mencakup seluruh
aspek hidup dan kehidupan manusia. Islam meliputi seluruh aspek kebudayaan. Selain
agama, juga terdapat prinsip-prinsip filosofis, sains dan teknologi, termasuk sosial, ekonomi,
hukum dan politik. Dalam aspek politik selain membawa ajaran, juga beliau melakoni
sebagai praktisi, memimpin negara Madinah pada tahun 622 –632 M. Suatu hal yang menarik
bahwa Nabi Muhammad SAW ketika membangun pemerintahan yang berbeda dengan apa
yang menjadi kebiasaan kekuasaan pada umumnya yang bercorak monarki absolut. Jika
dibandingkan dengan bentuk pemerintahan yang ada di zaman modern, pemerintahan Beliau
lebih bercorak demokratis, suatu hal yang menakjubkan bagi para penulis sejarah politik
(Syam, 2015).

Dalam istilah keIslaman, politik identik dengan siyasah. Secara etimologis siyasah
artinya mengatur, aturan dan keteraturan. Fiqih siyasah adalah hukum Islam yang mengatur
sistem kekuasaan dan pemerintahan. Politik sendiri artinya segala urusan dan tindakan
(kebijakan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara, dan kebijakan suatu
negara terhadap negara lain (Mahfud, 2011). Siyasah dalam peradaban kaum muslim
mengatur berbagai bentuk tentang tata cara memimpin, dan membangun pemerintahan.
Peradaban Islam tidak akan dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok baginya,
yaitu negara khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yang disebut dengan siyasah dipandang
sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam pergulatan sosial
dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan sejarah umat Islam. Meskipun
demikian, nilai siyasah tidak serta merta menjadi relatif karena ia memiliki kemutlakan yang
terkait keharusan untuk mewujudkan keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah (Hasan,
2014).

Politik dapat juga berarti kebijakan atau cara bertindak suatu negara dalam
menghadapi atau menangani suatu masalah. Garis-garis besar siyasah Islam meliputi tiga
aspek:
1) Tata Negara dalam Islam (siyasah dusturiyyah).
2) Hukum politik yang mengatur hubungan antar negara dengan negara yang lain
(siyasah dauliyyah).
3) Hukum politik yang mengatur sistem ekonomi Negara (siyasah maliyah).
Ruang lingkup pembahasan siyasah dusturiyah itu sendiri dibatasi hanya dalam
pembahasan tentang pengaturan dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal
kenegaraan dari segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhanya. Kata “dusturi” berasal dari bahasa
Persia. Semula artinya adalah seorang yang memiliki otoritas, baik dalam bidang politik
maupun agama. Adapun sumber-sumber siyasah dusturiyah di antaranya ialah Alquran yaitu
ayat-ayat yang berhubungan dengan prinsip-prinsip kehidupan masyarakat; Hadis, terutama
yang berhubungan dengan imamah dan kebijaksanaan Rasulullah dalam menerapkan hukum
negara; Kebijakan-kebijakan khulafaur rasyidin dalam mengendalikan pemerintahan; Ijtihad
para ulama; adat kebiasaan suatu bangsa yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip
Alquran dan hadis (Hasan, 2014). Siyasah dauliyah mengatur hubungan antara warga negara
dengan lembaga negara dari negara yang satu dengan warga negara dan Lembaga negara dari
negara lain. Dalam hubungan internasional, asas damai merupakan asas hubungan
internasional, alasannya adalah perang itu diperkenankan karena ada sebabnya, yaitu
menolak kezaliman, menghilangkan fitnah, dalam rangka mempertahankan diri.
Konsekuensi dari asas damai sebagai hukum asal dalam hubungan internasional adalah
perdamaian saling membantu dalam kebaikan (Hasan, 2014). Pengaturan dalam siyasah
maliyah diorientasikan untuk mengatur kemaslahatan masyarakat. Di dalam siyasah maliyah
di antaranya mengatur hubungan dengan masyarakat yang menyangkut harta (Hasan, 2014).

2. Prinsip Dasar Politik


Membagi prinsip-prinsip dasar siyasah dalam Islam ke dalam 8 bagian antara lain:
1) Al-Musyawarah
2) Pembahasan bersama untuk mufakat
3) Tujuan bersama yakni untuk mencapai kepuasan
4) Kepuasan itu merupakan penyelesaian dari suatu masalah yang dihadapi bersama.
5) Keadilan (al-‘adalah)
6) Persamaan (al-musawah)
7) Kemerdekaan (al-hurriyyah)
8) Perlindungan jiwa raga dan harta masyarakat

3. Prinsip-prinsip politik luar negeri dalam Islam


Prinsip-prinsip hukum Internasional dalam Islam (siyasah dauliyyah) adalah sebagai
berikut:
1) Saling menghormati fakta-fakta dan traktat-traktat
2) Menjaga kehormatan dan intergritas nasional negara masing-masing
3) Keadilan universal
4) Menjaga perdamaian abadi
5) Menjaga kenetralan negara-negara lain, serta larangan terhadap eksploitasi dan
imperlisme.
6) Islam yang hidup di negara lain
7) Bersahabat dengan kekuasaan-kekuasaan netral.
8) Menjaga kehormatan dalam hubungan Internasional
9) Persamaan keadilan untuk para penyerang (Mahfud, 2011).

4. Konsep Politik Islam


Realitas sejarah pada masa permulaan Islam atau periode klasik telah mencatat
berbagai macam sistem yang diberlakukan dalam pengangkatan khalifah atau kepala Negara.
Pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dipilih oleh forum musyawarah
(semacam majlis syûrâ) dan dibaiat oleh sekelompok kecil sahabat yang terdiri dari 5 orang,
yang dikenal dengan nama Baiat Saqifah. Sementara Umar ibn Khattab sebagai khalifah
kedua ditetapkan melalui pemilihan langsung dalam suatu baiat umum. Kemudian pemilihan
Usman bin Affan sebagai khalifah ketiga ditentukan dengan membentuk tim formatur atau
ahl al-halli wa al-`aqdi yang terdiri dari enam orang. Dua belas tahun kemudian Ali bin Abi
Thalib tampil sebagai khalifah keempat melalui pemilihan dan baiat dari orang banyak, baik
dari kelompok Muhajirin maupun Anshor meskipun ada pihak yang menolak, yaitu
Muawiyah Gubernur Suria yang berasal dari keluarga Usman (Hakim, 2014).
Di kalangan umat Islam ada pendapat bahwa Islam adalah agama yang komprehensif,
lengkap dan sempurna sebagai sebuah system kehidupan. Islam tidak hanya berisikan
tuntunan moral, tetapi juga system politik termasuk bentuk dan ciri-cirinya. Pendapat ini
antara lain dianut oleh Rasyid Rida, Hasan al-Bana, Sayid Qutub dan al-Maududi. Paradigma
pemikiran adalah agama yang serba lengkap dan memuat berbagai system kehidupan
termasuk ketatanegaraan pada umumnya didasarkan pada ayat-ayat Alquran (Hakim, 2014)
berikut:

َ‫ت َعلَْيك َْم َوأ َْْتَ ْمتَ ِدينَك َْم لَك َْم أَ ْك َملَْتَ الْيَ ْوَم‬ ِْ ‫اضطرَ فَم َِن ۚ ِدينًا‬
َ ِ ‫اْل ْس ََل ََم لَكمَ َوَر ِضيتَ نِ ْع َم‬ َ ْ ‫ف‬ َ ِ َ‫صة‬ ِ
َ ‫متَ َجانفَ َغ ََْي َمَْ َم‬
َ َ‫َرِحيمَ َغفور‬
َ‫اّللَ فَِإنَ ۚ ِِْل ْث‬

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan Telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu. Maka siapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Mâ’idah [5]: 3)

َ‫لََرِّبِِ َْم‬ َ ‫اب َِم ْن‬


َ‫َش ْيءََۚثََإِ َى‬ ِ َ‫فَالْ ِكَت‬
َ َِ‫احْي ِهَإَِلَأ َممَأ َْمثَالك ْمََۚ َماَفَرطْنَا‬ ِ ِ ِ ْ ‫َدابة َِف‬
ِ ‫َاْل َْر‬
َ ‫ض ََوََلَطَائرَيَطيَِبََن‬
ِ
َ ‫َوَماَم ْن‬
َ‫شرون‬
ََ ‫ُْي‬

“Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang


terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah kami
alpakan sesuatu pun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka
dihimpunkan.” (QS. al- An`âm [6]: 38).

ًَ َ‫ابَتِْب ي‬
َ‫ان‬ ََ ‫كَ َش ِه ًيداَ َعلَ ىَىَ ىَهؤََل َِءََۚ َونَزلْنَاَ َعلَْي‬
ََ َ‫كَالْ ِكت‬ ََ ِ‫اَعلَْي ِه ْم َِم ْنَأَنْف ِس ِه ْمََۚ َوِجْئ نَاَب‬
َ ‫َش ِه ًيد‬
َ ‫َويَ ْوَمَنَْب َعث َِفَك ِِلَأمة‬

َ‫ي‬ ِ ِ ِ َْ ‫لِك َِلَ َشيءََوه ًدىَور ْْحًَةَوب‬


َ ‫شَر ىىَللْم ْسلم‬ َ َ ََ َ ْ ِ
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang
saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad)
menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab
(Alquran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (QS. al-Nahl [16]: 89)

Bila diperhatikan sumber ajaran Islam, memang tidak ada aturan yang jelas dalam
Alquran maupun hadis yang menyebutkan bentuk dan sistem negara yang harus dijalankan
masyarakat muslim, termasuk aturan bagaimana mekanisme kekuasaan yang ada, apakah
mesti ada pemisahan (separation of power), pembagian (distribution of power) atau
penyatuan kekuasaan (integration of power) antara kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif.
Meskipun demikian, baik Alquran maupun hadis memberikan petunjuk berupa
prinsip-prinsip dasar yang bersifat umum tentang system pemerintahan. Dengan merujuk
sejumlah ayat yang menjadi dasar pandangan syariat tentang kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, dapat dikemukakan beberapa prinsip siyasah Islam (Hakim, 2014), sebagai
berikut:
1) Prinsip kesatuan umat manusia (QS. al-Baqarah [2]: 214; QS. al-Hujurat [49]: 13)
2) Prinsip Penegakan Hukum dan Keadilan (QS. al-Nisâ’[4]: 58, 105 dan135; QS. al-
Mâ’idah [5]: 6)
3) Prinsip Pengangkatan dan Ketaatan kepada Pemimpin (QS. Ali Imran [3]: 118; QS.
al- Nisa’ [4]: 59; QS. al-Syu`arâ’ [26]: 150-152, al-Qashash [28]: 26)
4) Prinsip Musyawarah (QS. Ali Imran [3]: 159; QS. al-Syûrâ [42]: 38)
5) Prinsip persamaan (QS. Nisâ’ [4]: 1; QS. al- Hujurât [49]: 13)
6) Prinsip hubungan antar tetangga (QS. Nisâ’ [4]: 2)
7) Prinsip tolong-menolong (QS. al-Maidah [5]: 2; al-Taubah [9]: 11; al-Balad [90]: 12-
16; al- Mâ`ûn [107]: 1-3)
8) Prinsip perdamaian dan perperangan atau hubungan internasional (QS. al-Nisa/4: 89-
90; al-Anfal [8]: 61; al-Hujurat [49]:9, al-Mumtahanah [60]: 8; al-Baqarah [2]: 190,
193, 216; al-Taubah [8]: 12)
9) Prinsip Administrasi (QS. al-Baqarah [2]: 282-283)
10) Prinsip HAM: hak hidup (QS. al-Isrâ’[17]: 33), hak milik pribadi (QS. al-Baqarah
[2]: 188; al-Nisâ’[4]: 29, 32), hak atas penghormatan pribadi (QS. al-Nûr [24]: 27; al-
Hujurât [49]: 11-12), Hak berpendapat dan berserikat (QS. al-Nisâ [4]: 59; Ali Imran
[3]: 103; al-Ashr [103]: 3), hak pembelaan diri dan persamaan di depan hukum (QS.
al-Nisâ’ [4]: 58; al-Syûrâ [42]: 41)
11) Prinsip amar makruf nahi munkar atau oposisi (QS. Ali Imran [3]: 110.

5. Kontribusi umat Islam terhadap kehidupan politik di Indonesia


Islam bukan hanya agama namun bisa dikategorikan sebagai ideologi yang sudah
lama dibangun dan menjadi prinsip hidup manusia khususnya umat muslim, karena
didalamnya mencakup aturan-aturan yang berhubungan dengan kehidupan manusia.
Didalam Islam terdapat aturan, undang-undang dan budaya yang menjadi pedoman utama
tata kehidupan umat muslim secara keseluruhan, mulai dari hal-hal yang bersifat individu
hingga urusan sosial masyarakat secara luas. Sesuai dengan namanya, Islam adalah
keselamatan, kedamaian keselarasan dan kesejahteraan yang dibangun atas dasar ketaatan.
Islam hanya akan menjadi konsep belaka apabila tidak dibarengi dengan integralitas dan
perfeksitas Islam oleh para pemeluknya yang memiliki keimanan tersebut (Amalia, 2017).

Islam sebagai sebuah ajaran yang mencakup persoalan spiritual dan politik telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap kehidupan politik di Indonesia.
Pertama, ditandai dengan munculnya partai-partai berasaskan Islam serta partai nasionalis
berbasis umat Islam dan kedua, ditandai dengan sikap pro-aktifnya tokoh-tokoh politik Islam
dan umat Islam terhadap keutuhan negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sejak proses
awal kemerdekaan, hingga era reformasi saat ini. Berkaitan dengan keutuhan negara,
misalnya, Muhammad Natsir pernah menyerukan umat Islam agar tidak mempertentangkan
Pancasila dengan Islam. Dalam pandangan Islam, perumusan Pancasila bukan merupakan
suatu yang bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an, karena nilai-nilai yang terdapat dalam
Pancasila juga merupakan bagian dari nilai-nilai yang terdapat dalam Al-Qur’an.Dengan
alasan keutuhan dan persatuan bangsa, umat Islam rela menghilangkan tujuh kata dari sila ke
satu dari Pancasila, yaitu kata-kata “Dengan kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para
pemeluknya”.Namun sebagian umat Islam menyesalkan dan merasa kecolongan
dilepaskannya tujuh kata tersebut (Mahfud, 2011).

Perdebatan antara yang mengusulkan, menolak dan menerima tujuh kata dalam
rancangan teks UU tersebut merupakan gambaran peta ideologis umat Islam pada masa-masa
awal. Dari kalangan Islam di tim sembilan perumus UU, terpetakan ke beberapa kelompok
Islam, yakni modernis, tradisional, fundamentalis dan nasionalis. Perdebatan antara menolak
dan menerima memerlihatkan bagaimana ideologi organisasi memberikan pengaruh dalam
perumusan sebuah ideologi negara.

Jauh sebelum rumusan rancangan UU tersebut mengerucut pada usaha formulasi


hukum Islam sebagai ideologi negara, perdebatan ideologi politik Islam sudah mengemuka.
Dua organisasi besar (Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah) yang lahir sebelum munculnya
wacana syarî‘ah Islam dalam rancangan undang-undang sudah terlebih dahulu terlibat dalam
perbincangan serius soal ideologi negara. NU dan Muhammadiyah memiliki sejarah
kelahiran yang berbeda yang kemudian diusung menjadi ideologi gerakan mereka.NU yang
pada awalnya bermazhab pada Hijaz dan Muhammadiyah kepada Kairo dari sisi latar
belakang keagamaan memiliki corak dan perspektif yang berbeda.NU dikenal dengan
ideologi tradisional sementara Muhammadiyah dikenal dengan corak modernis.Perbedaan
pandangan tentang ideologi negara juga tergambar ketika NU menjadi partai politik pada
tahun 1955, sementara Muhammadiyah melebur ke Masyumi (meskipun tidak sedikit dari
Ormas selain Muahmmadiyah masuk ke Masyumi).

Debat soal ideologi politik Islam baik di parlemen maupun di luar parlemen
didominasi oleh dua kubu tersebut (NU dan Muhammadiyah), baik pada Pemilu 1971, era
fusi partai tahun 1973, era Khittah NU tahun 1984. Namun demikian, kedua Ormas tersebut
tidak mampu menembus kekuasaan Orde Baru yang selalu menggunakan tangan besi untuk
melawan aktivis Islam yang berusaha untuk mengusung ideologi Islam dalam negara
kesatuan Republik Indonesia. Debat soal ideologi politik Islam hanya sebatas wacana dan
menjadi isu-isu partisan untuk memengaruhi publik, karena tidak mampu menembus level
negara. Apalagi usaha pembungkaman melalui (pemaksaan) untuk menerima Pancasila
sebagai satu-satunya ideologi negara oleh pemerintah dijalankan sangat efektif dengan
memotong kekuatan politik di lembaga resmi seperti legislatif.

Sejak tahun 1990-an, berbagai unsur Islam memeroleh peluang yang semakin luas
dalam ruang-ruang negara. Pergeseran posisi Islam yang semakin ke tengah dalam panggung
politik ini sering disebut “politik akomodasi Islam”. Setidaknya ada empat pola akomodasi
yang menonjol: pertama, “akomodasi struktural”, yakni dengan direkrutnya para pemikir dan
aktivis Muslim untuk menduduki posisi penting dalam birokrasi negara. Kedua, “akomodasi
infrastruktur”, yakni penyediaan dan bantuan infrastruktur bagi kepentingan umat dalam
menjalankan kewajiban agama mereka. Ketiga, “akomodasi kultural”, berupa diterimanya
ekspresi kultural Islam ke dalam wilayah publik seperti pemakaian jilbab, baju koko hingga
ucapan al-salâm ‘alaykum. Keempat, “akomodasi legislatif” yakni upaya untuk memasukkan
aspek hukum Islam menjadi hukum negara, meskipun bagi umat Islam saja (Chalik, 2014).

Setelah era reformasi yang sukses menumbangkan rezim Soeharto pada tahun 1998
dengan dibukanya kran demokrasi dan kekebasan berpolitik praktis, perbincangan Islam
sebagai ideologi politik mencapai puncaknya. Bersamaan dengan itu, Ormas Islam yang
selama Orde Baru tiarap dan lebih banyak bergerak di bawah tanah bermunculan dengan
agenda ideologi politik yang berbeda. Bersamaam dengan era Reformasi, muncul Ormas
Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Laskar Ahlus Sunnah
Waljamaah, Laskar Jihad, Front Pembela Islam (FPI), Dakwah Salafi. Hal yang sama juga
terjadi pada partai politik, baik yang secara langsung berafiliasi dengan Ormas Islam maupun
yang secara tersembunyi berdiri di belakang Ormas Islam. Baik MMI maupun HTI secara
tegas mengusung agenda politik: legalisasi hukum Islam dalam sebuah negara, dan
menganggap bahwa negara yang tidak menjadikan syariat sebagai UU dianggap bertentangan
dengan Islam (Chalik, 2014).

Kelompok-kelompok tersebut di atas (Islam Politik) di kalangan akademisi


menyebutnya sebagai Islam Fundamentalis, misalnya Majelis Mujahidin Indonesia (MMI),
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI) sejalan dalam menyikapi
perpolitikan Islam di Indonesia. Mereka berpendapat bahwa kedaulatan hanya milik Tuhan
dan bahwa Syariah marupakan satu-satunya bentuk pemerintahan paling absah yang akan
mampu memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh kaum Muslim. Di samping itu bahwa
demokrasi menimbulkan adanya pandangan yang sekuler dalam kehidupan politik dan
keagamaan. Dengan demikian tidak ada jalan lain untuk menghidupkan kembali Islam di
Indonesia kecuali harus kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadith, baik untuk menata
kehidupan sosial, budaya maupun politik (Basyir, 2016).

Indonesia merupakan Negara yang berhasil mengubah sistem politik dari


otoritarianisme menuju demokrasi serta melewati era transisi demokrasi secara
relatif damai.Hal ini telah menjadikan negara Indonesia menjadi sebuah kekuatan
baru demokrasi dunia yang diperhitungkan.Sebagai negara berpenduduk mayoritas
Muslim, Indonesia dapat disebut contoh utama, kalau bukan satu-satunya, yang
berhasil menjadikan Islam dan demokrasi sebagai dua sejoli yang tidak terpisahkan
satu-sama lain (Sholikin, 2018).

B. HAK ASASI MANUSIA


1. Hak Asasi Manusia secara umum
Secara umum term hak-hak asasi manusia dinamai dengan hak-hak yang melekat
pada manusia sejak lahir. Tanpa dengannya mustahil seseorang dapat hidup sebagai manusia
secara utuh. Hak-hak ini berlaku pada setiap umat manusia tanpa memperhatikan faktor-
faktor pemisah seperti ras, agama, warna kulit, kasta, kepercayaan, jenis kelamin, atau
kebangsaan.

Sehubungan dengan hal tersebut, sebagaimana yang dipaparkan oleh Eggi Sudjana
yang dikutip oleh Laila Rahmawati, mengemukakan bahwa pada hakekatnya hak-asasi
manusia terdiri dari dua hak fundamental yang ada pada diri manusia yaitu hak persamaan
dan hak kebebasan. Dari kedua hak ini, lahir hak-hak lain yang bersifat turunan. Adapun hak-
hak turunan yang dimaksud meliputi segala hak- hak dasar seperti hak hidup, hak
berpendapat, hak beragama, hak berpenghidupan yang layak, hak persamaan di muka hukum,
hak milik, hak-hak memperoleh kecerdasan intelektual dan sebagainya (Rahmawati, 2017).

Perkembangan hak asasi manusia tidak dapat dipisahkan dengan negara hukum,
karena salah satu indikasi untuk disebut sebagai negara hukum, antara lain ditegakkannya
hak asasi manusia, karenanya negara hukum tanpa mengakui, menghormati sampai
melaksanakan sendi-sendi hak asasi manusia tidak dapat disebut sebagai negara hukum.
Sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi manusia Indonesia mengatur hak
asasi manusia didalam konstitusinya yaitu undang-undang dasar 1945, sebagaimana halnya
juga konstitusi negara-negara didunia.

Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata sejak dahulu
hingga saat sekarang ini tercermin dari perjuangan manusia dalam mempertahankan harkat
dan martabatnya dari tindakan sewenang-wenang penguasa yang tirani. Timbulnya
kesadaran manusia akan hak-haknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor penting
yang melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai HAM
(Matompo, 2014).

Karena HAM itu bersifat kodrati, sebenarnya ia tidak memerlukan legitimasi yuridis
untuk pemberlakuannya dalam suatu sistem hukum nasional maupun internasional. sekalipun
tidak ada perlindungan dan jaminan konstitusional terhadap HAM, hak itu tetap eksis dalam
setiap diri manusia. Gagasan HAM yang bersifat teistik ini diakui kebenarannya sebagai nilai
yang paling hakiki dalam kehidupan manusia.namun karena sebagian besar tata kehidupan
manusia bersifat sekuler dan positivistik, maka eksistensi HAM memerlukan landasan
yuridis untuk diberlakukan dalam mengatur kehidupan manusia (Sutiyoso, 2002).

Meskipun demikian, dalam sejarahnya gagasan tentang hak asasi manusia tidak
terpisahkan dengan aspek politik, Magna Charta tahun 1512 di Inggris misalnya, menggagas
bahwa raja yang berkekuasaan absolut (menciptakan hukum) menjadi terbatas dapat dimintai
pertanggungjawabannya di muka umum. Lahirnya Magna Charta kemudian diikuti peraturan
sejenis yang lebih dikenal Bill of Right tahun 1689. Saat itu timbul adigium equality before
the law (persamaan kedudukan dimuka hukum). Adigium inilah yang akhirnya mendorong
timbulnya negara hukum dan demokrasi.

Gagasan tentang hak-hak asasi manusia tersebut sebagai reaksi terhadap keabsolutan
dan kaum feodal pada masa itu. Sebagai reaksi terhadap keadaan yang pincang (penguasa-
rakyat, tuan-budak) maka timbullah gagasan agar lapisan bawah dapat dimerdekakan hak-
haknya, sebab mereka adalah manusia perlu diangkat derajatnya dari kedudukan budak
menjadi sama dengan lapisan atas. Dari keadaan yang demikian muncullah ide persamaan
(egalite), persaudaraan (fraternite), dan kebebasan (liberte).

Dalam perkembangan berikutnya, HAM yang bentuknya sekarang ini, ditandai


dengan lahirnya The American Declaration of Independence, (Deklarasi kemerdekaan)
Amerika serikat 1776. Dalam deklarasi ini dipertegas, manusia adalah merdeka sejak ada di
dalam perut ibunya, dan tidak lagi merdeka, setelah lahir mereka dibelenggu. Kemudian
tahun 1789 lahir The French Declaration yaitu deklarasi HAM dan warga negara Perancis.
Inti dari isi deklarasi tersebut adalah hak-hak asasi yang diperinci, sehingga melahirkan dasar
The rule of law. Misalnya tidak boleh ditangkap dengan semena-mena, tidak diperkenankan
menangkap orang tanpa alasan yang sah dan di tahan tanpa surat perintah. Asas praduga tak
bersalah (presumption of innonce), kebebasan mengeluarkan pendapat, (freedom of
expression), kebebasan beragama, (freedom of religion), dan pengaturan hak milik (the right
of property).

Sejarah HAM memasuki babak baru setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)


mengeluarkan Universal Declaration of Human Right (UHDR) yang populer dikenal dengan
deklarasi HAM Internasional tahun 1948.Sejak itu, konsep HAM berkembang tidak hanya
berkaitan dengan hak politik dan sipil, tetapi juga pada hak-hak ekonomi dan social
(Rahmawati, 2017).

2. Hak Asasi Manusia menurut Ajaran Agama Islam

Hidup dan kehidupan rnanusia merupakan takdir Allah SWT. Manusia tidak dapat
melepaskan diri dari segala ketetapan Allah. Takdir telah meletakkan manusia dalam suatu
proses, suatu rentetan keberadaan, urutan kejadian, tahapan-tahapan kesempatan yang
diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berikhtiar mempertahankan serta melestarikan
hidup dan kehidupannya. Dalam kehidupannya, manusia tidak hanya sebatas hidup, tapi ada
beban taklif di dalamnya yang meliputi hak dan kewajiban dalam seluruh proses
kehidupannya.
Pada hakikatnya secara kodrat manusia telah dianugerahi hak-hak pokok yang sama
oleh Allah Swt. Hak-hak pokok inilah yang disebut sebagai hak asasi manusia (HAM). HAM
yang melekat pada diri manusia, bersifat kodrati, universal, dan abadi berkaitan dengan
martabat dan harkat manusia itu sendiri (Atqiya, 2014).
Sebuah ayat al-Qur'an menyebutkan, pada prinsipnya umat manusia itu sama, tidak
dibedakan oleh warna kulit, ras, dan suku bangsa. dalam ayat al-Qur-an disebutkan: "Hai
manusia, Kami jadikan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami jadikan kalian
bersuku dan berbangsa agar saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di
antara kalian adalah yang paling bertakwa". ini menunjukan sejatinya tidak ada prinsip
perbedaan antara suku bangsa yang satu dengan suku bangsa lain (Alim & Wijaksana, 2011).
Islam membicarakan tentang HAM merupakan pemberian dari pencipta karena manusia
diberikan keistimewaan atau kemuliaan (Q.S al-Isra’: 70). Allah juga mengangkat harkat dan
martabat manusia dengan menjadikannya sebagai khalifah di muka bumi (QS. al-
Baqarah,:30). Nabi diutus sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam (Q.S. al-
Anbiya’107).

Dalam berbagai sunnahnya Nabi Muhammad berusaha untuk menghapuskan


diskriminasi. Ketika beliau menunaikan ibadah haji terakhir, beliau beramanat di padang
Arafah, bahwa sesungguhnya leluhurmu adalah satu yaitu Adam. Lebih jelasnya kata Nabi,
“Tidak berbeda antara orang Arab dengan orang bukan Arab, orang berkulit putih dan kulit
berwarna, kecuali takwanya. Hanya ketakwaan yang membedakan mereka” (Alim &
Wijaksana, 2011).

Demikian pula dakwah Nabi Muhammad ditutup dengan pesan yang disampaikan
pada khutbah haji Wada’ dengan menegaskan bahwa “belum sempurna keIslaman seseorang
jika dalam kehidupannya tidak menghormati dan menjujung harkat dan martabat manusia,
baik laki-laki maupun wanita”. Dalam sabda Nabi “Tidaklah beriman seseorang kamu
sehingga kamu mencintai saudaramu sebagaimana kamu mencintai dirimu sendiri”
(Rahmawati, 2017).

Secara prinsip, HAM dalam Islam mengacu pada al-dlaruriyat al-khamsah atau yang
disebut juga al-huquq al-insaniyah fi al-Islam (hak-hak asasi manusia dalam Islam). Konsep itu
mengandung lima hal pokok yang dikemukakan oleh Imam Asy-Syathibi yang harus dijaga oleh
setiap individu (Atqiya, 2014) yaitu :
1. Menjaga agama (hifzd al-din). Alasan diwajibkannya berperang dan berjihad, jika
ditujukan untuk para musuh atau tujuan senada. Dari pengertian di atas dapat dipahami
bahwa :
a. Islam menjaga hak dan kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Artinya setiap
pemeluk Islam berhak atas agama dan mazhabnya dan tidak ada paksaan untuk
mengikuti atau meninggalkannya. (QS.al-Baqarah: 256, dan QS. Yunus: 99).
b. Islam juga menjaga tempat-tempat peribadatan baik milik muslim ataupun non
muslim, menjaga kehormatan syiar mereka, bahkan Islam memperbolehkan
berperang karena untuk menjaga kebe-basan beribadah (QS.al-Hajj: 39-40).
Dari pemaparan di atas maka jelaslah bahwa Islam sangat menghargai toleransi
dengan menerapkan bahwa orang-orang kafir dzimmi di negara Islam ada dalam
tanggungan negara sama seperti muslim. Namun toleransi di sini hanya terbatas pada
bidang mu`a-malah, bukan pada `ubudiyah (QS.al-Kafirun:1-6).
2. Menjaga jiwa (hifzd al-nafs). Alasan diwajibkannya hukum qishash, yang didasarkan
pada QS. al-Baqarah:178-179) diantaranya menjaga kemuliaan dan kebebasannya.
Islam sangat menghormati jiwa. Karena sebenarnya hanya Allah lah sang
pemberi kehidupan dan Dia pula yang mematikan (QS.al-Mulk:2 dan al-Isra:33). Dalam
konteks ini harus dibedakan antara pembunuhan dan kematian. Pembunuhan berarti
merusak struktur tubuh yang menyebabkan keluarnya ruh pada tubuh yang sehat dengan
spesifikasi-spesifiksi khusus dengan menggunakan senjata tajam atau tembakan peluru
dan yang sejenisnya. Sedangkan kematian adalah keluarnya ruh dari tubuh dalam kedaan
sehat dan hanya Allah yang mematikan.
Dari definisi di atas dapat dibedakan bahwa pembunuhan ada unsur merusak atau
menghancurkan sebelum ruh keluar dari jasad, sedangkan kematian ruh keluar dari jasad
dalam kondisi tubuh yang sempurna. Terhadap keadaan ini Islam membedakan sengaja
dan tidak sengaja yang keterangannya ada dalam kitab-kitab fiqh.
3. Menjaga akal (hifzd al ‘aql). Alasan diharamkannya semua benda yang memabukkan
atau narkotika dan sejenisnya. Akal adalah sumber hikmah atau pengetahuan, cahaya
muara hati, sinar hidayah dan media kebahagiaan manusia di dunia dan akhlirat. Dengan
akalnya manusia bisa menjalankan perannya sebagai khalifah fi al-ardl. Dan dengan
akalnya pula manusia menjadi berbeda dengan makhluk lainnya di alam ini. Dengan
akalnya pula Allah memuliakan manusia dari makhluk lainnya (QS.al-Isra`:70).
Oleh karena itu, Islam sangat menjaga dan melindungi akal dan memberikan
sanksi berupa had atas pelanggaran yang bisa merusak akal. Seperti minum khamr (QS.
al-Nisa’:43 dan al-Ma’idah: 90) dan benda-benda lain yang menurut adat kebiasaan
menyebabkan hilang akalnya, dalam hal ini selain untuk kebutuhan medis.
4. Menjaga harta (hifzd al-mal). Alasan pemotongan tangan untuk para pencuri dan
diharamkannya riba dan suap-menyuap, atau memakan harta orang lain dengan cara
bathil lainnya. Harta merupakan salah satu inti kebutuhan dalam kehidupan, di mana
manusia tidak bisa dipisahkan dengannya (QS. al-Kahfi:46). Adapun cara mendapatkan
harta adalah dengan bekerja (kasb) atau dengan mawarits. Karena itu, Islam melarang
mendapatkan harta dengan cara-cara yang batil (QS. al-Baqarah:188, Al-Nisa’:29, al-
Baqarah :275-276, al-Baqarah:278-280). Islam secara tegas melarang mencuri
sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an (QS.al-Maidah: 38).
5. Menjaga keturunan (hifd al-nasl). Alasan diharamkannya zina dan qazdaf. Dalam hal ini,
Islam sangat menganjurkan pernikahan terhadap mereka yang dianggap dan merasa
sudah mampu untuk melakukannya untuk menjaga keturunan, harta dan kehormatan.
Perhatian Islam ini untuk mengukuhkan aturan, perbaikan, ketenangan dan mengayomi
serta memberikan jaminan dalam kehidupan. Hal ini di-dasarkan pada peraturan yang
bijaksana.

Kelima pokok dasar inilah yang harus dijaga oleh setiap umat Islam supaya menghasilkan
tatanan kehidupan yang lebih manusiawi, berdasarkan atas penghormatan individu atas individu,
individu dengan masyarakat, masyarakat dengan negara, dan komunitas agama dengan
komunitas agama yang lainnya.

3. Hak Asasi Manusia Versi Barat dan Islam


Manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa secara kodrati dianugerahi hak
dasar yang disebut hak asasi tanpa perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Dengan hak
asasi tersebut manusia dapat mengembangkan diri pribadi, peranan, dan sumbangannya bagi
suatu hak dasar yang melekat pada diri setiap manusia (Mahfud, 2011). Pandangan Islam
mengenai HAM sebetulnya sudah ada jauh sebelum orang-orang Barat mengembangkan
humanisme, human rights, yang tercermin dalam pidato terakhir Nabi pada saat melakukan
haji Wada'. Prinsip-prinsip HAM memang sudah tertuang dalam Islam, hanya belum
disistematikkan.

Dalam pandangan Islam pada prinsipnya hak asasi manusia bukanlah berasal dari
siapapun, melainkan berasal dari causa prima alam semesta ini yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Disinilah terdapat perbedaan yang mendasar antara konsep HAM dalam Islam dengan
konsep HAM Barat seperti yang ada dalam masyarakat internasional. HAM dalam
pandangan Islam, dikategorisasikan sebagai aktivitas yang didasarkan pada diri manusia
sebagai khalifah Allah di muka bumi, sedangkan bagi pandangan Barat, HAM ditentukan
oleh aturan- aturan publik demi tercapainya perdamaian dan keamanan semesta alam.

Selain itu, perbedaan juga terdapat dalam cara memandang HAM itu sendiri. Islam,
menurut pandangan yang sifatnya teosentris, mengandung aspek ketuhanan dan manusia
hidup dimaksudkan untuk mengabdi kepada-Nya. Karenanya, nilai-nilai yang selama ini
dikenal di dunia internasional, termasuk yang dianggap dari Barat sekalipun, seperti
demokrasi, kesejahteraan ekonomi, dan sebagainya diperuntukkan bagi tegaknya HAM yang
berorientasi pada penghargaan manusia. Ukuran sesuatu mesti diselaraskan dengan
keberadaan manusia, sehingga watak yang berkembang lebih dekat penghargaan individu-
individu semata. Pemahaman inilah yang kemudian dikenal dengan antrophosentrisme.

Pemaknaan HAM yang berkembang di Barat telah menempatkan manusia dalam


setting yang terpisah dengan Tuhan (devided God). Hak asasi manusia merupakan hak yang
secara alamiah akan diperoleh seseorang sejak lahir. Perbedaan persepsi tentang manusia,
hak-haknya, hingga nasibnya merupakan salah satu sebab yang memicu konflik antara dunia
Barat dengan Timur, dalam hal ini adalah Islam. HAM adalah anugrah Tuhan, sehingga
setiap individu harus bertanggung jawab pada Tuhan (Rahmawati, 2017).Hak Asasi Manusia
ciptaan Barat moden begitu ketara nilai sekularnya. Dalam Islam, perkara yang dikaitkan
dengan Hak Asasi Manusia sebenarnya terangkum pada prinsip asas Maqasid al-Syari`ah
iaitu memelihara agama, nyawa, akal, keturunan dan harta (Yaakob & Moris, 2019).

Mencermati hal tersebut diatas, dapat dipahami bahwa Islam sebagai agama sangat
menghormati hak-hak yang ada pada diri manusia termasuk dalam hal penegakkan hukum.
Antara hak-asasi manusia dengan hukum adalah bagian integral yang tak dapat dipisahkan.
Berpikir tentang hukum otomatis akan berkaitan dengan ide bagaimana keadilan dan
ketertiban dapat terwujud. Pengakuan dan pengukuhan hukum pada hakikatnya ditujukan
untuk menjamin terjaganya hak asasi manusia. Persamaan yang dimiliki oleh manusia di
muka hukum, tanpa ada perbedaan etnis, agama bangsa, keturunan, kelas, dan kekayan. Juga
tanpa dibedakan antara muslim, nasrani, atau lainnya, antara cendekiawan dengan yang
bukan, antara yang kuat dengan yang lemah (Rahmawati, 2017). Pemikiran Barat tentang
hak asasi manusia menempatkan manusia pada posisi bahwa manusialah yang menjadi tolak
ukur segala sesuatu. Sedangkan di dalam Islam melalui firman-Nya, Allah SWT-lah yang
menjadi tolak ukur segala sesuatu karena manusia adalah ciptaan-Nya untuk mengabdi
kepada-Nya.

Dari paparan tersebut, sangat jelas perbedaan antara pemahaman Barat yang
dilatarbelakangi oleh sekularisme dengan pemahaman Islam yang menjunjung tinggi nilai-
nilai ketuhanan. HAM di Barat hanya dipertanggungjawabkan pada sesama manusia,
sedangkan dalam Islam pertanggungjawabannya kepada manusia dan kepada Tuhan. Dengan
kata lain bahwa HAM bukan sekedar masalah kemanusiaan saja, tetapi juga masalah yang
berhubungan dengan masalah ketuhanan (teosentris). Sebab, pada dasarnya, secara fitri
manusia senantiasa menginginkan agar kebutuhan pokoknya terpelihara. Dalam hal ini
sangat terkait dengan tujuan Tuhan menurunkan syari’at atau biasa disebut dengan istilah
maqasid al- syari yang berintikan kemaslahatan manusia. Hal ini dapat dilihat pada Q.S. al-
Maidah (5): 16; Q.S.al-An’am (6): 104; Q.S. Yunus (10): 57, 58 dan 108 (Rahmawati, 2017).

SOAL-SOAL LATIHAN

1. Jelaskan Pengertian Politik Islam!


2. Jelaskan Prinsip-Prinsip dasar Politik Islam!
3. Jelaskan Prinsip-prinsip Politik Luar Negeri dalam Islam!
4. Jelaskan Pengertian Hak Asasi Manusia!
5. Jelaskan Hak Asasi Manusia menurut Ajaran Agama Islam dan Barat!

LEMBAR JAWABAN
SOAL-SOAL LATIHAN
BAB XI

1.

2.

3.

4.
5.

Abdussalam.(2011).Politik Hukum. Jakarta: PTIK Press.


Amalia, N. R. (2016). Penerapan Konsep Maqashid Syariah untuk Realisasi Identitas Politik
Islam di Indonesia.Dauliyah Journal of Islamic and International Affairs, 2(1), 31-
50.
Anggara, S. (2013).Sistem Politik Indonesia (Vol. 1, No. 1).CV Pustaka Setia.
Basyir, K. (2016). Ideologi Gerakan Politik Islam Di Indonesia.Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran
Islam, 16(2), 339-362.
Chalik, A. (2014). Fundamentalisme dan masa depan ideologi politik Islam. ISLAMICA:
Jurnal Studi Keislaman, 9(1), 54-80.
III.Madani Jurnal Politik dan Sosial Kemasyarakatan, 10(1), 12-33.
Solikhin, A. (2016). Islam, Negara, dan Perlindungan Hak-Hak Islam Minoritas. Journal of
Governance, 1(1).
http://journal.unpar.ac.id/index.php/veritas/article/view/1418

Anda mungkin juga menyukai