Anda di halaman 1dari 140

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA TN. P DENGAN DIAGNOSA MEDIS POST OP


LAPARATOMY INDIKASI PERITONITIS DI RUANG
ICU RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKA RAYA

Oleh :
HALIMATUSSYADIAH
( 2017.C.09a.0889 )

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
PRODI SARJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan ini di susun oleh :


Nama : Halimatussyadiah
NIM : 2017.C.09a.0889
Program Studi : Sarjana Keperawatan Tingkat 4B
Judul : Laporan dan Asuhan Keperawatan Pada dengan Tn.P Diagnosa
Medis Post Op Laparatomy Indikasi Peritonitis di Ruang ICU RSUD
dr.Doris Sylvanus Palangka Raya
Telah melakukan Asuhan Keperawatan sebagai persyaratan untuk menyelesaikan
Praktik Praklinik Keperawatan 3 Program Studi Sarjana Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Eka Harap Palangkaraya.

Laporan keperawatan ini telah di setujui oleh :

Pembimbing Akademik

Nia Pristina, S.Kep, Ners

i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa Karena atas
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan pendahuluan
yangberjudul “Laporan Pendahuluan dan Asuhan Keperawatan Pada Tn.P Dengan
Diagnosa Medis Post Op Laparatomy Indikasi Peritonitis Diruang ICU RSUD dr.
Doris Sylvanus Palangka Raya”
Penyusun menyadari tanpa bantuan dari semua pihak maka laporan studi kasus
ini tidak akan selesai sesuai dengan waktu yang diharapkan. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini pula penyusun mengucapkan banyak terima kasih terutama kepada:
1. Ibu Maria Adelheid Ensia, S.Pd., M.Kes selaku Ketua STIKES Eka Harap
Palangka Raya.
2. Ibu Meilitha Carolina, Ners., M.Kep selaku ketua program studi Sarjana
Keperawatan.
3. Ibu Ika Paskaria, S.Kep.,Ners Selaku Koordinator PPK III.
4. Ibu Nia Pristina, S.Kep.,Ners selaku pembimbing akademik yang telah
memberikan bantuan dalam proses praktik lapangan dan penyelesaian asuhan
keperawatan dan laporan pendahuluan ini.
5. Orang tua kami, keluarga kami, dan orang terdekat yang telah memberikan
bimbingan, motivasi dan bantuan kepada saya dalam hal material.
6. Kepada keluarga Ny.P yang telah bersedia mengizinkan pasien sebagai kelolaan
dalam asuhan keperawatan.
7. Kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan studi kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penulisan
studi kasus ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari
semua pihak yang bersifat membangun untuk menyempurnaan penulisan studi kasus
ini. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga laporan studi kasus ini
bermanfaat bagi kita semua.

ii
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .......................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan .........................................................................................2
1.4 Manfaat Penulisan .......................................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Penyakit ...............................................................................3
2.1.1 Definisi Peritonitis ..............................................................................3
2.1.2 Etiologi Peritonitis...............................................................................4
2.1.3 Klasifikasi Peritonitis...........................................................................5
2.1.4 Patofisiologi Peritonitis.......................................................................5
2.1.5 Manifestasi Peritonitis.........................................................................9
2.1.6 Komplikasi Peritonitis.........................................................................9
2.1.7 Pemeriksaan Penunjang Peritonitis....................................................10
2.1.8 Penalaksanaan Medis Peritonitis.......................................................12
2.2 Manajemen Asuhan Keperawatan ...........................................................12
2.2.1 Pengkajian .........................................................................................12
2.2.2 Diagnosa Keperawatan .....................................................................16
2.2.3 Intervensi ..........................................................................................17
2.2.4 Implementasi .....................................................................................24
2.2.5 Evaluasi .............................................................................................24
BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN
3.1 Pengkajian .............................................................................................26
3.2 Diagnosa Keperawatan .........................................................................31
3.3 Intervensi ...............................................................................................32
3.4 Implementasi .........................................................................................33
3.5 Evaluasi .................................................................................................33
DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA

1.1. Konsep Dasar Post Op Laparatomy


1.1.1 Definisi

Laparatomi adalah pembedahan yang dilakukan pada usus akibat terjadinya


perlekatan usus dan biasanya terjadi pada usus halus (Arif Mansjoer ,2017).
Laparatomy adalah pembedahan perut ,membuka selaput perut dengan operasi
(Lakamana,2017).
Laparatomi merupakan prosedur pembedahan yang melibatkan suatu insisi
pada dinding abdomen hingga ke cavitas abdomen. Laparatomi merupakan teknik
sayatan yang dilakukan pada daerah abdomen yang dapat dilakukan pada bedah
digestif dan obgyn. Adapun tindakan bedah diagestif yang sering dilakukan dengan
teknik insisi laparatomi ini adalah
herniotomi,gesterektomi,kolesistoduodenostomi,hepatorektomi,apendektomi,kolosto
mi,hemoroidektomi dan fistuloktomi.(Sjamsurihidayat.2017).
Jadi, laparatomy atau laparatomi merupakan prosedur bedah dengan membuat
sayatan di dinding perut. Laparatomi dilakukan untuk mendiagnosis serta mengobati
masalah pada organ didalam perut. Seperti masalah pencernaan dan gangguan
diorgan hati,pankreas,limpa,dan empedu ( jong ,2015).

1.1.2 Etiologi
Etiologi sehingga dilakukan laparaomi adalah karena disebabkan oleh
beberapa hal (Smeltzer,2015)
1.1.2.1 Trauma abdomen (Tumpul atau tajam )
1.1.2.2 Peritonitis
1.1.2.3 Pendarahan saluran cerna
1.1.2.4 Sumbatan pada usus halus dan usus besar
1.1.2.5 Massa pada abdomen

1.1.3 Klasifikasi Post Op Laparatomy


1.1.3.1 mid-line incision
1.1.3.2 paramedian yaitu: seikit ke tepi dari garis tengah (±2,5 cm) ,panjang (12,5 cm)
1.1.3.3 Transverse upper abdomen incision, yaitu : insisi dibagian atas ,misalnya
pembedahan colesistotomy dan splenektomy
1.1.3.4 Transverse lover abdomen incision ,yaitu : insisi melintang dibagian bawah ±
4 cm diatas anterior spinaliliaka,misalnya: pada operasi appendictomy.

1.1.4 Patofisiologi
Trauma adalah ceder/ruda paksa atau kerugian psikologis atau emosional
(Dorland,2016). Trauma adalah luka atau cedera fisik lainnya atau cedera fisiologis
akibat gangguan emosional yang hebat (Brooker,2015). Penyalahgunaan alkohol dan
obat telah menjadi faktor komplikasi pada trauma tumpul dan tembus serta trauma
yang disengaja atau tidak disengaja (Smezelt,2016). Trauma abdomen adalah cedera
pada abdomen ,dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja
atau tidak disengaja, (Smezelt,2016).
Trauma abdomen merupakan luka pada isi rongga perut dapat terjadi dengan
atau tanpa tembusnya dinding perut dimana pada penanganan/penatalaksanaan lebih
berisfat kedaruratan dapat pula dilakukan tindakan laparatomi. Tususkan
/tembakan,pukulan ,benturan ledakan,sedelarasi,kompresi atau sabuk pengaman (set-
belt) dapat mengkibatkan terjadinya trauma abdomen sehingga harus dilakukan
laparatomy (Arif Muttaqin,2017).
Patway

Post Op Laparatomy

Insisi Bedah

Menyebabkan perlukaan pada


abdomen

Terputusnya Luka insisi bedah


inkontinuitas tidak terawat
jarngan

Merangsang Adanya
pengeluaraan peningkatan
histamin

Leukosit

Nyeri Resiko Infeksi


1.1.5 Manifestasi Klinis
1.1.5.1 Nyeri tekan
1.1.5.2 Perubahan tekanan darah ,nadi dan pernapasan
1.1.5.3 Kelemahan
1.1.5.4 Gangguan integumen dan jaringan subkutan
1.1.5.5 Kontipasi
1.1.5.6 Mual dan muntah,anoreksia

1.1.6 Komplikasi
1.1.6.1 Gangguan perfusi jaringan sehubung dengan tromboplebitis. Tromboplebitis
post operasi biasanya timbul 7-14 hari setelah operasi bahaya besar
Tromboplebitis timbul bila darah tersebut lepas dari dinding pembuluh darah
vena dan ikut aliran darah sebagai emboli ke paru- paru,hati dan otak.
1.1.6.2 Infeksi ,infeksi luka sering muncul pada 36-46 jam pasca operasi. Organisme
yang paling sering menimbulkan infeksi adalah stapilococus aurens,organisme
gram positif.stapilococus mengakibatkan pendarahan.Untuk menghindari
infeksi luka yang paling penting adalah perawatan luka dengan
memperhatikan aseptik dan antiseptik.
1.1.6.3 Kerusakan intergritas kulit sehubung dengan dehisensi luka atau eviserasi.
1.1.6.4 Ventilasi paru tidak adekuat
1.1.6.5 Gangguan kardivaskuler:hipertensi,aritmia jantung
1.1.6.6 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
1.1.6.7 Gangguan rasa nyaman dan kecelakaan (Arif Mansjoer,2016)

1.1.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan rektum: adanya darah menunjukkan kelainan pada usus besar
,kuldosentesi kemungkinan adanya darah dalam lambung dan kateterisasi adanya
darah menunjukkan adanya lesi pada saluran kencing.
1.1.7.1 Laboratorium :hemoglobin,hemtokrit,leukosit dan analisis urine
1.1.7.2 Radiologi : bila diindikasikan untuk melakukan laparatomi
1.1.7.3 IVP/sistogram :hanya dilakukan bila ada kecurigaan terhadap trauma saluran
kencing
1.1.7.4 Parasentesis perut :tindakan ini dilakukan pada trauma tumpul perut yang
diragukan adanya kelainan dalam rongga perut atau trauma tumpul perut .
1.1.7.5 Lavase peritoneal : fungsi dan aspirasi bilasan rongg perut dengan
memasukan cairan garam fisiologi melalui kanula yang dimasukan kedalam
rongga peritonium.

1.1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan post laparatomy adalah bentuk bentuk pelayanan perawatan
yang diberikan kepada pasien yang telah menjalani operasi pembedahan perut
.tujuannya perawatanya antara lain :
1.1.8.1 mengurangi kkomplikasi akibat pendarahan
1.1.8.2 mempercepat penyembuhan
1.1.8.3 mengembalikan funsi pasien semaksimal mungkin seperti sebelum operasi
1.1.8.4 mempertahankan konsep diri
1.1.8.5 mempersiapkan pasien pulang (Jitowiyoni,2016).

1.2 Konsep Dasar Peritonitis


1.2.1 Definis

Peritonitis merupakan inflamasi peritoneum yang dapat Peritonitis adalah


inflamasi peritoneum-lapisan membrane serosa rongga abdomen dan meliputi visera
merupakan penyulit berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronis
atau kumpulan tanda dan gejala, diantaranya nyeri tekan dan nyeri lepas pada palpasi,
defans muscular, dan tanda-tanda umum inflamasi. Pasien dengan peritonitis dapat
mengalami gejala akut, penyakit ringan dan terbatas, atau penyakit berat dan
sistemikengan syok sepsis.(Ardi.2017)

Peritonitis adalah inflamasi rongga peritoneum yang disebabkan oleh infiltrasi


isi usus dari suatu kondisi seperti ruptur apendiks, perforasi/trauma lambung dan
kebocoran anastomosis.

Peritonitis adalah peradangan pentoneum yang merupakan komplikasi


berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ organ abdomen (apendisitis,
pankreatitis, dll) reputra saluran cerna dan luka tembus abdomen.
1.2.2 Anatomi Fisiologi

Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial.


Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom.
Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron
didaerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus
saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritonium.

Peritoneum terdiri dari dua bagian yaitu peritoneum paretal yang melapisi
dinding rongga abdomen dan peritoneum visceral yang melapisi semua organ yang
berada dalam rongga abdomen.Ruang yang terdapat diantara dua lapisan ini disebut
ruang peritoneal atau kantong peritoneum.Pada laki-laki berupa kantong tertutup dan
pada perempuan merupakan saluran telur yang terbuka masuk ke dalam rongga
peritoneum, di dalam peritoneum banyak terdapat lipatan atau kantong. Lipatan besar
(omentum mayor) banyak terdapat lemak yang terdapat disebelah depan lambung.
Lipatan kecil (omentum minor) meliputi hati, kurvaturan minor, dan lambung
berjalan keatas dinding abdomen dan membentuk mesenterium usus halus.

Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu:

a. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa).
b. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis.
c. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis.
Fungsi peritoneum:

a. Menutupi sebagian dari organ abdomen dan pelvis.


b. Membentuk pembatas yang halus sehinggan organ yang ada dalam rongga
peritoneum tidak saling bergesekan.
c. Menjaga kedudukan dan mempertahankan hubungan organ terhadap dinding
posterior abdomen.
d. Tempat kelenjar limfe dan pembuluh darah yang membantu melindungi terhadap
infeksi.(nuzulul.2016)

1.2.3 Etiologi

1.2.3.1 Infeksi bakteri

1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal


2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung/dudenum)
4. Tukak thypoid
5. Tukak disentri amuba/colitis
6. Tukak pada tumor
7. Salpingitis
8. Divertikulitis

Kuman yang paling sering ialah bakteri Coli, streptokokus alpha dan beta
hemolitik, stapilokokus aurens, enterokokus dan yang paling berbahaya adalah
clostridium wechii.

1. Secara langsung dari luar.


a. Operasi yang tidak steril
b. Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai respon terhadap
benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta merupakan peritonitis lokal.
c. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa, ruptur hati.
d. Melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis. Terbentuk pula
peritonitis granulomatosa.
2. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti radang
saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis, glomerulonepritis. Penyebab
utama adalah streptokokus atau pnemokokus

Bentuk peritonitis yang paling sering ialah Spontaneous bacterial Peritonitis


(SBP) dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena infeksi intra abdomen,
tetapi biasanya terjadi pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga kerongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh
limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan
akibat penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin
tinggi risiko terjadinya peritonitis dan abses.

Terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah antar molekul komponen asites
pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E.
Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas, Proteus dan gram
lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae 15%, jenis
Streptococcus lain 15%, dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga terdapat
anaerob dan infeksi campur bakteri.

Peritonitis sekunder yang paling sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau
nekrosis (infeksi transmural) organ-organ dalam dengan inokulasi bakteri rongga
peritoneal terutama disebabkan bakteri gram positif yang berasal dari saluran cerna
bagian atas.

Peritonitis tersier terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah


mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, bukan berasal dari
kelainan organ, pada pasien peritonisis tersier biasanya timbul abses atau flagmon
dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB, peritonitis steril atau
kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan empedu, barium,
dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-organ dalam
(Misalnya penyakit Crohn). (Ardi.2016)
1.2.4 Klasifikasi

Berdasarkan patogenesis peritonitis dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Peritonitis bakterial primer merupakan peritonitis akibat kontaminasi bakterial


secara hematogen pada cavum peritoneum dan tidak ditemukan fokus infeksi dalam
abdomen. Penyebabnya bersifat monomikrobial, biasanya E. Coli, Sreptococus atau
Pneumococus. Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Spesifik: misalnya Tuberculosis
b. Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis dan Tonsilitis
2. Peritonitis bakterial akut sekunder (supurativa), Peritonitis yang mengikuti
suatu infeksi akut atau perforasi tractusi gastrointestinal atau tractus urinarius. Pada
umumnya organisme tunggal tidak akan menyebabkan peritonitis yang fatal.
Sinergisme dari multipel organisme dapat memperberat terjadinya infeksi ini.Bakteri
anaerob, khususnya spesies Bacteroides, dapat memperbesar pengaruh bakteri aerob
dalam menimbulkan infeksi.

Selain itu luas dan lama kontaminasi suatu bakteri juga dapat memperberat suatu
peritonitis. Kuman dapat berasal dari:

a. Luka/trauma penetrasi, yang membawa kuman dari luar masuk ke dalam


cavum peritoneal.
b. Perforasi organ-organ dalam perut, contohnya peritonitis yang disebabkan
oleh bahan kimia, perforasi usus sehingga feces keluar dari usus.
c. Komplikasi dari proses inflamasi organ-organ intra abdominal, misalnya
appendisitis.
3. Peritonitis tersier, misalnya:
a. Peritonitis yang disebabkan oleh jamur.
b. Peritonitis yang sumber kumannya tidak dapat ditemukan.
Merupakan peritonitis yang disebabkan oleh iritan langsung, sepertii misalnya
empedu, getah lambung, getah pankreas, dan urine.

Bentuk lain dari peritonitis:


1. Aseptik/steril peritonitis.
2. Granulomatous peritonitis.
3. Hiperlipidemik peritonitis.
4. Talkum peritonitis.

1.2.5 Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa,
yang menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat
menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif,
maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti
misalnya interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba
untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk
buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi
ini segera gagal begitu terjadi hipovolemia.Organ-organ didalam cavum peritoneum
termasuk dinding abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas
pembuluh darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang
tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut
meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit
dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada
permukaan peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis
umum.Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.Cairan dan
elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan
sirkulasi dan oliguria.Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang
meregang dan dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan
obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik
usus sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaitu obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat
total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan
akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen
sehingga dapat terjadi peritonitis.(Ardi.2017)
WOC PERITONITIS
Tukak Lambung

Kerusakan mukosa
lambung Appendikstis
Mikroorganisme(Ex:E.coli,
Streptococcus,pneumonia,
Staphyloccus) Pengeluaraan Penghambat aliran
histamin limfe
Masuk melalui aliran
darah atau getah bening Merangsang Peningkatan produksi Edema
pengeluaran HCI pepsinogen

Masuk kerongga Membentuk cairan


abdomen (peritonium) Degradasi mukus berisi pus

Kontaminasi bakteri Sekresi mukus Operasi yang


Merusak mukosa berlanjut tidak steril
lambung
Peradangan meluas ke Pertumbuhan
Penghancuran kapiler peritoneum bakteri
& vena kecil

pendarahan

perforsi

Invasi bakteri ke
kavum peritoneum

Inflamasi pada
peritoneum

Peritonitis
Adalah inflamasi peritoneum lapisan
membrane serosa rongga abdomen
B1 Breathing B2 Blood B3 Brain B4 Bladder B5 Bowel B6 Bone

Permeabilitas
Pergerakan abdomen Gangguan Merangsang Cairan dicavum Post Operasi
Pembuluh darah
tidak maksimal metabolisme aktivitas peritoneum
kapiler meningkat
parasimpatik
Luka insisi
Pernafasan tidak teratur Respon sistemik Respon psikologis Tekanan intra
absorpsi abdomen

Menuju Dilakukan
Takipnea Kegagalan Mual
hipotalamus Peningkatan heacting pada
mekanisme
tekanan vena regulasi daerah insisi
Mengganggu
Sekresi yang termoregulasi anoreksia
tertahan MK:
Refleks neurologi Kekurangan Gangguan
Suhu tubuh terganggu intake cairan Integritas
meningkat MK:Defisit kulit
MK: Bersihan jalan Nutrisi
napas tidak efektif
Mk: MK: penurunan MK:
- Hipertemi kapasitas adaptif Hipovolemia
intrakranial
1.2.6 Manifestasi Klinis
Adanya darah atau cairan dalam rongga peritonium akan memberikan tanda-
tanda rangsangan peritonium. Rangsangan peritonium menimbulkan nyeri tekan dan
defans muskular, pekak hati bisa menghilang akibat udara bebas di bawah diafragma.
Peristaltik usus menurun sampai hilang akibat kelumpuhan sementara usus. Bila telah
terjadi peritonitis bakterial, suhu badan penderita akan naik dan terjadi takikardia,
hipotensi dan penderita tampak letargik dan syok. Rangsangan ini menimbulkan nyeri
pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran peritonium dengan
peritonium.Nyeri subjektif berupa nyeri waktu penderita bergerak seperti jalan,
bernafas, batuk, atau mengejan.Nyeri objektif berupa nyeri jika digerakkan seperti
palpasi, nyeri tekan lepas, tes psoas, atau tes lainnya.
Diagnosis peritonitis ditegakkan secara klinis dengan adanya nyeri abdomen
(akut abdomen) dengan nyeri yang tumpul dan tidak terlalu jelas lokasinya
(peritoneum visceral) yang makin lama makin jelas lokasinya (peritoneum parietal).
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum.
Pada wanita dilakukan pemeriksaan vagina bimanual untuk membedakan
nyeri akibat pelvic inflammatoru disease. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa
jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes
berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial,ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.(Ardi.2017)

1.2.7 Komplikasi

Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana


komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
(chushieri)
1. Komplikasi dini
a. Septikemia dan syok septic
b. Syok hipovolemik
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan
kegagalan multisystem
d. Abses residual intraperitoneal
e. Portal Pyemia (misal abses hepar)
2. Komplikasi lanjut
a. Adhesi
b. Obstruksi intestinal rekuren. (Lili.2016)

1.2.8 Pemeriksaan Penunjang


Test laboratorium
1. Leukositosis
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein
(lebih dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit, basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum hasil
pembiakan didapat.
2. Hematokrit meningkat

3. Asidosis metabolic (dari hasil pemeriksaan laboratorium pada pasien


peritonitis didapatkan PH =7.31, PCO2= 40, BE= -4 )
4. X. Ray
Dari tes X Ray didapat:
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan:
1. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.

2. Usus halus dan usus besar dilatasi.

3. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.


5. Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk
pertimbangan dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis
dilakukan foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran terlentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior.
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan
sinar dari arah horizontal proyeksi anteroposterior.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar
horizontal proyeksi anteroposterior.

Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat


mencakup seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan
film ukuran 35x43 cm. Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya
gangguan pasase usus (ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi
didapatkan gambaran radiologis antara lain:

1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada


tidaknya penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dinding usus, gambaran seperti duri ikan (Herring bone
appearance).
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi
usus. Dari air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level
pendek berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang-panjang kemungkinan
gangguan di kolon.Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas infra
diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh
adanya air fluid level dan step ladder appearance.

1.2.9 Penatalaksanaan

1. Therapy umum
a. Istirahat
- Tirah baring dengan posisi fowler
- Penghisapan nasogastrik, kateter
b. Diet
- Cair → nasi
- Diet peroral dilarang
c. Medikamentosa
- Obat pertama
Cairan infus cukup dengan elektrolit, antibiotik dan vitamin
- Obat alternatif
Narkotika untuk mengurangi penderitaan pasien
2. Therapy Komplikasi
Intervensi bedah untuk menutup perforasi dan menghilangkan sumber infeksi.
Prinsip umum pengobatan adalah pemberian antibiotik yang sesuai dekompresi
saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik atau intestinal penggantian cairan dan
elektrolit yang dilakukan secara intravena, pembuangan fokus septik (appendiks dsb)
atau penyebab radang lainnya bila mungkin dengan mengalirkan nanah keluar dan
tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.

Management peritonitis tergantung dari diagnosis penyebabnya.Hampir semua


penyebab peritonitis memerlukan tindakan pembedahan (laparotomi eksplorasi).

 Pertimbangan dilakukan pembedahan


1. Pada pemeriksaan fisik didapatkan defans muskuler yang meluas, nyeri tekan
terutama jika meluas, distensi perut, massa yang nyeri, tanda perdarahan (syok,
anemia progresif), tanda sepsis (panas tinggi, leukositosis), dan tanda iskemia
(intoksikasi, memburuknya pasien saat ditangani).
2. Pada pemeriksaan radiology didapatkan pneumo peritoneum, distensi usus,
extravasasi bahan kontras, tumor, dan oklusi vena atau arteri mesenterika.
3. Pemeriksaan endoskopi didapatkan perforasi saluran cerna dan perdarahan
saluran cerna yang tidak teratasi.
4. Pemeriksaan laboratorium.

Pembedahan dilakukan bertujuan untuk :


1. Mengeliminasi sumber infeksi.
2. Mengurangi kontaminasi bakteri pada cavum peritoneal
3. Pencegahan infeksi intra abdomen berkelanjutan.

Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus


mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah :

1. Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.


2. Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
3. Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
4. Pemberian terapi cairan melalui I.V.
5. Pemberian antibiotic.

Terapi bedah pada peritonitis :

1. Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe dan luas
dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan keparahan infeksinya.
2. Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement, suctioning,kain
kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan pus,
darah, dan jaringan yang nekrosis.
3. Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin.
4. Irigasi kontinyu pasca operasi.

Terapi post operasi:

1. Pemberian cairan I.V, dapat berupa air, cairan elektrolit, dan nutrisi.
2. Pemberian antibiotic
3. Oral-feeding, diberikan bila sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus
pulih, dan tidak ada distensi abdomen.

Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang
dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai, dekompresi saluran
cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal, pembuangan fokus septik
(apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila mungkin mengalirkan nanah
keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan nyeri.
Resusitasi hebat dengan larutan saline isotonik adalah penting.Pengembalian
volume intravaskular memperbaiki perfusi jaringan dan pengantaran oksigen, nutrisi,
dan mekanisme pertahanan.Keluaran urine tekanan vena sentral, dan tekanan darah
harus dipantau untuk menilai keadekuatan resusitasi.

Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri dibuat.


Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan kemudian dirubah jenisnya
setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika didasarkan pada organisme mana yang
dicurigai menjadi penyebab.Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena
bakteremia akan berkembang selama operasi.

Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan dengan operasi
laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris tengah yang menghasilkan
jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah dibuka serta ditutup.Jika peritonitis
terlokalisasi, insisi ditujukan diatas tempat inflamasi.Tehnik operasi yang digunakan
untuk mengendalikan kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari
saluran gastrointestinal.Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus menerus
dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi viskus yang perforasi.

Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu dengan


menggunakan larutan kristaloid (saline). Agar tidak terjadi penyebaran infeksi
ketempat yang tidak terkontaminasi maka dapat diberikan antibiotika ( misal
sefalosporin ) atau antiseptik (misal povidon iodine) pada cairan irigasi. Bila
peritonitisnya terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.

Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena pipa


drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum peritoneum, dan dapat
menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen. Drainase berguna pada keadaan
dimana terjadi kontaminasi yang terus-menerus (misal fistula) dan diindikasikan
untuk peritonitis terlokalisasi yang tidak dapat direseksi.
Pengobatanyang pertama dilakukan adalah pembedahan eksplorasi darurat,
terutama bila terdapat apendisitis, ulkus peptikum yang mengalami perforasi atau
divertikulitis.Pada peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau penyakit radang
panggul pada wanita, pembedahan darurat biasanya tidak dilakukan. Diberikan
antibiotik yang tepat, bila perlu beberapa macam antibiotik diberikan bersamaan.
(Ardi.2017)
BAB 2
MANAJEMEN KEPERAWATAN
2.1 Manajemen Asuhan Keperawatan
2.1.1 Pengkajian Keperawatan
2.1.1.1 Biodata
Terdiri dari nama, umur tanggal lahir, jenis kelamin, agama.
2.1.1.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Datang dengan atau tanpa keluhan Poliuria, Poliphagi, lemas, luka sukar
sembuh atau adanya koma atau penurunan kesadaran dengan sebab tidak diketahui.
Pada lansia dapat terjadi nepropati, neurophati atau retinophati serta penyakit
pembuluh darah.
2.1.1.3 Riwayat Penyakit Sebelumnya
Mungkin klien telah menderita penyakit sejak beberapa lama dengan atau
tanpa menjalani program pengobatan. Penyakit paru, gangguan kardiovaskuler serta
penyakit neurologis serta infeksi atau adanya luka dapat memperberat kondisi klinis.
2.1.1.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit diabetik dikenal sebagai penyakit yang diturunkan (herediter)
walaupun gejala tidak selalu muncul pada setiap keturunan atau timbul sejak kecil
(kongenital). Genogram mungkin diperlukan untuk menguatkan diagnosis.
2.1.1.5 Status Metabolik
Intake makanan yang melebihi kebutuhan kalori, infeksi atau penyakit-
penyakit akut lain, stress yang berhubungan dengan faktor-faktor psikologis dan
social, obat-obatan atau terapi lain yang mempengaruhi glukosa darah, penghentian
insulin atau obat anti hiperglikemik oral.
2.1.1.6 Pengkajian Primer
1. Airway
Look : klien tidak berbicara, tidak sadarkan diri, tidak terdapat tanda-
tanda cedera servikal.
Listen : jalan napas klien terdengar bunyi gurgling dan snoring.
Feel : napas klien masih dapat dirasakan.
2. Breathing
Inspeksi : RR 19 kali/menit, regular, I:E=1:2, tidak terdapat ada retraksi
dinding dada saat klien bernapas, pengembangan dada normal,
simetris antara dada kanan dan kiri.
Palpasi : taktil fremitus tidak dapat dikaji karena penurunan kesadaran.
Perkusi : terdengar bunyi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : terdengar bunyi napas ronkhi basah dan halus pada kedua apeks
paru dan vesikuler pada lapang paru bagian basal.
3. Circulation
Frekuensi nadi klien 90 kali/menit, regular dan kuat, capillary refill < 2 detik
pada ekstremitas atas dan 3 detik pada ekstremitas bawah, akral teraba
hangat, SpO2 99% (dengan bantuan O2 nasal kanul 4 lpm), tidak ada sianosis,
tidak terdapat diaphoresis, tekanan darah klien 230/100 mmHg.
4. Disability
a) GCS klien 5 (E1M3V1), tingkat kesadaran koma.
b) Pupil anisokor  5 mm/3 mm.
5. Exposure
a) Suhu tubuh klien 36,7oC
b) Terdapat jejas pada kepala bagian oksipital sinistra dengan diameter 3 cm.
c) Terdapat luka VE pada jari-jari kaki kanan.
6. Foley catheter
a) Tidak terdapat perdarahan pada OUE, tidak terdapat hematom pada
daerah genetalia, vesika urinaria teraba penuh.
7. Gastric tube
a) Abdomen terlihat cekung, tidak terdapat distensi abdomen, bising usus 7
x/menit.
8. Heart monitoring/monitor EKG Terdapat gambaran EKG 3 lead: sinus
takikardi dengan HR 112 x/menit.

2.1.1.7 Pengkajian Kritis


1) Circulation: kaji nadi, capillary refill time.
2) Airways : kaji kepatenan jalan nafas pasien, ada tidaknya sputum atau
benda asing yang menghalangi jalan nafas
3) Breathing: kaji frekuensi nafas, bunyi nafas, ada tidaknya penggunaan otot
bantu pernafasan.
4) Aktivitas / Istirahat
Gejala : Lemah, letih, sulit bergerak/berjalan, kram otot, tonus otot menurun,
gangguan istrahat/tidur.
Tanda: Takikardia dan takipnea pada keadaan istrahat atau aktifitas, letargi
/disorientasi, koma.
5) Sirkulasi
Gejala : Adanya riwayat hipertensi, IM akut, klaudikasi, kebas dan
kesemutan pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama,
takikardia.
Tanda: Perubahan tekanan darah postural, hipertensi, nadi yang
menurun/tidak ada, disritmia, krekels, distensi vena jugularis, kulit panas,
kering, dan kemerahan, bola mata cekung.
6) Integritas/ Ego
Gejala : Stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang
berhubungan dengan kondisi.
Tanda: Ansietas, peka rangsang.
7) Eliminasi
Gejala : Perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri/terbakar,
kesulitan berkemih (infeksi), nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda: Urine encer, pucat, kuning, poliuri (dapat berkembang menjadi
oliguria/anuria, jika terjadi hipovolemia berat), urin berkabut, bau busuk
(infeksi), abdomen keras, adanya asites, bising usus lemah dan menurun,
hiperaktif (diare).
8) Nutrisi/Cairan
Gejala : Hilang nafsu makan, mual/muntah, tidak mematuhi diet,
peningkatan masukan glukosa/karbohidrat, penurunan berat badan lebih
dari beberapa hari/minggu, haus, penggunaan diuretik (Thiazid).
Tanda: Kulit kering/bersisik, turgor jelek, kekakuan/distensi abdomen,
muntah, pembesaran tiroid (peningkatan kebutuhan metabolik dengan
peningkatan gula darah), bau halisitosis/manis, bau buah (napas aseton).
9) Neurosensori
Gejala : Pusing/pening, sakit kepala, kesemutan, kebas, kelemahan pada
otot, parestesi, gangguan penglihatan.
Tanda: Disorientasi, mengantuk, alergi, stupor/koma (tahap lanjut),
gangguan memori (baru, masa lalu), kacau mental, refleks tendon dalam
menurun (koma).
10) Nyeri/kenyamanan
Gejala: Abdomen yang tegang/nyeri (sedang/berat).
Tanda: Wajah meringis dengan palpitasi, tampak sangat berhati-hati.
11) Pernapasan
Gejala : Merasa kekurangan oksigen, batuk dengan/tanpa sputum purulen
(tergantung adanya infeksi/tidak).
Tanda: Lapar udara, batuk dengan/tanpa sputum purulen, frekuensi
pernapasan meningkat.
12) Keamanan
2.2Diagnosa Keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan produksi sputum
meningkat ( D.0001) Hal :18
2. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme ( D.0130) Hal :
284
3. Penurunan Kapasitas adaptif intracranial berhubungan dengan penurun kesadaran
( D.0066) Hal:149
4. Hipovolemia berhubungan dengan penurunan volume cairan (D.0034) Hal:64
5. Defisit Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan Berhubungan Dengan Anoreksia Dan
Muntah.(Sdki D.0019) Hal:56
6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kerusakan jaringan kulit (D:0129)
Hal :282
2.3 Intervensi keperawatan
Diagnosa Keperawatan Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi
Bersihan Jalan Napas tidak efektif Setelah Diberikan Asuhan Keperawatan 1. Monitori pola napas ( frekuensi, kedalaman, usahan napas)
Selama 1x 7 Jam, Bersihan Jalan Napas 2. Monitori bunyi napas tambahan
berhubungan dengan produksi sputum
tidak efektif kembali normal, dengan 3. Monitor sputum ( jumlah, warnan aroma)
meningkat SDKI (D:0001) hal :18 kriteria hasil: 4. Posisikan semi fowler atau fowler
1. Produksi sputum menurun(Skor :5) 5. Lakukan fisioterapi dada
2. Wheezing menurun (skor : 5) 6. Lakukan penghisapan lender kurang dari 15 detik
3. Gelisah menurun (Skor :5) 7. Berikan oksigen
4. Frekuensi napas membaik (Skor :5) 8. Anjurkan asupan caiaran 2000ml/hari
Pola napas membaik (Skor:5) 9. Berkolaboraasi pemberian bronkodilator, eksprktoran, mukolatik.

Hipertermia berhubungan dengan Setelah Diberikan Asuhan Keperawatan


Selama 1x 7 Jam, Hipertermia bisa 1. Identifikasi penyebab hipertemia
peningkatan laju metabolisme
kembali normal dengan kriteria hasil: 2. Monitor suhu
SDKI ( D.0130) Hal :284 1. Termogulasi (1) 3. Monitor kdar elektrolit
2. Perfusi Perifer (5) 4. Monitor haluaran urine
3. Status Cairan (5) 5.sediakan lingkungan yang dingin
4. Status Kenyamanan (5) 6. Berikan cairan oral
5. Status Neurologis (5) 7. Anjurkan tirah baring
8. Kolaborasi pemberian cairan dan elektrolit intravena,jika perlu
Penurunan Kapasitas adaptif Setelah dilakuakan asuhan keperawatan 1. Identifikasi penyebab peningkatan TIK
intracranial berhubungan dengan selama 1x7 jam diharapkan pasien
2. Monitortanda/gejala peningkatan TIK ( Tekanan darah meningkat, pola
penurun kesadaran SDKI (D:0066) menunjukkan peningkatan kesadaran
Hal: 149 dengan kriteria hasil: nafas ireguler, penurunan kesadaran)
1. Tingkat kesadaran meningkat( Skor
3. Monitori status pernapasan
: 5)
4. Berikan posisi semi fowler
2. Sakit kepala menurun(Skor :5 )
5. Cegah terjadinya kejang
3. Gelisah menurun( Skor:5)
6. Pertahankan suhu tubuh normal
4. Muntah menurun (Skor : 5)
7. Kolsborasi pemberian sedasi dan anti konvulsa
5. Takan darah membai (Skor :5)
6. Pola napas membaik( Skor : 5)
Defisit Nutrisi Kurang Dari Kebutuhan
Setelah Dilakukan Tindakan Keperawatan Defisit Nutrisi Hal :454 /Manajemen Nutrisi I:03119
Berhubungan Dengan Anoreksia Dan Selama 1x7 Jam Untuk Memenuhi Observasi
Kebutuhan Metabolisme Tubuh 1. Identifikasi Status Nutrisi
Muntah.(SDKI D.0019) Hal:56 Kriteria Hasil : 2. Identifikasi Alergi Dan Intoleransi Makanan
SLKI Hal: 3. Identifikasi Makan Yang Disukai
1. Status Nutrisi L: 03030 4. Identifikasi Kebutuhan Kalori Dan Jenis Nutrien
Eskpetasi : Membaik (5) 5. Identifikasi Perlunya Penggunaan Selang Nasogastrik
KH: Porsi Makan Yang Dibhabiskan 6. Monitor Asupan Makanan
1. Eliminasi Fekal L:04033 7. Monitor Berat Badan
Ekspetasi : Membaik (5) 8. Monitor Hasil Pemeriksaan Laboratorium
KH: Kontrol Pengeluaraan Feses Terapeutik
2. Fungsi Gastrointestinal L:03019 1. Lakukan Oral Hygine Sebelum Makan ,Jika Perlu
Ekspetasi : Membaik (5) 2. Fasilitasi Menentukan Pedoman Diet (Mis,Piramda Makanan)
KH: Toleransi Terhadap Makanan 3. Sajikan Makanan Secara Menarik Dan Suhu Yang Sesuai
3. Nafsu Makan L:03024 4. Berikan Makanan Tinggi Serat Untuk Mencegah Konstipasi
Ekspetsi : Membaik (5) 5. Berikan Makanan Tinggi Kalori Dan Tinggi Protein
KH: Keinginan Makan 6. Berikan Suplemen Makanan ,Jika Perlu
4. Perilaku Meningkatkan Berat Badan 7. Hentikan Pemberian Makan Melalui Nasogatrik Jika Asupan Oral Dapat
L: 03026 Ditoleransi
Ekspetasi : Membaik (5) Edukasi
KH: Memonitor IMT 1. Anjurkan Posisi Duduk ,Jika Mampu
5. Status Menelan L: 06052 2. Ajarkan Diet Yang Diprogramkan
Ekspetasi : Membaik (5) Kolaborasi
KH: Reflek Menelan
1. Kolaborasi Pemberian Medikasi Sebelum Makan (Mis,Pereda Nyeri
6. Tingkat Depresi L:09097
,Antiemetik) ,Jika Perlu
Ekspetasi : Menurun (1)
2. Kolaborasi Dengan Ahli Gizi Untuk Menentukan Jumlah Kalori Dam Jenis
KH: Minat Beraktivitas
Nutrien Yang Dibutuhkan ,Jika Perlu.

Hipovolemia Berhubungan Dengan Setelah Diberikan Asuhan Keperawatan 1x Resiko Ketidakseimbangan Cairan Hal:507/Manajemen Cairan I:03098
Kehilangan Volume Cairan Aktif. (SDKI 7 Jam Diharapkan Resiko Observasi
Ketidakseimbangan Volume Cairan Dalam 1. Monitor Status Hidrasi (Mis,Frekuensi Nadi, Kekuatan Nadi ,Akral
D.0036) Hal:87 Batas Normal . Pengisian Kapiler ,Kelembapan Mukosa ,Turgor Kulit ,Tekanan Darah)
Kriteria Hasil: 2. Monitor Berat Badan Harian
SLKI Hal:185 3. Monitor Berat Badan Sebelum Dan Sesudah Dialisis
1. Keseimbangan Elektrolit L: 03021 4. Monitor Hasil Pemeriksaan Labarotrium(Mis,Hematokrit ,Na,K,CI Berat
Ekspetasi : Meningkat (5) Jenis Urine,BUN)
KH: Serum Natrium 5. Monitor Status Hemodinamik (Mis,MAP,CVP,PAP,PCWP Jika Tersedia)
2. Eliminasi Fekal L: 02033 Terapeutik
Ekspetasi : Membaik (5) 1. Catat Intake –Output Dan Hitung Balans Cairan 24 Jam
KH: Kontrol Pengeluaraan Feses 2. Berikan Asupan Cairan,Sesuai Kebutuhan
3. Fungsi Gastrointestinal L:03019 3. Berikan Cairan Intravena,Jika Perlu
Ekspetasi : Membaik (5) Kolaborasi
KH: Toleransi Terhadap Makanan 1. Kolaborasi Pemberian Diuretik,Jika Perlu
4. Keseimbangan Cairan L:03020
Ekspetasi : Meningkat (5)
KH: Asupan Cairan
5. Penyembuhan Luka L:14130
Ekspetasi : Meningkat (5)
Gangguan integritas kulit Setelah Diberikan Asuhan Keperawatan 1x Perawatan integritas kulit I.11343 Hal :316
7 Jam Diharapkan Gangguan integritas 1. Identifikasi penyebab gangguan integritas kulit
berhubungan dengan kerusakan
kulit kembali normal , 2. ubah posisi 2 jam jika tirah baring
jaringan kulit (D:0129) Hal :282 Kriteria Hasil: SLKI Hal: 158 L:14125 3. lakukan pemijatan pada area penonjolan tulang,jika perlu
1. Integritas kulit dan jaringan (5) 4. gunakan produk berbahan ringan /alami dan hipoalergik pada kulit sensitif
2. Pemulihan pasca bedah (5) 5. anjurkan menggunakan pelembab
3. Penyembuhan luka (5) 6. anjurkan minum air yang cukup
4. Perfusi perifer (5) 7. anjurkan meningkatkan asupan nutrisi
5. Respon alergi lokal (5) 8. anjurkan mandi dan menggunakan sabun secukupnya
1.2.4 Implementasi Keperawatan
Pelaksanaan asuhan keperawatan merupakan realisasi dari pada rencana tindakan yang telah ditetapkan meliputi tindakan
independent, depedent, interdependent. Pada pelaksanaan terdiri dari beberapa kegiatan, validasi, rencan keperawatan, mendokumentasikan
rencana keperawatan, memberikan asuhan keperawatan dan pengumpulan data.

1.2.5 Evaluasi Keperawatan


Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah
tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan
analisa masalah selanjutnya
BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

Nama Mahasiswa : Halimatussyadiah


NIM : 2017.C.09a.0889
Ruang Praktek : ICU
Tanggal Praktek : 10 Desember 2020
Tanggal & Jam Pengkajian : 10 Desemeber 2020 /Jam 10.00 WIB

I. PENGKAJIAN
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : TN.P
Umur : 33 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Suku/Bangsa : Banjar/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Swasta
Pendidikan : SD
Status Perkawinan : Menikah
Alamat : Jl.Wortel.No.09
Tgl MRS : 10 Desember 2020
Diagnosa Medis :Post Op Laparatomy + Peritonitis

B. RIWAYAT KESEHATAN /PERAWATAN


1. Keluhan Utama :
Keluarga mengatakan pasien mengalami penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
4 empat hari sebelum masuk rumah sakit klien mengalami kecelakaan saat bekerja didalam selokan yang tingginya hingga
pinggang klien ,kemudian tiba-tiba dinding tembok selokan roboh menimpa tubuh pasien dari arah belakang ,pasien terjatuh dan dengan
perut membentur tepi selokan.kemudian pasien mengeluh nyeri perut bagian bawah,perut membesar dan tegang tidak ada BAB selama 2
hari dan ada mual/muntah dan penurunan kesadaran,pasien lalu dibawa kerumah sakit RSUD doris sylvanus Palangkaraya,saat diperiksa
keluarga pasien mengatakan pasien mengeluh sakit dibagian sisi kanan bawah,lama kelamaan semua bagian perut terasa sakit. Pada tanggal
10 desember 2020 pukul 18.16 WIB,pasien dibawa keluarga datang ke IGD RSUD doris Sylvanus Palangka Raya dengan keluhan nyeri
perut bawah sudah 4 hari,klien pun dilakukan tindakan lebih lanjut di IGD dengan memeriksa tanda tanda vital dengan hasil TD: 140/90
mmHg ,N:103x/menit,S:37,2ºC,RR:28 x/menit,dipasang infus NaCl 0,9% ,500 mg ,20 Tpm dan diberikan terapi oksigen face mask 5
lpm,injeksi ketrolac 30 g,ranitidin 5 ml dan dilakukan USG abdomen,kemudian pasien dipindahkan keruangan ICU untuk dilakukan
pemeriksaan fisik GCS 6 (sopor) TD: 140/90 mmHg ,N:103x/menit,S:38,5ºC,RR:28 x/menit ,pemasangan NGT dan kateter.

3. Riwayat Penyakit Sebelumnya (riwayat penyakit dan riwayat operasi)


Klien mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit seperti DM,hipertensi,asma dan klien tidak memiliki riwayat operasi.

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Klien mengatakan bahwa keluarga tidak ada memiliki riwayat penyakit seperti hipertensi,diabetes,jantung maupun penyakit
yang dialami klien sekarang

GENOGRAM KELUARGA :
C. PEMERIKASAAN FISIK
1. Keadaan Umum :
Tingkat kesadaran GCS pasien, E (Eye): 2, V (Verbal): 1, M (Motorik): 3, Total Nilai GCS adalah 6 (Sopor),)Klien tampak
lemah dan sakit,klien terpasang infus aminofluid 500 ml ditangan kanan,terpasang oksigen face mask 5 lpm
2. Status Mental :
a. Tingkat Kesadaran : GCS pasien, E (Eye): 2, V (Verbal): 1, M (Motorik): 3, Total Nilai GCS adalah 6 (Sopor)
b. Ekspresi wajah : Pucat
c. Bentuk badan : kurus
d. Cara berbaring/bergerak : Terlentang
e. Berbicara : kurang jelas
f. Suasana hati : gelisah
g. Penampilan : cukup rapi
h. Fungsi kognitif :
 Orientasi waktu : pasien tidak dapat membedakan antara pagi,siang,malam
 Orientasi Orang : pasien tidak dapat mengenali keluarga dan perawat
 Orientasi Tempat : pasien tidak mengetahui bahwa sedang berada dirumah sakit
i. Halusinasi :  Dengar/Akustic  Lihat/Visual  Lainnya
j. Proses berpikir :  Blocking  Circumstansial  Flight oh ideas
 Lainnya
k. Insight :  Baik  Mengingkari  Menyalahkan orang lain
m. Mekanisme pertahanan diri :  Adaptif  Maladaptif
n. Keluhan lainnya : Tidak Ada

3. Tanda-tanda Vital :
a. Suhu/T : 38,50C  Axilla  Rektal  Oral
b. Nadi/HR :103 x/mt
c. Pernapasan/RR : 28 x/tm
d. Tekanan Darah/BP : 140/90 mm Hg
4. PERNAPASAN (BREATHING)
Bentuk Dada : simetris
Kebiasaan merokok : Batang/hari
 Batuk, sejak 4 hari yang lalu
 Batuk darah, sejak tidak ada
 Sputum, warna bening berlendir
 Sianosis
 Nyeri dada
 Dyspnoe nyeri dada  Orthopnoe  Lainnya …….………..
 Sesak nafas  saat inspirasi  Saat aktivitas  Saat istirahat
Type Pernafasan  Dada  Perut  Dada dan perut
 Kusmaul  Cheyne-stokes  Biot
 Lainnya
Irama Pernafasan  Teratur  Tidak teratur
Suara Nafas  Vesukuler  Bronchovesikuler
 Bronchial  Trakeal
Suara Nafas tambahan  Wheezing  Ronchi kering
 Ronchi basah (rales)  Lainnya……………
Keluhan lainnya :
Sesak Nafas
Masalah Keperawatan :
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif

5. CARDIOVASCULER (BLEEDING)
 Nyeri dada  Kram kaki  Pucat
 Pusing/sinkop  Clubing finger  Sianosis
 Sakit Kepala  Palpitasi  Pingsan
 Capillary refill  > 2 detik  < 2 detik
 Oedema :  Wajah  Ekstrimitas atas
 Anasarka  Ekstrimitas bawah
 Asites, lingkar perut ……………………. cm
 Ictus Cordis  Terlihat  Tidak melihat
Vena jugularis  Tidak meningkat  Meningkat
Suara jantung  Normal S1 S2 lub dub.
 Ada kelainan
Keluhan lainnya : Tidak Ada
Masalah Keperawatan :
Tidak Ada Masalah
6. PERSYARAFAN (BRAIN)
Nilai GCS : E : E (Eye): 2
V : V (Verbal): 1
M : M (Motorik): 3
Total Nilai GCS : 6 (Soporus)
Kesadaran :  Compos Menthis  Somnolent  Delirium
 Apatis  Soporus  Coma
Pupil :  Isokor  Anisokor
 Midriasis  Meiosis
Refleks Cahaya :  Kanan  Positif  Negatif
 Kiri  Positif  Negatif
 Nyeri, lokasi tidak ada
 Vertigo  Gelisah  Aphasia  Kesemutan
 Bingung  Disarthria  Kejang  Trernor
 Pelo
Uji Syaraf Kranial :
Nervus Kranial I : (olfaktoris) Pasien tidak dapat mencium aroma minyak kayu putih
Nervus Kranial II : (optikus)pasien tidak mampu melihat orang orang disekitarnya dengan baik
Nervus Kranial III : ( okulomotorius) pupil pasien tidak dapat berkontraksi saat melihat cahaya
Nervus Kranial IV : ( trochlear) pasien tidak mampu menggerakkan bola mata,ke atas dan kebawah
Nervus Kranial V : (trigeminus) pasien tidak dapat mengunyah nasi,buah,dan ikan.
Nervus Kranial VI : (abdusen) pasien tidak dapat melihat benda sekitar,syaraf kranial
Nervus Kranial VII : (fasialis) pasien tidak mampu menggerutkan dahi dan menaikan alis secara simetris
Nervus Kranial VIII : (vestibulokhlearis) pasien tidak mampu mendengarkan dengan jelas
Nervus Kranial IX : glosofaringeus) pasien tidak mampu membedakan rasa pahit ,manis,asam,asin
Nervus Kranial X : (vagus) pasien tidak dapat berbicara dengan jelas
Nervus Kranial XI : ( assesorius) pasien tidak mampu menoleh kekiri dan kekanan.
Nervus Kranial XII : (hipoglosus) : pasien tidak mampu mengerakkan lidahnya dengan baik.

Uji Koordinasi :
Ekstrimitas Atas : Jari ke jari  Positif  Negatif
Jari ke hidung  Positif  Negatif
Ekstrimitas Bawah : Tumit ke jempul kaki  Positif  Negatif
Uji Kestabilan Tubuh :  Positif  Negatif
Refleks :
Bisep :  Kanan +/-  Kiri +/- Skala…………. Trisep :  Kanan +/- 
Kiri +/- Skala…………. Brakioradialis :  Kanan +/-  Kiri +/- Skala…………. Patella
:  Kanan +/-  Kiri +/- Skala…………. Akhiles :  Kanan +/- 
Kiri +/- Skala…………. Refleks Babinski  Kanan +/-  Kiri +/-
Refleks lainnya : ..........................................................................................
Uji sensasi : ..........................................................................................
..........................................................................................
Keluhan lainnya :
Masalah Keperawatan :
Penurunan kapasitas adaptif intrakranial
7. ELIMINASI URI (BLADDER) :
Produksi Urine : 2.500 ml 24 jam
Warna : Kekuningan
Bau : Amoniak
 Tidak ada masalah/lancer  Menetes  Inkotinen
 Oliguri  Nyeri  Retensi
 Poliuri  Panas  Hematuri
 Dysuri  Nocturi
 Kateter  Cystostomi
Keluhan Lainnya :
Tidak ada masalah
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah
8. ELIMINASI ALVI (BOWEL) :
Mulut dan Faring
Bibir : kering
Gigi : lengkap
Gusi : kemerahan
Lidah : tidak ada peradangan
Mukosa : baik
Tonsil : tidak ada peradangan
Rectum : tidak ada benjolan
Haemoroid : normal
BAB : 2x/hr Warna kuning Konsistensi : lunak
 Tidak ada masalah  Diare  Konstipasi  Kembung
 Feaces berdarah  Melena  Obat pencahar  Lavement
Bising usus :
Nyeri tekan, lokasi : tidak ada
Benjolan, lokasi : tidak ada
Keluhan lainnya : Tidak ada
Masalah Keperawatan :
Tidak ada masalah

9. TULANG - OTOT – INTEGUMEN (BONE) :


 Kemampuan pergerakan sendi  Bebas  Terbatas
 Parese, lokasi tidak ada
 Paralise, lokasi tidak ada
 Hemiparese, lokasi tidak ada
 Krepitasi, lokasi tidak ada
 Nyeri, lokasi tidak ada
 Bengkak, lokasi tidak ada
 Kekakuan, lokasi tikdak ada
 Flasiditas, lokasi tidak ada
 Spastisitas, lokasi tidak ada
 Ukuran otot  Simetris
 Atropi
 Hipertropi
 Kontraktur
 Malposisi
Uji kekuatan otot :  Ekstrimitas atas 4/4  Ekstrimitas bawah 4/4
 Deformitas tulang, lokasi tidak ada
 Peradangan, lokasi tidak ada
 Perlukaan, lokasi tidak ada
 Patah tulang, lokasi tidak ada
Tulang belakang  Normal  Skoliosis
 Kifosis  Lordosis

10. KULIT-KULIT RAMBUT


Riwayat alergi  Obat tidak ada
 Makanan tidak ada
 Kosametik tidak ada
 Lainnya tidak ada
Suhu kulit  Hangat  Panas  Dingin
Warna kulit  Normal  Sianosis/ biru  Ikterik/kuning
 Putih/ pucat  Coklat tua/hyperpigmentasi
Turgor  Baik  Cukup  Kurang
Tekstur  Halus  Kasar
Lesi :  Macula, lokasi tidak ada
 Pustula, lokasi tidak ada
 Nodula, lokasi tidak ada
 Vesikula, lokasi tidak ada
 Papula, lokasi tidak ada
 Ulcus, lokasi tidak ada
Jaringan parut lokasi tidak ada
Tekstur rambut lembut
Distribusi rambut merata
Bentuk kuku  Simetris  Irreguler
 Clubbing Finger  Lainnya....................
Masalah Keperawatan :
Tidak ada
11. SISTEM PENGINDERAAN :
a. Mata/Penglihatan
Fungsi penglihatan :  Berkurang  Kabur
 Ganda  Buta/gelap
Gerakan bola mata :  Bergerak normal  Diam
 Bergerak spontan/nistagmus
Visus : Mata Kanan (VOD) :............................................................
Mata kiri (VOS) :.............................................................

Selera  Normal/putih  Kuning/ikterus  Merah/hifema Konjunctiva  Merah muda Pucat/anemic

Kornea  Bening  Keruh


Alat bantu  Kacamata  Lensa kontak  Lainnya Tidak ada
Nyeri : Tidak ada
Keluhan lain : tidak ada

b. Telinga / Pendengaran :
Fungsi pendengaran :  Berkurang  Berdengung  Tuli
c. Hidung / Penciuman:
Bentuk :  Simetris  Asimetris
 Lesi
 Patensi
 Obstruksi
 Nyeri tekan sinus
 Transluminasi
Cavum Nasal Warna………………….. Integritas……………..
Septum nasal  Deviasi  Perforasi  Peradarahan
 Sekresi, warna ………………………
 Polip  Kanan  Kiri  Kanan dan Kiri
Masalah Keperawatan :
Tidak ada
12. LEHER DAN KELENJAR LIMFE
Massa  Ya  Tidak
Jaringan Parut  Ya  Tidak
Kelenjar Limfe  Teraba  Tidak teraba
Kelenjar Tyroid  Teraba  Tidak teraba
Mobilitas leher  Bebas  Terbatas
13. SISTEM REPRODUKSI
a. Reproduksi Pria
Kemerahan, Lokasi tidak ada
Gatal-gatal, Lokasi tidak ada
Gland Penis tidak ada
Maetus Uretra tidak ada
Discharge, warna tidak ada
Srotum tidak ada
Hernia tidak ada
Kelainan tidak ada
Keluhan lain tidak ada
a. Reproduksi Wanita
Kemerahan, Lokasi......................................................
Gatal-gatal, Lokasi.......................................................
Perdarahan .................................................................
Flour Albus ..............................................................
Clitoris .......................................................................
Labis ....................................................................
Uretra ....................................................................
Kebersihan :  Baik  Cukup  Kurang
Kehamilan : ……………………………………
Tafsiran partus : ……………………………………
Keluhan lain......................................................................................................
...........................................................................................................................
Payudara :
 Simetris  Asimetris
 Sear  Lesi
 Pembengkakan  Nyeri tekan
Puting :  Menonjol  Datar  Lecet  Mastitis
Warna areola ....................................................................................................
ASI  Lancar  Sedikit  Tidak keluar
Keluhan lainnya.................................................................................................
...........................................................................................................................
Masalah Keperawatan :
..........................................................................................................................
D. POLA FUNGSI KESEHATAN
1. Persepsi Terhadap Kesehatan dan Penyakit :
Keluarga mengatakan ingin pasien cepat sembuh agar bisa cepat pulang kerumah dan bisa melakukan aktivitas seperti biasanya.
2. Nutrisida Metabolisme
TB : 158 Cm
BB sekarang : 55 Kg
BB Sebelum sakit : 60 Kg
Diet :
 Biasa  Cair  Saring  Lunak
Diet Khusus :
 Rendah garam  Rendah kalori  TKTP
 Rendah Lemak  Rendah Purin  Lainnya……….
 Mual
 Muntah…………….kali/hari
Kesukaran menelan  Ya  Tidak
Rasa haus
Keluhan lainnya.....................................................................................................
Pola Makan Sehari- Sesudah Sakit Sebelum Sakit
hari
Frekuensi/hari 3x/hari 3x/hari
Porsi 1 2
Nafsu makan Kurang Baik
Jenis Makanan Susu bubuk Nasi,ikan,sayur
Jenis Minuman Air putih Air putih ,teh
Jumlah minuman/cc/24 750 cc 1.500 cc
jam
Kebiasaan makan Pagi,siang,malam Pagi,siang ,malam
Keluhan/masalah Kurang nafsu makan Tidak ada masalah
Masalah Keperawatan
Defisiti Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh

3. Pola istirahat dan tidur


Sebelum sakit : tidur pasien 1 jam 11.00-12.00 WIB ,tidur malam sebelum sakit 7-8 Jam.
Saat sakit : saat sakit tidur siang 1 jam pada pukul 10.00-11.00 WIB, pada sakit klien hanya .
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
4. Kognitif :
Pasien mengeluarkan suara ,ketika diberi rangsangan nyeri akibat penururnan kesadaran (GCS 6 =E1V1M1) dan keluarga
tampak belum mengerti dan masih tampak kebingungan dengan penyakit yang dialami pasien sekarang.
Masalah Keperawatan
Defisit Pengetahuan
5. Konsep diri (Gambaran diri, ideal diri, identitas diri, harga diri, peran ) :
Konsep diri : pasien dapat menerima kondisinya
Ideal diri : pasien ingin cepat sembuh dari penyakit yang dideritanya,
Identitas diri :pasien seorang kepala keluarga yang berusia 33 tahun yang sudah menikah
Harga diri : pasien tidak merasa malu dengan keadaanya sekarang.
Peran : pasien adalah seorang kepala keluarga

Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah

6. Aktivitas Sehari-hari
Keluarga Pasien mengatakan selama dirawat dirumah sakit hanya berbaring karena perutnya masih terasa nyeri dan aktivitas
sehari-harinya dibantu oleh keluarga dan perawat.skala aktifitas 3 : (memerlukan bantuan /pengawasan /bimbingan sederhana)
Masalah Keperawatan
Defisit Perawatan Diri (Makan-Minum)
7. Koping –Toleransi terhadap Stress
Keluarga Pasien mengatakan bila ada masalah pasien bercerita kepada keluarga ,bila ada masalah mengurangi bebam
pikiran dan untuk mendapatkan solusi.
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
8. Nilai-Pola Keyakinan
Keluarga pasien mengatakan ia percaya penyakit yang diderita sekarang dapat sembuh dan bisa ditangani oleh dokter dan ahli
medis lainnya.
Masalah Keperawatan
Tidak ada masalah
E. SOSIAL - SPIRITUAL
1. Kemampuan berkomunikasi
Pasien tidak mengeluarkan suara sedikitpun, meski sudah dipanggil atau dirangsang nyeri akibat penurunan kesadaran (GCS 6
– E2V1M3).
2. Bahasa sehari-hari
Keluarga pasien mengatakan pasien dapat menggunakan bahasa Banjar, Dayak dan Indonesia dalam bahasa sehari-harinya.
3. Hubungan dengan keluarga :
Keluarga pasien mengatakan hubungan pasien dan keluarga baik, tidak ada masalah.

4. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan/orang lain :


Hubungan keluarga pasien dengan teman dan petugas seperti perawat, dokter, serta orang lain baik.
5. Orang berarti/terdekat :
Orang terdekat bagi pasien adalah keluarganya yang meliputi, suami dan anak-anaknya
6. Kebiasaan menggunakan waktu luang :
Keluarga pasien mengatakan sebelum sakit kebiasaan pasien dalam meluangkan waktu berkumpul bersama keluarganya, saat sakit
klien lebih banyak istirahat.
7. Kegiatan beribadah :
Keluarga pasien mengatakan sebelum sakit klien selalu aktif beribadah, selama sakit hanya keluarga yang mendokan pasien agar
sempat sembuh.
F. DATA PENUNJANG (RADIOLOGIS, LABORATO RIUM, PENUNJANG LAINNYA)

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 10 Desember 2020


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Albumin 2,00 g/dl 3.5-5,5 g/dl
Leukosit 11,720 /mm² 4.500-11.00
Laju Endap Darah 72 mm L<10,P<15
Ureum 290,0 gr/dl 11,0-55 gr/dl
Creatinin 3,4 gr/dl 0,6 -1,36 gr/dl
Calcium 2,15 mmol/I 2,02-2,60 mmol/I
Calium 6,0 3,6-5,5 mmol/I
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 10 Desember 2020
Parameter Result Unit Refl Range
WBC 9,56x10´3/uL 4.00-10.00
RBC 4,22x10´6/uL 350-5,50
HGB 12,1 g/dl 11,0-16,0
PLT 254x10´3 uL 150-400

G. PENATALAKSANAAN MEDIS

No Jenis Terapi Dosis Rute Indikasi


1. Infus Aminofluid 500 ml/24 jam IV Digunakan untuk suplai
elektrolit,glukosa dan asam
amino pada kondisi diaman
suplai oral tidak
adekuat,sebelum dan sesudah
operasi
2. Inj.Ketrolac 30 gram IV Ketrolac adalah obat dengan
fungsi mengatasi nyeri sedang
hingga nyeri berat untuk
sementara. Biasanya obat ini
digunakan sebelum atau sesudah
prosedur medis,atau setelah
operasi.ketrolac adalah golongan
obat nonsteroidal
Anti inflammatory drug
(NSAID) yang bekerja dengan
memblok produksi subtansi
alami tubuh yang menyebabkan
inflamasi.
3. Inj.Ranitidin 2x50 g IV Ranitidine atau ranitidin adalah
obat untuk mengurangi jumlah
asam lambung dalam
perut.fungsinya untuk mengatasi
dan mencegah rasa panas perut
(heartburn),maag dan sakit perut
yang disebabkan oleh tukak
lambung.
1. Inj.Nerobion 1x1 Amp IV Selain untuk menjaga kesehatan
saraf,vitamin B1,B6 dan B12
juga bermanfaat untuk
membantu tubuh menyerap
energi dari makanan,serta
membantu menghasilkan sel
darah merah
2. Inj.Meropenem 2x1 gr IV Meropenem adalah antibiotik
yang digunakan untuk
menangani berbagai kondisi
yang diderita akibat adanya
infeksi bakteri.
3. Paracetamol 3x500 gr Oral Parasetamol diindikasikan untuk
Kapan perlu mengurangi rasa nyeri ringan
sampai sedang .seperti sakit
kepala,sakit gigi,nyeri otot dan
nyeri setelah mencabut gigi serta
menurunkan demam.

Palangkaraya 10 Desember 2020


Yang Mengkaji

Halimatussyadiah
ANALISA DATA
Data subjektif dan data objektif Kemungkinan Penyebab Masalah
DS : Spasme jalan napas Bersihan Jalan Nafas
Tidak Efektif
- keluarga klien mengatakan
klien sesak nafas Hipersekresi jalan nafas
- keluarga klien mengatakan
batuk klien berdahak setelah Sekresi yang tertahan
operasi
Terdapat Sekret
DO :
- Posisi tidur klien Bersihan jalan nafas tidak
terlentang/semi fowler efektif
- Klien tampak batuk
berdahak dengan dahak
jernih dan tidak berdarah
- Bunyi nafas klien kussmaul
- Tipe pernafasan dada dan
perut
- Terdengar bunyi nafas
tambahan (whezzing)
- Menggunakan O2 face
mask 5 lpm
- TD: 140/90 mmHg ,
- N:103x/menit,
- S:38,5ºC,,
- RR:28 x/menit

Dehidrasi
DS : Keluarga klien mengatakan Hipertermia
klien mengalami demam Terpapar lingkungna panas

DO : Ketidak sesuain pakain


- Kulit klien tampak merah dengan suhu linhkungan
- Kulit klien teraba panas
hasil TTV Proses penyakit ( Infeksi)
- TD: 140/90 mmHg ,
- N:103x/menit, Peningkatan laju
- S:38,5ºC, metabolism
- RR:28 x/menit
Respon Trauma
DS : Gangguan metabolisme Penurunan kapasitas
Penurunan kapasitas adaptif adaptif intrakranial
intracranial penurunan kesadaran Edema serebral

DO: Peningkatan tekan vena


- tingkat kesadaran klien menurun
- respon pupil klien melambat atau Intrakranial idiopatik
tidak sama meningkat
PRIORITAS MASALAH

1. Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif berhubungan dengan adanya sputum yang
tertahan pada jalan nafas ditandai dengan keluarga klien mengatakan sesak nafas,
keluarga klien mengeluh batuk berdahak setelah operasi, Klien tampak batuk
berdahak dengan dahak jernih dan tidak berdarah Hasil TTV
- TD: 140/90 mmHg ,
- N:103x/menit,
- S:37,2ºC,
- RR:28 x/menit
Diagnosa Medis Post Op Laparatomy Peritonitis.

2. Penurunan kapasitas adaptif intracranial berhubungan dengan penurunan kesadaran


ditandai dengan penurunan kapasitas adaptif intracranial penurunan kesadaran
Hasil TTV
- TD: 140/90 mmHg ,
- N:103x/menit,
- S:37,2ºC,
- RR:28 x/menit
Diagnosa Medis Post Op Laparatomy Peritonitis.
3. Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan faktor psikologis
ditandai dengan pasien terpasang NGT , keluarga klien mengatakan nafsu makan klien
menurun karena nyeri .keluarga klien mengatakan cenderung menghindari makan
karena takut nyeri perutnya bertambah,porsi makan klien tidak habis ,klien mau minum
susu rumah sakit saja.
Diketahui :
-Makan pasien hanya mendapatkan asupan nutrisi cair dari NGT 3x/hari jumlah 750 cc
- BAB 2x setiap 1 Hari ,dengan warna kekuningan ,bau khas,BAB encer 150 cc
TB= 165 cm= 165 m, BB=47 kg
Ditanya: IMT=......?
BB
Dijawab : IMT =
( TB ) 2
=
47
1,65x1,65
55 kg
( 1,55 x 1,55 ) m
= 17,4 (Kurus)
Input :
-nutrisi cair ngt :750 cc 1.250
- infus aminofluid 500 cc
Output
Urine : 2500 cc 2.800
BAB 2 x/hari 300 cc
Balance cairan = input –output
1.250 -2.800 = 1.550 cc

Hasil TTV
- TD: 140/90 mmHg ,
- N:103x/menit,
- S:37,2ºC,
- RR:28 x/menit
Diagnosa Medis Post Op Laparatomy Peritonitis.

4. Defisit perawatan diri berhubungan dengan kelemahan dibuktikan dengan keluarga


klien mengatakan klien dibantu ketika makan /minum ,klien tampak lemah dan
lesu,menggunakan NGT klien tidak mampu makan sendiri.
Hasil TTV
- TD: 140/90 mmHg ,
- N:103x/menit,
- S:37,2ºC,
- RR:28 x/menit
Diagnosa Medis Post Op Laparatomy Peritonitis.

Intervensi Keperawatan
RENCANA KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. P
Ruang Rawat : ICU
Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Keperawatan Rasional

Bersihan jalan napas Setelah dilakuakan asuhan 1. Monitori pola napas 1. Pantau pola napas
tidak efektif keperawatan selama 1 x 7 2. Monitori bunyi napas tambahan 2. Memantau bunyi npas tambahan
berhubungan dengan jam diharapkan pasien 3. Monitor sputum 3. Pantau produksi sputum
Produksi sputum menunjukkan bersihan jalan 4. Posisikan semi fowler atau fowler 4. Mengatur posisi nyaman
meningkat napas kembali normal, 5. Lakukan penghisapan lender 5. Memudahkan pengeluaran
dengan kriteria hasil: kurang dari 15 detik sekret
1. Produksi sputum 6. Berikan oksigen 6. fasilitasi alat oksigen
menurun(Skor :5) 7. Anjurkan asupan caiaran 7. menyarankan banyak untuk
2. Wheezing menurun 2000ml/hari banyak minum
(skor : 5) 8. Berkolaboraasi pemberian 8. bekerja sama untuk pemebrian
3. Gelisah menurun bronkodilator, eksprktoran, bronkodilator, eksprktoran,
(Skor :5) mukolatik. mukolatik.
4. Frekuensi napas
membaik (Skor :5)
5. Pola napas membaik
(Skor:5)
Hipertermi berhubungan Setelah dilakuakan asuhan 1. Identifikasi penyebab hipertermi 1. Mencari tahau penyebab
dengan kejang keperawatan selama 1 x 7 2. Monitor suhu tubuh 2. Pantau suhu tubuh
meningkat jam diharapkan pasien 3. Monitor komplikasi akibta 3. Mencegah penyebab
menunjukkan hipertermi hipertermi hipertermia
menurun dengan kriteria 4. Sediakan lingkungan yang dingin 4. Meminimalisir produksi panas
hasil: 5. Basahi atau kipas permukan tubuh 5. Berikan pasien kompres
1. Menggigil munurun 6. Berikan oksigen 6. Fasilitasi alat oksigen
(skor : 5) 7. Kolaborasi pemberian cairan dan 7. Kerja sama untuk memberikan
2. Kejang menurun (skore : elektrolit cairan dan elektrolit
5)
3. Suhu tubuh membaik
( skor : 5)
4. Tekanan darah membaik
( Skor : 5)
Penurunan Kapasitas Setelah dilakuakan asuhan 1. Identifikasi penyebab peningkatan 1. Mencari tahu penyebab
adaptif intracranial keperawatan selama 1 x 7 TIK meningkatnya TIK
berhubungan penurun jam diharapkan pasien 2. Monitor tanda/gejala peningkatan 2. Memantau tanda/ gejala
kesadaran menunjukkan peningkatan TIK ( Tekanan darah meningkat, meningkatnya ITK (pola nafas
kesadaran dengan kriteria pola nafas ireguler, penurunan ireguler, penurunan kesadaran)
hasil: kesadaran) 3. Memantau pernapasan
1. Tingkat kesadaran 3. Monitori status pernapasan 4. ubah menjadi semi fowler
meningkat ( Skor : 5) 4. Berikan posisi semi fowler 5. hidari terjadi kejang
2. Sakit kepala 5. Cegah terjadinya kejang 6. Upayakan suhu tubuh normal
menurun(Skor :5 ) 6. Pertahankan suhu tubuh normal 7. Berkerja sama memberi sedasi
3. Gelisah 7. Kolaborasi pemberian sedasi dan dan anti konvulsa
menurun( Skor:5) anti konvulsa
4. Muntah menurun (Skor
: 5)
5. Takan darah membaik
(Skor :5)
6. Pola napas
membaik( Skor : 5)
Defisit nutrisi kurang Setelah Dilakukan Tindakan 1. Identifikasi Status Nutrisi 1. Memantau Status Nutrisi
dari kebutuhan tubuh Keperawatan Selama 1x7 2. Identifikasi Alergi Dan Intoleransi 2. Memantau Alergi Dan
berhubungan dengan Jam Untuk Memenuhi Makanan Intoleransi Makanan
faktor psikologis Kebutuhan Metabolisme 3. Identifikasi Makan Yang Disukai 3. Memantau Makan Yang Disukai
Tubuh 4. Monitor Asupan Makanan 4. Memantau Asupan Makanan
Kriteria Hasil : 5. Monitor Berat Badan 5. Memantau Berat Badan
SLKI Hal: 6. Lakukan Oral Hygine Sebelum 6. melakukan Oral Hygine
1. Status Nutrisi (5) Makan ,Jika Perlu Sebelum Makan ,Jika Perlu
2. Eliminasi Fekal (5) 7. Sajikan Makanan Secara Menarik Dan 7. menyajikan Makanan Secara
3. Fungsi Gastrointestina(5) Suhu Yang Sesuai Menarik Dan Suhu Yang Sesuai
4. Nafsu Makan :(5) 8. Berikan Makanan Tinggi Serat Untuk 8. memberikan Makanan Tinggi
5. Perilaku Meningkatkan Mencegah Konstipasi Serat Untuk Mencegah Konstipasi
Berat Badan : (5) 9. Ajarkan Diet Yang Diprogramkan 9..mengajarkan Diet Yang
6. Status Menelan : (5) 10. Kolaborasi Dengan Ahli Gizi Untuk Diprogramkan
7. Tingkat Depresi : (1) Menentukan Jumlah Kalori Dam Jenis 10. bekerja sama Dengan Ahli Gizi
Nutrien Yang Dibutuhkan ,Jika Perlu. Untuk Menentukan Jumlah Kalori
Dam Jenis Nutrien Yang
Dibutuhkan ,Jika Perlu.
Defisit Perawatan diri Setelah dilakuakan asuhan 1. Identifikasi diet yang dianjurkan 1. Menberikan diet yang tepat.
(Makan/Minum) keperawatan selama 1 x 7 2. Monitori kemampuan menelan 2. Pantau kemapuan menelan
berhubungan dengan jam diharapkan pasien 3. Monitori status dehidrasi pasien 3. Pantau asupan cairan
kelemahan menunjukkan Gangguan 4. Atur posisi yang nyaman untuk 4. Merubah posis tempat tidur
eliminasi urin normal makan/minum pasien
dengan kriteria hasil: 5. Lakukan oral hygiene sebelum 5. Bersihkan mulut pasien
1. Kemampuan ke toilet makan sebelum makan
(BAK/BAB) 6. Berikan bantuan saat 6. Bantu klien saat
meniningkat (Skor :5) makan/minum sesuai tingkat makan/makan sesuai
2. Kemampuan makan kemandirian dengan tingkat kemandirian
meningkat (Skor : 5) 7. Kolaborasi pemebrian obat 7. Kerja sama dengan dokter
3. Mempertahankan untuk memberikan obat
kebersihan mulut
meningkat (Skor:5)
IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
Nama Pasien: Tn. P
Ruang Rawat : ICU
Hari/Tanggal, Tanda tangan dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama Perawat
Kamis, 10 Bersihan jalan napas tidak efektif S : Keluarga klien mengatakan klien masih
Desember berhubungan dengan Produksi sputum mengalami sesak napas dan masih belum
10.00 WIB meningkat bisa mengeluarkan dahak
1. Mengobservasi pola napas ( frekuensi, O :
kedalaman, usahan napas) 1. Produksi sputum klien menurun
2. Mengobservasi bunyi napas tambahan 2. Klien menggunakan o2 Face
3. Mengobservasi sputum ( jumlah, warnan Mask 5 Lpm
aroma) 3. Wheezing menurun
4. Memposiskan semi fowler atau fowler 4. Frekuensi pernapasan : 28 x/m
5. Melakukan fisioterapi dada 5. Sputum klien berwarna putih
6. Melakukan penghisapan lendir kurang dari A : Masalah teratasi sebagian
15 detik ( Tindakan Section ) P : Lanjutkan Intervensi 1,6,7 Halimatussyadiah
7. Memberikan oksigen ( o2 face mask 5 1. Mengobservasi pola napas
Lpm ) ( frekuensi, kedalaman, usahan
8. Menyarankan asupan caiaran 2000ml/hari napas)
9. Berkolaboraasi pemberian bronkodilator, 2. Melakukan penghisapan lendir
eksprktoran, mukolatik. kurang dari 15 detik ( Tindakan
Section )
3. Memberikan oksigen ( o2 face
mask 5 Lpm )

Kamis, 10 Hipertermi berhubungan dengan peningkatan S : Keluarga klien mangatakan klien


Desember laju metabolisme demam
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi penyebab hipertermi O:
2. Mengobservasi suhu tubuh 1. Klien tampak tidak Menggigil
3. Mengobservasi komplikasi akibta 2. Klien tampak diberi kompres air Halimatussyadiah
hipertermi hangat
4. Menyediakan lingkungan lingkungan 3. Kejang klien menurun : < 5 menit
yang dingin 4. Kulit klien tampak tidak merah
5. Membasahi atau kipas permukan tubuh 5. Suhu tubuh membaik
6. Memberikan cairan oral 6. Tanda-tanda vital
7. Memberikan oksigen TD : 130/90 mmHg
8. Berkolaborasi pemberian cairan dan S : 36,5 0C
elektrolit RR : 28 x/m
N : 88 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi 2,5,7,8
1. Mengobservasi suhu tubuh
2. Membasahi atau kipas permukan
tubuh
3. Memberikan oksigen
4. Berkolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit

Kamis, 10 Penurunan Kapasitas adaptif intracranial S : Keluarga klien mengtakan kliem


Desember berhubungan dengan penurun kesadaran belum sadarkan diri
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan O :
TIK 1. Posisi tidur klien semi fowler
2. Mengobservasi tanda/gejala peningkatan 2. Pola nafas klien kusmual
TIK ( Tekanan darah meningkat, pola 3. GCS klien masih 6 (sopor)
nafas ireguler, penurunan kesadaran) 4. Sakit kepala menurun
3. Mengobservasi status pernapasan 5. Gelisah menurun
4. Memberikan posisi semi fowler 6. Muntah menurun
5. Mencegah terjadinya kejang 7. TTV
6. Mempertahankan suhu tubuh normal TD : 130/90 mmHg
7. Berkolaborasi pemberian sedasi dan anti S : 37,9 0C Halimatussyadiah
konvulsa RR : 28 x/m
N : 88 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1. Mengobservasi tanda/gejala
peningkatan TIK ( Tekanan darah
meningkat, pola nafas ireguler,
penurunan kesadaran)
2. Mengobservasi status pernapasan
3. Mencegah terjadinya kejang
4. Mempertahankan suhu tubuh
normal

Kamis, 10 Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh S: keluarga klien mengatakan
Desember berhubungan dengan faktor psikologis masih belum ada selera makan
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi Status Nutrisi O:
2. Mengidentifikasi Alergi Dan Intoleransi 1. klien tampak menggunakan
Makanan NGT
3. Mengidentifikasi Makan Yang Disukai 2. klien tampak tidak sadarkan diri
4. Memonitor Asupan Makanan 3. klien hanya mau minum susu
5. Memonitor Berat Badan
dari rumah sakit,
6. Melakukan Oral Hygine Sebelum Makan
,Jika Perlu 4. TTV
7. Menyajikan Makanan Secara Menarik Dan TD : 130/90 mmHg
Suhu Yang Sesuai S : 37,9 0C
8. Memberikan Makanan Tinggi Serat Untuk RR : 28 x/m
Mencegah Konstipasi N : 88 x/m
9. Mengajarkan Diet Yang Diprogramkan A : Masalah teratasi sebagian
10. Berkolaborasi Dengan Ahli Gizi Untuk P: Lanjutkan Intervensi
Menentukan Jumlah Kalori Dam Jenis
Nutrien Yang Dibutuhkan ,Jika Perlu. 2. Mengidentifikasi Alergi Dan
Intoleransi Makanan Halimatussyadiah
3. Mengidentifikasi Makan Yang
Disukai
4. Memonitor Asupan Makanan
5. Memonitor Berat Badan
6. Melakukan Oral Hygine
Sebelum Makan ,Jika Perlu
7. Menyajikan Makanan Secara
Menarik Dan Suhu Yang Sesuai
8. Memberikan Makanan Tinggi
Serat Untuk Mencegah Konstipasi
9. Mengajarkan Diet Yang
Diprogramkan
10. Berkolaborasi Dengan Ahli
Gizi Untuk Menentukan Jumlah
Kalori Dam Jenis Nutrien Yang
Dibutuhkan ,Jika Perlu.

Kamis, 10 Defisit Perawatan diri ( Makan/Minum) S : Keluarga klien mengatakan klien di


Desember berhubungan dengan kelemahan bantu saat makan
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi diet yang dianjurkan O :
2. Mengobservasi kemampuan menelan 1. Klien tampak tidak sadarkan diri
3. Mengobservasi status dehidrasi pasien 2. Klien dibantu saat makan Halimatussyadiah
4. Mengatur posisi yang nyaman untuk 3. Klien menggunakan NGT
makan/minum 4. Klien diberi diet cair
5. Melakukan oral hygiene sebelum 5. Klien tampak tidak sadarkan diri
makan 6. Klien dibantu oleh keluarga untuk
6. Memberikan bantuan saat makan melalui selang NGT
makan/minum sesuai tingkat 7. Total GCS : 6 (sopor)
kemandirian 8. Skala aktifitas : 3 ( memerlukan
7. Berkolaborasi pemebrian obat bantuan/ pengawasan/ bimbingan
sederhana).
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 3,5,6,7
9. Mengobservasi status dehidrasi
pasien
10. Melakukan oral hygiene sebelum
makan
11. Berkolaborasi pemebrian obat

CATATAN PERKEMBANGAN
Hari/Tanggal Tanda tangan dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama Perawat
Jumat,11 Desember Bersihan jalan napas tidak efektif berhungan dengan S : Keluarga klien mengatakan klien
2020 Produksi sputum meningkat masih sesak napas dan masih belum
bisa mengeluarkan dahak Halimatussyadiah
10.00 WIB 1. Mengobservasi pola napas ( frekuensi, O:
kedalaman, usahan napas) 1. Produksi sputum klien
10.05 WIB 2. Mengobservasi bunyi napas tambahan menurun
10.20 WIB 3. Mengobservasi sputum ( jumlah, warnan 2. Klien menggunakan o2 Face
aroma) Mask 5 Lpm
10.30 WIB 4. Memposiskan semi fowler atau fowler 3. Wheezing menurun
10.35 WIB 5. Melakukan fisioterapi dada 4. Frekuensi pernapasan : 28
10.40 WIB 6. Melakukan penghisapan lendir kurang dari x/m
15 detik ( Tindakan Section ) 5. Sputum klien berwarna putih
10.45 WIB 7. Memberikan oksigen ( o2 face mask 5 A : Masalah teratasi sebagian
10.50 WIB Lpm ) P : Lanjutkan Intervensi 1,6,7
10.55 WIB 8. Menyarankan asupan caiaran 2000ml/hari 1. Mengobservasi pola napas
9. Berkolaboraasi pemberian bronkodilator, ( frekuensi, kedalaman,
ekspektoran, mukolatik usahan napas)
2. Melakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
( Tindakan Section )
3. Memberikan oksigen ( o2
face mask 5 Lpm )

Jumat,11 Desember Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju S : Keluarga klien mangatkan klien
2020 metabolisme demam
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi penyebab hipertermi 7. Klien tampak tidak Menggigil
10.05 WIB 2. Mengobservasi suhu tubuh 8. Klien tampak diberi kompres air
10.20 WIB 3. Mengobservasi komplikasi akibta hipertermi hangat
10.30 WIB 4. Menyediakan lingkungan lingkungan yang 9. Kejang klien menurun : < 5
dingin menit
10. Kulit klien tampak tidak merah
10.35 WIB 5. Memhasahi atau kipas permukan tubuh 11. Suhu tubuh membaik
10.40 WIB 6. Memberikan cairan oral 12. Tanda-tanda vital
10.45 WIB 7. Memberikan oksigen TD : 130/90 mmHg
10.50 WIB 8. Berkolaborasi pemberian cairan dan S : 36,5 0C
elektrolit RR : 28 x/m
N : 88 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi 2,5,7,8
5. Mengobservasi suhu tubuh
6. Membasahi atau kipas
permukan tubuh
7. Memberikan oksigen
Berkolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit

Jumat,11 Desember Penurunan Kapasitas adaptif intracranial berhungan


S : Keluarga klien mengtakan kliem
2020 dengan penurun kesadaran belum sadarkan diri
O:
10.00 WIB 1) Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK 1. Posisi tidur klien semi fowler
10.05 WIB 2) Mengobservasi tanda/gejala peningkatan 2. Pola nafas klien kusmual
TIK ( Tekanan darah meningkat, pola nafas 3. GCS klien masih 6 (sopor)
ireguler, penurunan kesadaran) 4. Sakit kepala menurun
10.30 WIB 3) Mengobservasi status pernapasan 5. Gelisah menurun
10.35 WIB 4) Memberikan posisi semi fowler 6. Muntah menurun Halimatussyadiah
10.35 WIB 5) Mencegah terjadinya kejang 7. TTV
TD : 130/90 mmHg
6) Mempertahankan suhu tubuh normal S : 37,9 0C
10.50 WIB 7) Berkolaborasi pemberian sedasi dan anti RR : 29 x/m
10.55 WIB konvulsa N : 88 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1. Mengobservasi tanda/gejala
peningkatan TIK ( Tekanan
darah meningkat, pola nafas
ireguler, penurunan kesadaran)
2. Mengobservasi status
pernapasan
3. Mencegah terjadinya kejang
4. Mempertahankan suhu tubuh
normal

Jumat,11 Desember Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh S: keluarga klien mengatakan
2020 berhubungan dengan faktor psikologis masih belum ada selera makan
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi Status Nutrisi 1. klien tampak menggunakan
10.15 WIB 2. Mengidentifikasi Alergi Dan Intoleransi Makanan NGT
10.20 WIB 3. Mengidentifikasi Makan Yang Disukai 2. klien tampak tidak sadarkan
10.30 WIB 4. Memonitor Asupan Makanan diri
10.35 WIB 5. Memonitor Berat Badan 3. klien hanya mau minum susu Halimatussyadiah
10.45 WIB 6. Melakukan Oral Hygine Sebelum Makan ,Jika
dari rumah sakit,
10.55 WIB Perlu
10.58 WIB 7. Menyajikan Makanan Secara Menarik Dan Suhu 4. TTV
11.20 WIB Yang Sesuai TD : 130/90 mmHg
11.30 WIB 8. Memberikan Makanan Tinggi Serat Untuk S : 37,9 0C
11.35 WIB Mencegah Konstipasi RR : 28 x/m
11.40 WIB 9. Mengajarkan Diet Yang Diprogramkan N : 88 x/m
11.45 WIB 10. Berkolaborasi Dengan Ahli Gizi Untuk A : Masalah teratasi sebagian
Menentukan Jumlah Kalori Dam Jenis Nutrien Yang P: Lanjutkan Intervensi
Dibutuhkan ,Jika Perlu. 2. Mengidentifikasi Alergi Dan
Intoleransi Makanan
3. Mengidentifikasi Makan
Yang Disukai
4. Memonitor Asupan Makanan
5. Memonitor Berat Badan
6. Melakukan Oral Hygine
Sebelum Makan ,Jika Perlu
7. Menyajikan Makanan Secara
Menarik Dan Suhu Yang Sesuai
8. Memberikan Makanan Tinggi
Serat Untuk Mencegah
Konstipasi
9. Mengajarkan Diet Yang
Diprogramkan
10. Berkolaborasi Dengan Ahli
Gizi Untuk Menentukan Jumlah
Kalori Dam Jenis Nutrien Yang
Dibutuhkan ,Jika Perlu.
Jumat,11 Desember Defisit Perawatan diri ( Makan/Minum) berhungan S : Keluarga klien mengatakan klien di
2020 dengan kelemahan bantu saat makan
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi diet yang dianjurkan 1. Klien tampak tidak sadarkan
10.05 WIB 2. Mengobservasi kemampuan menelan diri
10.20 WIB 3. Mengobservasi status dehidrasi pasien 2. Klien dibantu saat makan
10.30 WIB 4. Mengatur posisi yang nyaman untuk 3. Klien diberi diet cair
makan/minum 4. Klien dibantu oleh keluarga
untuk makan melalui selang
5. Melakukan oral hygiene sebelum makan NGT Haliamtussyadiah
10.35 WIB 6. Memberikan bantuan saat makan/minum 5. Total GCS : 6 (sopor)
10.40 WIB sesuai tingkat kemandirian 6. Skala aktifitas : 3
( memerlukan bantuan/
10.45 WIB 7. Berkolaborasi pemebrian obat pengawasan/ bimbingan
sederhana).
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 3,5,7
1. Mengobservasi status dehidrasi
pasien
2. Melakukan oral hygiene
sebelum makan
3. Berkolaborasi pemebrian obat

CATATAN PERKEMBANGAN
Hari/Tanggal Tanda tangan dan
Implementasi Evaluasi (SOAP)
Jam Nama Perawat
Sabtu,12 Desember Bersihan jalan napas tidak efektif berhungan dengan S : Keluarga klien mengatakan klien
2020 Produksi sputum meningkat masih sesak napas dan masih belum
bisa mengeluarkan dahak
10.00 WIB 1. Mengobservasi pola napas ( frekuensi, O :
kedalaman, usahan napas) 1. Produksi sputum klien
menurun Halimatussyadiah
10.05 WIB 2. Mengobservasi bunyi napas tambahan 2. Klien menggunakan o2
10.20 WIB 3. Mengobservasi sputum ( jumlah, warnan aroma) Face Mask 5 Lpm
3. Wheezing menurun
4. Frekuensi pernapasan :
28 x/m
10.30 WIB 4. Memposiskan semi fowler atau fowler 5. Sputum klien berwarna
10.35 WIB 5. Melakukan fisioterapi dada putih
10.40 WIB 6. Melakukan penghisapan lendir kurang dari 15 A : Masalah teratasi sebagian
detik ( Tindakan Section ) P : Lanjutkan Intervensi 1,6,7
1. Mengobservasi pola napas
( frekuensi, kedalaman,
10.45 WIB 7. Memberikan oksigen ( o2 face mask 5 Lpm ) usahan napas)
10.50 WIB 8. Menyarankan asupan caiaran 2000ml/hari 2. Melakukan penghisapan
10.55 WIB 9. Berkolaboraasi pemberian bronkodilator, lendir kurang dari 15 detik
ekspektoran, mukolatik ( Tindakan Section )
3. Memberikan oksigen ( o2
face mask 5 Lpm )

Sabtu,12 Desember Hipertermi berhubungan dengan peningkatan laju S : Keluarga klien mangatkan klien
2020 metabolisme demam
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi penyebab hipertermi 1. Klien tampak tidak Menggigil
10.05 WIB 2. Mengobservasi suhu tubuh 2. Klien tampak diberi kompres air
hangat
10.20 WIB 3. Mengobservasi komplikasi akibta hipertermi 3. Kejang klien menurun : < 5
10.30 WIB 4. Menyediakan lingkungan lingkungan yang menit
dingin 4. Kulit klien tampak tidak merah Halimatussyadiah
5. Suhu tubuh membaik
10.35 WIB 5. Memhasahi atau kipas permukan tubuh 6. Tanda-tanda vital
10.40 WIB 6. Memberikan cairan oral TD : 130/90 mmHg
10.45 WIB 7. Memberikan oksigen S : 36,5 0C
10.50 WIB 8. Berkolaborasi pemberian cairan dan RR : 28 x/m
elektrolit N : 88 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi 2,5,7,8
1. Mengobservasi suhu tubuh
2. Membasahi atau kipas permukan
tubuh
3. Memberikan oksigen
4. Berkolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit

Sabtu,12 Desember Penurunan Kapasitas adaptif intracranial berhungan


S : Keluarga klien mengtakan kliem
2020 dengan penurun kesadaran belum sadarkan diri
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi penyebab peningkatan TIK 1. Posisi tidur klien semi
10.05 WIB 2. Mengobservasi tanda/gejala peningkatan fowler
10.20 WIB TIK ( Tekanan darah meningkat, pola nafas 2. Pola nafas klien kusmual
ireguler, penurunan kesadaran) 3. GCS klien masih 6 (sopor)
4. Sakit kepala menurun
10.30 WIB 3. Mengobservasi status pernapasan 5. Gelisah menurun
10.35 WIB 4. Memberikan posisi semi fowler 6. Muntah menurun Halimatussyadiah
10.35 WIB 5. Mencegah terjadinya kejang 7. TTV
10.40 WIB 6. Mempertahankan suhu tubuh normal TD : 130/90 mmHg
10.50 WIB 7. Berkolaborasi pemberian sedasi dan anti S : 37,9 0C
konvulsa RR : 29 x/m
N : 88 x/m
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi
1. Mengobservasi tanda/gejala
peningkatan TIK ( Tekanan
darah meningkat, pola nafas
ireguler, penurunan kesadaran)
2. Mengobservasi status
pernapasan
3. Mencegah terjadinya kejang
4. Mempertahankan suhu tubuh
normal

Sabtu,12 Desember Defisit nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh S: keluarga klien mengatakan
2020 berhubungan dengan faktor psikologis masih belum ada selera makan
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi Status Nutrisi 1. klien tampak menggunakan
10.15 WIB 2. Mengidentifikasi Alergi Dan Intoleransi Makanan NGT
10.20 WIB 3. Mengidentifikasi Makan Yang Disukai 2. klien tampak tidak sadarkan
10.30 WIB 4. Memonitor Asupan Makanan diri
10.35 WIB 5. Memonitor Berat Badan 3. klien hanya mau minum susu
10.45 WIB 6. Melakukan Oral Hygine Sebelum Makan ,Jika dari rumah sakit, Halimatussyadiah
10.55 WIB Perlu
4. TTV
10.58 WIB 7. Menyajikan Makanan Secara Menarik Dan Suhu
TD : 130/90 mmHg
11.20 WIB Yang Sesuai
S : 37,9 0C
11.30 WIB 8. Memberikan Makanan Tinggi Serat Untuk
RR : 28 x/m
11.35 WIB Mencegah Konstipasi
N : 88 x/m
11.40 WIB 9. Mengajarkan Diet Yang Diprogramkan
A : Masalah teratasi sebagian
11.45 WIB 10. Berkolaborasi Dengan Ahli Gizi Untuk
P: Lanjutkan Intervensi
Menentukan Jumlah Kalori Dam Jenis Nutrien Yang
Dibutuhkan ,Jika Perlu.
2. Mengidentifikasi Alergi Dan
Intoleransi Makanan
3. Mengidentifikasi Makan
Yang Disukai
4. Memonitor Asupan Makanan
5. Memonitor Berat Badan
6. Melakukan Oral Hygine
Sebelum Makan ,Jika Perlu
7. Menyajikan Makanan Secara
Menarik Dan Suhu Yang Sesuai
8. Memberikan Makanan Tinggi
Serat Untuk Mencegah
Konstipasi
9. Mengajarkan Diet Yang
Diprogramkan
10. Berkolaborasi Dengan Ahli
Gizi Untuk Menentukan Jumlah
Kalori Dam Jenis Nutrien Yang
Dibutuhkan ,Jika Perlu.
Sabtu,12 Desember Defisit Perawatan diri ( Makan/Minum) berhungan S : Keluarga klien mengatakan klien di
2020 dengan kelemahan bantu saat makan
O:
10.00 WIB 1. Mengidentifikasi diet yang dianjurkan 1. Klien tampak tidak sadarkan
10.05 WIB 2. Mengobservasi kemampuan menelan diri
10.20 WIB 3. Mengobservasi status dehidrasi pasien 2. Klien dibantu saat makan
10.30 WIB 4. Mengatur posisi yang nyaman untuk 3. Klien diberi diet cair
makan/minum 4. Klien dibantu oleh keluarga
untuk makan melalui selang
10.35 WIB 5. Melakukan oral hygiene sebelum makan NGT
10.40 WIB 6. Memberikan bantuan saat makan/minum 5. Total GCS : 6 (sopor)
sesuai tingkat kemandirian 6. Skala aktifitas : 3
10.45 WIB 7. Berkolaborasi pemebrian obat ( memerlukan bantuan/
pengawasan/ bimbingan Haliamtussyadiah
sederhana).
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan intervensi 3,5,7
4. Mengobservasi status dehidrasi
pasien
5. Melakukan oral hygiene
sebelum makan
6. Berkolaborasi pemebrian obat
KASUS KEPERAWATAN KRITIS
Pasien berinisial TN.P ,jenis kelamin Laki-laki, berusia 33 Tahun, suku
Banjar/Indonesia, beragama Islam, pekerjaan swasta, pendidikan SD, status Menikah,
alamat Jl. Mananggul kalampangan. Masuk Rumah Sakit dr.Doris Sylvanus Palangka
Raya pada tanggal 2 Desember 2020 dengan diagnosa medis Post Op Laparatomy
peritonitis.
Datang ke IGD dr.doris Sylvanus palangkaraya diantar oleh keluarga pasien
dengan keluhan pasien penurunan kesadaran, pasien tidak sadarkan diri ±1 jam
sebelum dibawa kerumah sakit, sakit klien mengalami kecelakaan 4 hari yang lalu
saat bekerja didalam selokan yang tingginya hingga pinggang klien ,kemudian tiba-
tiba dinding tembok selokan roboh menimpa tubuh pasien dari arah belakang ,pasien
terjatuh dan dengan perut membentur tepi selokan . kemudian sebelumnya klien
mengatakan mengalami batuk tidak ada darah terdapat adanya secret dan mengeluh
nyeri perut dibagian sisi kanan bawah,lama kelamaan semua bagian perut terasa
sakit,perut membesar dan tegang tidak ada BAB selama 2 hari dan ada mual dan
muntah,
di IGD dilakukan pemasangan Infus Aminofluid 500 ml/24 jam,20 Tpm dan
terapi oksigen face mask 5 lpm,injeksi ketrolac 30 g,ranitidin 5 ml dan dilakukan
USG abdomen ,kemudian klien dianjurkan rawat inap ke Ruang ICU untuk dilakukan
perawatan intesif.
Keadaan umum klien tampak sakit berat ,penurunan kesadaran,klien tampak
terbaring ditempat tidur,dan terpasang infus NaCl 0,9% ,500 mg ,20 Tpm tangan
sebelah kanan dan terapi oksigen face mask 5 lpm ,terpasang kateter.
Kemudian dilakukan pemeriksaan fisik Tingkat kesadaran pasien GCS pasien,
E (Eye): 2, V (Verbal): 1, M (Motorik): 3, Total Nilai GCS adalah 6 (Sopor) ,ada
memar kebiruan dibagian perut, tidak ada luka dibagian tubuh klien,ekspresi wajah
meringis,bentuk badan kurus,cara berbaring supinasi,berbicara tidak jelas,suasana
hati gelisah,penampilan cukup rapi.hasil tanda tanda vital TD: 140/90 mmHg
,N:103x/menit,S:38,5ºC,RR:28 x/menit Spo2 : 97%
Bentuk dada simetris,kebiasaan merokok tidak ada , mengalami batuk tidak
ada darah terdapat adanya secret ,tidak ada sianosis, ada nyeri dada,type pernafasan
dada dan perut ,irama nafas tidak teratur (kusmaul) ,suara nafas tambahan
whezzing.adanya suara nafas tambahan wheezing.
Pemeriksaan penunjang didapatkan hasil Lab Albumin : 2,58 g/dl , Leukosit :
11,720 mm²,creatinine :3,4 gr/dl,/mm², ureum :290,0 gr/dl,calium 2,15 mmol/l, Laju
Endap Darah: 72 mm, WBC : 9,56x10´3/uL ,RBC : 4,22x10´6/uL,HGB : 12,1 g/dl
,PLT : 254x10´3 uL.
Terapi yang digunakan Infus Aminofluid 500 ml/24 jam, Inj.Ketrolac 30
gram,Inj.Ranitidin 2x50 g, Inj.Meropenem 2x1 gr, Paracetamol 3x500 gr Kapan
perlu.
BAB 4
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan

pembungkus visera dalam rongga perut.Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih

yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.Peritonitis yang

terlokalisir hanya dalam rongga pelvis disebut pelvioperitonitis.

Penyebab peritonitis antara lain : penyebaran infeksi dari organ perut yang

terinfeksi, penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan

kegiatan seksual, infeksi dari rahim dan saluran telur, kelainan hati atau gagal

jantung, peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan, dialisa peritoneal

(pengobatan gagal ginjal), iritasi tanpa infeksi.

Patofisologi peritonitis adalah reaksi awal peritoneum terhadap invasi

bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Terbentuk kantong-kantong nanah

(abses) diantara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan

permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya

menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita

fibrinosa, yang kelak dapat menyebabkan terjadinya obstruksi usus.

Prinsip umum terapi pada peritonitis adalah :

a. Penggantian cairan dan elektrolit yang hilang yang dilakukan secara

intravena.
b. Terapi antibiotika memegang peranan yang sangat penting dalam

pengobatan infeksi nifas.

c. Terapi analgesik diberikan untuk mengatasi nyeri.

4.2 Saran

Kita sebagai seorang perawat dalam mengatasi masalah peritonitis di

masyarakat dapat memberikan berbagai cara untuk mencegah peritonitis dan

diharapkan mahasiswa/i dapat memberikan asuhan keperawatan khususnya pada

klien yang mengalami peritonitis yang sesuai dengan apa yang dipelajari.
DAFTAR PUSTAKA

Anurogo, D. (2016). 45 Penyakit dan Gangguan Saraf Deteksi Dini & Atasi 45
Penyakit dan Gangguan Saraf-Ed.1. Yogyakarta: Rapha Publishing.
Elchirri, N. (2017). Isu Kontemporer Mengenai peritonitis. Analyitica Islamica,
Vol. 4, No. 2 377-396.
Fitrah Fauziah, S. M. (2016). Karakteristik Penderita peritonitis .
Kusuma, A. H. (2017). Aplikasi NANDA NIC-NOC. Jakarta: Media Action
Publishing.
Mona Pradipta Hardiyanti, R. R. (2017). Aplikasi Sistem Pakar Berbasis Mobile
Untuk Diagnosis peritonitis. Jurnal Teknologi dan Sistem Komputer,
5(2),83-88.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI),  Edisi 1. Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI),  Edisi 1. Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI),  Edisi 1. Jakarta, Persatuan Perawat Indonesia
Pediatri, S. (Desember 2018). Kejadian post op laparatomy peritonitis . Anggraini
Alam, Vol. 13, No. 4.
PPNI, T. P. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesi (SDKI): Definisi dan
Indikator Diagnostik ((cetakan III)1 ed). Jakarta: DPP PPNI.
LAMPIRAN
SATUAN ACARA PENYULUHAN DAN LEAFLET RUANGAN ICU

Oleh :
HALIMATUSSYADIAH
( 2017.C.09a.0889 )

YAYASAN EKA HARAP PALANGKA RAYA SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN PRODI SERJANA KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
SATUAN ACARA PENYULUHAN

A. Topik : Pendidikan Kesehatan Pada keluarga pasien di Ruang


ICU RSUD dr.Doris Sylvanus Palangka Raya.
B. Sasaran
1. Program : RSUD dr.Sylvanus Palangka Raya
2. Penyuluhan : Peritonitis
C. Tujuan
1. Tujuan Umum : Setelah dilakukan penyuluhan diharapkan semua
keluarga pasien mampu memahami tentang Peritonitis
2. Tujuan Khusus : Setelah dilakukan penyuluhan selama 30 menit
diharapkan keluarga pasien memahami tentang :
a. Apa itu Peritonitis
b. Apa Tanda dan Gejala Peritonitis
c. Apa Pencegahan Peritonitis
d. Apa penatalaksaan Peritonitis
e. Apa pemeriksaan penunjang Peritonitis

D. Materi : Peritonitis
E. Metode : Ceramah dan Tanya Jawab
F. Media : Poster dan Leaflet
G. Waktu Pelaksanaan
1. Hari/Tanggal : Kamis, 10 Desember 2020
2. Pukul : 09.30 - Selesai
3. Alokasi Waktu : 30 menit

No Waktu Kegiatan penyuluhan Metode


Pembukaan:
 Membuka kegiatan dengan mengucap
1 2 menit salam Ceramah
 Memperkenalkan diri dan Tim
 Menjelaskan tujuan
2 15 menit Pelaksanaan: Ceramah
 Apa itu Peritonitis
 Apa Tanda dan Gejala Peritonitis
 Apa Pencegahan Peritonitis
 Apa penatalaksaan Peritonitis
 Apa pemeriksaan penunjang Peritonitis

Diskusi:
3 10 menit Tanya jawab
 Tanya jawab
Penutup:
4 3 menit  Mengucapkan terima kasih dan salam Ceramah
penutup

H. Tugas Pengorganisasian
1) Moderator : Halimatussyadiah
1. Membuka acara penyuluhan.
2. Memperkenalkan dosen pembimbing dan anggota kelompok.
3. Menjelaskan tujuan dan topik yang akan disampaikan.
4. Menjelaskan kontrak dan waktu presentasi.
5. Mengatur jalannya diskusi.
2) Penyaji : Halimatussyadiah
3) Leader : Halimatussyadiah
1. Mengevaluasi materi yang telah disampaikan.
2. Mengucapkan salam penutup.
4) Fasilitator : Halimatussyadiah
1. Memotivasi peserta untuk berperan aktif selama jalannya kegaiatan.
2. Memfasilitasi pelaksananan kegiatan dari awal sampai dengan akhir.

3. Membuat dan mengedarkan absen peserta penyuluhan.


4. Melakukan dokumentasi kegiatan penyuluhan dalam kegiatan pendidikan
kesehatan.
5. Membagikan konsumsi.
I. TEMPAT
1. Setting Tempat :

Keterangan :

: Moderator dan Leader


: Peserta

J. RENCANA EVALUASI
1. Evaluasi Struktur
a. Tempat dan Alat sesuai rencana.
b. Peran dan tugas sesuai rencana.
c. Setting tempat sesuai dengan rencana.
2. Evaluasi Proses
a. Selama kegiatan semua peserta dapat mengikuti seluruh kegiatan.
b. Selama kegiatan semua peserta aktif.
3. Evaluasi Hasil
1. Apa itu Peritonitis
2. Apa Tanda dan Gejala Peritonitis
3. Apa Pencegahan Peritonitis
4. Apa penatalaksaan Peritonitis
5. Apa pemeriksaan penunjang Peritonitis

LEAFLEAT ONIT
PRIT IS
yang menutupi dan 4. Sirosis — j arin
gan parut pada
menyangga organ di
hati karena
dalam kerusakan hati
dalam jangka
perut. panjang
5. Prosedur medis,
Apa penyebab
macam dialysis
peritonitis?
peritonea l — p 
Terdapat dua engobatan
kategori utama umum untuk
Oleh : pengidap gagal
penyebab peritonitis. ginjal
HALIMATUSSY
Kategori pertama 6. Cedera atau
ADIAH trauma
( 2017.C.09a.088 adalah peritonitis
9) bakteri spontan
(SBP) yang terkait
YAYASAN EKA dengan sobekan atau
HARAP PALANGKA
infeksi pada cairan
RAYA SEKOLAH
rongga peritoneal,
TINGGI ILMU
KESEHATAN
dan peritonitis
PROGRAM STUDI sekunder karena
SARJANA
infeksi yang telah
KEPERAWATAN
menyebar dari Tanda dan
TAHUN 2020 Gejala ?
saluran pencernaan.
1. Perut nyeri dan
Kondisi di bawah ini
sakit
Apa Defenisi dapat mengakibatkan
Peritonitis? 2. Perasaan
peritonitis:
Peritonitis kenyang
1. Tukak perut
adalah peradangan (distensi) di
terpisah
pada peritoneum dan 2. Pecahnya usus dalam perut

biasanya karena buntu


3. Demam,
3. Kelainan
infeksi bakteri atau menggigil
pencernaan,
jamur. Peritoneum misalnya
4. Diare Lebih sedikit
penyakit Crohn
adalah membran
atau buang air kecil
dalam seperti sutra diverticulitis
5. Rasa haus yang Apa saja perubahan
ekstrem gaya hidup atau
pengobatan rumahan
6. Ketidakmampuan
yang dapat dilakukan
atau kesulitan dalam
untuk mengatasi
buang air besar atau
peritonitis?
buang angina
1. Menjaga kebersihan
7. Kelelahan
tangan, termasuk di
bawah kuku jari dan di
antara jari-jari
2. Membersihkan kulit
di sekitar kateter
dengan antiseptik
setiap hari
3. Menyimpan
Apa yang persediaan di area
meningkatkan
risiko saya untuk yang bersih.
peritonitis?
4. Mengenakan
Ada banyak faktor
risiko peritonitis, masker selama
yakni: pertukaran cairan
1. Dialisis peritoneal dialisis
2. Kondisi medis
lainnya: sirosis, usus
buntu, penyakit Crohn,
tukak perut,
diverticulitis, dan
pankreatitis
3. Riwayat
peritonitis: dekali
Anda menderita
peritonitis, risiko
kekambuhan
penyakit akan
meningkat
ASUHAN KEPERAWATAN POST LAPARATOMI: PERITONITIS DALAM
PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DAN ISTIRAHAT

Rida Setyo Damayanti1, Mutiara Dewi Listiyanawati2


1
Mahasiswa Prodi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta ridsdmy@gmail.com
2
Dosen Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
mudeli43@gmail.com

ABSTRAK

Laparatomi merupakan tindakan pengobatan yang menggunakan cara invasif dengan


melakukan suatu insisi untuk membuka selaput dinding perut hingga mencapai isi
rongga yang bermasalah. Dampak dari tindakan pembedahan yang telah dilakukan
yaitu timbulnya luka dan menyebabkan menurunnya pergerakan pasien. Di samping
itu, kurangnya pemahaman pasien dan keluarga mengenai mobilisasi dini juga
menyebabkan pasien enggan untuk melakukan pergerakan post operasi. Untuk
melatih pergerakan pasien dapat dilakukan tindakan mobilisasi dini dengan ROM.
Tujuan studi kasus ini untuk menganalisis pemberian intervensi mobilisasi dini dan
ROM terhadap peningkatan derajat kekuatan otot pada pasien post op peritonitis.
Jenis studi kasus ini adalah deskriptif dengan metode pendekatan studi kasus. Subjek
dalam studi kasus ini adalah satu orang pasien dengan post op peritonitis dalam
pemenuhan kebutuhan aktivitas dan istirahat. Intervensi mobilisasi dini dan ROM
dilakukan selama tiga hari pada tanggal 28 Februari 2019 sampai 2 Maret 2019
secara berulang-ulang dan bertahap satu kali sehari. Hasil studi kasus menunjukkan
ada peningkatan kekuatan otot pada hari ke-nol yang sebelumnya terdapat kelemahan
pada ekstremitas kanan bawah, kiri atas, kiri bawah dengan skor ADL 7
(ktergantungan berat), kemudian pada hari ke dua skor ADL meningkat menjadi 9
(ketergantungan sedang) walaupun masih terdapat kelemahan pada ekstremitas kanan
bawah, kiri atas dan kiri bawah. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian intervensi
mobilisasi dini dan ROM pada pasien post op peritonitis dapat meningkatkan
kekuatan otot.
Kata Kunci: Kekuatan otot, mobilisasi dini, post op peritonitis, ROM
NURSING CARE IN POST-LAPAROTOMY PATIENTS: PERITONITIS IN
FULFILLMENT OF ACTIVITY AND REST NEEDS

Rida Setyo Damayanti1,Mutiara Dewi Listiyanawati2


1
Student of Diploma 3 Nursing Study Program STIKes Kusuma Husada
Surakarta
ridsdmy@gmail.com
2
Lecturer of Diploma 3 Nursing Study Program STIKes Kusuma Husada
Surakarta
mudeli43@gmail.com

ABSTRACT

Laparotomy is an invasive treatment procedure by performing an incision to


open the lining of the abdominal wall until it reaches the contents of the problematic
cavity. The impact of surgery that has been done is the emergence of wounds and
decreased patient movement. Besides, the lack of understanding of patients and
families about early mobilization also makes patients reluctant to do postoperative
movements. Early mobilization and ROM are required to practice the patient's
movement. The purpose of this case study was to analyze the provision of early
mobilization interventions and ROM to increase muscle strength in postoperative
peritonitis patients. This type of case study was descriptive with a case study
approach. The subject was one patient with postoperative peritonitis in fulfilling the
activity and rest needs. Early mobilization and ROM interventions were carried out
for three days from 28th February 2019 to 2nd March 2019 repeatedly and in stages
once a day. The results of the case study showed an increase in muscle strength on
the zero-day that there was a weakness in the lower right, upper left, lower left limb
with an ADL score of 7 (heavy dependence), then on the second day the ADL score
increased to 9 (moderate dependence) although there were still weaknesses in the
lower right, upper left and lower left extremities. This study suggests that providing
early mobilization interventions and ROM in postoperative peritonitis patients can
increase muscle strength.
Keywords: Muscle strength, early mobilization, post-operative peritonitis, ROM.
PENDAHULUAN
Laparatomi merupakan salah satu bergerak atau melakukan mobilisasi
prosedur pembedahan mayor, dengan dini sehingga pasien dengan post
melakukan penyayatan pada lapisan- peritonitis lebih cenderung berbaring di
lapisan dinding abdomen untuk tempat tidur. Di samping itu,
mendapatkan bagian organ abdomen kurangnya pemahaman pasien dan
yang mengalami masalah (perdarahan, keluarga mengenai mobilisasi dini juga
perforasi, kanker, dan obstruksi). menyebabkan pasien enggan untuk
Tindakan laparatomi dapat dilakukan melakukan pergerakan post operasi
dengan beberapa arah sayatan: (1) (Ditya, dkk. 2016)
median untuk operasi perut luas, (2) Banyak masalah yang akan timbul
paramedian (kanan) umpamanya untuk jika pasien post operasi tidak
massa appendiks, (3) pararektal, (4) melakukan mobilisasi sesegera
mcburney untuk appendektomi, (5) mungkin, seperti pasien tidak lekas
insisi pfannenstiel untuk operasi flatus, tidak dapat BAK (retensi urin),
kandung kemih atau uterus, (6) perut menjadi kaku (distended
transversal, (7) subkostal kanan abdomen), terjadi kekakuan otot dan
umpamanya untuk kolesistektomi sirkulasi darah tidak lancar (Smeltzer,
(Dictara, 2018). 2010). Banyak pasien yang tidak berani
Menurut survei WHO Jumlah menggerakkan tubuh pasca operasi.
pasien pasca operasi Laparatomi Mobilisasi dini sangat penting
dengan indikasi Peritonitis di dunia sebagai tindakan pengembalian secara
berkisar 5,9 jt/tahun. Sedangkan di berangsur-angsur ke tahap mobilisasi
Indonesia peritonitis merupakan salah sebelumnya. Dampak mobilisasi yang
satu penyebab kematian tersering pada tidak dilakukan bisa menyebabkan
penderita bedah dengan mortalitas gangguan fungsi tubuh, aliran darah
sebesar 10-40% (Fitria & Ambarwati, tersumbat dan peningkatan intensitas
2014). nyeri. Mobilisasi dini mempunyai
Menurut hasil analisa laporan peranan penting dalam mengurangi
kinerja RSUD Dr. Moewardi 2017, rasa nyeri dengan cara menghilangkan
diperoleh data mortalitas kasus konsentrasi pasien pada lokasi nyeri
peritonitis akut menduduki posisi ke 4 atau daerah operasi, mengurangi
dari sepuluh besar penyakit penyebab aktivasi mediator kimiawi pada proses
kematian, angka kejadian post peradangan yang meningkatkan respon
laparatomi dengan peritonitis nyeri serta meminimalkan transmisi
meruapakan salah satu dari 10 besar saraf nyeri menuju saraf pusat.
kasus terbanyak di RSUD Dr. Sedangkan manfaat dari latihan ROM
Moewardi Surakarta yang berada di adalah mempertahankan atau
Provinsi Jawa Tengah. memlihara fleksibilitas dan kekuatan
Tindakan pembedahan otot, memelihara mobilitas persendian
mengakibatkan timbulnya luka pada dan mencegah kelainan bentuk,
bagian tubuh pasien sehingga kekuatan otot dan kontraktur.
menimbulkan rasa nyeri. Nyeri dapat Oleh karena itu penulis tertarik
memperpanjang masa penyembuhan untuk mengajarkan tehnik mobilisasi
karena akan mengganggu kembalinya dini disertai ROM terhadap perubahan
aktivitas pasien dan menjadi salah satu tingkat nyeri pada pasien post
alasan pasien untuk tidak ingin
peritonitis di ruang ICU RSUD dr. perkusi timpani, palpasi terdapat nyeri
Moewardi Surakarta. tekan pada area jahitan.
Diagnosa yang ditegakkan
METODE STUDI KASUS berdasarkan dari data pengkajian diatas
Studi kasus ini adalah untuk adalah hambatan mobilitas fisik
mengeksplorasi masalah asuhan berhubungan dengan intoleran
keperawatan pada pasien post aktivitas.
peritonitis dalam pemenuhan Intervensi keperawatan pada studi
kebutuhan aktivitas dan istirahat. kasus ini yang berfokus pada diagnosa
Subjek yang digunakan adalah utama hambatan mobilitas fisik
satu orang pasien post op peritonitis berhubungan dengan intoleran aktivitas
dengan pemenuhan kebutuhan berdasarkan NIC yaitu pengaturan
aktivitas dan posisi (0840): kaji kemampuan pasien
istirahat di ruang ICU RSUD dr. dalam mobilisasi, dorong latihan rom
Moewardi Surakarta pada tanggal 28 aktif dan pasif, dorong pasien untuk
Februari 2019 sampai 2 Maret 2019. terlibat dalam pengaturan posisi. Hal
ini bertujuan setelah dilakukan
HASIL DAN PEMBAHASAN tindakan
Subjek studi kasus ini adalah 1 keperawatan selama 3 x 24 jam
pasien post peritonitis dengan masalah diharapkan hambatan mobiltas dapat
keperawatan hambatan mobilitas fisik. teratasi dengan kriteria hasil gerakan
Subjek bernama Tn. M, berjenis sendi pasien dari cukup terganggu (3)
kelamin laki-laki dengan usia 69 tahun, menjadi tidak terganggu (5), bergerak
beragama islam, suku jawa, pendidikan dengan mudah dari cukup terganggu
terakhir sekolah dasar, pekerjaan buruh (3) menjadi tidak terganggu (5),
lepas dan bertempat tinggal di Miri koordinasi tubuh dari cukup terganggu
Kabupaten Sragen. Pasien masuk di (3) menjadi tidak terganggu.
ICU pada tanggal 27 Februari 2019 Tindakan keperawatan yang dapat
dengan diagnosa medis post peritonitis dilakukan untuk meningkatkan
atas indikasi peritonitis disertai dengan kekuatan otot pada pasien yang
illeus obstruktif. memiliki kelemahan pada anggota
Hasil pengkajian pada hari ke-nol geraknya adalah mobilisasi dini disertai
post peritonitis didapatkan data dengan ROM. Menurut penelitian yang
subjektif pasien mengatakan belum dilakukan oleh Yudha & Gustop (2014)
dapat miring kanan dan kiri, pasien menunjukkan hasil p value = 0,001
mengatakan takut jahitannya robek artinya bahwa ROM memiliki
apabila bergerak, data objektif ADL pengaruh terhadap peningkatan
pasien di bantu orang lain , terdapat kekuatan otot pada pasien stroke.
kelemahan pada ektremitas kiri atas, Karena melatih pergerakan pasien
kanan bawah dan kiri bawah. Pada dapat memperlancar aliran darah, juga
pemeriksaan fisik abdomen terdapat dapat mengurangi rasa nyeri sehingga
luka post op peritonitis melintang pasien akan lebih mudah untuk
secara vertikal mid umbilikal yang melakukan mobilisasi secara mandiri
terbalut dengan kassa, tidak ada dan mencegah kontraktur otot untuk
rembesan dan terpasang drain produk mempercepat pemulihan pasien setelah
hemaserous 500cc, terdengar bising post operasi.
usus di kuadran kanan atas dan kiri Implementasi keperawatan
atas, dilakukan dari perencanaan yang
disusun sebelumnya. Implementasi (50%) pada bahu, siku 3 (50%),
yang dilakukan pada diagnosa pergelangan tangan 3 (50%) dan jari-
keperawatan yang kedua hambatan jari tangan 3 (50%). Pada hari ke-1
mobilitas fisik berhubungan dengan derajat kekuatan otot tangan kiri
intoleran aktivitas yaitu pada hari ke-0 terdapat peningkatan yaitu sebesar 3
mengkaji kemampuan pasien dalam (50%) pada bahu, siku 4 (75%),
mobilisasi, melatih miring kanan/kiri pergelangan tangan 4 (75%) dan jari-
dan ROM, mendorong pasien untuk jari tangan 3 (50%). Untuk evaluasi
terlibat pengaturan posisi, hari ke 1 hari ke-2 derajat kekuatan otot pada
mengkaji kemampuan pasien dalam tangan kiri juga terdapat peningkatan
mobilisasi, melatih pasien duduk dan yaitu sebesar 4 (75%) pada bahu, siku
ROM aktif pasif, mendorong pasien 4 (75%), pergelangan tangan 4 (75%)
untuk terlibat dalam pengaturan posis, dan jari-jari tangan 3 (50%).
hari ke 2 mengkaji kemampuan pasien Hasil evaluasi derajat kekuatan
dala mobilisasi, melatih pasien untuk otot kaki kanan pada hari ke-0 sebesar
berjalan dan ROM aktif pasif, 3 (50%) pada pinggul, lutut 3 (50%),
mendorong pasien untuk terlibat dalam pergelangan kaki 4 (75%) dan jari-jari
pengaturan posisi. kaki 3 (50%). Pada hari ke-1 derajat
Implementasi keperawatan yang kekuatan otot kaki kanan mengalami
telah dilakukan selama 3 hari peningkatan pada jari-jari kaki sebesar
didapatkan hasil bahwa sebelum dan 5 (100%). Pada hari ke-2 derajat
setelah dilakukan tindakan mobilisasi kekuatan otot kaki kanan sebesar 4
disertai ROM telah mengalami (75%) pada pinggul, lutut 3 (50%),
perubahan derajat kekuatan otot, pergelangan kaki 4 (50%) dan jari-jari
walaupun perubahan tidak terjadi kaki 5 (100%).
sangat signinifikan, namun perubahan Hasil evaluasi derajat kekuatan
terjadi secara bertahap otot kaki kiri pada hari ke-0 sebesar 3
Setelah dilakukan intervensi (50%) pada pinggul, lutut 4 (75%),
keperawatan dengan latihan mobilisasi pergelangan kaki 3 (50%) dan jari-jari
dini, didapatkan evaluasi hasil kaki 3 (50%). Hari ke-1 sebesar 3
pengukuran derajat kekuatan otot (50%) pada pinggul, lutut 4 (75%),
tangan kanan di hari ke-0 sebesar 4 pergelangan kaki 3 (50%) dan jari-jari
(75%) pada bahu, 4 (75%) pada siku, 5 kaki 3 (50%). Hari ke-2 menjadi
(100) dan 3 (50%) pada jari-jari sebesar 3 (50%) pada pinggul, lutut 4
tangan. Pada hari ke-1 derajat kekuatan (75%), pergelangan kaki 4 (75%) dan
otot tangan kanan sedikit ada jari-jari kaki 3 (50%).
peningkatan yaitu sebesar 5 (100%) Hasil dari akhir evaluasi yang
pada bahu, 4 (75%) pada siku, 5 dapat dicapai setelah dilakukan
(100%) pada pergelangan kaki dan 4 tindakan keperawatan selama 3x24
(75%) pada jari- jari kaki. Pada hari jam, masalah hambatan mobilitas fisik
ke-2 derajat kekuatan otot pada tangan teratasi sebagian. Hal ini dapat
kanan terdapat peningkatan yang dibuktikan dengan gerakan sendi dari
signifikan yaitu sebesar 5 (100%) pada cukup terganggu menjadi sedikit
bahu, siku terganggu, bergerak dengan mudah dari
5 (100%), pergelangan tangan 5 cukup terganggu menjadi sedikit
(100%), dan jari-jari tangan 4 (75%). terganggu, sedangkan koordinasi tubuh
Hasil evaluasi derajat kekuatan masih cukup terganggu. Sehingga
otot tangan kiri pada hari ke-0 sebesar
3
tindakan keperawatan dilanjutkan keperawatan pada pasien secara
dengan mengkaji kemampuan pasien profesional dan komprehensif.
dalam mobilisasi, mendorong latihan Bagi institusi pendidikan dapat
ROM aktif dan pasif, mendorong meningkatkan mutu pelayanan
pasien untuk terlibat dalam pengaturan pendidikan yang lebih berkualitas,
posisi. terampil, dan inovatif dalam
mempelajari tentang asuhan
KESIMPULAN DAN SARAN keperawatan serta mampu belajar
a. Kesimpulan memberikan asuhan keperawatan
Pengelolaan asuhan secara menyeluruh berdasarkan
keperawatan pasien post peritonitis kode etik keperawatan.
dalam pemenuhan kebutuhan
aktivitas dan istirahat dengan DAFTAR PUSTAKA
masalah keperawatan hambatan Bulechek, G.M. dkk. 2015. Nursing
mobilitas fisik berhubungan dengan Intervention Classification
intoleran aktivitas yang dilakukan th
tindakan mengajarkan teknik (NIC) (6 edition).
mobilisasi dini dan ROM secara (Nurjannah, I. & Tumanggor,
bertahap didapatkan hasil terjadi R.D., Terjemahan). Jakarta :
peningkatan derajat kekuatan otot Elsevier
walaupun tidak mencakup seluruh Dictara, dkk. 2018. Efektivitas
sendi. Rekomendasi tindakan Pemberian Nutrisi Adekuat
mobilisasi dini dengan ROM sangat dalam Penyembuhan Luka
efektif untuk dilakukan pada pasien Pasca Laparotomi. Jurnal
post peritonitis yang memiliki Universitas Lampung. Volume
hambatan dalam aktivitas dan 7. Nomor 2 diakses pada
latihan.
tanggal 11 Februari 2019
Ditya, Wira dkk. 2016. Hubungan
b. Saran
Bagi rumah sakit dapat Mobilisasi Dini dengan Proses
meningkatkan pelayanan kesehatan Penyembuhan Luka pada
dan mempertahankan hubungan Pasien Pasca Laparatomi di
kerja sama baik antara tim Bangsal Bedah Pria dan Wanita
kesehatan maupun pasien. Sehingga RSUP Dr.M. Djamil Padang.
dapat meningkatkan mutu Jurnal Kesehatan Andalas.
pelayanan, khususnya pada pasien Volume 5. Nomor 3 diakses
post op peritonitis dapat pada tanggal
dilakukan mobilisasi .untuk
23 Oktober 2018
mempertahankan kekuatan otot
Fajar & Gustop. 2014. Pengaruh Range
sehingga askep bisa optimal
Bagi perawat agar mampu Of Motion (ROM) Terhadap
mengatasi semua masalah pasien, Kekuatan Otot Pasien Pasca
khususnya pada pasien post op Perawatan Stroke. Jurnal
peritonitis dalam pemenuhan Keperawatan, Volume 10.
kebutuhan aktivitas dan istirahat Nomor 2. Diakses pada tanggal
dengan memberikan asuhan 12 Juli 2019
Fitria C.N & Ambarwati R.D. 2014.
Efektifitas Tehnik Relaksasi
Progresif Terhadap Intensitas Nyeri Pasca
Operasi Laparatomi. Jurnal Keperawatan.
Diakses pada tanggal 29 Oktober 2019
Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. 2017.
NANDA International nursing diagnoses
: definitions and classification 2018-2020
(11th edition). (Keliat, B.A. dkk,
Terjemahan). Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Kaur, H., Kaur, S., & Siska, P. 2015.
Effectiveness of early ambulation in post-
operative recovery among post-caesarean
mothers admitted in selected areas of
Nehru Hospital, PGIMER, Chandigard.
Nursing and Midwifery Research
Journal (11)
Kemenkes RI. 2013. Prevalensi Nasional Kasus
Pembedahan. Jakarta : Kementrian
Kesehatan RI.
Laporan Kinerja RSUD Dr. Moewardi Mei 2017.
Diakses dari http://data.jatengprov.go.id
pada tanggal 11 Februari 2019
Moorhead, S. et al. 2013. Nursing Outcomes
Classification (NOC) (5th edition).
(Nurjannah, I. & Tumanggor, R.D.,
Terjemahan). Jakarta : Elsevier
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan
keperawatan Klien Dengan Gangguan
Muskuloskeletal. Penerbit Buku
Kedokteran EGC: Jakarta
Aditya Y. Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan (2019);3(1):1-12

Yan Aditya : Perbandingan Nilai Prediktif Mannheim…

Medika Kartika : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan

ARTIKEL PENELITIAN

PERBANDINGAN NILAI PREDIKTIF MANNHEIM PERITONITIS INDEX (MPI)


DENGAN ACUTE PHYSIOLOGY AND CHRONIC HEATH EVALUATION
(APACHE) II DALAM MEMPREDIKSI MORTALITAS PERITONITIS SEKUNDER
AKIBAT PERFORASI ORGAN BERONGGA
(COMPARISON OF PREDICTIVE VALUE OF MANNHEIM PERITONITIS INDEX
(MPI) WITH ACUTE PHYSIOLOGY AND CHRONIC HEATH EVALUATION
(APACHE) II IN PREDICTING THE SECONDARY PERITONITICAL MORTALITY)

Yan Aditya1, Reno Rudiman2,Tommy


Ruchimat 2
1
Departemen Ilmu Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung,
2
Divisi Ilmu Bedah Digestif Departemen Ilmu Bedah RSUP Dr. Hasan Sadikin
Bandung
Email korespondensi :
dr.yanaditya@gmail.com

ABSTRAK
Peritonitis merupakan kasus kegawatdaruratan yang sering ditemui dengan angka mortalitas
tinggi. Sistem skoring diperlukan untuk menilai derajat kesakitan serta prediksi mortalitas
pada kasus peritonitis. Instrumen ini juga digunakan untuk menilai efektivitas berbagai
modalitas terapi yang diberikan dan perawatan yang dilakukan. Skor APACHE II merupakan
instrumen objektif yang didasari penilaian status fisiologis pasien. Skor Mannheim Peritonitis
Index (MPI) merupakan sistem skoring yang mudah dan sederhana didasari oleh faktor-faktor
risiko yang berkorelasi dengan mortalitas peritonitis. Penelitian ini bersifat studi analitik
dengan rancangan penelitian prospektif observasional dengan pendekatan kohort untuk
membandingkan skor MPI dengan skor APACHE II dalam memprediksi mortalitas
peritonitis sekunder akibat perforasi organ berongga. Sebanyak 87 pasien yang memenuhi
dari kriteria inklusi memiliki rerata usia 40,26+ 18,95 tahun. Angka kematian didapatkan
sebesar 13,79%, Nilai AUC (area under the curve) skor APACHE II yang diperoleh dari
kurva ROC adalah sebesar 92,9%, dengan nilai cut off 11,5, sensitivitas 91,7%, spesifitas
86.7%, nilai duga positif (NDP) 52,4% Nilai duga negatif (NDN) 98,5%, dan akurasi sebesar
87,4%. Skor MPI memiliki nilai AUC 93,7% dengan nilai cut off sebesar 30,5, sensitivitas
83,3%, spesifitas 85,3%, NDP 47,6%, NDN 96,9%, dan akurasi sebesar 85,1%. Hasil uji Chi
Square didapatkan perbedaan yang bermakna pada cut-off APACHE II dan MPI dalam
menilai mortalitas pada peritonitis sekunder akibat perforasi organ berongga dengan
P=0,0001. Skor APACHE II memiliki nilai prediktif lebih tinggi dibandingkan dengan skor
MPI dalam memprediksi mortalitas peritonitis sekunder akibat perforasi organ berongga.
Kata kunci: APACHE II, Mannheim Peritonitis Index(MPI), peritonitis.

ABSTRACT
Peritonitis is an emergency case with high mortality rates. Scoring systems are needed to
assess high risk patient and predict mortality in cases of peritonitis. This instrument is also
used to assess the effectiveness of various therapeutic modalities that are given and the
treatments performed. The APACHE II score is an objective instrument based on physiology
state to predict peritonitis mortality. The Mannheim Peritonitis Index (MPI) score is a scoring
system based to correlating factors predicting peritonitis mortality, and it is easy and simple.
This study was an analytical study with a prospective observational analytical with cohort
design to compare MPI scores with APACHE II scores in predicting mortality in secondary
peritonitis due to perforation of hollow viscous. 87 patients who met the inclusion criteria,
average age of 40.26+18.95, with mortality rate of 13.79%, the AUC (area under the curve)
APACHE II score obtained from the ROC curve is 92.9%, with a cut off value of 11.5,
sensitivity of 91.7%, specificity of 86.7%, positive predictive value (PPV) 52.4%, negative
predictive value (NPV) 98.5%, and accuracy to 87.4%. AUC of MPI score is 93.7%, cut off
value of 30.5, sensitivity 83.3%, specificity 85.3%, PPV 47.6%, NPV 96.9%, and accuracy
of
85.1%. Chi Square test found significant difference between cut off APACHE II and MPI to
Mortality P=0,0001. The APACHE II score had a higher predictive point then the MPI score
in predicting mortality of peritonitis secondary to perforation of hollow viscous.
Keywords: APACHE II, Mannheim Peritonitis Index(MPI),
peritonitis.

PENDAHULUAN pemahaman tentang patofisiologi yang


Peritonitis hingga saat ini masih baik, kemajuan dalam menegakkan
merupakan suatu keadaan yang potensial
menjadi fatal, bila tidak dilakukan terapi
secara agresif, meskipun telah terdapat

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 2


diagnostik, tehnik pembedahan, terapi
antimikroba, dan perawatan
intensif.1-5
Insidensi peritonitis di Amerika Serikat
mencapai 750.000 kasus setiap tahunnya
dengan angka mortalitas sebesar 3,6 %.
Di Indonesia pada tahun 2008 jumlah
pasien

MK | Vol. 3 | No. 1 | OKTOBER 2019 3


yang menderita penyakit peritonitis risiko dan prediksi prognosis penderita.
berjumlah sekitar 7% dari jumlah Menurut Kumar P dkk, skor APACHE II
penduduk di Indonesia atau sekitar memiliki sensitifitas 85%, dan spesifisitas
179.000 kasus pertahun.2,6 Tingginya 100%. Kendala yang dihadapi dalam
mortalitas kasus peritonitis ini mendorong menerapkan sistem skor APACHE II
penulis untuk mengetahui skor prognosis adalah banyaknya parameter laboratorium
peritonitis yang akurat dan sederhana. yang diperiksa, memerlukan waktu yang
Evaluasi prognostik dini terhadap lama dan relatif mahal.9,11 Pada tahun 1987
peritonitis dimaksudkan untuk mengenali Wacha dan Linder mempublikasikan
pasien dengan risiko mortalitas yang lebih sistem skor yang lebih sederhana yang
tinggi, serta sebagai panduan untuk dikenal sebagai Mannheim Peritonitis
mengambil keputusan kelanjutan terapi Index (MPI). Skor ini dibuat berdasarkan 8
pasien dan prosedur terapeutik yang lebih faktor risiko (usia, jenis kelamin,
7,8
agresif. kegagalan organ, keganasan, durasi
Sistem skoring yang paling banyak preoperatif, asal perforasi organ, luas
digunakan berbagai senter untuk menilai peritonitis dan karakter cairan peritoneum)
mortalitas pada peritonitis adalah skor yang relevan terhadap prognosis. Menurut
APACHE II yang diajukan oleh Knaus WA Kumar P dkk, sensitivitas MPI 100% dan
dkk pada tahun 1985 untuk menilai spesifisitas MPI 91%. Penentuan skor
keadaan penderita dalam kaitannya dengan berdasarkan faktor risiko klinis yang rutin
evaluasi perkembangan penderita pre dan ditemukan dalam rekam medis preoperatif
post operasi secara umum dan cara dan intraoperatif. MPI lebih sederhana
penanganan serta perawatan di ICU, dibandingkan APACHE II dalam prediksi
selanjutnya skoring ini digunakan untuk mortalitas pasien dengan peritonitis
menilai prognosis penderita dengan sekunder, sehingga klinisi dapat lebih
peritonitis generalisata dan telah dijadikan mudah dan lebih cepat memprediksi
baku emas untuk menilai hasil luaran mortalitas dan melakukan tindakan yang
peritonitis oleh Surgical Infection Society lebih agresif. Kelemahan skor ini adalah
(SIS).9,10 Skor ini diperoleh dengan beberapa paramater harus diambil secara
menggabungkan 12 variabel fisiologis akut intraoperatif.12,13,14 Skor MPI diharapkan
dengan usia dan status kesehatan kronik dapat menjadi alternatif dengan parameter
dalam 24 jam pertama, sehingga yang lebih sederhana, praktis, dan dapat
merupakan stratifikasi awal untuk faktor dilakukan di rumah sakit perifer dengan
tetap memiliki akurasi yang baik sebagai Darurat RSUP Hasan Sadikin dengan
prediktor mortalitas pasien. Tujuan diagnosis klinis peritonitis akibat perforasi
penelitian ini adalah untuk organ berongga yang dikonfirmasi dengan
membandingkan nilai prediktif skoring hasil temuan operasi. Semua pasien dengan
MPI dengan APACHE II dalam diagnosis peritonitis akibat perforasi organ
memprediksi mortalitas pasien dengan berongga dan memenuhi kriteria inklusi
diagnosis peritonitis akibat perforasi organ yang masuk ke IGD Bedah RSUP Hasan
berongga.11,15 Sadikin yang dikonfirmasi dengan temuan
intra-operatif dilakukan penghitungan skor
BAHAN DAN METODE APACHE II dan dilakukan penghitungan
Penelitian ini dilakukan di bagian skor MPI. Selanjutnya pada 30 hari
Subdivisi Bedah Digestif RSUP dr. Hasan paskaoperasi dilihat apakah pasien hidup
Sadikin Bandung pada bulan Februari 2017 atau meninggal. Setelah seluruh data yang
sampai jumlah sampel minimal terpenuhi. terkumpul kemudian dilakukan uji
Metode penelitian ini adalah studi analitik statistik. Penelitian ini dilaksanakan setelah
dengan rancangan penelitian prospektif mendapatkan persetujuan dan rekomendasi
observasional analitik dengan pendekatan dari Komite Etik Penelitian Kesehatan
kohort. Subjek penelitian ini adalah pasien Fakultas Kedokteran Universitas
yang masuk di Instalasi Gawat Darurat Padjadjaran RSUP Dr. Hasan Sadikin
RSUP Hasan Sadikin dengan diagnosis Bandung
klinis peritonitis akibat perforasi organ
berongga. Besar sampel ditentukan HASIL DAN PEMBAHASAN
berdasarkan taraf kepercayaan 95%, nilai Telah dilakukan penelitian dengan
referensi sensitivitas yang diharapkan subjek penelitian adalah pasien yang
sebesar 87% dan besarnya presisi 10%, dan datang ke Instalasi Gawat Darurat Bedah
didapatkan minimum jumlah sampel 87 RSHS pada bulan Februari sampai dengan
pasien. Pengambilan sampel dilakukan Juli 2018, dengan dengan diagnosis klinis
secara consecutive sampling, berdasarkan peritonitis akibat perforasi organ berongga
urutan pendaftaran ke Instalasi Gawat yang dikonfirmasi dengan hasil temuan
Darurat (IGD) Bedah RSUP Dr. Hasan operasi. Tabel 1 menjelaskan karakteristik
Sadikin Bandung. Kriteria inklusi adalah pasien yang menjadi subjek penelitian.
pasien dengan usia lebih atau sama dengan Pada Tabel 1, didapatkan rasio laki-laki :
19 tahun yang masuk di Instalasi Gawat perempuan 1,8 : 1. Ahuja dkk dalam
penelitiannya di India mendapatkan usia yang cukup tinggi pada kelompok usia
rerata pasien 38,68 dengan rasio laki-laki : tersebut. Batas ambang fisiologi pada usia
perempuan 1,6:1. Rerata usia subjek tua meningkat pada fungsi kardiovaskular,
penelitian ini adalah 40,26 tahun. Usia pernafasan dan ginjal.11 Peritonitis
merupakan faktor penting terhadap sekunder terjadi akibat kontaminasi rongga
prognosis pasien, pada usia tua toleransi peritoneum yang steril terhadap
tubuh terhadap kejadian peritonitis mikroorganisme yang berasal dari traktus
berkurang yang ditunjukkan dalam gastrointestinal atau traktus genitourinarius
penelitian ini terdapat angka mortalitas ke dalam rongga abdomen.

Tabel 1 Karakteristik Subjek Penelitian

Variabel Hasil n=87


Jenis Kelamin
Laki-laki 56(64,37%)
Perempuan 31(35,63%)

Usia (tahun)
Rerata±Std 40,26+ 18,95
Median 65,50
Range (min-max) 18-80

Etiologi
Perforasi Appendiks 48(55,2%)
Perforasi Ulkus Peptikum 16 (18,4%)
Trauma Tumpul Abdomen 8 (9,3%)
Perforasi Tumor 6 (6,9%)
Perforasi Thypoid 5 (5,8%)
Perforasi Divertikel 1 (1,1%)
Perforasi Volvulus 1 (1,1%)
Hernia Strangulata 1 (1,1%)
Perforasi Colitis 1 (1,1%)

Luaran
Hidup 75 (86, 21%)
Meninggal 12 (13,79%)

Pada penelitian ini etiologi peritonitis ini sesuai dengan literatur dimana pada
sekunder yang terjadi adalah akibat negara berkembang, etiologi peritonitis
kontaminasi dari traktus gastrointestinal, sekunder yang paling umum, antara lain
dan tidak didapatkan kasus dengan apendisitis perforasi, perforasi ulkus
kontaminasi dari traktus urogenital. Hal peptikum, dan perforasi tifoid.2,3,4,5 Hasil
perbandingan antara Skor APACHE II penelitian ini tampak pada Tabel 2.
dengan hasil luaran yang didapatkan pada

Tabel 2 Perbandingan antara Skor APACHE II dengan Hasil Luaran

Skor Luaran
APACHE II Hidup Meninggal Nilai P
N=75 N=12
Mean±Std 7,57±3,317 14,66±2,741 0,0001**
Median 7,00 15.00
Range (min-max) 3,00-16,00 7,00-17,00

Pada Tabel 2 didapatkan rerata skor didapatkan P = 0,0001 (nilai P<0.05) yang
APACHE II untuk luaran pasien hidup, berarti signifikan atau bermakna secara
sebesar 7,57 ± 3,317. Pada luaran pasien statistik dengan demikian dapat dijelaskan
meninggal, didapatkan rerata skor bahwa terdapat perbedaan proporsi yang
APACHE II adalah 14,66 ± 27,41. Rerata signifikan secara statistik antara variabel
ini lebih rendah dari penelitian Kumar dkk Skor MPI pada kelompok luaran yaitu
,yang mendapatkan rerata skor APACHE mortalitas. Grafik 1 menunjukkan cut-off
II pada pasien hidup adalah 8,66, dan untuk skor APACHE II. Berdasarkan
rerata pada kelompok yang meninggal perhitungan dari kurva ROC sesuai grafik
adalah 14,67. Rerata skor APACHE II 1 didapatkan cut-off untuk skor Skor
terhadap luaran mortalitas diuji dengan APACHE II adalah 11,5.
menggunakan uji Chi-Square dan

Grafik 1 Kurva ROC Skor APACHE II pada Mortalitas


Nilai AUC (area under the curve) skor bermakna secara statistik. Tabel 3
APACHE II yang diperoleh dari kurva menunjukkan perbandingan cut-off skor
ROC adalah sebesar 92.9% dengan APACHE II.
p=0,0001 yang berarti skor APACHE II

Tabel 3 Perbandingan Cut Off Skor APACHE II terhadap Hasil Luaran

Skor Apache II Kelompok


Meninggal Pasien Hidup Nilai P
N=12 N=75
> 11,5 11(91,7%) 10(13,3%) 0,0001
<11,5 1(8,3%) 65(86,7%)

Pada Tabel 3 hasil analisis data cut- yang sangat lemah secara statistik
off APACHE II terhadap hasil luaran sedangkan Nilai Duga Negatif (NDN)
dengan menggunakan uji Chi-Square sangat kuat yaitu sebesar 98.5% pada uji
didapatkan nilai P = 0,0001 (nilai P<0.05) diagnostik ini. Nilai akurasi sebesar 87.4%
yang berarti signifikan atau bermakna menunjukkan tingkat nilai akurasi yang
secara statistik dengan demikian dapat kuat secara statistik. Pada penelitian
dijelaskan bahwa terdapat perbedaan terdahulu Dino dkk menyebutkan
proporsi yang signifikan secara statistik sensitivitas APACHE II sebesar 82,5%
antara variabel Skor APACHE II pada Spesifitas sebesar 55,2% Nilai Duga
kelompok pasien Meninggal dan pasien Positif (NDP) sebesar 54,7% Nilai Duga
Hidup. Negatif (NDN) sebesar 82,8% Nilai
Pada penelitian ini untuk skor akurasi sebesar 66%, sementara Das dkk,
APACHE II didapatkan Nilai Sensitivitas menyebutkan Sensitivitas APACHE II
91,7 % dimana ini menunjukkan nilai sebesar 100% Nilai Spesifitas sebesar
Sensitivitas yang Sangat kuat secara 85%.8,11 Skor MPI rerata ditunjukkan pada
statistik, sedangkan Nilai Spesifitas sebesar tabel 4. Pada Tabel 4 Skor MPI memiliki
86,7% menunjukkan nilai Spesifitas yang rerata 21,70±6,055 untuk hasil luaran
kuat secara statistik. Untuk Nilai Duga hidup dan 35,25±5,941 untuk hasil luaran
Positif (NDP) di atas yaitu sebesar 52.4% meninggal.
menunjukkan nilai Duga Positif (NDP)
Tabel 4 Perbandingan antara Skor MPI dengan Hasil Luaran
Luaran
Skor MPI Hidup Meninggal Nilai P
N=75 N=12
Mean±Std 21,70±6.055 35,25±5,941 0,0001
Median 21,00 34,50
Range (min-max) 14,00-34,00 26,00-43,00

Uji Mann Whitney pada kelompok Pasien meninggal dan pasien hidup.
penelitian di atas diperoleh informasi nilai Kemampuan diskriminasi dari sistem skor
P = 0,0001 (nilai P<0,05) yang berarti MPI dalam memprediksi mortalitas
terdapat perbedaan rerata yang signifikan ditampilkan dalam Grafik 2.
antara variabel Skor MPI pada kelompok

Grafik 2 Kurva ROC Skor MPI pada Mortalitas

Berdasarkan hasil Analisis Kurva 30,5. Tabel 5 memperlihatkan cut off untuk
ROC pada Grafik 2, kemampuan skor Skor MPI adalah 30,5 . Hasil analisis
diskriminasi dari sistem skor MPI dalam data cut off MPI terhadap hasil luaran
memprediksi mortalitas adalah sebesar dengan menggunakan uji Chi-Square
93,7 % dengan p= 0,0001. Dari hasil didapatkan nilai P=0,0001 yang berarti
analisis kurva ROC skor MPI terhadap signifikan atau bermakna secara statistik.
mortalitas diperoleh nilai cut-off sebesar
Tabel 5. Perbandingan cut off Skor MPI terhadap hasil luaran
Kelompok
Skor MPI Meninggal Pasien Hidup Nilai P
N=12 N=75
> 30,5 10(83,3%) 11(14,7%) 0,0001
< 30,5 2(16,7%) 64(85,3%)

Skor MPI didapatkan Nilai sebesar 90,62% Nilai Spesifitas sebesar


Sensitivitas 83,3%, dan ini menunjukkan 91,7% Nilai Duga Positif (NDP) sebesar
nilai sensitivitas yang sangat kuat secara 67,44% Nilai Duga Negatif (NDN) sebesar
statistik, sedangkan nilai spesifitas sebesar 98,12 %.
85,3 % menunjukkan nilai spesifitas yang Analisis pada data kategorik pada
kuat secara statistik. Untuk Nilai Duga Tabel 6 diuji dengan menggunakan uji
Positif (NDP) di atas yaitu sebesar 47,6% statistika Chi-Square. Hasil uji statistik
menunjukkan Nilai Duga Positif (NDP) pada kelompok penelitian diatas diperoleh
yang sangat lemah secara statistik informasi nilai P=0,0001 pada variabel
sedangkan Nilai Duga Negatif (NDN) Skor MPI lebih kecil dari yang berarti
sangat kuat yaitu sebesar 96,9% pada uji signifikan atau bermakna secara statistik
diagnostik ini. Nilai akurasi sebesar 85,1% dengan demikian dapat dijelaskan bahwa
menunjukkan tingkat nilai akurasi yang terdapat perbedaan proporsi yang
kuat secara statistik. Pada penelitian Dani signifikan secara statistik antara variabel
dkk dkk didapatkan Nilai Sensitivitas MPI Skor MPI pada Skor Apache II.

Tabel 6 Perbandingan Skor MPI dan Skor APACHE II


APACHE II
Variabel >11.5 <11.5 Nilai P
N=21 N=66
MPI 0,0001
> 30,5 17(81,0%) 4(6,1%)
<30,5 4(19,0%) 62(93,9%)

Dalam penelitian ini meskipun berongga, namun kedua skor menunjukkan


tingkat akurasi APACHE II (87,4%) lebih nilai akurasi yang kuat secara statistik.
tinggi dari MPI (85,1%) dalam Peningkatan skor pada pada kedua sistem
memprediksi mortalitas pada pasien skoring ini akan meningkatkan peluang
peritonitis difus akibat perforasi organ mortalitas yang juga meningkat. Skor
APACHE II berkorelasi lebih superior kejadian infeksi nosokomial (seperti HAP
dalam memprediksi mortalitas terlihat dari atau Hospital Acquired Pneumonia ) juga
nilai sensitifitas, spesifisitas, nilai duga turut menyumbang kontribusi yang cukup
positif, nilai duga negatif dan akurasi yang tinggi. Pada penelitian ini didapatkan 12
lebih tinggi hal ini karena Skor APACHE pasien (13,79%) meninggal dunia, yang
II mempertimbangkan status fisiologis mana penyebab mortalitasnya tidak dapat
pasien sebagai variabelnya. Keunggulan diketahui karena tidak dilakukan observasi
lain dari skor APACHE II adalah penilaian selama perawatan.14
dapat dilakukan sebelum dilakukan
operasi, namun skor APACHE II tidak KESIMPULAN
mempertimbangkan etiologi peritonitis Pada penelitian ini untuk
atau sifat kontaminasi peritoneal, yang didapatkan skor APACHE II berbeda
memiliki pengaruh penting pada hasil secara bermakna dengan skor MPI. Skor
luaran. Variabel yang dinilai pada skoring APACHE II lebih superior dari skor MPI,
APACHE II juga tidak sesederhana pada dalam menilai mortalitas pada kasus
sistem skoring MPI, skoring APACHE II peritonitis, namun demikian, kedua skor
ini lebih rumit dalam pengerjaannya dan memiliki akurasi yang baik dalam menilai
membutuhkan pemeriksaan laboratorium mortalitas pada peritonitis sekunder akibat
yang tidak sederhana. Skor MPI, meskipun perforasi organ berongga.
mudah diterapkan dan tetap akurat dalam
memprediksi mortalitas, namun tidak
menilai status fisiologis pasien, dan DAFTAR PUSTAKA
memerlukan temuan intraoperasi sebagai
variabel penilaiannya, sehingga tidak dapat 1. Chakma SM, Singh RL, Parmekar
MV, Singh KGH, Kapa B,
digunakan sebagai skoring preoperatif.11,13
Sharatchandra KH, et al. Spectrum
Keterbatasan dari penelitian ini
of Perforation Peritonitis. Journal
adalah tidak dapat dianalisisnya penyebab
of Clinical and Diagnostic
mortalitas pada pasien peritonitis sekunder
Research, 2013; 7(11):2
akibat perforasi organ berongga. Penyebab
2. Bali RS, Verma S, Agarwal PN,
mortalitas yang paling sering terjadi pada
Singh R, Talwal N. Perforation
pasien dengan sepsis berat adalah
Peritonitis and The Developing
kegagalan multiorgan, terutama
World. ISRN Su KMr, Kaoro M,
respiratory failure. Penyebab lain seperti
MoussaEtiological, Clinical, and
Therapeutic Aspects of Acute Systems in Patients Underwent
Generalized Peritonitis. N'Djamena, Planned Laparotomies due to
Chad. Medecine et Sante Secondary Peritonitis. Annali
Tropicales. 2017; 27(3):270-3. Italiani di Chirurgia;2014.
3. Choua O, Ali MM, Kaboro M, 85(1):16-21.
Moussa KM, Anour M. Etiological, 9. Knaus WA DE, Wagner DP,
Clinical, and Therapeutic Aspects Zimmerman JE. APACHE II:
of Acute Generalized Peritonitis. aASeverity of Disease
N'Djamena, Chad. Medecine et Classification System. Critical Care
Sante Tropicales. 2017; 27(3):270- Medicine;1985. 8(12):11.
3. 10. Viehl CT, Kraus R, Zucher M,
4. Borley, NR.Abdomen and Pelvis Ernst T, Oertii D, Kettelhack C.
in:Stranding S, Ed.Gray’s The Acute Physiology and Chronic
Anatomy. 40. London: Churchill Health Evaluation II score is
Livingstone El Seviere, 2008.62-67 helpful in predicting the need of
.5. Fauci AS, Jameson JL, Kasper DL, relaparotomies in patients with
Hauser SL, Longo DL, Loszalzo J. secondary peritonitis of colorectal
Appendicities and Peritonitis origin. Swiss Medical
in:Silen W, Ed.Harrison’s Weekly;2012. 142:13640.
Principles of Internal Medicine. 18. 11. Kumar P, Singh K, Kumar A.
New York: The McGraw Hill comparative study between
Companies,2012.300 Mannheim peritonitis index and
6. Depkes RI. Profil Kesehatan APACHE II in Predicting The
Indonesia. Jakarta: Kementrian Outcome in Patients ofPeritonitis
Kesehatan Republik due to Hollow Viscous Perforation.
Indonesia.2009. International Surgery
7. Ahuja A, Pal R. Prognostic Scoring Journal;2017.4(3):6.
Indicator in Evaluation Of Clinical 12. Malik AA, Wani KA, Dar LA,
Outcome in Intestinal Perforation. Wani MA, Wani RA, Parray FQ.
Journal of Clinical and Diagnostic Mannheim Peritonitis Index and
Research. 2013.;7(9):2. APACHE II - Prediction
8. Das K, Comparison of APACHE II, ofOutcome in Patients With
P-POSSUM and SAPS II Scoring Peritonitis. Turkish Journal of
Versi online:
Volume 1, Nomor 2 http://ejou rna l.umm.ac.id/index.php/k epera wa ta n/a
rticle/view/40 3

FAKTOR-FAKTOR YANG BERKONTRIBUSI TERJADINYA PERITONITIS


PADA PASIEN CONTINUOUS AMBULATORY PERITONEAL DIALYSIS
(CAPD) DI RUMAH SAKIT UMUM DR SAIFUL ANWAR MALANG

Contributing Factors For Peritonitis Incidence On Continuous Ambulatory


Peritoneal
Dialysis (CAPD) Patients In Dr Saiful Anwar Malang
Hospital

Supono

Program Studi Keperawatan Lawang Poltekkes Kemenkes Malang


Jl. A. Yani No 1 Lawang 65218
e-mail: onop_kmb@yahoo.com

ABSTRA
K

Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) adalah dialisis yang dilakukan melalui rongga
peritonium (rongga perut) dengan selaput atau membran perutonium berfungsi sebagai filter. Tindakan
CAPD dilakukan dengan insisi kecil pada dinding abdomen untuk pemasangan kateter, risiko
komplikasi yang sering terjadi adalah infeksi pada peritonium (peritonitis). Tujuan penelitian untuk
mengetahui hubungan faktor-faktor yang berkontribusi terjadinya peritonitis pada pasien CAPD di
Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang Jawa Timur. Jenis penelitian deskkriptif korelasi dengan
rancangan cross sectional study. Jumlah sampel penelitian 22 pasien peritonitis CAPD dan 13 perawat
dialisis, dengan tehnik pengambilan sample menggunakan total sampling. Hasil penelitian menunjukan
ada hubungan yang signifikan antara status nutrisi (p = 0,032), kemampuan perawatan (p = 0,024)
dengan kejadian peritonitis pada pasien CAPD. Tidak ada hubungan yang signifikan antara umur (p =
0,702), jenis kelamin (p = 0,669), tingkat pendidikan (p
= 0,771), penghasilan (p = 1,000), personal hygine (p = 0,387), support system (p = 1,000), fasilitas
perawatan (p = 0,088), standar struktur (p = 0,203), standar proses (p = 0,559) dengan kejadian peritonitis
pada pasien CAPD. Rekomendasi untuk perawat meningkatkan kunjungan rumah untuk memberikan
pendidikan kesehatan tentang perawatan dialisis dan pengeloaan nutrisi seimbang. Saran untuk pasien
diharapkan mengikuti prosedur standar perawatan yang telah diajarkan.

Kata kunci: peritonitis, CAPD, perawat, pasien


CAPD

ABSTRAC
T

Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) is a dialysis conducted through peritonium


with perutonium membrane functions as a filter. CAPD procedure is conducted by making small
incision on abdomen wall to insert catheter. Complication risk which often happens is the infection on
peritoneum (peritonitis). The purpose of this research was to find out the relationship between
contributing factors for peritonitis incidence on CAPD patients in Dr Saiful Anwar hospital in Malang,
East Java. The type of this research was correlation descriptive cross sectional study design. The
number of the sample were 22 peritonitis CAPD patients and 13 dialysis patients, using total sampling
technique. The result showed that there was significant relationship between nutrition status (p =
0,032), treatment capability (p =
0,024) with peritonitis incidence on CAPD patients. There was no significant relationship between age
(p = 0,702), sex or gender (p = 0,669), level of education (p = 0,771), income (p = 1,000), personal
hygiene (p = 0,387), support system (p = 1,000), treatment facilities (p = 0,088), structure standard (p
=
0,203), process standard (p = 0,559) with peritonitis incidence on CAPD patients. It is recommended to
nurses to increase home visit to give health education about dialysis treatment and balanced nutrition
Fa ktor-Fa ktor Ya ng Berk ontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pa sien Co ntinuo us Amb ula tory Pe ritone al Dia 180
lys is
(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang
Versi online:
Volume 1, Nomor 2 http://ejou rna l.umm.ac.id/index.php/k epera wa ta n/a
management. It is also suggested to the patients to follow procedure for standard treatment which had 3
rticle/view/40
been taught to them.

Keywords: peritonitis, CAPD, nurse, CAPD patient

LATAR BELAKANG Ter a p i co n t i n u o u s e


a mb u l a t o r y peretoneal dialysis
(CAPD) adalah dialisis

Fa ktor-Fa ktor Ya ng Berk ontribusi Terjadinya Peritonitis pada Pa sien Co ntinuo us Amb ula tory Pe ritone al Dia 181
lys is
(CAPD) di Rumah Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang
yang dilakukan melalui rongga peritonitis.
peritoneum (rongga perut) yang Peritonitis adalah inflamasi
berfungsi sebagai filter adalah selaput peritoneum lapisan membran serosa
atau membran peritoneum (selaput rongga abdomen dan meliputi visera
rongga perut), sehingga CAPD sering (Smeltzer & Bare, 2008), peritonitis ini
disebut “cuci darah” melalui perut terjadi juga dihubungkan dengan proses
(Anonim, 2007). Thomas (2003, dalam bedah abdominal dan dialisis peritoneal
Yetti, (Sudoyo, 2006). Peritonitis disebabkan
2007) mengemukakan bahwa CAPD oleh kebocoran isi dari organ abdomen
sebagai salah satu alternatif terapi ke dalam rongga abdomen akibat dari
pengganti pada penyakit ginjal tahap infeksi, iskemik, trauma atau perforasi.
akhir (PGTA) telah diinstruksikan sejak Peritonitis pada CAPD
tahun 1974 oleh Popovich dan
Moncrief.
Terapi CAPD semakin meluas
termasuk di Indonesia. Rumah Sakit
PGI Cikini Jakarta sejak awal tahun
1980 telah dilakukan terapi CAPD
secara insidentil (Tambunan, 2008) dan
pada tahun 2004 tercatat 618 pasien
menda p a t ka n p ela ya na n t er a p
i C AP D (S it u mor a ng , 2 0 0 8 ) .
S a mp a i s a a t ini permasalahan
komplikasi pada terapi CAPD ma sih
ditemukan diant ar anya mekanik,
medi ka l da n infeks i (DeVor e, 2
0 0 8 ). Komplika si infeks i yang s er
ing a da la h peritonitis mencapai 60-
80% (Smeltzer & Bare, 2008), tunnel
infections, exit site (MacDougall,
2007). Studi pendahuluan yang
dulakukan peneliti di Rumah Sakit
Umum Dr Saiful Anwar Malang Jawa
Timur, data pelayanan terapi CAPD
dilakukan sejak tahun 2003 hingga
bulan September 2008 jumlah pasien
173 orang, dari jumlah tersebut
82 pasien telah meninggal dunia, 10
pasien pindah terapi HD dan 2 pasien
melakukan transplantasi ginjal, hingga
6 bulan terakhir ini yang mendapatkan
pelayanan CAPD sebanyak 81 pasien.
Dari 81 pasien CAPD di rumah sakit
tersebut sebanyak 22 pasien CAPD
diketahui pernah menderita komplikasi
lebih sering berasal dari kontaminasi enga n ka r a kt er is t ik responden
mikro organisme pada kulit saat meliputi: pasien dengan terapi CAPD,
penggantian cairan dialisat, kontaminasi pernah at au s edang menga la mi
saat penggantian kateter, kolonisasi peritonitis, kesadaran pasien
bakteri pada exit site dan tunnel i n f composmentis, pasien yang telah
ect i o n s . P r ol ifer a s i b a kt er i menjalani rawat jalan, dan bersedia
a ka n mengakibatkan terjadinya edema menjadi responden. Karakteristik
jaringan perit oneal, dalam waktu perawat meliputi: perawat, perawat
singkat terjadi eks uda s i cair a n. Ca tetap yang bekerja di ruang dialisis,
ir a n da la m r ongga p er i t onea l tidak berstatus
menja di ker u h denga n
meningkatnya jumlah protein, sel darah
putih, debris seluler dan darah. Reaksi
dari kondisi tersebut meningkatkan
motilitas usus yang diikut i illeus p ar
alit ik s ehingga terjadi akumulasi
udara dan cairan dalam usus.
Penanganan tindakan dialisis
merupakan s u a t u p r os es ya ng
dig u na ka n u nt u k mengeluarkan
cairan dan produk limbah dari dalam
tubuh ketika ginjal tidak mampu
melaksanakan proses tersebut (Smeltzer
& Bare, 2008). Pada saat dialisis
molekul solut berdifusi lewat membran
semipermeabel dengan cara mengalir
dari sisi cairan yang lebih pekat
(konsentrasi solut lebih tinggi) ke cairan
yang lebih encer (konsentrasi solut lebih
rendah) (Gutch, Stoner & Corea, 1999).
Ada tiga cara terapi pengganti ginjal
atau renal replacement therapy (RRT)
salah satu diantaranya adalah CAPD
(Sidabutar, 2006).

METODE

Jenis penelitian yang digunakan


adalah deskriptif dengan rancangan
cross sectional. Penentuan jumlah
besaran sample dalam penelitian ini
dengan menggunakan tehnik total
sampling, yaitu keseluruhan sampel
yang tela h t er ident ifika si seb a nya
k 2 2 responden pasien CAPD dengan
komplikasi peritonitis dan 13 perawat
yang bekerja dir u a ng dia lis is . D
magang, tidak sedang dalam status cuti univariat dari karakteristik demografi
kerja, dan bersedia menjadi responden. (umur, jeni s kela min, t i ngka t
Penelitian dilakukan pada tanggal p endidi ka n, penghasilan), status
30 nutrisi, personal hygiene, kemampuan
Oktober 2008 sampai dengan 24 dalam melakukan perawatan dan
Nopember tindakan dialisis di rumah, sistem
2008 di unit rawat jalan ruang CAPD pendukung da ri p iha k kelu a r ga (
Rumah
h el p er ), fa silit a s perawatan
Sakit Umum Dr Saiful Anwar Malang.
CAPD di rumah dan standar pelayanan
Instrumen pengumpulan data
keperawatan (standar struktur, standar
dalam penelitian ini menggunakan
kuesioner yang terdiri atas proses). Analisis bivariat dengan uji
karakteristik demografi (umur, jeni s statistik chi square dan T independen
kela min, t i ngka t p endidi ka n, untuk mengetahui hubungan faktor-
penghasilan), status nutrisi, personal faktor dengan kejadian peritonitis pada
hygiene, kemampuan dalam melakukan pasien CAPD.
perawatan dan tindakan dialisis
dirumah, sistem pendukung da r i p iha HASIL DAN
k kelu a rga (h elp er ), fa silit a s
perawatan CAPD di rumah dan PEMBAHASAN Hasil
standar pelayanan keperawatan
(standar struktur, standar proses). Uji Faktor
analisa statistik yang digu na ka n dala Risiko
m p enelit ian ini a dala h

Tabel 1. Distribusi status nutrisi, personal hygiene, kemampuan pasien, sistem


pendukung dan fasilitas perawatan (N=22)
No Variabel Frekuensi (f) Prosentase (%)
Status nutrisi:
1 < IMT 10 45,5
2 ≥ IMT 12 54,5
Jumlah 22 100
Personal hygiene:
1 Kurang baik 13 59,1
2 Baik 9 40,9
Jumlah 22 100
Kemampuan pasien:
1 Kurang baik 14 63,6
2 Baik 8 36,4
Jumlah 22 100
Sistem pendukung:
1 Kurang baik 11 50
2 Baik 11 50
Jumlah 22 100
Fasilitas perawatan:
1 Kurang baik 11 50
2 Baik 11 50
Jumlah 22 100

Da ri t ab el 1 dida pa tkan dist bawah IMT seba nya k 1 0 (45 ,5%)


ribu si berdasarkan status nutrisi di dan di a tas IMT sebanyak 12 orang
(54,5%). Berdasarkan personal s eb a nya k 1 4 or a ng (6 3 , 3 % )
hygiene didapatkan kurang baik s eb a da n b a ik sebanyak 8 orang (36,4%).
nya k 1 3 or a ng (5 9 , 1 % ) da n b Berdasarkan sistem pendukung
a ik sebanyak 9 orang (40,9%). didapatkan kurang baik dan baik
Berdasarkan kemampuan pasien masing-masing sebanyak 11 orang
didapatkan kurang baik (50%). Berdasarkan fasilitas
perawatan didapatkan kurang baik dan
baik masing- masing sebanyak 11 orang
(50%).
Tabel 2. Distribusi standar struktur dan proses (N = 13)
No Variabel Frekuensi (f) Prosentase (%)
Standar struktur:
1 Kurang baik 6 46,2
2 Baik 7 53,8
Jumlah 13 100
Standar proses:
1 Kurang baik 2 15,4
2 Baik 11 84,6
Jumlah 13 100

Dari tabel 2 didapatkan distribusi kurang baik sebanyak 2 responden


analisis standar kualitas pelayanan (15,4%) da n ya ng b aik seb a nya k
keperawatan beradasarkan standar 11 r es p onden (84,6%).
struktur yang kurang baik sebanyak 6
responden (46,2%) dan yang b a ik s eb H ubung an Fa kto r Ri s iko De
a n ya k 7 r es p onden (5 3 , 8 %). ng an
Sedangkan berdasarkan standar proses Kejadian Peritonitis Pada
yang CAPD
Tabel 3. Hubungan umur dengan kejadian peritonitis pada CAPD (N=22)
Variabel Mean Standard Deviation p value N
Umur 44,32 12,392 0,702 22

Dari tabel 3 didapatkan hasil


analisis antara umur dengan kejadian
peritonitis pada p a s i en C AP D b a H ubung an J enis K ela min, T
hwa r a t a -r a t a u mu r r es p o ing kat Pendidikan, Penghasilan,
nden ya n g menga l a mi keja dia n Status Nutrisi, Personal Hygiene,
peritonitis adalah umur 44,32 tahun Kemampuan Pasien, Sistem
(standard deviation = 12,392). Hasil uji Pendukung, Fasilitas Perawatan
analisa statistik didapatkan nilai p = Dengan Kejadian
0,702 yang kesimpulannya adalah tidak
ada hubungan yang signifikan antara
umur dengan kejadian peritonitis pada
pasien CAPD.
Tabel 4. Hubungan jenis kelamin, tingkat pendidikan, penghasilan, status nutrisi,
personal hygiene, kemampuan pasien, sistem pendukung, fasilitas perawatan
dengan kejadian peritonitis pada CAPD (N=22)
No Variabel Kejadian peritonitis OR p-value
Tinggi Rendah 95% CI
n % n %
Jenis kelamin: 0,669
1 Laki-laki 5 41,7 7 58,3 0,476
2 Perempuan 6 60 4 60 0,086–2,628
Tingkat pendidikan: 0,771
1 SD 4 66,7 2 33,3 4
2 SLTP 1 33,3 2 66,7 1,5
3 SLTA 4 57,7 3 42,9 4
4 D III 0 0 2 100 4
5 S1 2 50 2 50 0,264-2,628
Penghasilan: 1,000
1 < UMR 6 46,2 74 53,8 0,686
2 ≥ UMR 5 55,6 44,4 0,124-3,784
Status nutrisi: 0,032
1 < IMT 8 80 2 20 12
2 ≥ IMT 3 25 9 75 1,581-91,084

Personal hygiene: 0,387


1 Kurang baik 8 61,5 5 38,5 3,200
2 Baik 3 33,3 6 66,7 0,540-18,980
Kemampuan pasien: 0,024
1 Kurang baik 10 71,4 4 28,6 17,500
2 Baik 1 12,5 7 87,5 1,596-191,892
Sistem pendukung: 1,000
1 Kurang baik 5 54,5 6 45,5 0,694
2 Baik 6 45,5 5 54,5 0,130-3,732
Fasilitas perawatan: 0,088
1 Kurang baik 8 72,7 3 27,3 7,111
2 Baik 3 27,3 8 72,7 1,089- 46,441

Da ri tab el 4 didap atkan hub tinggi dan r enda h ma sing-ma sing s


ungan tingkat kejadian peritonitis eb anya k 2 responden (50%).
dengan jenis kela min s eb a gia n b Hubungan tingkat kejadian
es a r t er ja di p a da perempuan peritonitis dengan penghasilan di bawah
dengan angka kejadian tinggi sebanyak UMR pada angka kejadian tinggi
6 responden (60%) dan angka kejadian sebanyak 6 responden (46,2%) dan
rendah sebanyak 4 responden (60%). angka kejadian rendah sebanyak
Sedangkan jenis kelamin laki-laki 7 responden (53,8%), penghasilan di
dengan angka kejadian tinggi sebanyak atas
5 responden (41,7%) dan angka kejadian
rendah sebanyak
7 responden (58,3%).
Hubungan tingkat kejadian
peritonitis dengan tingkat pendidikan
SD pada angka kejadian tinggi
sebanyak 4 responden (66,7%) da n a
ngka keja dia n rendah sebanyak 2
responden (33,3%), tingkat pendidikan
SLTP dengan angka kejadian tinggi
sebanyak 1 responden (3 3,3 %) dan
angka kejadian rendah sebanyak 2
responden (6 6,7%), tingkat
pendidikan SLTA dengan a ngka
kejadian tinggi sebanyak 4 responden
(57,7%) da n a ngka keja dia n rendah
sebanyak 3 responden (42,9%), tingkat
pendidikan D3 dengan angka kejadian
tinggi sebanyak 0 r es p onden d a n a
ngk a keja dia n r enda h s eb anya k
2 r es ponden (10 0 %), tingka t
pendidikan S1 dengan angka kejadian
UMR dengan angka kejadian tinggi
sebanyak
5 responden (55,6%), dan angka
kejadian rendah sebanyak 4 responden
(44,4%).
Hubungan tingkat kejadian
peritonitis dengan status nutrisi di
bawah IMT pada angka kejadian tinggi
sebanyak 8 responden (80%) dan angka
kejadian rendah sebanyak
2 responden (20%), status nutrisi di
bawah IMT pada angka kejadian tinggi
sebanyak 3 responden (25%) dan angka
kejadian rendah sebanyak 9 responden
(75%).
Hubungan tingkat kejadian
peritonitis dengan personal hygiene
yang kurang baik pada angka
kejadian tinggi sebanya k 8
responden (6 1,5 %) dan angka
kejadian rendah sebanyak 5
responden (3 8,5%), personal
hygiene yang baik pada angka
kejadian tinggi sebanyak 3 responden
(33,3%) da n a ngka keja dia n
rendah sebanyak 6 responden
(66,7%).
Hubungan tingkat kejadian
peritonitis dengan kemampuan pasien
yang kurang baik pada angka kejadian
tinggi sebanyak 10 responden (7 1,4
%) dan angka kejadian rendah
sebanyak 4 responden (2 8,6%),
kemampuan pasien yang baik pada
angka kejadian tinggi sebanyak 1
responden (12,5%) da n a ngka keja
dia n rendah sebanyak 7 responden
(87,5%).
Hubungan tingkat kejadian
peritonitis dengan sistem pendukung
yang kurang baik pada angka
kejadian tinggi sebanya k 5
responden (5 4,5 %) dan angka
kejadian
rendah sebanyak 6 responden (4 fasilitas perawatan yang baik pada
5,5%), sistem pendukung yang baik angka kejadian tinggi sebanyak 3
pada angka kejadian tinggi sebanyak 6 responden (27,3%) da n a ngka keja
responden (45,5%) da n a ngka keja dia n rendah sebanyak 8 responden
dia n rendah sebanyak 5 responden (72,7%).
(54,5%).
Hubungan tingkat kejadian H ubung an Standar Pela y
peritonitis dengan fasilitas perawatan anan K epe rawata n Deng a n
yang kurang baik pada angka kejadian K eja dian Peritonitis Pada CAPD
tinggi sebanya k 8 responden (7 2,7
%) dan angka kejadian
rendah sebanyak 3 responden (2
7,3%),
Tabel 5. Hubungan standar pelayanan keperawatan dengan kejadian peritonitis pada
CAPD (N=13)
No Variabel Kejadian Peritonitis OR p value
Tinggi Rendah 95% CI
n % n %
Standar struktur:
Kurang baik 0,203
1 Baik 2 50 2 50 8,00
2 1 11,1 8 88,9 0,495-36,442
Standar proses:
Kurang baik 0,559
1 Baik 2 33,3 4 66,7 3,00
2 1 14,3 6 85,7 0,119-45,244

Pembahasan kelamin denga n kejadia n per


itonitis pada pasien C APD
Pada tabel 3 terdapat peningkatan diperoleh hasil bahwa responden
umur seseorang yang semakin tua perempuan mempunyai kejadian
memberikan dampak pada peritonitis lebih tinggi dibanding
menurunnya fungsi sistem dalam dengan responden laki-laki, artinya
tubuh sehingga pertahanan tubuh ter perempuan berpotensi mengalami
hadap suat u penyakit juga menur kejadian peritonitis lebih tinggi
un. Peningkatan umur erat kaitannya dibandingkan dengan laki-laki. Hasil
dengan prognosa suatu penyakit dan uji statistik diperoleh nilai p =
harapan hidup, mereka ya ng b er us
ia di a ta s 55 t ahu n kecender u ng
a n u nt u k t er ja di b er b a ga i
komplikasi yang memperberat fungsi
ginjal lebih besar dibandingkan yang
berusia di bawah 40 tahun (Fefendi,
2008). Peneliti belum menemukan
penelitian yang terkait u mu r denga n
kejadia n p er itonitis p ada CAPD.
P a da t a b el 4 mengen a i a
na l is is hub u ngan ant ar a jenis
0,669 maka disimpulkan tidak ada
hubungan yang signifikan antara jenis
kelamin laki-laki dan perempuan dengan
kejadian peritonitis pada pasien CAPD.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Gan., et al. (2003) didapatkan bahwa
dari 34 responden 20 diantaranya
adalah jenis kelamin laki-laki, namun
belum menjelaskan alasan mengapa
laki-laki lebih banyak. Kecenderungan
laki-laki kurang perhatian terhadap
perawatan diri dibanding perempuan,
sedangkan perempuan lebih banyak
memperhatikan diri secara total
termasuk dalam perawatan dialisis yang
harus dilakukan pada dirinya setiap hari.
Ana lis is hu b u nga n a nt a r a t
ingka t pendidikan dengan kejadian
peritonitis pada p a s ien C AP D d ip
er oleh ha s il b a hwa p endi dika n
S D da n S LTA b er p ot ens i meng
a la mi k eja dia n p er it on it is t i
nggi dibandingkan dengan pendidikan
SLTP, D3 da n S 1 . Pendidika n SLT
P, D3 da n S 1 memp u nya i p elu a
ng 4 ka li menga la mi kejadian
peritonitis tinggi dibandingkan dengan
SD dan SLTA. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,771 maka
disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara tingkat
pendidikan dengan kejadian peritonitis tinggi dibanding dengan status nutrisi e”
pada pasien CAPD. Tingkat pendidikan IMT, artinya status nutrisi < IMT
pasien CAPD ada hubungan dengan berpotensi meng a la mi k eja dia n p
kemungkinan terjadinya komplikasi, er it on it is t i nggi dibandingkan
karena kemampuan p eny er a p a n p dengan status nutrisi e” IMT. Status
enget a hu a n p a s ien s a a t nutrisi < IMT mempunyai peluang 12
mendapatkan edukasi dalam bentuk kali mengalami kejadian peritinitis
pelatihan dipengaruhi tingkat tinggi dibandingkan dengan status
pendidikan yang dimiliki. Tingkat nutrisi e” IMT. Hasil uji statistik
pendidikan turut berkontribusi dalam diperoleh nilai p = 0,032 maka
penyerapan keberhasilan pelatihan disimpulkan ada hubungan yang
yang diberikan pada pasien termasuk signifikan antara status nutrisi (IMT)
kemampuan baca tulis (Tambunan, dengan kejadian peritonitis pada pasien
2008). CAPD. Peritonitis
Analisis hubungan antara
penghasilan (UMR) dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD adalah
(55,6%) penghasilan e” UMR
mempunyai kejadian peritonitis lebih
tinggi dibanding dengan responden
yang memiliki penghasilan < UMR.
Hasil uji statistik diperoleh nilai p =
1,000 maka dis imp u lka n t ida k a
da hub u nga n ya ng signifikan antara
penghasilan (UMR) dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD.
Kemampuan pasien dalam
memanfaatkan fa s i lit a s k es eha t
a n t er g a nt u ng da r i kema mp u
a n ek onomi ya ng dimil iki,
penghasilan yang rendah berdampak
pada kemampuan untuk pengobatan
terlebih jika har us dila ku kan s eca
ra t eru s mener us . Beberapa penyakit
kronis (gagal ginjal kronik) memerlukan
biaya yang besar untuk biaya
perawatan dan pengobatan apabila
harus dilakukan dialisis atau
transplantasi ginjal (Fefendi, 2008).
Analisis hubungan antara status
nutrisi (IMT) dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD adalah
(80%) dengan status nutrisi < IMT
mempunyai kejadian peritonitis lebih
berdampak pada kehilangan protein Analisis hubungan antara
melalui peritonium dalam jumlah kemampuan perawatan dialisis di rumah
besar sehingga mengakibatkan dengan kejadian peritonitis pada pasien
malunitrisi (Smeltzer & Bare, CAPD didapatkan (71, 4%) dengan
2 0 08 ), p engelu a ra n p rot ein b kemampuan perawatan dialisis di
erleb iha n dimungkinkan saat rumah kurang baik mempunyai
pengeluaran cairan dialisat dan kejadian peritonitis lebih tinggi
penurunan nilai normal IMT (Hudak & dibanding dengan kemampuan
Gallo,1996). Status nutrisi yang rendah perawatan dialisis baik, a rt inya
pada pasien CAPD akibat pengeluaran kemamp ua n p era wat a n dialisis
protein yang berlebihan, berisiko kurang baik berpotensi mengalami
terhadap penurunan daya tahan tubuh kejadian
dan memungkinkan rendahnya daya
tangkal pada mikro organisme yang
menyerang tubuh.
Analisis hubungan antara
personal hygiene dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD
didapatkan (61,5%) dengan personal
hygiene kurang baik mempunyai
kejadian peritonitis lebih tinggi
dibanding dengan responden personal
hygiene baik, a r t in ya p er s o n a l
h yg en e ku r a ng b a ik berpotensi
mengalami kejadian peritonitis tinggi
dibandingkan dengan personal hygiene
b a ik . Per s o n a l h yg i en e ku r
a ng b a ik mempunyai peluang 3,2
kali mengalami kejadian peritonitis
tinggi dibandingkan dengan personal
hygiene baik. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,387 maka
disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara personal hygiene
dengan kejadian peritonitis p a da p a s
ien C AP D. Un t u k menc ega h
berkembangnya mikro organisme
patogen p ada p as ien C AP D har us
diperha tika n kebersihan diri
(Tambunan,2008). Upaya untuk
mempertahankan personal hygene
dengan melakukan kebersihan diri tiap
hari secara rutin seperti: mandi, gosok
gigi, ganti baju, potong kuku dan
membersihkan sekitar exit site dengan
kasa steril setiap selesai mandi.
p er itonit is t inggi dib a ndingkan 2008).
denga n kema mp u a n p er a wa t a n Analisis hub ungan anta ra fa
dia l is is b a ik. Kemampuan silit as perawatan CAPD di rumah
perawatan dialisis kurang baik dengan kejadian peritonitis pada
mempunyai peluang 17,5 kali pasien CAPD didapatkan (72,7%)
mengalami kejadian peritonitis tinggi dengan fasilitas perawatan CAPD di
dibandingkan dengan kemampuan rumah kurang baik mempunyai
perawatan dialisis baik. Hasil uji kejadian peritonitis lebih tinggi
statistik diperoleh nilai p = 0,024 dibanding dengan responden yang
maka disimpulkan ada hubungan yang memiliki fasilitas perawatan baik,
signifikan antara kemampuan artinya fasilitas perawatan kurang baik
perawatan dialisis di rumah dengan berpotensi mengalami kejadian
kejadian peritonitis pada pasien CAPD. peritonitis t ing gi dib a ndingka n
Kemampuan perawatan di rumah ini denga n fa s il it a s
menyangkut tentang tehnik melakukan
dialisis secara benar, kemampuan
mengenal adanya komplikasi dan
kecepatan menghubungi perawat atau
dokter jika terjadi masalah (Tambunan,
2008). Kemampuan perawatan dialisis
di rumah kurang baik berdampak pada
tidak adekuatnya perawatan yang
harus dilakukan sesuai standar, masalah
ini memicu cepatnya pertumbuhan
mikro organisme dan memudahkan
terjadinya komplikasi.
Ana l is is hu b u nga n a nt a r a
s i s t em pendukung dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD
didapatkan (54,5%) sistem pendukung
baik mengalami kejadian peritonitis
tinggi dibanding dengan sistem
pendukung kurang baik. Hasil uji
statistik diperoleh nilai p = 1,000 maka
disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara sistem pendukung
dengan kejadian peritonitis pada pa sien
C AP D. Sist em p endukung ya ng
berasal dari keluarga atau penolong
lainya (helper) yang adequat akan
meningkatkan motivasi pasien untuk
tetap konsisten dalam perawatan CAPD.
Keluarga diharapkan turut da la m p
engel ola a n p er a wa t a n da n
pengobatan pasien CAPD (Tambunan,
perawatan baik. Fasilitas perawatan pasien CAPD mulai dari asuhan
kurang baik mempunyai peluang 7,1 kali predialisis, rawat ina p , s eb el u m
mengalami kejadian peritonitis tinggi da n s ela ma p ela t i ha n, perawatan
dibandingkan dengan fasilitas perawatan dialisis dirumah (Yetti, 2007).
baik. Hasil uji statistik diperoleh nilai p
= 0,088 maka disimpulkan tidak ada KESIMPULAN DAN
SARAN
hubungan yang signifikan antara fasilitas
perawatan CAPD di rumah dengan
Implikasi dari penelitian ini bahwa
kejadian peritonitis pada pasien CAPD. terapi
Tidak t er s edia nya fa s ili t a s p er a CAPD merupakan tindakan dialisis
wa t a n ya ng memadai memberikan yang
kontribusi terjadinya peritonitis. Adapun
fasilitas perawatan yang diharapkan
adalah tersedianya kamar khusus untuk
mengganti cairan dialisat dan adanya air
mengalir untuk cuci tangan (Tambunan,
2008).
Pada tabel 5 hasil analisis
hubungan a nt a r a s t anda r p ela ya
na n kep era wa ta n dengan kejadian
peritonitis pada pasien CAPD pada
standar struktur diketahui bahwa
50% dengan standar struktur kurang
baik mempunyai kejadian peritonitis
lebih tinggi dibanding dengan responden
yang memiliki standar struktur baik,
artinya standar struktur kurang baik
berpotensi menunjang kejadian
peritonitis tinggi dibandingkan dengan
standar struktur baik. Standar struktur
kurang baik memp u nya i p elu a ng 8
ka li menu nja ng kejadian peritinitis
tinggi dibandingkan dengan standar
struktur baik. Hasil uji statistik
diperoleh nilai p = 0,203 maka
disimpulkan tidak ada hubungan yang
signifikan antara standar kualilitas
pelayanan keperawatan (standar
struktur) dengan kejadian peritonitis p a
da p a s ien C AP D. S t a nda r ku a
l it a s pelayanan keperawatan (standar
struktur) merupakan standar yang
berfokus pada karaktristik internal
dalam organisasi dan ka r a kt er is t ik
p er a wa t . S t a nda r p r os es
berfokus pada tahapan kegiatan pada
memerlukan insisi pada peritonium perawatan dialisis ada hubungan
untuk pemasangan kateter, sehingga dengan kejadian peritonitis pada
rentan akan terjadinya komplikasi satu pasien CAPD, s eda ng ka n p er s o n
di antaranya adalah peritonitis. Peran a l h yg i en e, s i s t em pendukung,
perawat adalah menjamin kualitas fasilitas perawatan CAPD di rumah,
pelayanan keperawatan secara prima standar struktur dan standar proses tidak
sehingga kejadian komplikasi pada ada hubungan dengan kejadian
pasien CAPD dapat diminimalkan. peritonitis pada pasien CAPD.
Hasil penelitian ini dapat digunakan
sebagai sumber informasi untuk DAFTAR
PUSTAKA
perawat khususnya yang menekuni t
ent a ng p er a wa t a n C AP D.
Anonymous. 2008. Essential Qualities
Unt u k kekhususan keperawatan of a
medikal bedah, hasil penelitian ini Renal Nurse. Makalah Studi
dapat digunakan sebagai dasar Ilmiah.
pengkajian lebih luas dan lebih spesifik
dalam membuat analisis dan sintesa
yang berhubungan dengan kasus
CAPD.
Hasil penelitian disimpulakan
bahwa r es p o nden ya n g menga l a
mi keja dia n peritonitis rata-rata
berusia 44,32 tahun dengan jenis
kelamin terbanyak adalah laki- laki,
tingkat pendidikan terbanyak adalah S
LTA da n s eb a gia n b es a r memp
u nya i penghasilan kurang dari UMR.
Dari status nutrisi diketahui hampir
sebagian besar responden dengan
status nutrisi lebih dari sama dengan
IMT dan personal hygiene sebagian
besar kurang baik. Kemampuan pasien
dalam perawatan dialisis di rumah
sebagian besar kurang baik sedangkan
dalam hal sistem pendukung dan
fasilitas perawatan CAPD di rumah
seba gian kurang b aik. Standar
kualitas pelayanan keperawatan pada
standar struktur dan standar proses
sebagian besar adalah baik. Umur, jenis
kelamin, tingkat p endidika n da n p
engha s ila n t ida k a da hubungan
dengan kejadian peritonitis pada pasien
CAPD. Status nutrisi, kemampuan
Disampaikan pada Ulang Tahun ent/ article/99060/. Diperoleh
RS PGI Cikini ke 110. tanggal 12
Dipublikasikan tanggal 16 September
& 17 Pebruari 2008.
2008. Situmorang, T. 2008. Pengyakit Ginjal
Anonymous . 2 00 7. R enal Akut
Replacement T her a p y. ht t p :/ & Kr onik P enya kit Dia b et
/ www. ka lb e. co . id/ i n d e x . ik & M et ab olik (DM & L u p u
php?mn=product s) lnt egr a s i Terapi Pengganti
&tipe=3&cat=311. Diperoleh Ginjal Resep dan Adequasi pada
tanggal 10 Hemodialisis. PPSDM Ru ma h Sa
September kit P GI C ikini. Ja ka rt a:
2008. Makalah Kursus Perawatan
Anon ymou s . 2 0 0 8 . Tr a inning Intensif Ginjal XIV.
C AP D. Dipublikasikan.
PP SDM Rumah S akit PGI C Sidabutar, H. 2008. Anatomi dan
ikini. Jakarta: Makalah Kursus Fisiologi
Perawatan Intensif Ginjal XIV. Ginjal. P PSDM R umah Sa kit
Dipublikasikan. P GI C iki ni. J a ka r t a : M a ka
DeVore, V.S. 2008. Continuose la h Ku r s u s P er a wa t a n I nt
Ambulatory Peritoneal Dialysis ens if Ginja l XIV.
(CAPD) and Its Camplications. Dipublikasikan.
http://www.renal.org/ guedelines/
module3b.html. Diperoleh tanggal
17 September 2008.
Gan., at al. 2003. A Study on Early
Onset Peritonitis in CAPD Patiens.
Singapore Med. http://www.
sma.org.sg/smj/4403/
4 4 0 3 a 5 . p df. Dip er ol eh t a
ngg a l 2
September
2008.
Gutch, C.F., Stoner, M.H., Corea, &
Anna L. 1999. Review of
Hemodialysis for Nurses and Dialys
is Personnel. 6 t h Edition. St Louis.
Missouri: Mosby, Inc. Hudak & Gallo.
1997. Critical Care Nursing: A Holistic
Approach. Philadelphia:
Lippincott Company
J.B.
MacDougall, D. 2007. CAPD
Peritonitis: Causes, Management,
Renal & Urology News .
ht t p :/ / w ww. r en a l a n d u r o l
o g y n e ws . c o m /
CAPDPeritonitisCausesManagem
Sidabutar, R.P. 2005.
Penanggulangan Gagal
Ginjal Kronik dan
Kemajuannya. Sub Bagian
Ginjal Hipertensi Bagian
Ilmu Penyakit Dalam FK
UI RSCM. Jakarta: h t t p :
/ / w ww. s j k d t . o r g / a
r t i c l e. a s p Diperoleh
tanggal 17 September
2008.
S mel t zer & Ba r e. 2 0 0 8
. B r u nner a nd S u dd a
r t h’s Tex t b ook of M
edi ca l- S u r g ica l Nu
r s ing. 1 0 th E d it io n.
Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.
Tambunan R. 2008. Asuhan
Keperawatan pada Pasien
Dialisis. PPSDM Rumah
Sakit PGI Cikini. Jakarta:
Makalah Kursus
Perawatan Intensif Ginjal
XIV. Dipublikasikan.
Yet t i, K. 2 0 0 7 . Per a n P er a wa t Da la m
M eni ngka t ka n Ku a l
it a s P a s ien Peritoneal
Dialisis. Jurnal
Keperawatan Indo nes ia .
Volu me 11 . J a ka r t
a : Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai