Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Seribu hari pertama kelahiran seorang anak ialah masa berkembangnya
intelegensi yang begitu pesat pada tiap individu dan diistilahkan dengan golden age
(masa emas). Masa ini menjadi masa kunci dalam pengembangan pelbagai kegiatan
agar potensi, kreativitas, kompetensi, kemampuan berbahasa, sikap, dan kesadaran
sosial bisa dikembangkan (Istiyani, 2014). Pola asuh anak yang belum maksimal bisa
memicu buruknya tumbuh kembang anak, khususnya di periode emas balita (Asrul,
Wahyuni & Sitorus, 2019). Balita ialah anak yang usianya 12 bulan hingga 59 bulan
(Menkes RI, 2014). Para pakar pun mengemukakan, usia balita menjadi fase
perkembangan yang mempunyai kerentanan pada pelbagai serangan penyakit,
termasuk masalah asupan nutrisi yang kurang ataupun eksesif (Pusat Data dan
Informasi Kemenkes RI, 2015).
Saat ini, Indonesia masih dihadapkan pada masalah gizi yang dampaknya
begitu besar bagi mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Salah satu masalah gizi yang
menjadi atensi utama sekarang ini yaitu masih besarnya angka anak balita pendek
(stunting) (Sandjojo, 2017). Stunting ialah keadaan yang mengindikasikan gagalnya
pertumbuhan pada bayi (0 – 11 bulan) dan balita (12 – 59 bulan) yang dipicu oleh
kurangnya gizi yang sifatnya kronis, utamanya dalam 1000 hari pertama hidupnya
hingga tumbuhnya terlalu pendek di usianya (Dewi, Ariski & Kumalasari, 2019).
Stunting diinterpretasikan sebagai keadaan di mana tinggi badan individu lebih pendek
daripada tinggi badan orang lain secara umum atau dengan seumurannya (Sandjojo,
2017). Stunting pun menjadi penggambaran dari kurangnya status gizi dan sifatnya
kronik pada masa tumbuh kembang di fase awal kehidupan (Supariasa, Bakri & Fajar,
2017).
Banyaknya masalah stunting pada balita dan akibat yang dimunculkannya
membuat World Health Organization (WHO) lewat World Health Assembliy (WHA)
menargetkan penurunan prevalensi stunting pada tahun 2025 sebanyak 40% di
seluruh negara yang mendapati masalah stunting, termasuk Indonesia (WHO, 2014).
UNICEF (2018) menyebutkan, prevelensi stunting di dunia masih berkategori tinggi

36
sebab persentase kejadian stunting di dunia pada tahun 2017 sebanyak 22,2%, separuh
dari jumlah anak stunting ada di Asia (55%) dan sepertiga didapati di Afrika (39%)
(Purwati, 2019). Indonesia berkategori negara ketiga yang prevalensinya tertinggi di
regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR) yang didasarkan pada data
prevalensi balita stunting yang WHO kumpulkan. Rerata prevalensi balita stunting di
Indonesia pada tahun 2005-2017 yaitu 36,4% (Pusdatin, 2018).
Data Pemantauan Status Gizi (PSG) mengindikasikan, selama tiga tahun
belakangan ini, stunting mempunyai prevalensi paling tinggi dibandingkan dengan
masalah gizi lainnya contohnya kurangnya gizi, kekurusan, daj kegemukan. Prevalensi
balita stunting naik dari tahun 2016 yaitu 27,5% melonjak ke 29,6% pada tahun 2017
(Pusdatin, 2017). Prevalensi stunting di Indonesia menurut data Riskesdas tahun 2013
yaitu 37,2%. Hal ini lebih banayak bila dibandingkan dengan presentase stunting
secara mengglobal menurut UNICEF, yakni 22,9%. Data terakhir dari Riskesdas tahun
2018 mengindikasikan, status gizi di Indonesia telah membaik, yakni bergeser menjadi
30,8%, tetapi persentasenya masih belum meraih sasaran WHO, yakni 20%. Begitu
pun bila dibandingkan dengan negara lainnya seperti Ethiopia sebanyak 39,3%, Nepal
42,7% s.d 51%, Eropa 0,9 s.d 6,2%, Afrika 34%, Asia Selatan 35%, Oceania 38%,
prevalensi stunting di Indonesia masih berkategori rendah (Hadi, Kumalasari, Fitri &
Kusumawati, 2019).
Beberapa faktor yang ada keterkaitannya dengan munculnya stunting yaitu
rendahnya asupan gizi dan nutrisi, ASI ekslusif yang diberikan, rendahnya berat bayi
lahir, penyakit infeksi, faktor genetik, minimnya pengetahuan orang tua perihal nutrisi
dan faktor sosial ekonomi. Kondisi kesehatan dan status gizi ibu di masa
kehamilannya bisa memengaruhi tumbuh kembang janin. Ibu yang terkena anemia
atau kekurangan energi kronis di masa kehamilannya akan melahirkan bayi dengan
berat badan lahir rendah (BBLR) (Sandjojo, 2017). BBLR menjadi faktor risiko yang
terdominan pada stunting balita (Rahayu, Yulidasari, Putri & Rahman, 2015).
Karakteristik bayi saat lahir (BBLR atau BBL normal) menjadi penentu
tumbuhnya anak. Pertumbuhan linear yang lebih lamban akan dialami anak yang
mempunyai riwayat BBLR bila dibandingkan dengan anak dengan riwayat BBL
normal (Apoina, et. all, 2016). Penelitian Fitri (2018) mengindikasikan adanya
hubungan antara pemberian ASI ekslusif dan BBLR pada kejadian stunting di wilayah
kerja Puskesmas Lima Puluh kota Pekanbaru sebab minimnya nutrisi yang diberikan

37
pada anak bisa memicu pertumbuhan yang tidak maksimal yang akhirnya berisiko
stunting. Pemberian ASI pun memengaruhi munculnya stunting. Penelitian
Nurkarimah (2018), mengindikasikan terdapatnya hubungan antara durasi pemberian
ASI ekslusif dan kejadian stunting di wilayah kerja Puskesmas Rejosari kota
Pekanbaru.
Penyakit infeksi yang diakibatkan oleh buruknya higiene dan sanitasi
(contohnya diare dan kecacingan) bisa menghambat terserapnya nutrisi pada proses
pencernaan. Bila berlangsungnya keadaan tersebut dalam waktu yang terbilang lama
dan tidak diimbangi dengan asupan yang memadai pada proses pemulihan, maka
stunting bisa saja terjadi (Pusdatin, 2018). Penelitian Ikhiarti, Rahfiludin, & Nugraheni
(2020) menyebutkan adanya hubungan antara faktor sosial ekonomi dengan sanitasi
lingkungan dengan kejadian stunting pada balita yang usianya 1 – 3 tahun di areal
pesisir Kabupaten Brebes. Tinggi badan orang tua ada keterkaitannya dengan
pertumbuhan fisik anak. Ibu yang posturnya pendek menjadi bagian dari faktor yang
ada keterkaitannya dengan munculnya stunting. Pembuktiannya diindikasikan dengan
studi di Mesir yang mengindikasi bahwa anak yang terlahir dari ibu yang tingginya di
bawah 150 cm berisiko lebih besar terkena stunting (Zottarelli, Sunil & Rajaram,
2014).
Penelitian Amin & Julia (2014) menyebutkan, tinggi badan ibu
mengindikasikan hubungan signifikan terhadap munculnya stunting. Di samping itu,
uji multivariat mengindikasikan, variabel yang paling memengaruhi stunting ialah
tinggi badan ibu. Naik & Smith (2015) pun menyampaikan, perempuan yang
semenjak kecil terkena stunting akan mendapati pelbagai gangguan di fase
pertumbuhannya, termasuk gangguan reproduksi, komplikasi saat hamil, sukar untuk
melahirkan, dan yang terburuk yaitu kematian perinatal. Anak yang dilahirkan oleh
ibu dengan stunting kemungkinan terkena stunting dan hal ini diistilahkan dengan
siklus kekurangan gizi antar generasi.
Pengetahuan tentang gizi diartikan sebagai pengetahuan ibu tentang kandungan
pangan yang terkait dengan masalah kesehatan khususnya anak. Pengetahuan gizi
mencakup tentang kandungan gizi pada pangan keluarga, manfaat zat gizi bagi tubuh
dan penyakit akibat kekurangan gizi. Pengetahuan ibu berperan dalam tumbuh
kembang anak. Anak yang mempunyai ibu yang berpengetahuan perihal gizi yang
baik akan memberi asupan gizi yang baik sehingga mencegah terjadinya kekurangan

38
zat gizi. Pengetahuan gizi berdampak pada pola asuh ibu ke anaknya. Ibu dengan
pengetahuan gizi yang kurang,akan cenderung kurang memperhatikan asupan
makanan yang diberikan kepada anaknya, sehingga anak berpeluang menjadi
malnutrisi dan berakhir menjadi anak yang stunting. Menurut penelitian Ningtyas,
Udiyono & Kusarian (2020), ada hubungan signifikan antara pengetahuan gizi ibu
dengan stunting pada balita di wilayah kerja Puskesmas Karangayu.
Faktor sosial ekonomi pun memengaruhi kejadian stunting sebab secara tidak
langsung rendahnya perekonomian akan memunculkan pengaruhnya pada pemenuhan
zat gizi dan peluang dalam menghadiri pendidikan formal. Hasil Riskesdas (2013)
mengindikasikan, minimnya pendapatan dan pendidikan orang tua paling kerap
memengaruhi stunting pada balita. Pendidikan yang rendah dan dibarengi dengan
minimnya pengetahuan akan gizi acapkali disangkutpautkan dengan kejadian
malnutrisi pada Ibu dan anak (Nashikhah & Margawati, 2012). Orang tua yang
pendapatan keluarganya terbilang mencukupi berkemampuan menyediakan seluruh
kebutuhan primer dan sekunder anak dalam jumlah dan mutu yang bagus. Keluarga
yang status ekonominya baik pun bisa mengakses layanan kesehatan dengan gampang
(Safitri & Nindya, 2017).
Menurut penelitian Dewi & Suhartatik (2019), ada hubungan antara pola
makan dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dengan kejadian stunting pada balita 24-
60 bulan di wilayah kerja Puskesmas Lakudo kabupaten Buton Tengah. Hal ini bisa
dicermati saat anak jatuh sakit, melemahnya imun, dan gampang terkena penyakit,
khususnya bila anak tidak kerap diantar ke Posyandu untuk imunisasi. Di kala sakit,
selera makan anak akan menjadi turun dan akhirnya pengotimalan asupan gizi untuk
mereka belum bisa terlaksana. Akibatnya, pertumbuhan anak menjadi terhambat.
Stunting bisa memunculkan efek gangguan perkembangan jangka pendek
ataupun panjang. Efek jangka pendek yang dimunculkannya yaitu naiknya mortalitas
dan morbiditas, perkembangan kognitif, tidak optimalnya motorik dan verbal pada
anak, termasuk melonjaknya biaya kesehatan sebab dibutuhkan adanya pemantauan
kesehatan pada anak stunting di pelayanan kesehatan. Sementara efek jangka
panjangnya yaitu di saat dewasa, postur tubuh anak tidak maksimal (lebih pendek bila
dibandingkan secara umum), naiknya risiko obesitas dan penyakit lain, turunnya
kesehatan reproduksi, kurang optimalnya kapasitas belajar dan performa manakala di

39
masa sekolah, termasuk tidak maksimalnya produktivitas dan kapasitas kerja
(Pusdatin, 2018).
Terjadinya stunting dipicu oleh kekurangan gizi kronis selama 1000 hari
pertama kehidupan anak. Akibat yang dimunculkannya yaitu perkembangan anak yang
irreversible (tidak bisa mengalami perubahan) dan anak pun tidak bisa belajar atau
mendapatkan hal sebanyak mungkin. Oleh karenanya, bila secepatnya tidak ada
penanganan yang benar bagi anak stunting, maka hal ini akan menjadi prediktor mutu
SDM yang buruk dan produktivitas bangsa di masa depan pun akan mengalami
penurunan (Trihono, 2015). Penyebabnya yaitu stunting bisa mengurangi kemampuan
kognitif, produktivitas dan meninggikan risiko penyakit yang akhirnya memunculkan
kerugian jangka panjang bagi perekonomian Indonesia (Hadi, et. all, 2019).
Pemerintah Indonesia mengerahkan segenap upayanya agar angka stunting bisa
diturunkan lewat suatu program, yakni pengalokasian dana tersendiri agar masalah
tersebut bisa ditanggulangi.
Alokasi dana yang pemerintah lakukan mencakup pemberian intervensi paket
gizi lengkap bagi ibu hamil dan anak, penyediaan layanan kesehatan termasuk
makanan tambahan bagi ibu hamil dengan KEK (Kekurangan Energi Kronik) dan
balita yang gizinya rendah, pembinaan sanitasi yang baik, termasuk dan penyediaan
air bersih. Harapannya, angka stunting bisa turun (Kemenkes, 2018). Mayoritas ibu
hamil tidak sadar akan betapa krusialnya gizi di masa hamil. Sebanyak 81% dari ibu
hamil yang mendapat tablet gizi hanyalah 18% dan mengonsumsinya selama 90 hari
di masa kehamilannya. Di samping itu, banyak pula dari mereka yang memercayai
mitos yang tersebar di masyarakat di mana kebenarannya tidak bisa dibuktikan
(Trihono, 2015).
Salah satu Puskesmas yang ada di Pekanbaru adalah Puskesmas Rejosari yang
letaknya di Jalan Hang Tuah, Rejosari, Kec. Tenayan Raya, Kota Pekanbaru yang luas
wilayah kerjanya 129,61 KM2 dan mencakup empat keluarahan, yakni: Kelurahan
Kulim, Kelurahan Sail, Kelurahan Rejosari dan Kelurahan Tangkerang Timur.
Puskesmas Rejosari diresmikan pada tahun 2017. Puskesmas ini sudah dilengkapi
dengan peralatan medis dan tenaga kesehatan dan melayani berbagai program
puskesmas seperti periksa kesehatan (check up), pembuatan surat keterangan sehat,
rawat jalan, lepas jahitan, ganti balutan, jahit luka, cabut gigi, periksan tensi, tes hamil,
periksa anak, tes golongan darah, asam urat, kolesterol dan lainnya. Pelayanan

40
Puskesmas Rejosari juga baik dengan tenaga kesehatan yang baik, mulai dari perawat,
dokter, alat kesehatan dan obatnya. Puskesmas ini dapat menjadi salah satu pilihan
warga masyarakat Pekanbaru untuk memenuhi kebutuhan terkait kesehatan.
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Rejosari pada tahun 2019 adalah
106.918 jiwa yakni 54.912 jiwa laki-laki dan 53.006 jiwa perempuan dengan 30.529
KK. Jenis dan jumlah sarana kesehatan di puskesmas tersebut bisa dicermati pada
tabel berikut ini.
Tabel 1. Jenis dan Jumlah Sarana Kesehatan wilayah kerja Puskesmas Rejosari pada
tahun 2019
No Jenis Sarana Kesehatan Jumlah
1 Puskesmas Induk 1
2 Puskesmas Pembantu 4
3 Posyandu 72
4 Rumah Bersalin 2
5 Praktek Dokter Umum 3
6 Praktek Dokter Gigi 4
7 Praktek Bidan 4
8 Apotik 1
Sumber: Profil Puskesmas Rejosari, 2019
Tabel 1 mengindikasikan, sarana kesehatan di wilayah kerja Puskesmas
Rejosari pada tahun 2019 telah cukup banyak. Hal ini disebabkan karena wilayah kerja
Puskesmas Rejosari yang meliputi daerah seluas 129,61 KM2 dan berada dalam Kota
Pekanbaru sehingga membutuhkan sarana kesehatan yang banyak.
Pada tahun 2019 di Puskesmas Rejosari, data yang didapat mengindikasikan
adanya 1361 balita dan 49 balita yang terserang stunting. Dari data ini, 44 balita
berkategori sangat pendek, dan 161 balita berkategori pendek (Wulandini, et.al,
2019:10). Pada tahun 2020, kasus balita stunting mengalami kenaikan di puskesmas
tersebut dan bisa dicermati pada tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Balita Stunting di Puskesmas Rejosari Tahun 2020
No Jumlah Balita Stunting
1 84 balita
Sumber: Puskesmas Rejosari, 2020
Tabel 2 mengindikasikan, jumlah balita stunting yang terdata di Puskesmas
Rejosari yaitu 84 balita. Didasarkan pada studi pendahuluan yang peneliti lakukan di
Puskesmas Rejosari, masalah yang didapati pada studi pendahuluan yaitu masih
dijumpai kurangnya pemahaman ibu yang memiliki bayi tentang stunting dan asupan

41
gizi sehingga inilah yang diduga berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak,
khususnya yang ada keterkaitannya dengan stunting. Di samping itu, dari wawancara
dengan perawat di Puskesmas Rejosari, didapati bahwa kejadian stunting yang terjadi
rata-rata disebabkan penyakit infeksi contohnya diare pada balita yang dikarenakan
kurang higienisnya makanan dan minuman ibu mereka berikan. Oleh karena itu,
berdasarkan masalah yang sudah diulas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
yang judulnya “Faktor-faktor yang Menyebabkan Stunting pada Balita di Puskesmas
Rejosari Kota Pekanbaru."
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada penelitian ini yaitu, "Aapakah faktor-faktor yang
menyebabkan stunting pada balita?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting
pada balita.
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi balita yang mengalami stunting.
b. Mengidentifikasi hubungan faktor genetik dengan kejadian stunting pada
balita.
c. Mengidentifikasi hubungan kurangnya asupan gizi dan nutrisi dengan kejadian
stunting pada balita.
d. Mengidentifikasi hubungan pemberian ASI ekslusif dengan kejadian stunting
pada balita.
e. Mengidentifikasi hubungan berat badan lahir rendah dengan kejadian stunting
pada balita.
f. Mengidentifikasi hubungan faktor sosial ekonomi dengan kejadian stunting
pada balita.
g. Mengidentifikasi hubungan faktor penyakit infeksi dengan kejadian stunting
pada balita.
h. Mengidentifikasi hubungan kurangnya pengetahuan orang tua dengan
kejadian stunting pada balita.
i. Mengidentifikasi faktor paling dominan yang mempengaruhi kejadian
stunting pada balita.

42
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peneliti
Untuk menambah wawasan dan meningkatkan pengetahuan peneliti
perihal “faktor-faktor yang menyebabkan stunting pada balita”.
2. Bagi Institusi Kesehatan
Penelitian ini diekspektasikan bisa memperkaya pengetahuan dengan
menambah bacaan referensi perihal stunting bagian penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti Selanjutnya
Sebagai referensi/acuan dalam menjalankan penelitian selanjutnya yang
ada relevansinya dengan stunting.
4. Bagi Responden
Responden diharapkan bisa paham akanfaktor-faktor yang menyebabkan
stunting pada balita agar risiko stunting bisa dihindari.

43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil
Skema atau diagram pohon (PRISMA) dalam bab 3 di atas menggambarkan
bagaimana peneliti dari awal (pencarian di tiap-tiap database) hingga mendapatkan 8
jurnal yang pada akhirnya akan dimasukkan ke dalam review. Gambar 2
mendeskripsikan proses seleksi jurnal sesuai dengan panduan dari Preferred
Reporting Systematic Reviews and Meta-analysis (PRISMA). Penelusuran awal
menghasilkan jurnal sejumlah 56 yang mengindikasikan relenasi tinggi terhadap topik
yang di review antara tahun 2016-2020. Sesudah pengeluaran duplikasi jurnal dan
screening judul serta abstrak dilaksanakan, 49 jurnal dimasukkan ke dalam tahap
selanjutnya yaitu penelahaan full text dan eligibilitas yang didasarkan pada kriteria
inklusi dan eksklusi yang sudah peneliti tetapkan. Lalu, 9 jurnal penelitian yang
memenuhi syarat dikaji kualitasnya dan disintesis dalam laporan akhir kajian pustaka
ini.
Untuk pencarian jurnal, penulis mencarinya lewat keyword yang sudah
disusun. Sesudah menjalankan penyeleksian dan ektraksi data pada tiap-tiap jurnal,
didaparkan 8 jurnal yang kemudian dianalisis. Metode penelitian jurnal yang dianalisis
beragam, di antaranya Survei Analitik dengan pendekatan case control, studi analitik
observasional dengan desain cross-sectional, dan penelitian deskriptif. Tempat
penelitian dari jurnal dilaksanakan di lokasi yang tidak sama. Jurnal ke-1 di wilayah
Tambang Poboya, Kota Palu, jurnal ke-2 di kecamatan Sukorejo Kota Blitar, jurnal
ke-3 di wilayah kerja Puskesmas Purwatu Kota Kendiri, jurnal ke-4 dilakukan di
Kabupaten Pesawaran, jurnal ke-5 dilakukan di daerah kecamatan yaitu Kecamatan
Sedayu Bantul, Yogyakarta dan jurnal ke-6 di daerah Kota Pontianak. Sementara
untuk jurnal ke-7 diteliti di Vietnam dan jurnal ke-8 di Nepal.
Jurnal pertama mengindikasikan bahwa Balita tidak ASI eksklusif, riwayat
penyakit infeksi dan status imunisasi menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Jurnal
ke-2 mengindikasikan rendahnya asupan energi, protein, dan tidak ASI Ekslusif. Ibu
yang bekerja pun menjadi faktor pemicu munculnya stunting. Penyebabnya ialah
minimnya pengetahuan keluarga perihal gizi yang harus dipenuhi. Rendahnya
pendidikan orang tua mengakibatkan minimnya wawasan perihal gizi yang sepatutnya

36
dikonsumsi. Jurnal ke-3 mengindikasikan, ibu yang tinggi badannya <150 cm berisiko
melahirkan bayi stunting bila dibandingkan dengan ibu yang tinggi badannya ≥ 150
cm. Tinggi badan ibu, kunjungan pemeriksaan kehamilan/antenatal care, Riwayat ASI
ekslusif, dan pendapatan keluarga ada keterkaitannya dengan faktor pemicu balita
yang terkena stunting. Tinggi badan ibu pun pengaruhnya tergolong dominan pada
stunting balita dengan Exp= 0.386.
Jurnal ke-4 mengindikasikan, balita dengan riwayat BBLR dan ASI eksklusif
mempunyai keterkaitan yang signifikan dengan stunting pada balita 2-5 tahun. Jurnal
ke-5 mendapati beragamnya makanan yang buruk, rendahnya, berat badan lahir dan
waktu pemberian MP-ASI menjadi faktor yang memicu munculnya stunting pada
balita usia 24-59 bulan.
Jurnal ke-6 mengindikasikan, asupan protein, kalsium, dan fosfor menjadi
faktor signifikan pada anak stunting daripada mereka yang tidak terkena stunting.
Sementara itu, jurnal ke-7 mengindikasikan, pada anak yang usianya 6-23 bulan,
faktor penyebab terjadinya stunting yaitu tinggi ibu, tempat tinggal dan pendidikan
ibu. Sementara untuk anak-anak berumur 24-59 bulan, tiga faktor tersebut tidak
menjadi faktor penyebab stunting pada balita. Dan yang jurnal ke-8 menunjukkan
bahwa faktor terjadinya stunting adalah faktor dari ibu, yaitu: tinggi badan ibu dan
pendidikan ibu.
Penelitian Resti Agustia, Nurdin Rahman dan Hermiyanty (2018) mendapati
persamaan masalah yang dijadikan poin esensial dalam penelitiannya yaitu faktor
risiko ASI eksklusif, penyakit infeksi dan status imunisasi dengan kejadian stunting
pada balita usia 12-59 bulan di Wilayah Tambang Poboya. Hal ini dikuatkan dengan
penelitian pada jurnal ke-2 yang mengindikasikan adanya hubungan signifikan antara
pemberian ASI Ekslusif dan kejadian stunting pada balita. Namun penelitian Apri
Sulistianingsih dan Rita Sari (2018) mengidentifikasi lebih dikarenakan penelitian
tersebut menetapkan faktor ASI eksklusif dan berat lahir pada kejadian stunting balita
2-5 tahun di Kabupaten Pesawaran.
Hal ini dipertegas dengan penelitian pada jurnal La Ode Alifariki, et. al (2020),
penelitian pada jurnal ke-5 oleh Bunga Astria Paramashanti, et. all (2017), penelitian
oleh Endah Mayang Sari, et. all (2016), penelitian oleh Ty Beal, et. all (2019) dan
penelitian oleh Jamie L. Dorsey, et. all (2017) yang ingin mencari mengetahui dan

37
menggambarkan faktor-faktor yang ada keterkaitannya dengan stunting pada anak usia
0-59 bulan.
Untuk prosedur penelitian, penelitian untuk jurnal pertama dan ke-3
menerapkan desain penelitian yang sama yakni Survei Analitik lewat pendekatan case
control dimana jurnal pertama melakukan observasi langsung, wawancara, kuesioner
dan data dari instansi terkait sebagai alat pengumpulan data lewat analisis univariat
dan bivariat yang menerapkan uji Odds ratio (OR), sementara jurnal ke-3
mengaplikasikan kuesioner dengan responden kasus dan kontrol menerapkan analisis
univariat dan bivariat lewat (OR) dan uji multivariat menerapkan regresi logistik pada
batas kemaknaan a= 0,05.
Jurnal ke-2 menjatuhkan pilihannya pada desain penelitian studi deskriptif
lewat wawancara dalam menghimpun datanya dan didasarkan pada kuesioner yang
peneliti buat di mana acuannya ada pada sendiri buku sumber yang diambil dari
(Supariasa, 2001). UNICEF dalam Bapenas 2011 mencakup data umum pertanyaan
perihal riwayat kondisi ibu di masa kehamilamnya dan apa yang keluarga persepsikan
perihal stunting termsuk pertanyaan spesifik yang mencakup karakteristik anak,
asupan nutrisi anak, penyakit infeksi yang pernah anak derita, pemanfaatan ASI
ekslusif, pemakaian fasilitas kesehatan, dan ciri keluarga: pendidikan orang tua, status
ekonomi dan pemakaian lembar food recall 24 jam. Jurnal kedua ini mengaplikasikan
analisis data secara deskriptif lewat tampilan presentase.
Jurnal ke-4, ke-5, ke-6, ke-7 dan ke-8 menerapkan studi analitik observasional
dengan desain cross-sectional pada penelitian ini. Pada jurnal ke-4, proses
pengambilan datanya dijalankan oleh peneliti termasuk enumerator. Enumerator ialah
bidan puskesmas yang menjalankan tugasnya di wilayah binaan dengan setidaknya
pendidikan diploma tiga. Wawancara dan pengukuran tinggi badan anak untuk
penentuan status gizi dijalankan sebanyak 1 kali pengukuran lewat uji Chi-Square dan
regresi logistik ganda.
Pada jurnal ke-5 yang diteliti oleh Bunga Astria Paramashanti, et.al (2017)
subjek penelitiannya yaitu bayi dan anak-anak yang umurnya 6-23 bulan yang diambil
lewat metode pengambilan sampel probability proportional to size. Keanekaragaman
makanan individu diukur berdasarkan minimal keanekaragaman makanan, yaitu
konsumsi minimal empat macam golongan makanan. Data dianalisis lewat uji
deskriptif statistik, chi-square, dan regresi logistik ganda.

38
Pada jurnal ke-6, proses penghimpunan datanya dijalankan oleh tiga
enumerator lulusan DIII gizi yang sudah professional. Data konsumsi makan
didapatkan lewat metode food recall 1 x 24 jam sebanyak 6x selama tiga minggu
namun tidak beruntun lewat lembar food recall. Sampel penelitiannya yaitu balita
yang usianya 24-59 bulan di Kec. Pontianak Timur dan Utara, Kalimantan Barat; 90
anak yang terseleksi mengaplikasikan teknik simple random sampling. Uji statistiknya
menerapkan uji chi-square dan t-test.
Jurnal ke-7 dalam pengambilan data menggunakan kuisioner dimana sampel
penelitian berjumlah 85.932 responden yang terdiri-dari bayi berumur 6-59 bulan.
Analis data diambil dari Sistem Pengawasan Gizi Vietnam, secara nasional melalui
survei cross-sectional representatif. Model regresi Poisson multivariabel digunakan
untuk memperkirakan risiko relatif (RR) stunting, dikelompokkan berdasarkan usia
anak dan ekologis wilayah. Kovarian di tingkat anak, ibu, rumah tangga, dan
lingkungan dimasukkan berdasarkan data kerangka kerja stunting anak dan konseptual
Organisasi Kesehatan Dunia.
Jurnal terakhir penelitian yang dilakukan oleh Jamie L. Dorsey, et. al (2017)
tujuannya untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab terjadinya stunting diambil
sampel 4.853 anak berusia 6–59 bulan dengan representatif acak secara nasional dan
agroekologi sampel dari tahun pertama Kebijakan dan Sains untuk Kesehatan,
Pertanian, dan Komunitas Nutrisi Studi, observasional berbasis komunitas, studi panel
campuran. Di samping itu, analisis dalam pengumpulan data dilakukan lewat analisis
logistic regression. Di bawah ini merupakan 8 daftar jurnal yang di kstraksi dalam
bentuk tabel:

39
Tabel 4.
Hasil Literature Review
Nama Penulis, Tahun
No Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan Kelebihan Kekurangan
dan Judul Jurnal
1 (Resti Agustia, Untuk menganalisisDesain: Survei Analitik
Balita yang mendapat ASI Eksklusif yaitu - Peneliti menyertai - Pada prose
Nurdin Rahman, faktor risiko yang dengan pendekatan 28,6% (kelompok kasus) dan 65,1% prevalensi stunting secara penghimpunan data
Hermiyanty, 2018) berhubungan case control (kelompok kontrol). Balita yang terkena nasional ataupun peneliti mengambi
Faktor Risiko dengan kejadian penyakit infeksi yaitu 81,0% (kelompok prevalensi stunting Kota datanya dari instans
Kejadian Stunting stunting pada balita
Sampel: 84 responden kasus) dan 55,6% (kelompok kontrol). Palu terkait, namun tidak
pada Balita Usia 12- di daerah tambang yang terdiri dari 21 Adapun status imunisasi yang tidak - Hasil penelitian ada penjabaran periha
59 Bulan di Wilayah emas Poboya Kota kasus dan 63 jangkap yaitu 52,4% (kelompok kasus) dikuatkan oleh penjelasan data yang terhimpun.
Tambang Poboya, Palu. kontrol dan 22,2% (kelompok kontrol). Balita penelitian terdahulu yang - Pendahuluan tidak
Kota Palu tidak ASI eksklusif OR = 4,659 (CI 95% akhirnya hasil datanya mencakup secar
Teknik 1,583-13,708), riwayat penyakit infeksi bisa dipercaya. gamblang dan akura
Pengambilan OR = 3,400 (CI 95% 1,027-11,257) dan perihal latar belakang
Sampel: teknik status imunisasi OR = 3,850 (CI 95% masalah yang diteliti.
total sampling 1,358-10,916) menjadi faktor risiko - Rangkuman dari hasi
munculnya stunting. Oleh karenanya, wawancara yang
Alat pengumpul faktor risiko terjadinya stunting di menunjang hasi
data: wawancara antaranya pemberian ASI eksklusif, penelitian tidak
dan kuisioner riwayat penyakit infeksi dam status termuat dalam jurnal
imunisasi.
2 (Sri Mugianti, Arif
Menggambarkan faktor Desain penelitian: Faktor penyebab stunting di antaranya - Pendahuluan mencakup - Peneliti tidak
Mulyadi, Agus penyebab stunting deskriptif rendahnya asupan energi (93,5%), dengan gamblang dan menjalankan metod
Khoirul Anam, Zian pada anak stunting penyakit infeksi (80,6%), rendahnya akurat perihal latar observasi secar
Lukluin Najah, 2018) usia 25–60 bulan. Sampel: 31 responden asupan protein (45,2%), tidak ASI belakang masalah yang langsung agar bis
Faktor Penyebab Ekslusif (32,3%) dan ibu yang bekerja diteliti. mengidentifikasi
Anak Stunting Usia Teknik (29,0%). Faktor ini dipicu karena - Peneliti memberi konsumsi makanan
25-60 Bulan Pengambilan minimnya pengetahuan keluarga perihal penjelasan secara detail sebagai fakto
di Kec. Sukorejo Kota Sampel: quota gizi yang sepatutnya dipenuhi. Rendahnya perihal alasan kuat yang stunting.
Blitar sampling pendidikan ibu (48,4%) dan ayah (32,3%) memicu faktor tersebut - Peneliti belum
menyebabkan minimmya pengetahuan berisiko stunting. mengetahui sejauh
Alat pengumpul data: perihal gizi yang sebaiknya dikonsumsi, - Peneliti menerapkan mana faktor konsums
wawancara dan dibutuhkan lintas sektor dalam barometer yang sesuai makanan menjad
Nama Penulis, Tahun
No Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan Kelebihan Kekurangan
dan Judul Jurnal
mengaplikasikan penanggulangannya. Sementara itu, faktor dengan situasi tempat pemicu stunting
kuesioner dan penyebab stunting jenis kelamin laki-laki penelitian.
lembar food recall swbeaar 64,5%. Faktor BBLR, imunisasi - Peneliti mengaplikasikan
24 jam. tidak jangkap, ayah yang tidak bekerja lembar food recall 24
dan status ekonomi tidak menjadi faktor jam.
penyebab munculnya stunting anak usia
25– 60 bulan di Kec. Sukorejo.
Singkatnya, faktor munculnya stunting di
antaranya rendahnya asupan energi dan
protein, penyakit infeksi, ASI tidak
Ekslusif dan ibu yang bekerja.
3 (La Ode Alifariki, La
Untuk mengetahui
Desain penelitian:
Ibu yang tinggi badannya <150 cm berisiko - Hasil penelitian diulas - Rentang waktu
rangki, Haryati faktor resiko kuantitatif analitik melahirkan bayi stunting daripada mereka secara detail dengan penelitian tidak
Haryati, Rahmawati kejadian stunting dengan pendekatan yang tinggi badannya ≥ 150 cm. Tinggi didasarkan pada data dijabarkan dalam
Rahmawati, Sukurni pada balita usia 24- case-control badan ibu (OR= 1,169-6,066), kunjungan yabg terperoleh, jurnal
Sukurni, dan Wa Ode 59 bulan. pemeriksaan kehamilan/antenatal care penjelasannya didasari - Peneliti tidak member
Salma, 2020) Risk Sampel: 108 responden (ANC) (OR= 0,858-5,642), Riwayat ASI asumsi peneliti yang penjelasan sejauh
Factors of Stunting yang mencakup 36 ekslusif (OR= 1,327-7,389), dan ditunjang dengan mana pendapatan yang
in Children Age 24- sampel kasus dan Pendapatan keluarga (OR= 0,918-4,762) penjabara penelitian paling menjad
59 Months Old 72 sampel kontrol ada keterkaitannya dengan faktor pemicu terdahulu yang akhirnya penentu mutu dan
stunting pada balita. Tinggi badan ibu hasil datanya bisa jumlah makanan.
Teknik pengaruhnya dominan pada stunting balita dipercaya.
Pengambilan dengan Exp= 0.386. Singkatnya, faktor - Alasan mengapa
Sampel: purposive risiko stunting di Puskesmas Puuwatu fenomena kesehatan
sampling yang Kota Kendari yaitu tinggi badan ibu terjadi diselami peneliti
penghitungannya dengan nilai Exp = 0,386. lewat tampilan data yang
lewa rumus akurat.
Lemeshow - Peneliti menjalankan
penelitiannya dengan
Alat pengumpul data: terjun langsung ke
kuisioner. lapangan tanpa diasisteni
orang lain agar hasil yang
Nama Penulis, Tahun
No Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan Kelebihan Kekurangan
dan Judul Jurnal
didapatkannya terhindar
dari bias.
4 (Apri Sulistianingsih dan
Untuk Desain penelitian:
Balita dengan riwayat BBLR (OR=12,30; - Proses penelitian - Peneliti tidak begitu
Rita Sari, 2018) ASImenganalisis pengaruh observasional CI 95%:3,663-41,299) dan riwayat ASI didahului dengan berkemampuan
eksklusif dan Berat faktor ASI
analitik dengan eksklusif (OR=0,122; CI 0,075-0,199) menyurvei catatan balita memaparkan secar
Lahir Berpengaruh eksklusif dan berat pendekatan cross- berhubungan signifikan dengan kejadian di puskesmas dan desa. akurat hubungan
Terhadap Stunting lahir terhadap sectional stunting pada balita 2-5 tahun. Di samping - Ada kejelasan dalam riwayat ASI eksklusi
pada kejadian stunting itu, hasil analisis multivariatnya yaitu proses pengumpulan data dan BBLR dengan
Balita 2-5 Tahun di pada balita 2-5 Sampel: 385 responden riwayat ASI eksklusif di mana nilainya termasuk analisisnya terjadinya stunting.
Kabupaten tahun di OR=0,108 (CI 95%:0,065-0,180) dan sebagaimana prosedur - Penelitian ini tidak
Pesawaran Kabupaten Pesawaran.Teknik Pengambilan berat lahir dengan nilai OR=17,063 (CI yang akhirnya datanya menganalisis fakto
Sampel: 95%: 4,892-59,511). Oleh karenanya, pun akurat. sosiodemografi yang
proportional balita yang mendapat ASI eksklusif - Proses pengambilan melatarbelakangi
cluster sampling berisiko 9,3 kali lebih rendah untuk datanya dijalankan oleh munculnya kasu
dengan rumus uji terkena stunting daripada balita yang tidak peneliti dan enumerator. stunting.
beda dua mendapat ASI eksklusif, atau ASI - Peneliti menggali data - Peneliti pun tidak
proporsi eksklusif memberi efek proteksi pada yang ada keterkaitannya mengeksplorasi pol
munculnya stunting balita. Kebalikannya, dengan BBLR lewat makan yang menjad
Alat pengumpul data: pada berat bayi lahir, didapati bahwa riwayat kelahiran dalam faktor langsung
pengukuran tinggi balita dengan riwayat BBLR berisiko buku KIA. pemicu stunting.
badan dan 17,063 kali lebih tinggi terkena stunting
wawancara. daripada balita dengan riwayat berat lahir
normal.
5 Bunga Astria
Mengetahui hubungan Desain penelitian:
Keanekaragaman makanan yang buruk - Penelitian ini - Penelitian ini tidak
Paramashanti, Yhona antara observasional berhubungan signifikan (OR=16,76; berkontribusi dalam dapat memberikan
Paratmanitya dan keanekaragaman analitik dengan 95%CI: 6,77-41,51) dengan kejadian pengisian kesenjangan hubungan sebab akiba
Marsiswati (2017) makanan individu pendekatan cross- stunting. Faktor lainnya yaitu rendahnya dalam masalah stunting antara dua variabel.
Individual dietary dan stunting pada sectional berat badan lahir (OR=5,12; 95%CI: 2,11- yang ada keterkaitannya - Data konsums
diversity is strongly bayi dan anak-anak 12,43). Di samping itu, waktu pemberian dengan mutu makanan makanan diperoleh 24
associated with di Kec. Sedayu, Sampel: 185 responden MP-ASI yang tepat menjadi faktor pendamping. Hal ini jam dari recall food
stunting in infants Kab. Bantul, protektif (OR=0,32; 95%CI: 0,13-0,75) memunculkan perspektif sehingga tidak
and young children Yogyakarta, Teknik munculnya stunting. Status ekonomi baru bagaimana mencerminkan
Nama Penulis, Tahun
No Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan Kelebihan Kekurangan
dan Judul Jurnal
Indonesia. Pengambilan rumah tangga menjadi effect modifier dan keragaman diet individu kebiasaan subjek
Sampel: faktor pengganggu di antara hubungan memengaruhi stunting. makan.
probability keanekaragaman makanan dan stunting. - Pendahuluan mencakup
proportional to sizeOleh karenanya, faktor risiko stunting di dengan gamblang dan
antaranya buruknya keanekaragaman akurat perihal latar
Alat pengumpul data: makanan, rendahnya berat badan lahir, belakang masalah
kuisioner dan dan waktu pemberian MP-ASI. Sementara penelitian.
wawancara. status ekonomi rumah tangga bukanlah - Peneliti menjalankan
aktor pemicu stunting pada anak. penelitiannya dengan
terjun langsung ke
lapangan tanpa diasisteni
orang lain agar bias bisa
dihindari.
6 Endah Mayang Sari, Menganalisis Desain penelitian:
Asupan protein, kalsium dan fosfor signifikan - Pengumpulan datanya - Peneliti tidak
et. all (2016) asupan protein, observasional lebih rendah pada anak stunting daripada dijalankan oleh tiga membero penjabaran
Asupan Protein, Kalsium kalsium, dan fosfor analitik dengan anak tidak stunting (p<0,05). Prevalensi enumerator lulusan DIII sejauh mana asupan
dan Fosfor pada pada anak stunting rancangan cross stunting pada kelompok asupan protein gizi yang sudah protein, kalsium dan
Anak Stunting dan dan tidak stunting sectional rendah, lebih besar 1,87 kali daripada berpengalaman. Akhirnya fosfor yang paling
Tidak Stunting Usia usia 24-59 bulan di kelompok asupan protein cukup. Begitu data yang terperoleh menjadi penentu mutu
24-59 Bulan Pontianak. Sampel: 90 responden pula pada asupan kalsium dan fosfor, akurat, andal, dan valid. dan jumlah makanan.
prevalensi stunting pada kelompok asupan - Data konsumsi makan - Limitasi penelitian
Teknik kalsium rendah, lebih besar 3,625 kali terperoleh lewat metode yang tidak mempunya
Pengambilan daripada kelompok asupan kalsium food recall 1 x 24 jam ketidakmampuan
Sampel: cukup, dan prevalensi stunting pada sebanyak enam kali dalam menetapkan
simple random kelompok asupan fosfor rendah, lebih dalam tiga minggu secara hubungan sebab akiba
sampling besar 2,29 kali daripada kelompok asupan tidak beruntun, yang pada variabe
fosfor cukup. akhirnya datanya tidak penelitiannya.
Alat pengumpul data: bias.
kuisioner.
7 Ty Beal, et.all (2019)Untuk Desain penelitian: cross
Pada anak-anak yang umurnya 6-23 bulan, - Variabelnya terseleksi - Banyak faktor penentu
Child stunting is meningkatkan sectional faktor pemicu stunting yaitu usia anak dari kerangka kerja yang tertera pad
associated with pemahaman tentang (RR: 2.49; 95%, CI : 2.26; 2.73), tinggi konseptual yang ketat, kerangka kerj
Nama Penulis, Tahun
No Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan Kelebihan Kekurangan
dan Judul Jurnal
child, maternal, and faktor-faktor Sampel: 85.932
ibu <145 cm dibandingkan dengan ≥150 yakni lewat pendekatan konseptual yang tidak
environmental penentu stunting responden cm (RR: 2.04; 95%, CI: 1,85; 2,26), posisi pemilihan model statistik ada dalam hasi
factors in Vietnam pada anak di tempat tinggal di timur dengan tenggara yang kekinian dan pemerolehan data.
Vietnam secara Teknik (RR: 2.01; 95%, CI: 1.69; 2.39), ibu yang berdasar teori yang kuat - Walaupun variabelny
nasional. Pengambilan tidak berpendidikan dengan ibu yang untuk menjadi penentu terseleksi dar
Sampel:cluster berpendidikan (RR: 1.77; 95%, CI: 1,44; stunting di Vietnam. kerangka kerj
random sampling 2.16), dan berat lahir bayi <2.500 g (RR: - Analisis bertingkat yang konseptual yang kuat
1.75; 95%, CI: 1.55; 1.98). Sementara didasarkan pasa wilayah tidak ditdapat
Alat pengumpul data: untuk anak-anak yang umurnya 24-59 penelitian memunculkan kepastian arah
kuesioner bulan, faktor pemicu stunting bukan pengetahuan perihal cara hubungan anta
perihal ibu yang tidak beperndidikan penyesuaian intervensi variabel, dan
dengan ibu yang berpendidikan (RR: 2.07; secara geografis menjadi kemungkinannya, ad
95%, CI: 1.79; 2.40), posisi tempat tinggal yang terefektif. faktor krusial lain
di timur dengan tenggara (RR: 1.94; 95%, - Analisisnya yaitu lewat yang dihapuskan pad
CI: 1.74; 2.16), dan tinggi ibu <145 cm responden yang analisis.
dibandingkan dengan ≥150 cm (RR: 1.81; didasarkan pada usianya. - Bobot sampel tidak
95%, CI: 1.69; 1.94). Singkatnya, faktor Akhirnya, penelitian ini ada di tingkat desa
pemicu stunting di antaranya tinggi ibu, pun membandingkan yang akhirny
posisi tempat tinggal dan pendidikan ibu. determinan antara anak perbedaan dalam
yang lebih muda dan ukuran populasi anta
yang lebih tua. desa tidak terefleks
dalam pembobotan.

8 Jamie L. Dorsey, Untuk mengidentifikasi Desain penelitian:


Faktor dari ibu, yaitu: tinggi badan ibu dan - Peneliti efektif dalam - Limitasi penelitian
et.all (2017) faktor yang terkait cross-sectional pendidikan ibu menjadi faktor risiko memakai waktu yang tidak mempunya
Individual, household, dengan munculnya stunting, di mana rasio odds penelitian, yakni dalam ketidakmampuan
and community levelrisiko stunting pada Sampel: 4.853 (AOR)= 2,52, 95% CI [1,96, 3,25], sebulan mendapat ribuan dalam menetapkan
risk factors of anak-anak di bawah responden pendek (<145 cm) dibandingkan ibu yang responden. hubungan sebab akiba
stunting in children 5 tahun tidak pendek; AOR = 2.09, 95% CI [1,48, - Data yang menunjang pada penelitiannya.
younger than 5 Teknik 2.96] daripada ibu yang tidak temuan penelitian ini ada - Tidak semua dat
years: Findings from Pengambilan berpendidikan lulusan sekolah menengah. dan bisa terakses penuh merefleksikan titik
a Sampel:representat Pengeluaran dalam rumah tangga dan yang akhirnya datanya waktu etiologis yang
Nama Penulis, Tahun
No Tujuan Penelitian Metode Penelitian Hasil dan Kesimpulan Kelebihan Kekurangan
dan Judul Jurnal
national surveillance ive random infrastruktur masyarakat (jalan beraspal, akurat dan andal. ada relevansiny
system in Nepal sampling pasar, atau RS). - Pengumpulan datanya dengan stunting.
berbanding terbalik dengan peningkatan memanfaatkan enam - Beberapa faktor risiko
Alat pengumpul data: risiko stunting, dimana AOR = 1,68, 95% peneliti yang akhirnya stunting lainnya secar
kuesioner CI [1,27, 2,24], terendah versus kuintil tervalidasi. total diidentifikasi
pengeluaran rumah tangga tertinggi; contohnya kemiskinan
AOR = 2.38, 95% CI [1.36, 4.14], kurang dan infrastruktu
berkembang (jalan kurang beraspal, masyarakat yang ad
pasar, atau rumah sakit) versus komunitas batasannya, termasuk
yang lebih maju. Singkatnya, faktor efek intergenerasiona
pemicu stunting di antaranya tinggi badan dari kekurangan giz
ibu dan pendidikannya. ibu tidak cepat bis
dimodifikasi.
46

B. Pembahasan
Penetapan kriteria yang ketat pada metode betul-betul memengaruhi jumlah
jurnal yang didapat. Penetapan jurnal yang diambil mulanya sebatas jurnal yang
mengaplikasikan metode penelitian analitik observasional dengan pendekatan cross-
sectional dan survey Analitik dengan pendekatan case control dengan rentang tahun
2015-2019. Setelah ditinjau bahwa jumlah jurnal yang didapatkan terlalu banyak,
kriteria pengambilan jurnal selanjutnya dinaikkan. Jurnal dengan metode penelitian
penelitian deskriptif dan tahun penelitian dinaikkan dari tahun 2016-2020 akhirnya
dimasukkan selama tetap terkait dengan faktor yang menjadi resiko balita terkena
stunting. Setelah menaikkan kriteria berupa metode penelitian dan tahun terbit jurnal,
akhirnya jurnal yang didapatkan berjumlah 8jurnal.
Penelitian Agustia, et.al. (2018) mengindikasikan, pemberian ASI tidak
eksklusif, riwayat penyakit infeksi dan status imunisasi yang tidak lengkap menjadi
faktor risiko terjadinya stunting. ASI Eksklusif ialah ASI yang diberikan pada bayi
yang usianya 0-6 bulan tanpa ditambahkan apa-apa meskipun sekadar air dan betul-
betul sebatas ASI. Penyebabnya yaitu ukuran lambung bayi masih begitu kecil dan
ASI pun sudah bisa mencukupi gizi yang bayi butuhkan dengan sempurna. Hasil
penelitian ini mengindikasikan, ASI eksklusif menjadi faktor risiko terjadinya
stunting. Uji statistik pun mengindikasikan QR sebanyak 4,659. Hal ini menandakan
bahwa balita yang tidak mendapat ASI eksklusif berisiko 4,659 kali lebih tinggi
terkena stunting daripada balita yang mendapat ASi eksklusif.
Hal ini senada dengan penelitian Sulistianingsih dan Sari (2018) yang
memaparkan bahwa balita dengan riwayat ASI eksklusif berhubungan signifikan
dengan kejadian stunting (p<0,001; OR=0,122; CI 95%: 0,075- 0,199). Hasil riwayat
ASI eksklusif dengan nilai OR=0,108 (CI 95%: 0,065- 0,180) menandakan, balita
dengan riwayat ASI eksklusif bisa menguruangi risiko stunting hingga 9,3 kali lebih
rendah daripada mereka yang tidak mendapat ASI. ASI eksklusif yang diberikan bisa
menjauhkan dari stunting. Sayangnya, pada jangka pendek, ASI eksklusif memberi
proteksi pada infeksi diare dan pernapasan yang sudah terbukti bahwa infeksi yang
kejadiannya berangsur-angsur tanpa henti bisa memicu stunting. Pada jangka panjang,
ASI eksklusif memproteksi balita dari penyakit tidak menular contohnya diabetes,
tekanan darah, dan kolesterol termasuk obesitas.
47

Hal tersebut pun selaras dengan penelitian La Ode Alifariki, et.al (2020) dan
Mugianti, et. al (2018). ASI eksklusif sifatnya krusial dalam pencegahan stunting dan
obesitas pada anak-anak di mana hasil riwayat ASI eksklusif dengan OR= 1,327-7,389
memengaruhi kejadian stunting pada balita yabg usianya 24-59 bulan (La Ode
Alifariki, et. al., 2020). Mugianti, et. al. (2018) menuturkan, ASI Ekslusif ialah ASI
yang diberikan pada bayi yang baru dilahirkan hingga usianya 6 bulan. Pada
hakikatnya, ASI mempunyai kemanfaatan yakni sebagai sumber protein bermutu dan
pemerolehannya pun tidak sukar. Di samping itu, imunitas anak bisa ditingkatkan dan
bisa berefek pada status gizi anak dan bisa memulihkan sakit dalam waktu singkat,
termasuk memberi asistensi dalam kelahiran (Mugianti, et. al, 2018). Penelitian
Mugianti, et. al (2018) mengindikasikan, ASI ekslusif sifatnya esensial dalam fase
tumbuh anak agar munculnya penyakit infeksi bisa diminimalisir dan dicegah.
Perilaku ibu yang terpengaruhi oleh sebagian ibu yang pendidikannya rendah bisa
menjadi pemicu tidak diberikannya ASI ekslusif pada anak karena ketidaktahuannya
akan betapa esensialnya ASI Ekslusif.
Imunisasi penyakit infeksi ialah bagian pemicu langsung munculnya masalah
gizi, utamanya stunting. Infeksi kerap muncul dan dibarengi dengan malnutrisi.
Infeksi yang memicu malnutrisi tersebut timbul sebab manakala seseorang jatuh sakit,
gizi yang banyak diperlukan olehnya agar penyakit yang dideritanya bisa dilawan. Di
samping itu, selera makannya pun kerap hilang yang akhirnya asupaj gizinya tidak
mencukupi dan berujung pada keadaan malnutrisi pada infeksi. Hasil penelitian ini
mengindikasikan, riwayat penyakit infeksi menjadi faktor risiko stunting. Didasarkan
pada uji statistik, OR yajg terperoleh yaitu 3,400. Hal ini menandakan, balita yang
terkena penyakit infekso berisiko 3,400 kali lebih tinggi terserang stunting daripada
mereka yang tidak terkena penyakit infeksi (Agustia, et. al, 2018).
Pernyataan di atas pun dikuatkan oleh Mugianti, et. all (2018) yang memaparkan
bahwa anak stunting yang sakit selama sebulan terakhir terkena penyakit ISPA dan 2
anak terserang diare. Didasarkan pada hasil tabulasi silang, didapati hampir semua
anak stunting yakni 92% (23 anak) dan hampir separuhnya yakni 48% (12 anak)
terkena sakit infeksi dengan rendahnya asupan protein.
Menurut Agustia, et. al (2018), imunisasi ialah upaya yang ditujukan agar
kekebalan terhadap penyakit pada bayi bisa ditingkatkan yakni lewat suntikan.
Imunisasi sepatutnya diberikan lada bayi dan anak SD/sederajat. Hasi penelitian ini
48

mengindikasikan, imunisasi menjadi faktor risiko terjadinya stunting. Didasarkan


pada uji statistik, OR yang terperoleh yaitu 3,850. Hal ini menandakan, balita yang
tidak mendapat imunisasi dasar lengkap berisiko 3,850 kali lebih tinggi terkena
stunting daripada mereka yang mendapat imunisasi dasar lengkap.
Hasil penelitian yang tidak senada didapati pada penelitian Mugianti, et. al
(2018) yang mengindikasikan adanya hubungan signifikan antara status imunisasi
dasar dan kejadian stunting. Anak yang tidak mendapat imunisasi dasar yang lengkap
tidak seketika terkena penyakit infeksi. Yang memengaruhi imunitas mereka ialah
faktor lainnya yakni status gizi dan patogen. Anak yang tidak diberi imunisasi dasar
tidak lengkap posisinya ada di tataran pendidikan dan pendapatan yang tinggi. Hal ini
memberi peluang bagi anak dalam mendapat pola asuh yang baik dan kebutuhan
nuriennya pun dipenuhi yang akhirnya status gizinya terbilang bagus.
Pada tiap-tiap jenis malnutrisi, didapati bahwa proporsi anak yang tidak
terimunisasi melebihi mereka yang terimunisasi. Hasil penelitian mengindikasikan,
tiap anak stunting 100% (31 anak) yang dijadikan responden di Kec. Sukorejo sudah
terimunisasi lengkap. Oleh karenanya, tidak ada hubungan yang bermakna antara
status imunisasi dan stunting (Mugianti, et. al, 2018).
Asupan energi pun menjadi menjadi faktor risiko stunting. Hal ini dikuatkan
Mugianti, et. al (2018), yakni asupan energi ialah bagian alternatif dalam penilaian apa
yang anak konsumsi. Hasil tabulasi silang asupan energi dengan pengetahuan ibu
perihal stunting mengindikasikan, hampir semua 89,7% (26 anak stunting) mempunyai
asupan energi rendah dengan ibu yang tidak tahu-menahu akan stunting. Di samping
itu, hasil tabulasi silang antara asupan energi dengan penyakit infeksi mendapati
mayoritas 79,3% (23 anak stunting) berasupan energi rendah dan terkena sakit infeksi
dalam sebulan terakhir.
Penelitian Sulistianingsih dan Sari (2018) serta Bunga (2017) menyebutkan,
BBLR ialah faktor yang memengaruhi stunting pada balita. Bunga (2017) menuturkan,
rendahnya berat badan lahir secara signifikan ada keterkaitannya dengan stunting.
Bayi dan anak yang mempunyai riwayat berat badan lahir rendah (di bawah 2500 g)
berisiko terkena stunting 5,12 kali lebih tinggi daripada mereka yang berat badannya
normal. Ibu yang tubuhnya pendek dan status gizinya tidak ditingkatkan bisa berujung
pada tidak memadainya gizi yang mereka miliki di masa kehamilannya. Akhirnya, di
kala bayinya dilahirkan, berat badan bayo menjadi rendah. Bayi yang berat lahirnya
49

rendah dan tidak berhasil dalam fase pertumbuhannya selama 2 tahun ertama
kehidupannya akan berisiko stunting yang lebih tinggi.
BBLR dijadikan penentu kunci terjadinya stunting. Retardasi pertumbuhan dini
dan kurang optimalnya perkembangan kognitif, termasuk terhalangnya pertumbuhan
organ internal bisa memicu rendahnya kemampuan kognitif dan risiko penyakit kronis
pun bisa muncul suatu ketika. BBLR pun mengakibatkan komplikasi pada masa lahir
yang bisa menghambar tumbuh kembang yang akhirnya memunculkan stunting. Bayi
dengan BBLR (OR= 3,663-41,299 P= <0,001) bisa mendapati terganggunya
pertumbuhannya di awal kehidupannya (Sulistianingsih dan Sari, 2018).
Namun hal tersebut tidak selaras dengan penelitian Mugianti, et. al (2018). Uji
statistik chi-square mengindkasikan, BBLR bukanlah faktor risiko kejadian stunting
(p=1,000; OR=1,288; CI=0,318 – 5,219). Tidak adanya hubungan antara BBLR dan
stunting pun diakibatkan oleh efek berat lahir pada stunting yakni pada usia 6 bulan
awal lalu turun hingga usia 2 tahun.
Ty Beal, et. al (2019) mengutarakan, ada hubungan bermakna antara tingkat
pendidikan ibu dan stunting (RR: 2.04; 95%, CI: 1,85; 2,26). Bila dibandingkan
dengan anak-anak dari ibu yang pendidikannya sarjana, para ibu yang tingkat
sekolahnya di bawah sarjana berisiko lebih besar mempunyai anak stunting, dan
risikonya kian naik dengan turunnya tataran pendidikan mereka. Risiko stunting pada
anak yang ibubya tidak berpendidikan yaitu dua kali lipat dari mereka yang ibunya
berpendidkan sarjana.
Namun hal ini tidak senada dengan La Ode Alifariki, et. all (2020), yakni pada
karakteristik tingkat pendidikan, bisa dicermati umumnya ibu yang mempunyai balita
stunting yang berkategori kelompok kasus ataupun kontrol, didominasi mereka yang
pendidikannya yaitu sekolah menengah. Pendidikan ibu sendiri menjadi hap mendasar
yang bisa membantunya dalam mendapat gizi yang baik bagi anaknya. Bila tingkat
pendidikannya tinggi, maka ibu bisa lebih gampang dalam mencerna informasi
daripada mereka yang berpendidkan rendah. Namun, ibu yang pendidikannya rendah
tidak selamanya mempunyao anak yang terkena stunting. Begitu pun ibu yang tingkat
pendidikannya berkategori tinggi masih berpeluang mendapati balita stunting yakni
16,7%. Pendidikan ibu pada penelitian ini tidak menjadi faktor risiko, sebab tidak
semua ibu yang pendidikannya rendah mempunyai balita stunting. Kebalikannya, ibu
50

yang pendidikannya tinggi tidak selalu mempunyai balita yang status gizinya
tergolong normal.
La Ode Alifariki, et. al (2020) menuturkan, tingkat pendapatan keluarga atau
status ekonomi keluarga berhubungan yang bermakna dengan stunting (OR= 2,1;
0,918-4,762), yakni keluarga yang pendapatannya rendah (< Rp.2.177.052) berisiko
2,1 mempunyai balita stunting daripada mereka yang pendapatannya tinggi. Balita
yang hidupnya bersama keluarga yang pendapatannya rendah lebih berisiko terkena
stunting. Pendapatan keluarga bisa menjadi penentubdaya beli pada pangan dan
fasilitas lain contohnya pendidikan, perumahan, kesehatan, dll yang bisa memengaruhi
status gizi. Minimnya pendapatan keluargq, mutu dan jumlah pangan yang terbeli pun
akan rendah yang akhirnya gizi tidak terpenuhi.
Akan tetapi hal berbeda justru dijelaskan oleh Bunga Astria Paramashanti, et. all
(2017) walaupun status ekonomi rumah tangga, baik berdasarkan pendapatan maupun
pengeluaran, tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan pengerdilan dalam
analisis bivariat dan multivariat, hasil dari analisis stratifikasi menunjukkan tren unik
antara tingkat ekonomi ekonomi (berdasarkan pengeluaran). Kami stratifikasi
hubungan antara keragaman makanan dan stunting berdasarkan status ekonomi. Setiap
tingkat status ekonomi rumah tangga memberikan rasio ganjil yang sangat berbeda
yang menunjukkan bahwa ada variasi dalam hubungan antara keanekaragaman
makanan individu dan stunting di antara tingkat status ekonomi.
Mugianti, et. al (2018) memaparkan, terdapat hubungan signifikan antara
konsumsi protein dan stunting pada balita. Pada hasil tabulasi silang mengenai anak
yang terkena sakit infeksi dan asupan proteinnya rendah, didapati hampir setengah
48% (12 anak) terkena sakit infeksi. Oleh karenanya, asupan protein menjadi hal
esensial sebab protein tidak sekadar mengalami penambahan, namun juga habis
digunakan, yang akhirnya masa sel tubuh menjadi turun dan memunculkan hambatan
pada pertumbuhan. Rendahnya asupan protein bisa terpengaruhi oleh penyakit infeksi
yang menyerang anak stunting dan berakibat pada menurunnya selera makan yang
akhirnya anak tidak begitu mengonsumsi makanan. Hal ini pun dikuatkan penelitian
Endah Mayang Sari, et. al (2016) yakni konsumsi protein dari protein hewani pada
anak stunting signifikan lebih rendah daripada anak tidak stunting, di mana rerata
konsumsinya yaitu 28,31 g/hari pada anak stunting dan 39,31 g/hari pada anak tidak
51

stunting. Kebiasaan anak mengonsumsi susu berkontribusi pada bertambahnya protein


pada anak stunting yakni 7,67 g/hari dan pada anak tidak stunting sebesar 16,73 g/hari.
Penelitian Bunga Astria Paramashanti, et. al (2017) mengindikasikan, ada
hubungan signifikan antara pola makan dan stunting pada balita, di maba buruknya
keanekaragaman makanan berhubungan signifikan (OR=16,76; 95%CI: 6,77-41,51)
dengan stunting. Keragaman makanan yaitu berkaitan dengan konsumsi sumber
makanan hewani dan buah atau sumber nabati, selain makanan pokok. Hal ini
menunjukkan asupan kalori ibu cukup memberikan nutrisi untuk bayi. Dengan
demikian, keragaman pola makan yang buruk dapat berkontribusi pada kualitas
MPASI yang lebih rendah dan asupan kalori yang tidak memadai sehingga akan
meningkatkan kemungkinan bayi dan anak kecil menjadi stunting.
Waktu pemberian MPASI pun menjadi faktor risiko terjadinya stunting pada
anak. Menurut Bunga Astria Paramashanti, et. all (2017) balita yang menerima
makanan pendamping terlalu dini (sebelum 6 bulan) atau terlambat (lebih dari 6 bulan)
memiliki 3,13 kali lebih tinggi tejadinya stunting daripada mereka yang menerima
makanan pendamping tepat waktu (pada 6 bulan). Selain memastikan kecukupan
makanan pendamping, waktu untuk memperkenalkan makanan pendamping pertama
untuk bayi juga penting dalam mengurangi stunting.
WHO menyatakan, salah satu cara yang tepat untuk memberi makanan
pendamping ASI adalah dengan memperkenalkan makanan tepat waktu. Ini berarti,
balita yang diberi makanan pendamping terlalu dini berisiko lebih tinggi terhadap
paparan kontaminasi dan kualitas asupan gizi yang lebih rendah. Selain itu,
keterlambatan pengenalan makanan pendamping akan meningkatkan kekurangan
asupan gizi karena pemberian ASI eksklusif yang berkepanjangan. Karena itu, penting
untuk menyediakan makanan pendamping yang tepat waktu, memadai dan aman untuk
balita.
Ada faktor lain yang dikemukan oleh La Ode Alifariki, et. all (2020), Ty Beal,
et. all (2019) dan Jamie L. Dorsey, et. all (2017) yaitu tinggi badan ibu. Ibu yang
berperawakan pendek beresiko lebih besar mempunyai anak yang umurnya 6–23 bulan
mengalami stunting. Postur tubuh ibu yang pendek jelas berhubungan dengan
pembatasan pertumbuhan janin dan stunting pada bayi baru lahir (Ty Beal, et. all,
2019). Selain itu tempat tinggal bisa mempengaruhi terjadinya stunting pada balita. Ini
dikarenakan kondisi alam atau wilayah akan sangat berhubungan dengan kondisi
52

selama ibu hamil dan proses kehidupan awal anak. Menurut La Ode Alifariki, et. all
(2020) faktor genetik pada ibu yaitu tinggi badan memengaruhi stunting pada anak
balita. Orangtua yang pendek dikarenakan adanya gen pembawa sifat pendek yang
mempunyai kemungkinan mempunyai anak stunting. Sementara itu, La Ode Alifariki,
et. all (2020) dalam penelitiannya mengutarakan, faktor risiko stunting yaitu pekerjaan
orang tua dan kunjungan pemeriksaan kehamilan/antenatal care (ANC).
Jurnal mengenai faktor-faktor pemicu stunting pada balita yang terpublikasi
begitu banyak, tetapi hanya beberapa jurnal dimana evidence yang terperoleh dari
jurnal sudah cukup kuat sebab jurnal yang ditampilkan ialah jurnal yang
dipublikasikan dari literature yang baik, resmi dan sudah diterpakan peer review
sebelum publikasinya. Kualitas dan bukti yang dipublikasi pada jurnal sudah
mencukupi, hanya saja masih dibutuhkan penelitian lanjutan dengan sampel manusia
lebih banyak agar faktor-faktor pemicu stunting pada balita di dunia bisa dibuktikan,
utamanya di Indonesia. Untuk uji alat pengumpulan data pada sampel sudah kuat
karena desain yang diaplikasikan sangat baik dan dilakukan penentuan kriteria dan
prosedur penelitian yang runtut. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada sampel lebih
banyak pada Negara yang berbeda dengan karakter budaya yang berbeda. Pemilihan
lokasi penelitian memiliki peran penting karena terdapat ragam perbedaan, mulai dari
adat, kebiasaan hingga kepercayaan dimana akan begitu perlu menjadi perhatian agar
kita dapat lebih mengetahui sebenarnya bagaimana stunting pada balita di zaman dan
kondisi dunia saat ini.
53
54

Anda mungkin juga menyukai