Anda di halaman 1dari 69

PONDOK PESANTREN NURUL JADID: USAHA

MENGEMBANGKAN EKONOMI MASYARAKAT MELALUI


PESANTREN TAHUN 1950-1996

Oleh:

FARHAN NURUZZAMAN
NIM 121711433097

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2020
DAFTAR ISI
Daftar Isi......................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN............................................................4
1.1 Latar Belakang........................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...................................................................9
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian...............................................9
1.4 Batas dan Ruang Lingkup......................................................10
1.5 Kerangka Konsep...................................................................11
1.6 Tinjauan Pustaka....................................................................18
1.7 Metode Penelitian...................................................................21
1.8 Sistematika Penulisan.............................................................22

BAB II PROFIL PONDOK PESANTREN NURUL JADID DALAM

PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT

SEKITAR .......................................................................................................24

2.1 Kondisi Desa Karanganyar Pada Waktu Kedatangan KH.Zaini

Mun’im..........................................................................................24

2.2 Sejarah Pondok Pesantren Nurul Jadid....................................27

2.3 Kiprah Awal dalam Pengembangan Masyarakat.....................30

2.4 Pesantren-Pesantren Sekitar Nurul Jadid.................................32

2.5 Program Pengembangan Masyarakat dan Struktur Pondok Pesantren

Nurul Jadid....................................................................................33

BAB III PROGRAM DAN AKSI PENGEMBANGAN EKONOMI

MASYARAKAT MELALUI PONDOK PESANTREN NURUL JADID

TAHUN 1950-1996.....................................................................36

3.1 Fase Pertama.........................................................................36

2
3.2 Fase Kedua............................................................................38

3.3 Program Pendidikan dan Pengembangan Masyarakat Pondok Pesantren Nurul

Jadid dari masa ke masa............................................................42

3.4 Cikal Bakal (1950-1976)......................................................42

3.5 Periode Pembinaan dan Penataan (1976-1984)....................46

3.6 Periode Pengembangan.........................................................47

3.7 Hubungan Timbal Balik dan Partisipasi Masyarakat............50

3.8 Potret Hubungan Dengan Pemerintah...................................55

BAB IV PENUTUP……………………………………………60

4.1 Kesimpulan............................................................................60

DAFTAR PUSTAKA.................................................................61

LAMPIRAN.............................................................................. 65

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pesantren atau pondok pesantren merupakan Lembaga Pendidikan


keagamaan Islam berbasis masyarakat yang menyelenggarakan Pendidikan
diniyah atau secara terpadu dengan jenis Pendidikan lainnya. Zamakhasyari
Dhofier1 menyatakan bahwa sekurang-kurangnya ada lima unsur untuk
dinyatakan sebagai pondok pesantren, yaitu unsur Kiai, Santri, Asrama,
Masjid, dan pengajian kitab. Kelima unsur ini dinyatakan cikal bakal
keberadaan pondok pesantren. Dalam beberapa sumber dinyatakan bahwa
pondok pesantren mengambil bentuk yang terinspirasi oleh kehidupan para
empu di zaman Kerajaan Majapahit yang mengajar para murid-muridnya pada
suatu lokasi padepokan, kemiripan bentuk, lokasi dan dasar-dasar hidup yang
asketik atau sufistik. Pondok Pesantren tumbuh dan berkembang bersama
masyarakatnya, bahkan dapat berperan menjadi vokal poin bagi masyarakat
sekitarnya karena itu relasi pondok pesantren dengan kehidupan masyarakat
sekitarnya menarik untuk diamati sebagai upaya menemukan potensi pada
pondok pesantren dan masyarakat itu sendiri.

pondok pesantren yang semula sangat sederhana terus berkembang


menjadi suatu intitas yang melengkapi dirinya dengan aspek-aspek
management yang mengatur hubungan tugas dan fungsi antar unsure dalam
pondok pesantren. Selain itu, dari pengajaran kitab kuning (klasik)
berkembang menjadi unit-unit pendidikan klasikal dari pendidikan dasar
hingga perguruan tinggi. Perkembangan ini selain dimaksudkan sebagai
respon atas dinamika masyarakat dibidang pendidikan. Relasi pondok
pesantren dan sekitarnya tidak hanya mendorong berkembangnya sektor
pendidikan di pondok pesantren melainkan juga pada sektor usaha-usaha
ekonomi masyarakat, bahkan pondok pesantren tampil sebagai inisiator untuk
1
Zamakhasyri Dhoefier, Tradisi Pesantren. (Jakarta: LP3Es,1984). hlm 5

4
mengambil peran menghubungkan potensi masyarakat dengan pihak-pihak
luar baik sisi pemodalan, pengengolaan maupun pemasaran. Lembaga luar
yang pernah bekerja sama dengan Pondok Pesantren Nurul Jadid adalah
lembaga penelitian pendidikan dan penerangan ekonomi dan sosial (LP3ES) di
Jakarta. kerja sama ini diawali dengan latihan kader pengembangan
masyarakat selama tiga bulan. Perlatihan memberikan wawasan tentang
potensi Pesantren dan potensi masyarakat yang bersinergis untuk
mengembangkan ekonomi masyarakat yang bersamaan juga dengan
pengembangan kehidupan kultural antara pondok pesantren dan masyarakat.2

Keberadaan pondok pesantren dengan kiainya telah berlangsung lama


dijadikan sebagai rujukan oleh masyarakat sekitarnya, mulai dari kehidupan
keluarga, pendidikan, karier dan usaha ekonomi senantiasa menjadikan
pondok pesantren dan kiai sebagai tempat konsultassi, pengaduan berbagai
masalah masyarakat. Inilah yang menjadi kekuatan pondok pesantren untuk
dijadikan instrument bagi pengembangan masyarakat sekitarnya. Hubungan
relasioanal ini yang semula hanya bersifat keagamaan berkembang menjadi
hubungan relasional yang dapat diberikan muatan berbagai program
peningkatan taraf hidup ekonomi masyarakat yang diselengarakan melalui
kelompo-kelompok keagamaan seperti kelompok sholawat, kelompok
yasinan, tahlilan dan sebagainya. Melalui kelompok- kelompo inilah dibantu
dengan peran pondok pesantren ikhtiar pengembangan masyarakat dilakukan.

Karel A. Steenbrink, Nur Cholish Madjid, Abdurahman Wahid, Martin


Van Bruinessen, Mitsuou Nakamura dan lain-lain memberikan gambaran
keberadaan, posisi dan pengaruh pondok pesantren dalam memainkan peran
dalam pengembangan kehidupan masyarakat. Hubungan pondok pesantren
dan masyarakat bersifat unik selain karena kekhasan yang ditimbulkan
pertautan hubungan keagamaan yang menimbulkan perasaan batin dan dalam
anatara keduanya, jika ditelusuri mempunyai kandungan kekuatan hubungan
yang tidak dimiliki oleh bentuk relasi pada umunya. Di Pondok Pesantren
2
Dim Syamsudin, Etika Agama dalam Membangun Masyarrakat Madani. (Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 2000). Hlm 24

5
Nurul Jadid sendiri, pendirinya Kh. Zaini Mun’im pada mulanya tidaklah
tampil sebagai sosok seorang kiai melainkan seorang petani dan kemudian
merintis tanaman tembakau yang dibawanya dari Madura yang di perkenalkan
pada masyarakat Paiton dan sekitarnya. Ketika itu, masyarakat Paiton masih
belum mengenal jenis tanaman tembakau. Bahkan Zaini yang diknal sebagai
pejuang kemerdekaan di Madura yang kemudian mengungsi ke Desa
Karanganyar Paiton kemudian di tahan oleh Pemerintahan Belanda dengan
tuduhan menimbun tembakau. Inilah awal mula bahwa pendiri Pondok
Pesantren Nurul Jadid adalah perintis usaha- usaha pertanian dan ekonomi
pertanian dan usaha masyarakat. Karena itu pengembangan masyarakat
melalui pesantren di Pondok Pesantren Nurul Jadid mempunyai basis
kesejarahan sebagai nafas untuk mendorong bahwa pengembanagan
masyarakat terintegrasi kedalam program internal Pesantren. Dalam struktur
dan tata laksana tugas di pondok pesantren,3 di bawah pengasuh terdiri dari
biro-biro salah satu biro mengembang tugas pengembangan Pesantren dan
masyarakat ini struktur tertinggi di bawah pengasuh yang menunjukkan
keseriusan pondok pesantren memberikan perhatian kepada tugas-tugas
pengembangan masyarakat.

Dalam menjalankan tugas biro pengembangan pesantren dan


masyarakat Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo melibatkan
pondok-pondok pesantren lainya di beberapa kecamatan sekitar, selain
memperkuat jaringan juga untuk mengembangkan isu-isu pengembangan
masyarakat melalui Pesantren agar menjadi bagian tak terpisahkan dari
pondok pesantren lainya.4

Kaum santri tidak hanya dibekali keterampilan mengajar tetapi juga


diikuti juga dengan kemampuan pendampingan sektor usaha masyarakat serta
memperkuat jalinan budaya yang menjadi akar dari berbagai peradigma yang
terjadi di masyarakat. Biro Pengembangan Pesantren dan masyarakat juga
menyengarakan pelatihan kader-kader dinamis yang dalam pelatihanya
3
M Dawam Raharjo (Ed). Pesantren dan Pembaharuan, (Jakarta: LP3Es,1974). Hlm 9
4
Ibid, hlm 13

6
memuat cara-cara pendampingan mulai dai pemodalan, produksi dan
pemasaran serta diskursus tentang orentasi pengembangan masyarakat
Madani. Umumnya pondok pesantren hanya sebatas menyelenggarakan proses
belajar mengajar bidang agama dengan mengambil corak kehidupan sufi,
Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo melampaui fungsi itu
dengan mengambil peran pada pengembangan masyarakat melalui kegiatan
perberdayaan ekonomi kecil bertumpu pada kekuatan kebudayaan fan
keagamaan.

Pada masa orde baru, perhatian pemerintah tergolong kecil pada dunia
pondok Pesantren, terutama pada Pesantren yang afiliasi politiknya tidak sama
dengan pemerintah orde baru hampir tak mungkin dapat bantuan, Pondok
Pesantren Nurul Jadid termasuk Pesantren yang pilihan politiknya tidak sama
dengan pemerintah orde baru, di tengah-tengah sepinya perhatian pemerintah,
Pesantren ini mengambil terobosan untuk membangun hubungan dengan
beberapa Non Govermintal Organisation (NGO), seperti LP3 ES Jakarta,
Perhimpunan Pesantren dan Pengembangan Masyarakat (P3M) Jakarta, Bina
desa Jakarta. Pilihan ini tidak banyak dilakukan oleh Pesantren pada
umumnya, karena membangun kerja sama dengan organisasi yang berbeda
profilnya dengan pondok pesantren memerlukan wawasan yang luas dari kiai
dan pengurus pondok pesantren serta sikap keterbukaan dan keluwesan
pandangan.5

Dalam membangun kerja sama organisasi non pemerintah, pihak


pondok pesantren merasa terbantu terutama dalam menyusun perencanaan,
merumuskan pemikiran, membuat indentifikasi masalah dll. pengurus ondok
Pesantren terlatih menyusun action plan, terampil melakukan pendampingan
terhadap masyarakat dan membuat pendekatan yang tepat. Hal ini
sebelumnya, belum pernah dilakukan oleh pihak pondok pesantren, kecuali
focus pada mengajar dan belajar teks-teks ke ilmuan islam klasik yang
kemudian sebagai kitab kuning.
5
Mas’ud Abdurrahman. “Pesantren, Globalisasi dan Perjuangan Subaltern”, Jurnal AN-NUFUS,
Vol. 04 N0. 2, November 2005. Hlm- 3-5

7
Pengalaman pendampingan program yang diperoleh dari lembaga-
lembaga swadaya masyrakat nasional telah mendorong para santri senior
berkiprah lebih luas dari lingkungan pesantren, mereka terlibat dalam
perlatihan pengembangan masyarakat baik yang bekerja sama antar pondok
pesantren maupun dengan lembaga profesi dan organisasi masyrakat. Adapula
yang direkrut untuk membantu program pemerintah yang mehubungkan
pesantren dengan masyarakat, misalnya pemanfaatan ialah 5% BUMN dan
BUMD yang belakangan dikenal dengan corporate sosial responbility atau
tanggung jawab perusahaan. Ini gambaran baru tentang peran santri sejak di
programkanya pengembangan masyarakat melalui Pesasntren. Sebelumnya,
hanya berputar pada kegiatan belajar mengajar.

Dari sisi subsansi, pengembangan masyarakat melekat pada jati diri


pesantren, tetapi perumusan bentuk dan pendekatan serta metodologi barulah
diperoleh pada saat membangun kerja sama dengan Lembaga Pendidikan
Penelitian dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) dan Perhimpunan
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) yang lkut sertakan tenaga
akademisi dan pakar di bidangnya un tuk bersamam – sama Pondok Pesantren
Nurul Jadid Paiton Probolinggo menjalankan program pengembangan
masyarakat.6

Berjalanya program pengembangan masyarakat selain kerja sama


dengan pihak luar pesantren, juga karena sikap membuka diri pengasuh dan
pengurus Pesantren terhadap gagasan dan inovasi dari pihak luar pesantren.
Hal ini terjadi karena pemahaman yang memadai pengasuh dan pengurus
Pesantren terhadap tugas dan fungsi pondok pesantren di tengah – tengah
masyarakat. Atas dasar inilah program pengembangan masyarakat
dikembangkan melalui pendekatan untuk membuka dan membangun wawasan
antara pengurus pesantren dan simpul – simpul masyarakat lalu diikuti dengan
perumusan program, perdampingan teknis, penguatan modal usaha, rintisan
gerakan pendidikan dan sosial. Penelitian ini ditunjukkan untuk

6
Amin Haedari. Transformasi Pesantren, (Jakarta: IekDies & Media Nusantara, 2006). Hlm 10-11

8
menggambarkan tentang Pondok Pesantren Nurul Jadid dan untuk mengetahui
keberadaan Pondok Pesantren Nurul Jadid.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang di atas, Maka dirumuskanlah
masalah sebagai Berikut:
1. Bagaimana latar belakang Pondok Pesantren Nurul Jadid melakukan
pengembangan ekonomi masyarakat di sekitarnya ?
2. Bagaimana Strategi Pondok Pesantren melakukan pengembangan
ekonomi masyarakat ?
3. Bagaimana dampak program ekonomi Pondok Pesantren terhadap
preubahan ekonomi masyarakat ?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan


Dari latar belakang dan permasalahan sebagaimana tersebut di atas,
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan tentang Latar Belakang Pondok Pesantren
Nurul Jadid dalam pengembangan ekonomi masyarakat di
sekitarnya

2. Memberikan gambaran Langkah-langkah strategis Pondok


Pesantren dalam melakukan pengembangan ekonomi masyarakat

3. Mendiskripsikan dampak yang ditimbulkan oleh program ekonomi


Pondok Pesantren

Manfaat
Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat baik bersifat teoritis
maupun praktis yaitu:

a. Manfaat teoritis
1. Menambah refrensi khususnya yang berkaitan dengan

9
keberadaan Pondok Pesantren dalam pengembangan masyrakat
2. Memberikan rekomendasi teoritis tentang keberadaan Pondok
Pesantren dalam rintisan pengembangan masyrakat.
b. Manfaat praktis
1. Bahan masukan bagi pemegang kebijakan dalam hal Pondok
Pesantren dan rintisan pengembangan masyarakat.
2. Sebagai sumber rujukan dalam penyususnan kebijakan dan
pengaturan pendidikan khususnya pendidikan Pondok
Pesantren dan rintisan pengembangan masyrakat.

1.4 Batas dan Ruang Lingkup Penelitian

Penulisan ini membatasi pada upaya Program Pengembangan


masyarakat Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo pada tahun
1950-1996. Dipilihnya Pondok Pesantren Nurul Jadid sebagai bahasan, oleh
karena pondok pesantren ini pada awal berdirinya bermula dari upaya rintisan
mengembangkan mata pencararian ekonomi masyarakat di sekitarnya melalui
pertanian dan perkebunan dan berkelanjutan sampai masa perkembangan
pondok pesantren. Sisi yang menarik dari pondok pesantren ini adalah
mempunyai garis konsistensi sejak awal berdirinya sampai menjalin kerja
sama dengan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan ekonomi dan
social (LP3ES) Jakarta di masa orde baru dimana pondok Pesantren ini kurang
memperoleh perhatian dari pemerintah, tetapi tetap menaruh perhatian yang
tinggi terhadap pengembagan ekonomi masyarakat di sekitarnya bermitra
dengan NGO (Non Govermental Organization).7
Penulisan ini dirumuskan dalam ruang lingkup program ekonomi
pondok Pesantren dan Pengembangan masyarakat di sekitarnya.
Pembahasanya menyangkut berbagai sisi pondok pesantren dan hal-hal yang
berkait serta upaya pondok pesantren dalam menyusun langkah-langkah
pengembangan masyarakat sekitarnya. pondok pesantren dilihat dari
keberadaanya, kenyataan-kenyataan yang terjadi serta hubungan pondok

7
Wawancara dengan Ust. Zuryaden, staf pengajar Pondok Pesantren Nurul Jadid, tanggal 19 Mei
2020 pukul 12.45 Wib

10
pesantren dengan komunitas lainya. Selain itu kepedulian Pondok Pesantren
terhadap model-model usaha pengembangan masyarakat. Tahun 1950 sebagai
tahun resmi berdirinya Pondok Pesantren Nurul Jadid yang juga mengemban
misi program pengembangan masyarakat dan program tersebut bersambung
dengan upaya yang lebih sistematis dan terorganisir melalui kerja sama
dengan NGO sekitar tahun 1970-an sampai dengan 1996.8

1.5 Kerangka Konsep

Penulisan penelitian ini berjudul Pondok Pesantren Nurul Jadid: Usaha


mengembangkan ekonomi masyarakat melalui Pesantren tahun 1950-1996,
merupakan kajian sejarah organisasi. Secara umum, menunjuk pada sejarah
pergerakan organisasi yaitu Pondok Pesantren Nurul Jadid dalam kiprahnya
mengembangkan ekonomi sekitarnya.
Dengan menggunakan konsep Zamakhsari Dhofier, pondok pesantren
merangkum lima unsur yaitu: Kiai, Santri, Masjid, Asrama/Pondok dan kajian
kitab kuning. Sedangkan menurut Nur Cholis Madjid Pesantren atau pondok
adalah lembaga yang mewujudkan proses wajar perkembangan sistem
pendidikan nasional dari segi histori, Pesantren tidak hanya mengandung
makna ke Islaman, tetapi juga keaslian (indigenous) Indonesia, sebab lembaga
yang serupa sudah terdapat pada masa Hindu dan Budha sedang Islam
meneruskan dan mengislamkanya. Adapun konsep pengembangan masyarakat
yang jamak disebut juga sebagai Community Development, menurut MM
Billah dinyatakan sebagai sosial enginering dan transformasi kultural yang
mempertemukan ciri-ciri pembaruan dengan ciri-ciri lama yang relevan.
Kedua konsep tersebut di elaborasi dengan tiga pendekatan yaitu: pendekatan
sejarah (historical approach), pendekatan pembandingan (comperative
approach) dan pendekatan kasus (case approach). Melalui tiga pendekatan itu
digunakan untuk memotret Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo
dan usaha mengembangkan ekonomi masyarakat tahun 1979-1996.
Seperti yang diketahui, pondok pesantren yang umumnya mengambil

8
Ibid

11
tempat di perdesaan dimana menurut KH. Sahal Mahfudz bukan suatu
kebetulan melainkan akibat dari politik non cooperation pondok pesantren
terhadap kolonialisme. Pertumbuhan dan perkembangan pondok pesantren di
suatu tempat ada yang keberadaay lebih dulu dibanding komunitas sekitarnya
adapula yang hampir bersamaan berkembang Bersama dengan masyarakat
sekitarnya. Inilah yang memberikan nilai tambah hubungan psikologis,
sosiologis dan kebudayaan antara pondok pesantren dengan masyarakatnya
berlangsung dalam hubungan kedekatan kekeluargaan yang saling melengkapi
berdasar posisi masing-masing.
Potret hubungan seperti inilah yang menopang perkembangan wajar
masyarakat sekitarnya. Ide dan program-program pondok pesantren termasuk
usaha pengembangan ekonomi melalui Pesantren diterima tanpa curiga dan
tidak ada hambatan persepsi dan prasangka kepada pondok pesantren.
Menurut Dawam Rahardjo suasana yang mengambarkan hubungan pondok
pesantren dengan masyarakatnya memudahkan berbagai ide dan program
mendarat dengan benar sesuai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat.9
Dalam proses penelitian, hal-hal di atas dapat ditemukan sebagai
instrument yang menonjang kelancaran ide-ide dan program Pondok Pesantren
Nurul Jadid dalam mendorong pertembuhan ekonomi masyarakat sekitarnya.
Usaha-usaha pengembangan ekonomi berkaitan erat dengan instrument lainya
seperti kegiatan keagamaan rutin yang berbentuk kelompok dan rintisan
layanan Pendidikan dasar dan diniyah yang kesemuanya menyatu dalam
pergerakan ekonomi masyarakat. Bahkan kegiatan dimaksud sebagai sarana
untuk melancarkan program pengembangan ekonomi. Karena itu, penulisan
ini menggambarkan konsep pengembangan ekonomi masyarakat melalui
pondok pesantren.

Perkembangan Masyarakat Melalui Pesantren

Menurut kamus besar bahasa Indonesia pengembangan masyarakat


adalah proses kegiatan bersama yang dilakukan suatu penghuni daerah untuk

9
ibid

12
memenuhi kebutuhanya.10 Sedangkan menurut Sahal Mahfud11 pengembangan
masyarakat usaha meningkatkan taraf hidup dan kesejateraan masyarakat
seraya mengadakan pendekatan kepada masyarakat sebagai subjek maupun
objek. Berdasarkan penegasan tersebut, maka pengembangan masyarakat
melalui pesantren adalah ikthiar pengembanagan masyarakat dengan
menjadikan pesantren sebagai pintu masuk pesantren selain dikenal sebagai
lembaga pendidikan islam, juga menonjol sebagai lembaga sosial keagamaan.
Orientasi kemasyrakatan pesantren secara tradisional sudah terwujud jauh
sebelum pesntren dikenal oleh banyak cendikiawan. Bentuk kegiatan
kemasyaratan tradisional dapat disebut seperti pelayanan pengobatan
tradisional, menerima keluhan aspirasi masyarakat, pelayanan konsultasi
keagamaan dan masalah-masalah yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari,
kelompok ritual keagamaan dan lain-lain.

Sebagai gambaran aktivitas kemasyakatan yang dilakukan oleh pondok


pesantren dapat dinyatakan sebagai contoh Pesantren Pabelan di jawa tengah
misalnya, memberikan beasiswa pada anak-anak miskin sekitar lingkungan
pesantren. Demikianya pesantren Gontor, Ponorogo Jawa Timur, melalui
kemapuan mereka mengumpulkan zakat, kemudian menyalurkan kepada
masyrakat miskin di desa sekitar pesantren untuk meningkatkan
perekonomian, pendekatan yang dilakukan dengan memberikan bantuan
pemodalan kepada masyarakat yang membutuhkan. Demikian pula dengan
Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probollinggo, yang sejak tahun 1981
telah memasukkan tugas pengembangan masyarakat kedalam struktur
kepengurusan pondok pesantren yang diberi nama Biro Pengembangan
Pesantren dan masyarakat yang levelnya berada langsung di bawah pengasuh
sederajat dengan biro-biro yang lain. Pondok Pesantren Nurul Jadid ini dengan
mengandeng beberapa pondok pesantren di kecamatan-kecamatan sekitar,
melakukan beberapa rintisan pengembangan masyrakat seperti pendirian

10
Jakarta-com, Arti kata pengembangan menurut KBBI, diakses dari, https://jagokata.com/arti-
kata/pengembangan.html, 03 september 2019 pukul 14.10.
11
Mahfud Sahal, dalam dinamika Pesantren,(Jakarta: P3M, 1987), hlm 98

13
kelompok-kelompok usaha yang ditempelkan kepada kelompok keagamaan
sholawat, tahlilan, manakiban dll. Serta beberapa tempat pendidikan dasar dan
pusat kegiatan yang berbasis pada surau dan masjid.

Dalam hal memperkuat sistem pengembangan masyarakat melalui


pesantren, pondok pesantren menggandeng LP3ES dan P3M sebuah lembaga
swadaya masyarakat yang berkedudukan di Jakarta, khususnya dalam hal
bantuan pemodalan, keterampilan mengelola usaha dan teknik pendekatan lain
yang diperlukan dengan ini pesantren memulai tahap baru dalam sejarah
kelembagaanya yaitu memperkuat beberapa fungsi antara lain, sebagai pusat
perlatihan perdesaan yang mampu mengembangkan pengetahuan dan logika
berpikir, keterampilan serta pembinaan kepribadian pemuda. selain itu juga
sebagai lembaga sosial perdessaan yang dapat meningkatkan kemandirian dan
swadaya kalangan masyarakat desa untuk mengembangkan lingkungan secara
rohaniah, ekonomi dan fisik pengalaman kerja sama pesantren dan LSM
tersebut juga melahirkan tenaga-tenaga aktivis pengembanagn masyrakat dari
kalangan Pesantren atau yang erat kaitanya dengan Pesantren.

Format yang melandasi pengembangan masyarakat (community


development) yang oleh Masnhur fakih12 dinyatakan sebagai proses
pendidikan demokratisasi di masyarakat perdesaan. Secara oprasional
bagaimana konsep demokrasisasi dikembangkan di perdesaan tecermin dalam
penekanan patisipasi sebagai tema sentral kegiatan. Setiap kegiatan selalu
diawali dengan penciptaan suasana dan kesempatan yang memungkinkan
masyarakat mampu mengidenfikasi maslah-masalah maereka. Selanjutnya
menfasilitasi agar masyrakat mampu merumuskan tujuan pengembangan
mereka sendiri, serta mereka menjadi pelaksasna utama dan mampu
melakukan evaluasi dan menindak lanjuti mereka dan akhirnya mereka pula
yang menikmati hasilnya. Pendekatan yang dilakukan mengunakan
partisipatroli riset yang bertumpu pada masyarakat sebagai subjek dan objek
yang terlibat secara langsung pada setiap kegiatan. Beberpa kegiatan
pengembangan masyrakat yang ditawarkan adalah teknologi tepat guna
12
Ibid, hlm 15

14
(TTG), perkoprasian (Percoprative movement), pengembangan industry kecil
(Small business development), peningkatan pendapatan (income generating
program), kegiatan dimaksud sesunguhnya hanya sebagai titik masuk (entry
point) terhadap pokok dalam permasalahan perdesaan. Sedang yang menjadi
tujuanya adalah suatu gerakan kultural yakni proses demokratisasi,
rasionalisasi dan partisipasi.

Sesunguhnya program pengembangan masyrakat oleh pesantren belum


mencapai hasil yang memadai dibandingkan dengan masalah-masalah
mendesak yang dihadapi rakyat di pedesaan. Salah satu sebabnya adalah
terletak pada pembangunan nasional Indonesia yang beberapa darsa warsa
setiap kebijakan nasional di tentukan dari atas, dimana masyrakat seperti ini
digambarkan oleh Edgar Owens dan Robert Shaw sebagai masyrakat ganda,
massa rakyat hanya mempunyai sedikit peranan, kalaupn ada pengaruhnya
terhadap kebijaksanaan nasional13Akibatnya, program swadaya masyrakat di
tingkat lokal termasuk usaha pesantren sangat terbatas, sehingga tidak dapat
melakukan perubahan mendasar bagi keperluhan rakyat sekitarnya secara luas.

Bagian yang tidak terpisahkan adalah masihadanya kekhawatiran


sebagian pesantren akan efek negative yang ditimbulkan oleh pendidikan
ketrampilan dan program kemasyarakatan. Dikembangkanya keterampilan di
pondok pesantren menyebabkan masuknya tenaga-tenaga pengelolah yang
umumnya memperoleh pendidikan di perguruan tinggi luar pesantren, serta
kekhawatiran terhadap bergesernya dominasi pengurus termasuk kiai
peranannya di pesantren.14 Tentu ada pula pesantren yang sangat progresif
dalam usaha mengembangkan masyarakat dengan bekerja sama pihak luar
dalam hal ini lembaga swadaya masyarakat yang mempunyai kepedulian
terhadap perkembangan masyarakat.

Angapan dasar yang melatarbelakangi perkembangan masyarakat oleh

13
Owens Edgar dan Shaw Robert, pembagunan ditinjau kembali, menjembatani gap antara
pemerintah dan rakyat, (Jogjakarta :gajah mada university press, 1980), hal 5
14
Wawancara dengan Ust. Nusroh, staf pengajar Pondok Pesantren Nurul Jadid, tanggal 24 Mei
2020. 13.00 Wib.

15
pesantren adalah bahwa masyarakat Indonesia – dimana pesantren terdapat di
dalamnya – sedang dalam proses perubahan, meskipun bentuk perubahan serta
intensitas maupun ekstensitasnya berbeda dari suatu komunitas ke komunitas
lain. Efek perubahan dan dampaknya juga berbeda bagi berbagai golongan dan
lapisan (strata) sosial ekonomi, dan dengan demikian respon berbagai
golongan dan strata sosial ekonomi terhadap perubahan itu berlainan.

Perubahan, menurt M.M Billah15 tampak dari pergeseran ekonomi


subsisten ke ekonomi pasar makin berkembang difirensasi dan spesialisasi
dalam masyrakat, hubungan sosial yang semula bersifat personal, tatap muka,
akrab menjadi bergeser kearah impersonal, tak langsung dan kontraktual.
Kalau hubungan sosial yang menjadi landasan pola kepemimpinan berubah,
maka pola kepemimpinannyapun berubah, sehingga tipe pemimpin yang ada
dalam komunitas tidak lagi bersifat tunggal. Singkatnya, perubaghan yang
sedang melanda msyarakat juga mengoyahkan sendi – sendi kemasyaratatan,
keberadaan komponen – komponen masyarakat serta relasi antar komponen
yang ada.

Persoalanya kemudian adalah, adakah daya tahan dan situasi pesantren


dapat dijadikan pangkal tolak untuk menumbuhkan daya dorong di dalam
proses social engenering, dimana perubahan – perubahan yang terjadi di dalam
masyrakat memang merupakan perubahan yang terarah atau di arahkan.
Perangkat dan instrument manakah yang perluh dimasukkan ke dalam
pesantren agar bisa berperan dalam proses social engeneiring tersebut atau
dengan perkataan lain dengan instrument apa sehingga pesantren dapat
meningkatkan sumbangan dan perananya dalam proses membangun
masyarakat secara lebih bermakna.

Pemikiran tentang kepedulian pesantren untuk menangani


problematika sosial secara langsung mengacu pada realitas sosial itu sendiri,
bahwa pesantren yang punya akar kuat di lapisan sosial bawah di satu pihak

15
Billah, M.M, pikiran awal pengembangan pesantren dalam M. dawam raharjo
(Ed),Pergulatan dunia pesantren Membangun dari bawah, (Jakarta: P3M), hal 289.

16
mempunyai potensi pembebasan bagi keterbelakangan kaum bawah, namun
keyataanya kaum bawah ini belum mendapatkan sentuhan aktual, khususnya
segi sosial ekonominya, sehingga di khawatirkan terjadi kesenjangan kultural,
bahkan struktural antara kaum santri dengan masyrakat perdesaan. Maka dari
itu, ke ikutsertaan pesantren dalam pembangunan masyarakat, sebernarnya
menjadi dua sisi mata uang yang harus bergandeng. Pada giliranya,
pendekatan actual ini melahirkan wahana sosial yang dirasakan sebagai
refeleksi etos keagamaan yang dikembangkan oleh pesantren.16

Cukup besar potensi pesantren dalam mengembangkan masyarakat


bawah, bukan saja potensi tersebut menjadi peluang strategis pengembangan
masyrakat desa, tetapi juga akan lebih memperkokoh lembaga pesantren itu
sendiri sebagai lembaga kemasyaratan. Memang demikian kenyataan yang
berlangsung, bahwa secra muril pesantran adalah milik masyarakat luas,
sekaligus menjadi anutan berbagai keputusan sosial, politik, agama, dan etika.
Pola hubungan inilah yang memperkuat asumsi bahwa pondok pesantren
menyatu dengan masyarakat sekitarnya, bersifat sinergis serta tumbuh dan
berkembang bersama – sama antar pesantren dan masyarakat, sehingga tidak
menimbulkan sifat curiga bila inovasi atau gagasan baru timbul dari pondok
pesantren dan tidak menjadi asing di masyarakat. Keadaan ini dijadikan dasar
mengapa pengembangan masyarakat di lakukan melalui pesantren.

Sejalan dengan pandangan di atas, keberadaan pondok pesantren telah


menjadi satu entitas dengan masyarakat sekitarnya sehingga menjadi satu
budaya, cara pandang dan sikap lingkungan pesantren dan masyarakat, bahkan
pesantren menjadi rujukan dalam pengambilan keputusan unsur – unsur
masyarakat di sinilah letak pentingnya membangun wawasan dan pandangan
pengurus pondok pesantren termasuk pengasuh dan keluarganya. Dari segi
keberadaan para santri yang dalam waktu tertentu mereka akan kembali ke
daerah asalnya masing – masing, maka konsep penyebaran visi dan misi
pengembangan masyarakat akan seluas sejalan dengan migrasi para santri

16
Ibid, hlm 297

17
tersebut, sehingga menjadi strategis bila diikuti dengan muatan dan tugas
pengembangan masyarakat.

Pondok pesantren, selain menjadi lembaga pendidikan lembaga


keagamaan, juga telah menjadi lingkungan budaya yang oleh KH.
Abdurrahman wahid17 disebut sebagai sub kultur, artinya pondok pesantren
telah menjadi lingkungan budaya yang khas dan mampu berdampingan secara
harmoni dengan lingkungan sekitarnya. Pandangan ini turut memperkuat
alasan mengapa pondok pesantren menjadi entry point dalam mengembangkan
masyarakat sekitarnya. Ketika itu, dimasa pemerintahan orde baru, hubungan
pmerintah dam masyarakat berlangsung posisi saling curiga karena
pendekatan pemerintah yang lebih banyak represif yang menimbulkan sifat
antipati, menyakitkan dan bersifat curiga. Untuk itulah pilihan pendekatan
melalui pesantren secara kultural dianggap lebih aman dan sebagai pendekatan
dari dalam lingkungn masyarakat itu sendiri.

1.7 Tinjauan Pustaka

Dalam melakukan penelitian ini, penulis juga menggunakan sejumlah bahan


pustaka sebagai alat bantu untuk melakukan analisis dengan mengambil dari
beberapa sumber, beberapa buku dari tulisan yang ada, ditemukan sejumlah
buku maupun karya tulis ilmiah yang bahasannya berhubungan dengan
penelitian ini yaitu :
Buku yang pertama berjudul tradisi Pesantren Ditulis Zamakhsari Dhofier 18,
buku ini menjelaskan sekurang- kurangnya sebuah pondok pesantren
memunuhi lima unsur yaitu: Kiai, Santri, Masjid, Asrama/Pondok, Pengajian
kitab kuning. Unsur-Unsur ini menjadi cikal bakal terbentuknya pondok
pesantren. Kelima unsur itu, berada dalam penyelengaraan pendidikan pondok
pesantren yang kemudian membentuk lingkungan tradisi yang timbul dari
pengamalan keagamaan, interaksi antar unsur dan pendekatan kultural dalam
lingkungan pondok pesantren. Metode pengajaran juga mempunyai kekhasan

17
Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai sub kultur, diakses dari
https://santrigusdur.com/2018/05/pesantren-sebagai-subkultur/, 03 September 2019, pukul 15.00.
18
Op Cit, hlm 5

18
yang dibangun dari keterbatasan pondok pesantren tetapi kemudian menjadi
menarik karena keunikan yang timbul sperti, metode soregan dimana santri
mengajukan diri untuk membacakan teks-teks kitab bandung dan kiai
mencermatinya. Sedangkan metode bandongan, kiai membacakan dan member
arti kitab-kitab, santri menuliskan dan menyimaknya.
Pondok pesantren tumbuh dan berkembang bersama masyarakat
bahkan Pesantren bisa menjadi vocal point bagi masyarakat sekitarnya dalam
memperjuangkan kehidupan mereka sehari-hari. Interaksi ini tumbuh sebagai
pergulatan dari bawah yang terus berjuang untuk memenuhi kehidupan mereka,
warna gerakanya relative orisinil dan bersifat natural bahkan muncul dari
kegiatan- kegiatan keagamaan seperti jamaah sholawat, majelis takhlim dll.
Yang kemudian diberi makna dan fungsi lebih besar, lebih luas sesuai dengan
dinamika dalam masyarakat itu sendiri.

Profil ke bersehajaan guru-guru Pesantren, tetapi dengan pribadi yang luhur


dan ruh perjuangan yang mengelora dari semangat keagamaan mereka telah
menginpirasi banyak tokoh pergerakan baik dalam situasi perjuangan
kemerdekaan maupun dalam mengisi kemerdekaan itu sendiri. Interaksi antar
guru dan santri yang berlangsung tanpa pamrih tetapi mampu bergerak untuk
mengelorakan dan melaksanakan semangat juang telah menjadi potret yang
khas bagi profil perjuangan Indonesia.

Buku Kedua berjudul Pesantren, Madrasah sekolah ditulis Karel A.


Steenbrink 19menjelaskan bahwa Pendidikan di pondok pesantren berlangsung
tanpa kerumitan prosedural dengan menggambarkan bahwa mereka yang
berkemauan pandai terbuka luas dan dalam waktu yang cepat, tetapi bagi yang
tidak mempunyai kemauan keras tentu ia lambat menjadi pandai tergantung
pada mereka. Tidak ada ketentuan santri sekolah dasar dilarang mengaji kitab
kuning untuk sekolah atas, demikian juga tak ada halangan santri sekolah atas
untuk mengaji kitab-kitab sekolah dasar ini berlangsung bertahun-tahun sejak
dahulu kala dan telah melahirkan begitu banyak lulusan dan terbukti mampu

19
Op cit, hlm 16.

19
berkiprah di tengah-tengah masyarakat.

Buku ketiga berjudul Pesantren Dari tranformasi Metodologi Menuju


demokrasi Institusi ditulis oleh Mujamir Qomar20 menjelaskan bahwa,
kepemimpian pondok pesantren bersifat sentrallistik, dimana semua keputusan
sangat bergantung pada kiai sebagai figur sentral. Posisi kiai yang bergitu
dominan. Lebih lanjut, Mujamir Mengutip Martin Van Bruinessen bahwa
kehidupan pondok pesantren masih jauh dari demokrasi. Ini disebabkan oleh
proses pengambilan keputusan yang berhadap-hadapan antara prosedur
demokrasi dengan keputusan figure sentral, yaitu Kyai, namun menurut
Syaifuddin Zuhri justru menilai sebaliknya, bahwa alam Pesantren terkenal
bebas dan demokratis. Figure Kyai sebagai pemandu proses musyawarah
untuk mengambil keputusan.

Corak pondok pesantren yang saling tarik menarik antara nafas


demokrasi dan kepemimpinan individual yang mutlak menjadi kajian banyak
pihak untuk mengsinergikan berbagai kekuatan internal pondok pesantren agar
selalu relevan dengan perkembangan zaman dan mampu eksis dan merespon
tantangan zaman. Itulah salah satu penegasan bagaimana figure sentral
Pesantren bisa mengabungkan kepemimpinan tradisional dengan organisasi
moderen. Usaha ini tidak harus megobankan kharisma dan kewibawaan kiai,
tetapi yang penting adalah hakekat dari kharisma dan kewibawaan tokoh kiai
itu sendiri untuk tidak selalu dipertentangkan dengan kepemimpinan
demokratis.

Buku keempat berjudul Karakter dan Fungsi Pesantren, dalam


Dinamika Pesantren Dampak Pesantren dalam Pendidikan Dan pengembangan
masyrakat, ditulis oleh M. Nasihin Hassan21 yang menjelaskan bahwa Sejak
dulu, kiai dan ulama itu sebenarnya termasuk ke dalam kategori golongan
20
Qomar Mujamir, Pesantren Dari tranformasi Metodologi Menuju demokrasi Institusi, (Jakarta:
Airlangga, 2008), hlm 37
21
Hasan Nassihi M. , Karakter dan Fungsi Pesantren, dalam Dinamika Pesantren Dampak
Pesantren dalam Pendidikan Dan pengembangan masyrakat, Editor Manfred Oepen dan
Wolfgang Karcher, (Jakarta: P3M, 1988), hlm 109

20
intelenjelensia mereka aktif dalam perubahan sosial, demikian pula dengan
pergerakan nasional. Sesudah kemerdekaan, banyak dari mereka aktif di
bidang politik, pendidikan, kebudayaan, sosial bahkan kesehatan. Keberadaan
pondok pesantren beserta perangkatnya dikenal sebagai lembaga pendidikan,
dakwa serta lembaga kemasyrakatan yang telah memberikan warna daerah
perdesaan. Ia tumbuh dan berkembang bersama warga masyrakatnya sejak
berabad-abad. pondok pesantren tidak hanya secara kultural lembaga ini bisa
di terima, tetapi bahkan telah ikut serta membentuk dan memberikan corak
serta nilai kehidupan kepada masyarakat yang senang tiasa tumbuh dan
berkembang.

Pondok pesantren dapat disebut sebagai lembaga non formal –


walaupun didalamnya pendidikan formal – karena eksistensinya berada dalam
jalur sistem pendidikan kemasyarakatan. Pesantren memiliki program
pendidikan yang disusun sendiri dan relative bebas dari ketentuan formal.
Program ini mengandung proses pendidikan formal non formal dan informal
yang berjalan sepanjang hari dalam sistem asrama (boarding school) atau
pondok. Dengan demikian Pesantren bukan saja tempat belajar, melainkan
merupakan proses hidup itu sendiri. Lingkungan pondok pesantren berusaha
menumbukan pola hidup sederhana dan berpegang secara kuat pada cara hidup
hemat. Kesederhanaan hidup dan sikap hemat yang ditanamkan kepada santri
sangat memungkinkan untuk berkembangnya sikap mandiri. Inilah lingkungan
yang di harapkan membentuk karakter yang kuat dengan basis kepemimpinan
keagamaan yang mempertanggung jawabkan tindakanya kepada Allah Tuhan
yang maha kuasa.

Sistem nilai dan ciri utama dalam pondok pesantren dapat


membawakan sebuah dimensi dalam kehidupan psantren, yakni kemampuan
berdiri di atas kaki sendiri yang diwujudkan dalam berbagai bentuk, dari
keluwesan kurikulum dalam pengajaran dan pendidikan hingga kepada
kemampuan para santri untuk menahan diri dari godaan menempuh pola
konsumtif yang cendrung terhadap kemewahan hidup. Keadaan inilah yang

21
memberikan kepercayaan kepada masyrakat untuk turut dilibatkan mengelola
kelompok – kelompok di masyrakat, seperti arisan, shalawatan, koperasi dan
kelompok swadaya lainya. Lebih dari itu pesantren tampil sebagai wahana
permusyaratan yang mampu menampung aspirasi masyarakat karena kecilnya
hambatan psikologis dan budaya bagi mereka untuk menyatakan pendapat
secara terbuka dalam lingkungan sendiri.

Buku kelima. Bejudul KH. Zaini Mun’im Pengabdian dan Karya


Tulisnya, ditulis oleh M. Mansyhur A dan M. Nasikh R. mendiskripsikan
profil KH. Zaini Munim sebagai pejuang kemerdekaan, pedagang, pendiri dan
pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid sebagai motivator dan teladan
masyarakat. Kekuatan kepribadian, cita-cita dan keilmuan membentuk pribadi
KH. Zaini Munim yang mampu menjadi magnet perubahan masyarakat
sekitarnya. Berhasil membangun Lembaga Pendidikan dari Tk sampai
perguruan tinggi yaitu universitas Nurul Jadid.

1.8 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode sejarah22 dipilih judul Pondok


Pesantren Nurul Jadid : Usaha Mengembangkan Ekonomi Masyarakat Melalui
Pesantren Tahun 1950 – 1996. Penulis tertarik menggunakan judul ini karena
mengandung beberapa hal : profil tokoh agama yang sejak mula mempunyai
kepedulian terhadap lingkungan masyarakat sekitarnya yang masih tertinggal
terutama di sektor ekonomi. Berdakwah dalam satu tarikan nafas antara
dimensi agama, Pendidikan, ekonomi dan sosial. Disisi lain, keberadaan tokoh
ini bukan hanya menjadi guru para santri tetapi sekaligus guru dan mitra
masyarakat kemudian, Lembaga yang dipimpim KH. Zaini Munim, yaitu
Pondok Pesantren Nurul Jadid sampai sekarang berkembang sangat pesat
dihuni tidak kurang dari 14.000 santri dari berbagai jenjang Pendidikan anak-
anak sampai strata 2.
Peran ketokohanya sangat heroik, karena sebelumnya sebagai sabililah
leader melawan penjajahan Belanda di tanah kelahiranya, pamekasan Madura

22
Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng

22
Tahap pertama merupakan pemilihan topik. Kemudian heuristic, pencarian
data yang merupakan tahapan dimana penulis mengumpulkan sumber baik
primer maupun sekunder yang didapatkan dari sumber arsip, surat kabat, buku
dan wawancara yang berhubungan dengan penelitian ini. Setelah sumber-
sumber dikumpulkan, tahap selanjutnya adalah kritik sumber serta deskriptif
analisis untuk menentukan otensititas dan kredibilitas sumber sejarah. Tahap
interpretasi merupakan tahap menetapkan makna dan hubungan dari fakta-
fakta yang telah diverifikasi. Tahap terakhir merupakan tahap penulisan atau
disebut dengan historiografi. Pada tahap ini peneliti akan menuliskan hasil
riset sejarahnya.
Dalam penulisan ini juga digunakan beberapa pendekatan: yaitu
pendekatan perbandingan (comperatif apparoach), dengan melakukan kajian
terhadap beberapa hal serupa yang dapat dibandingkan untuk mengelaborasi
objek penelitian ini. kemudian digunakan pendekatan sejarah (historical
approach) digunakan untuk menelaah pergerakan tokoh, organisasi dan sejarah
perkembanganya terutama yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Adapun
pendekatan kasus (case approach)23. Digunakan untuk menelaah kasus tertentu
kaitanya dengan sejumlah program atau kegiatan ketokohan, kepesantrenan
dan peningkatan ekonomi masyarakat.
Penelitian ini menggunakan sumber-sumber berupa buku, document di
pesantren, wawancara dengan saksi hidup, penuturan pengurus pesantren
senior penulis dapat menembus sumber-sumber penulisan melalui kerabad dan
kenalan yang sedang menjabat sebagai pengurus di pondok pesantren nurul
jadid. Studi analisisnya mengenai pergerakan ketokohan rintisan kegiatan di
masyarakat kebanyakan diperoleh dari kunjungan ke pondok dan masyarakat
sekitar untuk memperoleh gambaran Riwayat kegiatan serta keberhasilanya.

1.9 Sistematika Penulisan

Guna mempermudah pemahaman dan penulisan penelitian, dalam


23
Ibbrahim Johny . Teori dan metodologi penelitian hokum nonmatif, (Malang: bayu media
publishing, 2007), hlm 16.

23
penulisan dibagi menjadi empat bab yang masing-masing sub-bab yang
tertuang dalam penjelasan dari garis besar setiap pembahasan babnya.

Bab I Pendahuluan : Penulisan ini disusun dengan sistematika sebagai


berikut judul, latar belakang, tinjauan pustaka, kerangka konseptual,
perumusan masalah, tujuan penulisan, ruang lingkup dan sistematika.

Bab II Peran Pondok Pesantren Nurul Jadid Dalam Rintisan


Pengembangan Masyarakat: bagian ini menjelaskan berbagai bentuk peran
pondok pesantren yang berkaitan dengan pengembangan masyarakat. Peran itu
berangkat dari potensi pondok pesantren dan berbagai kebutuhan masyarakat
untuk mengembangkan dirinya. Memukakan bahwa pesantren dan
masyarakatnya tumbuh dan berkembang bersama-sama dalam kerangka
kehidupan, keagamaan dan kemasyakatan.

Bab III Pelaksanaan program pengembangan masyrakat melalui


pondok pesantren: bab ini menjelaskan tentang rangkaian atau tahapan
pelaksanaan program pengembangan masyarakat, baik program yang digali
dari dan melalui masyarakat maupun program yang ditawarkan dari kerja
sama pesantren dan pihak lain atas penjajagan dan pengamatan terhadap
kebutuhan masyarakat.

Bab IV Simpulan & Saran : bab ini berupaya merangkum dan


menyimpulkan berbagai peryataan penting berkaitan dengan perumusan
masalah dalam penulisan ini serta diikuti oleh saran-saran atas poin dalam
kesimpulan tersebut.

BAB II

24
Profil Pondok Pesantren Nurul Jadid dalam Pengembangan Ekonomi

Masyarakat Sekitar

2.1 Kondisi desa Karanganyar pada waktu kedatangan KH. Zaini


Mun’im

Nama Tanjung diambil dari dari nama pohon besar bernama Tanjung,
dan bunganya pun dinamai bunga Tanjung, yang sejak zaman dulu berdiri
tegak ditengah-tengah desa itu. Oleh masyrakat setempat pohon Tanjung itu
dianggap mempunyai kelebihan dan keistemewaan sehingga diabadikan
sebagai nama desa.

Desa Tanjung termasuk wilayah kecamatan Paiton, 30 km arah timur


kota Probolinggo Jawa Timur. Bagi masyrakat Probolinggo Jawa Timur. Bagi
masyrakat Probolinggo dan sekitarnya, desa Tanjung sejak dulu dikenal
merupakan desa yang dikenal dengan desa kurang berkembang di segala
bidang. Kondisi tanahnya tidak dapat dimanfaatkan secara baik oleh
masyrakatnya, karena masih berupa hutan kecil yang penuh dengan binatang
buas. Kehidupan masyrakatnya di bidang kepercayaan masih dapat dikatakan
menganut khurafat dan tahayul. Sebagian besar masyarakatnya menganut
kepercayaan animisme dan dinanisme. Hal ini terbukti dengan kebiasaan
mereka melakukan atau meletakkan sesajen di bawah pohon besar (pohon
tanjung), dan penyembahan kepada arwah-arwah nenek moyang mereka.

Kehidupan sosial masyrakatnya, dapat dikatakan terbelakang dan


mereka sama sekali belum belum mengenal adanya peradaban baru.
Disamping itu, masalah perjudian, pemerkosaan, perampokan, pencurian dan
tempat-tempat Wanita Tuna Susila (WTS) merupakan suatu pandangan biasa
bagi mereka.24

Menurut Kiai Muyan, santri sekaligus Khadam Kiai Zaini semenjak di


Madura bahwa, masyarakat desa Tanjung saat itu sangat rusak akhlaknya, baik

24
M. Rahwini Anwar, Sejarah Almarhum KH. Zaini Mun’im dan pesantren Nurul jadid, PP. Nurul
Jadid, hal 34.

25
yang laki-laki maupun perempuannya. Bahkan di desa Tanjung ini merupakan
tempat pelacuran terbesar, dan tempat aduan sapi di daerah Probolinggo. “
pokoknya, di daerah tanjung ini merupakan pusat kegiatan-kegiatan yang
sangat rusak dan sangat bertentangan dengan agama ”25

Dulu di kalangan masyarakat Tanjung, sebagaimana yang diutarakan


KH. Wahid Zaini, memang berkembang semacam kepercayaan yang lebih
mendekati pada aninisme dan dinanisme, yaitu dengan adanya beberapa pohon
besar yang tidak boleh ditebang. Menurut mereka, kalau sampai pohon itu
ditebang. Menurut mereka, kalau sampai pohon itu ditebang, maka akan
menimbulkan malapetaka, karena pohon-pohon tersebut merupakan pelindung
mereka. Dan juga sudah menjadi bagian dari kehidupan masyrakat Tanjung
adanya upacara-upacara ritual dalam bentuk pemberian sesajen, terutama
ketika mereka hendak melakukan suatu hajatan. Misalnya ketika musim
tanam, maka sebelumnya diadakan sesajenan dulu dengan cara patungan, yaitu
beberapa anggota masyrakat menaruh ayam di beberapa tempat (makam yang
terletak di bawah pohon besar, yaitu makamnya buyut Kiai Guluk, buyut
Arbun dan buyut Saiman) yang mereka anggap sacral dan didahului dengan
acara selamatan (upacara) dengan cara mereka. Kemudian pada setiap
tahunya, masyrakat Tanjung selalu mengadakan selamatan laut dengan
membuang kepala kerbau.26

Pada kehidupan ekonominya, masyrakat Tanjung termasuk masyrakat


yang sangat bergantung kepada alam. Mereka mengangap bahwa, kalau yang
diberikan alam sudah tidak ada yang dimakan, maka mereka akan pindah ke
tempat lain atau mencari makan di daerah-daerah lain, terutama di daerah
pingiran laut (pantai) yang banyak pohon bakau yang banyak berbagai jenis
ikan dan perpohonan pantai.

Desa Tanjung pada masanya itu merupakan desa yang mati, karena
disamping sebuah desa yang daerahnya masih dipenuhi dengan hutan jati dan
25
Wawancara dengan Bpk Ali, Bagian umum biro kepensantrenan pondok pesantren Nurul Jadid
Mei 2019
26
Mar’at, Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukuranya, (Jakarta:Ghalian Indonesia 1984), hal 77

26
penuh dengan semak belukar, juga karena kehidupan masyrakatnya yang tidak
mempedulikan sama sekali dengan keadaan di sekelilingnya. Dalam
kehidupan sehari-hari mereka lebih memetingkan kesenangan dunia semata,
sehingga tentang moral sosial saja mereka tidak mengenalnya, apalagi yang
berupa norma-norma agama. Masyrakat desa Tanjung waktu itu hanya
mengenal bahwa, kesenangan dan kebahagiaan hanya terdapat ada perbuatan
yang penuh dengan kemaksiatan dan kemungkaran itu.27

Dalam situasi dan kondisi sosial masyrakat desa tanjung seperti itulah,
Kiai Zaini – setelah mendapatkan restu dan perintah dari K.H. Syamsul Arifin,
ayah dari KH. As’ad Syamsul Arifin (pahlawan nasional), Sukorejo –
memutuskan untuk menetap dan bertempat tinggal bersama keluarganya di
desa ini28 Karena, menurut penuturan Kiai Wahid, Kiai Faqih dan Kiai Muyan,
bahwa sebelum memutuskan bertempat tinggal di desa Tanjung, Kiai Zaini
telah mengajukan beberapa tempat lainya, dengan membawa contoh tanah
sekitar tahun 1946 kepada KH. Syamsul Arifin. Daerah yang pernah diajukan
oleh Kiai Zaini adalah selain tanah di desa Tanjung ini adalah di daerah
Gengong Timur, dusun Kramat Kraksaan Timur, desa Curahsawo Probolinggo
Timur, sebuah dusun di daerah kebun kelapa jabung dan dusun Sumberkerang.
Setelah diseleksi contoh tanahnya oleh K.H Syamsul Arifin, maka Kiai Zaini
diperintahkan untuk menetap dan mendirikan pondok di desa Tanjung, karena
tanahnya dipandang cocok Kiai Syamsul untuk didirikan suatu pondok.

Disamping itu, isyarat lainya juga mengarah pada desa Tanjung.


Petama, ketika Kiai Zaini mengambil contoh tanah di desa Tanjung tiba-tiba
ia menemukan sarang lebah, hal menurut kepercayaan setempat sebagai
isyarat jika KH. Zaini Mun’im mendirikan pondok di desa Tanjung ini, maka
akan banyak santrinya. Kedua, isyarat yang kedua datang ini datang dari KH.
Hasan sepuh Gengong. Suatu saat Kiai Hasan mendantangi suatu pengajian
dan melewati desa Tanjung, Kiai Hasan bilang kepada kusir (pengemudi)
dokar tau andonganya, “di masa mendatang, jika ada kiai atau ulama yang
27
Surabaya Post, Kejahatan Besuki 1955 Lebih Tinggi dari 1954. Maret 1955, hlm 5
28
Ibid, hlm 3

27
mau mendirikan pondok pesantren di derah sini (desa tanjung), maka pondok
tersebut kelak akan menjadi pondk besar dan santrinya banyak, akan melebihi
santri saya”. Dan isyarat yang ketiga adalah isyarat dari alam itu sendiri, di
mana kondisi tanahnya yang bagus dan air tidak menjadi masalah. Disamping
itu, desa Tanjung merupakan tempat yang jauh dari keramaian kota
(kraksaan), sehingga sangat cocok untuk pendirian suatu tempat pendidikan.

Setelah tercapai kesepakatan antara KH. Zaini dengan H. Tajuddin


pada tahun 1947 pemilik tanah di desa tanjung itu, yang ditukarkan dengan
tanah Kiai Zaini yang ada di Madura, maka dengan berbekal satu batang lidi,
KH. Zaini terus berjalan menyeslusuri tanah yang sudah menjadi miliknya itu,
sehingga semua hewan dan binatang buas serta membahayakan itu
menghindar meniggalkan hutan jati itu menuju desa Grinting. Selama satu
tahun lebih KH Zaini membabat hutan, mendirikan rumah, membangun surau
kecil dan mengubah tanah dari hutan menjadi tegalan. Ketika Kiai Zaini
bersama keluarganya baru saja menempati rumah tersebut penduduk
sekitarnya berkomentar agak menantang, “jika pak haji Zaini bersama
keluarganya itu bertahan (tahan) tinggal disini selama tiga bulan, maka kami
(masyrakat tanjung) akan berguru dan tunduk padanya”. Baru beberapa bulan
KH. Zaini menempati rumah dan surau yang telah dibangunya itu, KH. Zaini
ditangkap dan dimasukkan penjara Probolinggo oleh Belanda selama 4 bulan
(12 desember 1948 – 18 maret 1949) dengan tuduhan melanggar ketentuan
pemerintah Belanda, yaitu keterlibatan KH. Zaini sebaga “Sabililah Leider”.
2.2 Sejarah Pondok Pesantren Nurul Jadid
Berdasarkan dokumen Stanbook29 Secara resmi Pondok Pesantren
Nurul Jadid dinyatakan berdiri pada tahun 1950. Sebelumnya, didahului oleh
kedatangan KH. Zaini Mun’im ke desa Tanjung yang kemudian berubah
menjadi desa Karanganyar kecamatan Paiton Probolinggo pada tahun 1948.
Sesunguhnya, pada awalnya KH. Zaini Mu’im tidaklah bermaksud bermukim
di desa Karanganyar desa Paiton Probolinggo, melainkan hanya untuk

29
Wawancara dengan Lailul Ilham Seketaris Biro Pengembangan Tahun 1986-1989. 9 Mei 2020.
Jam 2.00

28
kebutuhan transit dan selanjutnya meneruskan perjalanan ke daerah Jogjakarta
untuk bergabung dengan teman – temanya yang tergabung dalam pasukan
hizbullah. KH. Zaini sendiri adalah komandan sabililah di Madura, dengan
menjadikan pondok pesantren panggung galis Pamekasan yang merupakan
peninggalan ayah handanya dijadikan sebagai markas pertahanan melawan
perjajahan belanda. Sampai pada akhirnya pertengahan 1947 pesantren itu
dibakar oleh penjajah belanda dan KH. Zaini mengungsi ke rumah pamanya
KH. Samsul Arifin di Pondok Sukorejo Asembagus Situbondo. Dari
pengungsian inilah, KH. Zaini merencanakan perjalanan perjuangan hizzbulah
di Jogjakarta, perjalanan ini membawa KH. Zaini mun’im transit di desa
Karanganyar Paiton Probolinggo.

Gambar 1. KH. Zaini Mun’im Pendiri Pondok Pesantren

Atas saran dan pertimbangan sesepuh dan kawan – kawan zaini


mun’im, KH. Zaini disarankan untuk menetap di desa Karanganyar Paiton
Probolinggo dan mengurungkan niatnya meneruskan perjalanan ke Jogjakarta.
Awal mukim di desa Karanganyar ini, yang sebagian besar masih berupa
hutan belantara dengan penduduk yang mata pencarianya banyak berkebun,
perladang dan petani, dengan menjadikan ternak sebagai penunjang ekonomi
mereka yang keseharianya disibukkan juga dengan mencari rumput sebagai
makanan ternak. Keadaan ini dibaca oleh KH. Zaini Mun’im, maka untuk

29
mendekatkan hubungan masyarakat sekitar, KH. Zaini mengusahakan tempat
asah bagi alat benda tajam untuk mencari rumput yang ukuranya cukup besar
dan belum ada yang menyamai ukuran asah itu di tempat lain. Ini cukup
menarik perhatian sehingga banyak masyarakat datang untuk mengasah alat
mencari rumputnya.
Bersamaan dengan itu, KH. Zaini Mu,im mendirikan mushollah
berkaki atau yang umum disebut cangkruk dilengkapi dengan temppat wuduh
ala dan kamar mandi ala kadarnya. Inilah komunikasi dibangun dengan
masyarakat sekitarnya30. Pada mulanya mereka hanya cangkrukan, ngobrol
dan mengasah alat pencari rumput, lambat laun obrolan itu menjurus ke hal –
hal keagamaan dan di akiri dengan sholat berjamaah. Setelah di tempat
pertama ini banyak di datangi masyarakat dan sholat jamaah dijalankan, maka
KH. Zaini Mun’im mendirikan lagi mushollah cangkrukan yang tempatnya
empat ratus meter ke arah barat dan di tempat kedua ini juga melakukan
gerakan sholat berjamaah. Setelah cukup banyak jamahnya, KH. Zaini
mendirikan lagi mushollah cangkrukan yang kira – kira lima ratus meter ke
arah selatan dari mushollah yang pertama. Disini dilakukan juga pelaksanaan
sholat berjamaah setelah cukup banyak jamaah yang ikut serta, KH. Zaini
mendirikan lagi mushollah cangkrukan yang tempatnya empat ratus metter ke
timur dan di mushollah ke empat ini dilaksanakan juga sholat berjamaah.
Demikian aktivitas awal KH. Zaini Mun’im dengan menggilir waktu
sholatnya dari mushollah pertama sampai ke empat dan mirip membentuk arah
mata angin. Di antara waktu sholat fardhu, terutama di pagi dan siang hari
KH. Zaini bertani dan berkebun sebagia mana masyarakat umumnya inilah
awal mula rintisan pengembangan masyarakat yang dilakukan oleh pendiri
dan pengasuh utama Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo.

2.3 Kiprah Awal Dalam Pengembangan Masyarakat

Pada awal pendirian Pondok Pesantren Nurul Jadid, KH. Zaini Mun’im
30
Anwar Arifin, Strategi Komunikasi,(Bandung:Amrico 1984). Hlm 45

30
sebagai pendiri dan pengasuh pertama memiliki perhatian yang sangat tinggi
pada kehidupan masyarakat sekitar, terutama pada sektor mata pencarian
mereka yang banyak berkencimpung di sektor pertanian, perkebunan,
perikanan, dan perdagangan. Masyarakat tampak kehidupanya terbelakang,
karena tidak ditemukan jenis tanaman yang secara ekonomis sangat
menguntungkan sementara tanaman padi dan jagung tergantug pada pengairan
yang memadai dan di daerah ini pengairanya tergantung pada tadah hujan31

Berdasarkan hal di atas, maka KH. Zaini Mun’im berusaha merintis


tanaman tembakau yang bibitnya diambil dari Pamekasan Madura. Ketika itu
masyarakat Paiton dan sekitarnya belum mengenal tanaman tembakau, melihat
kondisi tanah dan keterbatasan pengairan, tanaman tembakau oleh KH. Zaini
Mum’im dianggap tepat dan dapat menguntungkan dan meningkatkan
kesejateraan petani. Sebelum di sosialisasikan kepada masyrakat umum, KH.
Zaini memulai dengan menanam sendiri pada lahan-lahan pertanian milik KH.
Zaini dan saudara-saudaranya. Praktek tanam tembakau ini ternyata sangat
berhasil, tanah Paiton dan sekitarnya sangat menunjang, kualitas tembakaunya
sangat baik dan menarik minat pabrikan untuk membelinya.

Lambat laun rintisan tanaman tembakau yang dilakukan KH. Zaini


Mun’im sahabat dan para santri diikuti juga oleh masyarakat sekitar pondok
pesantren, sehingga panen tembakau semakin banyak. Karena tanaman
tembakau sangat menguntungkan dan menarik perhatian dari pabrikan, maka
tanaman tembakau menjadi umum bahkan pada decade 1970-an banyak
gudang tembakau didirikan di daerah Karanganyar dan Paiton didirkan untuk
menampung dan membeli hasil pertanian tembakau. Keuntungan yang
diperoleh masyrakat semakin meningkat karena harga tembakau tergolong
tinggi yang kemudian diikuti oleh kesadaran masyrakat untuk membentuk
kelompok pertanian tembakau, selain untuk meningkatkan keterampilan
mereka dalam bidang pertanian juga memperkuat posisi tawar mereka
berhadapan dengan gudang dan pabrik, dalam kaitan ini KH. Zaini Mun’im
31
M. Mansyhur A dan M. Nasikh R, KH. Zaini Mun’im Pengabdian dan Karya Tulisnya,
(Yogyakarta: LPKSM), hlm 66

31
dan Pondok Pesantren Nurul Jadid mengambil peran aktif dalam
mengedukasi, memidiasi, menfasilitasi bahkan mengatfokasi masyarakat
petani tembakau untuk terus meningkatkan posisinya sehingga dapat
melindungi hasil pertanianya berhadapan dengan gudang dan pabrik agar
permainanya lebih fair dan berkeadilan.

Peran yang dimainkan dalam pertanian tembakau merupakan rintisan


awal Pondok Pesantren Nurul Jadid dalam pengembangan masyarakat. Selain
pertanian tembakau, KH. Zaini Mun’im aktif dalam pemanfaatan lahan untuk
tanaman mangga dan pohon kelapa. Inipun di awali lahan-lahan pondok
pesantren yang dijadikan percontohan kepada masyarakat umum.
Keberhasilan pondok pesantren dalam menghidupkan kebun mangga dan
kebun kelapa telah menarik minat masyarakat untuk turut mengikuti jejak
yang dirintis pondok pesantren. Kedatangan masyarakat kepada Kiai dan
pondok pesantren bukan hanya saja bertanya soal agama tetapi juga soal
pertanian seperti penyedia bibit, pengolaan tanaman dll.

Jalinan masyarakat yang sudah ternbangun KH. Zaini Mun’im dan


pondok pesantren, diikuti pula dengan pendirian tempat ibadah di masyrakat
sekitar pondok, di kawasan barat, di kawasan selatan dan dikawasan timur
sedangkan di utara pondok masih kosong dari pemukiman. KH. Zaini Mun’im
menjadikan tempat ibadah yang didirkan di sekitar itu sebagai pusat
pertemuan masyrakat, pusat silaturohim membangun ke guyuban,
kebersamaan sekaligus sebagai pusat pendidikan dan pengajaran masyrakat.
KH. Zaini mun’im diselah-selah waktunya menyempatkan diri secara rutin ke
temapat-tempat tersebut untuk mendorong pengembangan masyrakat.
Selanjutnya dari tempat ibadah itulah berkembang wadah-wadah baru seperti
arisan, sholawatan, tahlilan, malam jum’atan dll yang sekaligus sebagai ikhtiar
masyarakat untuk membentuk wadah yang dapat digunakan sebagai instrumen
mewadahi berbagai kepentingan baik dunia dan akhirat, inilah kelak yang
sangat bermanfaat bagi usaha pengembangan masyarakat sebagai cikal bakal
terbentuknya kelompok- kelompok dinamis yang mampu mendorong

32
masyarakat lebih berkembang.

2.4 Pesantren-Pesantren Sekitar Pondok Pesantren Nurul Jadid

Terdapat beberapa pondok pesantren yang selama ini menjadi mitra


untuk menjalankan program pengembangan masyrakat. Pondok Pesantren Al
Hafid diasuh oleh KH. Hefni terletak dalam satu desa dengan Pondok
Pesantren Nurul Jadid dan hanya berjarak sekitar 500 M, masih ada hubungan
kerabat. Karena letaknya yang berada di luar Pesantren Nurul Jadid, Pesantren
Al Hafid ini menjadi mediator dan fasilitator dengan masyrakat sekitar.
Sekalipun mengkhususkan diri pada hafalan Al- Qur’an, justru Karena
kekhusan inilah masyrakat menaruh hormat dan menjadikan posisinya sebagai
rujukan bagi masyrakat sekitar.

Pondok Pesantren Mambaul ulum berlokasi di kota kecamatan Paiton,


berjarak 4 km dari Pesantren Nurul Jadid, sebagian dari tenaga pengajar di
Pesantren ini masih tergolong alumni Pondok Pesantren Nurul Jadid. Karena
lokasinya yang berada di pusat kecamatan, banyak dari tertangga Pesantren
yang menekuni sektor informal baik yang terkait dengan pasar maupun
industry rumahan dan perdagang keliling yang banyak memerlukan bantuan
dan dukungan modal yang dikerjasamakan dengan program pengembangan
masyrakat di Pondok Pesantren Nurul Jadid.32

Pondok Pesantren Nurul Rohma kota Anyar Probolinggo, diasuh oleh


KH. Zainulloh generasi kedua dari pendiri pondok Pesantren. pondok
pesantren ini berjarak sekitar 20 km dari Pondok Pesantren Nurul Jadid.
Lokasi pesantren berada di dataran tinggi daerah pergunungan. Banyak
masyrakatnya bergerak di sektor pertenakan dan industry rumah tangga seperti
keterampilan las dan pembuatan alat- alat dapur keluarga. Masyrakat inilah
yang dihubungkan dengan program pengembangan Pondok Pesantren Nurul
Jadid.

Pondok Pesantren Darul Lughahluwoh Wal Karomah diasuh oleh KH.


Sunar Bisri berlokasi di pusat kecamatan Kraksan, berjarak 12 Km dari
32
Ibid hlm 93

33
Pondok Pesantren Nurul Jadid masyrakat sekitar ini banyak bergerak di sektor
informal, perdagang kecil dan pedagang keliling. Oleh pihak Pesantren
masyrakat sekitarnya dihubungkan dengan program pengembangan
masyarakat Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Pondok Pesantren Wangkal kecamatan Wangkal diasuh oleh KH.


Arifrin lokasinya berada di daerah perbukitan menempati sisi selatan berjarak
sekitar 30 Km dari Pondok Pesantren Nurul Jadid, masyrakat sekitarnya
banyak bekerja di sektor perkebunan, ladang dan perdagangan kecil.
Pegasuhnya relative aktif menghubungkan masyrakat sekitarnya dengan
program pengembangan masyrakat Pondok Pesantren Nurul Jadid.

2.5 Program Pengembangan Masyarakat Dan Struktur Pondok Pesantren

Internasional yang menaruh perhatian terhadap kiprah Pondok


Pesantren Nurul Jadid dalam bidang pengembangan masyrakat. Lembaga
tersebut antara lain lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Peneragan Ekonomi
dan Sosial (LP3ES), Swiss Development Coporation (SDC), Asian
Foundation, Friedrich- Nauman Stiftung (FNS) yang berpusat di Berlin
Jerman, bina desa Jakarta dll. Lembaga ini memberikan paket pendidikan dan
pelatihan serta action plan terhadap santri-santri senior yang dikader secara
khusus untuk lebih punya perhatian dan bekerja struktur sistemik terhadap
gagasan penting pengembangan masyrakat melalui pondok pesantren. Pondok
Pesantren Nurul Jadid bukan hanya bersifat terbuka terhadap gagasan-gagasan
dari luar, tetapi juga merespon secara aktif bahkan berusaha meninternalisasi
ke dalam lingkup pondok pesantren melalui formalisasi struktur, program
yang secara resmi dibiyayai oleh pondok pesantren.33

Pada dasawarsa 1970-an Pondok Pesantren Nurul Jadid telah memiliki


struktur kepengurusan yang disusun berdasarkan satuan fungsi dan tugas:
strata tertinggi pengasuh pondok pesantren, struktur dibawahnya terdiri dari
biru-biru yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab pada pengasuh,
meliputi Biro Kepesantrenan, Biro Pendidikan, Biro Keuangan, pada akhir
33
Wawancara dengan Ibnu adam Kepala Hubungan Masyarakat. 06 Mei 2019. Jam 12.30

34
1970-an ditambah lagi dengan Biro Pengembangan Pesantren dan masyrakat
yang merupakan respon terhadap kerja sama berbagai swadaya masyrakat.
Posisi biro-biro ini memiliki kedudukan tinggi dan pelaksana langsung
terhadap program yang digariskan oleh pengasuh. Inilah bukti keseriusan
Pondok Pesantren Nurul Jadid membangun rintisan pemgembangan
masyarakat.

Biro pengembangan Pesantren dan pengembangan masyrakat yang


selanjutnya disingkat BP2M selain menangani tugas-tugas masyarakat melalui
Pesantren meneruskan misi pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, juga
mengurus dan membangun kerja sama dengan pihak-pihak luar dalam rangka
mendukung pengembangan masyarakat melalui pesantren34 berikut kutipan
wawancara:

“ya begini dari dulu mas, saya meneruskan, kami selaku biro
pengembangan juga menjalin kemitraan dengan banyak pihak untuk
mendukung pengembangan di pondok ini”

Selain itu, Biro Pengembangan Pesantren dan masyrakat mendorong


terwujudnya kelompok-kelompok dinamis di lingkungan pondok pesantren
dari berbagai lembaga pendidikan mereka yang potensial di lingkungan
organisasi intra sekolah/madrasah disaring untuk berhimpun dalam kelompok
dinamis dan selanjutnya mewujudkan peran-peran kepeloporan,
kepemimpinan dan kerja-kerja managerial dengan corak dan karakter yang
kuat, visioner sebagai calon pemimpin dimasa yang akan mendatang.
Belakangan, Biro Pengembangan Pesantren dan masa masyarakat juga
membangun kerja sama dengan organisasi yang relative baru muncul seperti
Pehimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyrakat (P3M), Ikatan
Cendikiawan Muslim Indonesia (IJMI) dan organisasi pemerintah serta
organisasi kemasyratan dan keagamaan di lingkungan jamiyah nadlatul ulama.
Kerja sama ini yang dibangun antara Pesantren Nurul Jadid dengan pihak
lain yang penenaganya diserahkan kepada Biro Pengembangan Pesantren dan
Masyarakat (BP2M) selain mengandung poin-poin kerja sama juga yang
34
Wawancara dengan Sahmu Ismail Kepala Keamanan. 06 Mei 2019. Jam 11.00

35
sangat terasa terjadinya transmisi pengetahuan dan pengalaman yang
berlangsung di luar pesantren kemudian menjadi berpindah pada pengurus dan
santri Pondok Pesantren Nurul Jadid. Inilah yang menjadi modal dalam
mengebangkan kelompok-kelompok, dinamis dan organisasi siswa intra
sekolah yang menjadi kawah candra di muka bagi tumbuhnya kader dan
penerus cita-cita pengembangan masyarakat.

BAB III
Program dan Aksi Pengembangan Ekonomi Masyarakat Melalui Pondok
Pesantren Nurul Jadid Tahun 1950-1996

36
Dalam menjalankan Program dan aksi pengembangan Ekonomi
Masyarakat, Pondok Pesantren Nurul Jadid mengalami dua fase: Pertama
fase pendirian dan rintisan pondok pesantren tahun 1950 sampai 1978 yang
berangkat dari visi pendiri pondok pesantren yang peduli terhadap pertanian,
perkebunan dan lingkngan. Melalui tiga isu ini pendiri pondok pesantren KH.
Zaini Mun’im mengajak masyarakat sekitar untuk Bertani berkebun secara
benar melalui pengenalan varitas baru seperti perkebunan pohon manga,
pohon kelapa dan tembakau yang dianggap mampu mendorong peningkatan
pendapatan masyarakat. Fase kedua Pondok Pesantren Nurul Jadid
menggandeng dan bekerjasama dengan Non Govermental Organization
(NGO) yang peduli dengan pondok pesantren dan pengembangan ekonomi
Masyarakat. Selanjutnya perlu digambarkan profil Kerjasama sebagai
berikut.

3.1 Fase Pertama

Kedatangan KH. Zaini Mun’im ke desa Karanganyar Paiton


Probolinggo pada tahun 1946, Kawasan desa ini Sebagian besar berbentuk
semak belukar dan hutan. Pemukiman masih Sebagian di pinggir jalan besar
dan jalan desa. Lokasi yang dipilih oleh KH. Zaini Mun’im sebagai tempat
tinggal berada di titik tengah antara jalan besar dan pantai. Masyarakat pada
umumnya berladang dan berternak. Belum ada jenis tanaman pertanian dan
perkebunan yang berpotensi meningkatkan pendapatan ekonomi mereka.
Sebagai perantau dari Pamekasan Madura, KH. Zaini melihat kondisi tanah
tempat barunya itu memiliki kemiripan dengan tanah di tempat asalnya,
Pamekasan Madura. Timbul pemikiran untuk memilih jenis tanaman yang
dapat menonjang ekonomi masyarakat, antara lain yang menonjol adalah:

a. Penanaman tembakau

KH. Zaini Mun’im memandang perlu untuk mendatangkan bibit


tembakau dari Madura untuk ditanam dan dijadikan percontohan untuk
masyarakat. Rencana penanaman tembakau ini berjalan dengan hasil yang
cukup menjanjikan terutama setelah menjalin komunikasi dengan beberapa

37
pabrik rokok. Mengingat harga jualnya cukup tinggi, maka usaha penanaman
tembakau lambat laun diikuti oleh masyarakat sekitar. Bahkan KH. Zaini
untuk memudahkan masyarakat menyimpan hasil tembakau menyiapkan
Gudang yang cukup memadai untuk menyimpan hasil tembakau baik
miliknya sendiri maupun milik masyarakat. Inilah yang kemudian pada tahun
1949 dijadikan alibi oleh kolonial Belanda untuk menangkap KH. Zaini
dengan tuduhan penimbunan tembakau illegal. Padahal, hal yang
sesunguhnya KH. Zaini memang dicari karena sebagai sabilillah leader di
Madura yang menentang kolonialisme Belanda. Penanaman tembakau ini di
kemudian hari dilakukan masyarakat secara besar-besaran dan menjadi
komoditas utama yang menonjang ekonomi masyarakat. Bahkan mampu
menarik tiga perusahaan rokok besar: PR Gudang Garam, PR Sampoerna dan
PR Djarum untuk mendirikan Gudang besar di kecamatan Paiton.

b. Percontohan kebun Mangga

Selanjutnya, setelah berhasil mengenalkan tanaman tembakau untuk


menonjang perekonomian masyarakat, KH. Zaini melangkah lebih lanjut
dengan mengenalkan perkebunan mangga, didahului dengan menyiapkan
lahan miliknya sendiri kurang lebih satu hektar untuk kebun Mangga. Pada
awalnya tanaman pohon mangga ini hanya ditanam di perkarangan masing-
masing di tempat tinggal masyarakat dan tidak tertata jumlahnya juga sangat
jarang. Namun setelah kebun mangga milik KH. Zaini ini berbuah dan
kemudian membangun akses pasar di kota Probolinggo, maka harga buah
mangga naik bahkan menjadi penunjang disamping tembakau untuk
meningkatkan pendapatan masyarakat dengan bukti seperti ini masyarakat
berminat untuk mengisi setiap lahan kosong untuk ditanami pohon mangga.
Di kemudian hari buah mangga ini justru menjadi icon Probolinggo sebagai
produk daerah yang diunggulkan.

c. Penanaman pohon kelapa

Melihat letak geografis desa Karanganyar yang termasuk Kawasan


pantai, dimana cocok untuk tanaman pohon kelapa, maka KH. Zaini merintis

38
penanaman pohon kelapa dengan jarak dan baris yang di atur sehingga
tampak indah dan menarik. Sekalipun Kawasan pantai, tapi masyarakat
jarang sekali yang serius menanam pohon kelapa, mereka hanya berdagang
dan nelayan ala kadarnya. Sama halnya dengan tanaman tembakau dan pohon
mangga, tanaman pohon kelapa ini dimulai dari lahan KH. Zaini sendiri yang
selain dinikmati hasil buahnya tetapi juga oleh keluarga KH. Zaini diolah
menjadi minuman dan snack seperti wingko, campuran makanan burnang
dan lain-lain. Yang kemudian mendorong masyarakat untuk mengikuti jejak
penanaman pohon kelapa ini. Selain pohon kelapan berumur Panjang juga
harganya cukup untuk menonjang kebutuhan dapur masyarakat.

3.2 Fase kedua

Sepeninggal KH. Zaini Mun’im 1976, kepemimpinan Pondok


Pesantren Nurul Jadid berahlih ke putra pertamanya KH. Muh. Hasyim Zaini.
Dibawah kepemimpinan pengasuh kedua ini, pondok pesantren berusaha
menformalkan misi pengembangan ekonomi masyarakat kedalam struktur
kepegurusan Pondok Pesantren Nurul Jadid, yaitu dengan membentuk Biro
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BP2M). Sebelumnya, telah
dibentuk Biro Kepesantrenan, Biro Pendidikan dan Biro Keuangan.
Kedudukan biro-biro ini persis di bawah pengasuh Pondok Pesantren Nurul
Jadid. Untuk memberikan program dan aksi peningkatan ekonomi pada
masyarakat sekitar agar lebih sistematis dan efektif. Maka Biro
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat setelah melakukan penataan di
internal Pesantren, selanjutnya menyususn Langkah-langkah untuk
bekerjasama dengan Non Govermental Organization (NGO) dalam hal
pengembangan masyarakat, kerja sama tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial


(LP3ES).
Kerja sama dengan lembaga ini tergolong paling tua dan utama
yaitu diundangya dua santri senior untuk mengikuti latihan tenaga
pengembang masyrakat (LTPN) selama tiga bulan di tahun 1979 yang

39
mengusung program teknologi tepat guna yaitu program dengan
pendekatan teknologi yang diambil dari bahan-bahan yang tersedia di
lingkungn masyrakat untuk memberikan kemudahan vagi masyrakat
seperti : pembuatan tungku lorena yaitu tungku yang lebih menghemat
bahan bakar kayu dengan tingkat pemanasan yang lebih maksimal,
seperti diketahui pada masa itu belum ada gas elpiji atau kompor gas
dan masa sedikit penggunaan kompor minyak tanah. Berikutnya juga
penggunaan anyaman bamboo yang dilapisi semen untuk dinding dan
atap, program pompa air melalui tali tampar, pipa dan roda. Pengerak
untuk menarik air dari kedalaman tertentu untuk keperluan air minum
dan mck kemudian program sanitasi untuk kesehatan lingkungan35
Kerjasama dengan LP3ES ini juga mengikutsertakan lembaga
lain, dalam bidang kajian dan keilmuan melibatkan lembaga Federich-
Nauman Stiftung yang memberikan perhatiaan keilmuan, penelitian
dan penerbitan hal ini lebih pada program intelektual dan akademik
bagi santri-santri yang mempunyai minat dan bakat keilmuan. Untuk
bidang pemberdayaan ekonomi masyrakat melalui program penguatan
modal pendampingan produksi dan pasar, LP3ES bekerja sama
dengan Swiss Development Coporation (SDC) di tahun 1993-1996
meluncurkan program yang melibatkan lima pondok pesantren di
sekitar Pondok Pesantren Nurul Jadid, seperti Pondok Pesantren
Nambaul Ulum Paiton Probolinggo, Pondok Pesantren Nurul Rohma
kota Anyar Probolinggo, Pondok Pesantren Al Hidayah Probolinggo,
Pondok Pesantren Darulluwoh Kraksan Probolinggo, Pondok
Pesantren Wangkal Probolinggo dimana Pesantren-Pesantren itu
mengikutsertakan masyrakat sekitarnya yang memiliki usaha baik
pertanian, perdagangan maupun sektor informal lainya.36 Dalam hal
mengembangkan masyarakat melalui Pesantren dalam program ini,
pendekatan yang digunakan adalah melalui wadah atau forum yang
sudah ada dan berjalan di masyarakat. Mereka beserta arisan,
35
Kh. Zuhri. Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid. 10 Mei 2019
36
Ibid.

40
sholawatan, yasinan, dll dijadikan instrument untuk mengembangkan
usaha masing- masing. Anggota kelompok ini yang sekaligus sebagai
pedagang kecil maupn usaha lainya dijadiak sebagai sasaran program.
Dengan harapan melalui wadah yang sudah ada akan menpunyai
kekuatan cultural untuk mendorong berjalanya program. Selain itu
swadana yang dihimpun melalui arisan bisa bersifat komplemeter
atau salin melengkapi dengan dana yang disodorkan melalui
program ini. Cara yang digunakan pada program pinjaman
menggunakan cara revolving fund yaitu danah bergulir dengan
model tanggung renten. Artinya modal yang dipinjamkan dibiarkan
bergulir dikelompok itu dan semua anggota harus bertanggung jawab
secara renteng bila ada anggota yang mennonggak maka anggota
lain terkena sangsi tidak menerima pinjaman, sehingga masing-
masing pihak saling mengontrol. Penawaran program seperti ini
dimaksudkan bukan hanya untuk menambah da memperkuat modal,
memperkuat dan menambah modal, melainkan juga untuk
pembelanjaran bersama melalui penegakan disiplin kesadaran dan
berwawasan kedepan. Selain itu, menghindari usaha-usaha yang fiktif
atau dipaksakan karena berada dalam kawasan bersama. Hal yang
lebih penting adalah mewujudkan pemupukan modal kelompok
sehingga semakin hari modal itu semakin membesar dan terus
bergulir memberikan manfaat yang begitu luas. Forum arisan dan
sebagainya bisa mengundang para ahli untuk melakukan
pendampingan terhadap proses atau produksi pada usaha masing-
masing serta akses pasar, sehingga penguliran program ini merupakan
bagian dari kebudayaan masyrakat setempat dan diharapakan
sebagai kekuatan yang positif.
b. Kerjasama dengan Penhimpunan Pengembangan Pesantren dan
Masyrakat (P3M)
Pondok Pesantren Nurul Jadid bekerja sama dengan
Penghimpunan Pengembanagn Pesantren dan Masyrakat (P3M)

41
mengembangkan tradisi keilmuan melalui ketrampilan tulis menulis,
jurnalistik dunia kewartawanan dan pembentukan lingkumgan dan
pendidikan. Melalui salah satu unit pelaksana P3M yaitu Unit
Dokumentasi dan Pelayanan Informasi (UDPI) Pondok Pesantren Tebu
Ireng Jombang. Memulai program dengan latihan jurnalistik selama
satu bulan pada bulan juni 1986 bertempat di Pondok Pesantren Tebu
Ireng Jombang diutus lima kader senior dari Pondok Pesantren Nurul
Jadid. Selepas latihan mereka diwajibkan membuat media baca sperti
bulletin, majalah, dan tabloid. Kemudian secara berantai Pesantren
Nurul Jadid menyelengarakan pelatihan yang sama kepada pesantren
atau lembaga pendidikan di sekitar Pondok Pesantren Nurul Jadid,
sehingga keterampilan tulis menulis ini meluas di miliki oleh para
santri dan masyrakat. Dari kelompok tulis menulis ini lahir pula
kelompok pemerhati lingkungan dan pendidikan, terutama pendidikan
awal atau dasar secara bergiliran mengunjungi lembaga-lembaga
pendidikan di pelosok-pelosok yang memerlukan dukungan sumber
daya pengajar untuk memberikan nilai tambah serta membangun
semangat agar lebih survive dan berkembang dalam mengelola
pendidikanya.
c. Bekerjasama dengan Lajnah Kajian dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia (LAKPESDAM-NU)
Pondok Pesantren Nurul Jadid membangun modul-modul atau
paket pelatihan untuk penyelengaraan pelatihan di Pesantren dan
madrasah terutama yang berada di pelosok perdesaan. Melalui jaringan
alumni diberbagai daerah di ikutsertakan dalam gerakan pelatihan dan
peyusunan paket atau modul untuk meningjatkan kemampuan mereka
dalam mengelola kelas dan lingkungan belajar terutama penguasaan
pelajaran dasar keagamaan dan kemampuanya mengungkapkan
gagasan-gagasan untuk pengembangan pendidikan agama.
Penyengelaraan pelatihan ini juga dikerjasamakan dengan
pendidikan maa’rid yang menaungi lembaga pendidikan di bawah NU.

42
Sasaranya selain tenaga pengajar adalah satuan-satuan pendidikan
yang dipersiapkan secara khusus bagi siswa yang mempunyai
kemampuan yang berkeunggulan agar potensi mereka benar-benar
dapat disalurkan dengan baik, dipadukan dengan gerakan penelusuran
minat dan bakat setiap siswa untuk mengantarkan meraka sesuai
dengan bakat dan minatnya. Pendekatan pelatihan diutamakan untuk
memindahkan kemampuan dari para pelatih menjadi kemampuan lokal
yang dimiliki oleh para pengajar atau pendampin kependidkan yang
tersedia di tempat itu atau yang dikenal dengan transfer keilmuan.
Hal yang sama dengan lapesdam adalah Kerjasama Dengan
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (IJMI) dan beberapa pemeratih
lainya. Kerjasama posisisnya diletakkan sebagai pemicu bagi
kebangkitan peradaban masyrakat dari berbagai sektor. Dimaksudkan
untuk mengembangkan kehidupan mereka melalui akar budayanya
sendiri, sehingga tidak menimbulkan benturan nilai, keterjutan budaya
atau lompatan-lompatan pembangunan yang tanpa disadari menarik
manusia dari lingkungan budayanya. Inilah yang memerlukan kearifan
dari para pengembang sosial untuk benar-benar berhati-hati
mencangkokkan setiap kegiatan yang baru atau dari luar yang diusung
untuk masyarakat lokal.

3.3 Program pendidikan dan pengembangan masyrakat Pondok Pesantren


Nurul Jadid dari masa ke masa.
3.4 Cikal bakal (1950-1976)

Keberadaan Pondok Pesantren Nurul Jadid tak lepas dari


kontruksi kemasyrakatan yang mencitakan suatu transendensi atas
perjalanan historisitas sosial. Hal yang menjadi titik penting adalah
kenyataan eksistensi pesantren sebagai salah satu pemicu terwujudanya
kohesi sosial. Kenicayaan ini karena Pesantren hadir terbuka dengan
semangat keserdehanaan, kekeluargaan dan kepedulian sosial.

43
Beririnya Pondok Pesantren Nurul Jadid memang bukan sekedar
untuk pemenuhan kebeutuhan keilmuan, melainkan juga penjagaan
budaya, penyebaaran etika dan moralitas keagamaan. Tak heran, pada
periode awal ini santri lebih diarakan agar lebih memahami bentuk
aplikasi dan teori ilmu- ilmu keagamaan yang mereka pelajari kitab-
kitab kuning. Sehingga nantinya, para santri bisa mengamalkan teori
ilmu-ilmu keagamaan secara tepat dan benar ketika sudah terjun di
tengah-tengah masyrakat. Bentuk aplikasi ilmu keagamaan tersebut
dilakukan dalam bentuk pendampingan kepada masyrakat.

Hal itu bisa dilihat, misalnya dalam bidang ekonomi, khusunya


pertanian. Sektor pertanian dijadikan prioritas. Hal ini tidak lepas dari
pendapat KH. Zaini, bahwa jika bidang perekonomian masyarakat
lemah, hal itu dapat menjadi salah satu pemicu tumbuh-kembanya
prilaku amoral dan kufur. Pendapat itu lahir setelah KH. Zaini
melakukan analisa terhadap situasi dan konsisi perekonomian
masyarakat sekitar yang amat rendah. Selain itu, karanganyar juga
terkenal sebagai pusat bromocorah. Namun, tanah di karanganyar
sebenarnya merupakan kategori tanah yang cukup produktif. Hanya
saja, masyrakatnya belum bisa memanfaatkan dengan baik.

Setelah perekonomian masyrakat mulai meningkat melalui


pemanfaatan tanah perhatian, mulailah dimasukkan ajaran dan nilai-
nilai agama islam dalam kehidupan masyarakat karang anyar. Hal
lainya adalah pedalaman ilmu agama melalui sistem pendidikan non
formal pola pendidikan dan pembinaan semacam itu dilakukan baik
kepada santri maupun kepada masyrakat sekitar Pesantren. Pengajian
kitab dilakukan dengan berbagai metode, mulai dari bandongan,
sorogan dan takhassus. Jika di Pesantren lain pemberian makna dalam
pengajian kitab kuning menggunakan bahasa Jawa atau Madura, di
Nurul Jadid menggunakan bahasa Indonesia. Dalam hal ini, pesantren
Nurul Jadid merupakan Pesantren pertama yang megunakan dan

44
menerjemahkan kitab-kitab yang dikajinya.

Dalam bidang lembaga pendidikan, Pesantren Nurul Jadid


menerapkan sistem yang sistematis dan terprogram. Sehingga, output
yang dihasilkan mempunyai kapabilitas dan kompetensi dalam
berbagai bidang, untuk dijadikan modal dalam mengabdi, baik agama
dan atau tanah air. Pada periode awal ini pula sudah mulai berdiri
beberapa lembaga pendidikan formal. Di antara beberapa lembaga
pendidikan tersebut adalah Madrasah Ibtidaiyah Agama (MIA), yang
didirikan pada tahun 1950 bersama masyarakat sekitar.

Selain MIA, terdapat lembaga pendidikan tingkat kanak-kanak


yang bernama TK. Nurul MUn’im. Pada saat yang sama, dirintis
sebuah sistem pendidikan model klasikal yang dulunya dikenal dengan
sistem khairiyah. Sistem pendidikan yang diterapkan dalam model ini
sangat sistematis dan terprogram. Demikian, materi pelajaran yang
disajikan tidak hanya terbatas pada pelajaran-pelajaran agama, namun
pelajaran umum seperti matematika, bahasa Indonesia, dan ilmu tata
Negara, juga diajarkan.

Dalam rangka menerapkan sistem pendidikan yang sistematis dan


terprogram, dirintislah sebuah lembaga bernama flour kelas. Lembaga
ini dibentuk sebagai pendidikan lanjutan bagi santri yang akan
meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi. Selanjutnya, tahun 1961,
lembaga pendidikan flour kelas berubah nama menjadi Mua’allimin.
Pada tahun 1964, materi-materi umum seperti bahasa inggris, sejarah
geografi, biologi dan sebegaianya mulai dimasukkan ke dalam mata
pelajaran yang disajikan.

Dalam perkembanganya, tahun 1969, Madrasah Mu’allim


berubah menjadi madrasah tsanawiyah (MTS). Selang tiga tahun
kemudian, MTs ini beralih status dari swasta ke negeri. Selain lembaga
yang berafiliasi ke depag, pada tahun 1974, berdiri lembaga pendidikan
tingkat dasar, yang bernama Sekolah Dasar Islam (SDI). Lembaga ini

45
didirikan untuk menampung aspirasi masyarakat yang enggan
menyekolahkan putra-putrinya ke lembaga pendidikan yang lokasinya
berada di dalam Pesantren. Dua tahun kemudian, SDI menempati
lokasi baru dan namanya berubah menjadi Madrasah Ibtidaiyyah Nurul
Mun’im (MINN).

Satu tahun kemudian (1975), ketika kalangan masyarakat dan


pemerintah sedang bersemangat mensosialisasikan prospek pendidikan
agama, yayasan Pesantren Nurul Jadid mendirikan sebuah lembaga
bernama Pendidikan Guru Agama Nurul Jadid (PGANJ) yang
berjenjang 6 tahun. PGANJ didirikan untuk mempersiapkan santri-
santri yang siap berkiprah di dunia pendidikan, baik dalam lingkungan
pemerintahan maupun swasta. Namun, dalam proses perjalanya,
lembaga ini hanya bertahan tiga tahun.37

Pada tanggal 20 juli 1968, melalui musyawarah kerja wilayah


NU Jawa Timur di Lumajang, dibentuklah panitia usaha pendidikan
Akademi Dakwa dan Pendidikan Nahdlatur Ulama (ADIPNU) yang
berada di bawah pengawasan partai Nahdlatul Ulama Jawa Timur.
Selanjutnya, ADIPNU tersebut didirikan di Pesantren Nurul Jadid yang
dalam pelaksanaanya diserahkan kepada Kiai Zaini. Dua bulan
kemudian, tepatnya 1 september 1968, KH. Idham Challid, ketua
Umum PBNU waktu itu, membuka secara resmi ADIPNU di pesantren
ini.38

3.5 Periode Pembinaan dan penataan (1976-1984)

Pada periode ini, ditata sebuah formulasi atas khazanah


intelektual, penataan ini tampak misalnya dalam pemberlakuan
kualifikasi keahlian masing-masing santri, termasuk dalam standar
budaya yang menjadi pijakan kesaharian. Tujuan yang ingin dicapai
dari penataan ini adalah tertanamnya semangat tafaqquh fi al-din,
37
R Roharjo, Media dan Pembelajaran dalam Laporan Latihan Kependidikan, (Paiton:Nurul Jadid
1988), hlm 79
38
Ibid, hlm 83

46
mendalami ilmu agama sebagai bekal saat kelak terjun di tengah-
tengah masyarakat. Selain itu, dalam periode ini, sistem manajerial
pengelolaan pesantren mengalami perkembangan cukup signifikan.
Kreasi-kreasi inovatif banyak bermunculan, terutama dalam hal
merespon perkembangan yang terjadi. Pengembangan ilmu dan
teknologi merupakan salah satu cara agar pesantren ini mampu
berbicara di tengah zaman yang terus berubah.

Selain itu, pendekatan komunikasi lisan maupun teladan


dilakukan dalam rangka transfer of value kepada santri. Bangunan
seperti inilah yang digagas oleh KH Hasyim Zaini (Pengasuh kedua)
dalam pembinaan dan penataan PP Nurul Jadid sejak 1976-1984.
Dengan demikian, Nurul Jadid berusaha untuk terus menyesuaikan diri
dengan perkembangan zaman, sekaligus mempertahankan tradisi lama
yang masih relevan. Dalam persoalan kepemimpinan, pola yang
digunakan di pesantren Nurul Jadid bersifat kolektif. Meski di dalam
struktur pengasuh diemban oleh KH. Hasyim,39 namun secara
operasional, pesantren Nurul Jadid diurusi bersama-sama dengan tujuh
pengasuh lainya.

Pada sektor pendidikan, santri terus diupayakan untuk


tafaraqquh fi al-din. Dalam bidang keilmuan klasik yang tertuang
dalam kitab kuning. Utamanya mereka yang duduk di bangku SLTP
dan SMU diarahkan untuk menguasai ilmu pengetahuan, khususnya
MAFIKIB. Untuk memenuhi kebutuhan ilmu agama, pendalaman
dilakukan di asrama santri. Jadi, pola pendidikan dan pembinaan pada
periode ini dilakukan secara integral. Sehingga, terjadi sebuah proses
yang saling mendukung antara program sekolah dan kegiatan asrama.

Selanjutnya, karena adanya perubahan dari sisdiknas, maka


pada tahun 1977 (satu tahun setelah wafatnya kiai zaini), PGANJ 6
tahun berubah menjadi MTs untuk kelas I, II, dan III. Sedangkan kelas
39
Wawancara dengan Drs. Hambali, M.Pd. bagian Humas dan Kerjasama pondok pesantren. 05
Mei 2.20. jam 09.00.

47
IV, V dan VI menjadi madrasah Aliyah Nurul Jadid (MANJ). Pada
jenjang pendidikan tinggi juga mulai terlibat adanya peningkatan.
Tahun 1979-1980 dirintis berdirinya sekolah tinggi ilmu syariah.
Untuk membekali life skill santri, pesantren mendelegasikan diri
beberapa santri untuk mebngikuti pelatihan, baik tingkat wilayah
maupun Nasional. Pada periode ini pula, pesantren mulai merintis hal-
hal yang menyangkut keterampilan santri, mulai dari elektro, jahit
menjahit, pertanian serta kemampuan kebahasan (Arab-Inggris). Selain
itu, para santri dan alumni dianjurkan untuk mengisi ruang-ruang
birokrasi. Jumlah santri pada masa KH. Hasyim meningkat drastis.
Pada tahun 1983, jumlah santri Nurul Jadid sekitar 2000 santri.

3.6 Periode Pengembangan (1984-1996)

Setelah KH. Hasyim wafat, posisi pengasuh diemban oleh KH.


Wahid Zaini. Meski kesibukan KH. Wahid di luar pesantren sangat
padat, KH. Wahid tetap bisa mengurus pesantren dengan baik. Pada
masa KH. Wahid di luar Pesantren sangat padat, KH. Wahid tetap bisa
mengurus Pesantren dengan baik. Pada masa KH. Wahid, Pondok
Pesantren Nurul Jadid mengalami perkembangan yang sangat pesat,
baik dalam jumlah santri maupun pelayanan dan pengembangan
masyarakat. Tokoh Pesantren yang punya pemikiran modern ini tak
hanya mendidik para santrinya agar mampu memahami ilmu-ilmu
agama dan teknologi. Lebih dari itu, pada masa kepemimpinanya, KH.
Wahid mendorong masyarakat sekitar agar lebih mandiri dan maju
dalam hal pendidikann, ekonomi, dan kesehatan.

Dalam bidang pendidikan, dilakukan pembenahan mulai dari


TK (Taman kanak-kanak) hingga perguruan tinggi. Pembenahan itu
antara lain dilakukan pada TK Nurul Muni,m. pada tahun 1989, dijalin
kerjasama antara PKBI (Perkumpulan keluarga berencana Indonesia)
dan pesantren Nurul Jadid. Pada perkembanganya, TK Nurul Mun’im
kemudian berubah menjadi TK. Bina Anasprasa.

48
Satu tahun kemudian, beberapa lembaga pendidikan yang
sebelumnya hanya memiliki status terdaftar dan diakui, diusahakan
meningkat menjadi disamakan. Dengan peningkatan status ini,
lembaga pendidikan tersebut sejajar dengan lembaga pendidikan
negeri. Beberapa lembaga tersebut adalah SMUNJ yang disamakan
pada tahun1990, SMPNJ disamakan pada tahun 1990, SMPNj
disamakan pada tahun 1991, dan MTsNJ serta MANJ disamakan pada
tahun yang sama.

Pesantren juga mengalakkan pengembangan bahasa asing,


Untuk mewujudkan itu, didirikanlah Lembaga Pengembangan Bahasa
Asing (LPBA), yang menjadi cikal bakal pendidikan D1 Bahasa
Inggris. LPBA diharapkan dapat menghidupkan ghirah berbahasa asing
di masing-masing gang (sebuah istilah untuk menunjuk tempat tinggal
santri sehari-hari). Harapanya,bahasa arab dan Inggris akan menjadi
bahasa sehari-hari. Berbagai upaya dilakukan untuk mendorong
kemajuan dan kemandirian masyrakat sekitar pesantren melalui Biro
Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (BPPM), PP Nurul Jadid
mendirikan unit simpan pinjam (USP). USP didirkan guna membantu
para petani tembakau sekaligus memberikan pendampingan pada
mereka. Ide ini muncul karena petani sekitar Paiton tidak memiliki
posisi tawar yang kuat di hadapan pengambil kebijakan. Padahal,
tembakau merupakan komuditas utama penopang perekonomian
masyarakat. Melalui paperton, Pesantren dan masyarakat
bermusyawarah seputar persoalan-persoalan pertembakauan, seperti
kapasitas produksi, kapasitas daya tampung, gudang dan lain-lain.

Pesantren juga merintis berbagai usaha agrobisnis berupa


penanaman varietas tanaman. Seringkali tanaman petani hanya sejenis.
Akibatnya, satu tanaman terserang hama, semua tanaman akan ludes.
Usaha lainya berupa pertenakan dan perikanan. Untuk membantu
masyarakat memproleh pelayanan kesehatan yang baik, pondok

49
pesantren juga mendirikan Klinik Azzainiyah, 40 yang semula bernama
Usaha Pelayanan Kesehatan Santri (UPKS). Pesantren juga
membangun panti asuhan untuk menampung anak-anak dari kalangan
ekonomi lemah. Setelah KH. Wahid wafat, kepemimpinan pesantren
dilanjutkan oleh KH. Moh. Zuhri Zaini. Pada masa KH. Zuhri,
dilakukan pembenahan dalam struktur pondok pesantren, seperti
dibentuknya dewan pengasuh, koordinator sebagai lembaga yang
membantu pengasuh, restruksi BPPM, menambah struktur baru seperti
BKLH dan lajnah Falakiyah, pembentukan bagian khusus yang
menangani pembinaan Al-Qur’an, serta mendirikan Ma’had Aly yang
memiliki kosentrasi dalam pembinaan kader dakwah. Untuk
peningkatan kinerja organisasi pesantren, dilakukan beberapa langkah
pembenahan infrastruktur manajemen pesantren seperti pengadaan
Local Area Network (LAN) sebagai penghubung elektronik antar
lembaga, sentralisasi data, pembuatan website, dan lainya. Selain itu,
pengembangan dan perluasan area Pondok Pesantren Nurul Jadid juga
dilakukan, terutama di area kampus terpadu, sebelah timur kompleks
pondok pesantren, meliputi: IAI Nurul Jadid, STT Nurul Jadid, dan
STIkes Nurul Jadid. Pengembangan sarana ibadah juga dilakukan,
seperti renovasi Masjid Jami Nurul Jadid menjadi tiga lantai,
penambahan mushallah-mushallah di wilayah puteri, serta melakukan
penambahan asrama sebagai sarana prasarana tempat mukim santri,
meliputi: Asrama i’daiyah Daltim, Asrama Sunan Muria, Asrama
Sunan Maulana Malik Ibrahim.

3.7 Hubungan timbal balik dan partisipasi masyrakat


Sejak pendirianyah, Pondok Pesantren Nurul Jadid mempunyai
hubungan emosional dengan masyrakat sekitarnya. Namun masyarakat
memberikan posisi terhormat kepada pondok pesantren, utamanya kepada
kiai yang memimpin pondok pesantren, penempatan masyarakat ini karena
pondok pesantren diyakini sebagai tempat belajar, bertanya dan bekerja sama
40
P3M, Majalah Pesantren, No.04/Vol. IV/1987(Jakarta:P3M) hal 13

50
dalam membimbing kehidupan di dunia dan akhirat. Hubungan ini bersifat
simbiosis mutualistik, masyarakat memerlukan pondok pesantren dan pondok
pesantren memerlukan masyarakatnya. Hubungan seperti inilah yang menjadi
kekuatan pondok pesantren sebagai agen pembaruan dan perubahan. Ikhtiar
perubahan melalui pondok pesantren nyaris tanpa curiga, diterima sebagai
bagian dari kebutuhan masyarakat dan pondok pesantren itu sendiri. Suasana
kebatinan seperti ini merupakan kekayaan sekaligus kekuatan hubungan
pondok pesantren dan masyarakat.

Pada masa pemerintahan orde baru, hubungan pondok pesantren ini


sering digunakan sebagai jembatan kepentingan untuk mensukseskan
berbagai program pemerintah bahkan Tahun 1984 atas inisaisi menteri
penerangan Republik Indonesia didirikan Pusat Informasi pondok pesantren
(PIP) sebagai pengakuan formal pemerintah orde baru terhadap posisi
pondok pesantren di tengah-tengah masyarakat. Jauh sebelum itu, di masa
perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia, pondok pesantren dijadikan
markas pertahanan perjuang rakyat bersama-sama dengan kiai berjuang
mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Kiai dan pondok pesantren bukan hanya pemimpin dan tempat kegiatan
keagamaan melainkan sebagai panutan, pembimbing dan pendamping
masyarakat. Mereka tumbuh dan berkembang bersama masayarakat. Dalam
kasus Pondok Pesantren Nurul Jadid, keterlibatan pondok pesantren dengan
masyarakatnya berlangsung hampir dalam setiap kebutuhan dan persoalan
masyarakat, mulai dari kelahiran, perkawinan dan kematian. Pengagas
tanaman pertanian dan perkebunan lahir dari hubungan Pondok Pesantren
Nurul Jadid dan sekitarnya, seperti penanaman mangga, tembakau, kelapa
dan beberapa variaritas tanaman padi dipelopori oleh hasil hubungan
Pesantren Nurul Jadid dengan masyarakat sekitarnya di tahun 1947 pendiri
dan sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid ditahan oleh
pemerintah belanda di Kraksan karena di tuduh menimbun hasil tembakau,
walaupun masyarakat tau bahwa tuduhan itu hanya dibuat buat yang

51
sebenarnya adalah karena posisi KH. Zaini Mun’im sabilillah leader di
Madura.41

Keterlibatan Pondok Pesantren dengan berbagai dimensi


kemasyarakatan, menyebabkan hubungan timbal balik antara Pesantren dan
masyarakat bukan hanya bermuatan fungi kepentingan melainkan sudah
masuk pada hubungan emosional yang menyentuh kesadaran kedua belah
pihak untuk saling menjaga, melindungi, mempertahankan dan melestarikan
perjalanan kehidupan mereka masing-masing. Model hubungan seperti ini
melahirkan partisipasi yang murni dan tulus pondok Pesantren dan
masyarakat - masyarakat dengan pondok Pesantren.

Nafas partisipasi masyarakat diperkuat pula dengan banyaknya alumni


Pondok Pesantren Nurul Jadid yang memilih tinggal dan berumah tangga di
sekitar pondok pesantren bahkan diantaranya ada yang mendirikan pondok
pesantren dalam jarak yang tidak terlalu jauh dengan Pondok Pesantren
Nurul Jadid, menjadi tetangga desa atau tetangga kecamatan. Kondisi ini
membentuk lapisan jenis-jenis lapisan masyarakat. Lapisan masyarakat awal
yang terdiri dari masyarakat asli lokal dimana Pondok Pesantren Nurul Jadid
didirikan. Masyarakat pendatang yang merantau ke sekitar pondok pesantren
untuk mencari kehidupan baru selanjutnya masyarakat dari unsur alumni
yang memilih tinggal di sekitar pondok pesantren. Tiga lapis masyarakat ini
semakin memperkuat jalinan partisipasi masyarakat terhadap keberadaan
Pondok Pesantren Nurul Jadid.42

Partisipasi masyarakat dapat dinyatakan sebagai suatu proses melalui


mana stakeholder mempengaruhi dan ikut berbagai ( share ) control atas /
terhadap prakarsa dan keputusan serta sumber daya pembangunan yang
mempengaruhi mereka43 partisipasi masyarakat berlangsung situasional,

41
Wawancara dengan Bpk. Lukman Hakim bagian Koperasi Tahun 1986-1989, 05 Mei 2020, jam
12.00.
42
ibid
43
Sirajuddin, Fatkhurrahman, Zurkanain, Legislative, Drafting, pelembagaan metode partisipatif
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, malang, Corruption Watch dan YAPPIKA
2016. Hlm 234.

52
menunjukkan grafik ketika kekuasaan pemerintah tidak represif. Hasil
pendekatan teknokratik – seperti dialami pemerintah orde baru – pemerintah
daerah hanya meneruskan program-program yang dirancang pemerintah
pusat. Keadaan ini oleh Widianingsih dan Mirrel44 disebut sebagai
menghambat kreativitas dan inovasi daerah.

Pandangan lain dinyatakan Andrian Girza Lavalle, Arnab Acharya45


bahwa dalam persaingan politik yang cukup sengit, dapat pula mendorong
jalinan hubungan masyarakat dengan actor-aktor politik dan kekuasaan yang
berlangsung cukup interns dan ini justru dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat, dimana persaingan harus diikuti dengan iklim yang sehat yang
pada akhirnya memperbesar terwujudnya hajat masyarakat.
Partisipasi masyarakat mengalami beberapa tingkatan, ada yang bersifat
mobilisasi yang lebih menunjukkan pada partisipasi masyarakat yang bersifat
semu, kelihatanya partisipasi tetapi sebenarnya bersifat pengarahan. Kondisi
ini berkaitan juga dengan sejarah pembentukan masyarakat yang lebih
banyak membangun dari hubungan patron – client atau lazimnya terjadi pada
masyarakat feudalistic. Namun demikian, lambat laun perkembangan global
hal ini akan terkikis juga dan akan mengarah pada rasionalitas dan partisipasi
subtansis.

Apapun model partisipasi yang terjadi, tidak akan banyak berarti jika
masyarakat bersifat apatis terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk itu harus di
upayakan untuk mendorong masyarakat agar aktif berpatisipasi dalam setiap
proses keputusan kolektif. Ada beberapa strategi yang dapat di lakukan untuk
mendorong partisipasi masyarakat, antara lain: mengokohkan kekuatan
masyarakat dalam setiap peran serta, memberdayakan masyarakat termasuk
kesadaran kritis terhadap hal-hal sekitarnya, mendorong publikasi informasi
ke ilmuan dan kemasyarakatan khususnya yang berkaitan dengan partisipasi

44
Ida Widianingsih dan Elizabeth Morrel, Participatory Planning In Indonesia, dalam Policy
studies, Vol 28- issue, 2007. Hlm 2
45
Andrian Gurza Lavall, Arnab Acharya dan Peter P. Houtzager, beyond comparative
anecdotalism: listen on civil society in participation from sao Paulo Brazil, dalam world
development vol 3 (6) 2005 hlm. 960

53
serta mempengaruhi pengambil kebijakan, memunculkan relasi dan gerakan
partisipasi secara berlanjut.

Tahapan tahapan yang dimaksud, untuk mengambarkan tingkat


kekuatan partisipasi masyarakat yang timbul karena kesadaran atau kebiasaan
yang terbangun dalam lingkunganya. Karena tingkat partisipasi pada dasarnya
berkaitan juga dengan dorongan kesepakatan dan ketentuan bersama, disertai
dengan sarana yang disediakan bahkan ransangan lingkunngan baik yang
timbul karena pengaruh elit massa maupu karena komunitas tertentu.
Terkadang dalam sesuatu situasi tertentu, partisipasi masyarakat itu bisa saja
berawal dari mobilisasi akibat faktor keterkaitan interest atau kesamaan nilai –
nilai perjuangan.

Demikian pula, aktivitas pondok pesantren yang menjadawal kegiatan


layanan keagamaan dalam bentuk pengajian dan konsultasi yang disengarakan
bergiliran dari rumah ke rumah, dari kampung ke kampung baik yang
disengarakan murni layanan dan konsultasi keagamaan maupun yang
menumpang aktivitas rutin masyarakat seperti arisan dan rukun warga. Ini
semakin mengawetkan baik yang bersifat hubungan maupun semakin kuatnya
partisipasi masyarakat terhadap pondok pesantren.

Catatan partisipasi masyarakat juga menunjukkan beberapa masalah


yang perlu di antisipasi seperti sikap apatisme masyarakat, kurangnya
pengetahuan dan pemahaman masyarakat, budaya patronalistik yang masih
kuat mengakar, tidak tindak lanjut terhadap hasil partisipasi mayarakat,
responbilitas masyarakat yang rendah, masyarakat kurang memahami
mekanisme penyaluran aspirasi, keterbatasan akses mayarakat atas sumber
informasi dan kurangya dukungan elemen masyarakat lainya.

Dengan demikian partisipasi masyarakat merupakan salah satu unsure


penting dalam perumusan kebijakan khususnnya yang menyangkut hajat
public. Sudah seharusnya ada penjajakan terhadap kebutuhan masyarakat
dengan melibatkan mereka sendiri dalam mengungkapkan kebutuhan tersebut,
sehingga program yang dijalankan benar – benar berangkat dari kebutuhan

54
masyarakat.

Menurut The Internasional Associate for Public Participation ( IAP2 ),


peran serta masyarakat mengandung Unsur – unsur sebagai berikut:

1. Masyarakat harus memiliki suara dalam keputusan tentang tindakan


yang menpengaruhi kehidupan mereka.
2. Partipasi public termasuk janji bahwa kontribusi masyarakat akan
menpengaruhi keputusan.
3. Proses partisipasi masyarakat mengkomunikasikan kepentingan dan
memenuhi kebutuhan proses semua partisipasi.
4. Proses partisipasi masyarakat mencari dan menfasilitasi keterlibatan
mereka yang berpotensi terkena dampak.
5. Proses partisipasi public melibatkan peserta dalam mendefinisikan
bagaimana mereka berpatipasi.
6. Proses partisipasi masyarakat memberikan peserta dengan informasi
yang mereka butuhkan untuk berpatisipasi dalam cara yang
berpatisipasi dalam cara yang berarti.
7. Proses partisipasi masyarakat berkomunikasi dengan peserta
bagaimana masukan mereka menpengaruhikeputusan.

Tambahan jalinan hubungan pondok pesantren dan masyarakat bukan


hanya ditandai dengan layanan pesantren di masyarakat tetapi juga Pondok
Pesantren Nurul Jadid telah melakukan pembelahan sel dengan lahirnya
pondok pesantren “satelit” yang di peraksai oleh anggota keluarga dimana
sekaligus sebagai pendiri dan pengasuh pondok pesantren satelit itu. pondok
pesantren yang merupakan turunan dari Pondok Pesantren Nurul Jadid ini
mengkhususkan diri dalam kajian –kajian yang lebih spesifik; ada yang
mengkhususkan pada hafalan Al-Qur’an, kajian hadis dan fiqih. Mereka
menbuat pondok dalam (Asrama) di beberapa. Di sekitar pondok pesantren,
tetapi sekolah/madrasah mereka tetap berada di pondok pesantren induk yaitu
Pondok Pesantren Nurul Jadid, sehingga setiap pagi dan sore terlihat
pemandangan lalu lintas para santri yang memenuhi perkampunga, hilir mudik

55
dari satu pondok ke pondok lainya, dari pondok ke madarasa/sekolah dari
sekolah ke pondok.

3.8 Potret Hubungan Dengan Pemerintah

Masa pemerintahan orde baru, dukungan pemerintah terhadap Pondok


Pesantren Nurul Jadid tidak bersifat maksimal. Ini karena pilihan partai politik
Pondok Pesantren Nurul Jadid berbeda dengan pilihan partai politik
pemerintah seperti yang diketahui, pemerintah orde baru menjadikan Golkar
sebagai jalur politik pemerintah bahkan ketika itu, dibuat tiga jalur yang
bersatu dalam Golkar yaitu jalur ABRI, Biokrasi dan Golkar ketiganya bersatu
dalam Garis politik Golkar dan mereka memberikan dukungan yang cukup
maksimal terhadap unsure-unsur masyarakat yang mengambil garis politik
yang sama dengan pemerintah. Sementara itu, Pondok Pesantren Nurul Jadid
memilih berada dalam perjuangan politik partai persatuan dan pembangunan.
Pilihan politik yang berbeda dengan pemerintah di awal Orde Baru inilah yang
menyebabkan sejumlah fasilitas pemerintah seperti sekolah agama negeri dari
tingkatan Ibtidaiyah sampai aliyah ditarik dari posisi pondok pesantren dan
didirikan kembali dalam jarak satu kilometer dari lokasi pondok pesantren
sehingga di dalam Pondok pesantren diteruskan dengan madrasah ibtidahiyah
sampai aliyah di bawah naungan Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Minimnya dukungan pemerintah orde baru yang menyebabkan Pondok


Pesantren Nurul Jadid membangun hubungan dengan lembaga-lembaga non
pemerintah seperti LP3ES Jakarta, PKBI Jakarta dan Non Govemental
Organization (NGO) lainya dari kerja sama inilah lahir beberapa program
dengan PKBI lahir Program Pendidikan anak usia dini dan taman kanak-kanak
dengan LP3ES lahir program pengembangan masyarakat khususnya
penguatan dan peningkatan ekonomi kecil.

Dukungan pemerintah orde baru mulai kelihatan sejak penerimaan asas


tunggal oleh Nadalatul Ulama di awal Tahun 1980-an yang kemudian terus
meningkat sampai di launchingnya pendirian ikatan cendikiawan muslim
Indonesia yang direstui oleh Prisiden Soehato dan di tunjuk sebagai ketua

56
pertama professor dokter BJ Habibie sejak inilah hubungan pemerintah
dengan dunia Pesantren relative terbuka dan meningkat, lambat laun hambatan
politik mulai sirna dan kemudian ditunjukkan dengan melalui kunjungan
Professor Habibie ke Pondok Pesantren Nurul Jadid di awal Tahun 1990-an.

Era baru yang cukup harmonis antara pemerintah dan Pesantren ini
mulai tampak dukungan pemerintah melalui pengaspalan jalan utama menuju
pondok pesantren, ke iku sertaan santri-santri senior dalam program
pemerintah seperti keluaraga berencana, pemanfaatan CSR coporate social
responbilities perusahaan milik Negara, pengiriman tugas belajar santri
dengan program pemerintah dan lain- lain.

3.9 Program Pengembangan Masyarakat dan tantangan ke depan

Pada era pemerintahan reformasi, Negara telah mengambil jalan


demokrasi sesuai dengan konsitusi dan harapan rakyat Indonesia. Kedaultan
rakyat telah menempati posisi yang kuat, karena itu pondok pesantren sebagai
bagian dari rakyat telah di tempatkan dalam posisi yang bukan saja dapat
mengotrol pemerintahan tetapi juga dapat berkontribusi untuk menentukan
warna jalanya pemerintahan. Sebagai dari bagian komitmen reformasi,
pemerintah telah menyediakan diri sebagai pelayan masyarakat karena itu
banyak hubungan-hubungan fungsional yang mulai bergeser atau mencair di
gantikan dengan hubungan pemerintah dan masyarakat.

Pola hubungan yang bersifat baru ini, sekaligus menjadi tantangan bagi
pondok pesantren danmasyarakat khususnya dalam kemandirian, kecerdasan
dan kemampuan untuk memilih arah jalan hidup yang tetap menjaga marawa
dan martabat pesantren dan masyarakat. Terbukanya hubungan politik dengan
semua pihak, dan naiknya peranan partai politik serta Negara dalam kehidupan
masyarakat telah memberikan arah baru bagi berbagai jenis komunikasi dan
upaya pemberdayaan. Dulu pondok pesantren sibuk mencari akses ke
lingkungan pemerintah dan intitusi lainya, kini banyak unsur-unsur
pemerintah dan Negara yang sibuk membangun hubungan dengan pesantren
dan masyarakat.

57
pondok pesantren dan masyarakatnya yang umumnya tiggal di
pedesaan telah di gelontor dengan program dana desa, Pesantren di dekati oleh
berbagai partai politik dan kekuasaan, mereka berjalan dalam lingkaran
kepentingan masing-masing, inilah yang menjadi tantangan ke depan, apakah
dengan berbagai kemudahan ini pondok pesantren dan masyarakatnya masih
bertahan bahkan berkembang dengan warna asalnya, dengan kemandirian dan
cita-cita keluruhan ataukah telah bergeser pada langkah-langkah pragmatis
yang bersifat jangka pendek dan tidak menguatkan karakter. Inilah masalah-
masalah yang perlu dijawab Pesantren dan masayarakatnya untuk terus hidup
dalam kemajuan dengan jati diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang
berdasarkan pancasila dan Undang-undang dasar 1945.

Pada satu pihak dukungan pemerintah bisa saja melengkapi kebutuhan


yang diperlukana pihak Pesantren, menyangkut kebutuhan fisik seperti
bangunan, sekolah, tempat peribadatan, auditorium, klinik dan bangunan lain
yang memerlukan dukungan dana yang sangat besar yang tidak
memungkinkan untuk ditangulangi sendriri oleh kekuatan Pesantren. Namun
demikian dukungan ini tidak boleh mengurangi kemandirian dan peran serta
masyarakat di sekitarnya karena itulah jati diri pesantren yang sesunguhnya.

Dukungan pemerintah justru harus menyuburkan nilai-nilai


kemandirian dan peran serta masyarakat, relasi-relasi yang telah berhasil di
bangun oleh pesantren dan masyarakatnya turut di perkuat oleh dukungan
pemerintah. Karena pada dasalnya nafas pesantren bertumpu pada kekuatan
pesantren dan masyarakat lingkungannya. Karena itu pmerintah harus
mempertimbangakan dengan cermat setiap dukunganya untuk mampu
menumbuh suburkan potensi dalam pesantren dan dalam masyarakat.
Ibaratnya, pemerintah tidak hanya sekedar memberikan melainkan
memberikan pancing dan memproteksi lahan yang menjaid objek pencarian.

Program pengembangan masyarakat di Pondok Pesantren Nurul Jadid


agar melekat dan bersifat berkelanjutan, maka di organisir menyatu dengan
program pendidikan di pondok pesantren, terutama melalui organisasi intera

58
sekolah seperti Osis di semua lembaga pendidikan tingkat pertama maupun
tingkat atas dan organisasi senat mahasiswa. Pondok Pesantren Nurul Jadid
dengan tiga lembaga pendidikan tingkat pertama dan empat lembaga
pendidikan tingkat atas serta senat mahasiswa dari universitas Nurul Jadid
dapat dirancang untuk bekerja sama dengan biro pengembangan Pesantren dan
masyarakat Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Sinergitas antara lembaga pendidikan formal dan biro pengembangan


Pondok Pesantren Nurul Jadid dapat memeperkuat program biro
pengembangan yang bersifat ke dalam pondok pesantren dan masyarakat
sekitarnya. Pola kerja sama ini diikuti dengan penyusunan kurikulum
pendidikan dan perlatihan, pendampingan dan penyelengaraan ekspo hasil
program pengembangan. Para relawan yang terdiri dari santri aktif dapat
digunakan sebagai tenaga yang membantu percepatan program
pengembangan.

Program pengembangan masyarakat dengan pola kerja sama di atas,


dapat dilakukan dengan gambaran sebagai berikut:

1. Tenaga inti pada kepengurusan biro pengembangan Pesantren dan


masyarakat di agendakan untuk melatih sejumlah tenaga
pengembangan dari unsure osis maupun senat mahasiswa yang
jumlahnya terbatas perwakilan dari organisasi tersebut. Alumni
perlatihan selanjutnya ditugaskan untuk melatih tenaga pengembangan
pada masing-masing osis dan senat,sehingga tersedia banyak tenaga
pengembangan yang terampil.
2. Perlaksanaan perlatihan didasarkan pada panduan yang telah disusun
biro pengembangan Pesantren dan masyarakat. Panduan tersebut
menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa.
3. Tenaga pengembangan disiapkan untuk diterjunkan ke masyarakat, ke
titik- titik dimana program pengembangan di laksanakan dan di
dampingi oleh para alumni yang sudah berada di tengah - tengah
masyarakat.

59
4. Membuka diri terhadap pihak – pihak yang ingin membangun kerja
sama dalam mensukseskan program pengembangan baik dari kalangan
pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat umum.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan uraian bab terdahulu, dapat dikemukakan beberapa


simpulan sebagai berikut:

1. Terdapat beberapa potensi pondok pesantren dalam hal


pengembanagn masyarakat, menyangkut keberadaan pondok
pesantren di tengah-tengah masyarakat yang tumbuh dan
berkembang bersama-sama masyarakat, sehingga ia merupakan
bagian dari masyarakat setiap gerakan inovasi yang bersifat baru

60
dapat dengan mudah diterima oleh masyarakat sekitar. Selain itu,
potensi ketokohan pengasuh pondok pesantren yang mempunyai
pengaruh dan keteladanan serta keberadaan santri dan fasilitas
pondok pesantren yang dapat menjadi instrumen bagi usaha- usaha
masyarakat. Kemampuan-kemampuan membangun kerja sama
dengan pihak luar menjadi modal mendukung kelengkapan
program pengembangan masyarakat.
2. Pondok Pesantren Nurul Jadid sejak berdiri 1948 telah melakukan
peran rintisan pengembangan masyarakat melalui rintisan
penanaman tembakau yang kemudian menjadi andalan pendapatan
masyarakat sekitar, di ikuti dengan pendampingan bibit pertanian,
pengolahan tanaman pertanian dan perjualan hasil pertanian.
Memberikan penguatan modal, pelatihan produksi dan pemasaran
bagi masyarakat sekitar. Menjalankan proyek percontohan
penanam bibit mangga dan kelapa. Mendirikan beberapa lembaga
baik di Pesantren maupun di luar Pesantren yang selanjutnya
disertai dengan program keagagamaan yang berlangsung secara
rutin dalam kelompok-kelompok masyarakat sekitar.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Benteng.

Dhoefier, Zamakhasyari. 1984. Tradisi Pesantren. Jakarta: LP3 ES. Sahal,

Mahfud. 1987. dalam dinamika Pesantren. Jakarta: P3M

Edgar, Owens dan Robert, Shaw. 1980. pembangunan ditinjau kembali,


menjembatani gap antara pemerintah dan rakyat, Jogjakarta :gajah
mada university press.

Billah, M.M, Pikiran awal pengembangan pesantren dalam M. dawam raharjo

61
(Ed). 1990. Pergulatan ddunia pesantren Membangun dari bawah. Jakarta:
P3M.

Johny, Ibbrahim. 2007. Teori dan metodologi penelitian hokum nonmatif.


Malang: bayu media publishing.

Mujamir, Qomar. 2008. Pesantren Dari tranformasi Metodologi Menuju


demokrasi Institusi. Jakarta: Airlangga.

Nassihi M, Hasan. Karakter dan Fungsi Pesantren, dalam Dinamika


Pesantren Dampak Pesantren dalam Pendidikan Dan pengembangan
masyrakat, Manfred Oepen dan Wolfgang Karcher (Ed). 1988. Jakarta:
P3M.

M. Mansyhur A dan M. Nasikh R. 2000. KH. Zaini Mun’im Pengabdian dan


Karya Tulisnya. Yogyakarta: LPKSM.

Sirajuddin, Fatkhurrahman, Zurkanain, 2006. Legislative drafting,


Pelembagaan metode partisipatif dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Malang: Coruption watch dan Yappika.

Dr. Suhrawardi K, Farid Wajdi. 2012. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Sinar
Grafika.

Mar’at, 1984. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukuranya. Jakarta:


Ghalian Indonesia.

Arifin, Anwar. 1984. Strategi Komunikasi. Bandung: Amrico.

Raharjo, R. 1988. Media Pembelajaran, dalam laporan Latihan kependidikan.


Paiton Probolinggo: Pondok Pesantren Nurul Jadid.

Rosyad Shaleh, A. 1986. Management Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.


Ali, Atabik. 1770. Kamus Kotemporer Arab-Indonesia. Jogjakarta: Multi

Karya Grafika.

Jurnal

62
Andrian Gurza Lavalle, Arnab Acharya dan Peter. Houtzager. 2005. Beyond
comparative anecdotalism: listen on civil society in participation from
sao Paulo Brazil. World development Vol 3 (6).

Ida widianingsih dan Elizabeth Morrel. 2007. Participatory planning in


Indonesia.Policy Studies. Vol 28 issue.

Artikel

Syamhudi, M. Hasyim. 2019. “Hilangnya religious Experience”.


UNUJA: Probolinggo.

Mika, Ponirin. 2018. “Islam Nusantara Sebagai Payung Bangsa”. UNUJA:


Probolinggo.

Zainal Abidin, Muhammad. 2017. “Dakwah dalam pandangan Kh. Zaini


Mun’im”.
UNUJA: Probolinggo

Mika, Ponirin. 2017. “Nurul Jadid Sebagai Agent Of Change (Upaya


meningkatkan Ekonomi Masyarakat)”. UNUJA: Probolinggo.

Arsip

Arsip Nurul Jadid. 01. Pondok Pesantren Nurul Jadid. Probolinggo.

Arsip Nurul Jadid. 13. Dokumen kegiatan rapat-rapat biro Pengembangan


Pondok Pesantren Nurul Jadid. Probolinggo.

Wawancara

Drs Faizin Samuel. seketaris biro kepensantrenan nurul jadid. Wawancara oleh
Farhan Nuruzzaman 2019. Rintisan Pengembangan Masyarakat
(tanggal 06 mei).

Ibnu Adam. Hubungan Masyarakat. Wawancara oleh Farhan Nuruzzaman


2019. Rintisan Pengembangan Masyarakat (tanggal 06 mei).

M. Rahwini Anwar, staf pengajar pondokpesantren nurul jadid. Wawancara


oleh Farhan Nuruzzaman 2019. Rintisan Pengembangan Masyarakat

63
(tanggal 06 mei).

Bpk Ali. Bagian umum biro kepensantrenan pondok pesantren Nurul Jadid.
Wawancara oleh Farhan Nuruzzaman 2019. Biografi Kh. Zaini
Mun,im (tanggal 10 Mei).

Lailul Ilham. Seketaris Biro Pengembangan Pesantren Tahun1986-1989.


Wawancara oleh Farhan Nuruzzaman 2020. (9 Mei 2020)

Drs. H. Hambali, M.Pd. Bagian Humas. Wawancara dengan Farhan


Nuruzzaman 2020. (05 Mei 2020)

Lukman Hakim. Bagian Koperasi. Wawancara dengan Farhan Nuruzzaman


2020.(05 Mei 2020)

Kh. Zuhri. Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid. Wawancara oleh Farhan
Nuruzzaman 2019. Sejarah pembangunan Pondok Pesantren Nurul
jadid (10 Mei 2019).

Koran

Soebendo, Bambang. 1980. “Monumen Islam Asia Tenggara Sebaiknya


Masjid & Pesantren”. Sinar Harapan, 18 Oktober 1980. Aceh Timur.
Surabaya Post. 1955. Kejahatan Besuki 1955 Lebih Tinggi dari 1954. Besuki.
Majalah
P3M., Majalah Pesantren, No. 4/Vol.IV/1987, Jakarta.

Internet

Jakarta-com, Arti kata pengembangan menurut KBBI, diakses dari,


https://jagokata.com/arti-kata/pengembangan.html, 03 september 2019
pukul
14.10.

Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai sub kultur, diakses dari


https://santrigusdur.com/2018/05/ pesantren-sebagai-subkultur/, 03
September
2019, pukul 15.00.

64
LAMPIRAN

65
Kerjasama yang dilakukan Pondok Pesantren Nurul Jadid di dalam negeri dan
di luar negeri

Kunjungan Habibie Menteri Riset Tahun 1990

66
Kegiatan Pondok Pesantren Nurul Jadid

Bukti tidak tidak terlibat dengan aktivitas Gerakan 30 GS PKI

67
Bukti Riwayat hidup KH. Zaini Munim

68
69

Anda mungkin juga menyukai