***
Setelah percakapan tersebut, Galih bergegas
mendatangi Tirta yang sedang memasak sandwich
kesukaan Galih. Ya, meskipun sangat sederhana,
sandwich ini sangat berkesan dan special bagi Galih.
Pada saat itu Galih sedang menderita sakit tifus dan
terbaring sakit di ranjangnya. Galih kehilangan nafsu
makan dan tidak ingin minum obat. Tirta, yang saat itu
menjadi satu-satunya oranh yang berada di dekat Galih,
merasa sangat cemas. Ia khawatir kalau kondisi Galih
akan memburuk apabila ia tidak segera makan.
Tiba-tiba ia teringat akan cerita Galih bahwa ia
sangat menyukai sandwich. Galih juga turut
menceritakan pengalamannya bersama orangtua saat ia
sesekali pernah diajak berkunjung ke restoran dan
dibelikan sandwich. Tirta yang memang cukup berbakat
dalam bidang masak-memasak, tergugah untuk membuat
sandwich kesukaan Galih itu dengan bahan-bahan
sederhana yang ada di kontrakan mereka. Bermodal roti
tawar, daging sisa yang ada di kulkas, sayuran, dan telur,
ia mulai meracik resep sandwich yang diharapkan akan
membangkitkan nafsu makan Galih sehingga ia mau
makan dan meminum obatnya.
Tirta menambahkan saus special yang terbuat
dari racikan bumbu dapur seadanya dipadukan dengan
mayonnaise dan saus sambal ada di kontrakan mereka.
Setelah dirasa cukup enak, Tirta langsung memberikan
sandwich itu kepada Galih untuk segera dimakan.
Syukurlah Galih mau memakannya dan tak disangka-
sangka, menurut Galih, sandwich buatan Tirta adalah
sandwich paling lezat yang pernah ia makan selama
hidupnya. Galih lantas bertanya bahan-bahan apa saja
yang digunakan oleh Tirta untuk membuat sandwich itu.
Tirta pun menjelaskan bahwa ia hanya menggunakan
bahan-bahan sederhana yang saat itu kebetulan ada di
dapur kontrakan mereka. Semenjak itu Galih pun bisa
membuat sandwich itu.
“Wih, ada favorit gue nih, enak banget wanginya, Ta,”
tutur Galih yang hampir lupa tujuannya setelah melihat
Tirta sedang membuat sandwich kesukaanya.
“Haha, iya dong, resep siapa dulu? Ngomong-ngomong
lo ngapain ke dapur , Lih? Tumben, biasanya duduk
anteng aja tuh nunggu makanan dateng,” ucap Tirta
sambil meledek Galih.
“Ah, lo bisa aja, Ta. Kadang-kadang kan gue juga yang
bikin sarapannya, haha,” balas Galih dengan pembelaan
namun tetap dengan tawa pertanda bercanda.
Ia pun lanjut menjelaskan bahwa mereka harus bertemu
dengan Ratu pukul dua siang karena ada hal yang harus
dibicarakan.
“Kira-kira tentang apa ya, Ta? Gue deg-degan nih,” kata
Galih sembari meminta pendapat Tirta.
“Lo deg-degan nunggu keputusan bokapnya si Ratu atau
karena kita bakal ketemu dia? Haha,” canda Tirta
“Serius ini, Ta, haha,” ujar Galih sambil berusaha
menutupi perasaan gugupnya karena ingin menemui
Ratu. Namun, tampaknya ia gagal menyembunyikannya.
“Ya paling dia pengen ngasih tau kita kalo kita keterima
atau ngga kerja di tempat si Gilang,” jawab Tirta.
“Gilang lagi, Gilang lagi, gue jadi kepikiran deh kerja
jadi bawahan dia. Kira-kira dia bakal ngehargain kita
ngga ya?” kerisauan Galih mulai muncul.
“Ya, gue ngga tau, Lih. Yang penting sekarang kita udah
dapet kerjaan dan gaperlu mikirin gimana cara bayar
kontrakan ini, kita kan udah bukan mahasiswa lagi. Kita
udah gabisa bergantung ke uang beasiswa sekarang,”
balas Tirta.
***
Jam tangan Galih sudah menunjukkan waktu
pukul setengah dua siang. Mereka segera bergegas
menuju GA. Sesampainya di sana mereka langsung
memarkir motor dan masuk untuk menemui Ratu.
“Nah, kalian udah dateng nih, ayo duduk-duduk,” Ratu
menawarkan tempat duduk yang sudah sedari tadi
kosong kepada mereka berdua.
“Oh, iya, Ra, makasih ya,” jawab Galih
Setelah itu Ratu segera menjelaskan kepada
Galih bahwa mereka diterima bekerja di restoran cepat
sajin milik Gilang sebagai pencuci piring dan cleaning
service. Akan tetapi Ratu kembali menjelaskan bahwa
sebenarnya jobdesc mereka tidak terlalu kaku. Mereka
bisa saling membantu dalam bekerja. Pak Haris bilang
bahwa tidak ada label yang berbeda dan terkesan
menjatuhkan di GA. Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba
Gilang datang untuk melihat-lihat situasi di sekitar GA.
Dari awal Gilang melihat mereka duduk di kursi-
kursi itu, sebenarnya sudah timbul di dalam hati Gilang
perasaan tidak suka karena ia tahu bahwa Galih dan Tirta
akan bekerja di restoran miliknya. Akan tetapi, ia
rupanya memiliki rencana yang jahat. Ia ingin membalas
dendam kepada mereka berdua dengan memperlakukan
mereka sebagai karyawan dengan burul. Gilang berniat
untuk memberikan tugas-tugas yang berat dan tidak
masuk akal untuk mereka.
“Eh, kalian, ketemu lagi nih, lagi pada ngapain?” sapa
Gilang.
Mereka bertiga terdiam karena bingung
mendengar Gilang yang begitu ramah dan tidak seperti
biasanya. Keheningan itu berlangsung selama beberapa
detik hingga akhirnya Gilang memutuskan untuk
kembali meneruskan pembicaraan,”
“Gue udah denger kok dari bokap gue, kalian mau kerja
di sini kan?” tanya Gilang berusaha ramah.
“Iya, Lang, gue izin ya? Gapapa kan?” Galih meminta
izin.
“Boleh, lah, masa temen sendiri gadiizinin? Justru gue
malah seneng, Lih, lo mau bantuin gue,” balas Gilang.
Rencana itu terbayang-bayang di dalam kepala
Gilang. Ia berharap supaya Galih dan Tirta secepatnya
bisa bekerja di restorannya secepatnya. Karena semakin
cepat mereka bisa bekerja di sana, semakin cepat juga
Gilang bisa menghina dan merendahkan mereka.
“Oh, iya, makasih banyak ya, Lang, gue minta maaf soal
kejadian kemarin,” ujar Tirta meminta maaf.
Sebenarnya Tirta agak curiga dengan perubahan sikap
Gilang. Ia berpikir kalau Gilang menyembunyikan
sesuatu. Akan tetapi, ia berusaha untuk tetap berpikir
positif.
“Ah, ngga apa-apa, Ta, itu justru gue yang salah, gue
mestinya ga ngomong gitu ke kalian,”
Kemudian Gilang lanngsung izin pamit dan
bergegas pulang. Setelah Gilang pulang, Ratu kembali
melanjutkan pembicaraan tentang mereka. Setelah itu
Ratu mengajak Galih dan Tirta untuk berkenalan dengan
seluruh pegawai di GA. Galih dan Tirta mengatakan
kepada Ratu bahwa mereka ingin tetap di situ terlebih
dahulu untuk mencoba mengenali situasi restoran. Tirta
mengambil alat pengepel sedangkan Galih pergi ke
dapur untuk membantu karyawan yang lain mencuci
piring.
***
Di sana Galih bertemu dengan karyawan lain
yang ia panggil dengan nama Mas Bagus. Mas Bagus
sedikit demi sedikit bercerita tentang pengalamannya
selama bekerja di GA. Ia mengatakan bahwa selama ia
bekerja di GA, ia menerima perlakuan yang baik dari
Pak Haris, manajernya. Namun ada suatu hal sebenarnya
membuat ia kurang nyaman.
“Sebenernya di sini enak-enak aja sih, Lih, cuma
kadang-kadang ada yang suka bikin jengkel aja,” jelas
Mas Bagus.
“Bikin jengkel gimana tuh, Mas?” tanya Galih.
“Kadang-kadang anaknya si Bos suka dateng ke sini,”
terang Mas Bagus.
“Anaknya si Bos? Gilang maksudnya, Mas?” tanya
Galih.
“Nah, iya, Lih. Gue udah lupa namanya, dia paling ga
seneng soalnya bicara lama-lama sama karyawan yang
menurut dia rendahan kaya kita,” ucap Mas Bagus
dengan nada sedikit kesal.
“Oh, begitu, Mas? Tapi tadi dia baik kok pas lagi bicara
sama saya. Emang sih, dulu dia orangnya agak kurang
ngehargain orang lain gitu. Kayaknya dia udah berubah
kok sekarang,” balas Galih.
“Gue gamau suudzon sih, Lih. Tapi biasanya dia kalo
tiba-tiba baik gitu ada maunya,” kata Mas Bagus.
Begitu mendengar kata-kata Mas Bagus barulah
terbesit sedikit rasa-rasa curiga di benak Galih. Ia baru
sadar kalau bisa saja perkataan Gilang tadi adalah sebuah
kata-kata palsu yang menyimpan sebuah rencana jahat di
baliknya. Namun ia segera berusaha untuk tidak
mengindahkan hal itu.
Ah, itu cuma pikiranku saja, tidak mungkin Gilang
merencanakan yang tidak-tidak. Ia mungkin saja belum
berubah, tapi rasanya itu bukan masalah yang besar
Begitulah kira-kira yang terbesit di pikiran Galih
setelah berpikir kembali.