Anda di halaman 1dari 32

Jendela Asa

Mentari bersinar terik siang itu. Suasana seperti


itu diiringi oleh suara sorak sorai para mahasiswa yang
sedang memakai toganya. Namun, terlihat Galih sedang
duduk melamun beratapkan sebuah pohon lebat.
Tampaknya Galih sedang melihat sesuatu. Matanya
terpana pada satu titik. Di tengah lamunan itu, Tirta,
sahabat karib Galih sejak SMP, menegurnya dan
menyadarkan Galih.
“Lih, ayo kita foto, temen-temen yang lain udah pada
nunggu nih,” ujarnya.
“Oh oke, maaf ya, Ta,” balas Galih.
“Gue liat-liat lo kayanya lagi fokus banget, Lih. Lo lagi
ngeliatin apaan sih?” tanya Tirta.
“Oh, engga kok, hehe. Gue ga liat apa-apa kok,”
Meskipun demikian, Tirta tidak percaya kepada
Galih. Ya, mereka memang sudah berteman sejak lama.
Ini yang membuat ikatan di antara mereka semakin kuat.
Mereka selalu saling membantu ketika salah satu dari
mereka terkena masalah. Galih dan Tirta adalah anak
yatim piatu yang sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi
yang bisa dianggap sebagai keluarga. Soal keuangan pun
bisa ditebak bahwa mereka memiliki kemampuan
finansial yang sangat lemah.
Mereka tinggal bersama di sebuah kontrakan
sederhana yang sudah disewa per tahun agar biayanya
menjadi lebih murah. Rangkaian-rangkaian peristiwa
sudah mereka lewati bersama sebagai sepasang sahabat
karib. Galih sudah sangat paham segala kelebihan,
kekurangan, serta tingkah laku dan begitu pula
sebaliknya. Sehingga tidak heran apabila Tirta menaruh
rasa curiga kepada Galih saat ia mengatakan bahwa ia
sedang tidak melihat apa-apa.
Mata Tirta menerawang sekeliling, ia berusaha
untuk mencari tahu apa yang sebenarnya sedang
diperhatikan oleh Galih. Setelah beberapa detik melihat-
lihat, ia akhirnya menyadari sesuatu.
“Oh, gue tau nih, lo pasti lagi ngeliatin si Ratu kan, Lih?
Haha,” Tebak Tirta.
“Kan lo tau sendiri, Ta. Gue emang udah dari dulu suka
sama dia, hehe,” ujar galih sambil tersipu malu.
“Tuh kan bener, Haha. Oke deh sekarang mendingan lo
ikut gue, kita cuma tinggal nungguin lo nih buat mulai
sesi fotonya,” kata Tirta seraya mengingatkan Galih.
“Siap, Bos,” sahut Galih dengan sedikit nada bercanda.
Setelah itu mereka akhirnya menuju ke depan
gedung aula di mana para sarjana lain, termasuk Ratu,
sedang melakukan swafoto sambil menunggu
kedatangan Galih dan Tirta.
***
Setelah foto bersama, Galih dan Tirta merasa
lapar. Mereka memutuskan untuk segera pergi ke kantin
kampus. Ya, mereka mencari tempat yang menyediakan
makanan dengan harga terjangkau untuk mereka. Harga
makanan di kantin memang cenderung lebih murah
karena menyesuaikan kemampuan mahasiswa. Lain
halnya dengan restoran-restoran cepat saji yang berada di
sekitar kampus mereka yang cenderung lebih mahal
karena memang kebanyakan sasarannya adalah orang-
orang yang sudah berpenghasilan tetap atau minimal
mahasiswa yang kemampuan finansial orangtuanya
cukup tinggi.
Galih sebenarnya tipe orang yang menyukai
makanan western. Hal ini terlihat dari reaksinya saat
pertama kali memakan sandwich dari salah satu restoran
cepat saji di dekat rumahnya. Saat Galih masih memiliki
orangtua, ia sesekali pernah diajak orangtuanya untuk
makan di restoran western walau tidak sering, bahkan
mungkin cukup jarang.
“Lih, lo mau pesen apa?” ucap Tirta bertanya kepada
Galih.
“Aduh, gue sebenernya lagi pengen banget makan
sandwich sih, tapi apalah daya dompet berkata lain.
Lagipula kan di sini ngga ada yang jual sandwich, Ta.”
Ujar Galih dengan pasrah
“Haha, bener juga lo, ya udah lah kita pesen mi instan
aja kaya biasa, namanya juga “mapan”, iya ngga?” kata
Tirta sambil tertawa.
“Hah, mapan dari mana? Kerjaan aja belum ada,” tanya
Galih heran.
“Maksudnya mahasiswa pas-pasan, haha,” ujar Tirta
dengan suara tawa yang semakin lantang.
“Haha, bisa aja lo, lagian kan kita udah lulus, Ta,” jelas
Galih sambil menimpali tawa Tirta.
Setelah itu Galih beranjak menuju warung mi
instan yang ada di kantin kampus. Akan tetapi di tengah
jalan, ia bertemu dengan Ratu.
“Eh, Galih. Tumben nih jam segini belum pulang. Lo
mau ke mana?” ucap Ratu yang ternyata membuat Galih
sangat gugup dan kaget.
“Umm, anu, gue mau itu, apa namanya, umm, beli…”
“Oh mau makan ya? Mau beli mi instan kan?” potong
Ratu.
“Nah iya, bener, gue mau beli mi instan tuh disitu,” balas
Galih sembari menunjuk ke arah warung mi instan.
“Eh, ngomong-ngomong daripada lo makan mi instan
terus, mendingan lo ikut gue deh ke restoran seberang,
ayah gue kerja di sana, gue yang traktir deh sekali-kali.
Lo pasti suka, kok,” ajak Ratu kepada Galih
“Umm, gimana ya?” jawab Galih dengan kebingungan.
Sebenarnya tentu saja Galih sangat ingin makan
bersama Ratu. Namun ia sangat gugup sampai-sampai
kebingungan seperti itu. Ia juga ingat kalau ia
sebelumnya harus memesan mi instan untuk dirinya
beserta Tirta.
“Gimana? Mau ngga, Lih? Ngga bisa ya? Gapapa deh
kalo gitu.” Kata Ratu dengan nada agak kecewa.
Melihat raut wajah dan ekspresi Ratu, Galih
segera menyangkalnya dan mencoba menjelaskan
kepada Ratu mengapa ia tampak ragu,
“Eh, mau kok, Ra. Gue Cuma bingung aja soalnya
sekarang gue lagi bareng Tirta, gimana ya?”
“Oh, bagus dong. Justru kalo ada dia semakin seru kan,
Lih? Kalo gitu gue jalan ke sana sekarang ya, nanti
kalian nyusul aja” ucap Ratu seakan mengiyakan Galih
untuk mengajak Tirta ikut.
“Okee..” sahut Galih.
Setelah itu Galih yang luar biasa girangnya
datang kepada Tirta untuk memberitahukan kabar itu. Ia
sangat senang karena pada akhirnya ia bisa makan
sekaligus berada di dekat Ratu dalam waktu yang cukup
lama. Terakhir kali ia berhadapan dengan Ratu adalah
ketika Ratu ingin meminjam pulpen Galih di kelas, itu
pun hanya sebentar. Selebihnya Ratu kembali fokus
kepada pekerjaannya meskipun Galih yang sedang
kasmaran terpana kepada paras anggun Ratu yang
sedang mengerjakan tugasnya.
“Ta, ikut gue yuk!” ajak Galih.
“Hah, Lo mau ke mana? Bukannya tadi lo pesenin mi
instan buat kita? Nanti siapa yang makan?” tanya Tirta
heran.
“Gue diajak makan bareng sama Ratu di restoran
seberang kampus, lo mau ikut ga?” jelasnya.
Galih terlihat sangat sumringah dan bersemangat
saat mengajak Tirta. Dari awal Tirta memang sudah
menduga bahwa ini pasti ada hubungannya dengan Ratu.
“ Hmm, gue sih mau ikut, tapi lo kok bisa…”
“Bisa apa? Cepetan nih, iya atau ngga? Si Ratu udah
nungguin” ujar Galih dengan raut wajah terburu-buru
“Oke deh gua ikut, ditraktir kan?” pungkas Tirta.
“Iya-iya, dia yang traktir,” balas Galih.
“Nah gitu dong, haha. Tapi emang lo ga malu ditraktir
sama dia? Gengsi dong, Lih?” tanya Tirta lagi.
“Gengsi sih, Ta. Tapi kan liat kondisi keuangan juga,
haha,” jawab Galih sambil tertawa cukup keras.
Tirta tidak mempunyai motor. Setiap hari ia
selalu menumpang motor Galih ketika ingin kuliah.
Begitu juga saat kejadian ini berlangsung. Mereka segera
pergi ke tempat parkir untuk mengambil motor milik
Galih. Lalu mereka segera menuju ke restoran yang
dimaksud oleh Ratu.
***
Terpampang jelas didepan sebuah bangunan
restoran cepat saji, “Good Appetite”, sebuah plang besar
yang cukup menarik perhatian mereka selain karena
memang tempat itu yang dimaksud oleh Ratu, Saat tiba
di pintu restoran tersebut, ia bertemu dengan Gilang.
Gilang adalah anak dari seorang pebisnis kaya.
Ayahnya mempunyai usaha di bidang food and
beverage. Melihat dari pakaian rapi Gilang, mereka
dapat menarik kesimpulan bahwa ternyata restoran
tersebut merupakan bagian dari perusahaan raksasa milik
ayahnya. Di balik semua itu, Galih dan Tirta pernah
mempunyai kejadian tidak mengenakan dengan Gilang.
Bermula saat dosen memberikan tugas kelompok,
kebetulan Galih dan Tirta mendapatkan Gilang sebagai
teman sekelompok mereka. Setelah mendengar hasil dari
pembagian kelompok, Gilang terlihat gusar dan merasa
terganggu.
“Yah, kenapa gue harus sekelompok sama dua orang
miskin ini, sih?” ucap Gilang dengan sombongnya.
Mendengar hal itu, timbul perasaan murka dari
Galih. Beruntungnya, Galih ditahan oleh Tirta dan
teman-teman lainnya.
“Udah, Lih, biarin aja, kita emang gak mampu tapi
setidaknya mulut kita masih waras,” ujar Tirta dengan
nada agak menyindir.
“Hah, maksud lo apa? Gue ngga waras gitu? Lo ngajak
gue rebut?” kata Gilang dengan ekspresi murka di
wajahnya.
Setelah itu perkelahian hampir terjadi antara Tirta
dan Gilang. Untungnya saat itu ada dosen yang lewat di
depan kelas. Setelah kejadian itu Tirta dan Gilang
sempat diskors selama 2 minggu. Kejadian itu yang
sampai sekarang masih tertanam di dalam memori
mereka, terutama Tirta.
“Lah, lo berdua ngapain ke sini? Emangnya pada punya
duit?” ucap Tirta dengan ketus.
“Eh, jaga mulut lo ya, kita di sini mau makan. Gue tau
posisi lo penting di sini, tapi bisa ngga si lo jaga sedikit
attitude lo?” balas Galih dengan nada cukup tinggi.
“Udah-udah, Lih, kita ke sini mau makan kan bukan buat
nyari ribut. Kita masuk aja, yuk,”
Di tengah ketegangan itu Ratu datang dan ikut
melerai mereka. Namun, kedatangan Ratu bukannya
membuat tensi mereka mereda. Justru setelah itu,
pertikaian mereka menjadi semakin panas.
“Oh, pasti lo berdua makan dibayarin sama Ratu kan?
Udah ketebak sih, haha,” ucap Gilang kembali dengan
sombongnya.
“Apaan sih, Lang? Mereka juga gue yang ajak ke sini.
Kenapa malah jadi lo yang sewot?” terdengar suara Ratu
membela Galih dan Tirta.
Tak terlihat sedikit pun ekspresi peduli dari
Gilang mendengar ucapan dari Ratu. Setelah itu Gilang
langsung pergi dari tempat itu.
“Lih, Ta, kita masuk aja yuk,” ajak Ratu kepada mereka.
“Oh, iya-iya, Ra” balas Tirta.
Sementara itu Galih, masih dengan wajah yang
merah pertanda naik pitam, tidak berkata apa-apa.
Mereka naik ke lantai atas sesuai saran dari Ratu
“Nah, kita makan di sini aja. Spot-nya bagus , sinyal
wifi-nya juga lumayan kenceng dari sini, haha,” ujar
Ratu.
“Bisa aja, Ra, tau aja kita udah pada abis kuotanya,
haha,” balas Tirta dengan tawa yang sama.
“Maafin Gilang ya, Lih, dia orangnya emang gitu. Tapi
kadang-kadang dia baik juga kok. Bokap gue sering
dibantuin sama dia,” pungkas Ratu seraya meminta maaf
kepada Galih.
“Bantuin bokap lo? Itu mungkin gara-gara dia suka sama
lo kali, haha,” canda Tirta
“Udah-udah , Ta. Iya, Ra, gue maafin, Ra, gue juga udah
tau kok orangnya emang kayak gitu, tenang aja,” jawab
Galih.
“Oh, oke-oke, Lih, bagus deh,” lanjut Ratu.
Setelah itu mereka berbincang-bincang tentang
banyak hal. Termasuk kebingungan Galih dan Tirta
dalam mencari pekerjaan untuk menyambung hidup
selama kuliah. Mereka saling bertukar pikiran dan
akhirnya Ratu mengetahui bahwa Galih dan Tirta adalah
yatim piatu yang sudah tidak memiliki keluarga
kandung. Mendengar hal itu Ratu menyarankan Galih
dan Tirta untuk melamar pekerjaan ke restoran itu.
“Ah, ngga ah, ogah banget gua harus kerja sama atasan
nyebelin yang ngga ngehargain orang lain kaya dia,”
tolak Galih dengan sangat yakin.
“Lo coba dulu deh, Lih. Nanti gue bantu bilang ke bokap
gue kalo lo mau kerja di sini. Biar dia yang bilang ke
Gilang atau ayahnya. Lagipula Gilang masih segan kok
ke bokap gua, lo tenang aja,” ucap Ratu dengan niat
membantu yang sangat tulus.
“Nah, iya, bener tuh, Lih. Daripada kita gaada kerjaan
kan? Mendingan kita ikutin aja saran Ratu.” dukung
Tirta.
“Hmm oke deh, Ra, nanti gue pikirin dulu, kalo gue
udah nemu jawabannya gue chat lo ya malem ini,” balas
Galih.
“Bisa aja lo, Lih. Bilang aja lo cuma mau chat sama
si…”
Galih langsung menutup mulut Tirta dengan
sigap. Setelah kejadian itu mereka pun menjadi
canggung dan tidak tahu ingin berkata apa. Ratu juga
tidak menyadari maksud dari perkataan Tirta dan apa
yang dilakukan oleh Galih.
“Oh, oke, Lih, gue tunggu ya malem ini, kalo lo emang
mau, gue bakal langsung bilang ke bokap gue supaya dia
bisa sampein ke atasannya besok,” sambung Ratu
“Iya, makasih banyak ya, Ra, kita hargain banget usaha
lo buat bantu kita.” ujar Galih.
Setelah itu mereka lanjut berbincang-bincang
tentang kejadian saat mereka pertama kali bertemu. Saat
itu adalah masa ospek mahasiswa. Galih dan Ratu
pertama kali bertemu saat mereka di hukum bersama
oleh kakak tingkat mereka. Galih dihukum karena lupa
membawa atribut ospek, sedangkan Ratu dihukum
karena tidak sengaja membawa alat make up di dalam
tasnya. Waktu itu ia lupa mengeluarkan alat make up itu
dari tasnya.
Setelah cukup puas berbincang-bincang, tak
terasa langit sudah mulai gelap. Mereka pun
memutuskan untuk pulang. Ratu yang membawa mobil
pamit izin pulang terlebih dahulu kepada Galih dan
Tirta.
“Lih, Ta, gue pulang duluan ya, udah mau malem nih,”
Ratu meminta izin.
Galih dan Tirta akhirnya pun memutuskan untuk
pulang. Mereka sudah sangat lelah karena sejak pagi
belum beristirahat sama sekali. Di tengah perjalanan
Galih kembali meminta pendapat Tirta soal pekerjaan
yang ditawarkan oleh Ratu.
“Ta, menurut lo gimana, ya? Gue bingung banget nih. Lo
yakin mau kerja sama bos nyebelin kaya gitu?” tanya
Galih kepada Tirta.
“Ya, mau gimana lagi, Lih. Emangnya lo mau nyari
kerja di mana lagi?” jelas Tirta.
“Iya juga sih. Ya udah deh kalo gitu gue bakal chat si
Ratu kalo kita setuju,” jawab Galih.
“Ya bilang aja lo emang pengen chat si Ratu, haha,”
timpal Tirta dengan bercanda.
Galih dengan ekspresi sedikit malu pun tidak
menjawab. Mereka akhirnya melanjutkan perjalanan.
Sesampainya di rumah, Galih pun segera menghubungi
Ratu untuk mengabarinya tentang persetujuan mereka
atas tawaran Ratu. Galih memang agak sedikit ragu
dalam menerima tawaran Ratu. Namun, siapa yang tahu
apa yang akan terjadi nanti? Galih pun memantapkan
keputusannya. “Biarlah takdir menjadi urusan tuhan,
yang penting kita sudah berusaha,” seperti itu kira-kira
pesan kedua orangtua Galih sebelum wafat.

Awal dari Pembuktian


Diceritakan bahwa Ratu telah menerima pesan
dari Galih dan akan segera menyampaikannya kepada
ayahnya .
“Yah, aku mau bicara sebentar boleh ga?” pinta Ratu
“Boleh, nak. Apa yang mau dibicarakan?” tanya
ayahnya.
Ayah Ratu, Pak Haris, adalah manajer dari GA,
yang tidak lain adalah restoran milik Gilang. Omong-
omong, nama GA diambil dari inisial Gilang sendiri
yaitu Gilang Anggara. Pak Haris sudah bekerja di GA
semenjak restoran itu pertama kali dibuka. Pada saat itu
Pak Haris masih berposisi sebagai kasir. Seiring
berjalannya waktu, Pak Haris mendapat kepercayaan
yang sangat tinggi karena kinerjanya yang baik dan tutur
katanya yang sopam. Selain itu, Pak Haris juga sangat
amanah dan terkenal sangat jujur.
Pak Haris adalah panutan para bawahannya. Ia
selalu memberikan contoh yang baik kepada mereka. Ia
juga tak segan mengajari para karyawannya yang belum
terlalu mengerti tentang ilmu pelayanan konsumen. Pak
Haris juga dikenal sangat pemaaf dan lembut. Apabila
ada karyawannya yang melakukan kesalahan, tak pernah
sekalipun ia membentak atau pun mencaci maki mereka.
Meskipun demikian, ia tetap merupakan sosok yang
tegas dan disegani oleh seluruh karyawan yang bekerja
di restoran itu.
“Begini, Yah, ada dua orang temanku yang tidak
memiliki pekerjaan. Mereka yatim piatu dan sekarang
sedang kebingungan mencari sumber penghasilan, Yah,
jadi aku ajak mereka untuk bekerja di restoran tempat
ayah bekerja.” Jelas Ratu.
“Jadi, maksud kamu bagaimana? Kamu minta tolong
kepada ayah untuk menerima mereka sebagai
karyawan?” tanya Pak Haris.
“Hmm, iya, Yah, boleh kan?” pinta Ratu dengan
memohon.
“Baiklah, tapi mereka hanya akan bekerja sebagai
pencuci piring dan cleaning service, tidak apa-apa kan?
Ayah takut mereka malah akan malu dengan
pekerjaannya,” ucap Pak Haris pertanda bahwa ia telah
mengizinkan Galih dan Tirta untuk bekerja di GA.
“Alhamdulillah, makasih ya, Yah. Tidak apa-apa. RAtu
kenal kok dengan mereka. Mereka itu orang yang
pekerja keras, bertekad kuat, dan tidak akan goyah hanya
karena malu. Sekali lagi makasih ya, Yah, Ratu sayang
sama ayah,” ujar Ratu berterima kasih kepada ayahnya.
“Iya, sama-sama, Nak” begitu kira-kira jawaban Pak
Haris.

Mendengar jawaban tersebut, Ratu segera


mengajak Galih dan Tirta untuk bertemu di GA, tidak
lain karena ia ingin segera menyampaikan kabar gembira
tersebut kepada mereka. Ia sudah benar-benar tak sabar
melihat ekspresi Galih dan Tirta saat mengetahui bila
mereka sudah mendapatkan pekerjaan dan tidak perlu
cemas lagi memikirkan biaya hidup.
Galih dan Tirta sebelumnya memang hanya
bergantung kepada uang beasiswa yang diberikan pihak
universitas pada mereka. Mereka berdua adalah
mahasiswa berprestasi yang sempat membawa
almamater mereka menjuarai perlombaan tingkat
nasional.
“Lih, Ta, Kalian bisa dateng ke GA ngga siang ini? Kita
ketemuan di sana ya?” suara Ratu muncul dari ponsel
milik Galih.
“Oh, iya bisa, Ra, kita ke sana ya siang ini, jam berapa,
Ra?” tanya Galih.
“Jam 2 aja, Lih, gue tunggu ya,” pungkas Ratu.
“Okee,” jawab Galih dengan perasaan berharap.

***
Setelah percakapan tersebut, Galih bergegas
mendatangi Tirta yang sedang memasak sandwich
kesukaan Galih. Ya, meskipun sangat sederhana,
sandwich ini sangat berkesan dan special bagi Galih.
Pada saat itu Galih sedang menderita sakit tifus dan
terbaring sakit di ranjangnya. Galih kehilangan nafsu
makan dan tidak ingin minum obat. Tirta, yang saat itu
menjadi satu-satunya oranh yang berada di dekat Galih,
merasa sangat cemas. Ia khawatir kalau kondisi Galih
akan memburuk apabila ia tidak segera makan.
Tiba-tiba ia teringat akan cerita Galih bahwa ia
sangat menyukai sandwich. Galih juga turut
menceritakan pengalamannya bersama orangtua saat ia
sesekali pernah diajak berkunjung ke restoran dan
dibelikan sandwich. Tirta yang memang cukup berbakat
dalam bidang masak-memasak, tergugah untuk membuat
sandwich kesukaan Galih itu dengan bahan-bahan
sederhana yang ada di kontrakan mereka. Bermodal roti
tawar, daging sisa yang ada di kulkas, sayuran, dan telur,
ia mulai meracik resep sandwich yang diharapkan akan
membangkitkan nafsu makan Galih sehingga ia mau
makan dan meminum obatnya.
Tirta menambahkan saus special yang terbuat
dari racikan bumbu dapur seadanya dipadukan dengan
mayonnaise dan saus sambal ada di kontrakan mereka.
Setelah dirasa cukup enak, Tirta langsung memberikan
sandwich itu kepada Galih untuk segera dimakan.
Syukurlah Galih mau memakannya dan tak disangka-
sangka, menurut Galih, sandwich buatan Tirta adalah
sandwich paling lezat yang pernah ia makan selama
hidupnya. Galih lantas bertanya bahan-bahan apa saja
yang digunakan oleh Tirta untuk membuat sandwich itu.
Tirta pun menjelaskan bahwa ia hanya menggunakan
bahan-bahan sederhana yang saat itu kebetulan ada di
dapur kontrakan mereka. Semenjak itu Galih pun bisa
membuat sandwich itu.
“Wih, ada favorit gue nih, enak banget wanginya, Ta,”
tutur Galih yang hampir lupa tujuannya setelah melihat
Tirta sedang membuat sandwich kesukaanya.
“Haha, iya dong, resep siapa dulu? Ngomong-ngomong
lo ngapain ke dapur , Lih? Tumben, biasanya duduk
anteng aja tuh nunggu makanan dateng,” ucap Tirta
sambil meledek Galih.
“Ah, lo bisa aja, Ta. Kadang-kadang kan gue juga yang
bikin sarapannya, haha,” balas Galih dengan pembelaan
namun tetap dengan tawa pertanda bercanda.
Ia pun lanjut menjelaskan bahwa mereka harus bertemu
dengan Ratu pukul dua siang karena ada hal yang harus
dibicarakan.
“Kira-kira tentang apa ya, Ta? Gue deg-degan nih,” kata
Galih sembari meminta pendapat Tirta.
“Lo deg-degan nunggu keputusan bokapnya si Ratu atau
karena kita bakal ketemu dia? Haha,” canda Tirta
“Serius ini, Ta, haha,” ujar Galih sambil berusaha
menutupi perasaan gugupnya karena ingin menemui
Ratu. Namun, tampaknya ia gagal menyembunyikannya.
“Ya paling dia pengen ngasih tau kita kalo kita keterima
atau ngga kerja di tempat si Gilang,” jawab Tirta.
“Gilang lagi, Gilang lagi, gue jadi kepikiran deh kerja
jadi bawahan dia. Kira-kira dia bakal ngehargain kita
ngga ya?” kerisauan Galih mulai muncul.
“Ya, gue ngga tau, Lih. Yang penting sekarang kita udah
dapet kerjaan dan gaperlu mikirin gimana cara bayar
kontrakan ini, kita kan udah bukan mahasiswa lagi. Kita
udah gabisa bergantung ke uang beasiswa sekarang,”
balas Tirta.

***
Jam tangan Galih sudah menunjukkan waktu
pukul setengah dua siang. Mereka segera bergegas
menuju GA. Sesampainya di sana mereka langsung
memarkir motor dan masuk untuk menemui Ratu.
“Nah, kalian udah dateng nih, ayo duduk-duduk,” Ratu
menawarkan tempat duduk yang sudah sedari tadi
kosong kepada mereka berdua.
“Oh, iya, Ra, makasih ya,” jawab Galih
Setelah itu Ratu segera menjelaskan kepada
Galih bahwa mereka diterima bekerja di restoran cepat
sajin milik Gilang sebagai pencuci piring dan cleaning
service. Akan tetapi Ratu kembali menjelaskan bahwa
sebenarnya jobdesc mereka tidak terlalu kaku. Mereka
bisa saling membantu dalam bekerja. Pak Haris bilang
bahwa tidak ada label yang berbeda dan terkesan
menjatuhkan di GA. Di tengah pembicaraan itu, tiba-tiba
Gilang datang untuk melihat-lihat situasi di sekitar GA.
Dari awal Gilang melihat mereka duduk di kursi-
kursi itu, sebenarnya sudah timbul di dalam hati Gilang
perasaan tidak suka karena ia tahu bahwa Galih dan Tirta
akan bekerja di restoran miliknya. Akan tetapi, ia
rupanya memiliki rencana yang jahat. Ia ingin membalas
dendam kepada mereka berdua dengan memperlakukan
mereka sebagai karyawan dengan buruk. Gilang berniat
untuk memberikan tugas-tugas yang berat dan tidak
masuk akal untuk mereka.
“Eh, kalian, ketemu lagi nih, lagi pada ngapain?” sapa
Gilang.
Mereka bertiga terdiam karena bingung
mendengar Gilang yang begitu ramah dan tidak seperti
biasanya. Keheningan itu berlangsung selama beberapa
detik hingga akhirnya Gilang memutuskan untuk
kembali meneruskan pembicaraan,”
“Gue udah denger kok dari bokap gue, kalian mau kerja
di sini kan?” tanya Gilang berusaha ramah.
“Iya, Lang, gue izin ya? Gapapa kan?” Galih meminta
izin.
“Boleh, lah, masa temen sendiri gadiizinin? Justru gue
malah seneng, Lih, lo mau bantuin gue,” balas Gilang.
Rencana itu terbayang-bayang di dalam kepala
Gilang. Ia berharap supaya Galih dan Tirta secepatnya
bisa bekerja di restorannya secepatnya. Karena semakin
cepat mereka bisa bekerja di sana, semakin cepat juga
Gilang bisa menghina dan merendahkan mereka.
“Oh, iya, makasih banyak ya, Lang, gue minta maaf soal
kejadian kemarin,” ujar Tirta meminta maaf.
Sebenarnya Tirta agak curiga dengan perubahan sikap
Gilang. Ia berpikir kalau Gilang menyembunyikan
sesuatu. Akan tetapi, ia berusaha untuk tetap berpikir
positif.
“Ah, ngga apa-apa, Ta, itu justru gue yang salah, gue
mestinya ga ngomong gitu ke kalian,”
Kemudian Gilang lanngsung izin pamit dan
bergegas pulang. Setelah Gilang pulang, Ratu kembali
melanjutkan pembicaraan tentang mereka. Setelah itu
Ratu mengajak Galih dan Tirta untuk berkenalan dengan
seluruh pegawai di GA. Galih dan Tirta mengatakan
kepada Ratu bahwa mereka ingin tetap di situ terlebih
dahulu untuk mencoba mengenali situasi restoran. Tirta
mengambil alat pengepel sedangkan Galih pergi ke
dapur untuk membantu karyawan yang lain mencuci
piring.

***
Di sana Galih bertemu dengan karyawan lain
yang ia panggil dengan nama Mas Bagus. Mas Bagus
sedikit demi sedikit bercerita tentang pengalamannya
selama bekerja di GA. Ia mengatakan bahwa selama ia
bekerja di GA, ia menerima perlakuan yang baik dari
Pak Haris, manajernya. Namun ada suatu hal sebenarnya
membuat ia kurang nyaman.
“Sebenernya di sini enak-enak aja sih, Lih, cuma
kadang-kadang ada yang suka bikin jengkel aja,” jelas
Mas Bagus.
“Bikin jengkel gimana tuh, Mas?” tanya Galih.
“Kadang-kadang anaknya si Bos suka dateng ke sini,”
terang Mas Bagus.
“Anaknya si Bos? Gilang maksudnya, Mas?” tanya
Galih.
“Nah, iya, Lih. Gue udah lupa namanya, dia paling ga
seneng soalnya bicara lama-lama sama karyawan yang
menurut dia rendahan kaya kita,” ucap Mas Bagus
dengan nada sedikit kesal.
“Oh, begitu, Mas? Tapi tadi dia baik kok pas lagi bicara
sama saya. Emang sih, dulu dia orangnya agak kurang
ngehargain orang lain gitu. Kayaknya dia udah berubah
kok sekarang,” balas Galih.
“Gue gamau suudzon sih, Lih. Tapi biasanya dia kalo
tiba-tiba baik gitu ada maunya,” kata Mas Bagus.
Begitu mendengar kata-kata Mas Bagus barulah
terbesit sedikit rasa-rasa curiga di benak Galih. Ia baru
sadar kalau bisa saja perkataan Gilang tadi adalah sebuah
kata-kata palsu yang menyimpan sebuah rencana jahat di
baliknya. Namun ia segera berusaha untuk tidak
mengindahkan hal itu.
Ah, itu cuma pikiranku saja, tidak mungkin Gilang
merencanakan yang tidak-tidak. Ia mungkin saja belum
berubah, tapi rasanya itu bukan masalah yang besar
Begitulah kira-kira yang terbesit di pikiran Galih
setelah berpikir kembali. Setelah menyelesaikan semua
pekerjaannya, waktu GA tutup telah tiba. Galih, Tirta,
Mas Bagus, serta seluruh karyawan lainnya pun bergegas
pulang.

***
Keesokan harinya, Galih dan Tirta sangat
bersemangat untuk pergi ke tempat-kerja barunya.
Mereka mengenakan seragam yang kemarin sudah
diberikan oleh Mas Bagus. Galih dan Tirta menata diri
dengan menyisir rambut mereka seraya menatap cermin
diiringi dengan percakapan-percakapan kecil.
“Lih, gue udah ganteng belom nih? Kali aja nanti pas
lagi ngepel ada pelanggan cewek yang naksir sama gue,
haha,” tanya Tirta dengan nada bercanda.
“Udah kok, Ta, emang temen gua yang satu ini paling
ganteng dah, haha,” jawab Gilang menimpali.
“Eh, ngomong-ngomong kemaren lu ngobrolin apa aja
sama Mas Bagus?” tanya Tirta lagi.
“Oh, ini, Lih. Gue juga sebenernya pengen ngobrolin ini
sama lu,” balas Galih
Tirta terlihat heran dan sedikit merasa aneh
dengan cara Galih menyampaikan hal itu. Ia merasa
bahwa ada sesuatu yang tidak beres yang berusaha
disampaikan oleh Galih kepadanya.
“Apaan tuh, Lih? Lo bikin gue penasaran aja,” untuk kali
ketiga Tirta bertanya lagi, namun kali ini sudah tidak
tampak canda tawa lagi di air mukanya.
“Kemaren Mas Bagus bilang ke gue kalo Gilang berubah
jadi baik gitu tiba-tiba, biasanya suka ada maunya,” ucap
Galih.
Tirta sejenak berpikir. Ia merasa bahwa
firasatnya benar. Perkataan Mas Bagus sudah tentu
adalah bukti yang kuat untuk mendukung hipotesisnya
bahwa Gilang sebenarnya hanya berpura-pura baik.
Namun sekali lagi pikiran positiflah yang menjadi
penghalang mereka berdua untuk menemukan
kebusukkan Gilang.
“Ah, tapi kali ini mungkin dia udah berubah, Lih.
Lagipula rencana apa sih yang mungkin dia rencanain,
gamungkin ngejahatin kita juga kan, Lih,”
Galih hanya mengangguk dan mereka berdua pun
akhirnya segera menuju ke GA menggunakan motor
milik Galih.

***
Setelah datang, mereka langsung mendapatkan
perlakuan yang kurang menyenangkan dari Gilang.
Gilang mengatakan hal-hal yang menyakiti hati mereka.
“Eh, si duo miskin dateng, haha, pagi banget lo, mau
naik gaji ya?” ujar Gilang sambil menghina mereka.
Galih dan Tirta terdiam sejenak. Mereka masiih
berpikir kalau Gilang hanya bercanda. Mereka akhirnya
memutuskan untuk menyapa Gilang, Setelah itu mereka
langsung masuk ke dalam restoran. Selama bekerja,
Gilang memberikan tugas-tugas yang tidak masuk akal
kepada mereka seperti mengelap bagian bawah meja
setiap lima belas menit sekali dan mencuci piring dua
kali untuk setiap piringnya. Dari sini, Galih dan Tirta
sudah menyadari bahwa Gilang menerima mereka
karena ingin mengerjai mereka. Mereka mencoba untuk
sabar sampai pada akhirnya saat Tirta memasuki gudang
untuk membersihkannya. Tirta melihat tumpukan
pewarna tekstil dan pengawet berbahaya di Gudang. Ia
sangat terkejut dan akhirnya setelsh Galih dan Tirta
sudah menyelesaikan pekerjannya, Tirta menceritakan
hal ini kepada Galih.
“Lih, gue ganyangka,” ujar Tirta.
“Hah, ga nyangka kenapa, Ta?” tanya Galih.
“Gue ngeliat ada pewarna tekstil sama pengawet yang
bahaya banget, Lih, di gudang si Gilang.” Jelasnya.
“Waduh, emang udah ga waras si Gilang. Gua gamau tau
pokoknya kita harus resign, Ta,”
Setelah itu mereka menghubungi Ratu dan
menceritakan tentang apa yang baru saja Tirta lihat. Ratu
yang ikut kaget akhirnya menanyakan hal ini ke
ayahnya, Pak Haris. Pak Haris juga ternyata tidak tahu
menahu soal hal itu. Ia berjanji untuk segera
memastikan kabar tersebut dqan bila waktunya sudah
tepat, ia akan langsung menanyakannya kepada Gilang.
Di sisi lain Galih dan Tirta sedang menulis surat
permohonan mengundurkan dirinya dari restoran milik
Gilang. Mereka mengeluhkan perlakuan Gilang yang
kurang sopan terhadap mereka. Mereka sama sekali tidak
menyebutkan tentang cerita Tirta dan gudang Gilang.
Mereka membiarkan hal tersebut karena merasa itu
semua percuma, karena Gilang tidak akan berubah.
Mereka selanjutnya berbincang bincang tentang apa
yang mereka lakukan. Setelah dipikir matang-matang
mereka setuju untuk membuat sebuah usaha kedai kecil
dengan sandwich sebagai menu utamanya.

Akhir yang Manis


Galih dan Tirta mulai merintis usaha kecilnya
dengan modal yang berasal dari tabungan mereka
berdua. Mereka mengeluarkan semua tabungan mereka
untuk menjalankan bisnis ini. Tak ayal, mereka sangat
berharap bahwa bisnis kedai kecil mereka kelak akan
sukses dan mengubah hidup mereka.
Di sisi lain, Pak Haris masuk ke gudang milik
Gilang dan mendapati bahwa ternyata apa yang
dikatakan oleh Galih dan Tirta adalah hal yang benar.
Dengan raut wajah khawatir ia mendatangi Gilang yang
sedang berada di ruangannya untuk memastikan dan
mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
“Permisi Pak Gilang, saya boleh bicara sebentar, Pak?”
tanya Pak Haris dengan lembut.
“Oh iya, duduk aja pak,” balas Gilang namun tanpa
menatap muka Pak Haris dan masih terfokus pada
ponselnya/
“Begini pak, tadi saya baru saja masuk gudang dan
saya…”
“Ohh, jadi Pak Haris sudah tahu ya sekarang?” potong
Gilang.
“Maaf, Pak, maksudnya sudah tahu apa ya? Saya sama
sekali tidak mengerti, yang saya lihat di gudang tadi
hanya tumpukan pewarna tekstil dan pengawet
berbahaya,” pungkas Pak Haris.
“Hahaha, iya, Pak, itu maksud saya,” ungkap Gilang
“Jadi Pak Gilang...?”
“Ya, benar Pak, saya memang sengaja menggunakan
bahan-bahan itu untuk meningkatkan penjualan kita,”
“Tapi , Pak, itu kan..”
“Sudah, kalau bapak tidak mau pakai cara saya, bapak
lebih baik berhenti bekerja di sini, bapak saya pecat,”
hardik Gilang terhadap Pak Haris.
Mendengar hal itu Pak Haris terlihat kaget dan langsung
memegang dadanya lalu terjatuh. Gilang yang kaget
memanggil karyawannya untuk segera membawa Pak
Haris ke rumah sakit. Ia mengatakan bahwa tadi Pak
Haris tidak sengaja terjatuh. Kabar ini sampai pada Ratu
yang akhirnya segera menyusul ke rumah sakit.

***
“Yah, ayah kenapaaa?” Ucap Ratu sambil menangis.
Pak Haris didiagnosis menderita stroke dan
kondisinya sekarang makin memburuk. Gilang yang
sebenarnya merupakan

Anda mungkin juga menyukai