Anda di halaman 1dari 19

REFERAT

PERTAHANAN SALURAN PERNAPASAN ATAS


DAN PENYAKIT HIDUNG DAN TENGGOROK
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI……………………………………………………………………………………...2
BAB I……………………………………………………………………………………………...3
1.1. Latar
Belakang………………………………………………………………………..3
1.2. Tujuan……………………………………………………………………………
…...3
BAB II…………………………………………………………………………………………….4
2.1. Anatomi Saluran Pernapasan
Atas…………………………………………………….4
2.1.1. Hidung….…………………………………………………………………...4
2.1.2. Faring……………………………………………………...………………..5
2.1.3. Laring……………………………………………………………………….5
2.2. Sistem Pertahanan Saluran Pernapasan Atas…...……………...
……………………...6
2.2.1. Sel Epitel Saluran Pernapasan….
…………………………………………...6
2.2.2. Sistem Imun
Mukosa………………………………………………………..7
2.2.3. Refleks Batuk……………………………………………………………….8
2.2.4. Refleks Bersin………………………………………………………………9
2.3. Penyakit Hidung………………………………………………………………………9
2.3.1. Rhinitis……………………………………………………………………...9
2.3.2. Rhinosinusitis……………………………………………………………...10
2.4. Penyakit Tenggorok……………………………………………………..…………..11
2.4.1. Faringitis…………………………………………………………………..11
2.4.2.
Tonsilitis…………………………………………………………………...12
2.4.3. Epiglotitis………………………………………………………………….14
2.4.4. Laringitis…………………………………………………………………..14
BAB III…………………………………………………………………………………………..16

2
3.1. Kesimpulan………………………………………………………………………….16
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………...17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saluran pernapasan merupakan saluran yang menghubungkan udara luar dengan
baru, hal ini menyebabkan saluran pernapasan selalu terpapar dengan dunia luar.1,2 Sistem
pernapasan mempunyai fungsi penting, yaitu pertukaran gas yang diperlukan untuk
kehidupan. Sistem kekebalan yang beroperasi dalam saluran pernapasan harus
kompatibel dengan fungsi vital ini dan menjaga saluran udara terbuka setiap saat. Namun,
udara yang dihirup tidak selalu aman, karena mengandung mikroorganisme dan partikel
lingkungan, yang beberapa di antaranya dapat menyebabkan gangguan sistem
pernapasan.1 Inhalan yang berbahaya perlu dihilangkan secepat mungkin oleh sistem
kekebalan tubuh, karena kegagalan eliminasi dapat menyebabkan respons peradangan
dan mengakibatkan pembengkakan yang menutup saluran udara atau infeksi yang dapat
menyebabkan pneumonia berat.3
Untuk mengendalikan patogen, tubuh memiliki sistem pertahanan saluran
pernapasan terdiri dari beberapa tingkatan respons imun yang tersusun secara berurutan
dalam mengendalikan infeksi.3 Pada kondisi tertentu, tubuh gagal dalam mengeliminasi
patogen yang masuk ke dalam saluran pernapasan atas hingga terjadi infeksi. Infeksi
saluran pernapasan atas merupakan penyakit akut yang paling umum ditemukan pada
pasien rawat jalan. Infeksi saluran pernapasan atas memiliki gejala mulai dari pilek biasa
hingga penyakit yang mengancam jiwa seperti epiglottitis. Virus merupakan penyebab
dari sebagian besar infeksi saluran pernapasan atas.4

1.2. Tujuan
Referat ini dibuat dengan tujuan untuk mempelajari pertahanan saluran
pernapasan atas serta penyakit hidung dan tenggorok secara menyeluruh.
1.3.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Saluran Pernapasan Atas


Sistem pernapasan secara umum terbagi menjadi sistem atas (dari rongga hidung dan
mulut hingga laring) dan sistem bawah (trakea dan paru-paru). Kedua saluran pernapasan
tersebut dibatasi oleh glotis.3

Gambar 2. Saluran Pernapasan Atas5


2.1.1. Hidung5
Tempat masuk dan keluarnya udara pada sistem pernapasan adalah melalui
hidung. Pada dinding lateral rongga hidung terdiri dari tiga tonjolan tulang, yang
disebut dengan konka superior, media, dan inferior. Konka berfungsi untuk
meningkatkan luas permukaan rongga hidung dan memperlambat kecepatan aliran
udara saat memasuki hidung, sehingga udara dapat tersebar di sepanjang mukosa
hidung, di mana udara dibersihkan dan dihangatkan.
Terdapat ruangan kosong pada tulang di sekitar hidung yang terisi udara.
Ruangan tersebut dikenal dengan sinus paranasal, yang berfungsi untuk
menghangatkan dan melembabkan udara yang masuk. Sinus dilapisi oleh mukosa.

5
Setiap sinus paranasal dinamai sesuai dengan tulangnya, yaitu: sinus frontal, sinus
maksilaris, sinus sfenoid, dan sinus etmoid. Sinus paranasal juga berfungsi untuk
menghasilkan lendir dan mengurangi berat tengkorak.
2.1.2. Faring5
Faring adalah tabung yang terbentuk oleh otot rangka dan dilapisi oleh
selaput lendir yang kontinu dari rongga hidung. Faring dapat dibagi menjadi
bagian, yaitu: nasofaring, orofaring, dan laringofaring.
Nasofaring berfungsi sebagai jalan napas. Di bagian atas nasofaring terdapat
tonsil faring. Tonsil faring, juga disebut adenoid, yang merupakan jaringan limfoid
yang mirip dengan nodus limfa yang terletak di bagian superior nasofaring. Fungsi
tonsil faring belum dipahami sepenuhnya, tetapi pada adenoid ini terdapat banyak
limfosit dan ditutupi dengan epitel bersilia yang dapat memerangkap dan
menghancurkan patogen yang masuk saat inhalasi. Tonsil faring berukuran besar
pada anak-anak, lalu cenderung mengalami mengecil seiring bertambahnya usia
dan hingga mungkin hilang.
Orofaring adalah jalan untuk udara dan makanan. Superior orofaring
berbatasan superior dengan nasofaring dan anterior dengan rongga mulut. Fauces
adalah lubang penghubungan antara rongga mulut dan orofaring. Ketika nasofaring
berlanjut menjadi orofaring, epitelnya berubah dari epitel kolumnar bersilia yang
pseudostratifikasi menjadi epitel skuamosa berlapis. Terdapat dua pasang tonsil
pada rofaring yaitu, tonsil palatin dan lingual.
Laringofaring berada lebih rendah dari orofaring dan berada pada posterior
laring. Epitel laringofaring merupakan epitel skuamosa bertingkat yang sama
dengan orofaring. Pada anterior, laringofaring terbuka ke laring, sedangkan
posterior, bercabang menjadi kerongkongan.
2.1.3. Laring5
Laring merupakan struktur yang terdiri dari tulang rawan yang
menghubungkan faring dengan trakea dan membantu mengatur volume udara yang
masuk dan meninggalkan paru-paru. Struktur laring dibentuk oleh beberapa tulang
rawan. Tiga buah kartilago besar, yaitu kartilago tiroid (anterior), epiglotis
(superior), dan kartilago krikoid (inferior). Kartilago tiroid adalah bagian terbesar

6
yang membentuk laring. Kartilago tiroid membentuk tonjolan yang dikenal dengan
“Adam’s apple” yang cenderung lebih menonjol pada pria. Kartilago krikoid yang
tebal membentuk cincin. Tiga kartilago yang lebih kecil dan berpasangan, yaitu
aritenoid, corniculata, dan cuneiform, ketiganya melekat pada epiglotis dan pita
suara serta otot yang membantu menggerakkan pita suara untuk menghasilkan
suara. Epiglotis merupakan tulang rawan elastis yang melekat pada kartilago tiroid
dan sangat fleksibel serta menutupi pembukaan trakea.
2.2. Sistem Pertahanan Saluran Pernapasan Atas
Pada orang sehat, saluran pernapasan bagian bawah berada dalam kondisi steril. 3
Oleh karena itu, apa bila terdapat mikroba pada saluran napas bawah, respons peradangan
dapat menyebabkan pneumonia. Sebaliknya, saluran pernapasan bagian atas adalah jalan
masuk untuk oksigen yang dihirup dari udara sekitar, maka permukaan mukosa saluran
pernapasan atas secara konsisten terpapar dengan mikroorganisme oportunistik (misalnya
Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae), mikroorganisme patogen
(misalnya Corynebacterium diphtheriae dan virus influenza), juga terhadap zat asing
seperti berbagai jenis bahan kimia (misalnya asap tembakau) dan partikel alergen
(misalnya serbuk sari dan debu rumah).1,3 Oleh karena itu, diperlukan sistem imun untuk
melindungi tubuh terhadap infeksi.3
Sistem imun merupakan mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan
keutuhannya terhadap berbagai macam mikroorganisme dalam lingkungan hidup. Sistem
imun terdiri dari sistem imun alamiah atau non-spesifik (natural/innate) dan didapat atau
spesifik (adaptive/acquired). Mekanisme fisiologis imunitas non-spesifik merupakan
komponen normal tubuh yang tidak memerlukan induksi oleh paparan dari luar.
Mekanisme tersebut tidak menunjukkan spesifitas dan tidak tergantung pada pengenalan
spesifik bahan asing. Sebaliknya, sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk
mengenali mikroorgansme asing. Sistem imun spesifik antara lain terdiri dari sistem imun
spesifik humoral, sistem imun spesifik seluler, dan lain-lainnya. Salah satu diantaranya
adalah sistem imun mukosa (mucosal associated lymphoid tissue/MALT).2
2.2.1. Sel Epitel Saluran Pernapasan
Bagian lumen saluran pernapasan secara fisik dilindungi oleh lapisan sel
epitel yang melekat erat satu sama lain. Selain itu, mukosa saluran napas atas juga

7
dilengkapi oleh sel goblet dan sel basal.3 Sel-sel epitel saluran napas atas memiliki
silia dan menghasilkan mukus yang terdiri dari polisakarida seperti musin (MUC).
MUC2, 5AC, 5B, dan 19 adalah tipe mukus disekresikan pada saluran pernapasan.
Ekspresi MUC5AC dan 5B meningkat pada penyakit pernapasan seperti asma dan
penyakit paru obstruktif kronis melalui jalur pensinyalan IL-13 dan STAT6. Pada
bronkus, mukus dan gerakan silia bekerja secara kooperatif untuk mencegah benda
asing besar (> 5 mm) masuk ke dalam alveoli. Benda asing yang terperangkap,
akan dibawa oleh gerakan silia ke arah mulut, lalu dikeluarkan dengan batuk.
Mekanisme ini dikenal dengan mucociliary clearance.1
2.2.2. Sistem Imun Mukosa
Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu, melindungi
membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin
menembus masuk, melindungi pengambilan (uptake) antigen terdegradasi berupa
protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang terhirup dan
bakteri komensal, serta melindungi berkembangnya respons imun yang berpotensi
merugikan. Dalam hal ini, sistem imun mukosa melakukan seleksi mekanisme
efektor yang sesuai dan mengatur intensitasnya untuk menghindari kerusakan
jaringan dan proses imun berlebih.2
Secara umum, sistem imun mukosa terdiri dari bagian induktif dan efektor.
Jaringan induktif terdiri dari mucosa associated lymphoid tissue (MALT),
contohnya yaitu Peyer’s Patch (PP) di usus kecil dan nasopharynx-associated
lymphoid tissue (NALT) pada rongga hidung tikus.1,3 Sedangkan pada jaringan
induktif, antigen yang berada di mukosa, diambil oleh antigen-sampling cell.
Antigen tersebut diproses oleh antigen-presenting cell (APC) seperti dendritic cell
(DC), lalu diperkenalkan ke sel limfosit naive.1
DC bermigrasi ke daerah sel T dari MALT dan kemudian menyajikan peptida
antigen kepada sel T naive. Di daerah sel B, pembentukan germinal center dan
perpindahan kelas antibodi terjadi. Peralihan kelas ke IgA sebagian besar terjadi di
MALT oleh kelompok sitokin yang terkait IgA, yaitu TGFb, IL-2, IL-4, IL-5, IL-6,
dan IL-10. Sel B dengan IgA+ keluar dari MALT melalui pembuluh getah bening
eferen, kemudian masuk ke dalam sistem peredaran darah tubuh. Akhirnya, sel-sel

8
ini bermigrasi ke lapisan mukosa jaringan efektor dan membentuk jaringan seluler
yang diperlukan di antara sel T, Th1, Th17, Treg, dan sel T sitotoksik, sel B, dan
DC, bersama dengan sel epitel, untuk memberikan respons pertahanan yang tepat.1

Gambar 2. sel B IgA+ dan sel epitel1

2.2.3. Refleks Batuk

9
Bronkus dan trakea sangat sensitif terhadap sentuhan, sehingga sedikit saja
benda asing atau penyebab iritasi lainnya dapat memicu refleks batuk. Laring dan
karina (titik di mana trakea membelah menjadi bronkus) adalah bagian yang sangat
sensitif. Bronkiolus terminal dan bahkan alveoli juga peka terhadap rangsangan
kimia korosif, seperti gas sulfur dioksida atau gas klor. Impuls saraf aferen saluran
pernapasan atas akan melalui nervus vagus menuju ke bagian medula otak. Di sana,
urutan peristiwa akan secara otomatis terpicu oleh sirkuit neuron medula,
menyebabkan efek sebagai berikut.6
Pertama, hingga 2,5 liter udara akan terinspirasi dengan cepat. Kedua,
epiglotis menutup, dan pita suara tertutup rapat untuk menahan udara di dalam
paru-paru. Ketiga, otot perut berkontraksi dengan kuat, mendorong diafragma,
sementara otot ekspirasi lainnya, seperti otot interkostalis internal juga berkontraksi
secara paksa. Akibatnya, tekanan di paru-paru naik dengan cepat hingga 100 mm
Hg atau lebih. Keempat, pita suara dan epiglotis tiba-tiba terbuka lebar, sehingga
udara bertekanan tinggi di paru-paru meledak keluar. Kadang udara yang
dikeluarkan berada pada kecepatan mulai dari 75 hingga 100 mil per jam. Yang
terpenting adalah udara yang secara cepat akan membawa serta benda asing yang
ada di dalam bronkus atau trakea.6
2.2.4. Refleks Bersin
Refleks bersin sangat mirip dengan refleks batuk, kecuali refleks bersin
terjadi pada saluran hidung dan bukan pada saluran pernapasan bagian bawah.
Stimulus pemicu refleks bersin adalah iritasi pada saluran hidung; impuls aferen
akan melewati saraf kranial kelima menuju medula, tempat refleks dipicu.
Serangkaian reaksi yang mirip dengan refleks batuk terjadi; Namun, uvula tertekan,
sehingga sebagian besar udara melewati hidung dengan cepat, dan membantu
membersihkan saluran hidung dari benda asing.6

2.3. Penyakit Hidung


2.3.1. Rhinitis
Rhinitis adalah penyakit yang sangat umum ditemukan dan disebabkan oleh
peradangan atau iritasi mukosa hidung. Gejala yang utama pada rhinitis adalah

10
sumbatan hidung. Namun, beberapa pasien sering kali juga mengalami rinore,
bersin atau gatal pada hidung. Penyebab paling sering dari rhinitis adalah infeksi
virus dan respons alergi terhadap alergen. Rhinitis viral biasanya dapat berlangsung
hingga 10 hari dan memiliki gejala berupa flu like syndrome. Pada rhinis yang
berlangsung lama, penting untuk membedakan antara rhinitis karena infeksi, alergi,
atau non-alergi.7
Gejala gatal pada hidung dan mata lebih sering terjadi pada rhinitis alergi,
sedangkan gejala lain seperti sumbatan hidung, rinore dan bersin dapat ditemukan
pada pasien dengan rhinitis alergi maupun non-alergi. Pasien dengan rhinitis alergi
sering mengalami gejala setelat terpapar aergen. Rhinitis alergi terjadi karena
interaksi imunoglobulin E (IgE) dengan alergen yang kontak dengan mukosa
hidung. Contoh alergen yaitu seperti serbuk sari, debu, jamur, bulu binatang, dan
lainnya. Biasanya pasien rhinitis alergi memiliki riwayat keluarga dengan latar
belakang alergi, Diagnosis dikonfirmasi dengan ditemukannya sensitivitas terhadap
alergen tertentu melalui skin prick test, untuk membuktikan adanya IgE antibodi
spesifik dalam serum pasien.6
Rhinitis akut merupakan penyakit yang dapat sembuh sendiri secara spontan
dalam kurang lebih 12 minggu. Karena itu, umumnya terapi yang diberikan adalah
bersifat simptomatik, seperti analgesik, antipiretik, nasal dekongestan, dan
antihistamin. Terapi nonfarmakologi adalah tirah baring untuk mendapat istirahat
yang cukup. Terapi secara khusus tidak diperlukan, kecuali bila terdapat komplikasi
seperti infeksi sekunder bakteri, maka antibiotik perlu diberikan.8
Rhinitis disebut kronik apa bila berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita temukan
pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika, dan rhinitis spesifik (difteri, atrofi, sifilis,
tuberkulosa dan jamur). Sangat penting untuk melakukan pemeriksaan gejala pada
setiap pasien secara menyeluruh untuk menentukan penyebab rhinitis.8
2.3.2. Rhinosinusitis
Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi pada sinus paranasal, sedangkan
rhinitis merupakan inflamasi pada mukosa dalam cavum nasal. Pada tahun 1996,

11
istilah rhinosinusitis direkomendasikan karena umumnya rhinitis mendahului
penyakit sinusitis dan juga sinusitis tanpa adanya rhinitis sangat jarang terjadi.9
Rhinosinusitis pada orang dewasa didefinisikan sebagai inflamasi pada nasal
dan sinus paranasal dengan karakteristik 2 atau lebih gejala dimana salah satunya
harus terdapat obstruksi/kongesti nasal atau terdapat sekret nasal (anterior/posterior
nasal drip):10
a. ± facial pain/pressure
b. ± penghidu kesan menurun
dan salah satu gejala endoskopi:
a. polip nasal, dan/atau
b. discharge mukopurulen yang berasal dari meatus media dan/atau
c. edema/obstruksi mukosa yang berasal dari meatus media dan/atau
d. gambaran CT berupa: perubahan mukosa dalam kompleks osteomeatal
dan/atau sinus

Berdasarkan durasi, rhinosinusitis dapat diklasifikasikan menjadi akut (<12


minggu) dan kronis (≥12 minggu). Rhinosinusitis akut dapat dibagi menjadi
rhinosinusitis virus akut dan rhinosinusitis bakteri, dimana rhinosinusitis bakteri
sering kali didahului oleh rhinitis virus atau common cold. Etiologi rhinosinusitis
viral yang paling sering ditemukan adalah rhinovirus dan coronavirus. Sedangkan
etiologi bakteri yang sering adalah 'trio infernal' (S. pneumoniae, Haemophilus
influenza, dan M. catarrhalis) dan S. aureus.10 Tatalaksana rhinosinusitis viral
merupakan tatalaksana simptomatik, sedangkan rhinosinusitis bakterial perlu
diberikan antibiotik, dengan rekomendasi lini pertama adalah penisilin (amoksisilin
± klavulanat).9,10

2.4. Penyakit Tenggorok


2.4.1. Faringitis
Faringitis didefinisikan sebagai peradangan faring. Wilayah faring yang
paling sering terkena faringitis pada orang dewasa adalah orofaring. Gejala
utamanya adalah nyeri tenggorokan. Faringitis terkait infeksi hanyalah salah satu

12
dari banyak kemungkinan penyebab sakit tenggorokan pada orang dewasa.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang akurat sangat penting untuk menentukan
diagnosis banding pada setiap pasien.11
Sebanyak 5-10% faringitis pada orang dewasa disebabkan oleh infeksi
bakteri.Hal ini berbeda dari pada anak-anak, di mana bakteri faringitis
menyumbang 30-40% kasus. Sekitar 75% orang dewasa yang mengalami sakit
tenggorokan diberikan antibiotik karena diduga sebagai faringitis bakteri, padahal
infeksi bakteri hanya terjadi pada sebagian kecil faringits. Hal ini dapat dikaitkan
dengan harapan pasien untuk menerima antibiotik dan keyakinan dokter bahwa
pasien akan berkonsultasi kembali jika antibiotik tidak diresepkan dan tidak puas
jika tidak menerima antibiotik. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat ini memiliki
konsekuensi negatif bagi pasien secara individu dan juga kesehatan masyarakat.11
Group A Beta Hemolytic Streptococcus pyogenes (GABHS) merupakan
patogen bakteri penyebab sebagian besar faringitis bakterial. Area yang dapat
terkena faringitis GABHS yaitu, tonsil palatina, uvula, palatum molle, dan dinding
faring posterior. Gejala biasanya timbul dengan cepat, pasien dapat mengalami
sakit tenggorokan yang parah, odinofagia, limfadenopati servikal, demam,
menggigil, malaise, sakit kepala, kekakuan leher ringan, dan anoreksia. Trismus,
suara serak, batuk, konjungtivitis, diare, rinore, dan lesi ulseratif diskrit biasanya
tidak ada. Faring biasanya akan mengalami eritema, edema, dan tonsil berwarna
abu-abu putih. Petekie mungkin dapat ditemukan pada palatum molle. Tonsil
umumnya bengkak dan nafas pasien berbau busuk.11
Faringitis GABHS harus diobati dengan dosis dan durasi antibiotik sesuai
dosis dan durasi terapinya. Penisilin tetap menjadi pengobatan pilihan karena
efektivitasnya yang telah terbukti, merupakan antibiotik spektrum sempit, dan biaya
rendah. Tidak ada isolat klinis GABHS yang pernah didokumentasikan yang
resisten terhadap penisilin.11
Sebanyak 30-60% faringitis pada orang dewasa disebabkan oleh infeksi virus,
kondisi ini dikenal sebagai common cold. Rhinovirus adalah agen etiologi common
cold yang paling umum, sedangkan coronavirus dan virus parainfluenza lebih
jarang terlibat. Tatalaksana untuk faringitis viral bersifat simptomatik, yaitu terdiri

13
dari istirahat, hidrasi oral, dan obat flu bebas resep untuk menghilangkan gejala.
Kebanyakan orang dewasa tanpa komorbiditas kan pulih dalam 1 minggu.
Antibiotik tidak digunakan secara rutin dan hanya diindikasikan untuk infeksi
sekunder bakterial, yang terjadi pada 0,5-5% kasus.11
2.4.2. Tonsilitis
Tonsilitis adalah inflamasi pada tonsil. Beberapa istilah tonsilitis, yaitu
tonsilitis akut (gejala biasanya sembuh dalam 3-4 hari, dapat bertahan hingga 2
minggu), tonsilitis rekuren (beberapa episode tonsilitis akut dalam setahun yang
diselingi periode asimtomatik), dan tonsilitis kronik (infeksi tonsil persisten dimana
gejala bertahan lebih dari 2 minggu). Etiologi virus merkontribusi pada 70-95%
kasus tonsilitis akut. Dimana virus yang paling sering ditemukan adalah rhinovirus
dan coronavirus. Sedangkan etiologi bakteri hanya ditemukan pada 5-15% kasus
akut, dan bakteri penyebab yang peling sering yaitu, GABHS.12,13
Gejala tonsilitis mirip dengan faringitis, yaitu nyeri tenggorokan, sulit/nyeri
menelan, demam yang dapat disertai denga menggigil, serta gejala konstitual
lainnya (nyeri kepala, malaise dan konstipasi). Selain itu, dapat ditemukan juga
hipertrofi dan eritema serta eksudat pada tonsil, halitosis, hiperemis pada palatum
dan uvula, juga pembesaran kelenjar getah bening jugulodigastrik. Kadang kala,
sulit untuk membedakan antara tonsilitis viral dan bakterial. Oleh karena itu dapat
digunakan scoring untuk membedakannya. Scoring yang dapat digunakan, yaitu
Centor score dan McIsaac score.13

Tabel 1. Centor Score12

14
Tabel 2. McIsaac Score12

15
Tonsilitis akut yang bukan disebabkan oleh GABHS umumnya merupakan
self limiting disease. Oleh karena itu, pasien cukup dianjurkan untuk istirahat dan
memperbanyak minum air putih. Analgesik untuk meredakan nyeri dapat diberikan.
Antibiotik hanya diindikasikan untuk tonsilitis yang dicurigai atau terbukti
disebabkan oleh GABHS.13

2.4.3. Epiglotitis
Epiglotitis adalah peradangan akut yang terjadi di daerah supraglotis
orofaring, dengan radang epiglotis, valekula, aritenoid, dan lipatan ariepiglotik.
Pada orang dewasa, organisme yang paling umum yang menyebabkan epiglotitis
akut adalah Haemophilus influenzae (25%), diikuti oleh H. parainfluenzae,
Streptococcus pneumoniae, dan streptokokus grup A. onset dan perkembangan
gejala epiglotitis dapat terjadi dengan cepat. Gejala yang dapat ditemukan, yaitu
nyeri tenggorokan, odinofagia/disfagia, ”hot potato voice”, hingga stridor. Gejala
infeksi saluran pernapasan atas juga dapat ditemukan pada pasien epiglotitis.14
Pasien dengan tanda obstruksi jalan napas bagian atas dan memiliki gejala
konsisten dengan epiglotitis akut, harus dianggap sebagai keadaan darurat medis.
Pengamanan jalan napas harus diprioritaskan. Intubasi trakea pada pasien dengan
epiglotitis harus dilakukan apa bila didapatkan kesulitan bernapas. Antibiotik harus
diberikan segera setelah specimen kultur darah telah diambil.14,15
2.4.4. Laringitis
Laringitis adalah salah satu kondisi paling umum yang sering ditemukan pada
laring. Laringitis merupakan inflamasi laring, yang dapat bermanifestasi dalam
bentuk akut dan kronis. Laringitis akut memiliki onset mendadak dan biasanya self-
limited. Saat seorang pasien mengalami gejala laringitis selama lebih dari 3
minggu, kondisi tersebut dapat diklasifikasikan sebagai laringitis kronis. Etiologi
laringitis akut yaitu, penyalahgunaan vokal, paparan agen kimia, atau infeksi
saluran pernapasan atas. Etiologi infeksi paling sering adalah virus.11
Etiologi laryngitis kronis biasanya berkaitan dengan kondisi lingkungan,
seperti asap rokok, polusi udara (gas kimia), iritasi terhadap penggunaan inhaler

16
pada pasien asma, penyalahgunaan vocal (penggunaan berkepanjangan dengan
nada tinggi), atau gastrointestinal esophageal reflux (GERD).11
Menghirup udara yang lembab dapat meningkatkan kelembapan jalan napas
bagian atas serta membantu membersihkan sekresi dan eksudat. Pasien juga perlu
mengistirahatkan suara. Disarankan untuk berbicara secara pelan, tetapi tidak
berbisik, berbisik justru menyebabkan hiperfungsi laring. Pasien yang merokok
perlu disarankan untuk berhenti merokok. Jika laringitis disebabkan oleh infeksi,
maka diberikan tatalaksana secara siptomatik. Jika GERD dicurigai sebagai
penyebab laringitis, maka penyekat reseptor H2 and proton pump inhibitor perlu
diberikan.11,16

17
BAB III
KESIMPULAN

Sistem pernapasan terbagi menjadi sistem atas dan bawah. Kedua saluran pernapasan
tersebut dibatasi oleh glotis. Saluran pernapasan bagian bawah selalu berada dalam kondisi steril.
Oleh karena itu, apa bila terdapat mikroba pada saluran napas bawah, dapat terjadi respons
peradangan. Sebaliknya, saluran pernapasan bagian atas secara konsisten terpapar dengan udara
luar, sehingga seringkali terjadi kontak dengan mikroorganisme oportunistik mau pun patogen
serta benda asing Oleh karena itu, diperlukan sistem imun untuk melindungi tubuh terhadap
infeksi.

Tubuh manusia memiliki pertahanan yang berlapis, dimulai dari sel epitel saluran
pernapasan yang berikatan dengan erat, bersilia, dan memproduksi mukus untuk melindungi
tubuh dari masuknya mikroorganisme. Selain itu, juga terdapat sistem imun mukosa yang
melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba berbahaya yang mungkin
menembus masuk serta melakukan seleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur
intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun berlebih. Tubuh juga
memiliki refleks batuk dan bersin untuk mencegah masuknya benda asing ke dalam saluran
pernapasan bawah.

Penyakit hidung dan tenggorok merupakan kondisi yang paling sering ditemukan dalam
praktik klinis, sebagian besar penyakit tersebut disebabkan oleh infeksi virus yang merupakan
penyakit self-limiting, yang hanya memerlukan istirahat dan hidrasi yang cukup, serta terapi
simptomatik lainnya seperti analgesik, antipiretik, dan lainnya. Tatalaksana spesifik seperti
antibiotik jarang diperlukan, kecuali pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sato S, Kiyono H. The mucosal immune system of the respiratory tract. Current Opinion
in Virology. 2012;2(3):225-232.
2. Maharyati R, Purwati D. Sistem Imun Mukosa Traktus Respiratorius Atas. Fakultas
Kedokteran Universitas Airlangga. 2011.
3. Iwasaki A, Foxman E, Molony R. Early local immune defences in the respiratory tract.
Nature Reviews Immunology. 2016;17(1):7-20.
4. Maneghetti A. Upper Respiratory Tract Infection: Practice Essentials, Background,
Pathophysiology. Emedicine.medscape.com. 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/302460-overview#a2
5. OpenStax. Anatomy & Physiology. OpenStax CNX; 2016.
6. Hall J. Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology. 13th ed. Elsevier - health
science; 2016.
7. Kalogjegra L. Rhinitis In Adults. Acta med Croatica. 2011;65(2):181-7.
8. Arsayad E, Iskandar N. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. 5th ed. Jakarta: FKUI; 1996.
9. Bailey B, Johnson J, Rosen C. Bailey's head and neck surgery - otolaryngology. 5th ed.
Philadelphia: Wolters Kluwer, Lippincott Williams et Wilkins; 2014.
10. Fokkens WJ, Lund VJ, Mullol J, Bachert C, Alobid I, Baroody , et al. The european
position paper on rhinosinusitis and nasal polyps 2012. Rhinology. 2012 Suppl. 23: 1-299
11. Flint P, Cummings C. Cummings otolaryngology. 5th ed. Philadelphia: Elsevier; 2015.
12. Dhingra PL, Dhingra S. Diseases of Ear, Nose and Throat. 7th ed. Elsevier India; 2017.
P293 Ballenger JJ., Snow JB., Ballenger’s otorhinolaryngology Head & Neck Surgery.
17th Ed.2008
13. Windfuhr J, Toepfner N, Steffen G, Waldfahrer F, Berner R. Clinical practice guideline:
tonsillitis I. Diagnostics and nonsurgical management. European Archives of Oto-Rhino-
Laryngology. 2016;273(4):973-987.
14. Sandra G. Epiglottitis: Practice Essentials, Etiology, Epidemiology.
Emedicine.medscape.com. 2018. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/763612-overview
15. Abdallah C. Acute epiglottitis: Trends, diagnosis and management. Saudi Journal of
Anaesthesia. 2012;6(3):279.
16. Shah R. Acute Laryngitis Treatment & Management: Medical Care, Diet, Activity.
Emedicine.medscape.com. 2020. Available from:
https://emedicine.medscape.com/article/864671-treatment

19

Anda mungkin juga menyukai