Anda di halaman 1dari 11

LAPORAN PENDAHULUAN PADA PASIEN ASMA BRONKIAL

DI RUANGAN HCU RSAD DR. R. ISMOYO KENDARI

OLEH:

1. Tri Atmi Julianti


2. Desiana Jupri
3. Siti Samsia
4. Erika Oktapiani Arista
5. Hasdiati
6. Jumaria

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


UNIVERSITAS MANDALA WALUYA
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
ASMA BRONKIAL
A. Definisi
Asma bronkial merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap
reaksi yang meningkat dari trakhea dan bronki terhadap berbagai macam
rangsangan yang manifestasinya berupa kesukaran bernapas, karena penyempitan
yang menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan
derajad penyempitannya dapat berubah-ubah, baik secara spontan maupun karena
pemberian obat-obatan. Kelainan dasarnya, tampaknya suatu perubahan status
imunologis si penderita (Elizabeth, 2000).

Klasifikasi
Secara etiologis asma bronkial dibagi dalam 3 tipe:
1. Asma bronkial tipe non atopi (intrinsik)
Pada golongan ini, keluhan tidak ada hubungannya dengan paparan
(exposure) terhadap alergen dan sifat-sifatnya adalah: serangan timbul
setelah dewasa, pada keluarga tidak ada yang menderita asma, penyakit
infeksi sering menimbulkan serangan, ada hubungan dengan pekerjaan atau
beban fisik, rangsangan psikis mempunyai peran untuk menimbulkan
serangan reaksi asma, perubahan-perubahan cuaca atau lingkungan yang non
spesifik merupakan keadaan peka bagi penderita.
2. Asma bronkial tipe atopi (Ekstrinsik).
Pada golongan ini, keluhan ada hubungannya dengan paparan terhadap
alergen lingkungan yang spesifik. Kepekaan ini biasanya dapat ditimbulkan
dengan uji kulit atau provokasi bronkial. Pada tipe ini mempunyai sifat-sifat:
timbul sejak kanak-kanak, pada famili ada yang menderita asma, adanya
eksim pada waktu bayi, sering menderita rinitis. Di Inggris jelas penyebabya
House Dust Mite, di USA tepung sari bunga rumput.
3. Asma bronkial campuran (Mixed)
Pada golongan ini, keluhan diperberat baik oleh faktor-faktor intrinsik
maupun ekstrinsik.
B. Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari Asma Bronkhial belum diketahui. Suatu hal
yang yang menonjol pada penderita Asma adalah fenomena hiperaktivitas
bronkus. Bronkus penderita asma sangat peka terhadap rangsangan imunologi
maupun non imunologi. Adapun rangsangan atau faktor pencetus yang sering
menimbulkan Asma adalah:
1. Faktor ekstrinsik (alergik) : reaksi alergik yang disebabkan oleh alergen atau
alergen yang dikenal seperti debu, serbuk-serbuk, bulu-bulu binatang.
2. Faktor intrinsic (non-alergik) : tidak berhubungan dengan alergen, seperti
common cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan
lingkungan dapat mencetuskan serangan.
3. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik (Smeltzer & Bare, 2002).
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan Asma Bronkhial yaitu :
a. Faktor predisposisi
1. Genetik
Faktor yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun belum
diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah
terkena penyakit Asma Bronkhial jika terpapar dengan faktor pencetus.
Selain itu hipersensitivitas saluran pernapasannya juga bisa diturunkan.
b. Faktor presipitasi
1. Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Inhalan : yang masuk melalui saluran pernapasan
Contoh : debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan polusi
b) Ingestan : yang masuk melalui mulut
Contoh : makanan dan obat-obatan
c) Kontaktan : yang masuk melalui kontak dengan kulit
Contoh : perhiasan, logam dan jam tangan
c. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi Asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan Asma. Kadangkadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau.
d. Stres
Stres atau gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan Asma,
selain itu juga bisa memperberat serangan Asma yang sudah ada.
Disamping gejala Asma yang timbul harus segera diobati penderita Asma
yang mengalami stres atau gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk
menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stresnya belum diatasi
maka gejala belum bisa diobati.
e. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
Asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang
bekerja di laboratorium hewan, industritekstil, pabrik asbes, polisi lalu
lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
f. Olah raga atau aktifitas jasmani
Sebagian besar penderita Asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olah raga yang berat. Lari cepat paling
mudah menimbulkan serangan Asma. Serangan asma karena aktifitas
biasanya terjadi segera setelah selesai aktifitas tersebut.
C. Patofisiologi
Suatu serangan Asma merupakan akibat obstruksi jalan napas difus
reversible. Obstruksi disebabkan oleh timbulnya tiga reaksi utama yaitu kontraksi
otot-otot polos baik saluran napas, pembengkakan membran yang melapisi
bronki, pengisian bronki dengan mukus yang kental. Selain itu, otot-otot bronki
dan kelenjar mukusa membesar, sputum yang kental, banyak dihasilkan dan
alveoli menjadi hiperinflasi, dengan udara terperangkap didalam jaringan
paru.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam
paru. Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan
antibody, menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti
histamine, bradikinin, dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang
bereaksi lambat (SRS-A). Pelepasan mediator ini dalam jaringan paru
mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas, menyebabkan bronkospasme,
pembengkakan membran mukosa, dan pembentukan mucus yang sangat banyak.
Selain itu, reseptor α- dan β- adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor α- adrenergik dirangsang, terjadi bronkokonstriksi,
bronkodilatasi terjadi ketika reseptor β- adrenergik yang dirangsang.
Keseimbangan antara reseptor α- dan βadrenergik dikendalikan terutama oleh
siklik adenosine monofosfat (cAMP). Stimulasi reseptor α- mengakibatkan
penurunan cAMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi yang
dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi. Stimulasi reseptor β-
mengakibatkan peningkatan tingkat cAMP yang menghambat pelepasan
mediator kimiawi dan menyebabakan bronkodilatasi. Teori yang diajukan adalah
bahwa penyekatan β- adrenergik terjadi pada individu dengan Asma. Akibatnya,
asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan mediator kimiawi dan konstriksi
otot polos (Smeltzer & Bare, 2002).
Patway

Alergen atau Antigen yang telah terikat oleh IgE yang menancap pada permukaan sel
mast atau basofil

Lepasnya macam-macam mediator dari sel mast atau basofil

Kontraksi otot polos

Spasme otot polos, sekresi kelenjar bronkus meningkat

Penyempitan/obstruksi proksimal dari bronkus kecil pada tahap inspirasi dan ekspirasi

Edema mukosa bronkus

Keluarnya sekrit ke dalam lumen bronkus

Sesak napas

Tekanan partial oksigen di alveoli menurun

Oksigen pada peredaran darah menurun

Hipoksemia CO2 mengalami retensi pada alveoli

Kadar CO2 dalam darah meningkat yang memberi


rangsangan pada pusat pernapasan

Hiperventilasi
D. Manifestasi Klinis
1. Terdengar bunyi nafas (wheezing/mengi/bengek) terutama saat
mengeluarkan nafas (exhalation). (Tidak semua penderita asma memiliki
pernafasan yang berbunyi, dan tidak semua orang yang nafasnya terdegar
wheezing adalah penderita asma).
2. Sesak nafas sebagai akibat penyempitan saluran bronki (bronchiale).
3. Batuk kronik (terutama di malam hari atau cuaca dingin). Adanya keluhan
penderita yang merasakan dada sempit.
4. Serangan asma yang hebat, penderita tidak dapat berbicara karena
kesulitannya dalam mengatur pernafasan.
5. Pada anak-anak, gejala awal dapat berupa rasa gatal dirongga dada atau
leher. Selama serangan asma, rasa cemas (sering menangis) yang berlebihan,
sehingga penderita dapat memperburuk keadaanya.
6. Sebagai reaksi terhadap kecemasan, penderita juga akan mengeluarkan
banyak keringat
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium:
a. Lekositosis dengan neutrofil yang meningkat menunjukkan adanya
infeksi
b. Eosinofil darah meningkat > 250/mm3 , jumlah eosinofil ini menurun
dengan pemberian kortikosteroid.
2. Analisa gas darah:
Hanya dilakukan pada penderita dengan serangan asma berat atau
status asmatikus. Pada keadaan ini dapat terjadi hipoksemia, hiperkapnia dan
asidosis respiratorik. Pada asma ringan sampai sedang PaO2 normal sampai
sedikit menurun, PaCO2 menurun dan terjadi alkalosis respiratorik. Pada
asma yang berat PaO2 jelas menurun, PaCO2 normal atau meningkat dan
terjadi asidosis respiratorik.
3. Radiologi:
Pada serangan asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya
tidak menunjukkan adanya kelainan. Beberapa tanda yang menunjukkan
yang khas untuk asma adanya hiperinflasi, penebalan dinding bronkus,
vaskulasrisasi paru.
4. Faal paru:
Menurunnya FEV1
5. Uji kulit:
Untuk menunjukkan adanya alergi
6. Uji provokasi bronkus:
Dengan inhalasi histamin, asetilkolin, alergen. Penurunan FEV 1
sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan petanda adanya
hiperreaktivitas bronkus.
F. Penatalaksanaan Medis
1. Waktu serangan.
a. Bronkodilator
1) Golongan adrenergik:
Adrenalin larutan 1 : 1000 subcutan. 0,3 cc ditunggu selama 15
menit, apabila belum reda diberi lagi 0,3 cc jika belum reda, dapat
diulang sekali lagi 15 menit kemudian. Untuk anak-anak diberikan
dosis lebih kecil 0,1 – 0,2 cc.
2) Golongan methylxanthine:
Aminophilin larutan dari ampul 10 cc berisi 240 mg. Diberikan
secara intravena, pelan-pelan 5 – 10 menit, diberikan 5 – 10 cc.
Aminophilin dapat diberikan apabila sesudah 2 jam dengan
pemberian adrenalin tidak memberi hasil.
3) Golongan antikolinergik:
Sulfas atropin, Ipratroprium Bromide. Efek antikolinergik adalah
menghambat enzym Guanylcyclase.
b. Antihistamin.
Mengenai pemberian antihistamin masih ada perbedaan pendapat.
Ada yang setuju tetapi juga ada yang tidak setuju.
c. Kortikosteroid.
Efek kortikosteroid adalah memperkuat bekerjanya obat Beta
Adrenergik. Kortikosteroid sendiri tidak mempunayi efek bronkodilator.
d. Antibiotika.
Pada umumnya pemberian antibiotik tidak perlu, kecuali:
sebagai profilaksis infeksi, ada infeksi sekunder.
e. Ekspektoransia.
Memudahkan dikeluarkannya mukus dari saluran napas.
Beberapa ekspektoran adalah: air minum biasa (pengencer sekret),
Glyceril guaiacolat (ekspektorans)
2. Diluar serangan
Disodium chromoglycate. Efeknya adalah menstabilkan dinding
membran dari cell mast atau basofil sehingga: mencegah terjadinya
degranulasi dari cell mast, mencegah pelepasan histamin, mencegah
pelepasan Slow Reacting Substance of anaphylaksis, mencegah pelepasan
Eosinophyl Chemotatic Factor).
Pengobatan Non Medikamentosa:
1. Waktu serangan:
a. pemberian oksigen, bila ada tanda-tanda hipoksemia, baik atas dasar
gejala klinik maupun hasil analisa gas darah.
b. pemberian cairan, terutama pada serangan asma yang berat dan yang
berlangsung lama ada kecenderungan terjadi dehidrasi. Dengan
menangani dehidrasi, viskositas mukus juga berkurang dan dengan
demikian memudahkan ekspektorasi.
c. drainase postural atau chest physioterapi, untuk membantu pengeluaran
dahak agar supaya tidak timbul penyumbatan.
d. menghindari paparan alergen.
2. Diluar serangan
a. Pendidikan/penyuluhan.
Penderita perlu mengetahui apa itu asma, apa penyebabnya, apa
pengobatannya, apa efek samping macam-macam obat, dan bagaimana
dapat menghindari timbulnya serangan. Menghindari paparan alergen.
Imti dari prevensi adalah menghindari paparan terhadap alergen.
b. Imunoterapi/desensitisasi.
Penentuan jenis alergen dilakukan dengan uji kulit atau
provokasi bronkial. Setelah diketahui jenis alergen, kemudian dilakukan
desensitisasi.
c. Relaksasi/kontrol emosi.
Untuk mencapai ini perlu disiplin yang keras. Relaksasi fisik
dapat dibantu dengan latihan napas.
G. Komplikasi
Status asmatikus adalah keadaan spasme bronkiolus berkepanjangan yang
men gancam jiwa yang tidak dapat dipulihkan dengan pengobatan. Pada kasus
seperti ini, kerja pernapasan sangat meningkat. Apabila kerja pernapasan sangat
meningkat, kebutuhan oksigen juga meningkat,karena individu yang mengalami
asma tidak dapat memenuhi kebutuhan oksigen normalnya, individu semakin
tidak sanggup memenuhi kebutuhan oksigen yang sangat tinggi yang dibutuhkan
untuk berinspirasi dan berekspirasi melawan spasme bronkiolus, pembengkakan
bronkiolus, dan mukus yang kental. Situasi ini dapat menyebabkan pneumotoraks
akibat besarnya tekanan untuk melakukan ventilasi. Apabila individu kelelahan,
dapat terjadi asidosis respiratorik, gagal napas, dan kematian.
DAFTAR PUSTAKA

A Geace Pierce, R Borley Neil, 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta :
Erlangga. P. 14-15.

Bare & Smeltzer.2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddart
(Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta :EGC

Corwin, Elizabeth J.2000.Buku Saku Patofisiologi.EGC: Jakarta.

Doenges, Marilynn E.dkk.2000.Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III.Alih Bahasa:
I Made Kriasa.EGC.Jakarta

Doengoes, Marilyn. 2005. Rencana Asuhan Keperawatan: Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawat Pasien. Jakarta: EGC

Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Muttaqin,Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan


Sistem Imunologi. Jakarta: Salemba Medika

Anda mungkin juga menyukai