Anda di halaman 1dari 4

faktor-faktor tersebut antara lain kesehatan ibu, ketersediaan dokter spesialis serta kehadiran

fasilitas layanan kesehatan dalam kasus-kasus emergensi.

Ketersediaan transportasi juga bisa menjadi kendala. beragam upaya sudah dan tetap dilakukan
untuk menekan agar AKI menurun di Indonesia. Pertama-tama dimulai dari penanganan masalah
di hulu yakni meningkatkan kesehatan calon ibu.

"Calon ibu diedukasi supaya menjaga kesehatan, ada kelas untuk ibu hamil sehingga para ibu
hamil itu dikumpulkan di puskesmas untuk membicarakan gizi selama kehamilan, membahas
juga persiapan melahirkan. Sehingga ibu itu tahu bakal melahirkan di bidan atau puskesmas
mana, lalu mengenali tanda bahaya, misalnya kalau sudah pusing sekali itu tanda harus ke tenaga
kesehatan,

Sementara program di hilir adalah penempatan dokter spesialis serta meningkatkan fasilitas
sarana dan prasarana untuk menangani kasus-kasus persalinan darurat.

"Cuma, ini kan harus sinkron. Harus ada SDM juga sarana prasarana. Kalau beli alat tapi enggak
ada SDM ya enggak bisa, begitu juga sebaliknya," tutur Kirana.

Kementerian Kesehatan juga kini sudah menyediakan Rumah Tunggu Persalinan. Ini adalah
rumah bagi ibu yang hendak melahirkan agar lebih dekat dengan fasilitas layanan kesehatan.

"Nah, di Rumah Tunggu ini ibu bisa tinggal untuk menunggu persalinan, lalu usai bersalin juga
bisa untuk beberapa waktu tinggal di sana

Penyebab Angka Kematian Ibu?


Tiga besar penyebab langsung kematian ibu meliputi perdarahan, preeklampsia dan infeksi. 4T
merupakan singkatan dari empat kondisi yang pada umumnya memicu munculnya komplikasi
pada kehamilan dan persalinan akibat kehamilan terlalu muda (kurang dari 18 tahun), usia yang
terlalu tua untuk hamil (lebih dari sama dengan 35 tahun), jarak kehamilan terlalu dekat (kurang
dari 2 tahun), serta kehamilan terlalu banyak.
Beberapa determinasi bisa menyebabkan kematian ibu secara tidak langsung termasuk kondisi
geografis, pendidikan, sosio ekonomi, budaya dan sebagainya. Situasi ini dinarasikan dengan
singkatan 3T meliputi terlambat mengambil keputusan, sehingga terlambat untuk mendapat
penanganan. Terlambat sampai ke tempat rujukan karena kendala transportasi.Terlambat
mendapat penanganan karena terbatasnya sarana dan sumber daya manusia.
Kondisi geografis Indonesia yang notabene kepulauan merupakan kesulitan sekaligus tantangan
tersendiri. Penulis masih ingat pengalaman saat bekerja saat bekerja sebagai dokter umum di
kabupaten Mamberamo Raya Papua, dimana pada saat itu menemukan kasus kehamilan di luar
kandungan dengan komplikasi syok berat. Akibat tidak ada jadwal penerbangan ke Jayapura,
tenaga kesehatan hanya bisa merawat semampunya hingga pasien meninggal dunia. Kisah tragis
semacam ini tentunya bisa juga dijumpai di daerah lain dengan akses sulit.
Tenaga Kesehatan yang Kurang dan Tidak Merata?
Dokter spesialis obstetri & ginekologi (SpOG) dan bidan menjadi tulang punggung dalam upaya
menurunkan angka kematian ibu. Data pada tahun 2018, Indonesia memiliki 2.319 dokter SpOG
namun dalam status yang tidak merata. Dokter SpOG banyak yang berkumpul di kota besar,
rasio dokter SpOG di Jakarta sekitar 74 per 100.000 penduduk semsementara di daerah Indonesia
timur rasio dokter SpOG jauh lebih kecil, di NTT dikatakan rasio dokter SPOG hanya 3 per
100.000 penduduk.

Tantangan pemerataan dokter SpOG berusaha dipecahkan dengan program wajib kerja dokter
spesialis (WKDS). Namun sangat disayangkan program WKDS dengan tujuan mulia dharus
berhenti di tengah jalan karena gugatan
sejawat dokter yang terlalu gandrung dengan paham Hak Asasi Manusia. Sangat disayangkan
sejawat dokter yang melakukan judicial review aturan WKDS dengan menggunakan kacamata
Hak Asasi Manusia (HAM) bagi dokter dengan menegasikan sisi kemanusiaan yakni kebutuhan
masyarakat di daerah. Sedikit gambaran pengalaman penulis saat bertugas sebagai dokter PTT di
Kabupaten Mamberamo Raya Papua, kami jumpai kasus ibu dengan kehamilan ektopik
terganggu (kehamilan di luar Rahim) meninggal karena tidak ada sarana transportasi udara ke
kota, dan kebetulan pada saat itu
tidak ada dokter Spesialis Obgyn (dokter kandungan) di RS setempat. Kejadian semacam ini
tentu bukan hanya sekali, dan bisa dipastikan terjadi di daerah terpencil yang lain.
Banyak kisah sukses program WKDS, salah satunya pernah dimuat di harian Jawa Pos tanggal 3
Juli 2018, ada 5 dokter spesialis baru (termasuk dokter spesialis kandungan) menjalani program
WKDS di pulau Bawean Gresik semenjak tahun 2017, alhasil semula angka kematian ibu
sebanyak 5 kasus dalam satu tahun turun menjadi nihil
dengan adanya dokter WKDS ini.
Idealnya, Indonesia membutuhkan 49.662 bidan. Pada tahun 2019 jumlah riil bidan sudah
mencapai 146.734. Indonesia saat ini memiliki surplus bidan sebanyak 97.072 orang. Namun
sama halnya dengan sebaran dokter SpOG, rasio bidan per jumlah penduduk masih kurang
merata, lebih terkonsentrasi di pusat kota dibandingkan daerah pelosok. Surplus bidan ini
harusnya menjadi peluang yang bisa
ipergunakan ke depan dalam upaya menurunkan angka kematian ibu. Bagaimana
mengoptimalkan peran bidan, bagaimana menerapkan model pelayanan kesehatan ibu yang baik
bisa belajar dari beberapa negara yang sukses memodifikasi peran bidan.
Bagaimana Peran Presiden dan Pejabat Lain?
Membangun kesadaran nasional, membangun persepsi nasional, memberi dukungan moril dan
materi terkait angka kematian ibu pernah dicontohkan pemimpin-pemimpin dunia. Presiden
Equador, Rafael Correa memberi teladan dengan memotong gajinya 6.000 dolar AS per bulan
untuk disumbangkan kepada 2.187 pekerja medis yang berjuang memerangi angka kematian
ibu.Tidak hanya berhenti disitu, presiden Rafael memerintahkan pemotongan gaji Kepada
wakilpresiden, menteri-menteri, dan pejabat tinggi negara lain untuk mensupport perang
terhadap AKI. Alhasil angka kematian ibu di Equador turun signifikan.

Di Indonesia, komitmen presiden Jokowi tertuang dalam visi misi beliau di bidang kesehatan
yakni mempercepat pemerataan dan kualitas pelayanan kesehatan termasuk di wilayah 3T
(Tertinggal, Terdepan dan Terluar) serta menurunkan angka kematian ibu (AKI) dan angka
kematian bayi (AKB)
Konon anggaran kesehatan meningkat dua kali lipat untuk kesehatan. Dengan tarif BPJS yang
naik dua kali lipat mulai 2020 besar harapan pelayanan kesehatan maternal menjadi prioritas
utama dibandingkan lain. Tidak ada lagi ibu hamil yang mendapat pelayan substandar apalagi
terlambat untuk dirujuk terutama bagi ibu hamil di daerah terisolir. Di era otonomi daerah,
kesehatan menjadi poin seksi terutama saat kampanye pemilihan kepala daerah. Narasi kesehatan
gratis itu bagus, namun jangan sampai penyerapan anggaran kesehatan di bawah standar
nasional, terlebih tidak ada program yang berisi semangat memberantas angka kematian ibu.
Peran Media Massa?
Media massa terutama televisi (karena mayoritas masyarakat indonesia menonton televisi) harus
memberikan ruang atau porsi sebagai penerang dan pencerah dalam hal ini menayangkan edukasi
kepada masyarakat terkait kesehatan ibu dan bayi. Bila media mampu memberikan ruang ini
akan mempermudah kerja teman-teman tenaga kesehatan, tugasnya menjadi lebih ringan. Ibu
hamil di Indonesia akan semakin terdidik dan mandiri dalam mempertaruhkan nasib hidup akibat
kehamilannya. Media harus menjadi gema suara ibu di Indonesia.
Upaya Berbasis Matitim
Sebuah kenyataan bahwa Indonesia negara dengan beribu pulau dengan akses sulit. Armada
kapal kesehatan yang dipelopori dr. Lie Darmawan dan RS terapung Kapal ksatria airlangga
yang dipelopori dr. Agus Hariyanto,SpB dan Dr. dr. Pudjo Hartono, SpOG (K) terbukti mampu
menjangkau sampai pulau-pulau terdepan dan daerah bencana di Indonesia. Armada ini harus
diperbanyak, mendapat dukungan penuh pemerintah pusat agar tidak ada lagi ibu hamil
di pulau-pulau terpencil di daerah yang terlantar karena keterbatasan dokter kandungan dan
bidan juga keterbatasan sarana prasarana.

Pada pernikahan di usia dini, risiko kelahiran berhubungan erat dengan buruknya kesehatan
reproduksi dan kurangnya kesadaran anak perempuan terhadap dampak persalinan dini. Tak
heran bila tingginya risiko kematian bayi disebabkan karena komplikasi saat persalinan dan
tubuh yang belum sepenuhnya matang untuk melahirkan. Sementara pada perempuan yang
menunda kehamilan-–atau berusia lebih dari 34 tahun, memiliki deretan risiko kesehatan seperti
tekanan darah sistolik yang lebih tinggi, glukosa darah yang tinggi, kesehatan yang lebih buruk,
dan mobilitas yang lebih buruk di kemudian hari dibandingkan dengan perempuan yang
melahirkan sebelum usia 34 tahun. Solusinya harus ada upaya peningkatan status gizi
perempuan dan remaja, peningkatan pendidikan seksual-–khususnya kesehatan reproduksi,
peningkatan konseling pranikah untuk calon pengantin, peningkatan peran aktif keluarga dan
masyarakat dalam menjaga mutu kesehatan keluarga (terutama calon ibu) sebelum dan saat
hamil, serta pemenuhan kebutuhan pelayanan Keluarga Berencana serta Perencanaan
Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K). Di luar persoalan tadi, tubuh perempuan punya
masa puncak untuk proses reproduksi.

Baca selengkapnya di artikel "Mana Lebih Berisiko: Melahirkan Saat Masih Muda atau

Anda mungkin juga menyukai