Anda di halaman 1dari 50

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN REFARAT OBSTETRI


UNIVERSITAS PATTIMURA JUNI 2020

PERDARAHAN ANTEPARTUM

Oleh :
Asma Yuni Jumad
2018-84-003

Pembimbing :
dr. Zulaiha M. Sahib, Sp.OG., M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ILMU KESEHATAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. M. HAULUSSY
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

berkat dan rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan refarat

sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Obstetri dan Ginekologi

dengan judul referat “Perdarahan Antepartum”.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan refarat ini banyak pihak

yang turut membantu penulis sehingga refarat ini dapat diselesaikan dengan baik.

Untuk itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada dr. Zulaiha Maricar Sp.OG selaku pembimbing dalam penyusunan refarat

ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam refarat ini, untuk

itu kritik dan saran penulis harapkan guna kesempurnaan refarat ini kedepannya.

Akhir kata, semoga refarat ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Ambon, Juni 2020

Penulis

2
DAFTAR ISI
Hal

HALAMAN JUDUL .............................................................................. i


KATA PENGANTAR ............................................................................ ii

DAFTAR ISI ........................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1

I. Latar Belakang ................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 3

2.1 Perdarahan Antepartum .......................................................... 3

2.1.1 Definisi ...................................................................... 3

2.1.2 Etiologi…. ................................................................. 3

2.1.3 Klasifikasi ....................................................................... 4

A. Plasenta Previa ...................................................................... 5

B. Solutio Plasenta .................................................................... 18

C. Ruptur Uteri .......................................................................... 35

BAB III PENUTUP .............................................................................

Kesimpulan ................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 46

BAB I

3
PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu merupakan tolak ukur untuk menilai baik buruknya

pelayanan kebidanan dan sebagai indikator tingkat kesejahteraan ibu. Angka

Kematian (Maternal Mortality Ratio, MMR) didasarkan pada risiko kematian ibu

berkaitan dengan proses melahirkan, persalinan, perawatan obstetrik, komplikasi

kehamilan dan masa nifas.1,2

Perdarahan antepartum adalah perdarahan yang terjadi pada saat usia

kehamilan mencapai trimester ke-3 (>20 minggu) dan sebelum proses persalinan.

Perdarahan obstetric yang terjadi pada kehamilan trimester ketiga dan yang terjadi

setelah anak plasenta lahir pada umumnya adalah perdarahan yang berat, dan

merupakan kasus gawat darurat sehinnga jika tidak segera ditangani bisa

mendatangkan syok yang fatal dan berujung kematian.3

Perdarahan antepartum merupakan salah satu keadaan gawat darurat yang

kejadiannya berkisar 3% dari semua persalinan, dengan penyebabnya antara lain ialah

plasenta previa, solutio placenta, dan perdarahan yang belum jelas penyebabnya. 3,4

Selain itu, angka kematian ibu di negara berkembang sekitar 50% dari 500.000 setiap

tahunnya akibat dari perdarahan yang terjadi dalam bidang obstetrik.1

Berdasarkan SDKI tahun 2012 sebanyak 40% hingga 60% kematian di

Indonesia disebabkan oleh karena perdarahan dan 3-4% diantaranya ialah perdarahan

antepartum. Penyebab perdarahan antepartum terbanyak adalah plasenta previa.

Frekuensi kejadian plasenta previa di negara eropa sebesar 0,3-0,6% dan di negara

berkembang 1- 2% dengan angka kejadian 1 dari 200 persalinan. Melihat Angka

4
kematian ibu yang cukup tinggi di Dunia maupun Indonesia, maka pemahaman

mengenai perdarahan antepartum sebagai salah satu penyebab kematian terbanyak ibu

hamil/melahirkan sangat diperlukan.2,3

5
BAB II

TINJUAN PUSTAKA

2.1. Perdarahan Antepartum

2.1.1. Definisi

Perdarahan antepartum merupakan perdarahan yang berasal dari traktus

genitalia setelah usia kehamilan 24 minggu dan saat menjelang persalinan.

Penyebab dari perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya disebabkan oleh

kelainan plasenta diantaranya ialah plasenta previa dan solusio plasenta maupun

perdarahan yang belum jelas penyebanya. Selain itu, ada pula perdarahan yang

tidak bersumber pada kelainan plasenta sendiri biasanya akibat dari kelainan

serviks.1-3

2.1.2. Etiologi

Etiologi dari perdarahan antepartum yaitu obstetri dan non-obstetri. Non-

obstetri menghasilkan perdarahan yang menyebabkan kehilangan darah yang

relatif sedikit kecuali pada karsinoma serviks yang invasif. Penyebab obstetri

menghasilkan hilangnya >800 mL darah biasanya akibat solusio plasenta atau

plasenta previa. Yang lebih jarang namun tetap berbahaya yaitu perdarahan dari

circumvallate placenta, abnormalitas mekanisme pembekuan darah dan ruptur

uteri.4,5

6
Tabel 2.1. Etiologi perdarahan ante partum
Penyebab Obstetri Penyebab non-obstetri
Bloody Show Keganasan atau displasia serviks
Plsenta Previa Servisitis
Solusio plasenta Polip servikal
Vasa Previa Erosi serviks
DIC Laserasi vagina
Ruptur Uteri Vaginitis
Perdarahan sinus marginal Varikose vulva

2.1.3. Klasifikasi

Royal College of Obstetricians and Gynaecologists (RCOG)

mengklasifikasikan beberapa tingkat keparahan perdarahan antepartum antara

lain:1

a. Spotting  noda, bercak darah yang ditemukan pada celana dalam atau

pembalut

b. Minor Haemorrhage  perdarahan kurang dari 50 mL

c. Major Haemorrhage  perdarahan 50-1000 mL, dengan tidak adanya

tanda-tanda syok

d. Massive Haemorrhage  perdarahan lebih dari 1000 mL dan atau tanda-

tanda syok.4,5

A. PLACENTA PREVIA

1. Definisi

7
Plasenta previa merupakan kelainan yang terjadi yang mengakibatkan

plasenta letaknya abnormal, yaitu pada bagian bawah dari uterus sehingga

dapat menutupi dan menghalagi jalan lahir.6

Gambar 2.1. Plasenta berada diatas atau berdekatan pada ostium uteri internum

2. Epidemiologi

Angka kematian pada ibu yang disebabkan oleh perdarahan khusunya

akibat dari plasenta previa. Menurut World Health Organization (WHO)

dilaporkan sekitar 15% hingga 20% kematian ibu dan insidensinya adalah

0,8% hingga 1,2% untuk setiap kelahiran. Pada negara-negara berkembang

berkisar antara 1% hingga 2,4% dan di negara maju lebih rendah yaitu kurang

dari 1%. Angka kejadian pada beberapa rumah sakit umum pemerintah di

Indonesia dilaporkan bahwa insiden plasenta previa berkisar antara 1,7%

hingga 2,9%.8,9

3. Etiologi dan Faktor Risiko

Belum diketahui etiologi pasti dari keadaan ini, akan tetapi terdapat salah

satu penyebab dari hal ini, dikarenakan vaskularisasi desidua yang tidak

8
memadai, yang dapat diakibatkan karena proses radang atau atrofi dan faktor

risiko terjadinya placenta previa diantaranya:6,7

a. Usia Ibu

Usia ibu yang makin tua (>35 tahun) dan umur muda (<20 tahun)

dapat menjadi penyebab terjadinya plasenta previa karena umur tua akan

terjadi kemunduran yang progresif dari endometrium sehingga untuk

mencukupi kebutuhan nutrisi janin diperlukan pertumbuhan plasenta yang

lebih luas. Keadaan pada endometrium yang kurang baik menyebabkan

plasenta harus tumbuh menjadi luas, sehingga dapat menutupi ostium uteri

internum.

b. Multiparitas

Kejadian plasenta previa terajdi semakin besar pada ibu dengan paritas

tinggi seperti pada wanita mutlipara (lebih dari 2 kali) karena semakin

pendek atau singkat jarak antar kehamilan, akan meningkatkan resiko

terjadinya plasenta previa karena plasenta yang baru berusaha mencari tempat

untuk mengimplantasi selain dari bekas plasenta sebelumnya atau bahkan

plasenta akan mencari tempat untuk memenuhi aliran darah dan terkadang

berada di bawah pada jalan lahir atau bahkan menutupi jalan lahir.

c. Kehamilan ganda

Pada kehamilan ganda khususnya dengan dua janin dan dua plasenta

atau lebih, membuat satu tempat telah terjadi implantasi plasenta dan yang

9
lain akan memilih tempat yang kurang untuk berimplantasi yaitu di segmen

bagian bawah rahim. Walaupun hanya terdapat satu plasenta, maka plasenta

tersebut cenderung melebar untuk mengurangi kebutuhan janin sehingga

dapat menutupi sebagian atau seluruh ostium uteri internum.

d. Riwayat kelahiran sesareae

Riwayat kelahiran dengan tindakan bedah sesar dapat menyebabkan

pembentukan jaringan parut pada intrauterin, sehingga menyebabkan aliran

darah di sekitar bekas bedah sesar menjadi berkurang dan membuat plasenta

berimplantasi pada daerah yang memiliki aliran darah yang memadai yaitu

pada segmen bagian bawah rahim.

4. Patofisiologi
Perdarahan antepartum pada wanita dengan usia kehamilan yang lanjut

yang diakibatkan oleh plasenta previa, umumnya terjadi pada trimester ketiga

karena saat itu segmen bawah uterus mengalami perubahan berkaitan dengan

semkain tuanya kehamilan, pada segmen bawah dari uterus akan menjadi semakin

melebar, sehingga serviks mulai membuka. Perdarahan akan terjadi jika plasenta

terletak di atas ostium uteri interna atau di bagian bawah dari segmen rahim.

Pembentukan segmen bawah dari rahim serta pembukaan ostium interna akan

mengakibatkan robekan pada plasenta di tempat perlekatannya.6

Perdarahan pada plasenta previa bersifat unavoidable bleeding akibat

proses pembentukan segmen bawah rahim.5 Perdarahan itu relatif dipermudah dan

diperbanyak oleh karena segmen bawah rahim dan serviks tidak mampu

10
berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal,

sehingga pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dengan mudah.

Perdarahan akan berhenti saat terjadinya pembekuan, kecuali jika mengenai sinus

yang besar dari plasenta maka perdarahan akan berlangsung lebih lama dan lebih

banyak. Perdarahan pada plasenta previa sifatnya berulang seiring pembentukan

segmen bawah rahim yang berlangsung progresif dan bertahap. Demikianlah

perdarahan akan berulang tanpa sebab lain (causeless). Darah yang keluar

berwarna merah segar dan tidak nyeri (painless). Pada plasenta previa totalis

perdarahan terjadi lebih awal pada kehamilan karena segmen bawah rahim

terbentuk lebih dahulu. Sedangkan pada plasenta previa parsialis atau marginalis

perdarahan baru akan terjadi mendekati waktu persalinan. Tempat perdarahan

berada dekat dengan ostium uteri internum sehingga perdarahan akan mengalir

keluar dan tidak membentuk hematoma retroplasenta yang mampu merusak

jaringan lebih luas dan melepaskan tromboplastin ke dalam sirkulasi maternal,

dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada plasenta previa.6

5. Klasifikasi

Terdapat beberapa kemungkinan dari bentuk plasenta previa yaitu :6,7

a. Plasenta previa total  ostium internum sepenuhnya ditutupi plasenta

b. Plasenta previa parsial  ostium internum sebagian ditutupi plasenta

c. Plasenta previa marginal  tepi plasenta berada pada pinggir ostium

internum

11
d. Plasenta letak rendah  plasenta berimplantasi pada segmen bawah uterus

sedemikian rupa hingga tepi plasenta tidak mencapai ostium internum

tetapi terletak berdekatan dengan ostium tersebut.

Gambar 2.2. klasifikasi placenta previa

6. Manifestasi Klinis

Adapun beberapa gambaran klinis dari plasenta previa, diantaranya: 8,10

a. Pendarahan uterus yang keluar melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri

dari biasanya dan berulang, darah berwarna merah segar, terjadi pada

saat tidur maupun saat melakukan aktivitas.

b. Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas.

c. Pada tipe plasenta letak rendah, perdarahan baru akan terjadi pada saat

mulai persalinan.

12
d. Bagian terdepan janin tinggi (floating), sering dijumpai kelainan letak

janin. Pada pemeriksaan palpasi abdomen tidak membuat ibu hamil

merasa nyeri dan perut tidak tegang.

e. Pada wanita hamil dengan plasenta previa, sering dapat ditemukan

kelainan pada letak janin. Dalam pemeriksaan leopold, umumnya

ditemukan letak janin tidak dalam letak memanjang dikarenakan janin

yang tidak dapat berotasi dengan leluasa akibat dari adanya hambatan

oleh plasenta yang terletak pada bagian bawah uterus.

f. Pendarahan pertama biasanya tidak begitu banyak dan tidak fatal, kecuali

bila dilakukan periksa dalam sebelumnya. Tetapi perdarahan berikutnya

biasanya akan lebih banyak.

g. Berhubungan dengan plasenta yang terletak pada bagian bawah uterus,

maka pada palpasi abdomen sering ditemui bagian terbawah janin yang

masih tinggi di atas simfisis pubis. Bagian terendah janin yang tinggi

disebabkan oleh tidak dapatnya bagian janin yang dapat masuk ke pintu

atas panggul (PAP) karena plasenta yang menutupi ostium uteri

internum.

7. Diagnosis

a. Anamnesis

13
Pada anamnesis dapat ditanyakan, apakah adanya perdarahan

pervaginam yang berwarna merah segar tanpa rasa nyeri pada usia

kehamilan 20 minggu dan berlangsung tanpa sebab yang jelas, Apakah

ada nyeri (sejak kapan, letak nyeri, keparahan nyeri). Beberapa pertanyaan

seperti faktor pencetus, misalnya aktivitas seksual sebelumnya dan trauma

juga dapat membantu menyingkirkan diagnosis yang lain.6,7

b. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan luar, Biasanya dapat ditemukan posisi terendah janin

yang masih tinggi dan kelainan pada letak janin melalui pemeriksaan

Leopold. Vaginal toucher (VT) harus dihindari pada semua ibu yang

mengalami perdarahan antepartum sampai terdiagnosis bukan sebagai

plasenta previa.

Pemeriksaan dalam. Pada ibu dan janin dengan kecurigaan

plasenta previa tidak boleh dilakukan pemeriksaan dalam karena akan

mencetus perdarahan yang lebih banyak.6,7

c. Pemeriksaan penunjang

Beberapa metode pemeriksaan penunjang telah digunakan untuk

mendiagnosis plasenta previa diantaranya USG transabdominal, USG

transvaginal dan MRI. Penggunaan USG transvaginal lebih

direkomendasikan karena mempunyai tingkat akurasi yang lebih baik

dibandingkan dengan USG transabdominal. MRI juga mempunyai tingkat

akurasi yang lebih baik bila dibandingkan dengan USG transabdominal.

14
Namun tidak dapat memberikan gambaran lokasi plasenta sebaik USG

transvaginal, selain itu MRI tidak tersedia pada semua pelayanan

kesehatan.6,7

A B
Gambar 2.3. Plasenta previa total
A. USG plasenta transabdominal (kepala panah putih) dibelakang kandung kemih menutupi serviks
(panah hitam)
B. USG plasenta transvaginal (panah) yang sepenuhnya menutupi serviks berdekatan dengan kepala
janin

8. Penatalaksanaan

Penanganan ibu dengan plasenta previa secara simtomatik meliputi : jika

setelah terdiagnosis maka ibu disarankan untuk rawat inap di rumah sakit, tersedia

darah untuk transfusi apabila dibutuhkan segera, fasilitas yang mendukung untuk

tindakan bedah sesar darurat, rencana persalianan pada minggu ke 38 kehamilan

namun apabila terdapat indikasi sebelum waktu yang telah ditentukan maka dapat

dilakukan bedah sesar saat itu juga.7,10

a. Tatalaksana umum :

15
1) Perbaiki kekurangan cairan/darah dengan infus cairan intravena (NaCL

0,9% atau Ringer Laktat).

2) Lakukan penilaian jumlah perdarahan.

3) Jika perdarahan banyak dan berlangsung, persiapkan seksio sesarea tanpa

memperhitungkan usia kehamilan.

4) Jika perdarahan sedikit dan berhenti, dan janin hidup tetapi prematur,

pertimbangkan terapi ekspektatif.

b. Tatalaksana khusus

1) Terapi konservatif  terapi ini dilakukan agar janin tidak terlahir

prematur dan upaya diagnosis dilakukan secara non-invasif.

2) Rawat inap  tirah baring sangat di anjurkan pada wanita hamil dengan

plasenta previa dan dapat berikan pengobatan antibiotika profilaksis.

3) Lakukan pemeriksaan USG untuk memastikan letak dari plasenta.

4) Berikan tokolitik bila ada kontraksi  MgSO4 4g IV dosis awal

dilanjutkan 4g setiap 6 jam, atau nifedipin 3x20mg/hari. Pemberian

tokolitik dikombinasikan dengan betamethason 12 mg IV dosis tunggal

untuk pematangan paru janin.

5) Perbaiki anemia dengan sulfas ferosus atau ferous fumarat per oral 60mg

selama 1 bulan, jika ibu mengalami Hb kurang. Pastikan tersedianya

sarana transfusi.

16
6) Jika perdarahan berhenti dan waktu untuk mencapai 37 minggu masih

lama, ibu dapat dirawat jalan dengan pesan segera kembali ke rumah

sakit jika terjadi perdarahan.

Syarat untuk terapi ekspektatif adalah :

 Kehamilan preterm dengan perdarahan sedikit yang kemudian

berhenti dengan atau tanpa pengobatan tokolitik.

 Belum ada tanda-tanda inpartu

 Keadaan umum ibu cukup baik (kadar Hb dalam batas normal)

 Janin hidup dan kondisi janin dalam keadaan yang baik

Terapi Aktif: Pada ibu dengan palsenta previa maka rencanakan terminasi

kehamilan jika :

 Usia kehamilan sudah cukup bulan

 Janin mati atau menderita anomali atau keadaan yang mengurangi

kelangsungan hidupnya (misalnya anensefali)

 Pada perdarahan aktif dan banyak, segera dilakukan terapi aktif tanpa

memandang usia kehamilan

Jika terdapat plasenta letak rendah, perdarahan sangat sedikit, dan presentasi

kepala, maka dapat dilakukan pemecahan selaput ketuban dan persalinan

pervaginam masih dimungkinkan. Jika tidak, lahirkan dengan seksio sesarea.

Jika persalinan dilakukan dengan seksio sesarea dan terjadi perdarahan dari

tempat plasenta :

17
 Jahit lokasi perdarahan dengan benang.

 Pasang infus oksitosin 10 unit pada 500 mL cairan IV (NaCL 0,9%

atau Ringer Laktat) dengan kecepatan 60 tetes/menit.

 Jika perdarahan terjadi pascasalin, segera lakukan penanganan yang

sesuai, seperti ligasi arteri dan histerektomi.

9. Komplikasi

Ada beberapa komplikasi utama yang bisa terjadi pada ibu hamil yang

menderita plasenta previa, diantaranya ada yang bisa menimbulkan perdarahan

yang cukup banyak dan fatal.10

a. Oleh karena pembentukan segmen bawah rahim terjadi secara ritmik, maka

pelepasan plasenta dari tempat melekatnya di uterus dapat berulang dan

semakin banyak, dan perdarahan yang terjadi itu tidak dapat dicegah

sehingga penderita menjadi anemia bahkan syok.

b. Oleh karena plasenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim dan

sifat segmen ini yang tipis mudahlah jaringan trofoblas dengan kemampuan

invasinya menerobos ke dalam miometrium bahkan sampai permertium dan

menjadi sebab dari kejadian plasenta akreta atau inkreta akan tetapi dengan

demikian terjadi retensio plasenta dan pada bagian plasenta yang sudah

terlepas timbullah berdarahan dalam kala tiga. Komplikasi ini lebih sering

terjadi pada uterus yang sudah pernah seksio sesarea. Dilaporkan plasenta

18
akreta terjadi 10% sampai 35% pada pasien yang pernah seksio sesarea satu

kali, naik menjadi 60-65% bila telah seksio sesarea 3 kali.

c. Serviks dan segmen bawah rahim yang rapuh dan kaya pembuluh darah

sangat potensial untuk robek disertai oleh perdarahan yang sangat banyak.

Oleh karena itu, harus sangat berhati-hati pada semua tindakan manual

ditempat ini misalnya pada waktu mengeluarkan anak melalui insisi pada

segmen bawah rahim ataupun waktu mengeluarkan plasenta dengan tangan

pada retensio plasenta. Apabila oleh salah satu sebab terjadi perdarahan

banyak yang tidak terkendali dengan cara-cara yang lebih sederhana seperti

penjahitan segmen bawah rahim, ligasi arteria uterina, ovarika, hipogasrika,

dtau pemasangan tampon, maka pada keadaan yang lebih gawat seperti ini

jalan keluarnya adalah melakukan histerektomi total. Morbiditas dari semua

tindakan ini tentu merupakan komplikasi tidak langsung dari plasenta

previa.

d. Kelainan letak anak pada plasenta previa lebih sering terjadi. Hal ini

memaksa lebih sering diambil tindakan operasi dengan segala

konsekuensinya.

e. Kelahiran prematur dan gawat janin sering tidak terhindarkan sebagian oleh

karena tindakan terminasi kehamilan yang terpaksa dilakukan dalam

kehamilan belum aterm. Pada kehamilan < 37 minggu dapat dilakukan

amniosintesis untuk mengetahui kematangan paru janin dan pemberian

19
kortikosteroid untuk mempercepat pematangan paru janin sebagai upaya

antisipasi.

f. Komplikasi lain plasenta previa yang dilaporkan dalam kepustakaan lain

selain masa rawat yang lebih lama, adalah berisiko tinggi untuk solusio

plasenta (Risiko relatif 13,8), seksio sesarea (RR 3,9), kelainan letak janin

(RR 2,8), perdarahan pasca persalinan (RR 1,7), kematian maternal akibat

perdarahan (50%), dan disseminated intravascular coagulation (DIC)

15,9%.

10. Prognosis

Prognosis ibu pada plasenta previa dipengaruhi oleh jumlah dan kecepatan

perdarahan serta kesegeraan pertolongannya. Dengan penanggulangan yang baik

seharusnya kematian ibu karana plasenta previa rendah sekali atau tak ada sama

sekali. Sejak diperkenalkannya penanganan pasif pada tahun 1945, kematian

perinatal berangsur-angsur dapat diperbaiki. Walaupun demikian, hingga kini

kematian perinatal yang disebabkan prematuritas tetap memegang peranan

utama.9

Prognosis terhadap janin lebih buruk oleh karena kelahiran prematur lebih

banyak pada penderita plasenta previa melalui proses persalinan spontan maupun

melalui tindakan penyelesaian persalinan. Namun perawatan yang intensif pada

neonatus sangat membantu mengurangi kematian perinatal.8,9

B. SOLUSIO PLASENTA

20
1. Definisi

Solutio plasenta merupakan keadaan terlepasnya sebagian atau

keseluruhan plasenta dari implantasi normalnya (korpus uteri) setelah kehamilan

20 minggu dan sebelum janin dilahirkan.6,7

Gambar 2.4. Solusio plasenta


total dengan terdarahan
terselubung (concealed
hemorrhage)
Sinonim dari solusio plasenta ialah

abrupsion plasenta. Abrupsion

plasenta yang berarti “mengoyak

plasenta hingga remuk”, menggambarkan kejadian yang mendadak, suatu

gambaran klinis yang dijumpai pada sebagian besar kasus penyulit ini.6

2. Epidemiologi
Solusio plasenta yang terjadi pada wanita hamil menyulitkan sekitar 1

dalam 100 sampai 120 kehamilan, dimana dua pertiga tergolong parah

berdasarkan morbiditas ibu, janin, dan neonatal terkait. Insiden tampaknya

meningkat di Amerika Serikat, Kanada, dan beberapa negara Nordik, mungkin

karena peningkatan prevalensi faktor risiko untuk gangguan dan atau perubahan

dalam diagnosis kasus. Dalam satu rangkaian besar, lebih dari 500 solusio dengan

kelahiran hidup, 60,4% terjadi pada jangka waktu, 25,3% terjadi pada 32 hingga

36 minggu, dan 14,3% terjadi sebelum 32 minggu. Namun, angka kejadian

spesifik usia kehamilan bervariasi tergantung pada etiologi.11

21
3. Etiologi dan Faktor Risiko

Penyebab utama dari solutio plasenta masih belum diketahui dengan begitu

jelas. Namun, adapun beberapa faktor yang berpengaruh dalam kejadian ini

diantaranya yaitu:6,7,11

a) Hipertensi

Hipertensi esensial, sindroma preeklamsia dan eklamsia. Pada beberapa

penelitian ditemukan bahwa terdapat hipertensi pada sebagian kasus

solutio plasenta yang berat, dan separuh dari wanita yang hipertensi

tersebut memiliki penyakit hipertensi kronik dan sebagian sisanya

disebabkan oleh karena kehamilan.

b) Trauma

Faktor trauma yang dapat terjadi yaitu:

 Dekompresi uterus pada hidromnion dan gemeli

 Tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang

bebas, bagian luar atau tindakan pertolongan persalinan

 Trauma langsung, contohnya seperti jatuh, terkena pukulan dan lain-

lain.

c) Paritas

Lebih banyak kasus solutio plasenta pada wanita multipara dari pada

wanita primipara. Penelitian Holmer mencatat bahwa dari 83 kasus pada

solutio plasenta yang diteliti di temukan 45 kasus terjadi pada wanita

22
multipara dan 18 kasus pada wanita primipara. Terjadinya peningkatan

kejadian solutio plasenta lebih banyak pada ibu-ibu dengan paritas

tinggi. Hal ini dapat diterangkan karena makin tinggi paritas ibu makin

kurang baik keadaan dari endometrium.

d) Usia ibu

Pada penelitian yang dilakukan oleh Prawirohardjo di RSUPNCM

dilaporkan terjadinya peningkatan kejadian solutio plasenta sejalan

dengan meningkatnya usia dari ibu. Hal ini dapat diterangkan karena

semakin tua usia ibu, maka makin tinggi frekuensi hipertensi menahun.

e) Kebiasaan merokok

Ibu yang perokok juga merupakan salah satu penyebab peningkatan dari

kasus solutio plasenta. Dimana ibu yang perokok membuat plasenta

semakin tipis, diameter lebih luas dan beberapa abnormalitas pada

mikrosikulasinya.

f) Riwayat solutio plasenta sebelumnya

Resiko berulangnya kejadian solutio plasenta ini pada kehamilan

berikutnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan ibu hamil lainnya yang

tidak memiliki riwayat solutio plasenta sebelumnya. Hal ini sangat

penting dan menentukan prognosis ibu dengan riwayat solutio plasenta.

4. Patofisiologi

23
Solusio plasenta dimulai oleh pedarahan kedalam desidua basalis akibat

cedera vaskular lokal. Desidua kemudian memisah, meninggalkan lapisan tipis

yang melekat ke miometrium. Karena itu, proses dalam tahap paling awal terdiri

atas pembentukan hematoma desidua yang menyebabkan pemisahan, kompresi,

dan akhirnya menghancurkan plasenta didekatnya. Ditemukan adanya bukti

histologis peradangan yang lebih banyak terlihat pada kasus solusio plasenta

dibandingkan pada kontrol normal. Sebagai kemungkinan lain, areteri spiralis

dapat ruptur, menciptakan hematoma retroplasenta. Pada kasus ini, terjadi

perdarahan, terbentuk bekuan, dan permukaan plasenta tidak dapat lagi

menyediakan pertukaran metabolik antara ibu dan janin.6,7,10

Dalam tahap dini, mungkin tidak ditemukan gejala-gejala klinis, dan

pemisahan hanya ditemukan pada saat pemeriksaan plasenta yang baru dilahirkan.

Pada kasus-kasus seperti ini, terdapat cekungan berbatas tegas pada permukaan

maternal plasenta. Cekungan ini biasanya berdiameter beberapa sentimeter dan

ditutupi darah yang telah membeku dan berwarna gelap. Karena diperlukan

beberapa menit untuk memunculkan perubahan anatomis ini, plasenta yang sangat

baru mengalami pemisahan dapat tampak sepenuhnya normal saat dilahirkan.

Usia bekuan retroplasenta tidak dapat ditentukan secara pasti.7,10

Gambar 2.5. memperlihatkan bekuan berwarna gelap yang berukuran

cukup besar telah terbentuk sempurna telah menekan masa plasenta, dan

kemungkinan berumur beberapa jam.8 Pada kondisi tertentu arteri spiralis desidua

pecah dan menimbulkan hematoma retroplasenta yang pada saat bertambah besar

24
merusak lebih banyak lagi pembuluh darah sehingga lebih banyak plasenta yang

terpisah (Gambar 2.6). Daerah terpisanya plasenta dengan cepat meluas dan

mencapai tepi plasenta. Karena uterus masih membesar, akibat produk konsepsi

uterus tidak mampu berkontraksi secara adekuat untuk menekan pembuluh darah

yang robek yang memperdarahi lokasi plasenta. Darah yang keluar dapat

menyebabkan diseksi membran dari dinding uterus dan akhirnya tampak dari luar

atau tertahan sepenuhnya dalam uterus.7

Gambar 2.5. Solusio plasenta parsial dengan bekuan darah yang menempel

25
Gambar 2.6. Sisi plasenta yang potensial untuk terjadinya gangguan sirkulasi

Faktor mekanikal jarang meyebabkan pemisahan plasenta premature (1-

5%). Temasuk didalamnya trauma abdomen, dekompresi tiba-tiba dari uterus

misalnya seperti pelahiran bayi kembar pertama, atau ruptur membran pada

hidramnion, atau traksi pada tali pusar yang pendek. Mekanisme lain yang

mungkin dimulainya kaskade kooagulasi. Hal ini dapat terjadi contohnya pada

trauma yang menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan. Aktivasi faktor

koagulasi pada saatnya dapat berperan memulai pembentukan bekuan pada

hemodinamik yang stasis terjadi pada placenta pool.10

Perdarahan terselubung atau tertahan (tersamar) mungkin terjadi bila:7

26
• Terdapat efusi darah dibelakang plasenta, tetapi tepinya masih tetap melekat

• Plasenta sepenuhnya terpisah tapi membran masih melekat ke dinding uterus

• Darah memperoleh akses ke rongga amnion setelah menembus membran

• Kepala janin memenuhi segmen bawah uterus sehingga darah tidak bisa lewat.

Namun yang paling sering terjadi adalah membran secara bertahap

terdiseksi lepas dari dinding uterus dan darah cepat atau lambat akan mengalir ke

luar. Pada beberapa perempuan, perdarahan dengan pembentukan hematoma

retroplasenta dapat berhenti sepenuhnya tanpa pelahiran. Perdarahan pada solusio

plasenta hampir selalu berasal dari ibu. Hal ini logis karena pemisahan terjadi

dalam desidua ibu. Pada 78 perempuan dengan solusio plasenta nontraumatik

ditemukan tanda perdarahan janin-ke-ibu pada 20%-nya. Pada semua kasus

tersebut, volume darah janin kurang dari 10 mL. Sebaliknya, perdarahan janin

yang bermakna jauh lebih mungkin terjadi pada solusio traumatik. Pada kondisi

ini, perdarahan janin terjadi akibat robekan atau fraktur dalam plasenta, bukan

akibat pemisahan plasenta itu sendiri. Perdarahan janin rata-rata bervolume

12 mL pada sepertiga perempuan yang mengalami solusio traumatik.11

5. Klasifikasi

Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran

klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu solutio

plasenta ringan, solusio plasenta sedang, dan solusio plasenta berat.6,7

a. Solusio plasenta ringan

27
Kurang lebih 30-40% penderita solusio plasenta ringan tidak atau

sedikit sekali melahirkan gejala. Luas plasenta yang terlepas tidak sampai

25%, atau ada yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Pada keadaan yang

sangat ringan tidak ada gejala kecuali hematom yang berukuran beberapa

sentimeter terdapat pada permukaan maternal plasenta. Perdarahan vagina

bisa tidak ada hingga sedikit (< 100 mL). Ini dapat diketahui secara

retrospektif pada inspeksi plasenta setelah partus. Rasa nyeri pada perut

masih ringan dan darah yang keluar masih sedikit, sehingga belum keluar

melalui vagina. Nyeri yang belum terasa menyulitkan membedakannya

dengan plasenta previa kecuali darah yang keluar bewarna merah segar pada

plasenta previa. Tanda-tanda vital dan keadaan umum ibu maupun janin

masih baik. Pada inspeksi dan auskultasi tidak dijumpai kelainan kecuali

pada palpasi sedikit terasa nyeri lokal pada tempat terbentuk hematom dan

perut sedikit tegang tapi bagian-bagian janin masih dapat dikenal. Kadar

fibrinogen darah dalam batas-batas normal yaitu 350 mg%. Walaupun belum

memerlukan intervensi segera, keadaan yang ringan ini perlu dimonitor terus

sebagai upaya mendeteksi keadaan bertambah berat. Pemeriksaan

ultrasonografi berguna untuk menyingkirkan plasenta previa dan mungkin

bisa mendeteksi luasnya solusio terutama pada solusio sedang atau berat.

b. Solusio plasenta sedang

28
Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum

mencapai separuhnya (50%). Gejala-gejala dan tanda-tanda sudah jelas

seperti rasa nyeri pada perut yang terus menerus, dan denyut jantung janin

biasanya telah menunjukkan gawat janin, perdarahan yang tampak keluar

lebih banyak (100-500 mL), kadar fibrinogen berkurang antara 150 - 250

mg/100 ml, dan mungkin kelainan pembekuan darah dan gangguan fungsi

ginjal sudah mulai ada.

Rasa nyeri dan tegang perut jelas sehingga palpasi bagian-bagian anak

sukar. Rasa nyeri datangnya akut kemudian menetap tidak bersifat hilang

timbul seperti pada his yang normal. Perdarahan pervaginam jelas dan

bewarna kehitaman, penderita pucat karena mulai ada syok sehingga keringat

dingin. Keadaan janin biasanya sudah gawat. Pada stadium ini bisa jadi telah

timbul his dan persalinan telah mulai. Pada pemantauan keadaan janin dengan

kardiotokografi bisa jadi telah ada deselarasi lambat. Perlu dilakukan tes

gangguan pembekuan darah. Bila terminasi persalinan terlambat atau fasilitas

perawatan intensif neonatus tidak memadai, kematian perinatal dapat

dipastikan terjadi.

c. Solusio plasenta berat

Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%. Perut sangat nyeri

dan tegang serta keras seperti papan (defans musculaire) disertai perdarahan

yang berwarna hitam (>500 mL). Oleh karena itu palpasi bagian-bagian janin

tidak mungkin lagi dilakukan. Fundus uteri lebih tinggi daripada yang

29
seharusnya oleh karena telah terjadi penumpukan darah di dalam rahim pada

kategori concealed hemorrhage. Jika dalam masa observasi tinggi fundus

bertambah lagi berarti perdarahan baru masih berlangsung. Pada inspeksi

rahim kelihatan membulat dan kulit diatasnya kencang dan berkilat. Pada

auskultasi denyut jantung janin tidak terdengar lagi akibat gangguan

anatomik dan fungsi dari plasenta. Keadaan umum menjadi buruk disertai

syok. Adakalanya keadaan umum ibu jauh lebih buruk dibandingkan

perdarahan yang tidak seberapa keluar dari vagina. Hipofibrinogenemia dan

oliguria boleh jadi telah ada sebagai akibat komplikasi pembekuan darah

intravaskular yang luas (disseminated intravascular coagulation), dan

gangguan fungsi ginjal. Kadar fibrinogen darah rendah yaitu kurang dari 150

mg% dan telah ada trombositopenia.

6. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala solusio plasenta dapat sangat bervariasi tergantung

derajat pemisakan plasenta.6,12 Misalnya, perdarahan eksternal dapat sangat

banyak, tetapi pemisahan plasenta mungkin tidak sedemikian luas untuk

mengganggu kesejahtraan janin. Kadang-kadang, tidak ditemukan perdarahan

eksternal, tetapi plasenta telah terlepas seluruhnya dan janin meninggal sebagai

akibat langsung dari pemisahan plasenta. Perdarahan dapat berwarna merah gelap

atau berupa bekuan.6,12

Pada suatu penelitiaan prospektif yang melibatkan 59 perempuan dengan

solusio plasenta, dilaporkan perdarahan pervaginam pada 78%, nyeri yang

30
terlokalisir pada uterus atau nyeri punggung pada 66% dan distres janin pada

60%. Pada 22%, diagnosis awal adalah persalinan kurang bulan sebelum akhirnya

terjadi kematian atau distres janin. Temuan lain mencakup kontraksi uterus yang

sering dan hipertonus uterus persisten. Jika prosesnya luas, bukti distres janin,

uterin tetani, DIC, atau syok hipovolemik bisa tampak. Peningkatan tonus uteri

dan frekuensi kontraksi dapat memberikan tanda awal sebuah solusio. Rata-rata

2/3 pasien mengalami kontraksi abnormal setengah dari mereka mengalami

frekuensi kontraksi yang tinggi dan setengahnya lagi hipertonus.11,12

7. Diagnosis

Prosedur pemeriksaan untuk dapat menegakkan diagnosis solutio plasenta antara

lain :6,7

A. Anamnesis

 Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut, kadang-kadang pasien dapat

menunjukkan tempat yang dirasa paling sakit.

 Perdarahan pervaginam yang sifatnya dapat hebat (nonrecurrent) terdiri

dari darah segar dan bekuan-bekuan darah yang berwarna kehitaman.

 Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti

(anak tidak bergerak lagi).

 Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, mata berkunang-kunang. Ibu

terlihat anemis yang tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar

pervaginam.

31
 Kadang ibu dapat menceritakan trauma dan faktor kausal yang lain.6,7

B. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi.

 Pasien gelisah, sering mengerang karena kesakitan.

 Pucat, sianosis dan berkeringat dingin.

 Terlihat darah keluar pervaginam (tidak selalu).

2. Palpasi

 Tinggi fundus uteri (TFU) tidak sesuai dengan tuanya kehamilan.

 Uterus tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois

(wooden uterus) baik waktu his maupun di luar his.

 Nyeri tekan di tempat plasenta terlepas.

 Bagian-bagian janin sulit dikenali, karena perut (uterus) tegang.

3. Auskultasi

Sulit dilakukan karena uterus tegang, bila denyut jantung terdengar

biasanya di atas 140, kemudian turun di bawah 100 dan akhirnya hilang bila

plasenta yang terlepas lebih dari satu per tiga bagian.

4. Pemeriksaan Dalam

 Serviks dapat telah terbuka atau masih tertutup.

 Kalau sudah terbuka maka plasenta dapat teraba menonjol dan tegang,

baik sewaktu his maupun di luar his.

32
 Apabila plasenta sudah pecah dan sudah terlepas seluruhnya, plasenta ini

akan turun ke bawah dan teraba pada pemeriksaan, disebut prolapsus

placenta, ini sering meragukan dengan plasenta previa.7

5. Pemeriksaan Umum

Tekanan darah semula mungkin tinggi karena pasien sebelumnya menderita

penyakit vaskuler, tetapi lambat laun turun dan pasien jatuh dalam keadaan syok.

Nadi cepat, kecil dan filiformis.

A. Pemeriksaan Lanjutan

1. Urin : Albumin (+), pada pemeriksaan sedimen dapat ditemukan silinder dan

leukosit.

2. Darah : Hb menurun, periksa golongan darah, lakukan cross-match test.

Karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah

hipofibrinogenemia, maka diperiksakan pula COT (Clot Observation test)

tiap l jam, tes kualitatif fibrinogen (fiberindex), dan tes kuantitatif fibrinogen

(kadar normalnya 150 mg %).6,7

3. Pemeriksaan Plasenta

Plasenta dapat diperiksa setelah dilahirkan. Biasanya tampak tipis dan

cekung di bagian plasenta yang terlepas (kreater) dan terdapat koagulum atau

darah beku yang biasanya menempel di belakang plasenta yang disebut

hematoma retroplacenter.

4. Pemeriksaaan Ultrasonografi (USG)

33
Pada pemeriksaan USG yang dapat ditemukan antara lain:

 Terlihat daerah terlepasnya plasenta

 Janin dan kandung kemih ibu

 Darah

 Tepian plasenta

8. Tatalaksana
A. Konservatif

Menunda pelahiran mungkin bermanfaat pada janin masih imatur serta bila

solution plasenta dengan tipe derajat ringan. Tidak adanya deselerasi tidak

menjamin lingkungan intra uterine aman. Harus segera dilakukan langkah-

langkah untuk memperbaiki hipovolemia, anemia dan hipoksia ibu sehingga

fungsi plasenta yang masih berimplantasi dapat dipulihkan. Tokolisis harus

dianggap kontraindikasi pada solusio plasenta yang nyata secara klinis.12

B. Aktif

Proses persalinan janin secara cepat yang hidup hampir selalu dengan seksio

caesaria. Seksio sesaria kadang membahayakan ibu karena bisa mengalami

hipovolemia berat dan koagulopati konsumtif. Apabila terlepasnya plasenta

sedemikian parahnya sehingga menyebabkan janin meninggal lebih dianjurkan

persalinan pervaginam kecuali apabila perdarahannya sedemikian deras sehingga

tidak dapat di atasi bahkan dengan penggantian darah secara agresif atau terdapat

penyulit obstetrik yang menghalangi persalinan pervaginam. Pemecahan ketuban

34
secepat mungkin telah lama diandalkan dalam tatalaksana solutio plasenta.

Logika dilakukannya amniotomi adalah pengurangan volume cairan amnion dapat

memperbaiki kompresi arteri spiralis dan berperan untuk mengurangi perdarahan

dari tempat implantasi sekaligus menurunkan aliran tromboplastin ke dalam

sirkulasi ibu. Namun tidak terdapat bukti bahwa salah satunya dicapai oleh

amniotomi. Jika janin telah cukup matur, pemecahan ketuban dapat mempercepat

pelahiran. Jika janin masih imatur, kantong yang utuh mungkin lebih efisien

dalam membuka serviks dibandingkan bagian kecil janin yang kurang dapat

menekan serviks. 12

Adapun tatalaksana solusio plasenta berdasarkan klasifikasi dari solusio plasenta,

yaitu:7,12

i. Solusio plasenta ringan

 Ekspektatif, bila usia kehamilan kurang dari 36 minggu dan bila ada

perbaikan (perdarahan berhenti, perut tidak sakit, uterus tidak tegang,

janin hidup) dengan tirah baring dan observasi ketat, kemudian tunggu

persalinan spontan.

 Bila ada perburukan (perdarahan berlangsung terus, gejala solusio

plasenta makin jelas, pada pemantuan dengan USG daerah solusio

plasenta bertambah luas), maka kehamilan harus segera diakhiri.

 Bila janin hidup, lakukan SC, bila janin mati lakukan amniotomi dan

infuse oksitosin untuk mempercepat persalinan.

35
ii. Solusio plasenta sedang dan berat

 Apabila tanda dan gejala klinis solutio plasenta jelas ditemukan,

penangnan di RS meliputi transfusi darah, amniotomi, infuse oksitosin

dan jika perlu dilakukan SC.

 Apabila diagnosis solutio plasenta dapat ditegakkan berarti perdarahan

telah terjadi sekurang-kurangya 1000 ml, maka transfuse darah harus

segera diberikan.

 Amniotomi akan merangsang persalinan dan mengurangi tekanan

intrauterine.

 Keluarnya cairan amnion juga dapat mengurangi perdarahan dari

tempat implantasi dan mengurangi masuknya tromboplastin ke dalam

sirkulasi ibu yang mungkin akan mengaktifkan faktor-faktor

pembekuan dari hematom subkhorionik dan terjadinya pembekuan

intravaskuler dimana-mana.

 Persalinan juga dapat dipercepat dengan memberikan infuse oksitosin

yang bertujuan untuk memperbaiki kontraksi uteus yang mungkin saja

telah mengalami gangguan.

 Persalinan diharapkan terjadi dalam 6 jam sejak berlangsungnya solutio

plasenta. Tetapi jika itu tidak memungkinkan, walaupun sudah

dilkaukan amniotomi dan infuse oksitosin, maka satu-satunya cara

melakukan persalinan adalah dengan SC.

36
 Uterus couvelaire tidak menjadi indikasi histerektomi. Akan tetapi, jika

perdarahan tidak dapat dikendalikan setelah dilkaukan SC maka

tindakan histerektomi perlu dilakukan.

9. Komplikasi

a. Syok perdarahan

Pendarahan antepartum dan intrapartum pada solutio plasenta hampir tidak

dapat dicegah, kecuali dengan menyelesaikan persalinan segera. Bila

persalinan telah diselesaikan, penderita belum bebas dari perdarahan

postpartum karena kontraksi uterus yang tidak kuat untuk menghentikan

perdarahan pada kala III persalinan dan adanya kelainan pada pembekuan

darah. Pada solutio plasenta berat keadaan syok sering tidak sesuai dengan

jumlah perdarahan yang terlihat.11,12

b. Gagal ginjal

Gagal ginjal merupakan komplikasi yang sering terjadi pada penderita solutio

plasenta, pada dasarnya disebabkan oleh keadaan hipovolemia karena

perdarahan yang terjadi. Biasanya terjadi nekrosis tubuli ginjal yang

mendadak, yang umumnya masih dapat ditolong dengan penanganan yang

baik. Perfusi ginjal akan terganggu karena syok dan pembekuan

intravaskuler. Oliguria dan proteinuria akan terjadi akibat nekrosis tubuli atau

nekrosis korteks ginjal mendadak.11,12

c. Kelainan pembekuan darah

37
Biasa hal ini disebabkan oleh hipofibrinogenemia. Kadar fibrinogen plasma

akan menurun akibat dari terjadinya perdarahan yang hebat sehingga fungsi

pembekuan darah akan terganggu.11,12

d. Apoplexi uteroplacenta (Uterus couvelaire)

Pada solusio plasenta yang berat terjadi perdarahan dalam otot-otot rahim dan

di bawah perimetrium kadang-kadang juga dalam ligamentum latum.

Perdarahan ini menyebabkan gangguan kontraktilitas uterus dan warna uterus

berubah menjadi biru atau ungu yang biasa disebut uterus couvelaire.11,12

10. Prognosis

Bila janin telah meninggal atau belum viabel, tidak terdapat bukti

diperlukannya pembatasan waktu tertentu tanpa dasar yang jelas. Pengalaman

menunjukan bahwa keluaran ibu bergantung pada ketekunan dalam

memberikan terapi cairan dan penggantian darah yang adekuat, dan bukan

pada rentang waktu pada pelahiran.12

C. RUPTUR UTERI

1. Definisi

Ruptur uterus dapat timbul akibat cedera atau kelainan yang telah ada,

ruptur juga dapat terjadi akibat trauma, atau dapat terjadi sebagai komplikasi

persalinan pada uterus yang sebulumnya tidak memiliki jaringan parut.6

2. Epidemiologi
Angka kejadian ruptur uteri di Indonesia masih tinggi yaitu berkisar

antara 1: 92 sampai 1 : 148 persalinan. Angka-angka kejadian tersebut masih

38
sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara maju yaitu antara 1 :

1250 hingga 1 : 2000 persalinan. Angka kematian ibu akibat dari ruptur uteri

masih di kategorikan tinggi sekitar antara 17,9% hingga 62,6% sedangkan

angka kematian anak pada ruptur uteri sekitar antara 89,1% hingga 100%.13

3. Etiologi

Penyebab tersering ruptur uterus adalah terpisahnya parut akibat

histerotomi caesaer. Dengan menurunnya tindakan percobaan persalinan pada

perempuan yang pernah menjalani pelahiran caesar, ruptur pada uterus tanpa

parut sekarang ini menyebabkan hampir separuh diantara semua kasus ruptur

uterus. Faktor predisposisi lain yang lazim adalah riwayat bedah atau

tindakan yang menyebabkan trauma seperti kuretase, perforasi, atau

miomektomi. Stimulus uterus yang berlebihan atau tidak sesuai indikasi

dengan menggunakan oksitosin, suatu penyebab yang dulu sering ditemukan,

telah jarang didapatkan.6,13

Tabel 2.2. Klasifikasi etiologi ruptur uteri7


Cedera atau kelainan uterus yang terjadi Cedera atau kelainan uterus yang terjadi pada
sebelum kehamilan saat ini kehamilan ini
Pembedahan yang melibatkan miometrium: Sebelum pelahiran
 Pelahiran caesar atau histerektomi  Kontraksi kuat, spontan yang menetap
 Riwayat ruptur uterus yang telah dikoreksi  Stimulasi persalinan - oksitosin, prostaglandin
 Insisi miomektomi melalui atau hingga  Instilasi intra-amnion - salin atau prostaglandin
mencapai endometrium  Perforasi oleh kateter tekanan uterus internal

39
 Reseksi kornu profunda pada tuba uterina  Trauma eksternal - tajam atau tumpul
interstisial  Versi eksternal
 Metroplasti  Distensi berlebihan uterus - hidramnion
Trauma uterus koinsidental : Selama pelahiran :
 Aborsi menggunakan alat-sonde, kuer  Versi internal
 Trauma tajam atau tumpul - kecelakaan,  Pelahiran dengan forsep yang sulit
peluru, pisau  Persalinan dan pelahiran presipitatum
 Ruptur asimtomatik pada kehamilan  Ekstraksi bokong
sebelumnya  Kelainan jantung yang menyebabkan distensi
segmen bawah uterus
 Penekanan uterus yang sangat kuat selama pelahiran
 Pengeluaran manual plasenta yang sulit
Kelainan kongenital : Didapat :
 Kehamilan pada kornu uteri yang tidak  Plasenta inkreta atau prekreta
berkembang sempurna  Neoplasma trofoblastik gestasional
 Adenomiosis
 Sakulasi uterus dalam posisi retroversi yang terjepit

4. Patofisiologi

Rupturnya uterus yang sebelumnya intak pada saat persalinan paling

sering terjadi pada segmen bawah uterus yang menipis. Lubang robekan apabila

berdekatan dengan serviks, sering meluas secara transfersal atau oblik. Biasanya

robekan berbentuk longintudinal jika terjadi pada bagian uterus yang berdekatan

dengan ligamentum latum uteri.7,13

40
Gambar 2.7. Uterus yang mengalami ruptur spontan pada tepi lateral kiri segmen bawah uterus

Meskipun terutama timbul di segmen bawah uterus, tidak jarang laserasi

meluas keatas hingga mencapai korpus uteri melewati serviks, hingga mencapai

vagina. Sesekali kandung kemih dapat ikut robek. Setelah ruptur komplit isi uterus

akan keluar ke rongga peritoneum. Namun, jika bagian presentasi telah memasuki

pintu atas panggul, maka hanya sebagian tubuh janin dapat menjulur keluar dari

uterus. Pada ruptur uterus dengan peritoneum intak, perdarahan sering meluas hingga

ligamentum latum uteri.13

41
Gambar 2.8. Ruptur uteri pada laparatomi dengan ekspulsi parsial fetus

5. Klasifikasi

● Menurut tingkat robekan :13,14

a. Ruptur uteri komplit : bila robekan terjadi pada seluruh lapisan dinding

uterus.

b. Ruptur uteri inkomplit : bila robekan hanya sampai miometrium, disebut

juga sebagai dehisensi. Diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan

eksplorasi dinding rongga uterus setelah janin dan plasenta lahir.

c. Ruptur uteri imminens : bila baru ada gejala akan terjadi ruptur, pesien

merasa kesakitan terus menerus baik waktu his maupun di luar his, Teraba

ligamentum rotundum menegang, teraba cincin Bandle setinggi pusat,

Segmen bawah rahim menipis, Urine kateter kemerahan.

● Menurut waktu terjadinya : 13,14

42
a. Ruptur uteri gravidarum : terjadi waktu sedang hamil, sering berlokasi

pada korpus.

b. Ruptur uteri durante partum : terjadi waktu melahirkan, lokasinya sering

pada segmen bawah rahim, jenis inilah yang terbanyak.

● Menurut lokasi : 13,14

a. Korpus uteri : biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami

operasi, seperti seksio sesarea klasik (korporal) atau miomektomi

b. Segmen bawah rahim : biasanya pada partus sulit dan lama (tidak maju),

SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur

c. Servik uteri : biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forcep atau

versi dan ekstraksi, sedang pembukaan belum lengkap.

d. Kolporeksis : robekan-robekan diantara serviks dan vagina.

6. Manifestasi Klinis

Pada ibu hamil yang mengalami ruptur uteri, karena perdarahan yang

hebat, biasa ditemukan tekanan darah yang menurun, nadi yang cepat, pucat

anemis, tanda-tanda hipovolemia. Perdarahan intraabdominal, dengan atau tanpa

perdarahan pervaginam. Gejala yang paling sering ditemukan adalah nyeri perut

hebat yang dapat berkurang setelah ruptur terjadi. Pada palpasi juga ditemukan

bentuk uterus yang abnormal dengan kontur tidak jelas, selain itu terdapat nyeri

tekan dinding perut. Pada pemeriksaan Leopold, bagian-bagian janin mudah

dipalpasi. Selain itu, tanda khas seperti lingkaran konstriksi patologis (Bandl’s

Ring) sering ditemukan.7,13

43
Gambar 2.8. Bandl’s Ring

7. Diagnosis

A. Anamnesis
Pada anamnesis akan ditemukan riwayat nyeri perut yang hebat pada

awal kontraksi uterus dan semakin menurun diikuti dengan menghilangnya

kontraksi uterus. Perdarahan bisa atau tidak terjadi, Tanda-tanda gelisah,

pucat, keringat dingin dan muntah-muntah sering ditemukan.13,14

B. Pemeriksaan luar

Pada pemeriksaan luar, akan ditemukan tekanan darah yang menurun,

nadi yang lemah dan cepat. Pada pemeriksaan abdomen, akan ditemukan

gambaran Bandl’s Ring dan nyeri tekan pada perut yang hebat. Bila janin

44
sudah keluar dari cavum uteri, maka teraba bagian-bagian janin langsung di

bawah kulit perut. Selain itu, akan ditemukannya tanda-tanda janin dari

kardiotokograf dan DJJ yang semakin menurun atau meningkat.13,14

C. Pemeriksaan dalam

Pada pemeriksaan dalam, ditemukan kepala janin yang tadinya sudah

turun ke bawah dapat dengan mudah di dorong ke atas dan disertai keluarnya

darah pervaginam. Jika rongga uterus sudah kosong, dapat diraba robekan

pada dinding rahim dan teraba usus, omentum dan bagian-bagian janin.

Dinding perut dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung jari-jari tangan

dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar mudah untuk teraba.13,14

8. Tatalaksana
Dalam menghadapi masalah ruptur uteri semboyan prevention is better

than cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola

persalinan di mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah

dirujuk agar persalinannya berlangsung di rumah sakit yang mempunyai fasilitas

yang cukup dan berpengalaman. Bila telah terjadi ruptura uteri tindakan terpilih

hanyalah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan

infus cairan kristaloid dan transfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta

pemberian antibiotika spektrum luas, dan sebagainya.15

A. Tatalaksana umum :

 Berikan oksigen

45
 Perbaiki kehilangan volume darah dengan pemberian infus cairan

intravena (NaCL 0,9% atau Ringer Laktat) sebelum tindakan pembedahan

 Jika kondisi ibu stabil, lakukan seksio sesarea untuk melahirkan bayi dan

plasenta.15

B. Tatalaksana khusus:

 Jika uterus dapat diperbaiki dengan resiko operasi lebih rendah daripada

histerektomi dan tepi robekan uterus tidak nekrotik, lakukan reparasi uterus

(histerorafi). Tindakan ini membutuhkan waktu yang lebih singkat dan

menyebabkan kehilangan darah yang lebih sedikit dibanding histerektomi.

 Jika uterus tidak dapat diperbaiki, lakukan histerektomi subtotal. Jika

robekan memanjang hingga serviks dan vagina, histerektomi total mungkin

diperlukan. 15

9. Komplikasi

Syok hipovolemik merupakan penyebab kematian tersering dari ruptur

uteri. Ketepatan dalam mendiagnosis dan rujukan tepat waktu ke pusat kesehatan

diharapkan dapat membantu menurunkan angka morbiditas akibat ruptur uteri.

Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari ruptur uteri adalah disseminated

intravascular coagulation (DIC), dan septikemia. Pada uterus dengan bekas

operasi sebelumnya, insidens ruptur uteri lebih sering terjadi dibanding uterus

tanpa riwayat operasi sebelumnya, namun angka mortalitas ibu yang terjadi lebih

rendah. Kematian janin berhubungan erat dengan interval waktu sejak terjadinya

46
ruptur uteri sampai bayi lahir. Hasil terbaik akan didapatkan bila bayi lahir 15-30

menit sejak ditemukannya tanda gawat janin.14

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

47
Perdarahan antepartum merupakan perdarahan yang berasal dari traktus

genitalia setelah usia kehamilan 24 minggu dan saat menjelang persalinan. Penyebab

dari perdarahan antepartum yang berbahaya umumnya disebabkan oleh kelainan

plasenta diantaranya ialah plasenta previa (kelainan letak plasenta) dan solusio

plasenta (Terlepasnya plasenta) maupun perdarahan yang belum jelas penyebanya.

Adapun penyebab lainnya yakni rupture uteri akibat dilampauinya daya regang

miometrium.

Dari beberapa penyebab perdarahan antepartum bisa diagnosis dengan

pemeriksaan fisak dan pemeriksaan lanjutan yakni ultrasonografi (USG). Untuk

penatalaksaannya berdasarkan klasifikasi dari kelainan yang terjadi. Dan jika tidak

ditangani komplikasi tersering adalah syok hipovolemik yang menyebabkan

kematian.

DAFTAR PUSTAKA
1. Royal College of Obstetricians and Gynaecologists. Antepartum Haemorrhage.
Green-top Guideline No 63. 2011.

48
2. Londok THM, Lenkong RA, Suparman E. Karakteristik Perdarahan Antepartum
dan Perdarahan Antepartum. Jurnal e-Biomedik. 2013; 1(1).
3. Kementerian Kesehatan RI. Mother’s Day, Situasi Kesehatan Ibu. Pusat Data dan
Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2014.
4. Khan KS,Wojdyla D, Say L, Gülmezoglu AM,Van Look PF.WHO analysis of
causes of maternal death: a systematic review. Lancet 2006;367:1066–74.
5. Sunarsih, Susanaria P. Hubungan Usia dan Paritas Ibu Hamil Dengan Kejadian
Perdarahan Antepartum di RSUD Abdoel Moeloek Bandar Lampung Tahun
2013. Jurnal Kebidanan. 2015; 1(1).
6. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Gilstrap LC, Wenstrom KD.
William Obstetrics. 22th Edition. USA: McGraw-Hill;2007
7. Prawirohardjo. S, Ilmu Kebidanan, Ed. III, cet.II, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 1992, hal.365-376.
8. Dameyana Ernesty. Faktor risiko kejadian perdarahan antepartum dengan sebab
plasenta previa di RSUD Sunghailiat Bangka. Skripsi, Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga : Surabaya, 2016.
9. Sinha P, Kuruba N. Antepartum haemorrhage: An update. Journal of Obstetrics
and Gynaecology. 2008;28(4):377-81.
10. Silbernagl, Stefan. Teks dan Atlas Berwarna, Patofisiologi. ECG, Penerbit Buku
Kedokteran. 2007
11. Diana SA, Kurnaesih E, Arman. Analisis Faktor Yang Berisiko Terhadap
Kejadian Solusio Plasenta di RSUD Polewali Mandar. Prosiding Seminar
Nasional. 2018; 1.
12. Sastrawinata.S, Martaadisoebrata.D, Wirakusumah.F, Pendarahan Antepartum.
Obstetri Patologi Ilmu Kesehatan Reproduksi. Edisi 2. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran. 2005. Hal. 91-98.
13. Sari RDP. Ruptur Uteri. Jurnal Kesehatan Universitas Lampung. 2015; 5(9).
14. Hacker NF and Moore George, 2012. Essensial of Obstetrics and Gynecology.
2nd edition, W.B. Sauders company, page 316-318Lim AC, et al. Pregnancy

49
after uterine rupture: a report of 5 cases and a review of the literature.Obstet
Gynecol Surv. 2005; 60 (9):613-7
15. Ahmed, M.A., Elkhatim, G.E.S., Ounsa, G.E., Mohamed, E.Y. Rupture uterus in
Sudanese women : management and maternal complication. World Journal of
Pharmacy and Pharmaceutical Science, 2015; 15(4): hal. 1669-1675.

50

Anda mungkin juga menyukai