Anda di halaman 1dari 17

“Sejarah Kolonialisme Eropa dan Gerakan Modernisasi

Islam di Nusantara“

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Nilai Tugas


Pada Mata Kuliah Sejarah Peradaban Islam

DOSEN PENGAMPU:

Bpk Rizal Effendi, M.Pd

Disusun Oleh :

KELOMPOK 11

Wahyu Indrawan
Wijilina wati

UNIVERSITAS ABDURRAB PEKANBARU


FAKULTAS PSIKOLOGI
T.A 2021
Kata Pengantar

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang
kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah dari mata kuliah Sejarah Peradaban Islam dengan judul “Sejarah
Kolonialisme Eropa dan Gerakan Modernisasi Islam di Nusantara”

Kami menyampaikan terima kasih kepada Dosen mata kuliah Sejarah Peradaban Islam
Bapak Rizal Effendi Putra, S.Pd.I, M.Pd yang telah membimbing kami dalam penulisan
makalah ini serta rekan – rekan mahasiswa yang membantu mendukung sehingga makalah ini
dapat terselesaikan.

Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, kami berharap pra
pembaca agar dapat memakluminya. Dan kami juga mengalami banyak kesulitan, karena
keterbatasan ilmu pengetahuan yang dimiliki untuk itu kritik dan saran yang membangun dari
pembaca sangat kami harapkandemi kesempurnaan makalah ini.

Wassalammualaikum Wr. Wb.

Pekanbaru ,25 Januari 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................4
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah........................................................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan..........................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................6
2.1 Kolonialisme Eropa di Nusantara.................................................................................6
2.2 Gerakan Modernisasi Islam di Nusantara.....................................................................10

BAB III PENUTUP...........................................................................................16


3.1 Kesimpulan...................................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................17

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam sebagai sebuah agama dengan penyebaran jumlah penganutnya yang meningkat
sangat pesat dari tahun ke tahun, dalam sejarah perkembangannya telah berkali-kali
megalami pasang surut.
Bermula dari jazirah Arabia pada abad ke-6 M, Islam kemudian menyebar ke berbagai
pelosok bumi. Pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah Islam bahkan mampu
menaklukkan sebagian daratan Eropa, tepatnya di Andalusia, Spanyol. Setelah berjaya
beberapa abad lamanya, kekuasaan dan kedigdayaan Dinasti Umayyah dan Abbasiyah
akhirnya meredup, hingga akhirnya Spanyol kembali dikuasai oleh kaum kristen Eropa.
Berabad kemudian, Islam kembali menoreh catatan emas dalam sejarah melalui tiga
kerajaan besar yang cukup berpengaruh didunia, yakni kerajaan Utsmani di Turki, Syafawi di
Persia dan Mughal di India. Setelah bertahan nyaris tiga abad lamanya, kerajaan-kerajaan ini
pun akhirnya meredup dan runtuh. Keruntuhan ini tak lain disebabkan oleh faktor internal
yaitu intrik politik dikalangan elit penguasa, serta akibat faktor eksternal yaitu peperangan
dengan bangsa-bangsa non muslim.
Hikmah dari keruntuhan tiga kerajaan ini, khususnya kerajaan Turki Utsmani telah
menyadarkan umat Islam pada satu kenyataan bahwa umat Islam telah tertinggal dalam hal
ilmu pengetahuan dari bangsa lain, khususnya bangsa Eropa.
Kesadaran tersebut telah melahirkan tokoh-tokoh besar sebagai pelopor pembaharuan
atau modernisasi dikalangan umat Islam, di antaranya yang terkenal yaitu Muhammad bin
Abdul Wahhab, Said Muhammad Sanusi dan Jamaludin Al-Afgani.
Ide pembaharuan atau modernisasi ini pun akhirnya sampai pula ke negeri kita
Indonesia, salah satunya adalah melalui kontak antara jemaah haji Indonesia dengan jemaah
dari bangsa lain ditanah suci.

4
1.2 Rumusan Masalah
a. Bagaimana Kolonialisme Eropa di Nusantara?
b. Bagaimana perkembangan gerakan modernisasi Islam?
c. Apa pengaruh modernisasi Islam terhadap Indonesia?
d. Apa saja bentuk-bentuk modernisasi Islam di Indonesia?

1.3 Tujuan Penulisan


a. Memberikan pemahaman mengenai bagaimana kolonialisme eropa di Nusantara.
b. Memberikan pemahaman mengenai bagaimana perkembangan gerakan modernisasi
Islam.
c. Memberikan pemahaman mengenai Apa pengaruh modernisasi Islam terhadap
Indonesia.
d. Memberikan pemahaman mengenai Apa saja bentuk-bentuk modernisasi Islam di
Indonesia.

5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Kolonialisme Eropa di Nusantara
2.1.1 Perang Aceh

Pada tahun 1873 di Sumatera berkobar saat perlawanan terhadap Belanda yakni
Perang Aceh. Penyebab terjadinya Perang Aceh terutama karena nafsu Belanda untuk
menguasai daerah ini. Sebelumnya, mereka tidak berani menduduki Aceh karena terikat
Traktat London 1824. Traktar London II itu mewajibakan Belanda menghormati kedaulatan
Aceh. Namun setelah terjadi Traktat Sumatera tahun 1871 sebagai perbaikan Traktat London
II, Belanda bebas meluaskan wilayahnya ke seluruh Sumatera, termasuk Aceh Sebagaimana
dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :285), bahwa :
“Kekhawatiran Aceh semakin meningkat ketika pada tahun 1871 Belanda dan Inggris
mencapai persetujuan dan menandatangani suatu perjanjian yang disebut traktat sumatra.
Menurut perjanjian ini orang Belanda diberi kebebasan untuk mengadakan perluasan
kekuasaannya di seluruh Sumatra, termasuk ke Aceh yang selama ini tikak boleh diganggu
kedaulatanya”.
Dengan terjadinya traktat tersebut, Belanda khawatir kalau Aceh jatuh ke tangan
bangsa asing lain seperti Turki, Italia, Perancis atau Amerika. Sesudah tersiar kabar bahwa
Aceh mengadakan hubungan dengan Amerika, maka pemerintah Belanda mengirimkan
Nieuwenhuisen (komisaris Belanda) ke Aceh, untuk menuntut, supaya Aceh mengakui
kekuasaan Belanda. Perundingan-perundingan yang diadakan tak berhasil. Dari sebab itu
Belanda menyatakan perang kepada Aceh.
Pada tahun 1873 Belanda mengirimkan ekspedisi pertama dengan 3193 prajurit
dipimpin oleh Jenderal Kohler. Setelah beberapa lama terjadi tembak menembak di daerah
pantai, pasukan Aceh mengundurkan diri dan berkubu di sekitar Mesjid Raya. Belanda
langsung menyerbu Mesjid Raya dengan tembakan-tembakan meriam, sehingga mesjid itu
terbakar. Pasukan Aceh mundur dan Mesjid Raya diduduki Belanda. Namun pasukan Aceh
berhasil menembak Jenderal Kohler sehingga tewas, sehingga pimpinan tentara Belanda
diambil alih oleh Kolonel van Dalen dan menarik diri dari Mesjid Raya.
Pasukan Aceh melakukan konsolidasi di sekitar istana Sultan Mahmudsyah. Pasukan-
pasukan itu terus digerakkan untuk melakukan serangan-serangan terhadap pos-pos Belanda.

6
Dengan demikian usaha Belanda untuk menundukkan Aceh dengan serangan terbuka
mengalami kegagalan, sehingga Belanda memilih memblokade Aceh.
Ketika itu muncullah tokoh-tokoh pemimpin seperti Panglima Polem, Teuku Imam
Lueng Bata, Cut Banta, Teungku Cik di Tiro, Teuku Umar, dan istrinya Cut Nya’ Din, dan
masih banyak pemimpin Aceh lainnya yang memimpin perlawanan di daerahnya masing-
masing.
Dalam ekspedisi kedua (1874), digerakkanlah 8000 prajurit Belanda dengan pimpinan
Jenderal J. Van Swieten menyerbu Aceh. Sasaran utama adalah istana Sultan Mahmudsyah.
Istana itu berhasil direbut Belanda, lalu dijadikan pusat pemerintahan Belanda di daerah yang
disebut Kotaraja. Belanda lalu memproklamasikan bahwa Aceh sudah berada di bawah
kekuasaan Belanda.
Sementara itu Sultan Mahmudsyah meninggal, dan baru 10 tahun kemudian diganti
oleh anaknya, Sultan Muhammad Daudsyah. Ia memerintah dibantu oleh dewan
Mangkubumi, dan pusat pemerintahannya berada di daerah pengungsian, serta berpindah-
pindah untuk menghindari penyergapan Belanda. Walaupun perlawanan panglima-panglima
dan hulubalang-hulubalang lebih kuat dari sangkaan Belanda, tetapi tentara Belanda yang
dipersenjatai lebih lengkap, di bawah pimpinan Jenderal van der Heyden (Jenderal Buta),
akhirnya dapat menguasai Aceh Besar (1879) . Pemerintah Belanda menyangka bahwa
dengan peristiwa ini perang Aceh benar-benar berakhir. Dari sebab itu pemerintrahan militer
diganti dengan pemerintahan sipil. Perhitungan itu salah. Sebab tak lama kemudian
perlawanan menghebat kembali, sehingga terpaksa pemerintah sipil diganti dengan
pemerintah militer.
Untuk memadamkan perlawanan rakyat Aceh, pemerintah Belanda memisahkan
daerah Aceh sebelah utara dari Aceh sebelah selatan, sedangkan pantai laut dijaga oleh
angkatan laut Belanda. Siasat ini disebut konsentrasistelsel, yaitu daerah yang dikuasai
Belanda dimakmurkan agar orang-orang Aceh yang melakukan perlawanan meletakkan
senjata dan kembali ke daerah yang aman dan makmur itu. Dalam perkembangannya, siasat
tersebut gagal, sebab pagar kawat berduri sebagai daerah pembatas tersebut sering dirusak
kaum gerilya dan penjaganya mati terbunuh. Sementara itu Teuku Umar yang sudah
menyerah kepada Belanda (1893) pada tahun 1896 kembali melawan Belanda setelah berhasil
membawa banyak senjata Belanda. Dalam kondisi sulit ini muncullah seorang ahli bahasa-
bahasa Timur dan hukum Islam Dr. Snouk Hurgronye sebagai penasehat dalam urusan
pemerintahan sipil. Ia mempelajari bahasa, adad istiadat, kepercayaan dan waktu orang-orang
Aceh. Dari hasil penelitiannya akhirnya dapat diketahui bahwa sebenarnya Sultan Aceh itu

7
tidak mempunyai kekuatan apa-apa tanpa persetujuan dari kepala-kepala yang ada di
bawahnya. Selain itu juga dijelaskan bahwa pengaruh kaum ulama pada rakyat adalah sangat
besar. Karena itu dirasa sulit untuk menundukkan rakyat yang berkeyakinan agama yang kuat
sepeti rakyat Aceh itu.
Berdasarkan hasil penelitian itu, lalu dilakukan langkah-langkah yang jitu, yaitu
dengan menggunakan taktik memecah belah kekuatan yang ada di kalangan rakyat Aceh.
Kaum ulama yang memimpin pertempuran harus dihadapi dengan kekuatan senjata,
sedangkan para bangsawan dibuka kesempatan untuk masuk ke dalam kelompok
pamongpraja di lingkungan pemerintah Belanda. Untuk menghadapi kaum ulama, Belanda
melakukan serangan habis-habisan. Jenderal van Heutz membentuk pasukan marsose
(istimewa) untuk mengejar tentara Aceh sampai tertangkap atau terbunuh. Sewaktu menyerbu
kedudukan Belanda di Meulaboh (1899), Teuku Umar gugur. Sebagaimana dikemukakan
oleh Poesponegoro et al. (2010 :300), bahwa : “Pada tanggal 11 Februari 1899, Belanda
menyerang markas pertahanan Teuku Umar dan Gugurlah pemimpin Aceh...”.
Panglima Polem terus melakukan perlawanan di daerah bagian timur. Pihak Belanda
terus berusaha untuk menangkapnya tetapi sulit. Oleh karena itu pihak Belanda menggunakan
taktik baru, yakni dengan mengadakan penculikan isteri Sultan. Dengan mengadakan
tekanan-tekanan yang keras akhirnya Sultan Muhhamad Dawud menyerah kepada Belanda
tahun 1903.
Dalam upayanya untuk menangkap Panglima Polem, Belanda juga menggunakan
siasat menangkap isteri, ibu dan anak-anak Panglima Polem sambil menekan terus menerus
terhadapnya. Setelah mengalami tekanan yang berat, maka akhirnya Panglima Polem
menyerah pada tahun 1903 pula. Sebagaimana dikemukakan oleh Poesponegoro et al. (2010 :
306), bahwa : “...panglima Polem dengan sisa pasukannya yang berjumlah 150 orang
terpaksa menyerah kepada belanda pada tanggal 6 September 1903”
Dengan hilangnya pemimpin-pemimpin yang tangguh itu, maka perlawanan rakyat
Aceh makin kendor, dan di lain pihak Belanda dapat memperkuat kekuasaannya di daerah itu.
Sekalipun demikian perlawanan rakyat Aceh boleh dikatakanmerupakan perlawanan yang
paling lama dan yang paling besar selama abad ke-19. Dalam rangka untuk memastikan
kemerosotan perlawanan Aceh, pada tahun 1904 Jenderal van Daalen melakukan ekspedisi
lintas pedalaman, khususnya antara Gayo dan Alas. Dalam ekspedisi tersebut pasukannya
memang tidak mendapatkan perlawanan suatu apa sehingga pada tahun 1904 itu pula
perlawanan Aceh dinyatakan berakhir. Namun perlawanan masih berlangsung terus, secara
perseorangan maupun dalam kelompok; hanya semakin lama semakin terpencil sifatnya.

8
Setelah perlawanan Aceh berakhir, maka daerah Aceh dibagibagi dalam swapraja-
swapraja. Mereka diikat oleh pemerintah Belanda dengan jalan menandatangi pelakat pendek,
suatu perjanjian yang menerangkan dengan singkat:
1. Tiap-tiap swapraja harus mengakui kekuasaan pemerintah Belanda.
2. Suatu swapraja tidak boleh mengadakan hubungan dengan pemerintah asing
lainnya.
3. Perintah pemerintah Belanda harus dijalankan.
Walaupun perlawanan rakyat Aceh sudah berakhir, di Sumatera masih ada
perlawanan-perlawanan yang lain yaitu perlawanan rakyat Batak yang dipimpin Si
Singamangaraja XII (1878-1907), perlawanan di Sumatera Selatan dipimpin oleh Raden Intan
serta daerah-daerah lainnya yang dipimpin oleh pemimpin setempat.
Di atas telah digambarkan bagaimana daerah-daerah di Indonesia satu persatu jatuh ke
tangan Belanda. Dengan berbagai cara, rakyat Indonesia di berbagai daerah berusaha terus
untuk bertahan. Bila semua raja-raja di Indonesia memiliki armada-armada niaga yang besar,
maka setelah kerajaannya ditundukkan oleh Belanda, maka armada-armadanya segera
ditumpas oleh Belanda.
Di samping itu, peraturan Belanda yang monopolitis mengakibatkan terdesaknya ke
sudut kebebasan perdagangan rakyat Indonesia. Karena berjuang untuk kelangsungan
hidupnya, rakyat yang hidup di pantai-pantai selalu berusaha menerobos monopoli Belanda.
Tindakan seperti itu oleh Belanda disebut perdagangan gelap atau penyelundup. Namun
demikian, tindakan-tindakan rakyat Indonesia tersebut jelas merupakan bentuk perlawanan
yang tak henti-hentinya terhadap kolonialisme barat.

9
2.2 Gerakan Modernisasi Islam di Nusantara
2.2.1 Pengertian Moderniasasi Islam

Istilah “modern” ini berasal dari kata Latin modernus yang artinya “baru saja”,
pengertian modern mengacu bukan hanya kepada “zaman” tetapi yang lebih penting mengacu
kepada “cara berfikir dan bertindak”. Peradaban modern ditandai oleh dua ciri utama, yaitu
rasionalisasi (cara berfikir yang rasional) dan teknikalisasi (cara bertindak yang teknikal).
Dalam masyarakat Barat kata modernisasi mengandung arti pikiran, aliran, gerakan
dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, isntitusi-institusi lama dan
sebagainya agar semua itu dapat disesuaikan dengan pendapat- pendapat dan keadaan-
keadaan baru yang ditimbulkan ilmu pengetahuan modern.
Adapun kaitan dengan Islam, modernisasi dimaknai sebagai “upaya menafsirkan
Islam melalui pendekatan rasional untuk mensesuaikannya dengan perkembangan zaman
dengan melakukan adaptasi dengan perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang
sedang berlangsung”.

10
2.2.2 Perkembangan Gerakan Modernisasi Islam

Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai hasil
kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat Islam abad
XIX sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran dibandingan dengan Barat.

Kesadaran itu membuat umat Islam berusaha mengejar ketertinggalan serta


memulihkan kembali kekuatan Islam seperti sebelumnya, upaya ini pada umumnya didorong
oleh dua faktor yang saling mendukung. Faktor yang pertama yaitu pemurnian ajaran Islam
dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab kemunduran Islam. Pembaharuan
ini ditandai dengan kemunculan gerakan Wahhabiyah yang dipelopori oleh Muhammad bin
Abdul Wahhab (1703 – 1787 M) di Arabia, kemudian gerakan Sanusiyah di Afrika Utara
yang dipimpin oleh Said Muhammad Sanusi (1787 – 1859 M) asal Aljazair. Faktor yang
kedua yaitu gagasan untuk menimba ilmu pengetahuan dari barat, ini tercermin dari
pengiriman para pelajar muslim oleh penguasa Turki Utsmani dan Mesir serta juga India ke
negara-negara Eropa untuk menimba ilmu pengetahuan yang dilanjutkan dengan
penterjemahan karya-karya barat ke dalam bahasa Islam.

Gerakan pembaharuan ini pun akhirnya merambah pula ke dunia politik. Gagasan
politik yang pertama kali muncul adalah gagasan Pan Islamisme (persatuan Islam sedunia)
yang awalnya gagasan ini di usung oleh Wahhabiyah dan Sanusiyah. Namun baru disuarakan
dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam terkenal, Jamaludin Al-Afgani (1839-1897 M) asal
Afganistan. Meskipun lahir di Afghanistan, usianya dihabiskan di berbagai bagian Dunia
Islam: India, Mesir, Iran, dan Turki. Dia mengembara ke Eropa, dari Saint Petersburg sampai
Paris dan London. Di mana pun dia tinggal dan ke mana pun dia pergi, Jamaluddin senantiasa
mengumandangkan ide-ide pembaharuan dan modernisasi Islam.

Bersama muridnya, Syaikh Muhammad Abduh (1849–1905) dari Mesir, Jamaluddin


pergi ke Paris untuk menerbitkan majalah Al-`Urwah al-Wutsqa (Le Lien Indissoluble), yang
berarti “ikatan yang teguh”. Abduh menjadi pemimpin redaksi, dan Jamaluddin menjadi
redaktur politik. Nomor perdana terbit 13 Maret 1884 (15 Jumad al-Ula 1301), memuat
artikel-artikel dalam bahasa Arab, Perancis, dan Inggris. Terbit setiap Kamis, majalah itu
penuh dengan artikel-artikel ilmiah dan mengobarkan semangat umat untuk kembali kepada
Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, serta menyerukan perjuangan umat Islam agar terlepas dari
belenggu penjajahan Eropa. Majalah Al-`Urwah al-Wutsqa tersebar di kawasan Timur
Tengah, Afrika Utara, India, dan kota-kota besar di Eropa. Sayangnya, majalah ini hanya

11
sempat beredar 28 nomor saja dan terpaksa berhenti terbit pada bulan Oktober 1884. Hal ini
disebabkan pemerintah kolonial Inggris melarang majalah itu masuk ke Mesir dan India, lalu
pemerintah Turki Usmani juga melarangnya beredar di wilayah kekuasaannya, sehingga Al-
`Urwah al-Wutsqa kehilangan daerah pemasarannya. Namun dalam masa delapan bulan
beredar, majalah Muslim pertama di dunia itu berhasil menanamkan benih-benih modernisasi
di kalangan umat Islam.

12
2.2.3 Bentuk-Bentuk Modernisasi Islam di Indonesia
Pertama kali diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Nejd. Gerakan
puritanisme ini masuk ke Indonesia melalui tiga orang yang baru pulang dari haji ditanah
suci, yaitu Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang. Mereka melakukan penentangan
terhadap praktek kehidupan beragama masyarakat Minangkabau yang telah banyak
terpengaruh oleh unsur-unsur takhayul, khurafat dan bid’ah.
Karena aktifitas mereka di anggap cukup membahayakan keberadaan kaum tua atau
kaum adat, maka kaum tua meminta bantuan Belanda. Pada tahun 1821-1837 M terjadilah
Perang Paderi.
Dalam pertempuran yang tak seimbang itu kaum ulama mengalami kekalahan.
Kekalahan ulama dalam Perang Paderi dalam menghadapi Belanda tidaklah membuat patah
semangat para tokoh pejuang pembaharu itu, tetapi gerakannya semakin hebat. Gerakan
pembaharuan itu tidak lagi bersifat politik agama, tetapi di alihkan ke dalam gerakan
pembaharuan pendidikan.

1. Gerakan Reformisme : Gerakan reformis adalah suatu gerakan pembaharuan yang


dilakukan untuk kembali kepada dasar Islam yang asli. Kelompok ini berusaha
menerapkan sistem ajaran Islam seperti yang ada pada zaman Nabi SAW.
2. Gerakan Radikalisme : Gerakan ini merupakan salah satu cara yang dilakukan oleh
para pembaharu Islam untuk membangkitkan kembali semangat masyarakat Islam,
sehingga mereka akan menjadi masyarakat yang maju. Namun sebelum itu, unsur-
unsur yang terdapat dalam ajaran Islam yang tercemar oleh takhayul, bid’ah dan
khurafat harus dibersihkan terlebih dahulu. Dalam tatanan pelaksanaan pembaharuan
seperti ini, biasanya cara yang ditempuh melalui bentuk-bentuk radikal yang tak
jarang dengan menggunakan kekerasan. Pada umumnya, gerakan ini menentang
kekuasaan Barat yang kafir.
3. Gerakan Neo-sufisme : Gerakan ini merupakan kelanjutan dari gerakan yang
dilakukan para pembaharu dari kelompok tarekat atau tasawuf dengan mengambil
bentuk baru. Bentuk baru itu adalah aktifisme.

13
Bentuk aktifisme dalam gerakan ini membuat masyarakat menjadi dinamis. Bahkan
dengan gerakan ini masyarakat dapat mengembangkan diri tanpa banyak bergantung kepada
uluran kelompok atau bangsa lain.
Di antara unsur aktifisme adalah jihad. Melalui kata kunci inilah umat Islam
melakukan pembaharuan, terutama menentang segala bentuk penjajahan dan
keterbelakangan. Gerakan ini banyak mewarnai berbagai pemberontakan Islam di tanah air
dalam masa-masa penjajahan, misalnya pemberontakan petani Banten pada tahun 1888 M.

14
2.2.4 Pengaruh Modernisasi Islam Terhadap Indonesia

Gerakan pembaharuan yang berkembang di berbagai tempat khususnya dikawasan Timur


Tengah telah memberikan pengaruh besar kepada gerakan kebangkitan Islam di Indonesia.
Ide gerakan pembaharuan tersebut masuk ke Indonesia melalui berbagai saluran, antaranya
lewat kontak para intelektual muslim Indonesia dengan intelektual muslim Timur Tengah,
dan kontak jemaah haji Indonesia dengan jemaah luar.
Bermula dari pembaharuan pemikiran dan pendidikan Islam di Minangkabau, yang
disusul oleh pembaharuan pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat Arab di Indonesia
yang ditandai dengan berdirinya organisasi Jami’atul Khair (1905), organisasi ini pada
dasarnya terbuka untuk semua golongan muslim, namun mayoritas anggotanya adalah orang-
orang Arab.
Kebangkitan Islam semakin berkembang membentuk organisasi-organisasi sosial
keagamaan, seperti Sarekat Dagang Islam (SDI)di Bogor (1909) dan Solo (1911),
Persyarikatan Ulama di Majalengka, Jawa Barat (1911), Muhammadiyah di Yogyakarta
(1912), Persatuan Islam (Persis) di Bandung (1920-an), Nahdatul Ulama (NU) di Surabaya
(1926), dan Persatuan Tarbiyah Islamiah (Perti) di Candung, Bukittinggi (1930), dan Partai-
partai Politik, seperti Sarekat Islam (SI) yang merupakan kelanjutan dari SDI, Persatuan
Muslimin Indonesia (Permi) di Padang Panjang (1932) yang merupakan kelanjutan dan
perluasan dari organisasi pendidikan Thawalib dan Partai Islam Indonesia (PII) pada tahun
1938.
Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didirikan
kaum terpelajar menandakan tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian modern,
yang dikemudian hari berperan aktif dalam perjuangan untuk memperoleh kemerdekaan
Indonesia.

15
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Modernisasi Islam adalah upaya menafsirkan Islam melalui pendekatan rasional untuk
mensesuaikannya dengan perkembangan zaman dengan melakukan adaptasi dengan
perubahan-perubahan yang terjadi di dunia modern yang sedang berlangsung.
2. Pemikiran pembaharuan atau modernisasi dalam Islam timbul terutama sebagai hasil
kontak yang terjadi antara dunia Islam dan Barat. Dengan adanya kontak itu, umat
Islam sadar bahwa mereka telah mengalami kemunduran dibandingan dengan Barat.
Kesadaran itu membuat umat Islam berusaha mengejar ketertinggalan serta
memulihkan kembali kekuatan Islam seperti sebelumnya.
3. Ide gerakan modernisasi Islam masuk ke Indonesia melalui berbagai saluran,
antaranya lewat kontak para intelektual muslim Indonesia dengan intelektual muslim
Timur Tengah, dan kontak jemaah haji Indonesia dengan jemaah luar.
4. Bentuk-bentuk pembaharuan Islam di Indonesia yaitu; gerakan puritanisme, gerakan
reformisme, gerakan radikalisme dan gerakan neo-sufisme.

16
Daftar Pustaka
Murodi. tt. Sejarah Kebudayaan Islam. Semarang: Karya Toha Putra.
Syaukani, Ahmad. 2001. Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia Islam, cet-2.
Bandung: Pustaka Setia.
Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.

17

Anda mungkin juga menyukai