Anda di halaman 1dari 4

Nama : Mochamad Anzal Febryan

Kelas : XII MIPA 4


Laporan Hasil Kegiatan Membaca Buku Sejarah

Judul Buku : Habis gelap terbitlah terang

Pengarang : Armijn Pane

Penerbit : PT Balai Pustaka (Persero)

Kota Terbit :

Tahun Terbit : 2008


Sinopsis:

Raden Ajeng Kartini dilahirkan di Jepara pada tanggal 21 April 1879, jadi bertepatan 131 tahun lalu.
Beliau adalah putri dari Bupati Jepara waktu itu bernama Raden Mas Adipati Sastrodiningrat dan
cucu dari Bupati Demak, Tjondronegoro.     

Saat Raden Ajeng Kartini menginjak dewasa, beliau menilai kaum wanita penuh dengan kehampaan,
kegelapan, ketiadaan dalam perjuangan yang tidak lebih sebagai perabot kaum laki-laki yang bekerja
secara alamiah hanya mengurus dan mengatur rumah-tangga saja.       

RA Kartini tidak bisa menerima keadaan itu, walaupun dirinya berasal dari kaum bangsawan, namun
tidak mau ada perbedaan tingkatan derajat, Kartini sering turun berbaur dengan masyarakat bawah
yang bercita-cita merombak perbedaan status sosial pada waktu itu, dengan semboyan, “Kita Harus
Membuat Sejarah, Kita Mesti Menentukan Masa Depan Kita yang Sesuai Keperluan Kita Sebagai
Kaum Wanita dan Harus Mendapat Pendidikan Yang Cukup Seperti Halnya Kaum Laki-Laki.”       

RA Kartini mengecap pendidikan tinggi setara dengan pemerintah kolonial Belanda dan terus
memberi semangat kaum perempuan untuk tampil sama dengan kaum laki-laki. Pernikahan dengan
Bupati Rembang, Raden Adipati Joyoningrat, lebih meningkatkan perjuangannya melalui sarana
pendidikan dan lain-lain.       

RA Kartini wafat pada usia 25 tahun, beliau pergi meninggalkan Bangsa Indonesia dalam usia sangat
muda yang masih penuh cita-cita perjuangan dan daya kreasi yang melimpah.      Perjuangan RA
Kartini berhasil menempatkan kaum wanita ditempat yang layak dan mengangkat derajat kaum
wanita dari tempat gelap ke tempat terang benderang sesuai dengan karya tulis beliau yang terkenal
berjudul, “Habis Gelap Terbitlah Terang.”

Unsur  Instrinstik :
a. Tema :
menceritakan sebuah perjuangan seorang wanita yang ingin merubah sejarah.
b. Tokoh dan Penokohan :
1.      R.A Kartini  : baik,suka membaca dan suka member semangat.
“ Kita harus membuat sejarah, kita mesti menentukan masa depan kita tapi yang sesuai
dengan keperluan kita sebagai wanita yang harus mendapat pendidikan yang cukup seperti
kaum laki-laki”
2.      RM  Adipati Sastrodiningrat : baik,tegas dan penyanyang
“ Ayahnya mengijinkan Kartini membaca buku bahasa Belanda dan menerima surat  dari
kawan-kawannya orang Eropa”
3.      Pangeran Ario Tjondronegoro : baik, suka akan kemajuan
“Beliau merupakan Bupati yang pertama mendidik anak-anaknya dengan pelajaran Barat “
4.      Sosrokartono : baik, sering mendengarkan cita-cita kartini dengan perhatian.
” saudaranya laki-lakinya Sosrokartono selalu mendengarkan cita-cita Kartini dengan rasa
penuh perhatian”
5.       Mr.Abendanon : baik, suka memberi nasihat kepada kartini
“ Abendanon selalu memberi nasihat kepada Kartini supaya jangan menunggu balasan rekes,
supaya terus mendirikan sekolah sendiri”
c. Latar :
     -Latar tempat: di sekolah H.B.S
“Pada suatu ketika, di sekolah, di waktu berhenti, dilihatnya salah seorang temannya sedang
saik belajar bahasa Prancis disekolah”
 “Sedatangnya dirumah, ditanyankannya kepada bapaknya.

-Latar suasana :
 Sepi
“remuk redam hatinya melihat adik-adiknya boleh pergi bersekolah, dengan bebas boleh
pergi keluar.”
 Sedih
“setiba saudaranya itu diapun diapun dicemoohkan dan di caci pula.”
 Senang
“Lain dari pada buku ada, bapak dan saudaranya, ada lagi satu hal yang memberi keriangan,
ialah pekerjaan berkirim-kiriman surat.”

-Latar waktu:      
 Pagi hari:
      Kartini melihat adik-adiknya berangkat ke sekolah pagi itu.
d. Alur :
Novel ini menggunakan alur Maju
e. Amanat :
Jangan membedakan derajat kaum perempuan dengan kaum laki-laki khususnya dalam
bidang pendidikan. Sebab dimata Tuhan yang maha esa semua manusia itu sama.
f. Sudut pandang :
    sudut pandang orang ke tiga
g. Gaya bahasa :
Novel ini menggunakan gaya bahasa Indonesia

Unsur Ekstrinsik
Armijn Pane (lahir di Muara Sipongi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, 18
Agustus 1908 – meninggal di Jakarta, 16 Februari 1970 pada umur 61 tahun[1]), adalah
seorang Sastrawan Indonesia. Pada tahun 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir
Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan
pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah
pergerakan modernisme sastra.[2] Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah
novel Belenggu (1940) Setelah lulus ELS di Bukittinggi, Armijn Pane melanjutkan pendidikannya
di STOVIA, Jakarta (1923) dan NIAS, Surabaya (1927) (STOVIA dan NIAS adalah sekolah
dokter), kemudian pindah ke AMS-A di Solo (lulus pada 1931).[3] Di AMS A-1 (Algemene
Middelbare School), ia belajar tentang kesusastraan dan menulis, lulus dari jurusan sastra barat.
Sebagai pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia
Muda, namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan. Saat itu ia
memulai kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, dan dua
tahun kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru.[4]
Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932),
mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan menjadi wartawan lepas.
Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur. Menjelang
kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka. Pada zaman Jepang,
Armijn bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka
Shidosho) dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah
kemerdekaan, ia aktif dalam bidang organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres
kebudayaan dan pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan
Nasional (BMKN) (1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Bagian Bahasa) hingga pensiun.[5]
Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan jasanya
dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan setelah menerima
penghargaan tersebut, ia meninggal.

Nilai-nilai kehidupan
-Nilai budaya

Dipingit(ditutup) adalah adat istiadat bagi masyarakat jawa pada masa itu yang
dimana anak perempuan yang telah menyelesaikan pendidikan dasar disuruh untuk tetap
dirumah dan jangan keluar rumah sampai ia dipinang oleh laki-laki yang tidak ia kenal.
-Nilai moral

Saudara laki-laki Kartini selalu mendengarkan sebarang kata yang diucapkan Kartini
dengan penuh perhatian, tiada pernah mengucapkan kata yang membuat hati Kartini menjadi
hancur.
-Nilai agama

Hukum Islam memperbolehkan laki-laki menaruh empat perempuan atu sering


disebut poligami.
-Nilai Sosial

R.A Kartini berjuang agar tidak ada perbedaan gender atau kelamin dalam hal
pekerjaan diantara wanita dan laki-laki.

Anda mungkin juga menyukai