PROPOSAL TESIS
Diajukan Oleh :
NIM. 1920215310061
PROPOSAL
Wilayah perairan Indonesia mencapai lebih dari 5,887,879 km. Nilai ekspor
perikanan meningkat dari tahun 2016 sebesar USD 2,092 miliar mencapai USD 3,61 miliar
namun belum merupakan nilai maksimal potensi ekspor perikanan sebenarnya. Salah satu
penyebabnya adalah illegal fishing sebagai salah satu tindak pidana perikanan yang kerap
Perikanan Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 3 November 2014, industri perikanan
tangkap yang mayoritas dikuasai oleh kapal-kapal asing terhenti seketika dan industri
Indonesia. Salah satu ancaman praktek illegal fishing di perairan Indonesia yaitu ada di
Wilayah ZEE sesuai dengan Pasal 57 United Nations Convention On The Law Of The
Sea 1982 (UNCLOS) merupakan suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak
boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur laut
teritorial. Pada wilayah ZEE berlaku hak berdaulat (sovereign rights) bagi negara pantai,
haknya yaitu untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber
daya alam, penerbangan udara, pendirian dan penggunaan pulau buatan, riset ilmiah, dan
penanaman kabel serta jalur pipa. Indonesia telah mengatur ZEEI melalui Undang-Undang
3
Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (UU ZEEI),
pembentukan UU ZEEI merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut terutama tentang
meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut
Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan
Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam baik itu yang ada
di laut maupun di darat, namun apa yang di menjadi perhatian selama ini penghasilan dari
sector laut sangat lah kurang dalam segi pemasukan untuk Negara, hal ini menimbulkan
Tanya Tanya bagi kita semua kenapa hal itu bisa terjadi di negeri yang kaya akan sumber
laut. Setelah secara seksama kita renungkan dan kita cari tahu ternyata salah satu
penyebabnya adalah terjadinya pengkapan ikan secara illegal oleh beberapa Negara
tetangga dan juga penangkapan ikan yang tidak di perbolehkan oleh Undang-undang yang
di lakukan oleh segelintir nelayan kita sendiri yang mana hak itu juga merusak biota laut
kita sendiri. Kemudian tentang Illegal fishing adalah salah satu yang sering ada di Negara-
negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejakdulu dan
sudah sangat mengakar atau mendarah daging.Namun hingga sekarang masalah illegal
fishing masih belum dapat diberantas. Hal tersebut di sebabkan untuk mengawasi wilayah
laut yang banyaksecara bersamaan itu merupakan hal yang sulit.Negara yang sudah
memiliki teknologi yang maju dibidang pertahanan dan keamanan sekalipun pasti juga
status Indonesia sebagai negara kepulauan.Hal ini tentu saja mengakibatkan Indonesia juga
terkena masalah illegal fishing.Apalagi Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan
yangterletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifikdan
yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru,Laut Natuna, sebelah Utara
Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera
dari pemerintah Indonesia sendiri. Padahal kejahatan illegal fishingdi ZEE (Zona Ekonomi
Selain itu sumber perikanan diIndonesia masih merupakan sumber kekayaan yang
bangsanya.2 Hal ini jelas menunjukan betapa pentingnyasumber kekayaan hayati dalam hal
ini perikanan bagi Indonesia2.Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di
ZEE Indonesia.Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 29
1
http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-
transnasionalyang-
dilupakan, diakses pada tanggal 12 Februari 2014.
2
Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, hlm. 3.
5
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2)
Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan
hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha
2004 tentang Perikanan seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan hukum asing untuk
hayati di wilayah ZEE Indonesia.Namun hal itu tidak dapat disalahkan karena merupakan
salah satu bentuk penerapan aturan yang telah ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut
Tahun 1982 yang merupakan salah satu konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh
Indonesia melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.Dalam ketentuan Pasal 62 ayat (3)
dan (4) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 mengharuskan negara pantai untuk memberikan
hak akses kepada negara lain untuk mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE
negara pantai apabila terjadi surplus dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati oleh
negara pantai.Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi
persetujuan kerja sama, dan lainsebagainya.4Kasus illegal fishing sampai sekarang belum
3
Lihat ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
4
Albert W. Koers, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 36.
6
terselesaikan disebabkan juga karena belum maksimalnya upaya yang dilakukan oleh
seluruh perairan Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia masih kekurangan
dalam hal kapal pengawas dan juga jumlah hari operasi.Alasan yang sama selalu di utara
KKP serta terbatasnya jumlah hari operasi itu makaperan pemerintah daerah dan seluruh
perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada
perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman
badan lainnya.
Ketentuan di atas sampai sekarang masih banyak menimbulkan perdebatan, dengan
tidak diberlakukannya pidana penjara maka penerapan ketentuan tersebut akan mengalami
kesulitan bilamana Terpidana tidak mau membayar denda atau tidak mampu membayar
vonis denda yang diberikan kepadanya, hal ini tentunya akan berakibat tidak terwujudnya
kepastian hukum. Polemik pasal ini kembali terjadi dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan, pada huruf A angka 3 mengatur bahwa “Dalam perkara illegal fishing di
wilayah ZEEI terhadap terdakwa hanya dapat dikenai pidana denda tanpa dijatuhi kurungan
pengganti denda”. Dengan dikeluarkannya SEMA ini diharapkan, putusan pengadilan yang
ditetapkan mengacu hanya pada penjatuhan pidana denda tanpa adanya putusan pidana
kurungan pengganti denda, hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) KUHP
yang menyatakan “jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan”.
Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) UU Perikanan mengatur mengenai permohonan untuk
membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di
wilayah ZEEI dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan
perikanan yang menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya
dilakukan oleh pengadilan. Pasal ini merupakan adopsi dari Pasal 73 ayat (2) UNCLOS
yang berbunyi Arrested vessels and their crews shall be promptly released upon the
posting of reasonable bond or other security (Kapal-kapal yang ditangkap dan awak
kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau
bentuk jaminan lainnya).
Sampai saat ini pelaksanaan Pasal 104 ayat (1) UU Perikanan belum terwujud
padahal ketentuan pasal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara bukan
pajak (PNBP) dengan melihat jumlah tindak pidana yang terjadi di wilayah ZEEI. Menurut
penulis hal ini dikarenakan belum adanya SOP pelaksanaan uang jaminan, tidak adanya
pengaturan hukum internasional mengenai tanggungjawab negara bendera, serta tidak
8
adanya niat baik dari pemilik atau perusahaan kapal asing untuk membayar uang jaminan.
Hal berbeda ditunjukkan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia yaitu KM Perintis Jaya
19 yang ditangkap oleh otoritas Australia atas dugaan pelanggaran di ZEE Australia,
perusahaan pemilik KM Perintis Jaya 19 memberikan uang jaminan kepada pemerintah
Australia untuk membebaskan kapal dan awak kapal tersebut. Apa yang menjadi tindakan
Australia ini seharusnya menjadi contoh penegakan hukum pagi nelayan asing atau kapl
asing yang melakukan tindak pidana yang sama di Indonesia
penelitian dengan judul “Aspek Pidana Terhadap Pelaku Illegal Fishing di Zona
1. Bagaimanakah upaya negara Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona
2. Bagaimana tindakan pidana terhadap Pelaku Ilegal fishing di Zona ekonomi eksklusif
Indonesia ?
2. Untuk mengetahui tindakan Pidana terhadap pelaku illegal fishing di zona ekonomi
ekslusif Indonesia.
Adapun yang menjadi kegunaan hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan agar
1. Manfaat Teoritis
2. Manfaat Praktis
A. Upaya
persoalan, mencari jalan keluar, dsb); daya upaya: menegakkan keamanan patut
dibanggakan;6
B. Negara
syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai
daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia
10
ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya.
atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Jadi
jelas bahwa cita-cita Negara hukum (rule of law) yang tekandung dalam UUD1945
yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum
yang demikian bukanlah hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan
bagi rakyat.
menjadi rechtmatigheid.
1. unsur-unsur rechtsstaat :
perlindungan HAM,
11
perlindungan hukum, sebab konsep rechtsstaat tersebut tidak lepas dari gagasan
untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan
kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-
hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya
hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep
Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi
mengenal atau menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau
1. Supremacy Of Law
tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk
pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat
membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan
berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang
diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum,
maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada
prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang
3. Human Rights
melakukan sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang
lain.
13
juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan
orang lain.
adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang
berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili
pada peradilan yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat
Negara Hukum Indonesia diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of
law. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum Republik
Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara
hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung dalam
yaitu dalam Negara dan masyarakat Indonesia, yang berkuasa bukannya manusia
lagi seperti berlaku dalam Negara-negara Indonesia lama atau dalam Negara Asing
14
negara hukum artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan
Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari
1. Supremasi hukum
3. Asas legalitas
4. Pembatasan kekuasaan
negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat
terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.
c. Pemisahan Kekuasaan
melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu
tangan.
orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa
ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang
Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak
ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak
atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di samping itu dalam Batang Tubuh UUD
1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia
antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945 setelah
perubahan pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27,
28, 29, 30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab
XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E,
28F, 28G, 28H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep
negara hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi negara hukum Anglo
negara hukum Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep
rechtsstaat maupun konsep the rule of law, karena latar belakang yang menopang
17
kedua konsep tersebut berbeda dengan latar belakang negara Republik Indonesia,
walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah negara hukum berkat pengaruh konsep
Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law
Dari berbagai macam pendapat, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of
law maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya
merupakan sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan
hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam
perkembangan konsep the rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat
untuk mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut, lebih-
lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak
dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-
hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara
konsep negara hukum tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan rechtsstaat
dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan the rule of law. Hal ini
Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan tentu saja tidak
kesadaran hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang
Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak
secara eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain
dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari bagian Mukadimah dan juga
Berbicara tentang negara hukum yang disebut supremasi hukum tentu saja
tidak akan lepas dari konsepsi dasar yang dipakai sebagai landasan untuk
menciptakan sebuah negara nasional yang pada tataran kenegaraan dan hukum
tertinggi disebut konstitusi. Ini merupakan dasar yang bersifat universal yang
hukum terwujud didalam sebuah masyarakat nasional yang disebut negara hukum
negara: pemerintah dan segenap alat perlengkapan negara di pusat dan didaerah
19
prinsip kedaulatan rakyat yang ada, di dalam negara demokrasi hukum dibuat
untuk melindungi hak-hak azasi manusia warga negara, melindungi mereka dari
tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan kepastian
hukum serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor
hukum/konstitusional.
UUD NRI 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa
diwujudkan. Kalau dilihat dengan seksama UUD NRI 1945 mejelaskan bahwa :
“Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas
kekuasaan belaka”
Ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Founding father yang
membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana
negara hukum itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan negara
hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti
yang bisa dipergunakan secara tepat di dalam mewujudkan keinginan atau cita-cita
bangsa. Formula UUD 1945 tersebut mengandung pengertian dasar bahwa di dalam
negara yang dibangun oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor
yang terkait dalam mewujudkan negara hukum, yaitu satu factor hukum dan yang
kedua factor kekuasaan. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan inkonkreto dalam
20
dimanesfestasikan di dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian dua factor hukum
dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan relnya
serta gerbong yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan bahkan
lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan. sebaliknya kekuasaan sama sekali tidak
boleh meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan tanpa
mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi
dituangkan dalam UUD NRI 1945 dan kemudian dielaborasi lebih lanjut secara
internasional.
Menurut J.G. Starke 4 negara adalah satu lembaga yang merupakan satu
manusia sendiri, sebagai satu alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang paling penting
kegiatan-kegiatannya.
suatu wilayah. Karena pada hakikatnya dalam satu wilayah terdapat banyak
lembaga, dimana negara hanya merupakan salah satu lembaga yang ada. Harus
dipisahkan dari pengertian sebagi suatu bangsa, hal ini dikarenakan bahwa tidak
semua bangsa adalah negara, meskipun sekarang banyak negara dibentuk atas dasar
yuridis. Umumnya istilah bangsa, negara, dan internasional dipergunakan dalam arti
menimbulkan penafsiran ganda. Hal ini dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi
Indonesia pada zaman Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan negara
bagian yang di Amerika Serikat kemudian disebut negara, atau makna “Country” di
Inggris yang tidak dikategorikan sebagai arti negara, atau sate provinsi di Swiss
negara yang berdaulat penuh, atau negara yang tidak lagi tergantung pada negara
lain. Anggapan semacam ini, masih berpengaruh hingga sekarang, di mana masih
terdapat anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum
antar-negara. Dalam arti modern subyek hukum internasional tidak hanya terbatas
pada negara yang berdaulat penuh. Melainkan termasuk pula negara bagian, kanton-
kanton (Swiss), protektorat (sudah dihapus dan diganti dengan Dewan Perwalian
arti klasik dan modern, pertanyaan terpenting yang kemudian menarik untuk
dibahas adalah apakah terdapat definisi standar untuk menggambarkan apakah itu
subyek hukum internasional. Oleh karena itu, literatur awal yang dapat
1933) disebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk dapat
dikatakan dan atau diakui sebagai negara, adalah: “Negara sebagai pribadi hukum
internasional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (a) penduduk tetap; (b)
wilayah tertentu; (c) pemerintah; dan (d) kemampuan untuk melakukan hubungan-
ilegal/ile·gal/ /ilégal/ a tidak legal; tidak menurut hukum; tidak sah: orang
dengan laut territorial, yang tunduk pada rejim hukumkhusus yang ditetapkan dalam
Bab ini berdasarkan mana hak-hak danyurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta
Konvensi ini”.
24
V. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada normahukum positif berupa
2. Bahan Hukum
Adapun materi atau bahan yang dapat dijadikan obyek studi ada
tigagolongan, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahanhukum
tersier.
1. Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On The Law Of The
memberikanpenjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah diteliti pada
dengan penelitian.
fishing.
Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan berbagaikamus lain yang
relevan.
3. Pengumpulan Data
atau wawancara:
sekunder yang berupapendapat hukum dan pendapat non hukum dari buku dan
internet.
26
4. Analisis Data
5. Proses Berpikir
VI.SISTEMATIKA PENULISAN
Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Pkspl, Bandung.
Dian Saptarini,1996, pengelolaan sumber daya kelautan dan wilayah pesisir, kementerian
Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung.
Grafika,Jakarta.
Marhesa Ria, 2010. Hukum perikanan nasional dan internasional,Sinar Grafika, Jakarta
Jakarta.
Pratiwi, Y.D., 2016, pertanggung Jawaban Pidana Ilegal Fishing Korporasi dalam Cita-
Solihin, Akhmad. Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung.
Purdjantoro, Tedjo Edhy. Peran TNI Angkatan Laut dalam penegakkan kedaulatan negara
dan keamanan di laut. Dalam Jurnal Diplomasi, pusdiklat Departemen Luar Negeri, Vol.1,
http://dkp.kaltimprov.go.id/berita-157-kkp-kesulitan-awasi-perairan-indonesia.html
28
Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On The Law Of The Sea) Tahun
1982
No Kegiatan jan feb mar apr mei jun Juli agus sept okt
i t
1 Tahapan penelitian
a. Penyusunan dan
Pengajuan judul
b. Pengajuan
proposal
c. Perijinan
proposal
2 Tahapan pelaksanaan
a. Pengumpulan
data
b. Analisis data
29
3 Tahapan penyusunan
laporan prososal