Anda di halaman 1dari 29

1

PROPOSAL TESIS

Aspek Pidana Terhadap Pelaku Illegal Fishing di Zona


Ekonomi Eksklusif Indonesia

Diajukan Oleh :

GUSTI MUHAMMAD RAJA PUTRA PERDANA

NIM. 1920215310061

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT BANJARMASIN
2020
2

PROPOSAL

I. LATAR BELAKANG MASALAH

Wilayah perairan Indonesia mencapai lebih dari 5,887,879 km. Nilai ekspor

perikanan meningkat dari tahun 2016 sebesar USD 2,092 miliar mencapai USD 3,61 miliar

namun belum merupakan nilai maksimal potensi ekspor perikanan sebenarnya. Salah satu

penyebabnya adalah illegal fishing sebagai salah satu tindak pidana perikanan yang kerap

terjadi. Terlebih sejak Peraturan Nomor 56/Permen-KP/2014 tentang Penghentian

Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan

Perikanan Indonesia mulai diberlakukan pada tanggal 3 November 2014, industri perikanan

tangkap yang mayoritas dikuasai oleh kapal-kapal asing terhenti seketika dan industri

perikanan di beberapa negara di regional juga mengalami kemunduran yang signifikan

sehingga semakin meningkatkan ancaman praktek-praktek illegal fishing di perairan

Indonesia. Salah satu ancaman praktek illegal fishing di perairan Indonesia yaitu ada di

wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Wilayah ZEE sesuai dengan Pasal 57 United Nations Convention On The Law Of The

Sea 1982 (UNCLOS) merupakan suatu daerah di luar laut teritorial yang lebarnya tidak

boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur laut

teritorial. Pada wilayah ZEE berlaku hak berdaulat (sovereign rights) bagi negara pantai,

haknya yaitu untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber

daya alam, penerbangan udara, pendirian dan penggunaan pulau buatan, riset ilmiah, dan

penanaman kabel serta jalur pipa. Indonesia telah mengatur ZEEI melalui Undang-Undang
3

Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (UU ZEEI),

pembentukan UU ZEEI merupakan realisasi juridis perluasan wilayah laut terutama tentang

keadaan ekonomi dalam pengelolaan, pengawasan dan pelestariannya, sehingga upaya

meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan cara memanfaatkan sumber daya alam laut

dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi

Hukum Laut 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan

Konvensi Hukum Laut 1982.

Indonesia merupakan Negara yang kaya akan sumber daya alam baik itu yang ada

di laut maupun di darat, namun apa yang di menjadi perhatian selama ini penghasilan dari

sector laut sangat lah kurang dalam segi pemasukan untuk Negara, hal ini menimbulkan

Tanya Tanya bagi kita semua kenapa hal itu bisa terjadi di negeri yang kaya akan sumber

laut. Setelah secara seksama kita renungkan dan kita cari tahu ternyata salah satu

penyebabnya adalah terjadinya pengkapan ikan secara illegal oleh beberapa Negara

tetangga dan juga penangkapan ikan yang tidak di perbolehkan oleh Undang-undang yang

di lakukan oleh segelintir nelayan kita sendiri yang mana hak itu juga merusak biota laut

kita sendiri. Kemudian tentang Illegal fishing adalah salah satu yang sering ada di Negara-

negara yang memiliki banyak pantai karena masalah tersebut sudah ada sejakdulu dan

sudah sangat mengakar atau mendarah daging.Namun hingga sekarang masalah illegal

fishing masih belum dapat diberantas. Hal tersebut di sebabkan untuk mengawasi wilayah

laut yang banyaksecara bersamaan itu merupakan hal yang sulit.Negara yang sudah

memiliki teknologi yang maju dibidang pertahanan dan keamanan sekalipun pasti juga

pernah terkena kejahatan illegal fishing.


4

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak pantaimengingat

status Indonesia sebagai negara kepulauan.Hal ini tentu saja mengakibatkan Indonesia juga

terkena masalah illegal fishing.Apalagi Indonesia juga dikenal sebagai negara dengan

potensi sumber daya hayatiyang besar.Sumber perikanan laut Indonesia diperkirakan

mencapai6.167.940 ton per tahunnya.Namun, akibat letak posisi silang Indonesia

yangterletak di antara dua benua (Asia dan Australia) dan dua Samudera (Pasifikdan

Hindia) menyebabkan wilayah Indonesia rawan terjadinya illegal fishing.Adapun daerah

yang menjadi titik rawan tersebut terletak di Laut Arafuru,Laut Natuna, sebelah Utara

Sulawesi Utara (Samudra Pasifik), Selat Makassar, dan Barat Sumatera (Samudera

Hindia)1.Kasus illegal fishing di Indonesia sendiri sepertinya kurang mendapatperhatian

dari pemerintah Indonesia sendiri. Padahal kejahatan illegal fishingdi ZEE (Zona Ekonomi

Eksklusif) Indonesia mengakibatkan kerugian yangtidak sedikit bagi pemerintah Indonesia.

Selain itu sumber perikanan diIndonesia masih merupakan sumber kekayaan yang

memberikankemungkinan yang sangat besar untuk dapat dikembangkan bagi

kemakmuranbangsa Indonesia, baik untuk memenuhi kebutuhan protein rakyatnya,maupun

untuk keperluan ekspor guna mendapatkan dana bagi usaha-usahapembangunan

bangsanya.2 Hal ini jelas menunjukan betapa pentingnyasumber kekayaan hayati dalam hal

ini perikanan bagi Indonesia2.Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya illegal fishing di

ZEE Indonesia.Salah satunya yaitu celah hukum yang terdapat dalam ketentuan Pasal 29

1
http://news.detik.com/read/2009/10/09/080806/1218292/471/illegal-fishing-kejahatan-
transnasionalyang-
dilupakan, diakses pada tanggal 12 Februari 2014.

2
Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung, hlm. 3.
5

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Dalam ketentuan Pasal 29 ayat (2)

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan disebutkan bahwa orang atau badan

hukum asing itu dapat masuk ke wilayah ZEE Indonesia untuk melakukan usaha

penangkapan ikan berdasarkan persetujuan internasional atau ketentuan hukum

internasional yang berlaku.3Ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun

2004 tentang Perikanan seakan membuka jalan bagi nelayan atau badan hukum asing untuk

masuk ke ZEE Indonesia untuk kemudian mengeksplorasiserta mengeksploitasi kekayaan

hayati di wilayah ZEE Indonesia.Namun hal itu tidak dapat disalahkan karena merupakan

salah satu bentuk penerapan aturan yang telah ditentukan dalam Konvensi Hukum Laut

Tahun 1982 yang merupakan salah satu konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh

Indonesia melalui Undang-Undang No. 17 Tahun 1985.Dalam ketentuan Pasal 62 ayat (3)

dan (4) Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 mengharuskan negara pantai untuk memberikan

hak akses kepada negara lain untuk mengeksploitasi kekayaan hayati di wilayah ZEE

negara pantai apabila terjadi surplus dalam hal pemanfaatan sumber daya hayati oleh

negara pantai.Kapal-kapal ikan asing yang mempunyai hak akses pada zona ekonomi

eksklusif suatu negara pantai harus menaati peraturan perundang-undangannegara pantai

yang bersangkutan, yang dapat berisikan kewajiban-kewajibandan persyaratan-persyaratan

mengenai berbagai macam hal, seperti perizinan,imbalan keuangan, kuota, tindakan-

tindakan konservasi, informasi, riset,peninjau, pendaratan tangkapan, persetujuan-

persetujuan kerja sama, dan lainsebagainya.4Kasus illegal fishing sampai sekarang belum

3
Lihat ketentuan Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

4
Albert W. Koers, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut, Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta, hlm. 36.
6

terselesaikan disebabkan juga karena belum maksimalnya upaya yang dilakukan oleh

Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di ZEE Indonesia.Pengawasan di

seluruh perairan Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia masih kekurangan

dalam hal kapal pengawas dan juga jumlah hari operasi.Alasan yang sama selalu di utara

oleh pemerintah khususnya Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan

Perikanan(PSDKP) KKP, dengan keterbatasan armada kapal pengawasan yang dimiliki

KKP serta terbatasnya jumlah hari operasi itu makaperan pemerintah daerah dan seluruh

masyarakat terutama nelayan dalam pemberantasan illegal fishing menjadi penting.5

Politik hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana perikanan telah


diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan) serta beberapa
peraturan pelaksanaannya seperti peraturan pemerintah dan peraturan menteri.
Penegakan hukum tindak pidana perikanan di wilayah ZEEI diatur dalam Pasal 97
ayat (2), 102 UU Perikanan, dan Pasal 104 ayat (1). Pasal-pasal ini merupakan adopsi dari
ketentuan-ketentuan yang ada dalam UNCLOS. Pasal 97 ayat (2) mengatur mengenai
Nakhoda kapal yang mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera asing yang telah
memiliki izin penangkapan ikan dengan 1 (satu) jenis alat penangkapan ikan tertentu di
bagian tertentu di ZEEI yang membawa penangkapan ikan lainnya dapat dipidana dengan
pidana denda.
Pasal 102 UU Perikanan mengatur mengenai tidak berlakunya pidana penjara di
wilayah ZEEI kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah
negara yang bersangkutan. Pasal ini merupakan adopsi dari Pasal 73 ayat (3) Unclos yang
menyatakan Coastal State penalties for violations of fisheries laws and regulations in the
exclusive economic zone may not include imprisonment, in the absence of agreements to
the contrary by the States concerned, or any other form of corporal punishment (Hukuman
Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan
5
http://dkp.kaltimprov.go.id/berita-157-kkp-kesulitan-awasi-perairan-indonesia.html, diakses pada
tanggal 19 februari 2014
7

perikanan di zona ekonomi eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada
perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan, atau setiap bentuk hukuman
badan lainnya.
Ketentuan di atas sampai sekarang masih banyak menimbulkan perdebatan, dengan
tidak diberlakukannya pidana penjara maka penerapan ketentuan tersebut akan mengalami
kesulitan bilamana Terpidana tidak mau membayar denda atau tidak mampu membayar
vonis denda yang diberikan kepadanya, hal ini tentunya akan berakibat tidak terwujudnya
kepastian hukum. Polemik pasal ini kembali terjadi dengan dikeluarkannya Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2015 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan, pada huruf A angka 3 mengatur bahwa “Dalam perkara illegal fishing di
wilayah ZEEI terhadap terdakwa hanya dapat dikenai pidana denda tanpa dijatuhi kurungan
pengganti denda”. Dengan dikeluarkannya SEMA ini diharapkan, putusan pengadilan yang
ditetapkan mengacu hanya pada penjatuhan pidana denda tanpa adanya putusan pidana
kurungan pengganti denda, hal ini tentunya bertentangan dengan Pasal 30 ayat (2) KUHP
yang menyatakan “jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan”.
Selanjutnya Pasal 104 ayat (1) UU Perikanan mengatur mengenai permohonan untuk
membebaskan kapal dan/atau orang yang ditangkap karena melakukan tindak pidana di
wilayah ZEEI dapat dilakukan setiap waktu sebelum ada keputusan dari pengadilan
perikanan yang menyerahkan sejumlah uang jaminan yang layak, yang penetapannya
dilakukan oleh pengadilan. Pasal ini merupakan adopsi dari Pasal 73 ayat (2) UNCLOS
yang berbunyi Arrested vessels and their crews shall be promptly released upon the
posting of reasonable bond or other security (Kapal-kapal yang ditangkap dan awak
kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau
bentuk jaminan lainnya).
Sampai saat ini pelaksanaan Pasal 104 ayat (1) UU Perikanan belum terwujud
padahal ketentuan pasal ini dapat dimanfaatkan sebagai sumber pendapatan negara bukan
pajak (PNBP) dengan melihat jumlah tindak pidana yang terjadi di wilayah ZEEI. Menurut
penulis hal ini dikarenakan belum adanya SOP pelaksanaan uang jaminan, tidak adanya
pengaturan hukum internasional mengenai tanggungjawab negara bendera, serta tidak
8

adanya niat baik dari pemilik atau perusahaan kapal asing untuk membayar uang jaminan.
Hal berbeda ditunjukkan oleh kapal perikanan berbendera Indonesia yaitu KM Perintis Jaya
19 yang ditangkap oleh otoritas Australia atas dugaan pelanggaran di ZEE Australia,
perusahaan pemilik KM Perintis Jaya 19 memberikan uang jaminan kepada pemerintah
Australia untuk membebaskan kapal dan awak kapal tersebut. Apa yang menjadi tindakan
Australia ini seharusnya menjadi contoh penegakan hukum pagi nelayan asing atau kapl
asing yang melakukan tindak pidana yang sama di Indonesia

Berdasarkan dengan fenomena tersebut maka penulis bermaksud melakukan

penelitian dengan judul “Aspek Pidana Terhadap Pelaku Illegal Fishing di Zona

Ekonomi Eksklusif Indonesia.”

II. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimanakah upaya negara Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

ekonomi eksklusif Indonesia?

2. Bagaimana tindakan pidana terhadap Pelaku Ilegal fishing di Zona ekonomi eksklusif

Indonesia ?

III. Tujuan Penelitian dan Kegunaan Penelitian

1. Untuk mengetahui upaya negara Indonesia dalam menangani masalah illegalfishing di

zona ekonomi eksklusif Indonesia.

2. Untuk mengetahui tindakan Pidana terhadap pelaku illegal fishing di zona ekonomi

ekslusif Indonesia.

Adapun yang menjadi kegunaan hasil penelitian yang dilakukan, diharapkan agar

hasilpenelitian ini dapat memberikan:


9

1. Manfaat Teoritis

a. Menambah bahan pustaka dalam ilmu hukum, khususnyaHukum Laut Internasional

mengenai masalah illegal fishing.

b. Memberi masukan bagi peneliti selanjutnya dalam melakukan penelitaan yang

berhubungan dengan masalah ini .

2. Manfaat Praktis

a. Memberi masukan bagi pemerintah Indonesia untuk lebihberperan aktif dalam

penanganan kasus illegal fishing diwilayah ZEE Indonesia.

b. Memberikan gambaran kepada masyarakat Indonesia tentanghukum laut internasional.

IV. Tinjauan Pustaka

A. Upaya

1.Pengertian Upaya menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

upaya/upa·ya/ n usaha; ikhtiar (untuk mencapai suatu maksud, memecahkan

persoalan, mencari jalan keluar, dsb); daya upaya: menegakkan keamanan patut

dibanggakan;6

B. Negara

1. Pengertian Negara Hukum

Aristoteles, merumuskan negara hukum adalah Negara yang berdiri di atas

hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Keadilan merupakan

syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negara dan sebagai

daripada keadilan itu perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia agar ia
10

menjadi warganegara yang baik. Peraturan yang sebenarnya menurut Aristoteles

ialah peraturan yang mencerminkan keadilan bagi pergaulan antar warga negaranya.

maka menurutnya yang memerintah Negara bukanlah manusia melainkan “pikiran

yang adil”. Penguasa hanyalah pemegang hukum dan keseimbangan saja.

Penjelasan UUD 1945 mengatakan, antara lain, “Negara Indonesia berdasar

atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machsstaat)”. Jadi

jelas bahwa cita-cita Negara hukum (rule of  law) yang tekandung dalam UUD1945

bukanlah sekedar Negara yang berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang

didambakan bukalah hukum yang ditetapkan semata-mata atas dasar kekeuasaan,

yang dapat menuju atau mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum

yang demikian bukanlah hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan

bagi rakyat.

  2. Konsep Dasar Negara Hukum Indonesia

Konsep rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian

menjadi rechtmatigheid.

1. unsur-unsur rechtsstaat :

a.adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia (HAM).

b. adanya pemisahan dan pembagian kekuasaan negara untuk menjamin

perlindungan  HAM,
11

c. pemerintahan berdasarkan peraturan,

b. adanya peradilan administrasi; dan

Dari uraian unsur-unsur rechtsstaat maka dapat dikaitkan dengan konsep

perlindungan hukum, sebab konsep rechtsstaat tersebut tidak lepas dari gagasan

untuk memberi pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dengan

demikian rechtsstaat memiliki inti upaya memberikan perlindungan pada hak-hak

kebebasan sipil dari warga negara, berkenaan dengan perlindungan terhadap hak-

hak dasar yang sekarang lebih populer dengan HAM, yang konsekuensi logisnya

harus diadakan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara. Sebab

dengan pemisahan atau pembagian kekuasaan di dalam negara, pelanggaran dapat

dicegah atau paling tidak dapat diminimalkan.

Di samping itu, konsep rechtsstaat menginginkan adanya perlindungan bagi

hak asasi manusia melalui pelembagaan peradilan yang independen. Pada konsep

rechtsstaat terdapat lembaga peradilan administrasi yang merupakan lingkungan

peradilan yang berdiri sendiri.

Negara Anglo Saxon tidak mengenal Negara hukum atau rechtstaat, tetapi

mengenal atau menganut apa yang disebut dengan “ The Rule Of The Law” atau

pemerintahan oleh hukum atau government of judiciary.

  Menurut A.V.Dicey, Negara hukum harus mempunyai 3 unsur pokok :


12

1. Supremacy Of Law

Dalam suatu Negara hukum, maka kedudukan hukum merupakan posisi

tertinggi, kekuasaan harus tunduk pada hukum bukan sebaliknya hukum tunduk

pada kekuasaan, bila hukum tunduk pada kekuasaan, maka kekuasaan dapat

membatalkan hukum, dengan kata lain hukum dijadikan alat untuk membenarkan

kekuasaan. Hukum harus menjadi “tujuan” untuk melindungi kepentingan rakyat.

2. Equality Before The Law

Dalam Negara hukum kedudukan penguasa dengan rakyat dimata hukum

adalah sama (sederajat), yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah

berfungsi mengatur dan rakyat yang diatur. Baik yang mengatur maupun yang

diatur pedomannya satu, yaitu undang-undang. Bila tidak ada persamaan hukum,

maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum. Pada

prinsipnya Equality Before The Law adalah tidak ada tempat bagi backing yang

salah, melainkan undang-undang merupakan backine terhadap yang benar.

3. Human Rights

Human rights, maliputi 3 hal pokok, yaitu :

a. The rights to personal freedom ( kemerdekaan pribadi), yaitu hak untuk

melakukan sesuatu yang dianggan baik badi dirinya, tanpa merugikan orang

lain.
13

b. The rights to freedom of discussion ( kemerdekaan berdiskusi), yaitu hak untuk

mengemukakan pendapat dan mengkritik, dengan ketentuan yang bersangkutan

juga harus bersedia mendengarkan orang lain dan bersedia menerima kritikan

orang lain.

c. The rights to public meeting ( kemerdekaan mengadakan rapat), kebebasan ini

harus dibatasi jangan sampai menimbulkan kekacauan atau memprovokasi.

d. Persamaan Negara hukum Eropa Kontinental dengan Negara hukum Anglo

saxon adalah keduanya mengakui adanya “Supremasi Hukum”. Perbedaannya

adalah pada Negara Anglo Saxon tidak terdapat peradilan administrasi yang

berdiri sendiri sehingga siapa saja yang melakukan pelanggaran akan diadili

pada peradilan yang sama. Sedangkan nagara hukum Eropa Kontinental terdapat

peradilan administrasi yang berdiri sendiri.

3. Indonesia sebagai Negara Hukum

Negara Hukum Indonesia  diilhami oleh ide dasar rechtsstaat dan rule of

law. Langkah ini dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa negara hukum Republik

Indonesia pada dasarnya adalah negara hukum, artinya bahwa dalam konsep negara

hukum Pancasila pada hakikatnya juga memiliki elemen yang terkandung dalam

konsep rechtsstaat maupun dalam konsep rule of law.

Yamin menjelaskan pengertian Negara hukum dalam penjelasan UUD 1945,

yaitu dalam Negara dan masyarakat Indonesia, yang berkuasa bukannya manusia

lagi seperti berlaku dalam Negara-negara Indonesia lama atau dalam Negara Asing
14

yang menjalankan kekuasaan penjajahan sebelum hari proklamasi, melainkan warga

Indonesia dalam suasana kemerdekaan yang dikuasai semata-mata oleh peraturan

Negara berupa peraturan perundang-undangan yang dibuatnya sendiri

Indonesia berdasarkan UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya adalah

negara hukum artinya negara yang berdasarkan hukum dan bukan berdasarkan

kekuasaan belaka. Negara hukum didirikan berdasarkan ide kedaulatan hukum

sebagai kekuasaan tertinggi

Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH ada dua belas ciri penting dari

negara hukum diantaranya adalah :

1. Supremasi hukum

2. Persamaan dalam hukum

3. Asas legalitas

4. Pembatasan kekuasaan

5. Organ eksekutif yang independent

6. Peradilan bebas dan tidak memihak

7. Peradilan tata usaha Negara

8. Peradilan tata Negara

9. Perlindungan hak asasi manusia

10. Bersifat demokratis

11. Sarana untuk mewujudkan tujuan Negara

12. Transparansi dan kontrol sosial.


15

Sedangkan menurut Prof. DR. Sudargo Gautama, SH. mengemukakan 3 ciri-

ciri atau unsur-unsur dari negara hukum, yakni:

a. Terdapat pembatasan kekuasaan negara terhadap perorangan

Maksudnya negara tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Tindakan

negara dibatasi oleh hukum, individual mempunyai hak terhadap negara atau rakyat

mempunyai hak terhadap penguasa.

b.  Azas Legalitas

Setiap tindakan negara harus berdasarkan hukum yang telah diadakan

terlebih dahulu yang harus ditaati juga oleh pemerintah atau aparaturnya.

c. Pemisahan Kekuasaan

Agar hak-hak azasi itu betul-betul terlindung adalah dengan pemisahan

kekuasaan yaitu badan yang membuat peraturan perundang-undangan,

melaksanakan dan mengadili harus terpisah satu sama lain tidak berada dalam satu

tangan.

Namun apabila dikaji secara mendalam bahwa pendapat yang menyatakan

orientasi konsepsi Negara Hukum Indonesia hanya pada tradisi hukum Eropa

Continental ternyata tidak sepenuhnya benar, sebab apabila disimak Pembukaan


16

UUD 1945 alinea I (satu) yang menyatakan “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan

ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus

dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”

menunjukkan keteguhan dan kuatnya pendirian bangsa Indonesia menghadapi

masalah kemerdekaan melawan penjajahan. Dengan pernyataan itu bukan saja

bangsa Indonesia bertekad untuk merdeka, tetapi akan tetap berdiri di barisan yang

paling depan dalam menentang dan menghapuskan penjajahan di atas dunia.

Alinea ini mengungkapkan suatu dalil objektif, yaitu bahwa penjajahan tidak

sesuai  dengan perikemanusiaan dan perikeadilan dan oleh karenanya harus

ditentang dan dihapuskan agar semua bangsa di dunia ini dapat menjalankan hak

atas kemerdekaan sebagai hak asasinya. Di samping itu dalam Batang Tubuh UUD

1945 naskah asli, terdapat pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia

antara lain: Pasal 27, 28, 29, 30, dan 31. Begitu pula dalam UUD 1945 setelah

perubahan pasal-pasal yang memuat tentang hak asasi manusia di samping Pasal 27,

28, 29, 30 dan 31 juga dimuat secara khusus tentang hak asasi manusia dalam Bab

XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdiri dari Pasal 28A, 28B, 28C, 28D, 28E,

28F, 28G, 28H, 28I dan Pasal 28J. Hal ini menunjukkan bahwa dalam konsep

negara hukum Indonesia juga masuk di dalamnya konsepsi negara hukum Anglo

Saxon yang terkenal dengan rule of law.

Dari penjelasan dua konsep tersebut dapat disimpulkan bahwa konsep

negara hukum Indonesia tidak dapat begitu saja dikatakan mengadopsi konsep

rechtsstaat maupun konsep the rule of law, karena latar belakang yang menopang
17

kedua konsep tersebut berbeda dengan latar belakang negara Republik Indonesia,

walaupun kita sadar bahwa kehadiran istilah negara hukum berkat pengaruh konsep

rechtsstaat maupun pengaruh konsep the rule of law.

Selain istilah rechtstaat, sejak tahun 1966 dikenal pula istilah The rule of law

yang diartikan sama dengan negara hukum.

Dari berbagai macam pendapat, nampak bahwa di Indonesia baik the rule of

law  maupun rechtsstaat diterjemahkan dengan negara hukum. Hal ini sebenarnya

merupakan sesuatu yang wajar, sebab sejak tahun 1945 The rule of law merupakan

suatu topik diskusi internasional, sejalan dengan gerakan perlindungan terhadap

hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, sulitlah untuk saat ini, dalam

perkembangan konsep the rule of law dan dalam perkembangan konsep rechtsstaat

untuk mencoba menarik perbedaan yang hakiki antara kedua konsep tersebut, lebih-

lebih lagi dengan mengingat bahwa dalam rangka perlindungan terhadap hak-hak

dasar yang selalu dikaitkan dengan konsep the rule of law, Inggris bersama rekan-

rekannya dari Eropa daratan ikut bersama-sama menandatangani dan melaksanakan

The European Convention of Human Rights.

Dengan demikian, lebih tepat apabila dikatakan bahwa konsep negara

hukum Indonesia yang terdapat dalam UUD 1945 merupakan campuran antara

konsep negara hukum tradisi Eropa Continental yang terkenal dengan rechtsstaat

dengan tradisi hukum Anglo Saxon yang terkenal dengan the rule of law. Hal ini

sesuai dengan fungsi negara dalam menciptakan hukum yakni mentransformasikan


18

nilai-nilai dan kesadaran hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakatnya.

Mekanisme ini merupakan penciptaan hukum yang demokratis dan tentu saja tidak

mungkin bagi negara untuk menciptakan hukum yang bertentangan dengan

kesadaran hukum rakyatnya. Oleh karena itu kesadaran hukum rakyat itulah yang

diangkat, yang direfleksikan dan ditransformasikan ke dalam bentuk kaidah-kaidah

hukum nasional yang baru.

Apabila dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 naskah asli, tidak

secara eksplisit terdapat pernyataan bahwa Indonesia adalah negara hukum, lain

halnya dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS). Dalam KRIS

dinyatakan secara tegas dalam kalimat terakhir dari bagian Mukadimah dan juga

dalam Pasal 1 ayat (1) bahwa Indonesia adalah negara hukum.

4. Implementasi Negara Hukum di Indonesia

Berbicara tentang  negara hukum yang disebut supremasi hukum  tentu  saja

tidak akan  lepas dari  konsepsi dasar yang dipakai  sebagai landasan  untuk

menciptakan sebuah negara nasional yang pada tataran kenegaraan dan  hukum

tertinggi disebut konstitusi. Ini merupakan dasar yang bersifat  universal yang

berlaku pada tiap-tiap negara.

Dalam tataran koridor konstitusional, maka persoalan mengenai supremasi

hukum  terwujud didalam sebuah  masyarakat  nasional  yang disebut negara hukum

konstitusional, yaitu  suatu  negara dimana setiap tindakan dari penyelenggara

negara: pemerintah dan  segenap alat perlengkapan  negara di pusat dan didaerah 
19

terhadap rakyatnya  harus berdasarkan  atas hukum-hukum yang berlaku yang

ditentukan oleh rakyat / wakilnya di dalam  badan  perwakilan rakyat. Sesuai 

prinsip  kedaulatan rakyat  yang  ada, di dalam  negara demokrasi  hukum dibuat

untuk  melindungi  hak-hak  azasi  manusia  warga negara,  melindungi mereka dari

tindakan diluar ketentuan hukum dan untuk mewujudkan tertib sosial dan  kepastian

hukum  serta keadilan sehingga proses politik berjalan secara damai sesuai koridor 

hukum/konstitusional.

UUD NRI 1945 sebenarnya telah mempunyai ukuran-ukuran dasar yang bisa

dipakai untuk mewujudkan negara hukum dimana supremasi hukum akan

diwujudkan. Kalau dilihat dengan seksama  UUD NRI 1945 mejelaskan bahwa :

“Indonesia adalah negara berdasar atas negara hukum, tidak berdasar atas

kekuasaan belaka”

Ini sebenarnya Grundnorm yang telah diberikan oleh Founding father yang

membangun negara ini. Bagaimana kita akan menyusun negara hukum, bagaimana

negara hukum  itu akan diarahkan, dalam arti untuk apa kita wujudkan  negara

hukum ini, sekaligus dituntut untuk menegakkan hukum sebagai salah satu piranti 

yang bisa dipergunakan secara tepat di dalam  mewujudkan keinginan atau cita-cita

bangsa. Formula UUD 1945 tersebut mengandung  pengertian dasar bahwa di dalam

negara yang dibangun  oleh rakyat Indonesia ini sebenarnya diakui adanya dua faktor

yang terkait dalam mewujudkan  negara hukum, yaitu satu factor hukum dan yang

kedua factor kekuasaan. Artinya hukum  tidak  bisa ditegakkan inkonkreto dalam
20

kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat tanpa adanya kekuasaan dan

dimanesfestasikan  di dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian dua factor hukum

dan kekuasaan, tidak bisa dilepaskan satu sama lain, bagaikan lokomotif dan  relnya

serta gerbong  yang ditarik lokomotif. Artinya hukum tidak bisa ditegakkan  bahkan 

lumpuh tanpa adanya dukungan kekuasaan.  sebaliknya kekuasaan sama  sekali tidak

boleh  meninggalkan hukum, oleh karena apabila kekuasaan dibangun dan  tanpa

mengindahkan hukum, yang terjadi adalah satu negara yang otoriter. Fungsi

kekuasaan  pada  hakekatnya adalah memberikan dinamika terhadap kehidupan

hukum dan  kenegaraan  sesuai norma-norma dasar atau  grundnorm yang

dituangkan dalam UUD NRI 1945 dan kemudian dielaborasi  lebih  lanjut  secara 

betul  dalam hirarki perundang-undangan yang jelas.

5. Pengertian Negara menurut Hukum Internasional:

Negara adalah salah satu subyek hukum internasional yang artinya

merupakan pendukung hak dan kewajiban dalam hukum internasional. Negara

dalam sejarah perkembangan hukum internasional dipandang sebagai subyek

hukum terpenting (par excellence)3 dibandingkan dengan subyek-subyek hukum

internasional lainnya. Tentunya dalam kedudukan sebagai subyek hukum

internasional maka Negara memiliki hak dan kewajiban menurut hukum

internasional.

Menurut J.G. Starke 4 negara adalah satu lembaga yang merupakan satu

sistem yang mengatur hubungan-hubungan yang ditetapkan oleh dan di antara


21

manusia sendiri, sebagai satu alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang paling penting

di antaranya seperti satu sistem ketertiban yang menaungi manusia dalam

melakukan kegiatan-kegiatannya. Pendapat senada juga dikemukan oleh Brierly

yang mengatakan bahwa negara sebagai suatu lembaga (institution) merupakan

suatu wadah di mana manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan

kegiatan-kegiatannya.

Selanjutnya J.G. Starke menambahkan bahwa di dalam menggunakan istilah

negara dalam hukum internasional, supaya diperhalikan hal-hal sebagai berikut:

“Harus dipisahkan dari pengertian bahwa seluruh manusia hidup di dalam

suatu wilayah. Karena pada hakikatnya dalam satu wilayah terdapat banyak

lembaga, dimana negara hanya merupakan salah satu lembaga yang ada. Harus

dipisahkan dari pengertian sebagi suatu bangsa, hal ini dikarenakan bahwa tidak

semua bangsa adalah negara, meskipun sekarang banyak negara dibentuk atas dasar

kebangsaan atau nasional. Dalam sudut pandang sosiologis, bangsa adalah

terminologi yang sering digunakan, sedangkan negara dianggap sebagai istilah

yuridis. Umumnya istilah bangsa, negara, dan internasional dipergunakan dalam arti

identik. Contoh: Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang Sebetulnya merupakan

perhimpunan negara-negara hukum bangsa-bangsa; atau biasa juga menggunakan

istilah hukum antar-negara. Hukum antar-negara; dan dalam pergaulan internasional

istilah-istilah tersebut memiliki arti sama dengan hukum internasional.”


22

Perkataan negara mengandung arti yang mungkin relatif dan dapat

menimbulkan penafsiran ganda. Hal ini dikarenakan beberapa peristiwa yang terjadi

dalam praktek internasional dimana diketemukan negara di dalam negara, misalnya

Indonesia pada zaman Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dan negara

bagian yang di Amerika Serikat kemudian disebut negara, atau makna “Country” di

Inggris yang tidak dikategorikan sebagai arti negara, atau sate provinsi di Swiss

yang mungkin dapat disebut negara dan mungkin juga tidak.

Negara sebagai subyek hukum internasional dalam arti klasik hanyalah

negara yang berdaulat penuh, atau negara yang tidak lagi tergantung pada negara

lain. Anggapan semacam ini, masih berpengaruh hingga sekarang, di mana masih

terdapat anggapan bahwa hukum internasional itu pada hakikatnya adalah hukum

antar-negara. Dalam arti modern subyek hukum internasional tidak hanya terbatas

pada negara yang berdaulat penuh. Melainkan termasuk pula negara bagian, kanton-

kanton (Swiss), protektorat (sudah dihapus dan diganti dengan Dewan Perwalian

PBB), dan dominion (British Commonwealth).

Berangkat pada deskripsi negara sebagai subyek hukum internasional dalam

arti klasik dan modern, pertanyaan terpenting yang kemudian menarik untuk

dibahas adalah apakah terdapat definisi standar untuk menggambarkan apakah itu

negara? Meskipun banyak sarjana yang mengemukakan definisi tentang subyek

hukum internasional, namun tidak ditemukan suatu standarisasi definisi mengenai

subyek hukum internasional. Oleh karena itu, literatur awal yang dapat

menjembatani gap tersebut adalah dengan kembali kepada Pasal 1 Konvensi


23

Montevideo 1933.7 Dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai hakhak

dan kewajiban-kewajiban negara (Convention on Rights and Duties of States of

1933) disebutkan karakteristik yang harus dimiliki oleh suatu negara untuk dapat

dikatakan dan atau diakui sebagai negara, adalah: “Negara sebagai pribadi hukum

internasional harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut: (a) penduduk tetap; (b)

wilayah tertentu; (c) pemerintah; dan (d) kemampuan untuk melakukan hubungan-

hubungan dengan negara-negara lain”.

C. legal dan Illegal / Ilegal

1. Pengertian legal menurut kamus besar bahasa Indonesia:

Sah menurut hukum yang berlaku, sudah terjamin, tidak bersengketa.

2. Pengertian Ilegal menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:

ilegal/ile·gal/ /ilégal/ a tidak legal; tidak menurut hukum; tidak sah: orang

asing itu masuk ke Indonesia secara

D. Zona Ekonomi Eksklusif

1.Pengertian Zona Ekonomi Eksklusif menurut Ketentuan Pasal 55

Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982:

“Zona ekonomi eksklusif adalah suatu daerah di luar danberdampingan

dengan laut territorial, yang tunduk pada rejim hukumkhusus yang ditetapkan dalam

Bab ini berdasarkan mana hak-hak danyurisdiksi Negara pantai dan hak-hak serta

kebebasan-kebebasanNegara lain, diatur oleh ketentuan-ketentuan yang relevan

Konvensi ini”.
24

V. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang akan dilakukan dalam skripsi ini menggunakanpenelitian

hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada normahukum positif berupa

konvensi-konvensi internasional serta peraturanperundang-undangan di Indonesia.

Penelitian ini menitikberatkan padaanalisis mengenai upaya negara Indonesia dalam

menangani masalahillegal fishing di zona ekonomi eksklusif Indonesia.

2. Bahan Hukum

Adapun materi atau bahan yang dapat dijadikan obyek studi ada

tigagolongan, yakni bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahanhukum

tersier.

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka :

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan-bahan ilmu hukum (hukumpositif) yang

berhubungan erat dengan permasalahan yang akanditeliti, yaitu :

1. Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On The Law Of The

Sea) Tahun 1982

2. Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

3. Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang

No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

4. Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

5. Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang PengesahanKonvensi Hukum Laut

PBB (United Nations Convention OnThe Law Of The Sea


25

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah bahan-bahan hukum yang

memberikanpenjelasan atau membahas lebih lanjut hal-hal yang telah diteliti pada

bahan-bahan hukum primer, yaitu:

1. Berbagai buku mengenai hukum laut di Indonesia serta datadatatertulis terkait

dengan penelitian.

2. Disertasi atau hasil penelitian ilmiah yang ada hubungannyadengan illegal

fishing.

3. Berbagai makalah, jurnal-jurnal, surat kabar, majalah dandokumen yang

berkaitan dengan penelitian..

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan hukum yang

memberikanpenjelasan terhadap bahan-bahan primer dan sekunder, yakni, Kamus

Hukum, Ensiklopedia, Kamus Besar Bahasa Indonesia dan berbagaikamus lain yang

relevan.

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan studikepustakaan

atau wawancara:

a. Studi Kepustakaan(Bahan hukum primer).

Studi kepustakaan dilakukan untuk mempelajari bahan hukumprimer yang

berupa konvensi internasional serta peraturanperundang-undangan, bahan hukum

sekunder yang berupapendapat hukum dan pendapat non hukum dari buku dan

internet.
26

b. Wawancara dengan narasumber (Bahan hukum sekunder).

Wawancara dilakukan secara langsung dengan mengajukanpertanyaan yang

sudah disiapkan.Pertanyaan secara terstrukturtentang masalah illegal fishing dan

dalam bentuknya terbuka.

4. Analisis Data

Metode analisis yang digunakan untuk penelitian hukum normatif iniadalah

dengan menggunakan metode analisis kualitatif yaitu metode yanglebih

menekankan pada aspek analisis atau secara mendalamterhadap suatu masalah.

5. Proses Berpikir

Dalam penarikan kesimpulan, proses berpikir atau prosedur bernalar yang

digunakan adalah proses berpikir secara deduktif yaitu cara berpikir

yangmendasarkan pada hal-hal yang bersifat umum yaitu berupa konvensi

internasional serta peraturan perundang-undangan yang digunakan kemudian ditarik

kesimpulan yang bersifat khusus.

VI.SISTEMATIKA PENULISAN

Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penulisan, Keaslian Penelitian, Tinjauan Pustaka,Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan, dan Jadwal Penelitian

VII. DAFTAR PUSTAKA

Albert W. Koers, 1994, Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut,

Gadjah Mada University Press, Yogyakarta


27

Dahuri, Rokhmin,2010, pembangunan kelautan dan perikanan menuju Indonesia maju,

Pkspl, Bandung.

Dian Saptarini,1996, pengelolaan sumber daya kelautan dan wilayah pesisir, kementerian

negara lingkungan hidup, Jakarta.

Fachrudin, Akhmad, Legalitas hukum kelautan dan perikanan, UT. Bandung.

Hasjim Djalal, 1979, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Binacipta, Bandung.

Jaya Indera, Dasar dasar instrumentasi kelautan, IPB. Bogor.

Jemadu,2008,Politik Global dalam Teori dan Praktik, Graha Ilmu, Yogyakarta.

Mahmudah Nunung,,2003, Ilegal Fishing pertanggung jawaban pidana kooperasi,Sinar

Grafika,Jakarta.

Marhesa Ria, 2010. Hukum perikanan nasional dan internasional,Sinar Grafika, Jakarta

Nugroho Thomas. Kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia. Plantaxia,

Jakarta.

Pratiwi, Y.D., 2016, pertanggung Jawaban Pidana Ilegal Fishing Korporasi dalam Cita-

cita Indonesia Poros Maritim Dunia,sinar Grafika,Jakarta.

Solihin, Akhmad. Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Nuansa Aulia, Bandung.

Satria, Arief. Politik kelautan dan perikanan, Obor, Bandung.

Susilo, Basis. Kemaritiman Indonesia, Grafika, Jakarta.

Purdjantoro, Tedjo Edhy. Peran TNI Angkatan Laut dalam penegakkan kedaulatan negara

dan keamanan di laut. Dalam Jurnal Diplomasi, pusdiklat Departemen Luar Negeri, Vol.1,

No.2, September 2009.

http://dkp.kaltimprov.go.id/berita-157-kkp-kesulitan-awasi-perairan-indonesia.html
28

Konvensi Hukum Laut PBB (United Nations Convention On The Law Of The Sea) Tahun

1982

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31

Tahun 2004 tentang Perikanan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Undang-Undang No. 17 Tahun 1985 tentang PengesahanKonvensi Hukum Laut PBB

(United Nations Convention On The Law Of The Sea)

IX. JADWAL PENELITIAN

No Kegiatan jan feb mar apr mei jun Juli agus sept okt

i t
1 Tahapan penelitian
a. Penyusunan dan 

Pengajuan judul
b. Pengajuan 

proposal
c. Perijinan 

proposal
2 Tahapan pelaksanaan
a. Pengumpulan 

data
b. Analisis data 
29

3 Tahapan penyusunan 

laporan prososal

Anda mungkin juga menyukai