Anda di halaman 1dari 129

BAB I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Saat ini Indonesia menghadapi masalah beban gizi ganda yang ditunjukkan dengan
masih tingginya masalah gizi kurang (19,6%) dan stunting (37,2%) serta semakin
meningkatnya masalah kegemukan pada Balita sebesar 11,8%. Kedua masalah gizi
tersebut erat kaitannya dengan masalah gizi dan kesehatan ibu hamil dan menyusui, bayi
baru lahir dan anak usia di bawah dua tahun (Baduta). Hal tersebut dapat terlihat dari
tingginya masalah kurang gizi pada masa pra hamil yang ditandai tingginya prevalensi
anemia pada remaja dan Wanita Usia Subur (WUS) masing-masing sebesar 22,7% dan
37,1%, dan prevalensi Kurang Energi Kronis (KEK) pada WUS dan ibu hamil sebesar
20,8% dan 24,2%. Keadaan ini tentunya akan memberikan kontribusi terhadap terjadinya
gangguan gizi pada masa pre natal yang ditandai dengan tingginya angka prevalensi bayi
BBLR (<2500 gram) sebesar 10,2% dan bayi lahir pendek (<48 cm) sebesar 20,2%
(Balitbangkes, 2013).

Kekurangan gizi yang terjadi pada masa kehamilan dan masa usia dini maka dalam
jangka pendek akan berpengaruh terhadap terjadinya: 1) gangguan perkembangan sel-sel
otak; 2) gangguan pertumbuhan fisik berupa IUGR dan BBLR; 3) terganggunya proses
metabolik dari berbagai komponen seperti glukosa, lemak, protein, hormon, gen dan
reseptor. Selanjutnya dalam jangka panjang, ketiga gangguan tersebut secara paralel,
masing-masing dapat mengakibatkan :1) rendahnya kemampuan kognitif; 2) risiko tetap
stunting pada periode umur selanjutnya; serta 3) meningkatkan risiko untuk menderita
penyakit kronis pada usia dewasa, seperti hipertensi, DM, jantung coroner, dan obesitas.
Dampak yang ditimbulkan tersebut bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki pada
periode umur selanjutnya sehingga akan berpengaruh terhadap rendahnya kualitas hidup
manusia Indonesia (Rajagopalan, 2003).

Sesuai dengan agenda ke-5 Nawa Cita Pemerintah yaitu Meningkatkan Kualitas
Hidup manusia Indonesia maka pemerintah memiliki Program Utama Kesehatan yaitu
Program Indonesia Sehat yang didukung oleh program sektoral lainnya yaitu Program
Indonesia Pintar, Program Indonesia Kerja dan Program Indonesia Sejahtera. Adapun
sasaran dari Program Indonesia Sehat adalah meningkatnya derajat kesehatan dan status
gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung

1
dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan
melalui tiga pilar utama, yaitu: (1) penerapan paradigma sehat, (2) penguatan pelayanan
kesehatan, dan (3) pelaksanaan jaminan kesehatan nasional (JKN). Penerapan paradigma
sehat dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan,
penguatan upaya promotif dan preventif, serta pemberdayaan masyarakat. Penguatan
pelayanan kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan kesehatan,
optimalisasi sistem rujukan, dan peningkatan mutu menggunakan pendekatan continuum
of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan. Sedangkan pelaksanaan JKN dilakukan
dengan strategi perluasan sasaran dan manfaat (benefit), serta kendali mutu dan biaya.
(Kemenkes, 2016).

Pada hakekatnya penyebab dasar terjadinya masalah kurang gizi adalah masalah
ekonomi yang ditandai dengan rendahnya daya beli masyarakat sehingga menyebabkan
rendahnya ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yang dapat menyebabkan
rendahnya asupan zat gizi. Selain disebabkan rendah asupan zat gizi maka pola
pengasuhan Balita yang kurang baik dan buruknya kondisi sanitasi lingkungan dan kurang
tersedianya sarana air bersih serta kurangnya akses terhadap pelayanan kesehatan, juga
memberikan kontribusi terhadap terjadinya infeksi yang berulang yang pada akhirnya
menyebabkan terjadinya masalah masalah kurang gizi (Unicef, 1998). Mengingat
penyebab masalah gizi adalah multifaktor maka upaya yang harus dilakukan dalam
mengatasi masalah kurang gizi harus melalui pendekatan multisektor. Artinya bahwa
penanggulangan masalah kurang gizi tidak hanya dilakukan oleh sektor kesehatan saja
tetapi juga dilakukan bersama-sama dengan sektor diluar bidang kesehatan. Sektor lain
diluar kesehatan yang memiliki peranan penting dalam penanggulangan masalah gizi
antara lain adalah sektor ekonomi, pekerjaan umum, pertanian, ketahanan pangan,
perikanan, pendidikan dan sektor terkait lainnya (Bappenas, 2012).

Strategi penurunan masalah stunting yang mengoptimalkan keterlibatan lintas


program dan lintas sektor sudah berhasil dilaksanakan di beberapa negara dengan
prevalensi stunting tinggi, seperti Brazil berhasil menurunkan prevalensi stunting dari
37,1% pada tahun 1974 menjadi 7,1% pada tahun 2007, Peru melalui keterlibatan sektor
kesehatan, pendidikan, ketersedian air bersih dan sanitasi, perumahan, pertanian dan LSM
serta adanya program bantuan untuk penduduk miskin dapat menurunkan prevalensi
stunting dari 22,9% pada tahun 2005 menjadi 17,9% tahun 201, Bolivia melalui program
yang hampir sama dapat menurunkan prevalensi stunting dari 18,5% pada tahun 2008

2
menjadi 13,5% pada tahun 2011, Negara Bagian Maharashtra (India) berhasil menurunkan
prevalensi stunting dari 44% tahun 2005 menjadi 22,8% pada tahun 2012 melalui
pendampingan dan pelatihan terkait tiga hal, yaitu 1) Advocay terkait pentingnya 1000
HPK; 2) Kebijakan intervensi berbasis data; dan 3) Peningkatan kerjasama lintas program
dan sektor. Selanjutnya pengalaman di 9 Negara Sub Sahara Afrika melalui intervensi
multi sektor pada tahun 2005-2009 juga dapat mempercepat penurunan stunting sebesar
43% (Global Nutrition Report, 2014, Haddad, L, et all, 2014)

Dalam rangka percepatan penurunan masalah kurang gizi, pemerintah telah


mengeluarkan berbagai kebijakan antara lain dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no
42 tahun 2013 yang berisi tentang upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat
melalui penggalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara terencana
dan terkoordinasi dalam rangka percepatan perbaikan gizi masyarakat melalui Gerakan
1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK) dan berbagai kebijakan dan program di
Kementerian lain di luar Kesehatan, seperti di Kementerian Pertanian dan Kementerian
terkait lainnya. Adapun prinsip dari Gerakan 1000 HPK tersebut adalah bagaimana upaya
yang harus dilakukan agar dalam 1000 HPK yaitu sejak masa 9 bulan kehamilan (270
hari) dan masa 2 tahun setelah lahir (730 hari) tersebut tidak terjadi kekurangan gizi
(Kemenkumham, 2013).

Selanjutnya pada tahun 2017, pemerintah telah memberikan perhatian yang cukup
besar dalam penanggulangan masalah gizi di Indonesia melalui penetapan 5 Pilar
Penanganan Stunting yaitu 1) Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2)
Kampanye Nasional berfokus pada pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik
dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah,
dan Masyarakat,; 4) Mendorong Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan
dan Evaluasi. Selanjutnya terkait dengan pilar ke 2 maka pada tahun 2017 ditetapkan
1000 desa di 100 kabupaten/kota sebagai prioritas dalam intervensi stunting berdasarkan
pada tingkat kemiskinan, prevalensi stunting dan akses geografi yang akan terus diperluas
pada 514 kabupaten/kota pada tahun 2021 (TNP2K, 2017). Dalam rangka mewujudkan
tujuan pilar ke 2 maka penanganan stunting perlu koordinasi antar sektor dan melibatkan
berbagai pemangku kepentingan seperti Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Dunia
Usaha, Masyarakat Umum, dan lainnya. Presiden dan Wakil Presiden berkomitmen untuk
memimpin langsung upaya penanganan stunting agar penurunan prevalensi stunting dapat
dipercepat dan dapat terjadi secara merata di seluruh wilayah Indonesia.

3
Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat
yang memiliki masalah stunting sangat tinggi sekitar 41,7%, termasuk dalam 64
kabupaten prioritas Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 serta merupakan salah satu
dari 100 kabupaten/kota prioritas intervensi stunting oleh pemerintah (TNP2K, 2017).
Salah satu hal yang menyebabkan kurang berhasilnya upaya penurunan stunting di
Kabupaten Tasikmalaya adalah kurang optimalnya koordinasi dan kerjasama lintas sektor
terkait penanggulangan masalah stunting. Hal ini turut memberikan kontribusi terhadap
ketidaktahuan dan ketidakpahaman sektor lain diluar kesehatan tentang masalah stunting,
baik penyebab maupun dampak yang ditimbulkan serta daerah mana saja yang banyak
terjadi masalah stunting. Kondisi ini menyebabkan sektor lain di luar kesehatan belum
menggunakan masalah stunting sebagai salah satu dasar dalam perencanaan program dan
kegiatan termasuk dalam hal penetapan lokus dan target sasaran (Prihartini, dkk, 2016).

Sebagai salah satu upaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan menjaga
asupan gizi anak maka pada tahun 2015, Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya
bekerjasama dengan salah satu LSM membuat program Kampung Gizi di desa Taraju,
Kecamatan Taraju. Ada tiga komponen yang terdapat dalam Kampung Gizi yaitu perilaku
sehat, lingkungan sehat, dan ketersediaan pangan. Adapun kegiatan yang dilakukan antara
lain adalah pemanfaatan tanaman pekarangan dengan menanam sayuran, beternak ayam
atau hal lain yang dapat memberikan nilai ekonomi lebih. Kabupaten Tasikmalayayang
mengutamakan pemberdayaan masyarakat yang hasilnya dapat digunakan untuk
memenuhi kebutuhan gizi masyarakat.

Sebagai implementasi Pilar ke 2 dari 5 Pilar penanganan stunting oleh pemerintah,


yaitu Konvergensi, Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan
Masyarakat serta adanya pengalaman dari program Kampung Gizi yang pernah dilakukan
oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya maka perlu dilakukan suatu penelitian
operasional yang mencoba mengembangkan lebih lanjut program “Kampung Gizi”
sebagai suatu gerakan dalam upaya penurunan masalah stunting melalui peningkatan kerja
sama dan integrasi program dan kegiatan lintas sektor.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Unicef tahun 1998 maka penyelesaian
masalah gizi bukan hanya menjadi tanggung jawab sektor kesehatan karena hanya akan
memberikan kontribusi sebesar 30% terhadap penyelesaian masalah gizi tetapi justru

4
yang memberikan kontribusi lebih besar sekitar 70% adalah sektor lain di luar kesehatan
seperti sektor pertanian, perikanan/peternakan, ketahanan pangan, sosial, pekerjaan
umum, perindusterian dan koperasi, dan sektor terkait lainnya (Lancet, 2011). Namun
demikian, kurangnya koordinasi, baik antar program, sektor dan lembaga pemerintahan
menyebabkan semua kebijakan dan program yang telah direncanakan tidak dapat
dimplementasikan dengan baik sehingga tidak dapat berhasil sesuai yang diharapkan.

Dalam rangka implementasi 5 Pilar Penanganan Stunting dan berdasarkan


pengalaman beberapa negara yang telah berhasil menanggulangi masalah stunting melalui
pendekatan multi sektor serta pengalaman program Kampung Gizi di Kabupaten
Tasikmalaya serta implementasi dari maka perlu dilakukan sebuah penelitian operasional
pengembangan model integrasi Lintas Sektor dalam rangka penurunan masalah stunting
melalui Kampung Gizi, dengan target sasaran utama adalah kelompok remaja puteri dan
wanita usia subur (WUS), serta kelompok 1000 HPK (ibu hamil, ibu nifas, ibu menyusi,
bayi, dan baduta), lintas program dan lintas sektor. Selanjutnya hasil penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai pembelajaran bagi daerah lain dalam upaya
menurunkan masalah stunting.

Penelitian ini adalah penelitian multi years selama 3 tahun (tahun 2018, 2019 dan
2020). Protokol penelitian ini merupakan protokol untuk penelitian tahun pertama (tahun
2018) dan output yang diharapakan adalah adanya kesadaran, peran serta dan komitmen
bersama dari seluruh pihak dalam penanggulangan masalah stunting yang dituangkan
melalui terbentuknya Tim Penanggulangan Stunting baik di Pemerintahan Tingkat
Kabupaten (SK atau Peraturan Bupati, tingkat Kacamatan (Peraturan Camat), dan tingkat
Desa (Peraturan Desa), sedangkan di tingkat masyarakat diupayakan adanya
pemberdayaan dan peran serta aktif masyarakat dalam upaya penurunan masalah
Stunting. Selain itu juga diharapkan akan menghasilkan suatu draft pedoman tentang
bagaimana langkah-langkah dalam melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
penurunan Stunting, mulai dari penentuan lokus dan sasaran bersama, perencanaan dan
pelaksanaan intervensi, monitoring-evaluasi sampai penentuan dan pengukuran indikator
keberhasilan, baik dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang.

5
1.3 Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan


sebelumnya maka pertanyaan penelitian pada penelitian ini adalah apakah Model
Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung Gizi” dapat menurunkan masalah stunting ?

1.4 Tujuan Penelitian


a. Tujuan Umum
Memperoleh Model Integrasi Lintas Sektor yang efektif dalam upaya menurunkan
masalah Stunting.
b. Tujuan Khusus
1. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor kesehatan dalam upaya
penanggulangan masalah Stunting.
2. Mempelajari bagaimana kontribusi sektor non kesehatan (Pemerintahan Desa,
Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan, Pekerjaan Umum, Tata Ruang
dan Pemukiman, Koperasi dan UMKM, Kesra dan sektor lain yang terkait)
dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.
3. Mendapatkan langkah-langkah Strategik kegiatan Integrasi Lintas Sektor
dalam upaya penanggulangan masalah Stunting.
4. Mempelajari faktor determinan yang berhubungan dengan keberhasilan Model
Integrasi Lintas Sektor dalam penurunan masalah Stunting.

1.5 Manfaat Penelitian

Kementerian Kesehatan
Diperolehnya model integrasi lintas sektor yang efektif dalam upaya
penanggulangan masalah Stunting. Selanjutnya model tersebut diharapkan dapat
diimplementasikan ke daerah lain dalam rangka percepatan penurunan masalah Stunting
pada Balita.
Pemerintah Daerah
Melalui pendekatan model ini diharapkan dapat mempercepat penurunan masalah
Stunting pada Balita di Kabupaten Tasikmalaya.
Masyarakat
Adanya kesadaran dan kemandirian masyarakat dalam upaya meningkatkan derajat
Kesehatan dan Status Gizi Balita

6
BAB II. METODOLOGI

2.1 Kerangka Teori

2.1.1. Kerangka Teori Penyebab Masalah Gizi

Kerangka teori tentang determinan penyebab masalah kurang gizi adalah mengacu
pada teori Unicef, 1998. Penyebab langsung terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak
balita adalah karena tidak adekuatnya asupan zat gizi dan adanya penyakit infeksi yang
berulang, seperti diare, ISPA, dan lain-lain, sedangkan penyebab tidak langsung adalah
kurangnya akses terhadap makanan, kurangnya pola asuh dan kurang memadainya
ketersediaan sarana air bersih dan pelayanan kesehatan. Sebenarnya yang mendasari
penyebab langsung dan tidak langsung tersebut adalah karena fakrtor ekonomi dengan
indikator kemiskinan. Masih tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan sulitnya
mengatasi penyebab langsung dan tidak langsung tersebut.

Selanjutnya, jika dikaitkan dengan intervensi yang dilakukan maka peranan dari
sektor kesehatan (intervensi spesifik) hanya memberikan kontribusi sebesar 30 % dan
justru peranan dari sektor non kesehatan (intervensi sensitif) memiliki kontribusi yang
lebih besar yaitu sebesar 70% dalam menanggulangi masalah kurang gizi (gizi kurang,
stunting, kurus). Namun demikian di sektor kesehatan sendiri perlu adanya upaya
peningkatan capaian indikator intervensi spesifik sampai 90% agar dapat memberikan
dampak sekitar 20% terhadap penurunan stunting. Bentuk interevensi spesifik dan
intervensi sensitif dalam upaya penanggulangan masalah gizi ditunjukkan pada gambar 1.

2.1.2 Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia


Saat ini masalah gizi di Indonesia, khususnya masalah stunting masih cukup tinggi
dan masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat, bahkan dalam satu dekade ini
tidak banyak menunjukkan penurunan bahkan dapat dikatakan stagnan dan hal tersebut
dapat dilihat dari prevalensi stunting pada Balita pada tahun 2007 sebesar 36,2% dan
pada tahun 2013 sebesar 37,2%. Kondisi ini akan berdampak pada rendahnya kualitas
sumber daya manusia Indonesai yang selanjutnya akan berdampak pada daya saing bangsa
sehingga dalam rangka meningkatkan sumber daya manusia Indonesia yang sehat, cerdas
dan produktif diperlukan status gizi yang optimal, dengan cara melakukan perbaikan gizi

7
secara terus menerus sehingga untuk itu pemerintah bertanggung jawab meningkatkan
pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap
peningkatan status gizi.

30%

70%

Gambar 1. Kerangka Pikir Penyebab Masalah Gizi


Sumber: World Bank 2011, diadaptasi dari UNICEF 1990 & Ruel 2008

Gambar 2. Kerangka Acuan Penanggulangan Stunting, Hasil Systematic Review WHO

8
Hasil systematic review WHO tentang faktor determinan stunting menunjukkan
menyebutkan bahwa ada 2 kunci keberhasilan penangggulangan masalah ganggungan
pertumbuhan yaitu faktor ibu dan faktor lintas sektor, seperti yang ditunjukkan pada
gambar 2.
Upaya yang telah dilakukan pemerintah dalam meningkatkan status gizi
masyarakat maka pemerintah telah mengeluarkan beberapa kebijakan antara lain adalah
dengan diterbitkannya Peraturan Presiden no 42 tahun 2013 tentang Gerakan Nasional
Percepatan Perbaikan Gizi (GNPPG) merupakan upaya bersama antara pemerintah dan
masyarakat melalui pengalangan partisipasi dan kepedulian pemangku kepentingan secara
terencana dan terkoordinasi untuk percepatan perbaikan gizi masyarakat prioritas pada
seribu hari pertama kehidupan. Tujuan umum dari GNPPG dimaksudkan untuk percepatan
perbaikan gizi masyarakat prioritas pada 1000 hari pertama kehidupan dengan sasaran
masyarakat, khususnya remaja, ibu hamil, ibu menyusui, anak dibawah dua tahun, kader-
kader masyarakat, perguruan tinggi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan dan
keagamaan, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, media massa, dunia usaha dan
lembaga swadaya masyarakat dan mitra pembangunan.
Dalam rangka pelaksanaan GNPPG dibentuk Gugus Tugas GNPPG yang
berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden. Adapaun tugas dari
Gugus Tugas GNPPG antara lain adalah mengkoordinasikan dan menyinkronkan
penyusunan rencana dan program kerja GNPPG pada kementerian dan lembaga
pemerintah non kementerian, mengkoordinasikan penyusunan program prioritas,
memobilisasi sumber dana, sarana dan daya, mengkoordinasikan penyelenggaraan
advokasi, dan melaksanakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan GNPPG. Ketua
Pengarah dari GNPPG adalah Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan
wakil ketua I Menteri Dalam Negeri dan wakil ketua II Menteri Kesehatan, serta sekretaris
adalah Deputi Bidan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan, BAPPENAS dengan 11
Kementerian sebagai anggota. Pelaksanaan GNPPG di daerah adalah Pemerintah Daerah
dengan mengacu pada rencana dan prgram kerja yang disusun oleh Gugus Tugas yang
dalam pelaksanaannya dapat bekerjasama dengan Pemerintah, perguruan tinggi, organisasi
profesi, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
media massa, pelaku usaha dan anggota masyarakat.
Pada tahun 2017, Pemerintah melalui Tim TNP2K mencoba membuat terobosan
dalam rangka menurunkan masalah stunting melalui 5 Pilar penanganan Stunting, yaitu 1)
Komitmen dan Visi Pimpinan Tertinggi Negara,; 2) Kampanye Nasional berfokus pada

9
pemahaman, perubahan perilaku, komitmen politik dan akuntabilitas,; 3) Konvergensi,
Koordinasi dan konsolidasi Program Nasional, Daerah, dan Masyarakat,; 4) Mendorong
Kebijakan “Nutritional Food Security,; 5) Pemantauan dan Evaluasi. Seperti yang
ditunjukkan pada gambar 2.
Tujuan dari Pilar ke 3 adalah untuk memperkuat konvergensi, koordinasi, dan
kolaborasi serta memperluas cakupan program yang dilakukan oleh
Kementerian/Lembaga terkait. Disamping itu dibutuhkan perbaikan kualitas dari layanan
program yang ada (Puskesmas, Posyandu, Paud, BP SPAM, PKH, dll) terutama dalam
memberikan dukungan kepada ibu hamil ibu menyusui dan balita pada 1000 HPK serta
pemberian insentif dari kinerja program intervensi di wilayah sasaran yang berhasil
menurunkan angka stunting di wilayahnya. Selain itu juga dapat dilakukan dengan
memaksimalkan pemanfaatan Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Desa untuk
mengarahkan pengeluaran tingkat daerah ke intervensi prioritas intervensi stunting. Agar
tujuan Pilar ke 3 dapat tercapai dengan maksimal maka dalam
melaksanakan/menjalankannya diperlukan suatu pedoman atau petunjuk pelaksanaan yang
dapat digunakan sebagai dasar, pegangan, acuan, atau petunjuk untuk menentukan atau
melaksanakan kegiatan serta ketentuan atau langkah-langkah yang harus diikuti.
Oleh karena itu pemerintah dalam hal ini Sekretariat Wakil Presiden dan Kemenko
PMK telah mengeluarkan Buku tentang Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Anak
Stunting (Kerdil) Periode 2018-2024. Tujuan dibuatnya dokumen ini adalah untuk
mendorong terjadinya kerja sama antar lembaga untuk memastikan konvergensi seluruh
program/kegiatan terkait pencegahan anak stunting, terutama untuk meningkatkan
cakupan dan kualitas intervensi gizi spesifik dan intervensi gizi sensitif pada kelompok
1000 hari pertama kehidupan (HPK), mulai dari ibu hamil, ibu menyusui dan anak usia
0-23 bulan.

PILAR 1 PILAR 2 PILAR 3 PILAR 4 PILAR 5

•Komitmen dan •Kampanye •Konvergensi, •Mendorong •Pemantauan


Visi Pimpinan Nasional Koordinasi dan Kebijakan dan Evaluasi
Tertinggi berfokus pada konsolidasi “Nutritional
Negara pemahaman, Program Food Security
perubahan Nasional,
perilaku, Daerah, dan
komitmen Masyarakat
politik dan
akuntabilitas

Gambar 3. 5 Pilar Penanganan Stunting

10
Gambar 4 berikut ini adalah program dan kegiatan dari masing-masing sektor dalam
upaya konvergensi program pencegahan dan penanggulangan stunting.

Gambar 4. Program / Kegiatan Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif

2.1.3 Kerangka Teori Integrasi/Kolaborasi


Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum tercapainya suatu integrasi (kolaborasi)
adalah perlu adanya Komunikasi, Kerjasama dan Koordinasi. Seperti ditunjukkan pada
gambar berikut :

Communication

Collaboration

Cooporation Coordination

Sumber : https://www.researchgate,ne....llection_of_Recent_Papers
Gambar 5. Hubungan antara Koorporasi, komunikasi, dan koordinasi dalam
mencapai Kolaborasi

11
Pengertian Kolaborasi adalah suatu proses interaksi yang kompleks dan beragam,
yang melibatkan beberapa orang untuk bekerjasama dengan menggabungkan pemikiran
secara berkesinambungan dalam menyikapi suatu hal dimana setiap pihak terlibat aling
ketergantungan di dalamnya. Apapun bentuk dan tempatnya dalam kolaborasi terdapat
pertukaran pandangan atau ide yang memberikan perspektif kepada seluruh kolaborator.
Tujuan utama kolabaorasi pada sektor publik adalah untuk peningkatan pelayanan pada
masyarakat.
Namun demikian sebelum terjadinya kolaborasi harus diawali dengan adanya
komunikasi untuk memperoleh komitmen sebagai bentuk dedikasi atau kewajiban yang
mengikat seseorang pada sesuatu atau tindakan tertentu. yang perlu ditindaklanjuti dengan
adanya suatu koordinasi. Pengertian koordinasi adalah upaya memadukan
(mengintegrasikan), menyerasikan dan menyelaraskan berbagai kepentingan beserta
segenap gerak, langkah dan waktu dalam rangka pencpaian tujuan dan sasaran bersama .
Selain itu menurut Dr. Awaluddin Djamin M.P.A, koordinasi juga diartikan sebagai suatu
usaha kerjasama antara badan, instansi, unit dalam pelaksanaan tugas-tugas tertentu
sehingga terdapat saling mengisi, membantu dan melengkapai (LAN, 2015). Setelah
adanya koordinasi maka perlu ditindaklanjuti dengan adaanya suatu kerjasama yaitu
sebuah pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih supaya dapat mencapai tujuan
ataupun target yang sudah direncanakan sebelumnya dan juga disepakati bersama
(www.gurupendidikan.co.id)

2.2. Kerangka Konsep


Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah serta kerangka teori bahwa
dalam penanggulangan masalah stunting, bukan hanya menjadi tanggungjawab sektor
kesehatan melainkan juga oleh beberapa sektor terkait. Oleh karena itu diperlukan adanya
koordinasi dan kerjasama antar lintas sektor terutama dalam perencanaan program dan
kegiatan serta pada saat pelaksanaan intervensi di lapangan disesuaikan dengan tupoksi
masing-masing sektor. Oleh karena itu penelitian ini akan mengembangkan suatu Model
Integrasi Lintas Sektor dalam upaya menurunkan masalah stunting pada Balita melalui
“Kampung Gizi”. Dengan adanya “Kampung Gizi” diharapkan dapat meningkatkan akses
masyarakat untuk mendapatkan Pelayanan Kesehatan, memiliki Ketersediaan Pangan
yang cukup, memiliki Sanitasi, Jamban Sehat, dan sarana air bersih yang baik,
mendapatkan Pendidikan yang optimal, serta memiliki akses ekonomi yang baik, seperti
yang ditunjukkan pada gambar 6.

12
K
Status a
Kesmas m
p Peningkatan :
u 1. Akses Pelayanan Kesehatan
Integrasi 2. Akses Ketersediaan Pangan Penurunan
Intervensi n
Lintas 3. Akses Sanitasi , Jamban sehat Prevalensi
Spesifik g
Sektor dan Sarana air bersih Stunting
4. Akses Pendidikan
G 5. Akses Ekonomi
Intervensi
i Pedoman
Sensitif z
Umum
i

Pre-Post

----------------- : Output yang akan dihasilkan

Gambar 6. Kerangka Konsep Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor dalam rangka
Penurunan Stunting melalui “Kampung Gizi”

Strategi yang digunakan dala penelitian ini adalah berupa pendampingan yang
dilakukan kepada stakeholder terkait yang ada di tingkat kabupaten, kecamatan dan desa
serta di masyarakat. Diharapkan dengan adanya integrasi lintas sektor diharapkan
memberikan kontribusi cukup besar terhadap upaya peningkatan 5 Akses masyarakat
dalam Upaya Penurunan Stunting melalui “Kampung Gizi”. Adapun sektor yang terkait
adalah adalah sektor kesehatan, sektor pertanian dan pangan, sektor pendidikan, sektor
PU dan perumahan, sektor agama, sektor pemberdayaan dan peran serta masyarakat, dan
sektor ekonomi.
Gambar 7, menjelaskan rencana alur kegiatan dan output yang diharapkan dari
Model Integrasi Lintas Sektor Melalui “Kampung Gizi” sebagai Upaya dalam
Penurunan Masalah Stunting. Output yang diharapakan adalah adanya komitmen dari
pimpinan di semua level, mulai Bupati, Camat dan Kepala Desa terhadap upaya
penanggulangan stunting yang diperkuat dengan adanya PerBup atau SK Bupati, PerCam
atau SK Camat, PerDes atau SK Kepala Desa tentang pembentukan Tim Koordinasi
Penanggulangan Stunting. Keberadaan Kebijakan atau aturan ini dirasakan sangat penting
oleh hampir stakeholder Tim Koordinasi sangat penting karena merupakah suatu wadah
atau sarana untuk melakukan komunikasi, koordinasi dan kerjasama hingga terjadinya
kolaborasi.

13
Gambar 7. Pendekatan Model Integrasi Lintas Sektor Melalui “Kampung Gizi” sebagai
Upaya dalam Penurunan Masalah Stunting

Untuk menilai keberhasilan model Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung


Gizi” dalam upaya penurunan Stunting maka perlu dilakukan penilaian atau evaluasi
mulai dari input, process dan output serta akan dibandingkan kondisi antara sebelum dan
sesudah pendampingan serta apa saja yang dilakukan dan yang terjadi selama proses
pendampingan. Seperti yang ditunjukkan dalam alur pikir penelitian pada gambar 8
berikut ini :

-Prevalensi Stunting - Kesepatan bersama 1. Keberhasilan Kampung


INPUT

OUTPUT
PROSES

penetapan lokus dan sasaran Gizi yang ditandai dengan :


-Program dan Kegiatan intervensi
masing-masing SKPD - Terjadinya komunikasi,
termasuk dasar perencanaan - Meningkatnya Partisipasi koordinasi, integrasi dan
penetapan lokus dan sasaran masing-masing sektor kegiatan lintas sektor
OUTCOME
intervensi - Meningkatnya Partisipasi - Terjadinya perubahan
-Capaian Indikator Spesifik Masyarakat positif beberapa capaian
- Proses Pelaksanaan indkator spesifik dan sensitif
-Capaian Indikator Sensitif
komunikasi, koordinasi, - Meningkatnya peran serta
-Komitmen Lintas Sektor kolaborasi/kerjsama dan masyarakat
dalam upaya integrasi program dan
penanggulangan masalah 2. Diperolehnya draft
kegiatan lintas sektor PENURUNAN
stunting pedoman Model Integrasi
- Pelaksanaan proses Monev Lintas Sektor STUNTING

Perlu adanya Pedoman Teknis Integrasi Lintas Sektor

Gambar 8. Alur Pikir Penilaian dan Evaluasi Pendekatan Model Integrasi Lintas Sektor
Melalui dalam Upaya dalam Penurunan Masalah Stunting

14
Evaluasi Input dilakukan terhadap segala sumberdaya yang ada di masing-masing sektor
yang diperlukan dalam upaya penurunan Stunting. Seperti dasar kebijakan perencanaan
dalam upaya penurunan stunting, penetapan lokus dan sasaran target, pelaksanaan dan
evaluasi, alokasi anggaran, dan SDM. Selain itu juga akan dikumpulkan baseline data
prevalensi stunting, capaian indikator intervensi spesifik dan sensitif dari masing-masing
sektor.
Evaluasi Process dilakukan untuk menilai bagaimana proses pelaksanaan kebijakan,
program dan kegiatan dijalankan oleh masing-masing sektor serta bagaimana proses
komunikasi, koordinasi, dan kolaborasi dari semua sektor terkait upaya penurunan
Stunting.
Evaluasi Output dilakukan untuk menilai perubahan-perubahan capaian indikator spesifik
dan indikator sensitif.
Evaluasi Outcome dilakukan untuk menilai apakah telah terjadi penurunan prevalensi
Stunting
2.3 Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian operasional dengan menggunakan desain
Kuasi Eksperimen. Adapun bentuk intervensi yang diberikan adalah berupa
Pendampingan kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya dan masyarakat dalam
upaya penurunan masalah Stunting dengan menggunakan pendekatan Model Integrasi
Lintas Sektor melalui “ Kampung Gizi”. Adapun yang dimaksud dengan “Kampung Gizi”
adalah merupakan suatu gerakan yang melibatkan integrasi lintas sektor dan peran serta
masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting.
Dari penelitian ini diharapkan akan menghasilkan suatu pedoman yang berisikan
tentang langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan agar terbangun Integrasi Lintas
Sektor serta dapat berfungsi secara efektif dalam upaya menurunkan masalah Stunting.
Pedoman tersebut nantinya dapat digunakan sebagai pelengkap dari Kebijakan
Pemerintah tentang Penetapan Percepatan Penanganan Stunting di 1000 Desa dari 100
Kabupaten/ Kota Prioritas Penanganan Kemiskinan dan Stunting pada tahun 2017-2020
dan dapat digunakan sebagai panduan atau acuan teknis bagi daerah (kabupaten,
Kecamatan, Desa dan Masyarakat) untuk melakukan Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
menurunkan stunting melalui “Kampung Gizi”. Selanjutnya diharapkan adanya
peningkatan Akses masyarakat terhadap Pangan, Pelayanan Kesehatan, Pendidikan,

15
Sanitasi, Jamban sehat dan Air Bersih, dan Ekonomi yang pada akhirnya dapat
menurunkan permasalahan Stunting.
Untuk menilai efektifitas dari Model Integrasi Lintas Sektor melalui “Kampung
Gizi” dalam upaya menurunkan permasalahan Stunting maka perlu dilakukan
pengumpulan baseline data terkait dengan indikator spesifik dan indikator sensitif
(terlampir) yang akan dibandingkan antara sebelum, selama proses dan setelah
pendampingan dan rencanya penelitia ini akan dilakukan selama tiga tahun.
Berikut ini adalah gambaran tentang tahapan dan kegiatan penelitian yang akan
dilakukan selama tiga tahun termasuk target sasaran dan indikator output yang akan
dihasilkan.
1. Tahap I Tahun 2018
1.1.Judul Penelitian : Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor dalam Rangka
Penurunan Masalah Stunting pada Balita melalui “Kampung Gizi” di Kabupaten
Tasikmalaya
1.2.Target Sasaran Pendampingan :
- Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya (Pimpinan Daerah, Sekda,
ASDA, Kepala Dinas yang terkait dengan upaya penurunan masalah Stunting,
Pejabat eselon 3 dan 4 di masing-masing SKPD terkait.
- Pemerintahan di 4 Kecamatan (Camat, Sekcam dan Kasubag Perencanaan,
Kasubag Keuangan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan, Kasi Kesra)
- 5 Puskesmas di wilayah intervensi (Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga
kesehatan yang menjadi pembina di 5 desa intervensi))
- Pemerintahan di 5 Desa (Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan, Kaur
Pembangunan, Kadus, Pamong, BPD dan PKK)
- Masyarakat di 5 Desa intervensi
- LSM (NU, Muhammadiyah, dll)
- Poltekkes Tasikmalaya, Universitas Respati Tasikmalaya
- Mitra Pembangunan
1.3.Output :
- Diperolehnya Komitmen yang kuat dari Pemerintah Daerah Kabupaten
Tasikmalaya dalam upaya menurunkan masalah Stunting yang dituangkan
dalam sebuah Peraturan Bupati tentang pembentukan Tim Penanggulangan
masalah Stunting yang terintegrasi dan melibatkan seluruh sektor terkait serta
melibatkan peran aktif dari masyarakat.

16
- Selanjutnya Tim tersebut diharapkan dapat berfungsi secara efektif dalam
melakukan berbagai upaya penurunan masalah Stunting mulai di tingkat
Kabupaten, Kecamatan, Desa sampai di tingkat masyarakat.
- Diperolehnya Komitmen Bersama dari seluruh Sektor dan Masyarakat mulai
dari Pemerintahan Tingkat Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat
dalam penentuan Lokus dan Sasaran serta rencana intervensi bersama dalam
rangka penurunan masalah Stunting.
- Diperolehnya Komitmen Bersama dari seluruh Sektor dan Masyarakat untuk
berpartisipasi aktif secara bersama-sama dan terintegrasi dalam melakukan
intervensi terhadap upaya penurunan masalah Stunting sesuai dengan Lokus
dan Sasaran yang telah disepakati dan disesuikan dengan tupoksi masing-
masing sektor.
- Diperolehnya baseline data tentang :
o Program dan kegiatan serta capaian indikator intervensi spesifik dan
indikator intervensi sensitif di masing-masing Sektor / SKPD yang
terkait dengan upaya penurunan masalah Stunting, baik di tingkat
Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat.
o Gambaran tentang permasalahan gizi dan kesehatan di ke-lima desa
intervensi.
o Gambaran tentang permasalahan rawan pangan di ke-lima desa
intervensi.
o Gambaran tentang tingkat kemiskinan di ke-lima desa intervensi.
- Diperolehnya data tentang proses yang dilakukan selama dilakukannya
pendampingan mulai di tingkat pemerintahan Kabupaten termasuk di masing-
masing sektor terkait, di tingkat Kecamatan, Desa dan Masyarakat.
- Draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya penurunan
masalah Stunting
2. Tahap II tahun 2019
2.1. Judul Sementara (Evaluasi Proses Pelaksanaan Model Integrasi Lintas Sektor
dalam Penurunan Masalah Stunting)
2.2. Target Sasaran Pendampingan :
a. Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya (Pimpinan Daerah, Sekda,
ASDA, BAPPEDA, Kepala Dinas yang terkait dengan upaya penurunan
masalah Stunting, Pejabat eselon 3 dan 4 di masing-masing SKPD terkait.

17
b. Pemerintahan di 4 Kecamatan (Camat, Sekcam dan Kasubag Perencanaan,
Kasubag Keuangan, Kasi Pemerintahan, Kasi Pembangunan, Kasi Kesra)
c. 5 Puskesmas di wilayah intervensi (Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga
kesehatan yang menjadi pembina di ke-lima desa intervensi))
d. Pemerintahan di ke-lima Desa (Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan,
Kaur Pembangunan, Kadus, Pamong, BPD dan PKK)
e. Masyarakat di ke-lima Desa intervensi
f. LSM (NU, Muhammadiyah, dll)
g. Poltekes Tasikmalaya
h. Mitra Pembangunan
2.3. Output penelitian :
a. Tim Penanggulangan Stunting masih berfungsi secara aktif
b. Peningkatan alokasi anggaran dalam APBD Tahun 2019 yang terkait dengan
program intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif dalam upaya penurunan
masalah Stunting
c. Adanya penambahan Lokus dan Sasaran target dalam upaya penurunan
masalah Stunting
d. Adanya Peningkatan Akses Pangan, Akses Kesehatan, Akses Pendidikan,
Akses Sanitasi, Jamban Sehat dan Air Bersih dan Akses Ekonomi indikator
intervensi Spesifik dan intervensi Sensitif
3. Penyempurnaan draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya
penurunan masalah stunting
4. Tahap III Tahun 2020
4.1. Judul Sementara (Faktor Determinan yang berhubungan dengan Perubahan
Prevalensi Stunting di 5 Desa Intervensi Model Inegrasi Lintas Sektor melalui
“Kampung Gizi”
4.2. Target Sasaran Pendampingan :
a. Pemerintah Daerah Kabupaten
b. BAPPEDA
c. SKPD terkait penurunan masalah Stunting (indikator Spesifik dan indikator
Sensitif)
d. Pemerintahan Tingkat Kecamatan
e. Pemerintahan Tingkat Desa
f. Masyarakat

18
4.3. Output penelitian :
a. Data perubahan indkator spesifik dan indikator sensitif
b. Penurunan prevalensi Stunting
5. Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam upaya penurunan masalah
stunting

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Mix Mehtode yaitu gabungan
antara metode Kuantitatif dan Kualitatif. Metode Kuantitatif digunakan untuk mengukur
perubahan status gizi-kesehatan, masyarakat, status rawan pangan, perubahan indikator
intervensi spesifik dan indikator intervensi sensitif di ke-lima wilayah desa intervensi
sedangkan Metode Kualitatif digunakan untuk mendapatkan gambaran tentang proses
pelaksanaan Model Integrasi Lintas Sektor dengan cara mengggali informasi dari masing-
masing informan yang terlibat dalam upaya penurunan masalah Stunting pada setiap
tingkat pemerintahan (Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat) dalam hal penetapan
kebijakan, penetapan lokus dan sasaran intervensi, rencana program dan kegiatan
intervensi dan proses pelaksanaan dari intervensi yang telah disusun serta proses
monitoring dan evaluasi.

2.4. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian disesuaikan dengan 10 Desa Prioritas Stunting dari Tim Nasional
Percepatan Penanggulangan Kemiskinakan (TP2NK) di bawah koordinasi Kantor Wakil
Presiden.pp (Kemiskinan, Stunting dan lokasi geografis). Selanjutnya dari 10 desa lokus
teresebut dipilih secara purposive berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain adalah
banyaknya jumlah Balita, jumlah ibu hamil, tingkat kemiskinan, geografis dan masukan
dari Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya, misalnya : sudah dilakukan pendataan PIS-
PK dan lain-lain. Dalam penelitian ini akan diambil 5 desa, terdiri dari yaitu Desa
Banjarsari (Lokus stunting), Desa Mandalahayu (Lokus stunting), Desa Pusparahayu (Non
Lokus stunting), Desa Tanjungsari (Non Lokus Stunting) dan Desa Sukaratu (Non Lokus
Stunting)

19
Tabel 1. Gambaran Kependudukan dan Masalah Gizi di 5 Kecamatan Lokus Stunting
No Kecamatan Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Kesulitan Geografis
penduduk Penduduk Balita Ibu (indeks)**
(jiwa) Miskin Stunting* Hamil
(Jiwa)
1 Sukaresik 3.781 632 687 809 40,34
2 Sukahening 3.712 553 266 632 24,58
3 Puspahiang 5.808 705 133 618 31,00
4 Jatiwaras 4.752 1.100 387 667 28,11
5 Salopa 4.494 848 858 995 23,82
*Sumber : Hasil Bulan Penimbangan dan Laporan Tahunan Dinkes Tahun 2015
** Sumber : TNP2K

2.5. Populasi dan Sampel


Populasi :
Populasi Target adalah Pemerintah Daerah dan seluruh Masyarakat Kabupaten
Tasikmalaya
Populasi Studi :
- Jajaran Pemerintahan Kabupaten Tasikmalaya
- Seluruh SKPD di Kabupaten Tasikmalaya
- Jajaran Pemerintahan Tingkat Kecamatan di Kabupaten Tasikmalaya
- Jajaran Pemerintahan Tingkat Desa di Kabupaten Tasikmalaya
- Seluruh Masyarakat di 5 wilayah Kecamatan Intervensi
Sampel :
Sampel pada penelitian ini dibedakan menjadi 2 jenis yaitu sampel untuk studi
kuantitatif dan sampel untuk studi kualitatif
Sampel untuk Studi Kuantitaif :
a. Sampel untuk mendapatkan baseline data
Baseline data yang akan dikumpulkan antara lain adalah data tentang gambaran
status gizi-kesehatan masyarakat, gambaran rawan pangan di masyarakat, capaian
indikator spesifik dan indikator sensitif di ke-lima desa intervensi dengan
menggunakan metode survei cepat.
Sampel penelitian ini adalah Keluarga terpilih (mempunyai Balita dan atau Anak
sekolah, remaja, WUS, ibu hamil, ibu menyusui) di ke-lima desa intervensi.

20
Jumlah sampel yang diperlukan adalah sebanyak 300 rumah tangga per desa jadi
totalnya adalah sebanyak 1500 rumah tangga di ke-lima desa intervensi.
Teknik penentuan sampel :
1) Melakukan penentuan Kluster dalam Desa
Tahap 1. Penentuan Kluster RT (Rukun Tetangga)
a) Setiap desa terpilih dipilih 30 RT sebagai kluster
b) Pemilihan kluster di desa dilakukan dengan acak sistematik berdasarkan
Probability Proportional to Size (PPS)
Tahap 2. Penentuan Kluster
Cara melakukan acak sistematik berdasarkan PPS sebagai berikut :
a) Buat daftar RT, termasuk jumlah penduduk per RT
b) Tentukan interval dengan cara membagi jumlah penduduk dengan jumlah
klaster.
c) Tentukan klaster pertama dengam menggunakan Tabel Acak, misalnya
dengan menjatuhkan pensil di atas tabel acak.
d) Klaster kedua dan seterusnya sampai klaster ke 30 dipilih berdasarkan
perhitungan jumlah kumulatif penduduk dan interval
e) Selanjutnya pemilihan sampel rumah tangga dilakukan secara acak
menggunakan kerangka sampel dari hasil Pendataan Keluarga Sehat di
masing-masing desa
b. Sampel sebagai sasaran target intervensi program dan kegiatan dalam upaya
penurunan masalah Stunting di ke-lima desa intervensi.
1). Pemerintah Daerah :
- Pimpinan Daerah : Bupati, Wakil Bupati, Sekda, ASDA
- Kepala BAPPEDA
- Kepala Dinas Kesehatan
- Kepala Badan Ketahanan Pangan dan Perikanan
- Kepala Dinas Pertanian
- Kepala Dinas Pendidikan
- Kepala Dinas Industri dan Perdagangan
- Kepala Dinas PU dan Penataan Ruang
- Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman
- Kepala Dinas Sosial
- Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa, Perlindungan Anak dan KB

21
- Kepala Kantor Agama
- Kepala Puskesmas dan PJ Program di 5 Puskesmas intervensi
- Pembina Desa di 5 desa intervensi
- Kepala Desa dan Staf di 5 desa intervensi

2). Masyarakat (Keluarga, TOMA, LSM, dll) di 5 Desa intervensi

Berdasarkan hasil pendataan Keluarga Sehat (telah dilakukan oleh Puskesmas


setempat) dan Survey Cepat maka keluarga-keluarga yang ada di masing-masing
desa akan dikelompokkan menjadi 8 kelompok sasaran, yaitu :
1. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, punya balita stunting/wasting dan
atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan jamban sehat
2. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, punya balita stunting/wasting, dan
atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban sehat
3. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, tidak punya balita stunting/wasting,
dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban sehat
4. Keluarga miskin dan atau rawan pangan, tidak punya balita stunting/wasting,
dan atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan jamban sehat
5. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban
sehat
6. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, tidak punya sumber air bersih dan
jamban sehat
7. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, tidak punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban
sehat
8. Keluarga tidak miskin dan atau tidak rawan pangan, tidak punya balita
stunting/wasting dan atau bumil KEK, punya sumber air bersih dan jamban
sehat

Jumlah keluarga per masing-masing kelompok tidak dapat ditetapkan dari


awal tergantung dari hasil Pendataan PIS-PK, Survey Cepat dan data sekunder
lainnya (misal:data kemiskinan) sedangkan bentuk intervensi dan siapa yang akan
melakukan intervensi tergantung dari permasalahan yang ada dan disesuaikan

22
dengan Tupoksi dari masing-masing Sektor serta kesepakatan masyarakat. Secara
rinci akan dijabarkan ke dalam bentuk matriks (lampiran1).

Untuk tahun 2018 direncanakan akan dilakukan pendampingan selama 6


bulan dengan 4 kali kunjungan. Selanjutnya pada bulan ke-tujuh akan dilakukan
evaluasi kembali untuk mengetahui bagaimana proses pelaksanaan Model Integrasi
Lintas Sektor dalam Upaya Penurunan Stunting serta indikator spesifik dan indikator
sensitif mana saja yang sudah mengalami perubahan (lampiran 2).

Sampel untuk Studi Kualitatif :


Informan di Tingkat Kabupaten :
- Bupati/Wakil Bupati
- Sekretariat Daerah
- Asisten Daerah Bidang Kesra
- Kepala Dinas Kesehatan dan penanggung jawab program di Dinas Kesehatan
Kabupaten Tasikmalaya
- Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan
- Kepala Dinas PU dan Tata Ruang Pemukiman
- Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman
- Kepala Bappeda
- Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
- Kepala Dinas Pertanian
- Kepala Kantor Agama
- Kepala Dinas Sosial
- Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Perlindungan Anak dan KB
- Kepala Dinas Industri dan Perdagangan
Informan di Tingkat Kecamatan :
- Camat, Sekcam, Kasubag Pemerintahan, Kasi Pembangunan di wilayah intervensi
- Kepala Puskesmas, PJ Program, Tenaga Kesehatan, Pembina Wilayah di wilayah
intervensi
- Penyuluh Pertanian/Pangan, Pengawas Sekolah, Penyuluh Agama, Penyuluh KB,
Pendamping PNPM, Pimpinan PAUD, LSM di wilayah intervensi
Informan di Tingkat Desa dan Masyarakat
- Kepala Desa, Sekdes, Kaur Pemerintahan, Kaur Pembangunan, Kadus, Pamong,
BPD dan PKK di wilayah intervensi

23
- Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Kader Kesehatan, Tim PKK di wilayah
intervensi
- Keluarga yang memiliki Balita, anak, remaja atau Ibu Hamil atau WUS di
wilayah intervensi

2.6. Variabel dan Definisi Operasional


Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini adalah penelitian
operasional berupa pendampingan kepada Pemerintah Daerah (tingkat Kabupaten,
kecamatan dan desa serta masyarakat di ke-5 lokus penurunan masalah Stunting di
Kabupaten Tasikmalaya yang akan dilakukan selama 3 tahun (tahun 2018-2020). Oleh
karena itu dalam rangka mencapai kerangka pikir yang digunakan dalam penelitian ini
adalah berdasarkan pada Input, Proses dan Output.

Variabel Dependen Definisi Operasionel

Prevalensi Stunting Besaran masalah stunting pada Balita per masing-


masing desa

Variabel Independen Definisi Operasionel

Program dan Kegiatan Jenis program dan kegiatan yang ada di dalam DPA
masing-masing SKPD termasuk anggarannya

Capaian indikator spesifik Capaian dari indikator di sektor kesehatan

Capaian indikator sensitif Capaian dari indikator di sektor non kesehatan

Komitmen Lintas Sektor Janji atau Kesepakatan dari semua sektor untuk bekerja
secara bersama-sama sesuai dengan tupoksinya yang
dituangkan dalam sebuah SK atau Peraturan Bupati

Kesepakatan Bersama dalam Diperolehnya kesepakatan terkait penetapan lokus dan


penetapan lokus dan target target sasaran program dan kegiatan secara bersama
sasaran berdasarkan pada lokus daerah tinggi stunting

Partisipasi masing-masing sektor Keterlibatan secara aktif dari setiap sektor dalam
kegiatan upaya penurunan stunting sesuai tupoksi
masing-masing

24
Partisipasi Masyarakat Keterlibatan secara aktif dari masyarakat dalam
berbagai upaya pencegahan masalah stunting

Proses Komunikasi, Koordinasi Bagaimana proses komunikasi, koordinasi dan


dan Kolaborasi kolaborasi yang dibangun oleh Tim dalam upaya
penurunan masalah stunting

Monitoring dan Evaluasi Proses pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap


upaya apa saja yang dilakukan untuk melakukan
komunikasi, koordinasi dan kolaborasi yang dilakukan
oleh Tim penurunan masalah stunting

Keberhasilan Kampung Gizi Keberhasilan Kampung Gizi yang dinilai dengan


terjadinya komunikasi, koordinasi dan kolaborasi dari
semua sektor terkait upaya penurunan masalah stunting
serta terjadinya perubahan positif dari indikator
spesifik dan sensitif

Draft Pedoman Model Integrasi Draft pedoman yang berisi tentang langkah-langkah
Lintas Sektor dalam upaya yang harus diikuti dan dilaksanakan terkait
penurunan masalah stunting perlaksanaan komunikasi, koordinasi dan kolaborasi
lintas sektor dalam upaya menurunkan masalah
stunting

Status Ekonomi Status ekonomi keluarga yang dibagi dalam kuintil


1,2,3,4, dan 5 (sumber data : BPS)

Status Kemiskinan Status kemiskinan keluarga apakah termasuk keluarga


miskin dan tidak miskin (sumber data : Dinsos)

Status Rawan Pangan Status ketahanan pangan keluarga

Status pekerjaan Status pekerjaan dari responden

Status Pendidikan Status pendidikan dari responden

Status Merokok Status merokok responden

25
Status rumah sehat Status rumah yang ditinggali keluarga

Status akses air bersih Akses keluarga terhadap air bersih

Status akses ke Yankes Pengethauan keluarga terhadap akses ke Yankes

Tingkat Pengetahuan Tingkat pengetahuan ibu terhadap pengasuhan anak

Status Kehamilan Status kehamilan responden umur 10-59 tahun

Status Gizi Status gizi seluruh anggota keluarga berdasarkan


pengukuran antropometri

Paritas Jumlah kelahiran dari responden perempuan umur 10-


59 tahun

Status Keseahatan Status kesehatan berdasarkan pengakuan responden

Status Imunisasi Status imunisasi dasar responden Balita

PMT Makanan tambahan pabrikan yang diberikan oleh


pemerintah

KEK Kurang energi kronis yang dialami responden umur 10-


59 tahun

ANC Pemeriksaan kehamilan yang dilakukan responden


selama hamil

Tablet Tambah Darah Tablet tambah darah yang diterima dan diminum oleh
responden

Kelas Ibu Kegiatan kelas ibu yang ada di masing-masing desa

Buku KIA Kepemilikan buku KIA oleh ibu hamil dan balita

Konsumsi Garam Beryodium Jenis garam yang dikonsumsi oleh keluarga

Persalinan di Faskes Tempat persalinan yang digunakan oleh ibu bersalin

Konsumsi Vitamin A Pemberian kapsul vitamin A pada bayi 6 bulan dan


Balita

26
Pemantauan Pertumbuhan Frekuensi penimbangan berat badan Balita

Pemantauan Perkembangan Frekuensi pemantauan perkembangan Balita

Pelayanan KN1 Pelayanan kesehatan yang diberikan pada bayi baru


lahir selama periode 6 jam sampai 48 jam setelah
melahirkan

PMBA Praktek pemberian makan pada bayi dan anak

Obat cacing Frekuensi pemberian obat cacing pada Balita

Perilaku penggunaan air bersih Perilaku sehari-hari responden dalam penggunaan air
bersih

Perilaku penggunaan Jamban Perilaku sehari-hari responden dalam penggunaan


Sehat Jamban

KB Kepersertaan responden (perempuan 10-59 tahun)


dalam program KB

PKH Kepersertaan keluarga dalam program Keluarga


Harapan

KRPL Kepersertaan keluarga dalam program KRPL dari


Badan Ketahanan Pangan

PAUD Kepersertaan anak usia 3-5 tahun dalam program


PAUD

PHBS Status responden dalam praktek PHBS

Pemilihan Lokus Dasar pemilihan tempat dan traget sasaran program dan
kegiatan dari masing-masing sektor

Komitmen Bersama Penetapan Kesepakatan bersama dari seluruh sektor terkait dalam
Lokus dan Target sasaran peneapan lokus dan target sasaran program

Program dan Kegiatan SKPD Jenis program dan kegiatan dari masing-masing SKPD
terkait

27
Partisipasi lintas sektor dan Tingkat pasrtisipasi masing-masing sektor dan
Partisipasi Masyarakat masyarakat dalam upaya penurunan stunting

2.7. Metode Pendampingan


“Kampung Gizi” adalah merupakan suatu gerakan yang melibatkan integrasi
lintas sektor dan peran serta masyarakat dalam upaya penanggulangan masalah stunting
pada Balita. Kegiatan utama yang akan dilakukan pada “Kampung Gizi” adalah upaya
integrasi dan kolaborasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program serta kegiatan antar
lintas sektor, pemberdayaan, dan peningkatan peran serta masyarakat dalam upaya
penurunan masalah stunting. Kegiatan “Kampung Gizi” diharapkan dapat meningkatan
akses dan kualitas pelayanan kesehatan, akses kebutuhan pangan, akses sanitasi yang baik
, ketersediaan jamban sehat dan sarana air bersih, dan akses dalam peningkatan ekonomi
terutama pada keluarga-keluarga yang kurang mampu dan memiliki ibu hamil dan ibu
menyusui yang menderita KEK, bayi, balita, anak dan remaja yang menderita stunting
dan kurang gizi. Apabila akses-akses tersebut dapat terpenuhi maka diharapkan dapat
menurunkan masalah stunting. Kolaborasi Lintas Sektor terkait kegiatan “Kampung Gizi”
disesuaikan dengan tupoksi masing-masing sektor.
Pendampingan akan dilakukan oleh Tim Peneliti Badan Litbang Kesehatan dan
juga melibatkan Penanggung Jawab Program di Pusat (Kementerian Kesehatan,
Kementerian Pertanian (BKP), Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Bina Bangda, Ditjen
Bina Pemdes), Kementerian Desa (Ditjen PPMD ), dan TNP2K) dan di tingkat Propinsi
(Dinas Kesehatan, Dinas Pertanian/Badan Ketahanan Pangan ).

Jenis Kegiatan yang akan Dilakukan Selama Masa Pendampingan :


a. Di Tingkat Kabupaten
1. Melakukan Sosialisasi terkait permasalahan Stunting dan bagaimana solusinya
dengan sasaran Sektor Pertanian-Perikanan dan Ketahanan Pangan, Sektor
Kesehatan, Sektor Pemberdayaan dan Peran Serta Masyarakat, Sektor Pendidikan,
Sektor Agama, Sektor PU-Tarkim, dan Sektor Ekonomi di Pemerintahan Tingkat
Kabupaten, Kecamatan, Desa dan Masyarakat. Tujuan dilakukannya sosialiasi ini
adalah diperolehnya pemahaman yang sama dari seluruh sektor terkait dan
masyarakat tentang rencana penanggulangan masalah Stunting melalui “Kampung
Gizi”

28
2. Melakukan identifikasi program dan kegiatan yang ada di masing-masing SKPD
yang terkait dengan upaya penurunan masalah stunting
3. Melakukan identifikasi permasalahan gizi-kesehatan masyarakat berdasarkan hasil
pendataan keluarga sehat, survey status gizi-kesehatan dan status rawan pangan di
ke-lima desa intervensi.
4. Melakukan sosialisasi dan advokasi terkait hasil identifikasi masalah di poin 3 dan
4 kepada seluruh sektor terkait.
6. Membuat komitmen dan kesepakatan bersama dalam penetapan lokus dan target
sasaran program dan kegiatan bersama antar lintas sektor, termasuk upaya
intervensi yang akan dilakukan serta saling berkoordinasi dan bekerjasama dalam
melakukan intervensi sesuai dengan tupoksi masing-masing SKPD.
7. Agar proses Komunikasi, Koordinasi dan Kolaborasi/Kerjasama lintas sektor
dalam upaya penurunan masalah stunting bisa optimal dan berjalan efektif maka
perlu dibuat Peraturan Bupati tentang Tim Penanggulangan masalah Stunting di
daerah sebagai payung hukum dan wadah untuk melakukan koordinasi dan
kolaborasi antar lintas sektor dalam upaya penurunan masalah stunting sesuai
dengan tupoksi masing-masing sektor. Tim Penanggulangan Stunting ini langsung
di bawah koordinator Wakil Bupati dan Sekretaris Daerah.
b. Di Tingkat Kecamatan
Pendampingan di tingkat kecamatan bertujuan untuk meningkatkan masyarakat
untuk mendapatkan 5 Akses ( akses pelayanan kesehatan berkualitas akses Pendidikan
(edukasi gizi dan kesehatan), akses kebutuhan pangan, sanitasi, jamban dan sumber air
bersih yang baik serta akses ekonomi). Selain itu hal yang sangat penting untuk
dilakukan adalah bagaimana upaya memberdayakan dan meningkatkan peran serta
aktif masyarakat dalam hal pemenuhan ke 5 akses tersebut.
Jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan di tingkat kecamatan antara lain adalah :
1. Diawali dengan Sosialisasi terkait permasalahan Stunting termasuk penyebab,
dampak, strategi dan rencana upaya penurunan masalah Stunting
2. Melakukan Kalakarya di Tingkat Kecamatan terkait strategi dan rencana intervensi
penurunan masalah Stunting yang akan melibatkan lintas sektor, mitra
pembangunan dan masyarakat.
3. Dibuatnya komitmen bersama terkait pelaksanaan intervensi termasuk penetapan
indikator keberhasilan serta bagaimana proses monitoring dan evaluasinya.

29
4. Komitmen bersama tersebut akan dituangkan dalam bentuk SK Camat agar dapat
digunakan sebagai landasan atau dasar dalam melakukan upaya penurunan
masalah stunting.
c. Di Tingkat Desa dan Masyarakat
Sama halnya dengan apa yang dilakukan di tingkat kecamatan maka
pendampingan di tingkat desa dan masyarakat juga bertujuan untuk meningkatkan
masyarakat untuk mendapatkan 5 Akses ( akses pelayanan kesehatan berkualitas akses
Pendidikan (edukasi gizi dan kesehatan), akses kebutuhan pangan, sanitasi, jamban dan
sumber air bersih yang baik serta akses ekonomi). Pendampingan akan dilakukan baik
pada aparat pemerintah desa maupun kepada masyarakat langsung terutama pada
keluarga-keluarga yang kurang mampu dan memiliki ibu hamil dan ibu menyusui yang
menderita kurang gizi (KEK), bayi dan balita yang memiliki masalah gizi, baik
underweight, stunting maupun wasting.
Jenis-jenis kegiatan yang akan dilakukan di tingkat desa antara lain adalah :
1. Diawali dengan sosialisasi terkait rencana kegiatan penelitian
2. Melakukan Survey gizi-kesmas dan Survey Rawan Pangan.
3. Melakukan sosialisasi tentang masalah stunting termasuk apa yang dimaksud
dengan stunting, penyebab, dan dan dampak yang ditimbulkan.
4. Melakukan SMD dan MMD di ke-5 desa intervensi terkait upaya apa yang akan
dilakukan menurunkan masalah stunting. int
5. Pembentukan kelompok-kelompok target sasaran berdasarkan 8 kelompok
intervensi.
6. Selanjutnya masing-masing sektor terlibat aktif untuk melakukan intervensi
kepada ke-delapan kelompok sasaran sesuai dengan tupoksi masing-masing sektor.

Berikut ini peranan dan kontribusi yang diharapakan dari masing-masing sektor
sesuai dengan tupoksi yang mereka miliki dalam upaya penurunan masalah stunting :
1. DINAS KETAHANAN PANGAN DAN PERIKANAN
a. Pengembangan “Kebun Gizi” kepada Kelompok-kelompok keluarga miskin atau
rawan pangan.
- Pemberian Paket stimulan pembuatan “Kebun Gizi” terdiri dari satu paket
tanaman sayuran hidroponik yang berisi 180 lubang bibit sayuran dan satu
paket budidaya ikan lele menggunakan kolam terpal dengan jumlah 2000 ekor

30
bibit lele ukuran 7-9 cm dengan ukuran kolam 20 m2. Diharapkan dalam waktu
3 bulan “Kebun Gizi” sudah dapat dipanen.
- Memberikan pendampingan bagaimana cara menanam sayuran dan
pemeliharaan ikan yang baik sehingga dapat digunakan sebagai salah satu
sumber vitamin dan protein bagi kelompok-kelompok keluarga miskin atau
rawan pangan. Apabila ada kelebihan hasil budidaya dapat dijual di “Warung
Gizi” sebagai salah satu sumber penghasilan bagi keluarga
2. DINAS PERTANIAN
a. Pemberdayaan Kelompok-kelompok Keluarga miskin atau rawan pangan melalui
Pengembangan Budidaya Pohon Kelor.
- Pemanfaatan lahan pertaninan yang kurang produktif untuk penanaman pohon
Kelor
- Pembinaan cara budidaya pohon kelor sebagai salah satu sumber vitamin dan
mineral bagi keluarga dan sumber penghasilan
3. DINAS KOPERASI, UKM DAN TENAGA KERJA DAN BAGIAN KESRA
a. Pemberdayaan ekonomi kelompok-kelompok keluarga miskin atau rawan pangan
dengan cara pemberian modal usaha dan pembinaan Pengembangan “Warung
Gizi” untuk menampung kelebihan hasil budidaya tanaman sayuran dan pohon
kelor serta budidaya ikan
4. DINAS KESEHATAN
a. Optimalisasi Program Yankes
- Pelaksanaan PIS-PK
- Pelaksanaan Manajemen Puskesmas
b. Optimalisasi Program KIA
- Pengembangan Surveilans KIA
- Peningkatan cakupan ANC
- Peningkatan cakupan Linakes dan PF
- Pengembangan Rumah Tunggu Kelahiran
- Peningkatan cakupan KN1-KN lengkap
- Peningkatan cakupan pemberian dan konsumsi TTD pada ibu hamil dan remaja
- Peningkatan pelaksanaan MTBS
- Pendampingan Buku KIA
- Pemberdayaan Bidan dan Bidan di Desa

31
c. Optimalisasi Program Gizi
- Pelaksanaan Surveilans Gizi (reposisi Posyandu, pemantauan pertumbuhan
dan perkembangan, monitoring dan evaluasi program gizi)
- Peningkatan cakupan IMD
- Peningkatan cakupan ASI Ekslusif
- Peningkatan cakupan PMBA
- Peningkatan cakupan TTD ibu hamil dan remaja puteri
- Peningkatan cakupan Vitamin A
- Peningkatan cakupan Garam beryodium
- Peningkatan cakupan PMT Balita Kurus
- Peningkatan cakupan PMT Bumil KEK
- Pemberdayaan Tenaga Pelaksana Gizi (TPG)
- Program Pemberian Makanan Tambahasan berbasis pangan lokal
d. Optimalisasi Program Kesling
- Peningkatan cakupan rumah sehat (sanling, air bersih dan jamban sehat)
- Peningkatan cakupan STBM
e. Optimalisasi Program Promkes
- Peningkatan cakupan PHBS
- Edukasi gizi dan kesehatan Strategi dan alat edukasi
- Pemberdayaan masyarakat SMD/MMD
- Advokasi Dinkes Prov mendampingi Dinkes Kab (asistensi) utk melakukan
advokasi kepada Pemda melalui Dana Dekon
- Kampanye melalui tiga saluran media
f. Optimalisasi Program P2P
- Peningkatan cakupan obat cacing
- Imunisasi Balita dan ibu hamil
g. Optimalisasi Program BPJS
5. DINAS PU PR, DINAS PRKP DAN PAMSIMAS
- Penyediaan sarana air bersih dan jamban sehat bagi kelompok-kelompok keluarga
miskin atau rawan pangan
- Peningkatan Kualitas Sanitasi Lingkungan di 5 Desa intervensi
6. DINAS SOSIAL
- Optimalisasi Program PKH pada keluarga-keluarga miskin atau rawan pangan

32
7. KEMENAG
- Integrasi Program CATIN dengan Program 1000 HPK
- Pembinaan pondok pesantren
- Pemberdayaan Penyuluh Agama
- Pemberian TTD dan Edukasi gizi dan kesehatan reproduksi kepada santriwati
8. DINAS PMD, PA & KB
- Penggunaan ADD untuk kesehatan
- Reposisi Posyandu
9. DINAS PENDIDIKAN
- Pemberian edukasi gizi dan kesehatan pada siswa SD, TK dan PAUD dengan cara
melatih para pengajar PAUD dan Sekolah Taman Kanak-kanak tentang gizi dan
kesehatan bekerjasama dengan Dinas Kesehatan
- Pengembangan “Kebun Gizi” di SD, TK dan PAUD
- Progas (Program gizi anak sekolah)
10. ORMAS DAN TOMA
- Sosialiasi dan Pemberdayaan Masyarakat terkait Program-program Kesehatan
termasuk pencegahan stunting melalui 1000 HPK
11. PERGURUAN TINGGI
- Komitmen lokus PKL di 5 Desa Intervensi
12. MITRA PEMBANGAN DAN UN
- Supproting Technical Asissten dari FAO dalam upaya Pengembangan Kampung
Gizi
2.8. Metode Pengumpulan Data
Ada 2 cara pengumpulan data dalam penelitian ini, yaitu :
a. Kuantitatif
Pengumpulan data kuantitif akan menggunakan metode Survey cepat di masing-
masing desa pendampingan.
 Pengumpulan data primer kepada masyarakat dan data sekunder di masing-
masing SKPD terkait akan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pada saat awal
(sekitar bulan Juli) dan setelah 4 bulan pendampingan (sekitar bulan
Nopember).
 Pengumpulan data primer akan menggunakan kuesioner terstruktur yang akan
dilakukan oleh mahasiswa poltekes selama 5 hari

33
 Pengumpulan data sekunder akan menggunakan formulir listing yang akan
dilakukan oleh Tim Peneliti
b. Kualitatif
Pengumpulan data kualitatif akan menggunakan metode wawancara mendalam dan
diskusi kelompok terarah
Wawancara mendalam akan dilakukan terhadap informan di tingkat Kabupaten,
kecamatan dan desa sedangkan diskusi kelompok terarah akan dilakukan di tingkat
masyarakat.
2.9. Prosedur Kerja
1) Tahap Persiapan
a. Pembentukan tim peneliti
b. Penyusunna protokol penelitian
c. Pengadaan sarana dan bahan penelitian
d. Persiapan administrasi, etik dan ijin penelitian
e. Penyusunan kuesioner dan pedoman wawancara
f. Uji coba kuesioner dan pedoman wawancara
2) Tahap Pelaksanaan
a. Persiapan lapangan (izin Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten dan ke
Kesbangpol Kabupaten)
b. Sosialisasi ke Pemda Kab Tasikmalaya (Bupati/wakil Bupati)
c. Sosialisasi ke masing-masing sektor terkait
d. Sosialisasi ke Camat, Kepala Puskesmas, dan Kepala Desa
e. Sosialisasi ke masyarakat
f. Wawancara mendalam kepada Pimpinan Daerah dan kepala SKPD terkait
g. Diskusi kelompok terarah dengan Tokoh masyarakat dan Masyarakat
h. Melakukan survey cepat untuk mendapatkan status gizi-kesehatan dan status
rawan pangan indikator spesifik dan sensitif sertadi 5 desa ntervensi
i. Mengumpulkan data sekunder terkait indikator spesifik dan sensitif
j. Melakukan Pendampingan di tingkat Kabupaten, kecamatan, desa dan
masyarat
3) Tahap Pelaporan
a. Penyusunan laporan
b. Diseminasi
c. Pembuatan Pedoman
34
2.10. Manajemen Data dan Analisis Data
1) Data Kuantitatif
Eumerator untuk pengumpulan data kuantitatif adalah mahasiswa Poltekes
Tasikmalaya yang akan diberikan pelatihan selama 2 hari. Pada saat proses
pengumpulan data akan disupervisi Tim Peneliti.
Selanjutnya hasil wawancara akan dilakukan editing dan entry oleh enumerator
dan dilakukan cleaning dibawah pengawasan Tim Peneliti.
Data hasil wawancara dan data sekunder akan dianalisis oleh Tim Peneliti
untuk dapat menggambarkan permasalahan apa saja yang ada termasuk
menidentifikasi kontribusi intervensi spesifik dan sensitif melalui besarnya
alokasi anggaran dan kegiatan di masing-masing program dan sektor dalam upaya
penurunan masalah Stunting. Selanjutnya akan dibuat semacam pemetaan masalah
yang nantinya akan disampaikan kepada seluruh terget sasaran pendampingan
melalui sosialisasi hasil identifikasi masalah kepada seluruh sektor terkait.
2) Data Kualitatif
Hasil wawancara mendalam dan diskusi kelompok terarah akan dibuat transkrip
dan matrik yang selanjutnya akan dilakukan analisis secara substansi dan akan
digunakan sebagai penguatan dalam rencana intervensi program dan kegiatan
dalam upaya penurunan masalah stunting.

2.11. Pertimbangan Etik


Penelitian ini bukan penelitian klinis sehingga tidak ada pengamblan spesimen
darah atau lainnya kepada obyek manusia maupun binatang. Metode pengumpulan data
hanya menggunakan cara wawancara kepada keluarga dan wawancara mendalam/diskusi
kelompok terarah kepada informan. Oleh karena itu sebelum dilakukan wawancara akan
diberikan penjelasan dalam bentuk nasakah PSP (Persetujuan Setelah Penjelasan) tentang
maksud dan tujuan wawancara serta berapa lama waktu yang diperlukan termasuk
kompensasi yang akan diterima oleh responden. Setelah memperoleh Informed Consent
dari responden maka proses wawancara akan mulai dilakukan.
Sebelum melakukan proses pengumpulan data maka akan diusulkan persetujuan
etik kepada Komisi Etik Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kemenkes RI.

35
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Gambaran wilayah penelitian


3.1.1. Gambaran Umum Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Barat
,Indonesia dengan ibukotanya adalah Singaparna , sekitar 380 km sebelah tenggara
Jakarta. Kabupaten Tasikmalaya secara geografis terletak di antara 7º02’29’’ dan
7º49’08’’ Lintang Selatan serta 107º54’10’’ dan 108º25’42’’ Bujur Timur, dengan batas-
batas wilayah :
- Sebelah Utara : Kabupaten Ciamis dan Kota Tasikmalaya
- SebelahTimur : Kabupaten Ciamis
- SebelahSelatan : Samudra Indonesia
- SebelahBarat : Kabupaten Garut

Gambar 8. Peta Wilayah Kabupaten Tasikmalaya


Wilayah Kabupaten Tasikmalaya memiliki ketinggian berkisar antara 0 – 2.500
meter di atas permukaan laut (dpl). Secara umum wilayah tersebut dapat dibedakan
menurut ketinggiannya, yaitu : bagian Utara merupakan wilayah dataran tinggi dengan
ketinggian berkisar antara 1.000 – 2.500 meter dpl dan bagian Selatan merupakan wilayah
dataran rendah dengan ketinggian berkisar antara 0 – 100 meter dpl. Sebagian kecil

36
wilayahnya yaitu 0,81 % berada pada ketinggian diatas 1.500 m, keadaan iklim umumnya
bersifat tropis dan beriklim sedang dengan rata - rata suhu di dataran rendah antara 20°-
34° C dan di dataran tinggi berkisar 18°-22° C. Curah hujan rata -rata 2,072 mm/tahun,
jumlah hari hujan rata -rata 82 hari. Wilayah administrasi pemerintahan Kabupaten
Tasikmalaya terdiri dari : Secara Administratif wilayah Pemerintah Kabupaten
Tasikmalaya terdiri dari 39 Kecamatan dan 351 Desa, dengan luas wilayah 270.879 Km2.

Demografi
Jumlah penduduk Kabupaten Tasikmalaya berjumlah 1.733.222 jiwa, dengan
tingkat kepadatan penduduk rata-rata 637 jiwa/Km2. Terdiri dari penduduk laki-laki
sebanyak 883.122 jiwa dan perempuan sebanyak 850.100 jiwa . Apabila dibandingkan
dengan jumlah penduduk tahun 2016 terdapat kenaikan sebesar 25.986 jiwa (1,5%).
Luas wilayah kecamatan yang kurang sebanding dengan jumlah penduduk di
Kabupaten Tasikmalaya berdampak pula pada persebaran penduduk. Luas wilayah yang
tidak bertambah sedangkan jumlah penduduk dari tahun ketahun terus mengalami
peningkatan menyebabkan kepadatan penduduk menjadi bertambah padat, dengan jumlah
penduduk Kabupaten Tasikmalaya sebanyak 1.733.222 yang terdiri dari 883.122 laki-laki
dan 850.100 perempuan beberapa Kecamatan yang luasnya tidak sebanding dengan
jumlah penduduk diantaranya : Kecamatan Bojonggambir, Cipatujah, Karangjaya serta
Pancatengah.
Kepadatan penduduk Kabupaten Tasikmalaya setiap tahun cenderung terus
meningkat, dengan rata-rata kepadatan penduduk untuk tahun 2015 sebesar 618 jiwa/Km2,
untuk tahun 2016 sebesar 600 jiwa/Km2 sedangkan untuk tahun 2017 kepadatan penduduk
dengan bertambahnya jumlah penduduk sebanyak 25.986 jiwa rata-rata apabila
dibandingkan dengan kepadatan penduduk tahun-tahun sebelumnya tidak mengalami
perubahan yang sangat berarti.
Seperti pada tahun-tahun sebelumnya pesebaran penduduk di Kabupaten
Tasikmalaya tidak merata, dengan demikian kepadatan penduduk per kecamatanpun tidak
merata. Penyebaran penduduk di Kabupaten Tasikmalaya masih didominasi oleh
Kecamatan-kecamatan di sekitaran Wilayah Ibu Kota kemudian diikuti oleh Kecamatan
di wilayah Tasikmalaya Utara diantaranya Ciawi dan Rajapolah. Kecamatan dengan
kepadatan penduduk tertinggi masih tetap sama seperti tahun-tahun yang lalu yaitu
Kecamatan Singaparna dengan kepadatan penduduk sebesar 2.691 jiwa/Km2, hal ini dapat
dimaklumi karena Kecamatan Singaparna merupakan ibu kota Kabupaten Tasikmalaya,

37
sedangkan yang terendah kepadatan penduduknya adalah Kecamatan Pancatengah yaitu
221 jiwa/Km2.

Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2008 sebesar 4,02
terjadi penurunan sebesar 0,31% sedangkan untuk tahun 2009 Laju Pertumbuhan Ekonomi
sebesar 4,15%, untuk tahun 2010 sebesar 4,27% sedangkan untuk tahun 2011 sebesar
4,32% ada kenaikan sebesar 0.05% apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan bisa dilihat pada tabel 2 tentang laju pertambahan ekonomi selama
kurun waktu 4 (empat) tahun.
Tabel 2.
Tingkat Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi
Kab. Tasikmalaya dengan Jawa Barat
2008 – 2011
L P E (%)

TAHUN TASIKMALAYA WIL.PRIATIM JABAR Ket

2008 4,02 - -

2009 4,15 - 6,12

2010 4,27 - 6,20

2011 4,32 - 6,48

Sumber :RJPMD Kab. Tasikmalaya

Dari tabel di atas terlihat bahwa selama periode 2008-2011 laju pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Tasikmalaya secara umum masih terlihat di bawah LPE Jawa Barat.
Gambaran Pendapatan perkapita atau Product Domestik Regional Bruto (PDRB)
Kabupaten Tasikmalaya dapat dilihat pada tabel berikut.

38
Tabel 3.
Product Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga Berlaku Kab.
Tasikmalaya dan Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2011- 2014

PDRB (Rp.)
No Tahun
Berlaku perkapita

1 2011 17,56 10,33


2 2012 19,03 11,13
3 2013 21,31 12,39
4 2014 23,42 13,55
5 2015
6 2016
Sumber : PDRB BPS Kabupaten Tasikmalaya

Angka Pendapatan Perkapita diperoleh dengan cara membagi PDRB dengan


jumlah penduduk pertengahan tahun. PDRB Kabupaten Tasikmalaya terlihat kecenderung
terus mengalami kenaikan untuk tahun 2009 dari jumlah 6.942.553,00 menjadi
7.384.790,88 (2010) dan untuk tahun 2011 berjumlah 8.211.479,85, meskipun demikian
kenaikan PDRB Kabupaten Tasikmalaya masih berada dibawah kenaikan Provinsi Jawa
Barat yang mencapai 15,28%. Besarnya pendapatan per kapita tersebut masih jauh dari
besarnya pendapatan Propinsi Jawa Barat. Bila pendapatan per kapita tersebut dikonversi
dalam dollar Amerika, maka pendapatan perkapita Kabupaten Tasikmalaya besarnya
dibawah US$ 500, sedangkan Provinsi Jawa Barat sudah diatas US$ 500.

Gambar 9
Prosentase Kenaikan PDRB Per Tahun
di Kabupaten Tasikmalaya dari Tahun 2011 s/d 2014
1355.00%
1400.00%
1239.00%
1200.00% 1113.00%
1033.00%
1000.00%

800.00%

600.00%

400.00%

200.00%

0.00%
2011 2012 2013 2014

39
Dengan kenaikan pendapatan per kapita ini mencerminkan bahwa pertumbuhan
ekonomi Kabupaten Tasikmalaya dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk,
sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Adanya kenaikan
PDRB atas dasar harga konstan 2009 walau dalam persentase tidak begitu besar itu
mengindikasikan bahwa pendapatan masyarakat mengalami peningkatan searah dengan
keberhasilan disegala sektor. Adapun data terakhir PDRB Kabupaten Tasikmalaya untuk
tahun 2007 berdasarkan harga berlaku Rp. 9.360.909,63 naik sebesar 17,05% dari tahun
2006. Untuk tahun 2009, PDRB Kabupaten Tasikmalaya atas dasar harga berlaku adalah
Rp. 6.942.553,00 tahun 2010 sebesar Rp. 7.621.947,57 sedangkan untuk tahun 2011
sebesar Rp. 8.167.499,46 berikut dibawah ini PDRB Kabupaten Tasikmalaya sejak tahun
2007 hingga tahun 2011

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2008 -


2012, dapat dilihat pada tabel 2.3 dan gambar 2.9 berikut ini. Dari tabel 2.3 tampak bahwa
meskipun berfluktuasinya trend pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya, namun pada
umumnya terdapat peningkatan kuantitas pendidikan sejak dari SD ke jenjang yang lebih
tinggi yaitu ke tingkat SLTA terjadi kenaikan rata-rata sebesar 10%.
Untuk tingkat pendidikan setingkat Akademi & Universitas di Kabupaten
Tasikmalaya sampai dengan saat ini kita masih menggunakan data tahun 2012 karena data
yang kita perlukan tidak tersedia di Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya. Berikut
dibawah dapat dilihat persentase tingkat pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya selama
tahun 2008 sampai dengan tahun 2012 tanpa perguruan tinggi.
Tahun 2014 tingkat pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya tidak bisa kami
tampilkan sedangkan untuk tahun 2015 tingkat pendidikan belum sekolah : 318.493 orang
belum tamat SD berjumlah 159.448, SD/Sederajat : 773.205, SMP/Sederajat : 239.063,
SMA /Sederajat 147.090 Diploma I & II : 4.621, Diploma III : 6.197, Diploma IV/Strata I
berjumlah : 24.944 orang Strata 2 : 1.294 dan Strata 3 berjumlah 107 orang.

40
Gambar 10
Persentase Tingkat Pendidikan di Kabupaten Tasikmalaya
Tahun 2008-2012 (Dalam Persen)

Salah satu indikator sektor pendidikan yang berperan dalam Indek Pembangunan
Manusia (IPM) adalah angka melek huruf, angka melek hurup yang didefinisikan menurut
Dinas Pendidikan Kabupaten Tasikmalaya adalah jumlah penduduk yang buta aksara dan
telah mengikuti pelatihan/kursus baca tulis baik huruf latin maupun huruf lainnya.
Angka Melek Huruf (AMH) Kabupaten Tasikmalaya sejak 5 (lima) tahun
terakhir terus terjadi peningkatan untuk tahun 2010 sebesar 99,14 tahun 2011 sebesar
99,15 tahun 2012 sebesar 99,22, sedangkan untuk tahun 2013 angka melek hurup sebesar
99,26. Angka melek huruf Kabupaten Tasikmalaya untuk tahun 2014 sebesar 99,24.
Sedangkan untuk tahun 2015 angka melek hurup (AMH) sebesar 99,25
Gambar 11
Grafik Kecenderungan Angka Melek Huruf (AMH)
Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2011 s/d 2015
99.26
99.24
99.22
99.2
99.26
99.18
99.16 99.24 99.25
99.22
99.14
99.12 99.15
99.1
99.08
2011 2012 2013 2014 2015

Sumber : IPM Kab Tasikmalaya Tahun 2015

41
Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Tenaga Kerja Kabupaten
Tasikmalaya , terdapat 915.948 orang yang bekerja di berbagai sektor. Tiga terbesar mata
pencaharian yaitu petani (34,81%), buruh tani (30,08%) dan buruh swasta (10,76%).
Terdapat sebanyak 376.045 jiwa (21,75%) penduduk miskin dan sebagian bersar bekerja
sebagai buruh tani .
Sektor pertanian merupakan sektor penyedia lapangan kerja terbesar yaitu sekitar
43,22 persen kesempatan kerja berasal dari sektor pertanian, diikuti perdagangan
(24,75%) dan jasa (11,08%). Sektor pertanian merupakan penyedia utama kebutuhan
pangan masyarakat juga menyediakan pasar yang sangat besar untuk produk manufaktur
karena jumlah penduduk perdesaan yang besar dan terus mengalami peningkatan . Dengan
demikian, sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang paling efektif untuk
mengentaskan kemiskinan di wilayah perdesaan melalui peningkatan pendapatan mereka
yang bekerja di sektor pertanian. Komoditas unggulan sektor pertanian Kabupaten
Tasikmalaya yang sudah berorientasi ekspor antara lain: Padi Organik (SRI) dengan sentra
di 7 (tujuh) Kecamatan. (Sukaresik, Cisayong, Sukaraja, Manonjaya, Cineam, Sukahening
dan Salawu), Manggis dengan sentra di Puspahiang, Mendong dan Golok Galonggong
Manonjaya. Sedangkan pada sektor industri adalah kerajinan dengan sentra di Rajapolah
dan bordir dengan sentra di Sukaraja.
3.1.2. Permasalahan Kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat’ (IPKM) adalah pemeringkatan dari
30 indikator yang dikelompokkan menjadi 7 kelompok indikator yaitu 1) Indikator
kesehatan balita, 2) Kesehatan Reproduksi, 3) Pelayanan Kesehatan, 4) Perilaku Sehat, 5)
Penyakit tidak menular ,6) Penyakit Menular, 7) Kesehatan Lingkungan. Selanjutnya
diperhitungkan secara bersama-sama untuk melihat akumulasi status kesehatan
masyarakat di 440 kab/kota yang datanya berasal dari Riskesdas, Susenas dan Survey
Potensi Desa .
Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat atau
IPKM tahun 2013 mempunyai peringkat sangat rendah (0,4595) yaitu peringkat ke 423
dari 497 kabupaten di Indonesia dan peringkat ke 25 dari 26 kabupaten di propinsi Jawa
Barat .
Berdasarkan permasalahan kesehatan balita, kabupaten Tasikmalaya mempunyai
permasalahan gizi balita akut dan kronis yaitu prevalensi balita pendek 41,7 persen,
balita gizi kurang 17,2 persen dan balita kurus 16,2 persen. Faktor penyebab langsung
permasalahan kesehatan balita antara lain tingginya penyakit infeksi pada balita seperti

42
diare 14,65 persen dan ISPA 40,28 persen. Sedangkan penyebab tidak langsung yaitu
faktor kesehatan lingkungan antara lain akses sanitasi 16,11 persen dan akses sumber air
bersih 13,95 persen. Selain itu nilai yang rendah terlihat pada perilaku sehat yaitu
presentase merokok sebesar 55,87 persen, cuci tangan dengan benar 45,48 persen, buang
air besar dengan benar 63,65 persen dan aktifitas fisik 25,35 persen.

3.1.3. Implementasi Program Intervensi Gizi Spesifik dan Intervensi Gizi Sensitif
A. Pencapaian Program Intervensi Gizi Spesifik
Pencapaian program spesifik di peroleh dari data sekunder di Dinas kesehatan
yaitu “Profil Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya tahun 2017” , data status gizi balita
hasil Bulan Penimbangan Balita (BPB) tahun 2017, Laporan Survei Cepat Anemia pada
Ibu Hamil tahun 2015, dan Laporan Survei Cepat Pemantauan Konsumsi Gizi tahun 2013
di Kabupaten Tasikmalaya . Ada 7 indikator yang terkait dengan program spesifik .
Capaian kinerja indikator spesifik pada ibu hamil di kabupaten Tasikmalaya disajikan
pada tabel 4
Tabel 4.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Hamil
di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2017

No Indikaktor Spesifik Capaian (%)

1 Cakupan penerima FE3 pada bumil (90 tablet) 89,2*


2 Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT1 72,4*
3 Cakupan ibu hamil mendapat vaksinasi TT2 69,20*
3 Prevalensi bumil anemia 49,06**
4 Cakupan bumil K1 95,02*
5 Cakupan bumil K4 88,35*
6 Cakupan pengobatan kecacingan Tidak ada data
7 Cakupan ibu hamil KEK mendapat PMT Tidak ada data
Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017
** Survei cepat tahun 2015

Prevalensi anemia gizi pada ibu hamil di Indonesia masih tinggi dan
membutuhkan perhatian yang serius. Penyediaan Tablet Tambah Darah (TTD)
untuk semua ibu hamil setidaknya 90 tablet selama kehamilan telah menjadi
strategi utama untuk mengurangi prevalensi anemia pada ibu hamil sejak tahun

43
1980-an. Pada tabel 4. menunjukkan bahwa cakupan ibu hamil yang mendapat
TTD FE3 (90 tablet) cukup tinggi 89,2 persen, demikian juga pemeriksaan
kehamilan K1 (95,02%) dan K4 (88,35%) namun prevalensi anemia pada ibu
hamil masih tinggi (49,06%)**.
Kemudian cakupan pengobatan kecacingan dan cakupan ibu hamil Kurang
energi kronis (KEK), tidak tersedia datanya. Menurut pengelola program KIA ,
bahwa sejak tahun 2013, kabupaten Tasikmalaya sudah memasuki tahun ke 3
melaksanakan program pemberantasan Filariasis karena termasuk daerah endemis
Filariasis. Program ini ditujukan kepada seluruh penduduk usia > 2 tahun kecuali
wanita hamil. Dengan demikian sudah tidak ada program kecacingan secara
khusus bagi ibu hamil.
Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada ibu Nifas disajikan pada
tabel 5. Terlihat bahwa semua cakupan capaian program mulai dari persalinan
ditolong nakes , neonatal risti yang ditangani , bayi mendapat imunisasi dasar
lengkap, dan KN3, serta ibu nifas mendapat Vitamin A, sudah melebihi 90 persen
atau baik .

Tabel 5.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Ibu Nifas
di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2017

No Indikaktor Spesifik Capaian (%)


1 Cakupan persalinan ditolong nakes 96,7**
2 Cakupan neonatal risti ditangani 100,0*^
3 Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi 92,8*
4 Cakupan kunjungan neonatus 1 (KN1) 87,8*
5 Cakupan kunjungan neonatus 3 (KN3) 97,0*
6 Cakupan pemberian Vit A pada ibu nifas 98,02*
Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017
** Profil Dinas Kesehatan tahun 2015

Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada bayi usia 0-6 bulan meliputi bayi
BBLR, Inisiasi Menyusu Dini, ASI Eksklusif, pemberian vitamin A pada bayi dan
imunisasi dasar bayi disajikan pada tabel 6.

44
Tabel 6.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Bayi Usia 0-6 bulan
di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2015

No Indikaktor Spesifik Capaian (%)


1. Prevalensi bayi BBLR 3,2**
2 Cakupan Inisiasi Menyusui Dini /IMD 60,0**
3 Capaian ASI Eksklusif 60,8**
4 Cakupan Pemberian kapsul vitamin A pada bayi 95,31*
5 Cakupan imunisasi dasar lengkap bayi 93,66*
Sumber data :*Profil Dinas Kesehatan tahun 2017
** Profil Dinas Kesehatan tahun 2015
Inisiasi Menyusu Dini adalah proses bayi menyusu segera setelah dilahirkan, di
mana bayi dibiarkan mencari puting susu ibunya sendiri (tidak disodorkan ke puting susu).
Cakupan Inisiasi menyusu dini (IMD) dan cakupan ASI Eksklusif cukup tinggi yaitu
sekitar 60 persen. Cakupan pemberian kapsul vitamin A pada bayi (96%), demikian juga
cakupan imunisasi dasar pada bayi (92,7%) terlihat sudah baik.
Informasi capaian kinerja indikator spesifik pada anak usia 7-23 bulan meliputi
prevalensi status gizi , pemberian kapsul vitamin A dan balita gizi buruk yang dirujuk
disajikan pada tabel 7.
Tabel 7.
Capaian Kinerja Indikator Spesifik pada Anak Usia 7-23 bulan
di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2015

No Indikaktor Spesifik Capaian (%)


1 Prevalensi balita gizi buruk 0,96**
2 Prevalensi balita gizi kurang 7,6**
3 Prevalensi balita kurus 3,2**
4 Prevalensi balita pendek 16,8**
5 Persentase balita gizi buruk yang dirujuk 100*
6 Cakupan Pemberian kapsul vitamin A pada balita 96,0*
7 Cakupan baduta keluarga miskin mendapat (MP-ASI) (tidak ada data)
8 Partisipasi masyarakat dlm penimbangan D/S 81,1**
9 Cakupan baduta yang mengkonsumsi Taburia (tidak ada data )
10 Cakupan imunisasi dasar balita 92,7%
Sumber data : *Profil Kes. Kab Tasikamalaya 2015
***Bulan Penimbangan Balita 2015

45
Sejak tahun 2013 Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten di
Indonesia yang sudah mempunyai Teurapatic Feeding Centre (TFC) di Kecamatan
Tinewati. Jumlah balita yang mempunyai tanda tanda gizi buruk dikirim ke TFC
sebanyak 58 orang dan semuanya telah mendapat perawatan (100%).
Pemerintah mengadakan program pemberian MPASI untuk mengatasi
kekurangan gizi pada balita . Pada tahun 2015 tidak ada informasi mengenai jumlah
balita keluarga miskin penerima MPASI. Untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat
pada kegiatan pemantauan pertumbuhan balita di posyandu digunakan indikator jumlah
balita yang ditimbang dibagi jumlah seluruh balita yang ada di wilayah tersebut atau
dikenal dengan D/S. Pada tahun 2015, D/S balita di Kabupaten Tasikamalaya mencapai
81,1persen .
Sejak tahun 2006, Pemerintah Repubik Indonesia melalui Kementerian Kesehatan
telah mengembangkan Taburia yang merupakan multi zat gizi mikro berisi 12 (dua belas)
macam vitamin dan 4 (empat) jenis mineral. Tidak ada informasi mengenai jumlah balita
yang menerima Taburia tahun 2017, karena distribusi dari Kementarian Kesehatan (pusat)
sudah dihentikan sejak tahun 2014. Cakupan imunisasi balita di kabupaten Tasikmalaya
sudah baik mencapai 92,7 persen. Salah seorang informan di dinas kesehatan menyatakan
bahwa program imunisasi di kabupaten Tasikmalaya tidak ada kendala baik pengadaan
vaksin maupun tingkat partisipasi masyarakat untuk mengimunisasi balita.

B. Pencapaian Indikator Sensitif


Informasi tentang capaian indikator sensitif meliputi penyediaan air bersih,
keluarga berencana, pelayanan kesehatan, akses sanitasi layak disajikan pada tabel 6.
Capaian kinerja indikator sensitif untuk kegiatan penyediaan air bersih dan sanitasi masih
resndah . Hal ini terlihat dari cakupan keluarga yang memiliki sarana air bersih ,
rumahtangga PHBS , tempat umum yang sehat dan rumahtangga yang mempunyai akses
sanitasi layak yang berkisar antara 48 -67 persen.
Menurut hasil survei cepat pemantauan konsumsi gizi (PKG) tahun 2013 yang
diselenggarakan dinas kesehatan kabupaten Tasikmalaya menunjukkan bahwa skor PPH
sebesar 88,2 yang berarti makanan penduduk Tasikmalaya hampir beraneka ragam karena
sudah mendekati skor target per kelompok bahan makanan. Demikian juga rerata
kecukupan konsumsi energi sudah mencapai 104,9 % AKG dan protein 125% AKG.
Kabupaten Tasikmalaya memiliki Unit Pelayanan Cepat Penanggulangan Kemiskinan
(UPCPK) yang memberikan pelayanan terhadap keluarga miskin antara lain bantuan

46
langsung tunai ( BLT ), pembagian beras miskin (Raskin), Jamkesmas, Jamkesda dan
lainnya.
Tabel 8.
Capaian Kinerja Indikator Sensitif di kabupaten Tasikamalaya Tahun 2015

No Indikator Sensitif Capaian (%)


1 Cakupan keluarga yang memiliki sarana air bersih 67,7*
2 Cakupan rumah tangga PHBS 48,3*
3 Cakupan tempat umum yang sehat 62,9*
4 Cakupan rumah tangga mempunyai sanitasi layak 59,6
5 Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) 351 desa
(100%)*
6 Tingkat Konsumsi Energi/kapita/hari 17 desa (4,64%)*
7 Tingkat Konsumsi Protein/kapita/hari 2098 kkal**
8 Pola Pangan harapan (PPH) 65 gr **
9 Cakupan kontrasepsi perempuan menikah 15-49 tahun 88,2**
10 Jumlah Penduduk Miskin mendapat bantuan langsung tunai 84,8
(BLT)
Sumber data : *Profil Kes. Kab Tasikmalaya 2015
* * Survei PKG 2013
*** BPMKB 2015
UPCK 2015

3.2. GAMBARAN STATUS GIZI BALITA, SANITASI LINGKUNGAN, DAN


KONDISI RUMAH DI DAERAH PENELITIAN

a. STATUS GIZI BALITA

Tabel 9.
Gambaran Status Gizi Balita di 5 Desa Penelitian
Stunting Wasting Underweight
Desa n % n % n %
Pusparahayu 73 38.0 10 5.4 32 16.7
Mandalahayu 98 30.2 16 5.2 44 13.5
Tanjungsari 145 49.2 13 4.6 48 16.1
Sukaratu 101 35.4 9 3.3 50 17.5
Banjarsari 104 31.9 18 5.7 59 18.1

47
Untuk menilai status gizi anak digunakan penilaian status gizi berdasarkan tiga
indeks, yaitu tinggi badan menurut umur (TB/U) untuk menilai status gizi stunting atau
pendek (kerdil) akibat kekurangan asupan gizi atau menderita penyakit infeksi dalam
waktu lama. Oleh karena itu TB/U mengindikasikan permasalahan gizi kronis. Kedua,
BB/TB untuk menilai status gizi wasting atau kurus akibat kekuran gizi atau menderita
penyakit infeksi dalam waktu singkat, oleh karena itu indikator BB/TB mengindikasikan
permasalahan gizi akut. Ketiga, berat badan menurut umur (BB/U) untuk menilai gizi
kurang atau underweight. Indikator BB/U untuk menilai status gizi akibat dari kekurangan
asupan gizi, oleh karena itu secara umum indeks BB/U mengidentifikasikan adanyanya
gangguan gizi. Tabel 9, menunjukkan prevalensi stunting, wasting dan underweight di
kelima desa penelitian. Prevalensi stunting di ke lima desa sangat tinggi melebihi batasan
permasalahan kesehatan masyarakat (>20%). Diantara ke lima desa yang paling tinggi
adalah desa Tanjungsari (49,2%) sedangkan yang paling rendah adalah desa Mandalahayu
(30,2%). Prevalensi wasting sudah cukup baik karena di semua desa prevalensinya < 10
%. Prevalensi underweight masih cukup tinggi karena hampir di semua desa prevalensinya
> 15% kecuali desa Mandalahayu sudah di bawah 15%.
Adapun gambaran status gizi balita pendek (stunting) di lima desa penelitian
secara umum masih menunjukkan persentase yang tinggi yaitu berada pada rentang 30
persen sampai 49 persen. Persentase balita stunting paling besar terdapat di desa
Tanjungsari sebesar 49,2 persen sedangkan persentase paling kecil terdapat di desa
Mandalahayu sebesar 30,2 persen. Untuk ketiga desa lainnya persentase stunting masing-
masing yaitu Banjarsari (31,9 %), Sukaratu (35,4 %) dan Pusparahayu (38,0 %).
Untuk status gizi balita kurus (wasting), tiga desa menunjukkan persentase wasting
yang tidak jauh berbeda yaitu desa Banjarsari (5,7 %), Pusparahayu (5,4 %) dan
Mandalahayu (5,2 %), sedangkan dua desa lainnya memiliki persentase wasting dibawah 5
persen yaitu Sukaratu sebesar 3,3 persen dan Tanjungsari sebesar 4,6 persen.
Status gizi balita gizi kurang (underweight) di lima desa menunjukkan persentase
underweight di bawah 20 persen dengan persentase masing-masing dari yang paling kecil
ke besar yaitu Mandalahayu (13,5 %), Tanjungsari (16,1 %), Pusparahayu (16,7 %),
Sukaratu (17,5 %) dan Banjarsari (18,1%).

48
Tabel 10.
Gambaran Stunting menurut Kelompok Umur

Kelompok Pusparahayu Mandalahayu Tanjungsari Sukaratu Banjarsari


Umur
% % % % %
0-11 Bulan 13,6 15,1 42,5 3,7 6,8
12-23 Bulan 31,8 24,3 51,7 27,1 30,6
24-35 Bulan 51,5 42,1 69,1 49,1 48,0
36-47 Bulan 50,0 43,9 46,6 37,5 38,3
48-60 Bulan 36,5 27,8 36,9 39,2 37,2

Meskipun prevalensi stunting pada Balita di semua desa sangat tinggi tetapi
apabila dilihat per kelompok umur ternyata untuk desa Pusparahayu, Mandalahayu,
Sukaratu, dan Banjarsari menunjukkan bahwa prevalensi stunting meningkat setelah anak
umur 12 bulan, sedangkan desa Tanjungsari kasus stunting sudah tinggi sejak anak usia
kurang dari satu tahun. Seperti yang ditunjukkan pada tabel 10.
Kelompok umur yang paling banyak menderita stunting di desa Pusparahayu
adalah kelompok umur 24-35 bulan sebesar 51,5 persen, sedangkan kelompok umur yang
paling sedikit menderita stunting adalah kelompok umur 0-11 bulan sebesar 13,6 persen.
Sebesar kurang lebih 48 persen kelompok umur balita yang paling banyak menderita
stunting di empat desa adalah kelompok umur 24-35 bulan. Persentase masing-masing
desa dari yang keci ke yang besar antara lain Bnajarsari (48 %), Sukaratu (49,1 %),
Pusparahayu (51,5%) dan tanjungsari (69,1 %), sedangkan sedangkan satu desa lainnya
yaitu Mandalahayu menunjukkan kelompok umur yang paling banyak menderita stunting
adalah kelompok umur 36-47 bulan sebesar hampir 44 persen.
Kelompok umur yang menderita wasting terdistribusi dalam beberapa kelompok
umur yang berbeda di lima desa penelitian. Di Sukaratu lebih dari 7 persen wasting
banyak diderita oleh kelompok umur 0-11 bulan. Untuk kelompok umur 12-23 bulan
banyak menderita wasting di desa Mandalahayu dan tanjungsari sebesar masing-masing
11,4 persen dan 8,3 persen. Sedangkan kelompok umur 36-47 bulan yang banyak
menderita wasting terdapat di desa Pusparahayu (8,3 %) dan Banjarsari (10,0 %).

49
Tabel 11.
Gambaran Wasting menurut Kelompok Umur

Kelompok Pusparahayu Mandalahayu Tanjungsari Sukaratu Banjarsari


Umur
% % % % %
0-11 Bulan 0 5,7 7,5 7,4 4,5
12-23 Bulan 9,1 11,4 8,3 4,2 4,8
24-35 Bulan 3,0 1,8 1,9 1,8 4,0
36-47 Bulan 8,3 3,5 3,4 3,1 10,0
48-60 Bulan 4,4 0,0 3,8 3,1 5,3

Tabel 12.
Gambaran Underweight menurut Kelompok Umur

Kelompok Pusparahayu Mandalahayu Tanjungsari Sukaratu Banjarsari


Umur
% % % % %
0-11 Bulan 0,0 9,4 11,6 7,4 2,3
12-23 Bulan 9,1 15,7 10,0 14,6 14,5
24-35 Bulan 24,2 8,8 23,6 21,8 24,0
36-47 Bulan 25,0 17,5 10,3 18,8 23,3
48-60 Bulan 21,2 15,3 24,2 14,9 24,4

Persentase kelompok umur yang paling banyak menderita underweight dimasing-


masing desa yaitu kelompok umur 12-23 bulan terdapaat di desa Mandalahayu sebesar
hampir 16 %. Untuk kelompok umur 24-35 bulan paling banyak di Tanjungsari (23,6 %)
dan Sukaratu (21,8 %). Untuk kelompok umur 36-47 bulan paling banyak di Pusparahayu
sebesar 25 persen dan kelompok umur 48-60 bulan di Banjarsari sebesar lebih dari 24
persen.

50
Tabel 13.
Gambaran Pengetahuan Masyarakat Tentang Stunting
di 5 Desa Penelitian
Pernah Mendengar Belum Pernah
Desa n % n %
Pusparahayu 97 50,5 95 49,5
Mandalahayu 291 89,5 34 10,5
Tanjungsari 207 73,1 76 26,9
Sukaratu 191 67,0 94 33,0
Banjarsari 281 86,2 45 13,8

Lebih dari 50 persen responden mengaku pernah mendengar tentang stunting di


di lima desa. Persentase desa terkait pengetahuan tentang stunting dengan kategori pernah
mendengar dari yang kecil ke besar masing-masing sebesar Pusparahayu (50,5 %),
Sukaratu (67 %) Tanjungsari (73,1 %), Banjarsari (86,2 %) dan Mandalahayu (89,5 %).

b. SANITASI LINGKUNGAN
Salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi balita adalah sanitasi lingkungan
keluarga dan sarana dan prasarana yang mendukung seperti kepemilikan jamban, tempat
pembuangan tinja balita, penanganan sampah rumah tangga, akses air bersih yang
memadai, ketersediaan sarana cuci tangan, cuci peralatan makan dan masak.
Tabel 14.
Gambaran Kepemilikan Jamban menurut di 5 Desa Penelitian

Ya Tidak
Desa n % n %
Pusparahayu 156 81,3 36 18,8
Mandalahayu 263 80,9 62 19,1
Tanjungsari 251 83,9 48 16,1
Sukaratu 265 93,0 20 7,0
Banjarsari 297 91,1 29 8,9

Persentase kepemilikan jamban dalam keluarga di lima desa penelitan sudah


mencapai lebih dari 80 persen dengan persentase masing-masing desa dari yang terkecil

51
sampai yang terbesar yaitu : Mandalahayu (80,9 %), Pusparahayu (81,3 %), Tanjung sari
(83,9 %), banjarsari (91,1 %) dan Sukaratu (93,0 %).

Tabel 15.
Gambaran Perilaku Pembuangan Tinja Balita di 5 Desa Penelitian

Desa Di Jamban Tidak di Jamban


n % n %
Pusparahayu 161 83.9 31 16.1
Mandalahayu 246 75.7 79 24.3
Tanjungsari 244 81.6 55 18.4
Sukaratu 259 90.9 26 9.1
Banjarsari 273 83.7 53 16.3

Meskipun kepemilikan jamban dalam rumah tangga di ke lima desa jumlahnya


cukup besar tetapi cara pembuangan tinja balita masih ada yang dilakukan tidak di
jamban. Desa dengan persentase terbesar melakukan cara pembuangan tinja balita tidak di
jamban yaitu Mandalahayu (24,3 %) dan terendah adalah Sukaratu (9,1 %), sedangkan
tiga desa lainnya masing-masing yaitu Pusparahayu (16,1 %), Banjarsari (16,3 %) dan
Tanjungsari (18,4 %)
Tabel 16.
Gambaran Penanganan Sampah Rumah Tangga di 5 Desa Penelitian

Desa Diangkut Dibuang Ditimbun Dibuat Dibakar Dibuang


Petugas ke TPS di Tanah Kompos Sembarang
n % n % n % n % n % n %
Pusparahayu 73 38,0 10 5,4 32 16,7 4 2,1 163 84.9 14 7.3
Mandalahayu 98 30,2 16 5,2 44 13,5 2 0,6 237 72.9 64 19.7
Tanjungsari 145 49,2 13 4,6 48 16,1 2 0,7 227 75.9 47 15.7
Sukaratu 101 35,4 9 3,3 50 17,5 2 0,7 262 91.9 11 3.9
Banjarsari 104 31,9 18 5,7 59 18,1 2 0,6 277 85.0 27 8.3

Penanganan sampah rumah tangga di lima desa paling banyak dilakukan dengan
cara dibakar. Persentase desa dari yang paling besar sampai kecil dalam penanganan
sampah dengan cara di bakar masing-masing yaitu Sukaratu (91,9 %), Banjarsari (85,0
%), Pusparahayu (84,9 %), Tanjungsari (75,9 %) dan Mandalahayu (72,9 persen).

52
Tabel 17.
Gambaran Jenis Sumber Air Minum di 5 Desa Penelitian

Desa Tidak Layak Layak


n % n %
Pusparahayu 23 12,0 169 88,0
Mandalahayu 70 21,5 255 78,5
Tanjungsari 5 1,7 294 98,3
Sukaratu 11 3,9 274 96,1
Banjarsari 11 3,4 315 96,6

Untuk sumber air minum yang digunakan keluarga di lima desa menujukkan
lebih dari 75 persen sudah menggunakan sumber air minum yang layak. Persentase
terbesar terdapat di Tanjungsari sebesar 98,3 persen sedangkan paling kecil di
Mandalahayu sebesar 78,5 persen. Adapun ke tiga desa lainnya yaitu Pusparahayu (88,0
%), Sukaratu (96,1 %) dan Banjarsari (96,6 %)
Tabel 18.
Gambaran Ketersediaan Sarana Cuci Tangan di 5 Desa Penelitian

Ya, ada Ya, tdk ada Ya, ada Ya, tidak ada Tidak ada
Desa khusus di khusus di khusus diluar khusus di
dalam rumah dalam rumah rumah luar rumah
n % n % n % n % n %
Pusparahayu 10 5,2 91 47,7 7 3,6 17 8,9 67 34,9

Mandalahayu 14 4,3 217 66,8 4 1,2 46 14,2 44 13,5

Tanjungsari 10 3,3 77 25,8 2 0,7 150 50,2 60 20,1

Sukaratu 14 4,9 247 86,7 3 1,1 14 4,9 7 2,5

Banjarsari 9 2,8 237 72,7 2 0,6 7 2,1 71 21,8

Ketersediaan sarana cuci tangan paling banyak ada pada katagori memiliki sarana
cuci tangan, tetapi tidak ada khusus di dalam rumah. Hal ini terjadi di empat desa yaitu
Sukaratu (86,7 %), Banjarsari (72,7 %), Mandalahayu (66,8 %) dan Pusparahayu (47,7
%). Hanya desa Tanjungsari yang persentase terbesarnya ada pada kategori memiliki
sarana cuci tangan tetapi tidak khusus di luar rumah sebesar lebih dari 50 persen.
Kamar mandi merupakan tempat yang paling banyak dipakai untuk mencuci alat
masak/makan/minum di empat desa dengan persentase dari yang paling kecil kebesar

53
masing-masing yaitu Mandalahayu (57,8 %), Sukaratu (64,9 %), Pusparahayu (67,2 %)
dan Tanjungsari (88,0%), sedangkan Banjarsari paling banyak menggunakan tempat
khusus cuci piring sebesar hampir 48 persen.
Tabel 19.
Gambaran Ketersediaan Tempat Mencuci Alat Masak/Makan/Minum
di 5 Desa Penelitian

Sungai/Kolam Kamar Tempat MCK Lainnya


Desa Mandi Khusus Umum
Cuci
Piring
n % n % n % n % n %
Pusparahayu 5 2,6 129 67,2 26 13,5 27 14,1 5 2,6
Mandalahayu 10 3,1 188 57,8 107 32,9 17 5,2 3 0,9
Tanjungsari 8 2,7 263 88,0 20 6,7 8 2,7 0 0,0
Sukaratu 5 1,8 185 64,9 83 29,1 9 3,2 3 1,1
Banjarsari 17 5,2 136 41,7 156 47,9 13 4,0 4 1,2
.
c. KONDISI RUMAH
Kondisi rumah selain dapat menggambarkan status ekonomi keluarga, juga dapat
menjadi penilai sebuah rumah sehat atau tidak untuk ditinggali. Kondisi rumah dapat
dilihat dari jenis atap, dinding dan lantai.
Tabel 20.
Gambaran Jenis Atap Rumah di 5 Desa Penelitian

Desa Bambu/Kayu/Jerami Beton/Genting/Asbes/Seng


n % n %
Pusparahayu 0 0,0 192 100,0
Mandalahayu 7 2,2 318 97,8
Tanjungsari 9 3,0 290 97,0
Sukaratu 7 2,5 278 97,5
Banjarsari 3 0,9 323 99,1

Penggunaan atap rumah dari beton/genteng/Asbes/seng paling banyak digunakan


di lima desa dengan rentang persentase sebesar 97-100 persen. Semua responden di
Pusparahayu sudah menggunakan atap dari beton/genteng/Asbes/seng, sedangkan

54
persentase desa lainnya yang menggunakan atap beton/genteng/Asbes/seng yaitu
Tanjungsari (97,0 %), Sukaratu (97,5 %), Mandalahayu (97,8 %) dan Banjarsari (99,1 %)

Tabel 21.
Gambaran Jenis Dinding Rumah Terluas di 5 Desa Penelitian
Desa Non Tembok Tembok
n % n %
Pusparahayu 77 40,1 115 59,9
Mandalahayu 160 49,2 165 50,8
Tanjungsari 202 67,6 97 32,4
Sukaratu 79 27,7 206 72,3
Banjarsari 50 15,3 276 84,7

Penggunaan dinding rumah dari tembok di empat desa sebesar lebih dari 50
persen, yaitu Mandalahayu (50,8 %), Pusparahayu (59,9 %), Sukaratu (72,3 %) dan
Banjarsari (84,7 %), sedangkan desa tanjung sari lebih banyak yang menggunakan non
tembok yaitu sebesar lebih dari 67 persen.

Tabel 22.
Gambaran Jenis Lantai Rumah Terluas di 5 Desa Penelitian
Tanah/Bambu/Kayu Keramik/Ubin/Semen
Desa n % n %
Pusparahayu 58 30,4 133 69,6
Mandalahayu 98 30,5 223 69,5
Tanjungsari 78 26,1 221 73,9
Sukaratu 31 11,1 248 88,9
Banjarsari 19 5,8 307 94,2

Penggunaan lantai rumah dari keramik/ubin/semen paling banyak digunakan di


dengan persentase sebesar lebih dari 69 persen lima desa dengan masing-masing
persentase yaitu Mandalahayu (69,5 %), Pusparahayu (69,6 %), Tanjungsari (73,9 %),
Sukaratu (88,9 %), dan Banjarsari (94,2 %).

55
3.3. PROGRAM BANTUAN PEMERINTAH UNTUK KELUARGA MISKIN
Pemerintah dalam beberapa tahun belakangan sudah melakukan program
pengentasan kemiskinan dengan memberikan bantuan kepada keluarga miskin. Tapi
Sayangnya program ini dirasakan kurang bisa berjalan dengan baik karena di lapangan
masih banyak keluarga miskin yang tidak menerima bantuan. Kontrol dan evaluasi
program perlu dilakukan sehingga program-program bantuan ekonomi dan sosial bisa
tepat sasaran.
Tabel 23.
Gambaran Kepemilikan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di 5 Desa Penelitian

Memiliki Tidak Memiliki


Desa N % n %
Pusparahayu 51 26,6 141 73,4
Mandalahayu 150 46,2 175 53,8
Tanjungsari 178 59,5 121 40,5
Sukaratu 161 56,5 124 43,5
Banjarsari 182 55,8 144 44,2

Persentase kepemilikan JKN sebesar lebih dari 50 persen hanya terdapat di tiga
desa yaitu Banjarsari (55,8 %), Sukaratu (56,5 %) dan Tanjungsari (59,5 %), sedangkan
dua desa lainnya lebih banyak yang tidak memiliki JKN yaitu Mandalahayu sebesar
hampir 54 persen dan Pusparahayu sebesar lebih dari 73 persen.

Tabel 24.
Gambaran Rumah Tangga Mendapat atau Membeli Beras Sejahtera (RASTA)
di 5 Desa Penelitian
Mendapat Tidak Mendapat
Desa n % n %
Pusparahayu 111 57,8 81 42,2
Mandalahayu 133 40,9 192 59,1
Tanjungsari 267 89,3 32 10,7
Sukaratu 213 74,7 72 25,3
Banjarsari 303 92,9 23 7,1

56
Persentase keluarga yang mendapatkan Rasta (beras sejahtera) sebesar lebih dari
50 persen hanya terdapat di empat desa yaitu Banjarsari (92,9 %), Tanjungsari (89,3 %),
Sukaratu (74,7 %), Pusparahayu (57,8 %) sedangkan satu desa lainnya lebih banyak yang
tidak mendapat Rasta yaitu Mandalahayu sebesar hampir 60 persen.

Tabel 25.
Gambaran Rumah Tangga Mendapat Kartu Keluarga Sejahtera (KKS)
di 5 Desa Penelitian

Mendapat Tidak Mendapat


Desa n % n %
Pusparahayu 17 8,9 175 91,1
Mandalahayu 21 6,5 304 93,5
Tanjungsari 55 18,4 244 81,6
Sukaratu 54 18,9 231 81,1
Banjarsari 55 16,9 271 83,1

Sebesar lebih dari 80 persen keluarga tidak mendapatkan kartu keluarga


sejahtera di lima desa dengan persentase dari yang kecil ke besar masing-masing yaitu
Sukaratu (81,1 %), Tanjungsari (81,6 %), Banjarsari (83,1 %), Pusparahayu (91,1 %) dan
Mandalahayu (93,5 %).
Tabel 26.
Gambaran Rumah Tangga Mendapat Program Keluarga Harapan (PKH)
di 5 Desa Penelitian

Mendapat Tidak Mendapat


Desa n % n %
Pusparahayu 10 5,2 182 94,8
Mandalahayu 28 8,6 297 91,4
Tanjungsari 31 10,4 268 89,6
Sukaratu 80 28,1 205 71,9
Banjarsari 80 24,5 246 75,5

Sebesar lebih dari 70 persen keluarga tidak mendapatkan program keluarga


harapan di lima desa dengan persentase dari yang kecil ke besar masing-masing yaitu

57
Sukaratu (71,9 %), Banjarsari (75,5 %), Tanjungsari (89,6 %), Mandalahayu (91,4 %), dan
Pusparahayu (94,8 %).

Tabel 27.
Gambaran Rumah Tangga Mendapat Bantuan Sosial (Bansos)
di 5 Desa Penelitian

Mendapat Tidak Mendapat


Desa n % n %
Pusparahayu 4 2,1 188 97,9
Mandalahayu 20 6,2 305 93,8
Tanjungsari 26 9,5 248 90,5
Sukaratu 61 21,4 224 78,6
Banjarsari 58 17,8 268 82,2

Sebesar lebih dari 70 persen keluarga tidak mendapatkan bantuan sosial di lima
desa dengan persentase dari yang kecil ke besar masing-masing yaitu Sukaratu (78,6 %),
Banjarsari (82,2 %), Tanjungsari (90,5 %), Mandalahayu (93,8 %), dan Pusparahayu (97,9
%).
Tabel 28.
Gambaran Rumah Tangga Mendapat Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT)
di 5 Desa Penelitian

Mendapat Tidak Mendapat


Desa n % n %
Pusparahayu 2 1,0 190 99,0
Mandalahayu 1 0,3 324 99,7
Tanjungsari 7 2,6 262 97,4
Sukaratu 5 1,8 280 98,2
Banjarsari 27 8,3 299 91,7

Sebesar lebih dari 90 persen keluarga tidak mendapatkan bantuan pangan non
tunai di lima desa dengan persentase dari yang kecil ke besar masing-masing yaitu
Banjarsari (91,7 %), Sukaratu (98,2 %), Tanjungsari (97,4 %), Pusparahayu (99 %) dan
Mandalahayu (99,7 %).

58
Tabel 29.
Gambaran Jenis Penggunaan Garam
di 5 Desa Penelitian
Garam Bata Garam Garam Garam
Desa Curah Halus Gurih

n % n % n % n %
Pusparahayu 5 2,6 4 2,1 180 93,8 3 1,6
Mandalahayu 3 0,9 5 1,5 313 96,3 4 1,2
Tanjungsari 2 0,7 0 0,0 266 98,9 1 0,4
Sukaratu 1 0,4 3 1,1 278 97,5 3 1,1
Banjarsari 8 2,5 2 0,6 314 96,3 2 0,6

Semua desa paling banyak menggunakan garam jenis garam halus dengan
persentase dari yang kecil ke besar masing-masing yaitu Pusparahayu (93,8 %),
Mandalahayu (96,3 %), Banjarsari (96,3 %), Sukaratu (97,5 %) dan Tanjungsari (98,9 %).

Tabel 30.
Gambaran Hasil Test Cepat Garam Beryodium
di 5 Desa Penelitian
Warna Biru atau Tidak berubah warna
Desa Ungu Pekat
n % n %
Pusparahayu 182 94,8 10 5,2
Mandalahayu 323 99,4 2 0,6
Tanjungsari 226 75,6 73 24,4
Sukaratu 284 99,6 1 0,4
Banjarsari 326 100 0 0,0

Hasil pemeriksaan garam menunjukkan paling banyak garam berwarna biru atau
unggu pekat setelah ditetesi iodine. Hal ini menunjukkan garam yang digunkana di rumah
tangga mengandung iodium. Persentase desa dengan hasil pemeriksaan garam berwarna
biru atau unggu pekat dari yang kecil ke besar masing-masing sebesar Tanjungsari (75,6
%), Pusparahayu (94,8 %), Mandalahayu (99,4 %), Sukaratu (99,6 %) dan Banjarsari (100
%).

59
3.4. GAMBARAN STATUS EKONOMI BERDASARKAN KEPEMILIKAN
Pada penelitian ini penetapan status ekonomi dihitung berdasarkan pada 13 jenis
kepemilikan barang. Selanjutnya akan dibuat skoring dengan menggunakan PCA untuk
menentukan nilai kuintil dari kepemilikan barang tersebut. Semakin tinggi skoring maka
semakin baik status ekonominya.
Tabel 31.
Gambaran Status Ekonomi di 5 Desa Penelitian

Kuintil 1 Kuintil 2 Kuintil 3 Kuintil 4 Kuintil 5


Desa
n % n % n % n % n %
Pusparahayu 25 13,3 57 30,3 24 12,8 52 27,7 30 16,0

Mandalahayu 63 21,3 60 20,3 33 11,1 58 19,6 82 27,7

Tanjungsari 18 7,0 86 33,3 68 26,4 64 24,8 22 8,5

Sukaratu 51 19,1 66 24,7 27 10,1 68 25,5 55 20,6

Banjarsari 31 10,7 69 23,8 26 9,0 84 29,0 80 27,6

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa status ekonomi rumah tangga di desa
Pusparahayu proporsi terbanyak termasuk dalam kuintil 2 dan 5 hampir sama yaitu sekitar
30% sedangkan yang paling sedikit berada di kuintil 1 (12,8%). Desa Mandalahayu dan
desa Banjarsari memiliki pola yang hampir sama, yaitu proporsi terbanyak berada pada
kuintil 5 (27,7% dan 27,6%). Pola yang berbeda terjadi pada desa Tanjungsari, dimana
proporsi pada kuintil 1 dan kuintil 5 hampir sama dan yang terbanyak berada pada kuintil
2 (33,3%).
Dari ke lima desa tampak bahwa desa Pusparahayu, Mandalahayu, Sukaratu dan
Banjarsari memiliki pola yang hampir sama yaitu prevalensi stunting tinggi berada pada
kuintil 1 sampai 3 sedangkan desa Tanjungsari hampir di semua kuintil prevalensinya
sangat tinggi. Perbedaan pola ini kemungkinan disebabkan oleh adanya perbedaan faktor
risiko di masing-masing desa.

60
Tabel 32.
Prevalensi Stunting menurut Kuintil di 5 Desa Penelitian

Kelompok Pusparahayu Mandalahayu Tanjungsari Sukaratu Banjarsari


Umur
% % % % %
Kuintil 1 28,0 47,6 55,6 41,2 29,0
Kuintil 2 40,4 35,0 51,2 47,0 31,9
Kuintil 3 58,3 30,3 53,0 29,6 38,5
Kuintil 4 34,6 20,7 37,5 27,9 29,8
Kuintil 5 26,7 22,0 40,9 29,1 25,0

3.5. PELAKSANAAN PENDAMPINGAN PERCEPATAN PENURUNAN


STUNTING DI KABUPATEN TASIKMALAYA

3.5.1. PERSIAPAN
1) KOORDINASI DENGAN DINAS KESEHATAN

Dalam rangka pelaksanaan penelitian Pengembangan Model Integrasi Lintas


Sektor dalam upaya penurunan masalah stunting di Kabupaten Tasikmalaya maka tim
peneliti melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya. Tim
diterima oleh Sekretaris Dinas Kesehatan dr. Faisal, SKM, M.Kes dan Kabid Kesehatan
Masyarakat, Kasie Gizi dan Kasie Kesling. Dalam pertemuan tersebut dijelaskan
permasalahan gizi dan kesehatan di Kabupaten Tasikmalaya, yang berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2013 memiliki prevalensi stunting sebesar 41, 7% dan memiliki
peringkat IPKM no 25 dari 27 kabupaten/kota di jawa Barat.
Berdasarkan hasil kajian IPKM diketahui bahwa permasalahan kesehatan utama di
Kabupaten Tasikmalaya adalah masih rendahnya akses air bersih, perilaku hidup bersih
dan sehat serta perilaku BAB dengan benar. Selanjutya juga dijelaskan tentang rencana
dan tujuan dari penelitian “Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor Dalam Rangka
Penurunan Masalah Stunting Pada Balita Melalui “Kampung Gizi” di Kabupaten
Tasikmalaya. Adapun yang dimaksud dengan “Kampung Gizi” adalah merupakan suatu
gerakan yang mencoba mengintegrasikan seluruh lintas sektor yang terkait serta
bagaimana memberdayakan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam upaya
penurunan stunting.

61
Gambar 12. Koordinasi dengan Dinas Kesehatan dan Puskesmas dalam rangka
persiapan Pelaksanaan Penelitian “Kampung Gizi”

2) KOORDINASI DENGAN PEMDA KAB TASIKMALAYA

Setelah melakukan koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya


maka maka selanjutnya selanjutnya adalah bertemu dengan jajaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Tasikmalaya yaitu Wakil Bupati, Sekretaris Daerah dan Asisten Pemerintahan
dan Kesejahteraan Rakyat Kabupaten Tasikmalaya.

Sebagai langkah awal tim peneliti melakukan koordinasi dengan Asisten


Administrasi Pemerintahan dan Kesejahteraan Rakyat (ASDA II) karena mempunyai
fungsi : 1). Penyusunan kebijakan bidang pemerintahan dan kesejahteraan rakyat; 2).
Pengkoordinasian penyusunan kebijakan bidang pemerintahan dan kesejahteraan rakyat;
3). Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan bidang pemerintahan dan
kesejahteraan rakyat; 4). Pembinaan adminstrasi dan tugas kepala bagian. Selain itu juga
mempunyai tugas mengkoordinasikan perumusan kebijakan dan pelayanan adminstrasi
bidang Kesehatan & Pendidikan, Sosial, Tenaga Kerja & Transmigrasi, Pemberdayaan
Perempuan KB & Agama. Kegiatan koordinasi ini bertujuan untuk menyampaikan tujuan
dan rencana kegiatan penelitian “Pengembangan Model Integrasi Lintas Sektor Dalam

62
Rangka Penurunan Masalah Stunting Pada Balita Melalui “Kampung Gizi” di Kabupaten
Tasikmalaya. Adapun model yang akan coba diterapkan adalah berupa pendampingan
kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Tasikmalaya mulai dari pembuat kebijakan di
seluruh sektor yang terkait dengan stunting di tingkat kabupaten kemudian di
Pemerintahan kecamatan, pemerintahan desa dan di masyarakat.

3) KOORDINASI DENGAN BAPPEDA KAB TASIKMALAYA

Setelah melakukan koordinasi dengan Pemda Kabupaten Tasikmalaya maka


langkah selanjutnya adalah berkoordinasi dengan BAPPEDA Kabupaten Tasikmalaya.
Sesuai dengan struktur organisasi yang ada di BAPPEDA maka terkait masalah kesehatan
ada dibawah koordinasi Bidang Sosial dan Pemerintahan. Dalam pertemuan tersebut
disampaikan terkait rencana penelitian dan menggali informasi tentang apa saja peranan
BAPPEDA serta hal apa saja yang sudah dilakukan dalam upaya penanggulangan stunting
di Kabupaten Tasikmalaya. Namun demikian dalam proses selanjutnya juga melibatkan
bidang-bidang lain yang ada di BAPPEDA

3.5.2. PELAKSANAAN

A. DI TINGKAT KABUPATEN

TAHAP-TAHAPAN KEGIATAN PENDAMPINGAN DI TINGKAT KABUPATEN


I. SOSIALISASI STUNTING DAN RENCANA PENDAMPINGAN DALAM
UPAYA PENURUNAN STUNTING MELALUI KAMPUNG GIZI DI
KABUPATEN TASIKMALAYA

Langkah awal kegiatan pendampingan adalah melakukan sosialisasi tentang apa


yang dimaksud dengan stunting, termasuk penyebab, dampak dan bagaimana kebijakan
atau strategi penanggulangan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Target peserta dari
kegiatan sosialisasi di tingkat kabupaten adalah seluruh jajaran Pemerintah Daerah
Kabupaten Tasikmalaya, mulai dari DPR, Bupati, Wakil Bupati, staf ahli bupati,
Sekretaris Daerah dan Asisten Daerah beserta jajarannya (Kabag Kesra, Kabag Hukum,
Kabag Humas), Kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait (Kepala Bappeda,
Kepala Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala DPAPMKB,
Kepala Dinas Pertanian, Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan, Kepala Dinas

63
Sosial, Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Kepala Dinas Koperasi,
Usaha kecil Menengah dan Tenaga Kerja, Kepala Dinas Industri dan Perdagangan),
Kepala Kementerian Agama, Direktur Poltekkes Tasikmalaya, Ketua Jurusan Gizi
Poltekkes Tasikmalaya, Direktur STIKES Respati Tasikmlaya, Camat lokus prioritas
stunting, Kepala Puskesmas lokus prioritas stunting , Kepala Desa lokus prioritas
stunting, TP PKK Kab Tasikmalaya, Ketua Fatayat NU Kabupaten Tasikmalaya, Ketua
Muhammadiyah Kabupaten Tasikmlaya, dan Koordinator PAMSIMAS Kab Tasikmalaya.
Peserta dari Propinsi adalah Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, Dinas Ketahan Pangan
Provinsi Jawa Barat. Sedangkan peserta dari Kementerian Kesehatan yang diharapkan
hadir adalah Direktorat Gizi Masyarakat, Direktorat Kesehatan Keluarga, Direktorat
Kesehatan Lingkungan, dan Direktorat Promosi Kesehatan. Kegiatan sosialisasi di tingkat
kabupaten dikoordinir oleh Sekretaris Daerah dibantu oleh Dinas Kesehatan dan
BAPPEDA.
Tujuan dari kegiatan sosialisasi adalah agar seluruh jajaran di Pemerintahan
Kabupaten Tasikmalaya dan stakeholder tahu dan paham apa yang dimaksud dengan
Stunting termasuk penyebab dan dampak yang ditumbulkan. Pada pertemuan sosialiasi
tersebut juga disampaikan bahwa saat ini kebijakan dan strategi pemerintah dalam upaya
penanggulangan masalah stunting adalah berdasarkan 5 Pilar penanganan stunting yang
telah dikeluarkan oleh TNP2K yaitu 1). Perlunya komitmen dan visi pimpinan dan ; 2)
Kampanye tentang perubahan perilaku; 3). Konvergensi, koordinasi dan konsolidasi
program; 4). Kebijakan keamanan pangan nasional; dan 5). Pemantauan dan evaluasi.
Pertemuan sosialisasi stunting di tingkat kabupaten dilaksanakan pada tanggal 16
Juli 2018 bertempat di ruang rapat wakil Bupati Kabupaten Tasikmalaya dan dibuka
langsung oleh Bapak Bupati Tasikmalaya dan selanjutnya diskusi dipimpin oleh Bapak
Sekretaris Daerah Kabupaten Tasikmalaya. Narasumber pertemuan tersebut antara lain
adalah Ketua Tim Peneliti, Direktorat Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan,
Direktorat Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
Barat, dan Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Jawa Barat.
Setelah sosialiasi stunting di tingkat kabupaten maka langkah selanjutnya adalah
melakukan inventarisasi apa saja program dan kegiatan terkait penanggulangan stunting
yang ada di masing-masing sektor sehingga di akhir pertemuan disampaikan oleh Bapak
Sekretaris Daerah kepada seluruh OPD bahwa tim peneliti akan datang ke masing-masing
OPD untuk melakukan wawancara dan diskusi lebih lanjut.

64
Gambar 13. Pertemuan Sosialisasi di Tingkat Kabupaten Tasikmalaya
Kesimpulan dari hasil sosialisasi menunjukkan bahwa belum semua peserta tahu
dan tan paham apa yang dimaksud dengan Stunting, termasuk penyebab dan dampak
yang ditmbulkan akibat stunting serta bagaimana upaya penanggulangannya. Sebagian
besar peserta lebih banyak mengetahui tentang gizi buruk karena selama ini memang
masalah gizi buruk sudah lebih sering di sosialisasikan dibandingkan dengan masalah
stunting. Hal lain yang cukup banyak ditanyakan oleh peserta adalah mengapa wilayah
desa mereka menjadi lokus prioritas stunting, karena menurut beberapa Kepala Desa di
wilayah mereka kondisi ekonomi masyarakatnya sudah cukup baik dan merasa di desa
mereka tidak ada anak stunting atau gizi buruk. Salah satu contoh adalah desa Kiara
Jangkung, menurut mereka sebagian besar pekerjaan kepala keluarga di desa tersebut
adalah pengusaha jasa toilet di SPBU di sepanjang pantura Jawa Barat yang dari sisi
penghasilan cukup memenuhi untuk membeli makanan sehingga tidak mungkin anaknya
kurang gizi sehingga menjadi stunting.

II. INVENTARISASI PROGRAM DAN KEGIATAN DI SEKTOR KESEHATAN


DAN NON KESEHATAN
Kegiatan ini dilakukan pada beberapa Oganisasi Perangkat Daerah (OPD) antara
lain adalah BAPPEDA, Dinas Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan, Dinas
Pertanian, Dinas Sosial, Dinas PUPR, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan
Permukiman, Dinas Pendidikan, Dinas DPMDPAKB, Dinas Koperindag, dan Kemenag.

65
Informasi yang digali di masing-masing OPD adalah :
1. Pengetahuan tentang stunting : definisi, penyebab, ciri-ciri, lokasi, dampak dan
bagaimana cara penanggulangan
2. Programdan kegiatan yang terkait atau berkontribusi dengan penanggulangan atau
upaya penurunan. (jelaskan alasan ada/tidak ada program, nama program dan
outputnya)
3. Kerjasama lintas sektor dalam program penurunan masalah stunting (kapan, siapa,
bagaimana proses kerjasamanya).
4. Indikator-indikator apa aja yang dipakai untuk menilai keberhasilan program
penanggulangan stunting
5. Monitoring dan evaluasi program penurunan stunting ( sektor mana saja yang terlibat,
siapa yang melakukan, bentuk monev dan hasil).
6. Apakah perlu dibuat sebuah aturan formal (UU/Perpu/Pergub/Perbup/komitmen
bersama) sebagai dasar untuk percepatan penurunan angka stunting di
kabupaten/kecamatan ini? (alasan perlu atau tidak perlu, bentuk peraturan seperti apa
yang sebaiknya diterbitkan, komitmen untuk melaksanakannya)
7. Kendala dalam upaya penurunan masalah stunting (identifikasi sosial, budaya,
ekonomi, pendidikan, kerawanan pangan).
8. Bagaimana bentuk intervensi yang terbaik untuk menurunkan angka stunting
berdasarkan kewenangan anda sebagai pimpinan institusi dan kontribusi yang bisa
diberikan dari masing-masing institusi yang anda pimpin untuk mencapai target
penurunan stunting

1. BAPPEDA

Ruang lingkup dan tupoksi BAPPEDA adalah melakukan koordinasi perencanaan


pembangunan di SKPD yaitu 17 SKPD (dari total 27 SKPD) dan 4 Bagian total 21 mitra
Bidang Sosial Pembangunan (Sospem).
Pengertian stunting menurut informan adalah merupakan gizi buruk sehingga pada
saat lahir bayi itu pendek dan tidak normal sehingga otaknya tidak normal. Adapun
penyebab stunting disebabkan oleh banyak faktor, misalnya ibu hamilnya, ke tempat
pelayanan jauh, atau misalnya dia termasuk yang miskin sehingga asupan gizi nya yang
kurang.

66
Selama ini Bappeda berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan, “ saya bilang jangan
pemicu aja, coba berikan pada puskesmas kira2 kenapa ini desa ada stunting apakah
karena jauh, miskin, kurang asupan makanan karena miskin”. Nah kalau miskin, itu
orangnya masuk ke BDT (Basis Data Terpadu) atau tidak ? Kemudian data yang
dikeluarkan oleh TNP2k, sudah punya KIS belum, dll. Sehingga perlu pendalaman sampai
kesana. Terkait kemiskinan ditentukan 4 desil hasil dari sensus BPS dengan menggunakan
24 atau 44 item. Dilihat gimana ekonominya, rumahnya, ruangannya, banyak
indikatornya.
Informan sudah tahu terkait 100 kab/kota prioritas stunting. Informasi tersebut
diperoleh pada saat musrenbang propinsi “..... kan ada paparan dari pusat yang salah satu
paparannya mengenai stunting, ternyata kabupaten Tasikmalaya termasuk yang paling
tinggi stuntingnya, ada di 6 kecamatan dan 10 desa”. Selama ini Bappeda sudah sering
komunikasi dengan dinas kesehatan, dan tugas Dinkes hanya pemicu saja yaitu sosialisasi,
tata cara hidup bersih, pola hidup sehat, baru saya mengetahui bahwa ada 10 desa yang
stuntingnya tinggi. “Saya rasa perlu ada action yang lebih untuk penurunan stunting
bukan hanya penyuluhan apalagi yang disampaikan penyuluhannya ke tokoh2 masyarakat
yang tidak bisa menjelasakan lebih lanjut apa itu stunting ke masyarakat yang terkena
dampak stunting, jadi sebaiknya Dinkes bisa menyebarkan ke tiap masyarakat misalnya
ke rt. Kabupaten Tasikmalaya termasuk 100 prioritas maka harus diperkuat asupan2 gizi
di masyarakat.
Stunting menurut informan adalah masalah, “...kalau lihat dari definisinya kan dari akibat
stunting anak yang baru lahir, pendek dan otaknya tidak normal padahal anak adalah
generasi penerus”.
Cara penanggulangan stunting perlu tahu akar permasalahannya, mungkin akan
tahu siapa yang harus bertanggung jawab. Misal anak yang lahir kurang bagaimana
statusnya, sehingga apakah keluarganya yang harusnya merawat atau jika keluarga nya
miskin maka harus dilihat lebih lanjut. Harus ada kerjasama.....” misalnya jika
masyarakatnya miskin, maka hal tersebut adalah peranannya Dinas Sosial. Jika sakit,
maka dinas kesehatan dan jika rumahnya kurang layak maka Dinas Perumahan..”.
Sampai saat ini Bappeda masih komunikasi dan koordinasi dengan mitra sospem
kira kira apa untuk mengatasi stunting jangan hanya sosialisasi saja, jangan sampai hanya
pemicu saja, terus sudah selesai. Harus dicari akar permasalahannya kenapa sampai
demikian, “...tentu pada saat ibu hamil gimana dokternya ada ga di puskesmas sampai ke
pustu. Kalau dokter dan bidannya sudah ada terus tempat pemeriksaannya bagaimana,

67
terus kalau sudah semua lalu person nya bagaimana..” Jadi untuk sementara ini memang
hanya baru pemicu saja.

Gambar 14. Koordinasi dengan BAPPEDA Kabupaten Tasikmalaya

Sampai saat ini belum ada program khusus di Bappeda terkait penangggulangan
masalah stunting, sampai saat ini masih koordinasi saja dengan SKPD. Mekanisme
perencanaan kegiatan SKPD melalui Bapedda mengacu pada peraturan NO.24 tahun
2010 tentang susunan rencana pembangunan nasional jadi mulai musrenbang dusun, desa,
kecamatan, kabupaten, provinsi dampai ke pusat. Jadi kalau ada kegiatan-kegiatan masuk
dulu hasil musrenbang baru masuk ke kabupaten. Kebetulan anggaran Tasikmalaya masih
kecil yaitu hanya 100 milyar sedangkan kebutuhan belanjanya 3 trilliun jadi kami
membutuhkan bantuan dari provinsi dan pusat. Pada saat musrenbang kita pilah mana
yang akan di alokasikan ke anggaran ke kabupaten.
Program khusus pertahun paling hanya untuk gizi ibu hamil, di tingkat desa dan
bidan desa. Jadi lebih pada program gizi secara umum tidak khusus untuk stunting. Secara
teknis ada di dinas kesehatan, sedangkan Bappeda mendorong apa kegiatan yang akan
dilakukan.

Dasar Perencanaan Kegiatan


Untuk penurunan kemiskinan, maka dasarnya dari BDT yang berasal dari hasil
sensus penduduk tahun 2015, kemudian TNP2K mengeluarkan daftarnya. Kalau kita di
Bapedda berdasarkan prioritas. Sampai saat ini di Kabupaten Tasikmalaya belum ada SK
Tim koordinasi Penanggulangan masalah stunting tetapi yang ada adalah SK Kegiatan
Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Kegiatan Tim Sisemininasi yang
menyangkut keseluruhan desa, bagaimana cara-cara desa untuk membuat perencaan

68
pembangunan di wilayahnya masing-masing. Dimulai dari masayrakat yang mengusulkan,
mulai dari monografi desa, peta desa selanjutnya dipilih mana yang harus menjadi
prioritas.
Saat ini prioritas harus berpedoman pada PP No.2 tahun 2018 tentang Standar
Pelayanan Minimal (SPM) yang dikeluarkan oleh masing-masing Kementerian. Kalau
menurut undang-undang no.23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, terdapat 6 yang
wajib, yaitu pendidikan, kesehatan, sosial, pekerjaan umum, perumahan permukiman,
ketertiban jadi itu yang prioritas. SPM terbaru baru ada dari Kementerian Dikbud,
Kesehatan, dan Sosial.
Tiap-tiap kegiatan harus merujuk ke isu-isu strategis yang tertuang dalam RPJMD
(5 tahunan) – RPJPK – Rentras – Renja dan ada Renstra masing-masing di SKPD (Satuan
Kerja Perangkat Daerah). RPJMD yang ada saat ini adalah untuk periode 2016-2021
sehingga harus dilakukan revisi, sesuia masa jabatan Bupati yang ada. Pada tahun
berjalan, dimungkinkan terjdi perubahan anggaran jika misalnya ada prioritas program
seperti stunting. Bisa saja menggunakan alokasi dana Biaya Tidak Terduga (BTT) seperti
hal-hal yang mendesak seperti KLB (misal KLB Difteri) atau bencana-bencana yang
berupa fisik tetapi harus dibuatkan surat keputusan Bupati terlebih dahulu.
Proses mendapatkan program tersebut dengan cara mengajukan proposal ke pusat
atau daerah atau top down. Berapa porsi anggaran per SKPD disesuaikan dengan anggaran
dan SPM. Jadi sesuai adanya disini...” Kalau kita sih hanya memfasilitasi tapi tidak
mencoret jadi kita utamakan yang wajib dulu”.
Penilaian keberhasilan program mengacu pada visi misi. Jadi kita masukan ke visi
lalu misi baru isu strategis dan kita juga ada tematik tahunan, jadi bahan2 penilaian
berdasar itu. Dari keseluruhan porsi anggaran, kesehatan dapat 20 persen, sudah sampai
sesuai standar.
Setelah undang-undang no 10 tahun 2001 tentang pembentukan kabupaten
Tasikmalaya. Kabupaten ini kan dulunya di kota lalu tahun 2011 pindah ke kabupaten.
Jadi masih berbenah. Jadi yang dulunya kota berfokus utamanya dalam bidang jasa
sekarang beralih ke daerah yang fokusnya di bidang pertanian, jadi sementara ini memang
masih mengutamakan pertanian. Selain pertanian juga focus ke kemiskinan, kesehatan dan
pendidikan.

69
Monev dari Bapedda ke SKPD
Dalam kegiatan Monev BAPPEDA membentuk Tim terpadu yang melibatkan
seluruh bidang yang ada dan SKPD teknis. Tim Monev terdiri dari 6 tim, termasuk untuk
kegiatan pendidikan dan kesehatan dan semua sektor yang dibagi habis untuk 39
kecamatan yang ada di Kabupaten Tasikmalaya. Monev dilakukan secara terpadu dari
seluruh bidang dan hanya pada pelaksanaan kegiatan saja, semua yang ada di APBD dan
dilakukan setahun 2 kali, yaitu pada semester 1 dan 2.
Salah satu temuan monev kalau di bidang kesehatan, pertama : mungkin
puskesmasnya perlu ruang rawat inap; kedua : dokter spesialis tidak merata; ketiga
perlunya puskesmas pembantu untuk masyarakat yang jauh, atau gedungnya perlu di
renovasi.
....“Karena saya baru ya Bu, ya saya baru tahu aja apa itu kampung gizi....
Katanya akan ada kegiatan yang memanfaatkan lahan milik masyarkat, terus akan aka
pemberian makanan tambahan dan sosialisasi. ..”Saya pengennya di 10 desa itu
orangnya mana, siapa, apakah bisa di sembuhkan stuntingnya... Jadi sebenernya dari
Bapedda butuh informasi kita harus ngapaain”.... “Misalnya Bapak ini Kabupaten
Tasikmalaya, si A kondisinya begini jadi Bapedda harus koordinasi dengan Dinkes untuk
mengetahui apa saja kegiatannya “
Ketika informan ditanya bagaimaan keterkaitan antara stunting dengan
masyarakat yang tidak punya jamban maka menurut informan masih ada yang desil 1
tidak punya jamban sendiri. Tapi masyarakat disini ada dikasih jamban tetapi tidak
dipake… katanya buat tamu, kasian katanya kalau ada tamu..jadi masyrakat masih ke
kebun dan balong (kolam yang bawahnya ada ikannya) untuk bab katanya enakan sambil
ngudud…
Sejauh ini masalah stunting masih di kerjakan oleh sektor kesehatan. Kalau dari
sektor pertanian paling ada kalau ada bencana mereka menyediakan makannya tetapi
hanya baru sosialisasinya saja. Disini ada daerah dataran tinggi penghasil sayuran dan ada
tanaman keras (kelapa) di daerah Sipatujang.

70
Gambar 15. Proses Koordinasi antara Dinas Kesehatan dengan BAPPEDA tentang
Pengusulan Anggaran Penanggulangan Stunting

Menurut informan yang bertanggung jawab (secara lembaga maupun individu)


dalam mengatasi masalah stunting ini harus tahu akar permassalahan mungkin akan tau
siapa yang harus bertanggung jawab. Misal anak yang lahir kurang bagaimana statusnya,
sehingga apakah keluarganya yang harusnya merawat atau jika keluarga nya miskin maka
harus dilihat lebih lanjut. Harus ada kerjasama misalnya jika masyarakatnya miskin, maka
dinas sosial. Jika sakit, maka dinas kesehatan. Jika rumahnya kurang layak maka menjadi
tanggung jawab Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman.
Sampai saat ini belum ada koordinasi terkait penanggulangan masalah stunting di
Kab Tasikmalaya. Termasuk aturan formal (UU/Perpu/Pergub/Perbup/komitmen bersama)
sebagai dasar untuk percepatan penurunan angka stunting di kabupaten/kecamatan juga
belum ada. Saat ini yang dilakukan hanya sebatas sosialisasi2 saja
Persoalan yang turut mendorong sulitnya penurunan angka stunting di
kabupaten/kecamatan ini adalah Budaya yang masih buang air besar sembarangan. Kalau
kerawanan pangan belum ada. Ekonomi yang miskin. Perlu adanya koordinasi antar
SKPD dalam upaya penanggulangan stunting sehingga jika memang perlu kegiatan maka
bentuk kegiatannya seperti apa ? selain itu perlu adanya evaluasi. Misal di desa A ada 5

71
sekarang lalu dikasi kegiatan lalau di akhir tahun masih ada maka adi evaluasi apa
kekurangannya.

2. DINAS PMD-PA-KB
Stunting adalah kegagalan tumbuh kembang anak yang ditunjukkan oleh ukuran
tinggi badan dibawah normal menurut umur atau bertubuh pendek. Penyebab stunting
adalah karena kurang asupan gizi dalam jangka waktu yang lama atau kronis, sejak masa
konsepsi, janin dalam kandungan, dan setelah lahir. Cara mengetahui seseorang stunting
adalah diukur tinggi badannya dan dibandingkan dengan standar WHO.
Menurut informan, perbedaan stunting dengan gizi buruk adalah stunting anak
dengan ukuran tubuh pendek atau tinggi badannya di bawah normal akibat kekurangan
gizi kronis, sedangkan gizi buruk anak yang kurus atau sanag kurus akibat kekurangan
gizi akut atau kronis.
Informasi tentang 100 kabupaten dan 1000 desa prioritas stunting diperoleh dari
beberapa kali mengikuti sosialisasi program penaggulangan stunting dan kabupaten
Tasikmalaya dalah salah satunya. Priortitas di Kab Tasikmalaya ada di 6 kecamatan dan
10 desa.
Menurut informan, semua masalah gizi adalah hal yang krusial, bukan hanya
stunting. Kekurangan gizi harus diperhatikan khususnya pada periode emas atau golden
periode. Sejak ada program penanggulangan stunting menjadi prioritas nasional, masalah
gizi menjadi perhatian SKPD, padahal sebelumnya tidak demikian.
Program mengatasi masalah gizi jangan hanya fokus pada stunting, tetapi juga
harus memperhatikan penyakit penyerta, karena sering menderita penyakit infkesi juga
menjadi penyebab kekurangan gizi. Keberhasilan program gizi tergantung pada
keberihakan Pemda pada program gizi, sehingga perlu dibahas dengan ASDA I dan II.
Gizi dan kesehatan termasuk Posyandu harus menjadi prioritas pemberdayaan
masyarakat desa agar pemerintah desa dan masyarakat peduli dengan masalah tersebut dan
dana desa dapat dimanfaatkan untk pelayanan sosial dasar termasuk peningkatan
infrastruktur posyandu termasuk kinerja kader
Peraturan Bupati tentang stunting harus bisa mendorong posyandu menjadi
posyandu Mandiri, dan fasilitasnya lengkap. Perlu integrasi pelayanan sosial dasar
termasuk posyandu.
Kepala Puskesmas harus aktif untuk melakukan kegiatan luar gedung agar
kegiatan di posyandu aktif, termasuk penanganan stunting. Selain itu Kepala Puskesmas

72
harus bisa melakukan advokasi kepada kepala desa berdasarkan masalah gizi dan
kesehatan di setiap desa, sehingga Kepala desa dan perangkat desa serta masyarakat
segera sadar dengan masalah gizi dan kesehatan yang terdapat di desa dan dapat mencari
solusinya
Intinya perlu itikad baik dari setiap pemimpin pada setiap level institusi untuk
mempercepat pelaksanaan dan integrasi penanggulangan stunting ada masalah gizi
kesehatan lainnya.
Penyebab masalah kekurangan gizi termasuk stunting tidak pernah tuntas adalah
karena tidak ada tindaklanjut ketika memperoleh data yang menunjukkan tingginya
masalah kakurangan gizi dari kegiatan bulan penimbangan tetapi data bulan penimbangan
belum banyak dimanfaatakan untuk bahan perencanaan kegiatan dan bahan advokasi
kepada pemimpin di setiap level institudi di daerah.
Monev di lapangan belum optimal karena, kalaupan ada data hasil monev belum
banyak ditindaklanjuti, sehingga masalah kekurangan gizi terus terjadi dan berlarut-larut.
Kendala masih berlarutnya masalah gizi dan kesehatan:
- Pembina desa dan Kepala Puskesmas belum membuat pemetaan masalah gizi dan
kesehatan di setiap desa
- Kepala Puskesmas bukan dari tenaga kesehatan/profesi kesehatan
- Dinas Kesehatan belum sepenuhnya meng-update data dan memanfaatkan data yang
telah dikumpulkan
- Kurang ada koordinasi antar program kesehatan dan antar sector
- Dana penanggulangan anak balita gizi buruk kurang dan belum ada sinergi untuk
memanfaatkan dana desa, disamping itu sebagian besar kepala desa belum paham
tentang pemanfaatan dana desa untuk penanggulangan masalah gizi dan kesehatan
anak balita
- Integrasi antar program belum kuat khususnya pada level pimpinan
- Pimpinan kurang konsisten untuk menanggulangi masalah gizi anak balita khususnya
di Bappeda.
- Kekuatan Bappeda sebagai pemersatu (pelaku integrasi antar program dan sector )
belum optimal, sehingga kurang ada integrasi antar program dan anras sector
khususnya dalam menilai dan menentukan usulan program atau usulan kegiatan dari
masing-masing dinas
Perlu ada power dari Bupati kepada Kepala Desa agar sebagian dana desa
dimanfaatkan untuk penanggulangan masalah gizi anak balita. Penanggulangan stunting di

73
Dinas PMDPPKB tupoksinya bukan intervensi spesifik, melalui Kampung KB khususnya
seks KIE, BKB, BKR yang dilakukan oleh PLKB atau TPD (ada 43 dan 148 orang);
pendewasaan usia perkawinan, penundaan kehamilan anak pertama; penyulhan calon
pengantin; memberikan bantuan infrasturktur posyandu. PLKB dan TPD dapat
difungsikan untuk membantu melakukan penyuluhan pada keluarga yang mempunyai
anak balita stunting, agar rajin melakukan pemantaun pertumbuhan dan melakukan
stimulasi perkembangan anak.
Perlu ada advokasi kepada Camat, Kepala desa, PKK, dan kader dalam
penanggulangan masalah gizi dan kesehatan anak balita. Dana desa bisa dimanfaatkan
untuk insentif kader yang membantu program gizi dan kesehatan. Program Kampung KB
sudah seluruh desa (351 desa) dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga
dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam program KB khususnya penggunaan
Kontrasepsi jangka panjang. Pembentukan Kampung KB bersifat Top down dari BKKBN
Pusat melalui BKKBN Provinsi, dan e Dinas PMDPPKB. Dasar pembentukan adalah
juklak dan juknis Kampung KB. Dana kegiatan Kampung KB adalah dari dana desa,
berdasarkan surat edaran bupati agar setiap desa menyediakan dana operasional untuk
kegiatan Kampung KB dari dana desa
Kegiatan Kampung KB antara lain:
- Sosialisasi kepada masyarakat dan melibatkan tokoh masyarakat untuk mengikuti
pelatihan Kampung KB
- KIE penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang
- KIE tumbuh kembang anak melalui wadah kegiatan BKB (Bina Keluarga Balita)
- KIE kesehatan reproduksi remaja melalui wadah kegiatan BKR (Bina Keluarga
Remaja)
- KIE kesehatan lansia melalui wadah kegiatan BKL (Bina Keluarga Lansia)
- Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PKEKAK) melalui pembinaan dan
bantuan modal untuk melakukan usaha kecil pada keluarga PEKAK)
- Pembentukan BUMDES untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat desa
- UPPKS dengan memberikan bantuan peralatan untuk usaha kecil di masyarakat
Indikator hasil Kampung KB adalah TFR turun (total persalinan turun), ada KIE
melalui BKB, BKR, BKL, dan cakupan penggunaan AKJP (alat kontrasepsi jangka
panjang) meningkat, ada dana operasional Kampung KB dari dana desa, dan PLKB dan
TPD “menyatu dengan masyarakat”, PEKAK usahanya berkelanjutan dan tidak bangkrut;
adal legalitas Kampung KB berupa SK Kampung KB di masing-masing desa;

74
pendewasaanatau penundaan usia perkawinan, penundaan kehamilan anak pertama.
Monev Kampung KB khususnya kegiatan PKLB langsung dilakukan oleh BKKBN pusat
melalui apliasi digital dan GPS.
Integrasi dengan sektor lain sudah ada, yaitu bedah rumah oleh Dinas PUPR,
pemanfaatan pekarangan untuk berkebun dilakukan oleh Dinas pertanian. Integrasi bisa
berjalan karena ada koordinasi dari awal antar pimpinan dan koordinasi berjenjang secara
structural. Koordinasi antar pimpinan dilakukan sejak dari Pusat, provinsi, Kabupaten,
kecamatan, dan sampai tingkat desa, sesuai dengan Juknis dan Juklak. Ada kerja sama
antar seksi dalam pelaksanaan Kampung KB khususnya seksi di Bidang KB
Yang paling bertanggung jawab untuk melakukan koordiansi dan integrasi pada
level pimpinan adalah kepala daerah, camat dan kepala desa. Sehingga yang perlu
dilakukan adalah melakukan advokasi kepada camat dan kepala desa, karena dana ada di
desa; melakukan komunikasi yang lebih intensif dengan intas program dan lintas sektor
pada saat perencaan dan pelaksanaan program atau kegiatan; dan masing masing institusi
dan pimpinan melakukan tugas dan fungsinya secara lebih baik
Potensi masyarakat atau kearifan local yang cukup penting adalah gotong royong
masih kuat, masyarakat patuh pada pimpinan, baik formal maupun non formal.
Kelemahan masyarakat yang cukup penting adalah masih percaya dengan ajaran dan cara-
cara lama yang diperoleh secara turun temurun masih mengikuit apa kata orang tua atau
kakek neneknya.

3. DINAS KETAHANAN PANGAN DAN PERIKANAN

Di Tingkat Pusat
Program terkait penanggulangan stunting yang ada di Badan Ketahanan Pangan,
Kementerian Pertanian adalah:
1. Kawasan Mandiri Pangan (KMP)
2. Kawasan Rumah Pangan Lestari (KRPL)
3. Toko Tani Indonesia (TTI)
Dari 3 program di atas program yang paling mendekati dengan penanggulangan
stunting adalah KMP dan KRPL.

75
I. PROGRAM KMP
- Program KMP ada di Bidang Kerawanan Pangan
- Program KMP biasanya untuk 2 tahun anggaran, tahun pertama merupakan
pengembangan, tahun kedua kemandirian. Bentuknya stimulus dana untuk bantuan
usaha produktif bagi kegiatan tani, pangan, hortikultura, peternakan.
- Strateginya berbentuk pemberdayaan masyarakat dan lintas sektor. Tahun 2018
dipilih 20 kawasan (18 provinsi), masing2 kawasan terdiri dari 1 desa, 1 desa 20-40
kelompok yg diberi bantuan pemerintah berupa dana sebesar Rp 100 juta.
Penggunaan anggarannya 20 % untuk operasional dan 80 % utk beli bibit atau
benih. Kegiatan ini utk meningkatkan pendapatan dan mendorong ekonomi.
Keterlibatan lintas sektornya dlm bentuk perbaikan sarpras, penyediaan air bersih
dll.
- Untuk tahun 2018 sasaran program KMP untuk Provinsi Jawa Barat hanya di
Cirebon dan Garut.
- Tasikmalaya sudah dilaksanakan di tahun 2015, yaitu di Desa Cigalontong. Pada
tahun 2015 program KMP dilaksanakan pada 78 kawasan di 30 provinsi.

II. PROGRAM KRPL


- Program KRPL ada di Bagian Penganekaragaman Konsumsi Pangan
- Program KRPL untuk mempercepat penganekaragaman pangan dan memperkuat
ketahanan pangan masyarakat. KRPL juga dilaksanakan dalam rangka mendukung
program pemerintah untuk penurunan kemiskinan melalui kegiatan padat karya,
penanganan daerah stunting dan penanganan daerah rentan rawan pangan. Bentuk
pemberdayaan utk pemanfaatan pekarangan.
- Tahun 2018 dilaksanakan di 2300 desa pada 33 provinsi dengan prioritas daerah
rentan rawan pangan berdasarkan FSVA atau peta ketahanan dan kerawanan
pangan serta kabupaten prioritas penanganan stunting.
- Syarat utk pemilihan lokus KRPL : ada air, akses jalan tersedia
- KRPL merupakan kegiatan pendampingan dan pemberian bantuan dana sebesar Rp
50 juta untuk tiap kelompok, kegiatan ini ada pendamping kabupaten/kota.
- Tiap kelompok terdiri dari 30 Ruta, diharapkan dengan KRPL bisa memenuhi
asupan pangan keluarga dengan memanfaatkan kebun/pekarangan kalau ada sisa
bisa dijual.

76
- Kendala terkait dalam penanganan stunting, para pelaku baik anggota kelompok
maupun petugas pendamping belum memahami apa itu stunting. Kegiatan lebih
fokus ke budidaya, belum ada pemberian pemahaman bagaimana manfaat utk gizi
- Kendala lain, karena pemilihan lokusnya adalah daerah yang tinggi stunting yang
biasanya daerahnya jauh/miskin sehingga susah utk dimonitoring. Selain itu belum
ada evaluasi juga dampaknya terhadap pemenuhan gizi keluarga, hanya melihat
peningkatan frekuensi konsumsi sayur, buah dan protein hewani.
- Tahun 2018 kabupaten Tasikmalaya masuk sebagai lokus KRPL walaupun sudah
masuk dalam prioritas 5 (cukup baik dan tahan pangan). Di Kab Tasikmalaya, ada 5
desa yang jadi lokus : Sukakerta, Calincing, Sundakerta, Kiarasari, Kiara Jangkung.
Yang beririsan dengan lokasi Kampung Gizi adalah DESA SUKAKERTA DAN
KIARAJANGKUNG.

Di Tingkat Kabupaten
Seluruh informan di Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan pernah mendengar
tentang stunting namun 2 dari 3 informan belum mengerti apa sebernanya arti stunting
tersebut baru pada tahap mendengar saja. Mereka hanya tahu kalau itu merupakan progam
dinas kesehatan agar meningkatan kesejahteraan masyarakat yang melibatkan berbagai
lintas sektor.
Salah seorang informan menyatakan stunting itu suatu keadaan kekurangan gizi
yang ditunjukan dengan tubuh pendek yang disebabkan karena kurangnya asupan gizi,
bisa dikarenakan faktor keturunan, lingkungan. Tapi terutama dari faktor kurang gizi.
Sepengetahuan informan aada beberapa desa yang terdapat masalah stunting seperti
seperti Calingcing dan Mandalahayu. Selanjutnya salah seorang informan mengetahui
tentang adanya prongam 1000 desa prioritas stunting dimana Tasikmalaya ditetapkan 10
desa yang menjadi sasaran program tersebut. Sebelumnya mereka belum tahu dimana
lokasi daerah2 stunting berada. Karena sasaran (lokus) dari program DKP adalah
kelompok tani maka mereka mengajukan sasaran program berdasarkan kelompok wanita
tani yang sudah ada, jadi belum tentu ada yang stunting didalam kelompok tani tersebut.
Ada 5 desa yang diarahkan ke program 1000 desa prioritas stunting yang mendapat
program KRPL (kawasan rumah pangan lestari). Sisa desa lainnya mendapat dana dari
APBD, walaupun bentuk bantuannya berbeda namun inti programnya sama yaitu
pemanfaatan lahan pekarangan. Kalau yang dari pusat berbentuk uang kalau dari APBD

77
dalam bentuk barang (bibit). 5 desa yang mendapat program KRPL yaitu desa Carincing,
Kiara Jangkung, Sukakerta, Tanjung Barang dan Mandalahayu.

Gambar 15. Koordinasi dengan Dinas Pertanian dan Dinas Ketahanan Pangan &
Perikanan

Menurut salah seorang informan gizi buruk itu adalah suatu kondisi yang sudah
terjadi dikarenakan kurangnya asupan gizi terlepas dari dia mampu atau tidak mampu,
sedangkan kurang gizi diakibatkan dari asupan yang kurang. Makanan bisa berlebih
namun zat gizinya belum tentu tercukupi. Menurut sepengetahuan beberapa informan
tentang kurang gizi atau gizi buruk adalah sama yaitu kondisi anak yang kurus
Menurut informan 2 dia belum penah mendengar suatu program sasarannya adalah
daerah stunting karena di DKP sasarannya adalah kelompok baik kelompok tani maupun
kelompok perikanan. Informan juga belum mengetahui apakah di Kabupaten Tasikmalaya
ini sudah ada desa-desa yang dikategorikan stunting, belum tersosialisasikan, malah arti
stunting saja belum dipahami. Karena sasaran program mereka dibidang budidaya ikan
tangkap tidak mengacu ke arah stunting, mungkin Dinas Kesehatan yang lebih
berkompeten atau Dinas Sosial. Jadi jika program mereka dikaitkan dengan stunting itu
masih jauh. Menurut informan 1 yang berada di bidang konsumsi dan keragaman pangan

78
masalah ini menjadi penting. Karena gizi kurang itu terjadi karena makannya tidak
beragam, bergizi, seimbang dan aman. Mereka menganggap penting setelah terpapar
dengan sosialisasi stunting,
Menurut informan cara penanggulangan masalah stunting dengan memberikan
makanan yang begizi. Karena stunting itu disebabkan karena asupannya yang kurang serta
tidak mengonsumsi makanan yang beragam, bergizi, seimbang dan aman.
Menurut informan cara yang tepat dalam mengatasi masalah stunting itu mungkin dinas
kesehatan yang lebih tahu, karena program-program mereka di DKP ini tidak ada yang
langsung mengarah kepada suatu individu melaikan kepada suatu kelompok.
Menurut informan mereka punya program yang secara tidak langsung bisa
dikaitkan dengan penurunan masalah stunting adalah :
1. Contohnya program Restocking, yaitu menuai bibit-bibit ikan diperairan umum seperti
sungai, danau, situ, rawa. Hal ini diperuntukkan kepada masyarakat yang tidak
mempunyai tambak2 ikan yang semakin hari semakin berkurang dikarenakan alih
peruntukan. Dengan adanya restocking ini diharapkan agar masyarakat desa yang tidak
mempunyai kolam ikan bisa makan ikan. Tahun ini sudah dilaksanakan di 25 desa
dari 351 desa yang ada yang dilihat dari potensi sumber daya alamnya seperti punya
situ, sungai dll. Benih yang disebar pada tahun ini sebanyak 5 juta ekor ikan nila. Dana
berasal dari bantuan provinsi karena dana kabupaten terbatas. Output dari program ini
agak sulit diukur terutama benih di sungai, mungkin hanya bisa dilihat salah satunya
dari tangkapan para pemancing yang lebih banyak dari sebelumnya. Tapi kalau untuk
pembibitan di situ hasilnya bisa tercatat walaupun hanya estimasi tetapi kegiatan ini
tidak dilakukan tiap tahun.
2. Adanya gerakan makan ikan, yang karena keterbatasan dana baru dilaksanakan di desa
Carincing, dengan cara diberikan uang sebesar Rp 25000 per sasaran untuk 10 hari
makan dalam 1 tahun yang dikelola oleh kelompok masyarakat. Menu makanannya
bisa berupa ikan atau olahan ikan. Hal ini baru merupakan pengenalan saja. Untuk
desa2 lain baru pada tahapan sosialisasi gerakan makan ikan. 3. Kawasan rumah
pangan lestari (KRPL) dengan nama program optimalisasi pemanfaatan lahan
pekarangan dengan memberikan bantuan uang sebesar 50 juta kepada setiap
kelompok. Pemilihan kelompok untuk saat ini sudah diprioritaskan untuk 10 daerah
prioritas stunting. Penggunaan dana tersebut diserahan kepada masing-masing
kelompok sesuai dengan kondisi di daerah masing2 serta nanti ada penyuluh yang
akan mendampingi. Rencana penggunaan uang tersebut sebelumnya sudah diajukan

79
oleh masing-masing kelompok dimana nantinya mereka akan menggunakan dana
sesuai dengan rencana yang telah dibuat. Diharapkan dari hasil ini selain bisa mereka
manfaat sendiri bahkan bisa untuk di jual. Penggunaan uang sebesar 50 juta itu
digunakan 20 juta utk kebun bibit, 7 juta untuk pengembangan denplot (demonstrasi
untuk pembelajaran mereka), 15 juta untuk pemanfaatn pekarangan anggota, 5 juta
untuk penanaman bibit di sekolah-sekolah, 3 juta untuk pengolahan hasil tanam
mereka.
Indikator keberhasilan yang dipakai kalau dari bidang budidaya ikan tangkap yaitu
meningkatnya produksi ikan baik di laut dan di darat. Namun secara keseluruhan indikator
keberhasilan program di DKP ini yaitu tersalurkannya semua bantuan ke masyarakat
Untuk kegiatan pendampingan di desa telah ada yang namanya penyuluh, dimana masing-
masing penyuluh bertanggung jawab terhadap beberapa desa. Penyuluh inilah nantinya
yang akan memberi bimbingan dan mengawasi setiap adanya keluhan dari masing2
kelompok tani. Setiap masalah yang ada dilapangan akan disampaikan oleh penyuluh ke
Dinas yang biasanya dilakukan melalui media telekomunikasi, mengingat desa-desa yang
ada dikabupaten ini cukup jauh, sedangkan dana yang tersedia untuk turun ke desa sangat
minim. Kegiatan ini belum melibatkan sektor lain dalam kegiatan-kegiatan diatas.
Menurut seluruh informan yang lebih bertanggungjawab terhadap stunting adalah
kesehatan karena salah satu faktor stunting itu gizi buruk, kekurangan gizi, asupannya
sedikit sehingga proses pertumbuhannya menjadi terganggu. Selain itu program-program
masalah yang berhubungan dengan gizi lebih banyak di kesehatan, selain itu anggaran
dan sumber daya manusia yang tersedia di kesehatan lebih banyak dari instansi mereka.
Penyuluhan yang diberikan oleh mereka yang berkaitan dengan masalah kesehatan
mungkin kurang didengar dibandingkan jika yang memberikan adalah petugas kesehatan.
Kalau di kesehatan semua faktor tersentuh mulai dari anak-anak sampai orang tua.
Menurut informan kader di porsyandu itu lebih hebat dari mereka karena nasehat-nasehat
mereka lebih di dengar oleh masyarakat serta mereka bisa mengingatkan masyarakat
setiap hari. Jadi sebaiknya masalah ini diserahkan ke dinas kesehatan
Untuk penanggulangan masalah stunting diharuskan adanya koordinasi lintas
sektor agar semua sektor mengetahui bahwa adanya program stunting di daerah mereka.
Jika mereka tahu ada masalah stunting di suatu daerah tertentu akan memprioritaskan
program-program mereka di daerah tersebut tentunya sesuai dengan sumber daya alam
yang dimiliki daerah tersebut. Seperti bidang budidaya ikan, akan melibatkan kelompok-
kelompok yang ada didaerah tersebut dengan program-program budidaya ikan yang sesuai

80
dengan sumber daya alam di daerah tersebut sehingga hasilnya bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat setempat.
Koordinasi terkait secara khusus stunting tidak ada, tapi untuk penanggulangan
kemiskinan kegiatan koordinasinya ada setiap tahunnya. Karena belum adanya suatu
aturan formal sebagai dasar percepatan penurunan angka stunting di kabupaten ini.
Mereka setuju dibuatnya suatu komitmen bersama dari masing-masing instansi dalam
menangani masalah ini dengan mengaktifkan forum-forum yang sudah ada selama ini.
Tidak perlu membentuk suatu forum koordinasi khusus masalah stunting. Bisa dimasukan
ke dalam bidang percepatan penurunan kemiskinan. kalau semakin banyak forum yang
dibuat akan kelihatan seperti bertarung kepentingan, bukan bertarung ingin menyelesaikan
suatu masalah tapi bertarung terhadap kepentingan insitusi masing-masing. Selama ini
mereka merasa belum pernah dilibatkan dalam suatu koordinasi yang membahas khusus
masalah stunting.
Penyuluhan sudah sering diberikan kepada masyarakat tentang bagaimana pola makan
yang benar, tapi dengan banyaknya informasi yang masuk melalui televisi dimana banyak
iklan yang tidak mengarah kepada konsumsi yang beragam, bergizi, seimbang dan aman
sehingga menjadi lebih berat untuk mengubah ke pola makan yang benar. Rendahnya
pendidikan ibu, faktor kemiskinan dan susahnya merubah sifat malas masyarakat setempat
juga merupakan salah satu penyebab susahnya menurunkan angka stunting,
Untuk kegiatan berikutnya pemilihan lokasi terhadap program-program kami akan
menyesuaikan dengan desa prioritas stunting yang telah ditentukan oleh pemerintah.

4. DINAS KESEHATAN
Saat ini informan bekerja di Seksi Rujukan di Bidang Pelayanan Kesehatan, Dinas
Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya dan ebelumnya pernah di seksi kesling.
Menurut informan, stunting itu pendek kerdil, pertumbuhan tinggi badan tidak sesuai
dengan usianya dan pendek, dibanding yang seusianya yang disebabkan salah satunya
karena penyakit infeksi dan untuk mengetahui stunting diukur dari tinggi badanya.
Di kabupaten Tasik ada 10 desa seperti Puspasari, Mandalahayu dan selebihnya tidak
hafal tetapi sebetulnya menurut informan lebih dari itu. Anak-anak SD kelas 6 itu terlihat
pendek-pendek dibanding anak yang seusia di kota-kota.. Diluar yang 10 desa itu juga
banyak, anak SMA yang tubuhnya kecil-kecil dan banyak di sini

81
Kalau stunting prosesnya lama. jadi sudah menderita gizi buruk lama, baru stunting.
Kalau gizi buruk dikaitkan dengan berat badan dan tinggi badan. Proses gizi buruk
prosesnya bisa lama bisa singkat.
...” Asupan gizi yang kurang ditambah penyakit infeksi seperti diare kita itu masih tinggi
dan juara penyakit terbanyak di puskesmas itu kalau ga diare ya ISPA...”... TBC juga
banyak..
Stunting perlu diatasi, jika tidak diatasi akan menjadi masalah dikemudian hari....”Orang
ga mati karena stunting, sehingga masyarakat ga sadar kalau stunting itu masalah”.
...Pertumbuhan anak stunting juga tidak seperti anak-anak yang normal, daya tahan
tubuhnya juga mudah terkenal penyakit.... Penurunan stunting jangka lama, perlu dimulai
dari ibu nya. Dari Pangkalnya. Jangan dari setelah stunting baru ada tindakan. Contoh
pencegahan diare, karena kesling kita masih rendah ODF juga masih rendah, sehingga
berisiko terhadap kesehatan ibu yang nantinya bisa menyebabkan stunting pada anak-
anaknya. air bersih juga begitu..”.
Mengendalikan penyakit infeksi dengan perbaikan lingkungan sehingga risiko
stunting bisa ditekan. Karena jika penyakit infeksi masih tinggi, akan mengganggu
penyerapan zat gizi dari makanan yang dikonsumsi. Di seksi rujukan ini tidak terlalu
banyak, tapi di seksi pelayanan primer selain pelayana kesehatan di faskes, juga ada
kegiatan pendataan keluarga sehat. jadi ada peningkatan kualitas rujukan, PIS-PK, gigi
dan akreditasi. Dengan ditingkatkanya kualitas pelayanan kesehatan, maka deteksi dini
bisa dijalankan maka dampak terhadap stunting bisa diminimalisir. Secara khsusu program
untuk stunting beum ada. mungkin dari sekian banyak program pelayanan PHN,
kunjungan rumah, sehingga deteksi dini terhadap risiko stunting lebih cepat diketahui
terutama untuk balita.

Gambar 16. Koordinasi dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Tasikmalaya

82
Data pelayanan yang ada digunakan sebagai dasar perencanaan. Untuk
mewujudkan pelayanan kesehatan yang berkualitas termasuk pelayanan rujukan. Laporan
pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh nakes dan faskes di puskesmas. Untuk
pelayanan rujukan didukung dana APBD kita melakukan sosialisasi untuk pelayanan
rujukan kesehatan ibu dan anak, sehingga pasien yang dirujuk tidak ada yang tidak
dilayani atau terlambat di layani. Jadi di dinkes ada layanan call center, untuk
mengkonfirmasi pelayanan ke RS rujukan, selanjutnya akan diinformasikan kepada
puskesmas tentang tanggal pelayanan rujukan yang akan dilaksanakan. Kalau pusat berupa
PIS PK tetapi kalau pelatihan di provinsi dananya dari provinsi. Di sini dilakukan
workshop yang didanai oleh daerah. Jadi semua orang puskesmas diundang pemegang
program sebanyak 5 orang per-puskesmas.
Kalau paket provinsi mereka menggunakan dana dari pusat, mereka yang mengundang
kita untuk dilatih sedangkan di kabupaten melakukan workshop lagi terhadap seluruh
puskesmas yang sudah dilatih di porovinsi.
Puskesmas membuat perencanaan untuk BOK, salah satunya adlaah kegiatan PIS
PK yang berhubungan dengan yankes. Untuk kegiatan yang di puskesmas, puskesmas
melakukan pendataan dulu. Setelah itu dihitung indeks keluarga sehatnya, maka akan
diketahui masalah dari 12 indikator yang diukur. Selanjutnya Puskesmas melakukan
perencaaan intervensi. Proses pendataan sampai ke analisisnya itu belum semuanya beres
termasuk 5 desa yang akan diamati oleh litbang ini.
Kalau PIS-PK, indikatornya IKS tetapi belum ada IKS untuk tingkat puskesmas, kalau
desa kayaknya sudah ada sebagian. Saat ini ada layanan call center lama waktu pelayanan
tetapi tidak tercatat langsung. Indikator lain yang bisa kita lihat dari call center itu adalah
penurunan kematian ibu dan anak.
Monitoring per faskes yang merujuk, supervisi langsung kalau untuk monev kita
tidak ada dana. Kalau PIS PK dari tidak dana monitoring tetapi puskesmas bisa
mengundang kita untuk fasilitator. Jadi monev program rujukan kita sempatkan saat
diundang untuk PIS PK oleh puskesmas
Terkait pananggulangan stunting saat ini tidak ada ada lintas sektor yang dilibatkan
Pernah disarankan kepada Bappeda saat pamsimas, agar dikembangkan keterpaduan
antara program dan lintas sektor terakit dalam menangani maslah kesehatan. Tetapi belum
ada keterpaduan itu. Kalau pamsimas, koordinasi khusus dengan kesling. kalau di yankes
belum ada

83
Agar dapat berhasil maka seharusnya penanggulangan masalah stunitng langsung
dikawal oleh pimpinan daerah. ...”Karena kita itu masih budaya instruksi... Kalau hanya
ditingkat SKPD aja susah. Jika instruksi dari kepala daerah, mungkin tanpa dana pun
bisa dilakukan pekerjaan tersebut. Jika hanya di tingkat SKPD susah implementasinya....
Ya, setelah komitmen kepala daerah, langsung sekda yang mengkoordinir. Jika tidak
begitu susah untuk melibatkan lintas sektor untuk menanggulangi stunting...
Sektor yang terlibat dalam upaya penanggulangan stunting antara lain adalah Dinkes,
Dinsos, Bazi, Pendidikan, Pemberdayaan masyarakat dan sektor penggerakan ekonomi
masyarakat karena tanpa keterlibatan sektor-sektor terkait susah untuk mewujudkan tujuan
koordinasi masih sektoral hanya sebgaian kecil yang benar-benar terlibat sektoral.
...”Saat ini koordinasi tentang stunting berupa rapat- rapat saja. Di internal Dinkes ada
sosialisasi ditingkat pemda pada beberapa rapat tetapi keterpaduan belum terbangun
antar sektor yang terkait..”.
Kondisi pendidikan msyarakat yang masih rendah masih perlu ditingkatkan agar
masyarakat leih bisa memahami permasalahan kesehatan yang dihadapi, dari segi ekonomi
masih ada sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah. Data PIS PK bisa digunakan
untuk mengetahui permasalahan kesehata yang bisa diintervensi untuk mengatasi stunting
Informasi dari Penanggung jawab Program JKN menyatakan bahwa dulu pernah
menjadi PJO riskesdas 2007 dan data stunting 42,7%, Riskesdas 2013 41,73%. Setelah
itu kita di tahun 2011 sudah buat Banner 1000 hari pertama kehidupan, tapi orang beum
ngeh dengan stunting. Orang belum berfikir bagaimana mengatasinya untuk menjadi
tinggi. Adapun penyebab stunting menurut informan karena kondisi saat kehamilan dan
status gizi setelah dilahirkan. Cara mengetahui stunting dengan mengukur tinggi badan.
Mneurut informan 1000 desa lokus prioritas stunting dari hasil riskesdas. Pada tahun 2015
belum tahu yang 1000 desa dan setelah tahun 2016 ke sini baru tahu. Ke-10 desa tadi
pernah kita bandingkan dengan hasil bulan penimbangan (setiap bulan agustus sejak 2014
dengan mengukur panjang badan). Tetapi tidak ada pengukuran panjang badan. Setelah
terpikir untuk mengukur panjang badang pada tahun 2013, dengan pengadaan 1000
mikrotoice. Tetapi kita belum pernah melatih bidan atau kader untuk mengukur panjang
badan. Dari data hasil bulan penimbangan hanya 16% yang stunting sedangkan hasil PSG
2015 sebesar 29%an dan tahun 2016 sebesar 30-33% tapi tidak tahu kalau 10 desa itu
stunting. Tetapi mungkin ada beberapa desa yang kurang pas untuk kasus stunting, salah
satu nya desa kiara jangkung yang dikunjungi kemarin.

84
Menurut informan stunting perlu diatasi karena berkaitan dengan masalah
kecerdasan. Jadi perlu diperhatikan status gizinya dengan memberikan makanan bergizi
dan aktivitas fisik, agar anak-anak bisa tumbuh tinggi. Jika tinggi badan bisa dengan
aktivitas fisik tetapi bagi anak yang stunting, sudah tidak bisa diperbaiki kondisi otaknya,
karena sudah lewat dari 1000 hari kelahiran.
Terkait pembiayaan maka pada waktu gizi butuk dan marasmus, dijamin dengan
Jamkesda, dulu belum ada JKN. Sekarang stunting, jamanya JKN, jadi preminya dibayar
oleh pemerintah daerah (iuranya ke BPJS) mereka memegang kartu KIS . Sekarang
diarahkan gizi buruk termasuk stunting, premi yang bayar pemda, masyarakat miskin yang
megang kartunya. Bagi masyarakat yang datang ke faskes dan belum mempunyai BPJS,
ditanggung oleh Jamkesda, jadi biaya ditanggung pemerintah dan sejak 2014. keluarga
yang mampu kita dorong untuk jadi peserta JKN mandiri. Yang terkait langsung dengan
stunting sebenarnya adalah jampersal, jaminan persaliann bagi ibu yang akan melahirkan,
karena sumber segala manusia dari ibu. kaitanya dengan jaminan adalah ibu yang
memiliki anak stuting umumnya tidak mampu. sehingga besar kemungkinan dia tidak
melahirkan di faskes. dampaknya terhadap kematian ibu dan bayi. selama hamil juga dia
paling tidak 4 kali konsultasi kehamilan, K1-K4. Jika dari awal dinyatakan tidak mampu
dari awal, kan jaminan tadi bisa membantu dia untuk kontak dengan bidan (nakes) selama
hamil sampai melahirkan. ANC termasuk dijamin juga dengan jampersal.
Proses perencanaan jampersal menggunakan sumber dana dari DAK non fisik.
Dari data proyeksi ibu hamil 1 tahun hanya sekitar 1,7 juta penduduk, baru sekitar 1juta
yang memiliki jaminan. Jadi kita usulkan ke pusat (DAK non fisik) ke direktorat ibu, nanti
akan turun. tahun ini kita peroleh anggaran 9,1 M. jadi dana itu kita alokasikan untuk
rumah tunggu kelahiran, untuk ibu yang secara geo jauh dari faskes, untuk membantu
transport ibu hamil dan petugas untuk rujukan. karena jampersal tidak diperkenankan
dibayar jika tidak di faskes, dengan ditabgani 2 bidan minimal. diperkirakan 5 hari
sebelum dan ssudah, juga untuk bumil risti yang dirujuk ke RS.
Proses pengajuan Jampersal, dari DAK non fisik dan APBD untuk jamkesda
diajukan permohonan ke direktorat ibu sesuai proyeksi ibu hamil. Sekitar 3000 an bumil
per tahun. (10% dari proyeksi ibu hami diperkirakan tidak mampu). Untuk daerah melaui
jamkesda, yang memiliki kartu JAMKESDA bertahap dikonversikan ke JKN baru 20.000
dari 179.000 peserta sehingga setiap tahun pemda bayar 6 M, termasuk untuk
JAMPERSAL.

85
Seluruh masyarakat miskin yang belum tercover oleh JKN dijamin melalui
Jamkesda, yang sudah memiliki Jamkesda secara bertahap dikonversikan ke JKN, untuk
mengurangi beban APBD. Indikator harus mencapai UHC, Universal Health Coverage di
akhir 2018 ini. Sekarang sekitar 59% menurut data BPJS. JAMPERSAL indikatornya
seluruh bumil miskin harus bersalin di faskes. Jampersal hanya menutup masyarakat yang
belum mampu yang belum memiliki JKN tetapi untuk ke depan akan didorong konversi ke
BPJS. Untuk mencapai Instruksi Bupati No. 200/2017 maka mengeluarkan surat edaran ke
puskesmas untuk mencapai UHC, dan Dinas soisal diminta untuk merekomendasikan agar
masyarakat miskin mendapatkan jaminan kesehatan. Selanjutnya mulai dari perencanaan,
Dinas kesehatan menginformasikan data jumlah penduduk miskin yang memanfaatkan
faskes, proyeksi bumil miskin untuk dikoordinasikan dengan pemda dan pusat
BPJS setiap bulan membayar kapitasi, faskes memberikan laporan, dari laporan tadi bisa
diketahui berapa jumlah masyarkat yang belum menggunakan BPJS, JAMKESDA dan
JAMPERSAl yang memenuhi kriteria untuk mendapatkan jaminan kesehatan yang ada
Sektor yang diharapkan terlibat terkait penanggulangan stunting adalah Dinas Sosial,
BAPPEDA, BPKAD, Dukcapil, Kemementerin sosial, BPJS, Kementerian Kesehatan.
Berdasarkan data BPJS dan jamkesda, jumlah masyarakat yang belum tercover melalui
kedua jenis jaminan kesehatan tersebut, itulah yang di usulkan untuk dicover oleh
Jamkesda, Di Kabupaten Tasikmalaya, jika masyarakat miskin tersebut datang ke faskes,
atau melapor kepada unit pelayanan cepat kemiskinan kabupaten tasik. untuk bumil
miskin dicover melaui jampersal tetapi kedepan seluruh masyarakat diupayakan untuk
konversi ke JKN,
Sesuai dengan laur koordinasi masing-masing program, jika JKN ke BPJS, Jampersal
melalui DAK non fisik, jamkesda dalam perencanan keuangan daerah
Komitmen dari pucuk pimpinan daerah sangat dibutuhkan dalam upaya
penanggulangan stunting serta perlu dukungan dari Bappeda, Dinas Sosial, BPKAD,
Dukcapil, BPJS karena terkait dengan pendanaan bagi masyarakat miskin yang belum
memiliki jaminan kesehatan dari segi JKN, bagi masyarakat stunting yang tidak mampu
dikoordinasikan dengan Dinkes dan Dinsos. ....” hari ini juga sedang dibicarakan bukan
hanya yang stunting, tetapi untuk masyarakat yang mengalami disabilitas dan gangguan
jiwa..”. Kaitan lain dengan stunting, bagi ibu hamil yang tidak mampu dijamin melalui
Jampersal, bagi yang belum punya JKN atau Jamkesda. Kebijakan tentang JKN
didasarkan pada Insturksi bupati bulan Oktober 2017 tentang : 1). sosialisasi mengenai
jaminan kesehatan kepada masyarakat; 2). Masyarakat harus menjadi peserta JKN, yang

86
tidak mampu dibayar preminya oleh pemerintah daerah; 3). Bagi yang tidak mampu
dikoordinasikan dengan Dinkes dan Dinsos, untuk dibayarkan preminya.
Sapai saat ini belum ada secara khusus tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Stunting
di Kabupaten Tasikmalaya tetapi sebenarnya ada Tim koordinasi penanggulangan
kemiskinan, yang diketuai Wakil Bupati dan koordinatornya BAPPEDA, kalau di pusat
(TNP2K) Wapres.

5. DINAS SOSIAL
Menurut informan dari Dinas Sosial, baru mendengar tentang stunting pada saat
waktu sosialisasi saja dari Badan litbangkes. ....”Belum lama dengar kata
stunting..hmmm..sebelum pertemuan kemarin pernah dengar tapi gak paham apa itu
stunting, baru kemarin lah agak kebanyang apa itu stunting...yang tahu dan pernah lihat
langsung di masyarakat itu anak gizi buruk.....balita pendek saja yang terutama stunting
itu, hmm..yang diakibatkan dari kekurangan gizi pada saat itu hamil, stunting itu
dampaknya bisa membuat gagal tumbuh pada anak balita. Kemarin baru tahu sebatas itu
saja”.
Sama halnya dengan stunting, informasi tentanf 100 kabupaten kota prioritas
stunting itu baru dengar kemarin itupun kalau dilihat dari angka kasus tidak terlalu banyak
dan signifikan banyaknya jumlah kasus stunting, di Kiarajangkung, kecamatan Puspahiang
dan kecamatan Sukahening saja hanya berapa itu kasusnya. ...”Heran juga saya kalau dari
beberapa desa yang disampaikan kemarin secara angka tidak terlalu banyaklah
sebenarnya. kalau dari desa-desa yang disebutkan Pak Agus dan ibu dari kesehatan
kemarin sih bingung juga yah saya apakah sudah sesuai atau belum tapi memang ada 2
desa yang masuk kategori mayoritas miskin tapi 10 desa itu memang juga sasaran
program PKH dan BPNT kementerian sosial selama ini... tetapi kalau untuk penerimanya
mungkin nanti bisa kroscek ulang, mungkin bisa di cek ulang dari dinas kesehatan apa
masih ada desa yang angka stuntingnya lebih tinggi dari kiarajangkung itu, supaya
program yang mau dijalankan untuk stunting lebih tepat guna.
Menurut informan, stunting hampir-hampir sama dengan gizi buruk tetapi kurang gizi
atau gizi buruk itu kurus ceking seperti busung lapar perutnya kedepan tapi tulang-
tulangnya keliatan , matanya juga keliatan cekung, stunting itu yang tampak tinggi
badannya pendek atau kerdil sama otak anak itu bermasalah jadi bisa gagal tumbuh karena
kurang gizi waktu ibunya hamil anak tersebut.

87
Menurut informan, permasalahan gizi mau apapun harus ditangani dan diatasi.
Karena salah satu indikator kesejahteraan kita kan kondisi kesehatan termasuk didalamnya
gizi. Seperti contoh program-program bantuan sosial yang ada dari kementerian sosial saja
menyasar bantuan yang baik langsung atau tidak langsung menyasar pada gizi keluarga.
seperti program PKH ada didalamnya pendamping keluarga. di program PKH ini ada
pertemuan peningkatan kemampuan keluarga yang secara khusus ada topik terkait gizi
keluarga. Peran pendamping PKH adalah mensosialiasasikan terkait gimana sih standar
makanan yang harus dimakan tiap keluarga yang punya balita, yang punya lansia dengan
penyakit tertentu, yang punya ibu hamil karena kebetulan kelompok-kelompok
masyarakat itulah sasaran hampir seluruh program-program kemensos.
Penanggulangan stunting harus lewat bantuan gizi seperti pemberian makanan
bergizi untuk anak balita dan ibu hamil dan pendampingan ke masyarakat agar mereka
perhatian terhadap asupan supaya anak mereka tidak stunting apalagi kalau kemarin
dilihat stunting itu dampaknya banyak sampai ke gagal tumbuh. Dinsos bisa menyediakan
data masyarakat miskin di desa mana saja yang dapat bantuan dan prioritas.
Menurut informan cara yang tepat dalam mengatasi masalah stunting itu mungkin
dinas kesehatan yang lebih tahu, karena program2 mereka di DKP ini tidak ada yang
langsung mengarah kepada suatu individu melaikan kepada suatu kelompok. Informan
menyatakan bahwa masalah stunting harus dibawah koordinasi dinas kesehatan yang
dianggap lebih kompeten untuk mencari tahu solusi mengatasi stunting karena kalau dari
Dinas sosial ada beberapa program yang mungkin bisa dijadikan alat bantu untuk
menanggulangi stunting, jika dinas kesehatannya butuh data mana orang miskin yang ada
anak stuntingnya, bisa kita bantu perlihatkan untuk mempermudah pergerakan dinas
kesehatan. Program-program tersebut antara lain : PKH, Bantuan Pangan Non Tunai,
Subsidi Gizi anak anti Asuhan ini program-program yang memang anggarannya langsung
dari pusat kementerian sosial. terkait program-program ini, memang secara khusus tidak
menyasar pada stunting atau gizi buruk. tapi tujuannya untuk kesehatan keluarga dan
memperbaiki gizi masyarakat dengan memberikan bantuan non tunai yang bisa
dipergunakan di warung-warung mitra BRIlink. Target sasaran program PKH dan BPNT
adalah keluarga yang memiliki: 1) ibu hamil, 2) anak balita, 3) anak sekolah, 4) lansia, 5)
disabilitas. jadi selama dikeluarga itu ada 5 kelompok sasaran bantuan sosial PKH dan
BPNT dan masuk dalam daftar penerima manfaat akan mendapatkan bantuan sosial.
sedangkan subsidi gizi anak panti asuhan ditujukan untuk panti asuhan swasta yang tidak
mendapatkan anggaran dari pemerintah. program ini memang sasaran langsungnya

88
perbaikan gizi tapi anak panti asuhan. selain itu dinsos juga punya program UPCPK jadi
program ini seperti jamkesda bagi masyarakat miskin kabupaten tasikmalaya yang tidak
atau belum memiliki KIS/JKN. UPCPK ini bantuan dari provinsi karena secara dana
kabupaten tidak terlalu besar PADnya kita masih harus disokong sana sini untuk bisa
jalan.
*) data yang digunakan sebagai acuan adalah basis data terpadu kabupaten tasikmalaya.
BDT ini adalah data PPLS tahun 2011, dimana secara rutin dinsos melakukan updating
yang dilakukan oleh operator desa. updating biasanya dilakukan tiap tahun minimal 1
tahun sekali. Kalau dari pusat aturannya 2x dalam setahun yaitu bulan mei dan november
hasil updating ini yang terupdate di Basis Data Terpadu. BDT ini yang dikirimkan ke
TNP2K untuk diproses kembali sehingga nantinya keluar nama nama rumah tangga desil
1 dan 2 yang akan kita berikan bantuan sosial dan mereka prioritas untuk semua bantuan
sosial yang ada baik dari pusat maupun dari daerah (provinsi).
Permintaan terbaru dari pusat kementerian sosial untuk updating data pertahun
2018 ini menggunakan program siak-ng ini yang sedang terus diproses oleh dinas sosial.
untuk program-program kementerian sosial kriteria penerima program adalah 40% dari
seluruh penduduk miskin jadi total di kabupaten tasikmalaya ada 211916 rumah tangga
penerima manfaat PKH dan BPNT. Selain itu harus ada kriteria rumah tangga yang ada
ibu hamil, anak balita, anak sekolah, lansia, dan disabilitas yang adalah penyandang
masalah kesejahteraan sosial. program-program lain seperti subsidi gizi anak panti asuhan
program pusat (kemensos) ditujukan untuk panti asuhan swasta yang tidak mendapatkan
sokongan dana dari pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat. **) di level provinsi ada
program bantuan provinsi seperti bantuan rumah tidak layak huni, usaha ekonomi
produktif, kelompok usaha bersama dan bantuan sosial kelompok masyarakat pesisir.
untuk program-program itu (selain bantuan rumah tidak layak huni) wujud bantuan
sosialnya berupa barang saat ini masih proses pendataan selanjutnya saat datanya siap
akan disalurkan karena data siak-ng nya belum siap sampai saat ini. ***) program lainnya
dari kementerian pertanian (kementan) arahan langsung dari RI 1 Bapak Jokowi program
"bekerja" dimana setiap rumah tangga akan mendapatkan 50 ekor ayam, bibit pohon
manggis, dan sayur-sayuran yang bisa dibudidayakan dan jadi bahan makanan rumah
tangga itu. kembali lagi kearah perbaikan gizi rumah tangga. untuk program "bekerja" ini
desa yang masuk sebagai sasaran adalah sukahening yang juga jadi desa lokus penelitian
kampung gizi. ****) program-program yang ada masih top down, pemberian langsung
dari kementerian pusat (baik kemensos maupun kementan) dan bantuan provinsi Jawa

89
Barat tapi tetap menggunakan basis data untuk penentuan penerima programnya. kalau
dulu pernah dinsos buat pengajuan-pengajuan program ke lembaga luar negeri untuk
membuat program bantuan sosial untuk masyarakat, tapi sekarang sudah tidak pernah lagi
karena kriterianya berat dan sulit diaplikasikan. *****) PKH mendapatkan bantuan non
tunai per rumah tangga 1,9 juta rupiah yang bisa digunakan membeli kebutuhan rumah
tangga di warung/toko Agen BRIling, BPNT (dulunya program Raskin kemudian berubah
jadi Rastra, kemudian jadi BPNT) program pusat dimana setiap rumah tangga
mendapatkan 110.000/bulan dalam bentuk kartu yang harus dibelanjakan bahan makanan.
karena kalau diberikan berat atau telur seperti sebelumnya belum tentu sesuai dengan
keinginan dan kebiasaan konsumsi masyarakat. jadi biarkan masyarakat menentukan dia
mau makan apa dan belilah sesuai kebutuhan (bisa susu, biskuit untuk anak, dsb).
Informan memberikan informasi bahwa ada program yang memang sifatnya top-
down/pemberian dari pemerintah pusat melalui beberapa kementerian, program pasti
kemensos PKH dan BPNT sudah berjalan di kabupaten tasikmalaya walau data masih di
update karena perubahan sistem pendataan, kabupaten tasik menggunakan 2 basis data
yaitu BDT internal kab.tasikmalaya dan SIAK NG dari kementerian sosial sebagai acuan
perencanaan program dan penerima manfaat program sosial. informan merasa bahwa
bantuan-bantuan sosial yang ada telah sesuai dengan kebutuhan daerah karena setiap
program menggunakan basis data masyarakat miskin sebagai sasaran programnya.
Pelaksanaan program sudah berjalan sesuai dengan arahan dari pusat untuk PKH,
BPNT dan Subsidi Gizi, jika ada surat perintah pembayaran dari kemensos maka kita
proses untuk pencairannya. Untuk program-program dari bantuan provinsi masih proses
pendataan nantinya akan segera dijalankan bentuknya barang tidak jauh beda dengan
proses pencairan bantuan sosial dari pusat. dinsos menjalankan program sesuai arahan dari
pemberi bantuan saja, bagaimana kriterianya, berapa banyak jumlah sasaran penerima
program dan sebagainya. Informan menyatakan bahwa program dijalankan sesuai arahan
pemberi bantuan, terkadang sasaran penerima bantuan sudah ditetapkan oleh pemberi
bantuan.
Indikator keberhasilan program-program bantuan sosial hampir seluruhnya adalah "exit
program". Jadi rumah tangga atau masyarakat penerima program bantuan sosial
diharapkan dapat keluar dari daftar penerima bantuan sosial seiring dengan peningkatan
kapasitas ekonomi keluarga dengan bantuan program pengembangan masyarakat seperti
program kelompok usaha bersama (bantuan provinsi) yang fokus pada bidang pertanian
tapi indikator keberhasilannya adalah meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat.

90
sama halnya dengan bantuan pesisir, program "bekerja" dari RI 1 dan kementan, usaha
ekonomi produktif, dsb. PKH dan BPNT serta subsidi gizi ini lebih kepada peningkatan
kapasitas keluarga disaat masyarakat dalam kondisi tidak mampu secara ekonomi dan
pendamping PKH punya fungsi untuk melakukan penguatan kapasitas keluarga supaya
masyarakat penerima bantuan tidak terlena dan punya kemampuan untuk keluar dari
program bantuan yang ada.
Untuk program stunting tidak ada monitoring evaluasi secara khusus. Tapi jika
arahnya salah satunya perbaikan gizi program PKH dan BPNT kan bisa sebenarnya
digunakan sebagai salah satu program untuk menurunkan stunting dengan bantuan
pendamping PKH yang didalamnya memang ada sosialisasi tentang gizi tapi tidak secara
khusus untuk menanggulangi stunting. kalau untuk program-program yang sudah berjalan
monitoring evaluasi sebatas apakah penerima manfaat sudah tepat sasaran atau belum dan
kadang memang ada saja yang tidak tepat sasaran, ketika pihak dinsos melakukan
monitoring ada orang kaya yang mendapatkan program bantuan sosial, evaluasinya dicatat
dalam lembar monitoring dan saat melakukan update kita laporkan dan kita anggap rumah
tangga itu sudah exit program. walau memang dalam pelaksanaannya karena keterbatasan
dana dan tenaga - dinsos tidak memiliki dana untuk monitoring evaluasi secara rutin,
demikian operator desa yang bertugas updating data disetiap desa tidak ada anggaran
khusus untuk monitoring penerima bantuan sosial di level desa - dinsos tetap mengakui
masih ada program yang sasaran penerima manfaatnya tidak tepat sasaran, ada orang kaya
yang masih masuk daftar penerima bantuan.
Saat ini belum melibatkan sektor lain dalam kegiatan2 diatas. Hanya internal dinas
sosial saja. Menurut seluruh informan yang lebih bertanggungjawab terhadap stunting
adalah dinas kesehatan karena salah satu faktor stunting itu gizi buruk, kekurangan gizi,
asupannya sedikit sehingga proses pertumbuhannya menjadi terganggu. Selain itu
program2 masalah yang berhubungan dengan gizi lebih banyak di kesehatan, selain itu
anggaran dan sumber daya manusia yang tersedia di kesehatan lebih banyak dari instansi
mereka seperti kader sampai dilevel desa pun sudah ada dan bisa dimanfaatkan untuk
sosialiasasi stunting - walau di program PKH pun ada pendamping keluarga yang bisa
dimanfaatkan untuk membantu pendampingan bersama-sama dengan tenaga puskesmas
atau dengan kader kesehatan)
Koordinasi lintas sektor sangat perlu karena supaya bisa lebih efektif dan tentu lebih tepat
sasaran, contoh aja seperti desa Kiarajangkung angka stuntingnya kan sebenarnya rendah
sehingga harus dianalisa ulang apakah tingkat kemiskinannya tinggi atau seperti apa, atau

91
apa tidak lebih baik diganti desa yang lebih miskin dan kasus stuntingnya juga tinggi. ini
perlu koordinasi antara dinas kesehatan dan dinas sosial. demikian juga untuk sektor
lainnya misalnya sektor pertanian untuk meningkatkan kemampuan ekonomi rumahtangga
dan ketersediaan bahan pangan.
Belum adanya suatu aturan formal sebagai dasar percepatan penurunan angka
stunting di kabupaten ini. tapi jika mau dibuat komitmen masing-masing instansi mungkin
bisa dibuat kedepannya. ...” Tapi semua ini kan kembali lagi..tergantung juga anggaran
dari masing-masing institusi, jika dibuat komitmen lembaga untuk penurunan stunting
tapi anggaran sektor tertentunya terbatas kita tidak bisa bilang apa-apa lagi... untuk
program internal saja dana kita terbatas sekali di dinas sosial. dinas sosial benar-benar
kerja sosial keiklasan. (informan tertawa) Kedepannya sebelum dibuat komitmen atau
aturan penurunan stunting atau program apapun dari perencanaan daerahnya harus
sudah dipikirkan matang-matang untuk pembagian anggarannya per sektor. supaya
koordinasi bisa tetap berjalan dengan dukungan dana yang mumpuni juga....kita mau
updating data perlu turun ke masyarakat kan melihat apakah ruta itu masih masuk kategori
penerima sasaran atau tidak dan itu butuh transport pelaksana dilapangan, kalau ini tidak
ada maka sulit updating data secara rutin bahkan yang minimal 1 tahun sekali.
Sepengetahuan informan belum pernah dilibatkan dalam suatu koordinasi yang
membahas khusus masalah stunting. Tapi untuk koordinasi data masyarakat miskin untuk
program UPCPK - jamesdanya kabupaten tasikmalaya - dinas sosial berkoordinasi dengan
baik dengan dinas kesehatan. jika ada undangan dari dinas kesehatan pun jika dinas sosial
diundang maka akan diusahakan untuk hadir. selama ini walau belum ada koordinasi yang
spesifik untuk penurunan stunting tapi koordinasi antara dinas sosial dengan dinas
kesehatan sudah berjalan dengan baik.
Penyebab utama stunting stunting di kabupaten tasikmalaya adalah masalah
kemiskinan. Kemiskinan di tasikmalaya multidimensional. Angka kemiskinan disini tinggi
sekali padahal sudah banyak program bantuan yang dilakukan di kabupaten tasikmalaya
ini. memang tidak bisa dipungkiri mental masyarakat miskin penerima bantuan ini jadi
terlena dengan banyaknya bantuan yang mereka terima baik dari kemensos dari bantuan
provinsi dan kementerian lainnya, sehingga mereka jadi malas dan merasa tidak perlu
membantu orang lain yang justru lebih miskin dari mereka dasebisa mungkin selamanya
mereka mendapatkan bantuan program walau sebenarnya mereka sudah bisa exit dari
program. stunting itu kan karena ibu hamil kekurangan gizi kenapa bisa kurang gizi
karena mereka n miskin itu paling utama. kalau keluarga miskin boro-boro mau beli

92
makanan bergizi untuk ibu hamil apalagi kalau ada balita dirumah tangga tersebut
akhirnya semua kurang gizi. si ibu pun anaknya pas dilahirkan stunting. masalah
utamanya kemiskinan baru berdampak pada masalah lain ya otomatis pendidikannya
rendah. konflik sosial pernah terjadi perihal agama saja waktu itu konflik ahmadiyah tapi
tidak berpengaruh banyak ke arah perbaikan gizi dan penurunan stunting.
Terkait penyediaan data kalau dari dinas sosial sebatas basis data masyarakat
miskin (walau belum ada informasi kasus stunting didalamnya). Kita punya data silahkan
dipergunakan sebaik mungkin. Kalau ada yang harus ditambahkan kedalam daftar
kelompok masyarakat penerima bantuan sosial yang sebelumnya mungkin tidak ada tapi
ternyata keluarga dengan anak balita stunting itu miskin dan belum dapat bantuan program
apapun bisa diinfokan di koordinasikan akan kita minta operator desa untuk
mengklarifikasi dilapangan apakah bisa masuk sasaran program PKH/BPNT/Program
Pemberdayaan masyarakat lainnya akan kita lakukan pengajuan ke pusat sebagai data
penerima sasaran program bantuan sosial yang baru. semua tergantung kepala dinas juga
tapi sepertinya beliau juga setuju.

6. DINAS PU-PR dan DINAS PRKP


Informan sudah pernah mendengar dan tahu tentang stunting karena di pamsimas
itu harus ada program untuk stunting, di awal tahun 2018. Snting merupakan suatu efek
pola hidup sehat yang ada, khususnya di jambanisasi dalam pembuangan itu kemudian
juga yang kami ketahui bahwa juga perlu penanganan yang khusus untuk pasangan usia
muda
Ciri ciri stunting mungkin difisik anak ,mungkin kecil mungkin kerdil itu cirinya yang
paling utama, IQ nya yang kurang, sedangkan penyebabnya kurang sehatnya ibu yang
melahirkan, pola hidup karena jambannya terlalu bedekatan septik tank dengan air sumur,
air bersih sehingga mungkin berdampak.
Saat ini Dinas PUPR tidak tahu bagaimana cara menentukan anak stunting karena
itu teknis’’..... saya tidak pernah berhubungan dengan masyarakat yang stunting, ya
mungkin dinas kesehatan yang lebih tahu...” Terkait lokus stunting, ada 7 kecamatan,
desanya lupa lagi…itu masuk dalam program kami, dengan pamsimas sekarang ini
mungkin di tahun ini baru 7 lokasi di 7 kecamatan 7 desa baru sekarang programnya baru
7 dulu. Terkait lokus desa stunting sebagian ada yang betul tapi sebagian ada yang masih
karena sudah ada perbaikan-perbaikan. Sebetulnya desa dengan program dana desa juga
sudah mulai bekerja sama, dana desa dilokasikan ke sarana air bersih

93
Menurut informan, stunting jelas masalah karena berdampak itu dalam penerus
bangsa itu salah satu dan berharap ada intervensi pemerintah pusat termasuk intervensi
dengan seluruh anggarannya. Pemerintah daerah, kita sama-sama, mungkin dinas
kesehatan yang paling depan, di dinas kami sebagai alat untuk menuntaskannya, karena
kami ini unsur pendukung , karena kaitannya dengan jamban sehat, tapi yang terdepan ya
dinas kesehatan.
Sebagi penyebab stunting sarana air bersih, jambanisasi, layak rumahnya. Untuk air bersih
yang kami lakukan disini program SKPM, sanitasi SPAM, intervensi pemerintah pusat
melalui DAK, melalui Pamsimas, itu juga kami masukkan tapi tidak serta merta karena
ada persyaratan mungkin di pamsimas karena ada unsur itu kita melihatnya itu persiapan
desa, sumber mata airnya ada. Tapi pamsimas stunting sekarang ini harus karena desanya
sudah ditunjuk itu harus juga dibuat disana. Baru 7 desa stunting. Jika akses ke mata air
jauh, maka akan difasilitasi dari sumber mata air bawah tanah. Kalau memang musim
kemarau baru masuk kesungai tapi kalau musim biasa ada air , saluran airnya tidak
membuat septik tank tapi langsung ke kolam. Di satu daerah/ kampung dibuatkan jamban
yang berdekatan dengan pesantren, masyarakat, kalau pembuangannya kita membuat
drainage saptik tank. Namun demikian akses air lebih diutamakan karena untuk apa
jamban dibangun jika tidak ada air bersih. Sehingga jika akan membuat jambanisasi
umum harus dipastikan ada sumber mata air dulu kemudian baru SPAL untuk umum. Saat
ini juga sudah dibuat SPAM yang besar untuk akses masuk keperumahan tapi belum
semua merata.
Kalau untuk perumahan, ada program Rumah Tinggal Layak Huni (RTLH) dari
Kementerian Perum, ada intervensi dari pusat, propinsi, kegiatannya rehabilitasi rumah,
termasuk juga kalau memang memadai kita membuat juga dengan jambanisasinya tapi
kalau sumber air di rumahnya tidak memungkinkan itu tidak dibuatkan. Diberikan kepada
masyarakat miskin. Sudah berjalan 3 tahun lebih.
Untuk kegiatan program stunting baru di sarana air bersih dan STBM. Kegiatan program
pengembangan perumahan, program lingkungan sehat ( baru dijalan lingkungan), program
pembangunan infra struktur pedesaan. Salah satunya pembuatan jalan lingkungan,
termasuk gang-gang di lingkungan kumuh. Program yang ada di kami dari pemerintah
pusat: Pamsimas termasuk ada stuntingnya juga di Pamsimas, ada program kotaku (di
kawasan kumuh ini adalah penggalian gagasan yang ada dimasyarakat tapi orientasi yang
paling itu kalau sarana air bersih belum memadai itu dibuatkan sarana air bersih,

94
dibuatkan drainage, dibuatkan jalan lingkungan dan kemudian kalau diperlukan juga
masalah sampah dilingkungannya)

Gambar 17. Koordinasi dengan Dinas DRKP Kabupaten Tasikmalaya

Di Pamsimas itu nanti kegiatan riil fisik dilapangannya bukan hanya air minum
tapi ada 5 pilar STBM itu dari mulai tempat cuci tangan, PCT, ada sanitasinya , ada air
minumnya, banyak itemnya, Itu kebutuhan-kebutuhan itu keluar atau dihasilkan daripada
rembukan temen-temen warga setempat yang akan dibentuk seperti kelompok kerja
masyarakat KSM, tapi peran kita di dinas karena ini tambahan khusus untuk
penanggulangan stunting kita juga pada saat sosialisasi bersama-sama dengan teman-
teman dari kesehatan dan sanitarian yang ada kita menitik beratkan untuk penuntasan
stunting ini, jadi programnya nanti jangan kemana-mana. Jadi nanti kita khususkan 5 pilar
STBM tadi.
Pelaksana ada kordinator, fasliitator ekonomi, dan fasilitator teknik sebagai
pelaksana, Dinas hanya memonitoring dalam pelaksanaannya dilapangan. Kalau untuk
pamsimas fasilitas yang sudah dibangun untuk berlanjutan dengan sustainable kedepannya
itu dari kita penyerahan kedesa, desa menyerahkan kembali ke Bumdes (Badan Usaha
Milik Desa), nanti yang mengelola Bumdes. Misalkan air minum karena sudah sampai
sambungan rumah sudah ada meterannya, desa nanti bikin perdes untuk iurannya. Tapi
kita batasi untuk diperdes itu untuk tarifnya jangan lebih dari PDAM, itu sudah ada
ketentuannya. Kalau untuk jamban juga sama untuk biaya-biaya perawatan misalnya
kerannya rusak sama itu dikelola Bumdes. Kalau jamban itu kapasitasnya lihat kapasitas
septik tank di ujung, kapasitas-kapsitas septik tank ini untuk berapa KK. Untuk saat ini
rata-rata dibuat rata-rata 50 KK. Durasi untuk penyedotan kedepannya itu sudah
disesuaikan dengan peraturan mentri yaitu 3 tahun sekali harus dikuras. Kalau untuk
perumahan, sebetulnya sifatnya stimulant, bantuannya dari kita, jadi kita pemicuan kita
95
kasih bantuan sebesar ini, bapak ngebangun ini, item itemnya sudah ada, setelah
simasyarakat dikasih bantuan itu biasanya masyarakat juga akan berinovasi. Mereka nanti
akan membentuk kelompok lagi dengan yang lain karena biaya ini nggak akan bakal
selesai sampai menjadi satu rumah misalkan dan akhirnya mereka berpatungan itu semua
bahan untuk masalah pekerja kita gotong royongan.
Kerjasama dengan sanitarian memang secara tertulis tidak ada tetapi ketika
kegiatan fisik akan dilakukan, koordinasi dulu dengan desa, jadi sebisa mungkin kegiatan-
kegiatan yang kita buat di desa itu nanti ada rasa memiliki untuk keberlanjutannya. Dan
untuk pemanfaatannya itu sendiri kita menekankan untuk teman-teman di desa itulah
terutama yang dipikirkan itu jangan depannya aja kita buangannya juga dipikirkan , itu
disampaikan ke warganya Ini salah satu pemicuannya kegiatannya MCKSBLM
kegiatannya berbasis masyarakat kita sediakan septiktanknya misalnya untuk 50 KK yang
disediakan untuk 10 KK jadi yang 40 KK lagi swadaya.
Sanitarian desa kita sudah terapkan di program Pamsimas, jadi manakala
sosialisasi itu dapat program Pamsimas,mulai dari sanitarian, bidan desa, tokohh-tokoh
terkait diundang sama kita dijelaskan pentingnya program ini untuk kesehatan.
Kerjasama selama ini dalam masalah stunting hanya dengan dinas kesehatan dan
Bapeda. Kami sudah punya POKJA PKP, yaitu kaitannya dalam rangka penuntasan
kekumuhan, leading sectornya seluruh SKPD, untuk membantu mendongkrak kekumuhan,
bahwasanya di wilayah tasikmalaya ini kawasan kekumuhan, ini ada 4 kecamatan :
Ciawi, Rajapolah, Singaparna sama Sukarame. Yang mana ini masih banyak perlu
penanganan baik bidang kesehatan, pendidikan, maupun di infrastruktur. Sehingga yang
kami lakukan sekarang ini karena ini baru terbentuk yang nantinya akan disosialisasikan
dengan seluruh SKPD yang diketuai oleh pak sekda yang nantinya beranggotakan seluruh
stakeholder baik itu bagian kesehatan, bagian pembangunan, perguruan tinggi, untuk bisa
apa yang harus dikerjakan dan bagaimana dengan pemerintah daerah untuk bagaimana
menuntaskan program ini.
Saat ini sedang membuat salah satu proposal untuk CSR yang koordinasinya
dengan BAPEDA, orientasinya ke jambanisasi sekarang ini , CSR dengan bank Jabar.
Dimulai dari istilah stunting. Sekarang ini teman teman di desa kurang proaktif untuk
masalah stunting. Teman-teman didesa masih awam untuk masalah stunting. Istilah
stunting masih awam. Didesa belum popular dengan masalah stunting. Kalu misalnya
istilahnyakita cobakan apalah yang lebih bisa diterim “gizi buruk”. Karena masyarakat

96
tidak tahu dibilang “stunting” penangannanya gampang tinggal kerjasama aja dengan
KUA orang kita nikah dengan bule aja nanti tinggi-tinggi.
Menuntaskan stunting dan kumuh. Program 100-0-100 (100% akses air minum-0%
luas kawasan kumuh perkotaan-100%akses sanitasi (air limbah, persampahan dan
drainase).
Untuk intervensi 5 desa stunting yang pertama program pamsimas penugasan tambahan,
SK kementriannya sudah turun, tinggal menunggu koreksi DIPA. penyediaan air minum
langsung sambungan ke rumah-rumah yang ada kasus stunting. Tapi kemaren sudah ada
komitmen dengan teman teman di BAPEDA bahwa nanti program itu ada air minum,
sanitasi, drainage jadi satu paket. Dari dinas kesehatan ada 9 desa stunting tapi yang bisa
kita akomodir untuk program ada 7, karena setelah diproses temen temen surveyor dan
fasilitator , kita sesuaikan juga untuk pengadaan air minum kita juga harus cari sumber
nggak bisa dipaksakan juga kalau sumber airnya tidak ada. Akhirnya kemaren sepakat 7
desa dulu yang masuk ke Dipa tambahan tahun 2018 ini.
Prinsipnya kita harus ada sinergitas, sinergitas program, sebagai leader itu di
Bappeda karena bisa mengatur program yang memang harus bersinergis baik itu dari
dinas kami untuk sanitasi dan sarana air bersihnya, dinas kesehatan bidang apanya, bidang
LH mungkin lingkungan persampahannya, itu leadernya memang harus Bappeda yang
memfokuskan penuntasan stunting. Terkait monev maka yang seharusnya berperan
mengevaluasi adalah asisten pembangunan dan inspektorat karena memiliki peran untuk
melihat bagaimana sinergitas antar sektor. Tapi yang paling utamanya semua melepaskan
ego Program pemberdayaan masyarakat Pamsimas, kotaku, peningkatan kualitas
perumahan yang swadaya
Kendala dalam pemberdayaan masyarakat kadang – kadang keinginan masyarakat
yang berbeda, tapi alhamdulillah bisa diitangani sehingga yang paling utama mungkin
karena proyek pemberdayaan itu banyak yang menjadi kecemburuan orang lain contohnya
satu desa ini dapat yang ini nggak. Kadang–kadang dalam satu desa itu dalam
pemberdayaan itu polanya begini. Kendala lain adalah apabila sumber mata air sulit di
sanitasinya, lagi kemarau ini yang menjadi masalahnya pemeliharaan tidak jalan.
Kondisi kabupaten Tasikmalaya dalam hal sisi penganggaran yang perlu
diperhatikan itu mungkin antara kabupaten saja dengan kota itu berbeda. Harus dilihat
kalau memang ingin komit bisa menyelesaikan tuntas ini memang ada pemiahan memang
kondisinya bagaimana. Latar belakang kabupaten posisi anggaran harus tahu. Jangan sama
aja satu kabupaten dengan kabupaten lainnya.

97
Kalau pemerintah pengen penuntasan stunting, masalah stunting itu malu dan
masalah stunting ini yang paling bahaya untuk kecerdasan otak, massalah stunting ini
sangat penting. Diharapkan dari pemerintah pusat jangan hanya sosialisasi tapi juga
dukungan pendanaan juga. Itu juga skala prioritas, karena kita juga di daerah dengan
permasaalahan-permassalahan yang ada anggaran dikita juga terbatas saya mohon
daripusat juga sama-sama konse.n. Jadi dibawah siap dari atas juga siap. Jadi insyaallah
kalau sama-sama kompak jadi stunting juga insyaallah bisa diselesaikan.

III. SOSIALISASI HASIL INVENTARISASI PROGRAM DAN KEGIATAN DI


OPD DAN ANALISIS SITUASI HASIL PENDATAAN KESMAS DI 5 DESA
INTERVENSI

Sosialisasi hasil di Tingkat Kabupaten dilakukan pada tanggal 3 September 2018


bertempat di ruang rapat wakil Bupati dan dibuka langsung oleh Bapak Bupati Kabupaten
Tasikmalayalakukan. pada tanggal 16 Juli 2018 bertempat di ruang rapat wakil Bupati
Kabupaten Tasikmalaya.

Gambar 18. Sosialisasi dan Penggalangan Komitmen Lintas Sektor dalam Upaya
Penurunan Stunting di Kabupaten Tasikmalaya

Peserta yang diundang sekitar 50 orang terdiri dari Ketua DPR, staf ahli Bupati,
Asisten Daerah, Kabag Kesra, Kabag Hukum, Kabag Humas, Ketua Bappeda, Kepala
Dinas Kesehatan, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala DPAPMKB, Kepala

98
Dinas Pertanian, Kepala Dinas Perikanan dan Ketahanan Pangan, Kepala Dinas Sosial,
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Kepala Dinas Koperasi, Usaha kecil
Menengah dan Tenaga Kerja, Kepala Dinas Industri dan Perdagangan, Kepala
Kementerian Agama, Direktur Poltekkes Tasikmalaya, Ketua Jurusan Gizi Poltekkes
Tasikmalaya, Direktur STIKES Respati Tasikmlaya, Camat Sukaresik, Camat Jatiwaras,
Camat Puspahiyang, Camat Salopa, Kepala Puskesmas Sukaresik, Kepala Puskesmas
Jatiwaras, Kepala Puskesmas Puspahiang, Kepala Desa Banjarsari, Kepala Desa
Kiarajangkung, Kepala Desa Mandalahayu, Kepala Desa Puspasari, TP PKK Kab
Tasikmalaya, Ketua Fatayat NU Kabupaten Tasikmalaya, Ketua Muhammadiyah
Kabupaten Tasikmlaya, Koordinator PAMSIMAS Kab Tasikmalaya dan Direktorat Kesga
Kementerian Kesehatan.
Narasumber dalam pertemuan tersebut antara lain adalah Ketua Tim Peneliti,
Direktorat Gizi Masyarakat, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dan Badan Ketahanan
Pangan Provinsi Jawa Barat. Dalam pertemuan sosialisasi tersebut hadir disampaikan
terkait apa yang dimaksud dengan stunting, faktor penyebab dan dampak yang
ditimbulkan serta apa saja faktor determinan yang berhubungan dengan kejadian stunting
di Kabupaten Tasikmalaya berdasarkan Riskesdas tahun 2013 serta faktor determinan
yang ada di 5 Desa intrervensi. Selain itu juga dibahas tentang bagaimana strategi
penanggulangan stunting berdasarkan kebijakan yang sudah dibuat oleh pemerintah
selama ini, seperti Perpres No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan, Perpres
No.42 tahun 2013 tentang Percepatan Pebraikan Giz, Dewan Ketahanan Pangan Inpres
No.1 Tahun 2017 tentang Gerakaan Masyarakat Sehat, PerPres No.83 Tahun 2013 tentang
Kebijakan Strategis Pangan dan Gizi10, dan 5 Pilar upaya penanggulangan stunting tahun
2017 dikeluarkan oleh TNP2K, Sekretariat Kantor Wakil Presiden.
Selanjutnya dalam sosialisasi hasilt tersebut dilakukan penggalangan komitmen dari
seluruh sektor yang terkait terhadap upaya yang akan dilakukan oleh masing-masing
sektor dalam penanggulangan masalah stunting di Kabupaten Tasikmalaya

ANALISIS SITUASI STATUS KESEHATAN MASYARAKAT


Masalah stunting merupakan ancaman bagi Indonesia, karena anak stunting tidak
hanya terganggu pertumbuhan fisik tapi juga pertumbuhan otak. Efeknya, sumber daya
manusia menjadi tidak produktif yang berdampak pada terganggunya kemajuan negara.
Untuk mencegah hal tersebut, pemerintah melakukan berbagai upaya, dalam hal ini
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI telah melakukan intervensi gizi spesifik meliputi

99
suplementasi gizi makro dan mikro (pemberian tablet tambah darah, Vitamin A, taburia),
pemberian ASI Eksklusif dan MP-ASI, fortifikasi, kampanye gizi seimbang, pelaksanaan
kelas ibu hamil, pemberian obat cacing, penanganan kekurangan gizi, dan Jaminan
Kesehatan Nasional.

Tabel 31. hasil analisis menunjukkan bahwa tidak semua keluarga dengan anak
stunting di desa lokasi penelitian ini yang mendapat Jaminan Kesehatan Nasional. Terlihat
pada tabel bahwa hanya Desa Sukaratu dan Banjarsari yang lebih dari 50 persen
mendapatkan JKN. Desa Pusparahayu merupakan desa dengan persentase terendah
keluarga dengan anak stunting yang mendapatkan JKN (27,4%).
Tabel 33. Keluarga Stunting yang mendapatkan JKN
Mendapat JKN Tidak mendapat JKN
Desa n % n %
Pusparahayu 20 27,4 53 72,6
Mandalahayu 46 46,9 52 53,1
Tanjungsari 95 46,2 50 34,5
Sukaratu 60 59,4 41 40,6
Banjarsari 53 51,0 51 49,0

Pada Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan terkait dengan


ketahanan pangan tingkat keluarga, menyebutkan bahwa upaya perbaikan gizi masyarakat
ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat. Hal ini dilakukan
diantaranya melalui perbaikan pola konsumsi makanan dan peningkatan akses dan mutu
pelayanan gizi. Beberapa program yang terekam dari penelitian ini dan sudah
dilaksanakan antara lain Beras Miskin (Raskin)/Beras Sejahtera (Rastra) (Bulog) dan
Program Keluarga Harapan/PKH (Kementerian Sosial.
Tabel 32 menggambarkan keluarga stunting yang mendapatkan program Rastra.
Terlihat bahwa di Desa Tanjungsari, Sukaratu dan Banjarsari sebagian besar keluarga
dengan anak stunting mendapatkan beras sejahtera. Sedangkan Desa Mandalahayu dan
Pusparahayu hanya sekitar 40-60 persen keluarga dengan anak stunting yang mendapatkan
Rastra.

100
Tabel 34. Keluarga Stunting yang mendapatkan RASTRA
Mendapat RASTRA Tidak mendapat RASTRA
Desa n % n %
Pusparahayu 43 58,9 30 41,1
Mandalahayu 43 43,9 55 56,1
Tanjungsari 129 89,0 16 11,0
Sukaratu 82 81,2 19 18,8
Banjarsari 99 95,2 5 4,8

Program Keluarga Harapan yang selanjutnya disebut PKH adalah program


pemberian bantuan sosial bersyarat kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang
ditetapkan sebagai keluarga penerima manfaat PKH. Sebagai sebuah program bantuan
sosial bersyarat, PKH membuka akses keluarga miskin terutama ibu hamil dan anak untuk
memanfaatkanberbagai fasilitas layanan kesehatan (faskes) dan fasilitas layanan
pendidikan (fasdik) yang tersedia di sekitar mereka. Manfaat PKH juga mulai didorong
untuk mencakup penyandang disabilitas dan lanjut usia dengan mempertahankan taraf
kesejahteraan sosialnya sesuai dengan amanat konstitusi dan Nawacita Presiden RI.
Penyaluran bantuan sosial PKH diberikan kepada KPM yang ditetapkan oleh Direktorat
Jaminan Sosial Keluarga. Penyaluran bantuan diberikan empat tahap dalam satu tahun,
bantuan PKH diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
Nilai bantuan merujuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan
Jaminan Sosial Nomor 26/LJS/12/2016 tanggal 27 Desember 2016 tentang Indeks dan
Komponen Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan Tahun 2017. Komponen bantuan
dan indeks bantuan PKH pada tahun 2017 adalah sebagai berikut a) Bantuan Sosial PKH
sebesar Rp. 1.890.000; b) Bantuan Lanjut Usia Rp. 2.000.000; c) Bantuan Penyandang
Disabilitas Rp. 2.000.00; d) Bantuan Wilayah Papua dan Papua Barat Rp. 2.000.000.
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa keluarga dengan anak stunting
sebagian besar tidak mendapatkan program ini. Persentase tertinggi keluarga yang tidak
mendapatkan PKH ini adalah di Desa Pusparahayu yaitu sekitar 90 persen. Sedangkan
keluarga dengan anak stunting yang mendapatkan PKH tertinggi di Desa Sukaratu yaitu
sekitar 30 persen (Tabel 33).

101
Tabel 35. Keluarga Stunting yang mendapatkan PKH
Mendapat PKH Tidak mendapat PKH
Desa N % n %
Pusparahayu 5 6,8 68 93,2
Mandalahayu 14 14,3 84 85,7
Tanjungsari 15 10,3 130 89,7
Sukaratu 34 33,7 67 66,3
Banjarsari 26 25,0 78 75,0

Penyakit infeksi merupakan faktor langsung yang mempengaruhi status kesehatan.


Penyakit infeksi yang dikumpulkan dalam penelitian ini diantaranya adalah riwayat
infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), diare yang ditanyakan selama 1 bulan terakhir.
Penyakit infeksi yang sering dialami anak akan mempengaruhi berat badan anak sehingga
bisa mempengaruhi status gizi balita dalam jangka waktu pendek (akut). Penyakit infeksi
yang ditanyakan dalam 1 tahun terakhir adalah riwayat pneumonia dan TB. Penyakit
infeksi tersebut merupakan penyakit yang akan berpengaruh pada status gizi dalam jangka
waktu lama (kronis).
Tabel 36 menunjukkan bahwa persentase balita yang mengalami diare dalam 1 bulan
terakhir adalah balita yang ada di Desa Mandalahayu yaitu mencapai 50 persen. Desa
Tanjungsari merupakan desa tertinggi dengan balita yang mengalami diare selama 1 bulan
terakhir. Persentase tertinggi balita yang pernah didiagnosis menderita pneumonia terdapat
di Desa Tanjungsari yaitu hampir mencapai 4 persen. Berdasarkan hasil analisis terlihat
bahwa beberapa desa yaitu Pusparahayu, Tanjungsari dan Banjarsari tidak terdapat balita
yang didiagnosis TB dalam 6 bulan terakhir. Hanya sekitar kurang dari 1 persen balita
yang menderita TB dalam 6 bulan terakhir di Desa Sukaratu (0,7%) dan Mandalahayu
(0,3%). sedangkan Desa Banjarsari merupakan desa dengan persentase balita tertinggi
yang didiagnosis TB dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan (0,9%), diikuti dengan Desa
Mandalahayu dan Tanjungsari masing-masing 0,3 persen.

102
Tabel 36. Penyakit Infeksi
ISPA Pneumonia TB ≤ 6 TB > 6 Diare
Desa (DG) (DG) Bulan Bulan (DG)
(D) (D)
% % % % %
Pusparahayu 48,4 2,6 0 0 10,4
Mandalahayu 53,2 2,2 0,3 0,3 19,1
Tanjungsari 43,1 3,7 0,0 0,3 25,8
Sukaratu 41,8 2,8 0,7 0 23,2
Banjarsari 49,4 3,1 0 0,9 21,5

Program yang sudah dilaksanakan di lokasi penelitian adalah pemberian obat


cacing. Tabel 37 menunjukkan bahwa persentase rumah tangga balita yang mendapatkan
obat cacing tertinggi di Desa Mandalahayu yaitu mencapai 67,7 persen. sedangkan Desa
Pusparahayu merupakan desa yang memiliki persentase tertinggi rumah tangga balita yang
tidak mendapatkan oabt cacing.

Tabel 37. Pemberian Obat Cacing


Ya Tidak
Desa N % n %
Pusparahayu 80 41,7 112 58,3
Mandalahayu 112 67,7 105 32,3
Tanjungsari 137 45,8 162 54,2
Sukaratu 145 50,9 140 49,1
Banjarsari 197 60,4 129 39,6

Perilaku hidup bersih merupakan faktor yang dapat mempengaruhi status


kesehatan seseorang, perilaku menyikat gigi salah satunya. Pada tabel 6 hasil
menunjukkan bahwa sebagian besar anak umur ≥3 tahun menyikat giginya, bahkan
presentase di Desa Pusparahayu mencapai 100 persen. Hal ini merupakan perilaku positif
yang harus terus dibiasakan pada anak untuk menjaga kebersihan dirinya (Tabel 38).

103
Tabel 38. Perilaku Sikat Gigi
Ya Tidak
Desa n % n %
Pusparahayu 88 100,0 0 0,0
Mandalahayu 125 96,9 4 3,1
Tanjungsari 112 90,3 12 9,7
Sukaratu 122 88,4 16 11,6
Banjarsari 138 94,5 8 5,5

Salah satu perilaku hidup bersih lainnya adalah perilaku buang air besar (BAB).
Terdapat beberapa indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga yang dapat dijadikan
acuan untuk mengenali keberhasilan dari praktek perilaku hidup bersih dan sehat pada
tingkatan rumah tangga. 10 indikator PHBS pada tingkatan rumah tangga tersebut adalah
persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan; pemberian ASI eksklusif; menimbang
bayi dan balita secara berkala; cuci tangan dengan sabun dan air bersih; menggunakan air
bersih; menggunakan jamban sehat; membarantas jentik nyamuk, konsumsi buah dan
sayur; melakukan aktivitas fisik setiap hari; tidak merokok di dalam rumah.
Lima desa lokasi penelitian di Kabupaten Tasikmalaya masih merupakan daerah
pedesaan, namun perilaku BAB di semua desa sudah cukup baik. Hal ini terlihat dari
sebagian besar rumah tangga sudah buang air besar di jamban dengan persentase tertinggi
di Desa Sukaratu mencapai 99,3 persen. Sekitar 1,4 persen rumah tangga di Desa
Banjarsari BAB di sungai/danau; 7,5 persen di Kolam/Sawah/Selokan dan 0,7 persen di
Lubang Tanah. Terdapat 6,2 persen rumah tangga di Mandalahayu BAB di tanah
lapang/kebun (Tabel 39).
Tabel 39. Perilaku BAB
Desa Jamban Sungai/Danau Tanah Kolam/Sawah/ Lubang
lapang/kebun Selokan Tanah
% % % % %
Pusparahayu 95,5 0 0 4,5 0
Mandalahayu 92,3 0,8 6,2 0 0
Tanjungsari 99,2 0 0 0,8 0
Sukaratu 99,3 0,7 0 0 0
Banjarsari 90,4 1,4 0 7,5 0,7

104
Tabel 40 merupakan gambaran penolong persalinan di 5 desa di Kabupaten
Tasikmalaya. Tabel tersebut menunjukkan bawa sebagian besar yang menolong persalinan
adalah bidan. presentase tertinggi adalah Desa Sukaratu (93,8%) dan terendah di Desa
Mandalahayu (70,9%). masih terdapat dukun sebagai penolong persalinan di 5 desa
tersebut dengan persentase tertinggi ada di Desa Pusparahayu (23,1%) dan terendah di
Desa Banjarsari (0,6%). Ada temuan yang harus menjadi perhatian bersama bahwa
ternyata masih ada 0,7 persen ibu yang tidak ada penolong dalam proses persalinannya.
Tabel 40. Penolong Persalinan
Desa Dokter Dokter Bidan Dukun Tidak ada
Kandungan Umum yang
menolong
% % % % %
Pusparahayu 7,7 0 69,2 23,1 0
Mandalahayu 9,5 0 70,9 19,0 0,7
Tanjungsari 4,6 0,7 75,7 16,9 0
Sukaratu 1,1 0 93,8 5,1 0
Banjarsari 10,7 0 88,6 0,6 0

Berdasarkan riwayat kehamilannya diketahui usia kehamilan ibu pada saat


melahirkan. Tabel 41 menunjukkan bahwa masih banyak persalinan dibawah 37 minggu
yaitu di Desa Sukaratu yang mencapai 96,7 persen sedangkan persentase tertinggi ibu
yang usia kehamilannya ≥ 37 minggu terdapat di Desa Pusparahayu yaitu 74,4 persen.
Tabel 41. Usia Kehamilan Saat Melahirkan
Desa <37 Minggu ≥ 37 Minggu
N % n %
Pusparahayu 46 25,3 136 74,7
Mandalahayu 204 66,7 102 33,3
Tanjungsari 110 39,3 170 60,7
Sukaratu 263 96,7 9 3,3
Banjarsari 92 29,9 216 70,1

Stunting merupakan salah satu permasalahan kekurangan gizi utama yang sering
ditemukan pada anak balita. Dampak yang ditimbulkan antara lain lambatnya
pertumbuhan anak, daya tahan tubuh yang rendah, kurangnya kecerdasan, dan

105
produktivitas yang rendah. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian stunting secara
langsung adalah berat badan lahir rendah (BBLR) sedangkan faktor tidak langsung yaitu
faktor sosial ekonomi seperti pendidikan ibu dan pendapatan keluarga yang rendah serta
jumlah anggota keluarga yang besar. Penelitian Nasution mengungkapkan bahwa ada
hubungan antara BBLR dengan kejadian stunting pada usia anak 6-24 bulan (OR=5,60;
95%CI:2,27-15,70). Pada penelitian ini dihasilkan bahwa balita dengan riwayat BBLR
persentase tertinggi terdapat di Desa Sukaratu dengan 14,3 persen sedangkan Desa
Pusparahayu tidak ada balita dengan riwayat BBLR (Tabel 42).
Tabel 42. BBLR
< 2500 gram ≥ 2500 gram
Desa N % n %
Pusparahayu 0 0 51 100
Mandalahayu 4 3,0 129 97,0
Tanjungsari 3 11,1 24 88,9
Sukaratu 2 14,3 12 85,7
Banjarsari 20 8,3 220 91,7

Panjang badan lahir pendek juga merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak balita. Diketahui dari penelitian
Amaliah bahwa anak yang panjang badan lahirnya pendek memiliki peluang 3 kali lebih
besar mengalami mengalami stunting dan keterlambatan perkembangan (OR adj=3,08 ; CI
95% 1,03-9,15) setelah dikontrol oleh variabel umur anak, jenis kelamin anak dan tingkat
pendidikan ayah. Penelitian ini menunjukkan bahwa masih ada hampir 40 persen anak
balita yang mempunyai riwayat panjang badan lahir pendek (<48cm). Persentase tertinggi
tersebut terdapat di Desa Tanjungsari (Tabel 43).
Tabel 43. Lahir Pendek
< 48 cm ≥ 48 cm
Desa n % n %
Pusparahayu 10 22,2 35 77,8
Mandalahayu 44 37,0 75 63,0
Tanjungsari 5 38,5 8 61,5
Sukaratu 4 33,3 8 66,7
Banjarsari 59 28,2 150 71,8

106
Tabel 44 menggambarkan anak balita dengan riwayat panjang badan lahir pendek
berdasarkan kelompok umur. Pada tabel tersebut memperlihatkan bahwa semakin muda
kelompok umur anak semakin tinggi persentase anak dengan riwayat panjang badan lahir
pendek. Persentase pada kelompok umur muda 0-11 bulan adalah 23,6 persen. Pola yang
sama juga terlihat pada anak yang mempunyai riwayat panjang badan normal dimana
semakin muda kelompok umur anak semakin tinggi persentasenya yaitu 30,6 persen.
Tabel 44. Lahir Pendek Menurut Kelompok Umur
< 48 cm ≥ 48 cm
Kelompok Umur n % n %
0-11 Bulan 26 23,6 78 30,6
12-23 Bulan 27 24,5 62 24,3
24-35 Bulan 21 19,1 39 15,3
36-47 Bulan 19 17,3 43 16,9
48-60 Bulan 17 15,5 33 12,9

Tabel 45 menggambarkan persentase anak stunting dengan riwayat panjang badan


lahir pendek. Pada tabel tersebut terlihat bahwa pada diantara anak balita stunting
sebanyak 54,9 persen justru memiliki riwayat panjang badan lahir normal.

Tabel 45. Hubungan Stunting dengan Panjang Lahir


< 48 cm ≥ 48 cm
Stunting N % N %
Ya 46 45,1 56 54,9
Tidak 76 25,7 220 74,3

Pemantauan pertumbuhan merupakan faktor penting dalam memantau status gizi


anak. Salah satu pemantauan pertumbuhan adalah dengan menimbang berat badan anak
secara rutin setiap bulan di posyandu atau fasilitas kesehatan dan memplotkan angka
penimbangan pada KMS/grafik pertumbuhan. Berdasarkan jumlah frekuensi penimbangan
dalam 12 bulan terakhir diketahui bahwa penimbangan yang dilakukan ≥8 kali persentase
tertingginya terdapat di Desa Mandalahayu (84,6%) namun di Desa Sukaratu
menunjukkan hasil yang sangat berbeda dimana kunjungan penimbangan berat badan anak
balita ≥8 kali persentasenya 1,8 persen (Tabel 46).

107
Tabel 46. Penimbangan Berat Badan
< 8 KALI ≥ 8 KALI
Desa N % N %
Pusparahayu 35 24,1 110 75,9
Mandalahayu 38 15,4 208 84,6
Tanjungsari 74 34,9 138 65,1
Sukaratu 220 98,2 4 1,8
Banjarsari 48 22,1 169 77,9

Inisiasi Menyusu Dini (IMD) adalah proses bayi mulai menyusu sendiri segera
setelah lahir setidaknya satu jam bahkan lebih hingga bayi berhasil menyusu sendiri. IMD
merupakan salah faktor yang menentukan keberhasilan pelaksanaan ASI Eksklusif.
Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa hanya sekitar 40 persen ibu di Desa Sukaratu
yang mengaku bahwa pada segera setelah persalinan dilakukan IMD sedangkan desa
lainnya hanya dibawa 16 persen. Desa dengan persentase tertinggi tidak dilakukannya
IMD setelah ibu melahirkan adalah Desa Banjarsari (Tabel 47).
Tabel 47. Gambaran IMD Menurut Desa
YA TIDAK
Desa n % N %
Pusparahayu 2 4,8 40 95,2
Mandalahayu 3 4,0 72 96,0
Tanjungsari 12 15,0 68 85,0
Sukaratu 28 40,0 42 60,0
Banjarsari 4 3,8 102 96,2

Pada bayi, ASI sangat berperan dalam pemenuhan nutrisinya. Konsumsi ASI juga
meningkatkan kekebalan tubuh bayi sehingga menurunkan risiko penyakit infeksi. Sampai
usia 6 bulan, bayi direkomendasikan hanya mengonsumsi Air Susu Ibu (ASI) eksklusif.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif adalah ASI yang
diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama enam bulan, tanpa menambahkan dan/atau
mengganti dengan makanan atau minuman lain (kecuali obat, vitamin dan mineral).
Setelah usia 6 bulan, di samping ASI diberikan makanan tambahan.

108
Dari Tabel 48 diketahui bahwa tiga desa dengan capaian pemberian ASI Eksklusif
pada bayi 0-6 bulan tertinggi adalah Desa Tanjungsari (25,4%), Pusparahayu (18,6%) dan
Banjarsari (14,5%).
Tabel 48. Proporsi Balita yang Mendapatkan ASI Eksklusif
YA TIDAK
Desa n % n %
Pusparahayu 13 18,6 57 81,4
Mandalahayu 13 9,8 119 90,2
Tanjungsari 29 25,4 85 74,6
Sukaratu 8 9,0 81 91,0
Banjarsari 18 14,5 106 85,5

Tabel 49 menjelaskan mengenai perkembangan anak balita di 5 desa intervensi.


Sebagian besar anak balita di 5 desa kemampuan perkembangannya tidak sesuai umur.
Faktor psikososial yang berpengaruh terhadap perkembangan anak adalah stimulasi
(rangsangan), motivasi, ganjaran/hukuman, kelompok sebaya, stres, lingkungan sekolah,
cinta dan kasih sayang serta kualitas interaksi anak dan orangtua. Faktor lingkungan fisik
yang mempengaruhi perkembangan anak adalah asupan gizi, keadaan kesehatan dan pola
asuh makan.
Tabel 49. Skor Perkembangan
TIDAK SESUAI UMUR SESUAI UMUR
Desa n % n %
Pusparahayu 66 84,6 12 15,4
Mandalahayu 59 53,6 51 46,4
Tanjungsari 69 65,7 36 34,3
Sukaratu 83 66,4 42 33,6
Banjarsari 90 70,3 38 29,7

Banyak studi yang melaporkan bahwa balita yang berstatus gizi kurang mengalami
gangguan perkembangan dan memiliki kecerdasan yang lebih rendah dibandingkan balita
dengan status gizi baik. Hasil penelitian Nurmiati (2006) menjelaskan bahwa
keterlambatan yang terjadi di usia muda (12-24 bulan) mampu terkejar setelah anak
berusia 36 bulan. Andersen (2005) menyatakan bahwa bila status perkembangan anak
terlambat sebelum anak berusia 2 tahun maka keterlambatan tersebut dapat diperbaiki

109
pada tahapan usia selanjutnya. Untuk itu anak membutuhkan stimulasi yang dapat
membantunya mencapai tumbuh kembang optimal.

Tabel 50. Hubungan Stunting dengan Perkembangan

TIDAK SESUAI UMUR SESUAI UMUR


Stunting n % n %
Ya 153 70,2 65 29,8
Tidak 213 65,1 114 34,9

Tabel 50 menjelaskan hubungan antara status gizi buruk kronis (stunting atau
pendek) dengan perkembangan, bahwa sebagian besar anak yang stunting kemampuan
perkembangannya tidak sesuai umur (70,2%). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Hardiana (2017) di Kalasan yang melaporkan bahwa terdapat hubungan
yang signifikan secara statistik antara stunting dengan perkembangan anak. Stunting dapat
mempengaruhi perkembangan otak secara langsung serta mempengaruhi pertumbuhan
fisik, perkembangan motorik, dan aktivitas fisik. Status stunting memiliki hubungan yang
signifikan dengan perkembangan anak, ditandai dengan nilai OR 3,9 (1,67-8,90). Hal ini
menunjukkan bahwa anak dengan stunting memiliki risiko untuk mengalami
keterlambatan perkembangan 3,9 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal.

IV. RENCANA KEGIATAN MASING-MASING SEKTOR DALAM UPAYA


PENANGGULANGAN STUNTING
a) Dinas Kesehatan
1. Program Kesga
- Intervensi 1000 hari pertama kehidupan

- Intervensi pemberian PMT untuk ibu hamil sebesar 300 Kkal (1 porsi lebih
banyak dari makan bumil biasanya)

- Kelas ibu ditambah materi stunting (3-4 per- Puskesmas) edukasi bumil

- Edukasi remaja putri upaya pencegahan stunting

2. Program Gizi
- Pemberian TTD pada Remaja Putri dan ibu hamil
- Pemberian Makanan Tambahan Lokal pada ibu hamil”Boboko Kanyaah”

110
3. Program Kesling
- ODF di desa yang sudah Pamsimas
- Desa lokus menunggu realisasi pembngunan SPAM Mandalahayu dan Banjarsari.
- Rencana pengembangan perilaku Higiene untuk cuci tangan dan cuci alat makan
pada tempat khusus di rumah tangga.
- Pengembangan Jimat pada 3 desa lokus yang belum memperoleh Pamsimas tahun
2018 untuk persiapan ODF.
4. Program Yankes
- Optimalisasi penanggungjawab PIS-PK Puskesmas

- Pengembangan Keterpaduan Perkesmas dengan Posyandu dan TB untuk


menunjang pelaksnaan kunjungan rumah oleh nakes (paramedis)
5. Program JKN
- Melanjutkan migrasi peserta keluarga stunting Jamkesda ke JKN saat berobat ke
faskes.
- Menjaring keluarga stunting sakit yang belum menjadi anggota untuk menjadi
anggota JKN saat berobat kef askes.
- Menjaring bumil dari keluarga stunting, kek dan anemia untuk memperoleh
Jampersal saat berobat ke faskes.

6. Program Promkes
- Pelaksanaan Sosialisasi Stunting dan Gebyar ODF
- Penulisan Stunting dan ODF di mobil ambulance
b) Dinas Sosial
1. Program RASTRA
- Dinsos akan melakukan monev (oleh pemegang program dan pendamping
keluarga) untuk memastikan pembagian dan distribusi beras rastra sesuai dengan
Juknis dan Juklak yang ada
2. Program PKH
- Dinsos meminta tim peneliti litbang mengeluarkan data by name by adress untuk
melakukan verifikasi ke 5 desa yang masuk kategori miskin desil 1 dan 2 dan
memiliki anak balita khususnya yang stunting dan ibu hamil. Dinsos butuh data
sebagai justifikasi kenapa rumah tangga tersebut harus diprioritaskan mendapatkan
manfaat PKH.

111
- Dinsos akan memprioritaskan keluarga miskin dengan anak stunting dan ibu hamil
untuk masuk sebagai calon penerima manfaat PKH dalam program pengembangan
penerima manfaat baru PKH.
- Masukan terkait penentuan stunting sebagai salah satu indikator pemanfaatan PKH
akan dibunyikan dalam laporan penelitian ini/policy brief.
- Sosialisasi hingga ke desa bersama antar dinas sosial, dinas kesehatan, camat,
hingga kades terkait penetapan rumah tangga penerima manfaat berdasarkan hasil
data penelitian sehingga meminimalisir potensi konflik di desa.
3. Program BPNT

- Dinsos akan melakukan updating data terkait penerima manfaat BPNT yang
baru (program pengembangan penerima manfaat) dengan masukan dari hasil
penelitian ini untuk diberikan kepada dinsos agar sejalan dengan penerima
manfaat PKH.
- Dinsos akan melakukan sosialisasi terhadap pendamping PKH untuk
mengawal agar program BPNT ini bisa terimplementasikan dengan baik
sehingga masyarakat bisa mengkonsumsi sumber makanan protein (telur)
khususnya pada anak balita dan ibu hamil.
4. Pendamping PKH

- Dinsos akan melakukan kerjasama dengan dinkes untuk pertemuan peningkatan


capacity building untuk meningkatkan pengetahuan pendamping keluarga PKH
dalam melakukan penguatan. Capacity building tahap pertama direncanakan akan
dilakukan dengan mengundang pendamping keluarga dari 13 desa intervensi dan
lokus dan akan dilakukan di bulan September 2018. Tahap kedua akan
mengundang pembicara dari kementerian kesehatan untuk mensosialisasikan topik
stunting pada pertemuan pendamping PKH yang rencananya akan dilakukan pada
bulan Oktober 2018.
- Dinsos akan memanfaatkan dan mengoptimalkan pertemuan rutin penguatan
keluarga di desa untuk mensosialisasikan topik 1000 HPK dan gizi (termasuk
stunting), serta memastikan program yang ada (PKH dan BPNT) bisa mencegah
stunting.
5. Bantuan Sosial Pembuatan Jamban/MCK
- Dinas sosial menunggu hasil konsolidasi tim Balitbangkes dengan pihak dinas PU.

112
c) Dinas Industri dan Perdagangan

1. Program Industri

- Memberikan penyuluhan kepada masyarakat agar tertarik untuk melakukan usaha


mengingat di 5 desa masih banyak pengangguran
- Mendorong usaha kecil di tingkat rumah tangga untuk mendapatkan sertifikat PIRT
(produk industri rumah tangga)sebagai standar untuk setiap produk makanan hasil
industri di tingkat rumah tangga .
- Memberikan pelatihan untuk membuat kemasan yang memenuhi syarat untuk
makanan hasil industri rumah tangga yang akan dijual
d) Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan
Program Pemanfaatan lahan pekarangan berupa Budidaya ikan sistem terpal dan
Penanaman sayuran

- Untuk anggaran tahun depan DKP bersedia untuk menempatkan program mereka di
daerah prioritas stunting
- Untuk saat ini yang bisa dilakukan oleh DKP dalam intervensi 5 desa stunting yaitu
dengan memberikan bimbingan teknis pada program pemanfaatan lahan pekarangan
yang meliputi kegiatan penanaman sayuran dan budidaya ikan sistem terpal
- Untuk daerah persawahan yang sering mengalami kekeringan mungkin bisa dibuatkan
semacam irigasi dan harus bekerjasama dengan PU
- Memberikan bimbingan teknis bagaimana cara untuk budidaya ikan sistem terpal.
Biaya yang dibutuhkan untuk 1 paket budidaya lele sistem terpal sampai siap panen
sekitar Rp. 2.260.00.
- Kendala yang dihadapai pada kegiatan budidaya lele sistem terpal dan penanaman
sayuran di pekarangan yang pernah dilakukan adalah tidak berjalan dalam jangka
waktu yang lama. Mungkin untuk satu atau dua kali panen saja, dikarenakan hasil dari
panen tersebut tidak dijadikan lagi sebagai modal untuk pembenihan berikutnya. Perlu
perhatian dari berbagai pihak agar bisa memberikan pemahaman kepada masyarakat
akan pentingnya kegiatan ini dalam rangka pemenuhan konsumsi protein hewani serta
konsumsi buah sayur di tingkat rumah tangga (promosi kesehatan)
- Memberikan bimbingan teknis mengenai cara pemanfaatan lahan pekarangan dengan
menanam sayuran sistem hidroponik

113
e) Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (DPRKP)
Keterlibatan pihak kecamatan dalam seluruh proses utama pengembangan
SPAMSdi tingkat desa sangat penting, hal ini terutama untuk mendapatkan dukungan
mulaidari tahap persiapan program sampai dengan pengembangan yang
berkelanjutanpasca konstruksi. Peran dan fungsi SKPD Kecamatan dalam Pamsimas
adalah(10):

a. Mendukung Pokja AMPL untuk mengawal kegiatan sosialisasi ProgramPamsimas,


termasuk menginformasikan dan menyebarluaskan informasi mengenai program
Pamsimas kepada seluruh pemerintah desa di wilayahnya,

b. pelaku pendampingan masyarakat, memfasilitasi pelaksanaan kegiatansosialisasi


Program Pamsimas di tingkat Desa,

c. Memberikan masukan kepada Pakem dalam kegiatan verifikasi usulan/proposaldesa;

d. Mendukung pelaksanaan kegiatan Pamsimas di tingkat desa, termasuk pemantauan


terhadap kemajuan pelaksanaan, pembinaan terhadap pemerintah

e. desa untuk alokasi APBDesa dalam Pamsimas, fasilitasi pemanfaatan sumber airbaku,
fasilitasi pengembangan SPAM antar desa, dan sinkronisasi pendampingan

f. pemerintah desa dan masyarakat;

g. Melaksanakan sinkronisasi program air minum dan sanitasi tingkat


kecamatan,diantaranya penyusunan prioritas kegiatan pelayanan untuk pencapaian
akses airminum dan sanitasi 100% tingkat kecamatan, ketersediaan program dan
alokasianggaran tingkat kabupaten (dalam musrenbang kecamatan dan SKPD)
danAPBDesa, dan penyusunan prioritas dan target program air minum dan sanitasi

h. dalam RPJMDesa, RKPDesa dan musrenbang kecamatan;

i. Memantau realisasi penggunaan APBDesa untuk air minum, sanitasi danperubahan


perilaku hidup bersih dan sehat;
Pada tingkat kecamatan perlu dilakukan koordinasi dengan Kasie Pembangunan
Masyarakat Desa (PMD).Bisa saja Kasie PMD tidak mengetahui program PAMSIMAS
disebabkan kurangnya koordinasi kabupaten dengan kecamatan ataupun sebaliknya.
Rencana kegiatan pada kecamatan di Bidang Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
adalah Kegiatan Pamsimas :
- Pembangunan Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM)

114
- Pembangunan jamban dan septik tank
- Tempat Cuci Tangan (TCT) di sekolah

B. SOSIALISASI STUNTING DAN RENCANA PENDAMPINGAN DALAM


UPAYA PENURUNAN STUNTING DI TINGKAT KECAMATAN

Setelah dilakukan sosialisasi di tingkat kabupaten maka dilakukan sosialisasi di


tingkat kecamatan. Penyelengggara kegiatan sosialiasi di tingkat kecamatan adalah
kecamatan. Peserta dari kegiatan ini adalah Kepala Puskesmas, Kepala UPT Pendidikan,
Kepala Kantor Urusan Agama, seluruh kepala desa di wilayah kerja kecamatan, MUI,
PLKB, PPL, LSM, Tokoh Masyarakat, PKK, Organisasi Pemuda, dan Kader. Tujuan
dilakukannya sosialisasi adalah agar seluruh Stakeholder di di tingkat kecamatan tahu dan
paham apa yang dimaksud dengan Stunting termasuk penyebab dan dampak yang
ditumbulkan serta bagaimana cara penanggulangannya.
Seperti halnya di tingkat kabupaten sebagian besar peserta banyak yang belum
tahu apa yang dimaksud dengan Stunting, termasuk penyebab dan dampak yang
ditimbulkan serta bagaimana upaya penanggulngannya. Sebagian besar peserta lebih
banyak yang mengetahui tentang gizi buruk dibandingkan stunting. Hal yang banyak
menjadi pertanyaan pada saat sosialiasi adalah alasan mengapa desa mereka terpilih
sebagai desa prioritas stunting karena merasa bahwa desanya tidak termasuk yang
mempunyai banyak gizi buruk.

115
Gambar 19. Sosialiasi dan Penggalangan Komitmen di Tingkat Kecamatan

C. SOSIALISASI STUNTING DAN RENCANA PENDAMPINGAN DALAM


UPAYA PENURUNAN STUNTING DI TINGKAT DESA

Setelah dilakukan sosialisasi di tingkat kecamatan maka dilakukan sosialisasi di


tingkat desa. Kegiatan sosialiasi di tingkat desa dikoordinir oleh Kepala Desa dan dihadiri
oleh Camat dan Kepala Puskesmas. Peserta dari kegiatan ini adalah seluruh Kepala
Dusun, RW, RT, PKK, Kader, Tokoh Masyarakat, MUI, LSM, Pembina wilayah dari
Puskesmas dan masyarakat. Sama halnya dengan sosialiasi di tingkat kecamataman maka
tujuan dilakukannya sosialisasi adalah agar seluruh stakeholder di di tingkat desa tahu
dan paham apa yang dimaksud dengan Stunting termasuk penyebab dan dampak yang
ditumbulkan serta bagaimana cara penanggulangannya.

116
Sebagian peserta di tingkat desa juga banyak yang belum tahu dan paham tentang
stunting serta menganggap bahwa stunting lebih banyak disebabkan karena keturunan.
Selain itu banyak juga yang merasa bahwa di desa mereka tidak banyak stunting.

Gambar 20. Sosialisasi dan Penggalangan Komitmen di Tingkat Desa

D. PENDAMPINGAN DI OPD TERKAIT (BAPPEDA, DINAS KESEHATAN,


DINAS PERTANIAN, DINAS SOSIAL, DINAS KETAHANAN PANGAN DAN
PERIKANAN, DINAS PENDIDIKAN, DINAS INDUSTRI DAN
PERDAGANGAN, DINAS PERUMAHAN RAKYAT DAN KAWASAN
PERMUKIMAN DAN KEMENTERIAN AGAMA)

Kegiatan pendampingan dilakukan di beberapa OPD antara lain di Bappeda, Dinas


Kesehatan, Dinas Ketahanan Pangan dan Perikanan, Dinas Pertanian, Dinas Sosial, Dinas

117
Pendidikan, Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman, Dinas PU, Dinas
Industri dan perdagangan, Kementerian Agama.
Kegiatan yang dilakukan antara lain melakukan diskusi, sosialisasi dan memberikan
capacity builidng kepada tenaga-tenaga fungsional lapangan yang ada di masing-masing
OPD tentang penyebab stunting dan upaya-upaya pencegahan dan penanganannya.
Pendampingan di masing-masing OPD dilakukan sebanyak 4 kali selama 4 bulan

Gambar 21. Pendampingan di BAPPEDA dan Dinas Kesehatan

Gambar 22. Sosialiasasi dan Pendampingan di KEMENAG

Gambar 23. Sosialiasasi dan Pendampingan di Dinas Pertanian

118
E. PENDAMPINGAN DI TINGKAT KECAMATAN DAN DESA

Pendampingan di Tingkat Kecamatan dan Desa dilakukan oleh masing-masing tim


pendamping Desa yang terdiri dari 4 orang pendamping. Selama penelitian dilakukan
pendampingan sebanyak 4 kali dengan lama waktu @ 5 hari. Rencana kegiatan
pendampingan disesuaikan dengan permasalahan yang ada di masing-masing desa.
Langkah awal yang dilakukan di tingkat desa adalah koordinasi dengan pihak
kecamatan, Puskesmas dan Desa. Selanjutnya adalah mendapatkan data tentang masalah
gizi dan kesehatan Balita di wilayah desa. Sumber data bisa diperoleh dari data sekunder,
baik yang ada di Puskesmas maupun di tingkat desa. Dalam penelitian ini data tentang
masalah gizi dan kesehatan Balita diperoleh dari survey cepat di masing-masing desa serta
data sekunder yang ada di Puskesmas maupun desa. Setelah dilakukan pengolahan dan
analisis maka hasilnya akan disosialisasikan kepada masyarakat pada saat kegiatan
Musyawarah masyarakat Desa (MMD).

Gambar 24. Koordinasi di Tingkat Kecamatan, Puskesmas dan Desa


Namun demikian dalam pemberdayaan dan meningkatkan peran serta masyarakat
maka masyarakat perlu didampingi agar dapat mengenali sendiri masalah gizi dan
kesehatan apa yang ada di wilayahnya masing-masing dengan cara melakukan Survey

119
Mawas Diri (SMD). Seluruh proses kegiatan SMD dirancang dan dilakukan serta
dianalisis sendiri oleh masyarakat. Tim peneliti hanya mendampingi saja terutama dalam
melakukan analisis situasi serta membantu dalam dalam menajamkan rencana intervensi
yang sudah disusun oleh masyarakat. Sehingga diharapkan masyarakat akan lebih merasa
bahwa masalah gizi dan kesehatan yang ditemukan merupakan masalah mereka dan
dengan penuh kesadaran memang harus mereka atasi sendiri.

Gambar 25. Pelaksanaan SMD dan MMD di Tingkat Desa

120
Gambar 26. Pelaksanaan Pendampingan di Tingkat Desa
Pada saat kegiatan MMD maka disusun rencana intervensi terhadap permasalahan
stunting serta faktor determinan yang mempengaruhi. Hasil lengkap seluruh kegiatan
yang dilakukan di masing-masing desa ada di laporan kegiatan masing-masing desa.

121
BAB IV KESIMPULAN

1. Sosialisisasi tentang stunting merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan
dalam upaya penurunan masalah stunting karena belum banyak stakeholder dan
masyarakat yang terpapar dan tahu tentang stunting
2. Komitmen Pimpinan mulai dari Bupati, Camat dan Kepala Desa memiliki peran yang
sangat penting dalam menggerakkan seluruh stakeholder dan masyarakat untuk mau
secara bersama-sama melakukan upaya penaanggulangan stunting.
3. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Perbup atau SK Bupati, tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh masing-masing
OPD dalam penyusunan program dan kegiatan terkait dengan penanggulangan
stunting.
4. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Percam/SK Camat tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh Camat untuk
melakukan koordinasi lintas sektor di Tingkat Kecamatan dalam penyusunan program
dan kegiatan terkait dengan penanggulangan stunting.
5. Keberadaan regulasi atau kebijakan dalam bentuk Perdes/SK Kepala Desa tentang Tim
Koordinasi Penanggulangan Stunting karena akan dijadikan dasar oleh Kepala Desa
untuk melakukan koordinasi lintas sektor dan dasar hukum dalam penggunanaan Dana
Desa dan Alokasi Dana Desa untuk pembiayaan kegiatan penanggungalangan stunting
di Tingkat Desa.
6. Model Pendampingan Integrasi Lintas Sektor Dalam Upaya Penanggulangan Stunting
melalui Gerakan “Kampung Gizi” di Kabupaten Tasikmalaya dalam waktu 4 bulan
sudah cukup memberikan hasil yang dengan diterbitkannya 1 SK-Bupati, 39 SK
Camat dan 5 SK Kepala Desa tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Stunting.
7. Tersusunnya draft Pedoman Model Integrasi Lintas Sektor dalam Upaya Penurunan
Stunting melalui Gerakan “Kampung Gizi”

SARAN
1. Perlu dibuat Rencana Tindak Lanjut kegiatan Tim Koordinasi Penanggulangan
Stunting di masing-masing tingkatan mulai dari Kabupaten, Kecamatan dan Desa
2. Perlunya dibuat rencana Monev terhadap proses kinerja Tim Koordinasi
Penanggulangan Stunting di masing-masing tingkatan mulai dari Kabupaten,
Kecamatan dan Desa

122
DAFTAR PUSTAKA

Acosta AM. Examining the political, institutional and governance aspects of delivering a
national multi-sectoral response to reduce maternal and child malnutrition.
Analysing nutrition governance: Brazil country report. Brighton: Institute of
Development Studies; 2011 (http://www.ids.ac.uk/
files/dmfile/DFID_ANG_Brazil_Report_Final.pdf, accessed 21 October 2014).
Bappenas., 2014. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-
2019. Buku I. Agenda Pembangunan Nasional. Jakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan
Bappenas., 2012.Pedoman Perencanaan Program. Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan
Gizi. Dalam Rangka Seribu hari Kehidupan (1000 HPK)
Bappenas., 2012. Kerangka Kebijakan Gerakan Nasional Percepatan Perbaikan Gizi.
Dalam Rangka Seribu hari Kehidupan (1000 HPK) .
Bhutta, Z., et al., (2013). Evidence based interventions for improving maternal and child
nutrition: What can be done and at what cost?, The Lancet, 382, 452-477. 16.
Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2008. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007: Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes
Kemenkes RI.
Departemen Kesehatan RI, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2014. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013: Laporan Nasional. Jakarta: Balitbangkes
Kemenkes RI.
Effendy, Onong Uchjana, 2001. Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT
Remaja Rosdakarya.
Global Nutrition Report. Actions and Accountability to Accelerete The World’s Progress
on Nutrtion. A Peer Reviewed Publication. International Food Pollicy Research
2014. Washington DC
Haddad, L., Nisbett, N., Barnet, Inka. And Valli, E. Maharasthra’s Child Stunting
Declines : What is Driving Them ? Findings of a Multidisciplinary Analysis.
2014.
https://www.researchgate,ne....llection_of_Recent_Papers
Lutter C, Casanovas C, Pena M, Diaz A. Landscape analysis on countries’ readiness to
accelerate action to reduce maternal and child undernutrition: the Peru
assessment. SCN News. 2009;37:49–54 (http://www.bvsde.paho.
org/texcom/nutricion/scnnews49.pdf, accessed 21 October 2014).
LAN, 2015. Bahan Ajar Diklat Kepemimpinan Tingkat IV. Agenda membangun tim
efektif Koordinasi dan Kolaborasi. Tahun 2015.
Millennium Challenge Account – Indonesia. 2014. Mengentaskan Kemiskinan Melalui
Pertumbuhan Ekonomi.
Ministerio de Salud y Deportes, Estado Plurinacional de Bolivia. Plan estratégico 2007–
2011 del Programa Multisectorial de Desnutrición Cero. La Paz: Ministerio de
Salud y Deportes; 2009.
Permaesih, D.,dkk. Studi Kajian Masalah Anemia Gizi dan Program Suplementasi Pil Zat
Besi Pada Ibu Hamil. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2015.

123
Prihartini, S., dkk. Riset Operasional : Model Percepatan Penanggulangan Masalah
Stunting di Kabupaten Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Laporan Penelitian
tahun 2016.
Remans,R et.all. Multisector intervention to accelerate reductions in child stunting: an
observational study from 9 sub-Saharan African countries. Am J Clin Nutr
2011;94;1632-42
Rasella, D., et al., (2013). Effect of a conditional cash transfer programme on childhood
mortality: a nationwide analysis of Brazilian municipalities, The Lancet.
Triwinarto, A, dkk. Kontribusi Intervensi Program Spesifik dan Sensitif Program
Perbaikan Gizi Masyarakat di kota Tegal dan Kota Salatiga. Laporan Penelitian
Pusat Teknologi Intervensi Kesehatan Masyarakat. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. 2014
Thalheim, Benhard. Collaboration 3C = C3 = Communication + Coordination +
Coordination The Kiei Approach to Collaborative System.
(https://www.researchgate,nellection_of_ Recent_Papers )
The Lancet, (2008). Maternal and Child Undernutrition, Special Series, 371. 2
The World Bank, (2013). Improving Nutrition through Multi-Sectoral Approaches,
Washington, D.C.
Unicef (1998). The State of World’s Children 1998, Oxford University, Oxford.
World Health Organization. Landscape analysis on countries’ readiness to accelerate
action in nutrition (http://www.who.int/nutrition/landscape_ analysis/en/,
accessed 21 October 2014).

124
SUSUNAN TIM PENELITI

Kedudukan Keahlian/
NO Nama dalam tim Kesarjanaan Uraian Tugas
1 DR. Agus Peneliti Kesehatan Bertanggung jawab perencanaan
Triwinarto, Utama Masyarakat pelaksanaan, analisis data,
SKM, MKM keuangan dan penyusunan laporan
secara keseluruhan
2 DR. Basuki Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Budiman, Utama Masyarakat protokol, pengumpulan data,
MPH pengolahan , analisis data dan
pelaporan
3 DR. Yekti Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Widodo, SP, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
M.Kes pengolahan , analisis data dan
pelaporan
4 DR. Aria Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Kusuma, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
SKM, M.Kes pengolahan , analisis data dan
pelaporan
5 dr. Elsa Elsi, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
MSi Lingkungan protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
6 Yurista Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Permana Sari, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
S, M.Si pengolahan , analisis data dan
pelaporan
7 Sri Muljati, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
SKM, M.Kes Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
12 Ir. Sri Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Prihartini, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
M.Kes pengolahan , analisis data dan
pelaporan
13 Ir. Hermina, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
M.Kes Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
14 Dr. Reviani. C, Peneliti Gizi Klinis Membantu melakukan pembuatan
MKM protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan

125
15 Dr. Yuana Panitia Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Wiryawan, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
M.Kes pengolahan , analisis data dan
pelaporan
16 Dyah Santi Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Puspitasari, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
SKM, MKM pengolahan , analisis data dan
pelaporan
17 Irlina I, SKM, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
MKM Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
18 Rika Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Rachmawati, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
SP, MSc pengolahan , analisis data dan
pelaporan
19 Rika Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Rachmalina, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
SKM, MSc pengolahan , analisis data dan
pelaporan
20 Yunita Diana Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Sari, SKM, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
M.Epid pengolahan , analisis data dan
pelaporan
21 Joko Pambudi, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
MPS Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
22 Bunga CR, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
S.Sos, M.Kes Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
23 Kencana Sari, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
SKM, MPH Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
24 Dwi Sisca Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Kumalaputri, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
SKM, M.Epid pengolahan , analisis data dan
pelaporan
25 Nur Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Handayani, SP, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
M.Gizi pengolahan , analisis data dan
pelaporan
26 Indri Yunita S, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Spsi, M.Si Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
27 Nurilah Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Amalia, SP, Masyarakat protokol, pengumpulan data,

126
M.Kes pengolahan , analisis data dan
pelaporan
28 Prisca Petty Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
Arfines, SGz, Masyarakat protokol, pengumpulan data,
MPH pengolahan , analisis data dan
pelaporan
20 Noviati, S.Sos, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
M.Si Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
21 Fityah DP, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
SGz, M.Sc Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
22 Amalia Safitri, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
SKM, M.Si Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
23 Febriyani, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
SKM Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
24 Aditianti, SP, Peneliti Kesehatan Membantu melakukan pembuatan
M.Si Masyarakat protokol, pengumpulan data,
pengolahan , analisis data dan
pelaporan
25 Dr. Joko Pengarah Kesehatan Memberikan pengarah terhadap
Irianto, SKM, Masyarakat pelaksanaan penelitian
M.Kes
26 DR. Abas Konsultan Epidemiologi Memberikan pengarahan
Basuni Jahari. Gizi penelitian
MSc
27 Ir. Dody Konsultan Dir Gizi Memberikan pengarahan
Rizwadi, MPH Masyarakat penelitian
28 Drg. Agus Konsultan Kapus PUKM Memberikan pengarahan
Suprapto, penelitian
M.Kes
29 Dr. Siswanto, Konsultan Ka Badan Memberikan pengarahan
MHP,DTM Litbangkes penelitian

127
Tabel . Jadwal Kegiatan
No Kegiatan Waktu
Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des
1 Rapat persiapan
2 Pengurusan etik
penelitian
3 Penyempurnaan
kuesioner
4 Uji coba kues dan
Penyamaan persepsi
5 Perijinan tk pusat
sampai kabupaten
6 Sosialisasi dan
Konsolidasi ke
Dinkes, dan lintas
sektor
7 Persiapan dan
Pelaksanaan
Intervensi
8 Survey Kesmas (Pre)
11 Analisis Data Dasar
12 Kesepakatan Lokus
13 Identifikasi Program
14 Sosialisasi
15 Komitmen Linsek
16 SMD & MMD
17 Pembentukan
Kelompok
18 Kegiatan Intervensi di
masyarakat
19 Survey Kesmas (Post)
20 Analisis
21 Pendampingan Tim
22 Pembuatan Laporan
23 Diseminasi

128
RINCIAN ANGGARAN :

1. Gaji Upah Rp. 29.240.000


2. Belanja Bahan Rp. 281.220.000
3. BNO Rp. 30.000.000
4. Belanja jasa Lainnnya Rp. 500.000
5. Belanja jasa profesi Rp. 100.400.000
6. Belanja perjalanan biasa Rp. 1.370.340.000
7. Perjalanan dinas dalam kota Rp. 552.300.000
8. Belanja perjalanan dinas paket meeting luar kota Rp. 24.000.000
9. Belanja modal peralatan dan mesin Rp. 600.000,000
10. Belanja perjalanan dinas paket meeting dalam kota Rp. 12.000.000

Jumlah Rp. 2.779.980.000

129

Anda mungkin juga menyukai