24
25
Instalasi Pengolaha Air Limbah (IPAL) pada PT. X bekerja setiap hari. Seni –
Jum’at IPAL bekerja selama 23 jam/hari dengan waktu istirahat 1 jam/hari pada pukul
07.00 – 08.00 WIB. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu IPAL bekerja selama 24
jam/hari, hal tersebut dikarenakan hari libur karyawan dan tidak ada yang mengontrol
untuk waktu istirahat IPAL. Walaupun tidak ada aktivitas produksi pada hari Sabtu dan
Minggu bukan berarti tidak ada limbah yang masuk kedalam IPAL. Limbah dari
aktivitas produksi pada hari Seni – Jum’at tidak langsung masuk kedalam inti
pengolahan air limbahnya karena kuantitas limbah yang cukup banyak tiap harinya
maka limbah sebelum masuk ke pengolahan inti dilakukan penampungan terlebih
dahulu dikolam penampung atau kolam mixing. Hal tersebut menyebabkan IPAL masih
bekerja pada hari Sabtu dan Minggu.
Monitoring yang dilakukan petugas IPAL berupada pengukuran pH
menggunakan indikator universal dan pengukuran suhu menggunakan termometer.
Pengukuran dilakukan setiap 2 – 3 jam sekali selama waktu kerja. Adapun monitoring
secara biologi yaitu menaruh ikan pada kolam pantau. Kolam pantau ini bertujuan
26
untuk melihat seberapa toksiknya limbah yang sudah diolah, dengan melihat tingkah
laku dari ikan dan tingkat kematian pada populasi ikan dikolam pantau tersebut. Akan
tetapi masih ada kekurangan pada monitoring biologi tersebut yaitu ikan yang
digunakan sudah dewasa. Jika ingin melihat kualitas limbah tersebut sebaiknya
menggunakan ikan yang berumur 30 – 40 hari, karena pada umur tersebut ikan masih
terbilang sensitif terhadap perubahan kualitas air. Untuk monitoring uji kualitas limbah
pada laboratorium peneliti tidak mendapatkan informasi apapun terkait kualitas fisik-
kimia limbah tersebut dari pihak PT. X.
Minyak &
mg/L 467.00 2590.00 1267.00 131.00 5.00
Lemak
Kinerja dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berada di PT. X
berhasil menurunkan hampir semua parameter kecuali pH. Akan tetapi hasil dari
pengolahan limbah di PT. X masih jauh dari baku mutu limbah industri penyamakan
kulit yang diperbolehkan untuk dibuang kebadan air. Parameter yang melebihi baku
mutu menjadi salah satu faktor tingkat toksisitas, semakin tinggi parameter melebihi
baku mutu maka akan semakin toksik limbah tersebut (Febrita dan Dwina, 2013).
Terdapat penelitian terdahulu terkait dengan pengolahan limbah industri
penyamakan kulit pada IPAL BBKKP, hasil uji parameter limbah industri penyamakan
kulit di IPAL BBKKP tersaji pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4. Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) pada PT. X dan BBKKP sesungguhnya sudah memiliki peran yang
cukup baik untuk menurunkan parameter limbah penyamakan kulit yang masuk
kedalam IPAL. Permasalahan pada BBKKP terlihat jelas pada kulitas air sungai atau
badan air penerima buangan air limbah penyamakan kulit tersebut yang sudah melebihi
baku mutu. Limbah dari BBKKP sesungguhnya tidak berdampak signifikan terhadap
kenaikan kuliatas air pada air sungai tersebut. IPAL pada BBKKP mengolah secara
optimal limbah yang masuk, hal tersebut dikarenakan bahwa IPAL pada BBKKP
tersebut menyesuaikan kuantitas limbah yang masuk yaitu sebesar 5 m3/hari. Sehingga
IPAL tidak mengalami kelebihan air limbah dalam proses pengolahan. Selain dari
kuantitas limbah yang diperhitungkan, IPAL pada BBKKP juga hanya beroperasi 5
jam dalam 1 hari. Sedangkan IPAL pada PT. X kuantitas air limbah yang masuk
kedalam IPAL yaitu sebesar 10,8 m3/hari, dan operasional IPAL pada PT. X 23 jam
pada hari Senin – Jumat dan 24 jam pada hari Sabtu – Minggu. Pengoperasian secara
terus menerus menjadi salah satu faktor dari penurunan keoptimalisasian unit IPAL
dalam mengolah air limbah.
Pembuangan limbah yang belum memenuhi baku mutu kebadan air dapat
mempengaruhi aktivitas hewan yang ada didalamnya berupa hewan menjadi stres.
Tidak semua limbah yang dibuang dapat masuk ketubuh hewan melalui oral. Zat – zat
yang terkandung pada limbah juga dapat menempel pada tubuh hewan dan
menyababkan hewan menjadi sulit bergerak (Sadana et all, 2013).
28
Menurut (Febrita dan Dwina, 2013) jika pH melebihi 9,5 maka dapat
menyebabkan kematian pada Daphnia sp. Sedangkan pH optimal untuk kelangsungan
hidup Daphnia sp sebesar 6 – 9 (Raohati, 2014). Sementara pH pada limbah baik dying,
kromium, mixing, maupun effluent secara berturut – turut yaitu sebesar 4,23, 3,57, 5,73,
dan 5,37. pH yang terkandung dalam limbah masih bisa dikatakan aman untuk hewan
uji walaupun pH tidak memenuhi baku mutu dan pH optimal, karena konsentrasi pH
tidak terlalu jauh dengan baku mutu dan pH optimal untuk kehidupan Daphnia sp.
Biochemical Oxygen Demand (BOD) dapat menentukan kualitas dari air, BOD
dapat dinyatakan sebagai banyaknya kebutuhan oksigen dalam air. Oksigen tersebut
digunakan oleh organisme untuk menghancurkan bahan organik yang terkandung
dalam air. Semakin tinggi BOD maka pertumbuhan organisme dalam air akan semakin
cepat, dan sebaliknya. Kandungan BOD juga dapat mempengaruhi kadar oksigen
terlarut pada air, semakin tinggi kandungan BOD maka semakin kecil kandungan
oksigen terlarut pada air limbah. Umumnya parameter BOD harus lebih kecil dari pada
COD (Nurhayati, 2009). Hasil dari uji parameter yang dilakukan peneliti terhadap
limbah penyamakan kulit menunjukan kandungan COD pada limbah masih jauh diatas
baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Besarnya nilai COD dapat mempengaruhi
kadar oksigen terlarut dalam limbah tersebut, walaupun tidak banyak
mempengaruhinya. Salah satu faktor peningkatan COD yaitu tidak efektifnya kerja dari
bak sedimentasi (Febrita dan Dwina, 2013). Penuran kadar oksigen terlarut pada
limbah sebenarnya masih bisa ditoleran oleh Daphnia sp, karena Daphnia sp
mempunyai kemampuan bertahan hidup pada lingkungan yang kadar oksigen
terlarutnya rendah (Effendi, Aditya, Yusli, dan Majariana, 2012).
Total Suspended Solid (TSS) pada limbah penyamakan kulit dari semua sampel
yang diambil setelah diuji hasilnya ternyata melebihi baku mutu. Kandungan TSS yang
tinggi pada limbah menyebabkan tingkat kecerahan menjadi rendah dan menyebabkan
tingkat kekeruhan menjadi tinggi. Jika tingkat kekeruhan tinggi maka akan
mempersulit sinar matahari masuk kedalam air, sehingga menyebabkan terganggunya
proses fotosintesis dalam air (Winnarsih et all, 2016). Dari hasil pengujian hewan uji
29
mengalami kesulitan untuk bergerak karena terdapat gelambir – gelambir pada bagian
tubuhnya. Kandungan TSS yang tinggi pada limbah menjadi salah satu faktor
terdapatnya gelambir – gelambir pada tubuh Daphnia sp.
Senyawa kromium sebenarnya sudah terdapat dialam, seperti Cr6 biasanya
terdapat pada air permukaan dan tanah. Sedangkan Cr3 biasanya terdapat pada sedimen
dan lahan basah (Pawlisz et all, 1993). Pada umumnya kromium yang berlebihan
dilingkungan bersifat toksik, akan tetapi kromium juga ada jenisnya. Salah satunya
senyawa Cr6 lebih beracun untuk organisme perairan dibandingkan dengan senyawa
Cr3. Hal tersebut didukung oleh nilai LC50 yang didapatkan pada saat pengujian lebih
kecil Cr6 dibandingkan dengan Cr3 (Baral et all, 2006). Dalam penelitian (E. Biesinger
dan Glenn, 1972) bahwa pemberian kromium sejumlah 350 µg/L pada media
berdampak pada menurunnya tingkat reproduksi Daphnia sp. Hewan uji yang terpapar
oleh kromium juga mengalami penghambatan pada masa pertumbuhan. Paparan dari
kromium terhadap Daphnia sp juga menyebabkan efek yang negatif bagi tubuh
Daphnia sp itu sendiri yaitu Daphnia sp mengalami penurunan berat badan setelah
terpapar kromium. Batas aman pembuangan limbah kromium kebadan air untuk
kehidupan akuatik yaitu sebesar 0,001 mg/L untuk Cr6, sedangkan batas aman untuk
Cr3 yaitu sebesar 0,008 mg/L. Jika pembuangan limbah dapat memenuhi angkat
tersebut maka dapat dipastikan kehidupan akuatik dibadan air penerima pembuangan
limbah yang mengandung kromium tidak mengalami efek kerugian atau terganggu atas
pembuangan limbah tersebut (Pawlisz et all, 1997).
Kandungan minyak dan lemak cukup berbahaya jika terdapat pada air limbah.
Karena sifat minyak yang tidak dapat terlarut dalam air, hal tersebut bisa menghalangi
sinar matahari yang masuk kedalam air (Gemilang et all, 2017). Sinar matahari yang
masuk kedalam air sebagai kebutuhan untuk proses fotosintesis dalam air, jika
fotosintesis mengalami gangguan maka dapat menyebabkan oksigen terlarut pada air
menjadi berkurang.
Nitrogen mudah terlarut dalam air dan bersifat stabil (Novia, 2016). Kandungan
nitrogen pada perairan dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan)
30
biologi. Pengujian ini menggunakan hewan Daphnia sp dan dilakukan selama 96 jam
untuk pengujian toksisitas. Sebelum melakukan uji toksisitas ada beberapa tahapan
yang harus dipenuhi yaitu aklimatisasi terhadap hewan uji dan uji pendahuluan.
Daphnia sp sebagai hewan uji didapatkan melalui Balai Pengembangan Teknologi
Perikanan Budidaya (BPTPB), Cangkingan, Yogyakarta. Aklimatisasi dilakukan
selama 24 jam dengan tujuan hewan uji mampu beradaptasi pada lingkungan
laboratorium. Selama aklimatisasi dilakukan juga pengukuran parameter berupa pH
mengacu pada SNI 06-6989.11-2004, DO mengacu pada SNI 06-6989.14-2004, dan
suhu mengacu pada SNI 06-6989.23-2005.
30
26
25
20
14
15
10 7.1 7.8
0
Aklimatisasi
Suhu pH DO Kematian
(oC) (-) (mg/L) (Ekor)
100
Kematian Daphnia sp.
90
Mortalitas Kematian (%)
80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10
Konsentrasi Contoh Uji Mixing (%)
(a)
100
Mortalitas Kematian (%)
60
40
20
0
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi Contoh Uji Effluent (%)
(b)
Kematian pada Daphnia sp pada saat pengujian toksisitas dialami setelah 1 jam
pertama. Jumlah kematian Daphnia sp pada contoh uji mixing sebanyak 25 ekor,
sedangkan pada contoh uji effluent sebanyak 27 ekor. Total kematian pada hewan uji
sebesar 43,33% dari jumlah hewan uji yang digunakan. Kematian hewan uji pada
34
contoh uji effluent lebih besar dari kematian hewan uji pada contoh uji mixing, variasi
konsentrasi pada contoh uji effluent menjadi salah satu faktor banyaknya kematian
hewan uji. Menurut Pattiwael (2013) Daphnia sp memiliki kemampuan bertahan hidup
dalam kondisi kandungan oksigen terlarut rendah pada air. Parameter yang terkandung
pada limbah menyebabkan menurunnya tingkat reproduksi pada Daphnia sp dan
menyebabkan deferensiasi pada jenis kelamin Daphnia sp, bahkan dalam keadaan
ekstrim populasi Daphnia sp yang terpapar limbah menjadi kelamin jantan semua dan
ukuran tubuhnya relatif kecil. Kandungan pada limbah juga dapat menurunkan proses
pertumbuhan pada Daphnia sp. Akan tetapi jika dilihat dari hasil pengamatan langsung
pada saat uji toksisitas, Daphnia sp mengalami perubahan perilaku dari aktif menjadi
pasif. Tubuh Daphnia sp juga mengalami perubahan, terdapat gelambir – gelambir
pada sekitar tubuh Daphnia sp yang menyebabkan sulit bergerak. Hal tersebut menjadi
salah satu faktor penyebab kematian dari Daphnia sp.
bisa dinyatakan contoh uji mixing lebih toksik atau beracun dari pada contoh uji
effluent.
Berdasarkan dari hasil TUa yang didapatkan nilai TUa contoh uji effluent lebih
rendah dari pada nilai TUa contoh uji mixing. Contoh uji keduanya termasuk kedalam
katagori yang sama yaitu Significant Acute Toxic setelah mengklasifikasikan
berdasarkan Tabel 3.2, akan tetapi contoh uji mixing sedikit lebih bercun dari pada
contoh uji effluent. Kondisi eksisting IPAL PT. X yang mencampurkan influent dying
dengan influent kromium pada kolam mixing menjadi salah satu faktor contoh uji
mxing sedikit lebih toksik dari contoh uji effluent. Kualitas dari influent dying dan
influent kromium yang besar, kemudian bercampur mengakibatkan kualitas pada
contoh uji mixing menjadi besar.