Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Instalasi Pengolahan Air Limbah PT. X


Menurut Peraturan Daerah Istimewa Yogyakarta No. 7 tahun 2016 suatu
industri atau badan usaha wajib bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkannya,
begitu juga PT. X yang bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkannya dengan
membangun Instalasi Pengolahan Air Limbah yang bertujuan untuk mengolah
limbahnya sebelum dibuang kebadan air.

Gambar 4.1 Sistem Pengolahan Air Limbah Industri PT. X

24
25

Gambar 4. 2 Kondisi IPAL PT. X diambil dari Stasiun Pantau

Instalasi Pengolaha Air Limbah (IPAL) pada PT. X bekerja setiap hari. Seni –
Jum’at IPAL bekerja selama 23 jam/hari dengan waktu istirahat 1 jam/hari pada pukul
07.00 – 08.00 WIB. Sedangkan pada hari Sabtu dan Minggu IPAL bekerja selama 24
jam/hari, hal tersebut dikarenakan hari libur karyawan dan tidak ada yang mengontrol
untuk waktu istirahat IPAL. Walaupun tidak ada aktivitas produksi pada hari Sabtu dan
Minggu bukan berarti tidak ada limbah yang masuk kedalam IPAL. Limbah dari
aktivitas produksi pada hari Seni – Jum’at tidak langsung masuk kedalam inti
pengolahan air limbahnya karena kuantitas limbah yang cukup banyak tiap harinya
maka limbah sebelum masuk ke pengolahan inti dilakukan penampungan terlebih
dahulu dikolam penampung atau kolam mixing. Hal tersebut menyebabkan IPAL masih
bekerja pada hari Sabtu dan Minggu.
Monitoring yang dilakukan petugas IPAL berupada pengukuran pH
menggunakan indikator universal dan pengukuran suhu menggunakan termometer.
Pengukuran dilakukan setiap 2 – 3 jam sekali selama waktu kerja. Adapun monitoring
secara biologi yaitu menaruh ikan pada kolam pantau. Kolam pantau ini bertujuan
26

untuk melihat seberapa toksiknya limbah yang sudah diolah, dengan melihat tingkah
laku dari ikan dan tingkat kematian pada populasi ikan dikolam pantau tersebut. Akan
tetapi masih ada kekurangan pada monitoring biologi tersebut yaitu ikan yang
digunakan sudah dewasa. Jika ingin melihat kualitas limbah tersebut sebaiknya
menggunakan ikan yang berumur 30 – 40 hari, karena pada umur tersebut ikan masih
terbilang sensitif terhadap perubahan kualitas air. Untuk monitoring uji kualitas limbah
pada laboratorium peneliti tidak mendapatkan informasi apapun terkait kualitas fisik-
kimia limbah tersebut dari pihak PT. X.

4.2 Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit


Air dalam proses penyamakan kulit memiliki peran penting sebagai media
untuk melarutkan bahan – bahan kimia. Komsumsi air dalam produksi penyamakan
kulit dibedakan menjadi dua macam, yaitu sebesar 80% dibutuhkan untuk proses
penyamakan kulit dan 20% untuk keperluan teknis lainnya. Hal tersebut menyebabkan
limbah cair yang dihasilkan oleh industri tersebut tidak sedikit (Setiyono, 20014).
Peneliti melakukan uji parameter fisika-kimia pada air limbah penyamakan
kulit PT. X yang sesuai dengan PerMen LH No. 5 Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air
Limbah. Hasil dari uji parameter sesuai dengan PerMen LH No. 5 Tahun 2014 tersaji
pada tabel 4.3.
Tabel 4.1 Hasil Uji Parameter Limbah Cair Industri Penyamakan Kulit

Parameter Satuan Dying Kromium Mixing Effluent Baku Mutu


BOD mg/L 429.05 858.09 858.09 429.05 50.00
COD mg/L 1742.98 2659.33 1445.28 879.25 110.00
TSS mg/L 1081.67 4036.67 3103.33 568.33 60.00
Kromium mg/L 202.24 12383.13 516.67 46.85 0.60

Minyak &
mg/L 467.00 2590.00 1267.00 131.00 5.00
Lemak

N Total mg/L 457.76 147.41 788.09 55.49 10.00


Amonia mg/L 36.00 4.13 36.58 4.47 0.50
Sulfida mgS²¯/L 3.50 12.70 4.30 2.90 0.80
pH - 4.23 3.57 5.73 5.37 6.00 - 9.00
27

Kinerja dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) yang berada di PT. X
berhasil menurunkan hampir semua parameter kecuali pH. Akan tetapi hasil dari
pengolahan limbah di PT. X masih jauh dari baku mutu limbah industri penyamakan
kulit yang diperbolehkan untuk dibuang kebadan air. Parameter yang melebihi baku
mutu menjadi salah satu faktor tingkat toksisitas, semakin tinggi parameter melebihi
baku mutu maka akan semakin toksik limbah tersebut (Febrita dan Dwina, 2013).
Terdapat penelitian terdahulu terkait dengan pengolahan limbah industri
penyamakan kulit pada IPAL BBKKP, hasil uji parameter limbah industri penyamakan
kulit di IPAL BBKKP tersaji pada Tabel 2.3 dan Tabel 2.4. Instalasi Pengolahan Air
Limbah (IPAL) pada PT. X dan BBKKP sesungguhnya sudah memiliki peran yang
cukup baik untuk menurunkan parameter limbah penyamakan kulit yang masuk
kedalam IPAL. Permasalahan pada BBKKP terlihat jelas pada kulitas air sungai atau
badan air penerima buangan air limbah penyamakan kulit tersebut yang sudah melebihi
baku mutu. Limbah dari BBKKP sesungguhnya tidak berdampak signifikan terhadap
kenaikan kuliatas air pada air sungai tersebut. IPAL pada BBKKP mengolah secara
optimal limbah yang masuk, hal tersebut dikarenakan bahwa IPAL pada BBKKP
tersebut menyesuaikan kuantitas limbah yang masuk yaitu sebesar 5 m3/hari. Sehingga
IPAL tidak mengalami kelebihan air limbah dalam proses pengolahan. Selain dari
kuantitas limbah yang diperhitungkan, IPAL pada BBKKP juga hanya beroperasi 5
jam dalam 1 hari. Sedangkan IPAL pada PT. X kuantitas air limbah yang masuk
kedalam IPAL yaitu sebesar 10,8 m3/hari, dan operasional IPAL pada PT. X 23 jam
pada hari Senin – Jumat dan 24 jam pada hari Sabtu – Minggu. Pengoperasian secara
terus menerus menjadi salah satu faktor dari penurunan keoptimalisasian unit IPAL
dalam mengolah air limbah.
Pembuangan limbah yang belum memenuhi baku mutu kebadan air dapat
mempengaruhi aktivitas hewan yang ada didalamnya berupa hewan menjadi stres.
Tidak semua limbah yang dibuang dapat masuk ketubuh hewan melalui oral. Zat – zat
yang terkandung pada limbah juga dapat menempel pada tubuh hewan dan
menyababkan hewan menjadi sulit bergerak (Sadana et all, 2013).
28

Menurut (Febrita dan Dwina, 2013) jika pH melebihi 9,5 maka dapat
menyebabkan kematian pada Daphnia sp. Sedangkan pH optimal untuk kelangsungan
hidup Daphnia sp sebesar 6 – 9 (Raohati, 2014). Sementara pH pada limbah baik dying,
kromium, mixing, maupun effluent secara berturut – turut yaitu sebesar 4,23, 3,57, 5,73,
dan 5,37. pH yang terkandung dalam limbah masih bisa dikatakan aman untuk hewan
uji walaupun pH tidak memenuhi baku mutu dan pH optimal, karena konsentrasi pH
tidak terlalu jauh dengan baku mutu dan pH optimal untuk kehidupan Daphnia sp.
Biochemical Oxygen Demand (BOD) dapat menentukan kualitas dari air, BOD
dapat dinyatakan sebagai banyaknya kebutuhan oksigen dalam air. Oksigen tersebut
digunakan oleh organisme untuk menghancurkan bahan organik yang terkandung
dalam air. Semakin tinggi BOD maka pertumbuhan organisme dalam air akan semakin
cepat, dan sebaliknya. Kandungan BOD juga dapat mempengaruhi kadar oksigen
terlarut pada air, semakin tinggi kandungan BOD maka semakin kecil kandungan
oksigen terlarut pada air limbah. Umumnya parameter BOD harus lebih kecil dari pada
COD (Nurhayati, 2009). Hasil dari uji parameter yang dilakukan peneliti terhadap
limbah penyamakan kulit menunjukan kandungan COD pada limbah masih jauh diatas
baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Besarnya nilai COD dapat mempengaruhi
kadar oksigen terlarut dalam limbah tersebut, walaupun tidak banyak
mempengaruhinya. Salah satu faktor peningkatan COD yaitu tidak efektifnya kerja dari
bak sedimentasi (Febrita dan Dwina, 2013). Penuran kadar oksigen terlarut pada
limbah sebenarnya masih bisa ditoleran oleh Daphnia sp, karena Daphnia sp
mempunyai kemampuan bertahan hidup pada lingkungan yang kadar oksigen
terlarutnya rendah (Effendi, Aditya, Yusli, dan Majariana, 2012).
Total Suspended Solid (TSS) pada limbah penyamakan kulit dari semua sampel
yang diambil setelah diuji hasilnya ternyata melebihi baku mutu. Kandungan TSS yang
tinggi pada limbah menyebabkan tingkat kecerahan menjadi rendah dan menyebabkan
tingkat kekeruhan menjadi tinggi. Jika tingkat kekeruhan tinggi maka akan
mempersulit sinar matahari masuk kedalam air, sehingga menyebabkan terganggunya
proses fotosintesis dalam air (Winnarsih et all, 2016). Dari hasil pengujian hewan uji
29

mengalami kesulitan untuk bergerak karena terdapat gelambir – gelambir pada bagian
tubuhnya. Kandungan TSS yang tinggi pada limbah menjadi salah satu faktor
terdapatnya gelambir – gelambir pada tubuh Daphnia sp.
Senyawa kromium sebenarnya sudah terdapat dialam, seperti Cr6 biasanya
terdapat pada air permukaan dan tanah. Sedangkan Cr3 biasanya terdapat pada sedimen
dan lahan basah (Pawlisz et all, 1993). Pada umumnya kromium yang berlebihan
dilingkungan bersifat toksik, akan tetapi kromium juga ada jenisnya. Salah satunya
senyawa Cr6 lebih beracun untuk organisme perairan dibandingkan dengan senyawa
Cr3. Hal tersebut didukung oleh nilai LC50 yang didapatkan pada saat pengujian lebih
kecil Cr6 dibandingkan dengan Cr3 (Baral et all, 2006). Dalam penelitian (E. Biesinger
dan Glenn, 1972) bahwa pemberian kromium sejumlah 350 µg/L pada media
berdampak pada menurunnya tingkat reproduksi Daphnia sp. Hewan uji yang terpapar
oleh kromium juga mengalami penghambatan pada masa pertumbuhan. Paparan dari
kromium terhadap Daphnia sp juga menyebabkan efek yang negatif bagi tubuh
Daphnia sp itu sendiri yaitu Daphnia sp mengalami penurunan berat badan setelah
terpapar kromium. Batas aman pembuangan limbah kromium kebadan air untuk
kehidupan akuatik yaitu sebesar 0,001 mg/L untuk Cr6, sedangkan batas aman untuk
Cr3 yaitu sebesar 0,008 mg/L. Jika pembuangan limbah dapat memenuhi angkat
tersebut maka dapat dipastikan kehidupan akuatik dibadan air penerima pembuangan
limbah yang mengandung kromium tidak mengalami efek kerugian atau terganggu atas
pembuangan limbah tersebut (Pawlisz et all, 1997).
Kandungan minyak dan lemak cukup berbahaya jika terdapat pada air limbah.
Karena sifat minyak yang tidak dapat terlarut dalam air, hal tersebut bisa menghalangi
sinar matahari yang masuk kedalam air (Gemilang et all, 2017). Sinar matahari yang
masuk kedalam air sebagai kebutuhan untuk proses fotosintesis dalam air, jika
fotosintesis mengalami gangguan maka dapat menyebabkan oksigen terlarut pada air
menjadi berkurang.
Nitrogen mudah terlarut dalam air dan bersifat stabil (Novia, 2016). Kandungan
nitrogen pada perairan dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan)
30

perairan, hal tersebut dapat menstimulasikan pertumbuhan organisme pada perairan


menjadi pesat (Lestari, 2013). Pertumbuhan organisme yang pesat menyebabkan
kenaikan kebutuhan oksigen terlarut pada air, hal tersebut menyebabkan kandungan
oksigen terlarut dalam air menjadi menurun seiring tumbuh dengan pesatnya
organisme dalam air.
Konsentrasi amonia pada limbah mengalami penurunan setelah melalui tahapan
pengolahan air limbah, namun hasil dari proses pengolahan air limbah masih belum
cukup memenuhi baku mutu yang berlaku. Kandungan amonia yang terlarut dalam air
meningkatkan tingkat keracunan bagi hampir semua organisme perairan. Keberadaan
amonia pada limbah menjadi salah satu faktor penyebab kematian hewan uji (Febrita
dan Dwina, 2013). Kandungan amonia dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut
dalam air. Amonia akan beraksi dan teroksidasi menjadi nitrit, kemudian menjadi nitrat
(Novia, 2016).
Menurut (Khangarot dan Ray, 1989) sulfida yang tidak mudah terlarut
merupakan senyawa yang bersifat toksik. Hal tersebut dibuktikan dalam penelitannya
bahwa tingkat kematian pada Daphnia sp cukup tinggi. Konsentrasi sulfida menjadi
salah satu faktor dari tingkat toksisitas. Semakin tinggi sulfida maka semakin kuat
tingkat toksisitasnya.
Semua parameter pada air limbah penyamakan kulit mendapatkan perannya
masing – masing. Semua parameter baik dilihat dari efek tunggalnya maupun dengan
kombinasi parameter hanya berdampak negatif bagi perairan atau badan air penerima
dan bagi Daphnia sp sebagai hewan uji. Semakin aktif unsur kimia pada senyawa
logam maka akan semakin toksik. Unsur kimia juga dapat digunakan untuk
memprediksi tingkat toksisitas senyawa logam yang masuk kedalam sistem kehidupan
(Khangarot dan Ray, 1989).

4.3 Uji Toksisitas Terhadap Daphnia sp


Pengujian toksisitas akut dilakukan dengan menggunakan media air limbah
industri penyamakan kulit. Pengujian ini bisa dikatakan juga sebagai monitoring
31

biologi. Pengujian ini menggunakan hewan Daphnia sp dan dilakukan selama 96 jam
untuk pengujian toksisitas. Sebelum melakukan uji toksisitas ada beberapa tahapan
yang harus dipenuhi yaitu aklimatisasi terhadap hewan uji dan uji pendahuluan.
Daphnia sp sebagai hewan uji didapatkan melalui Balai Pengembangan Teknologi
Perikanan Budidaya (BPTPB), Cangkingan, Yogyakarta. Aklimatisasi dilakukan
selama 24 jam dengan tujuan hewan uji mampu beradaptasi pada lingkungan
laboratorium. Selama aklimatisasi dilakukan juga pengukuran parameter berupa pH
mengacu pada SNI 06-6989.11-2004, DO mengacu pada SNI 06-6989.14-2004, dan
suhu mengacu pada SNI 06-6989.23-2005.

30
26
25

20
14
15

10 7.1 7.8

0
Aklimatisasi
Suhu pH DO Kematian
(oC) (-) (mg/L) (Ekor)

Gambar 4.3 Hasil Pengukuran Parameter (Aklimatisasi)


Menurut (Rohati, 2014) Daphnia sp dapat hidup dengan baik pada suhu 22oC
– 32oC, dengan pH 6 – 8, dan oksigen terlarut (DO) lebih dari 3,5 ppm. Dari hasil
pengukuran parameter saat aklimatisasi seluruhnya memenuhi kualitas optimal hidup
Daphnia sp. Sedangkan dilihat dari tingkat kematian Daphnia sp pada saat aklimatisasi
yaitu sebesar 7% dari jumlah polulasi saat aklimatisasi. Menurut (EPA, 1991) batas
maksimum kematian hewan untuk pengujian toksisitas sebesar 10% dari populasinya,
jika melebihi 10% maka dapat dinyatakan hewan uji tidak memenuhi syarat pengujian
dan harus mengganti hewan dengan populasi yang baru.
32

4.3.1 Uji Pendahuluan


Uji pendahuluan dilakukan sebelum uji toksisitas, uji pendahuluan bertujuan
untuk mendapatkan konsentrasi yang digunakan sebagai konsentrasi uji toksisitas. Uji
pendahuluan dilakukan pada tanggal 3 – 4 Mei 2018 selama 24 jam. Konsentrasi yang
digunakan pada saat uji pendahuluan yaitu 0%, 6,25%, 12,5%, 25%, 50% dan 100%.
Pada 1 jam pertama pengujian contoh uji mixing terjadi kematian 100% dari
jumlah hewan uji yang digunakan dengan konsentrasi 50% dan 100%. Setelah 24 jam
pengujian kematian 100% juga terdapat pada konsentrasi 12,5% dan 25%. Sementara
pada konsentrasi 6,25% terjadi kematian hewan uji sebesar 70%, dan pada control atau
konsentrasi 0% tidak terdapat kematian pada hewan uji.
Sedangkan pada 1 jam pertama pengujian control uji effluent terjadi kematian
100% dari jumlah hewan yang digunakan terdapat pada konsentrasi 100%. Setelah 24
jam pengujian terjadi 100% kematian juga terdapat pada konsentrasi 50%. Kematian
20% hewan uji pada konsentrasi 25%, dan kematian 40% hewan uji pada konsentrasi
12,5%. Sementara tidak ada kematian pada konsentrasi 0% dan 6,25%.
Faktor pengenceran untuk konsentrasi pada uji toksisitas yaitu sebesar 0,5 untuk
contoh uji mixing dan effluent (EPA, 2000). Konsentrasi yang didapatkan untuk uji
toksisitsas setelah dilakukan pengenceran 0,5 ialah untuk variasi konsentrasi contoh uji
mixing yaitu 0%, 0,39%, 0,78%, 1,56%, 3,13%, dan 6,25%, sedangkan untuk variasi
contoh uji effluent yaitu 0%, 1,56%, 3,13%, 12,5%, dan 25%.

4.3.2 Uji Toksisitas


Uji toksisitas dilakukan pada tanggal 5 – 8 Mei 2018 selama 96 jam. Pada
pengamatan uji toksisitas 1 jam pertama tidak terjadi kematian pada hewan uji dicontoh
uji mixing maupun contoh uji effluent. Berikut ini grafik hubungan antara mortalitas
kematian dengan konsentrasi contoh uji tersaji pada Gambar 4.2.
33

100
Kematian Daphnia sp.
90
Mortalitas Kematian (%)

80
70
60
50
40
30
20
10
0
0 2 4 6 8 10
Konsentrasi Contoh Uji Mixing (%)

(a)

100
Mortalitas Kematian (%)

Kematian Daphnia sp.


80

60

40

20

0
0 5 10 15 20 25
Konsentrasi Contoh Uji Effluent (%)

(b)

Gambar 4.4 Grafik Hubungan Antara Mortalitas Kematian dengan Konsentrasi


(a) Contoh Uji Mixing dan (b) Contoh Uji Effluent

Kematian pada Daphnia sp pada saat pengujian toksisitas dialami setelah 1 jam
pertama. Jumlah kematian Daphnia sp pada contoh uji mixing sebanyak 25 ekor,
sedangkan pada contoh uji effluent sebanyak 27 ekor. Total kematian pada hewan uji
sebesar 43,33% dari jumlah hewan uji yang digunakan. Kematian hewan uji pada
34

contoh uji effluent lebih besar dari kematian hewan uji pada contoh uji mixing, variasi
konsentrasi pada contoh uji effluent menjadi salah satu faktor banyaknya kematian
hewan uji. Menurut Pattiwael (2013) Daphnia sp memiliki kemampuan bertahan hidup
dalam kondisi kandungan oksigen terlarut rendah pada air. Parameter yang terkandung
pada limbah menyebabkan menurunnya tingkat reproduksi pada Daphnia sp dan
menyebabkan deferensiasi pada jenis kelamin Daphnia sp, bahkan dalam keadaan
ekstrim populasi Daphnia sp yang terpapar limbah menjadi kelamin jantan semua dan
ukuran tubuhnya relatif kecil. Kandungan pada limbah juga dapat menurunkan proses
pertumbuhan pada Daphnia sp. Akan tetapi jika dilihat dari hasil pengamatan langsung
pada saat uji toksisitas, Daphnia sp mengalami perubahan perilaku dari aktif menjadi
pasif. Tubuh Daphnia sp juga mengalami perubahan, terdapat gelambir – gelambir
pada sekitar tubuh Daphnia sp yang menyebabkan sulit bergerak. Hal tersebut menjadi
salah satu faktor penyebab kematian dari Daphnia sp.

4.3.3 Lethal Concentration 50 (LC50)


Ada 4 metode perhitungan LC50 yaitu Metode Grafis, Metode Probit, Metode
Spearmen-Karber, dan Metode Trimed Spearmen-Karber (EPA, 2002). Berdasarkan
perhitungan LC50 menggunakan software EPA Probit Analysis Used for Calculition
LC/EC Value Version 1.5, bahwa data hasil dari uji toksisitas contoh uji mixing dan
effluent dapat dilakukan perhitungan LC50 menggunakan Metode Probit.

Tabel 4.2 Lethal Concentration 50 (LC50)

Contoh Uji LC50


Mixing 80.47
Effluent 89.83

Dari hasil perhitungan LC50 menggunakan Metode Probit menunjukan bahwa


nilai LC50 untuk contoh uji mixing lebih kecil dibandingkan dengan nilai LC50 contoh
uji effluent. Meskipun perbedaan hasil perhitungan LC50 tidak terpaut jauh, akan tetapi
35

bisa dinyatakan contoh uji mixing lebih toksik atau beracun dari pada contoh uji
effluent.

4.3.4 Toxicity Unit Acute (TUa)


Setelah mendapatkan nilai LC50 dari hasil pengamatan, maka dapat dilanjutkan
dengan perhitungan Toxicity Unit Acut (TUa). Nilai TUa dapat menunjukan contoh uji
yang digunakan termasuk kedalam katagori tidak beracun atau beracun.

Tabel 4.3 Toxicity Unit Acute (TUa)

Contoh Uji Tua Katagori


Mixing 1.24 Significant Acute Toxic
Effluent 1.11 Significant Acute Toxic

Berdasarkan dari hasil TUa yang didapatkan nilai TUa contoh uji effluent lebih
rendah dari pada nilai TUa contoh uji mixing. Contoh uji keduanya termasuk kedalam
katagori yang sama yaitu Significant Acute Toxic setelah mengklasifikasikan
berdasarkan Tabel 3.2, akan tetapi contoh uji mixing sedikit lebih bercun dari pada
contoh uji effluent. Kondisi eksisting IPAL PT. X yang mencampurkan influent dying
dengan influent kromium pada kolam mixing menjadi salah satu faktor contoh uji
mxing sedikit lebih toksik dari contoh uji effluent. Kualitas dari influent dying dan
influent kromium yang besar, kemudian bercampur mengakibatkan kualitas pada
contoh uji mixing menjadi besar.

Anda mungkin juga menyukai